SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
13 Akhlak Utama Salafus Shalih
Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan
hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga
bagaimanakah berakhlaq yang mulia.
Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
ِ‫ق‬َ‫ال‬ْ‫خ‬َ‫أل‬‫ا‬ َ‫ح‬ِ‫ل‬‫ا‬َ‫ص‬ َ‫ِّم‬ِ‫َم‬‫ت‬ُ‫أل‬ ُ‫ت‬ْ‫ِث‬‫ع‬ُ‫ب‬ ‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫إ‬
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad
2/381, shahih)
Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,
َ‫ت‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ َّ‫ال‬ِ‫إ‬ ‫ا‬َ‫ه‬ِ‫ن‬َ‫س‬ْ‫ح‬َ‫أل‬ ‫ِى‬‫د‬ْ‫ه‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ ِ‫ق‬َ‫ال‬ْ‫خ‬َ‫أل‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫س‬ْ‫ح‬َ‫أل‬ ‫ِى‬‫ن‬ِ‫د‬ْ‫ه‬‫ا‬ َّ‫م‬ُ‫ه‬ِّ‫الل‬
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku
akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali
Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun
jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik
umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun
harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah
yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal
bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim.
Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?
Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka
menjadikan masalah akhlaq sebagaiushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam
permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:
Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar
Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka
meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang
barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang
paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin.
Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam
beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,
ُ‫ك‬َِّ‫اَّلل‬ِ‫ب‬ َ‫ون‬ُ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ؤ‬ُ‫ت‬ َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬َ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ َ‫و‬ ِ‫وف‬ُ‫ْر‬‫ع‬َ‫م‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ َ‫ون‬ُ‫ُر‬‫م‬ْ‫َأ‬‫ت‬ ِ‫اس‬َّ‫ن‬‫ِل‬‫ل‬ ْ‫ت‬َ‫ج‬ ِ‫ر‬ْ‫خ‬ُ‫أ‬ ٍ‫ة‬َّ‫م‬ُ‫أ‬ َ‫ْر‬‫ي‬َ‫خ‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ‫ن‬ْ‫ر‬ََ‫ن‬‫ر‬ ْ‫ن‬َ‫ك‬‫ر‬‫م‬ْ ‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ْ ََ‫ر‬ َ‫غ‬َ‫ي‬ ‫ر‬ َ َ‫ن‬‫ر‬ ْ‫ن‬َ‫ك‬‫ر‬‫م‬ْ ‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ْ ََ‫ر‬ َ‫ط‬َ‫ع‬‫ر‬َُ‫ن‬ ِ‫ط‬ ْ‫َس‬َُ‫ر‬‫ه‬ُِْ‫ر‬ ْ‫س‬‫ر‬‫م‬ْ‫ي‬َِ ْ‫ك‬ِ‫م‬ْ‫ي‬ََ َ‫ر‬ِ‫ر‬‫س‬ ْ ‫ر‬َ َ ‫ر‬َُ َِْ ِ‫أ‬‫ر‬‫ض‬ْ‫ع‬‫ر‬ِ ‫ار‬َ‫ر‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ َ‫غ‬
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu
dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak
mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR.
Muslim no. 49)
Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf
nahi mungkar
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah
lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan
memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫ر‬ ْ‫إ‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ََ َ‫م‬ِ‫ر‬ َ‫ن‬ ْ‫ك‬ِ ْ‫ر‬َ‫ع‬ ‫ر‬ِ‫ر‬‫ا‬ َ‫ة‬‫ر‬‫ي‬‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ َ‫ة‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ْ‫ا‬‫ر‬َْ‫ْر‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ة‬‫ر‬َْ‫م‬َ‫إ‬ْ‫ر‬ َ‫ن‬ ‫َار‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ َ‫ت‬َُ‫ن‬‫ر‬ َ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ َِْ‫ع‬ْ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
Ketiga: Sabar ketika berdakwah
Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf
nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman AllahTa’ala,
ِ‫ُور‬‫م‬ُ ْ‫األ‬ ِ‫م‬ْ‫ز‬َ‫ع‬ ْ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫ِك‬‫ل‬َ‫ذ‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ َ‫ك‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ص‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ر‬ِ‫ب‬ْ‫ص‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ه‬ْ‫ن‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫وف‬ُ‫ْر‬‫ع‬َ‫م‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ ْ‫ُر‬‫م‬ْ‫أ‬َ‫و‬
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih
Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang
selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang,
menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.
Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim
serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«ُ‫ة‬َ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ص‬َّ‫ن‬‫ال‬ ُ‫ِّين‬ِ‫د‬‫ال‬»َ‫ل‬‫َا‬‫ق‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ِ‫ل‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬ُ‫ق‬«َِّ ِ‫َّلل‬ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫ت‬َّ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬ َ‫و‬ َ‫ين‬ ِ‫ِم‬‫ل‬ْ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ة‬َّ‫م‬ِ‫ئ‬َ‫أل‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ل‬‫ُو‬‫س‬ َ‫ِر‬‫ل‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬‫َا‬‫ت‬ِ‫ك‬ِ‫ل‬َ‫و‬.»
“Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah,
kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum
muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)
Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat
Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum
muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu
bid’ah.
Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya
Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat
menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu
lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun
memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka
mengamalkan firman Allah Ta’ala,
( َ‫ون‬ُ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ُؤ‬‫م‬ْ‫ال‬ َ‫ح‬َ‫ل‬ْ‫ف‬َ‫أ‬ ْ‫د‬َ‫ق‬1( َ‫ُون‬‫ع‬ِ‫ش‬‫َا‬‫خ‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫ت‬ َ‫ال‬َ‫ص‬ ‫ِي‬‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ َ‫ِين‬‫ذ‬َّ‫ال‬ )2)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’
dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)
Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail
Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail
(shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinyashallallahu ‘alaihi wa
sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat
malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa
engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu
yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,
ْ‫اس‬ِ‫م‬‫ر‬‫أ‬ ْ‫ْع‬‫ن‬‫ر‬‫ة‬ ِ ‫ا‬ِ‫م‬‫ر‬ِ ‫ر‬ُ‫ر‬ ‫ر‬ِ
“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah
hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)
Kesembilan: Tegar menghadapi ujian
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam
menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho
dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,
ِ‫ن‬ ‫ر‬ َ‫إ‬ َ‫ْس‬ُ‫ر‬‫ه‬َ‫ن‬ ْ‫ك‬َِ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬َ‫ن‬ ِْ‫ْر‬ َِ ‫ر‬‫ا‬ُِ ‫ر‬َِ‫ي‬َ‫ح‬
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ر‬‫ع‬ ََ‫ْرس‬ ِ‫غ‬‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬َ َ‫ع‬ ‫ر‬‫س‬ ْ ‫ر‬َ‫ر‬ ْ‫ك‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ َ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ِ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ ‫ر‬ ِ‫ْح‬ ِ َ‫ح‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ا‬‫ر‬ُ‫ر‬‫ن‬ْ‫ْر‬ َ‫ك‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ‫ر‬‫ن‬‫ر‬َ َ‫ْا‬‫ىر‬‫ر‬ِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ِ َ‫ح‬‫ر‬ ‫ر‬‫ك‬ َ ‫ر‬ ْ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬ ِ‫ك‬‫ر‬ ِ ‫ْر‬ ِ‫غ‬‫ر‬
“Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula.
Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka.
Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah
pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)
Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah
Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada
Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk
orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka
akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ‫ف‬‫ا‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ ََّ‫اَّلل‬ ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬ ، ِِّ‫و‬ُ‫د‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ َ‫ء‬‫َا‬‫ق‬ِ‫ل‬ ‫وْا‬َّ‫ن‬َ‫م‬َ‫ت‬َ‫ت‬ َ‫ال‬‫وا‬ُ‫ر‬ِ‫ب‬ْ‫ص‬‫َا‬‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬‫ُو‬‫م‬ُ‫ت‬‫ِي‬‫ق‬َ‫ل‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ، َ‫ة‬َ‫ي‬
“Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah
keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no.
2966 dan Muslim no. 1742)
Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati
cobaan. Karena Allah Ta’alamelarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat
tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah
yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat.
Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi.
Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan
jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu
bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau
mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
ْ‫ك‬ِ‫م‬َُ‫ع‬ُْ‫ر‬ِ ُْ‫ر‬‫ن‬‫ر‬ ‫ر‬‫م‬ ‫ر‬ََ‫ن‬‫ر‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫ن‬ُ ََِْ ْ ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ن‬ ‫ر‬ْ‫ر‬ِ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).
Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau
bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya
pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka
sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun
(istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika
lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan
yang ada.
Keduabelas: Tidak kufur nikmat
Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran
terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk
bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun
yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ر‬َ‫د‬ْ‫َز‬‫ت‬ َ‫ال‬ ْ‫ن‬َ‫أ‬ ُ‫ر‬َ‫د‬ْ‫ج‬َ‫أ‬ َ‫ُو‬‫ه‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ق‬ ْ‫َو‬‫ف‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ُ‫ظ‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫ل‬َ‫ف‬ْ‫س‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ُ‫ظ‬ْ‫ن‬‫ا‬َِّ‫اَّلل‬ َ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ع‬ِ‫ن‬ ‫وا‬
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah
engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu
tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia
Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
َِ ِ ْ‫ك‬ِ ِ‫ي‬‫ر‬ ْ‫إ‬‫ر‬ِ ‫ي‬ ‫ر‬ََُ‫ح‬ ‫ر‬ َُ‫ي‬ََََِْْ‫ْر‬ ِ‫ت‬‫ر‬َْ‫م‬‫ر‬ِ
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162,
Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬ ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ َََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ‫ر‬‫ا‬ َِ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬ِ‫م‬ََ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ ََ ِ َ‫ح‬ ِ‫ر‬ُْ ‫ر‬ِ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ي‬َ ‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ
“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat
kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)
‫ر‬‫ع‬ َ‫غ‬ََِ ِ َ ْ ِ‫إ‬َ‫ن‬ ِ‫ا‬ َ‫س‬ْ‫ع‬ُِ‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬ ََََِْْ‫ْر‬ ِ َ‫ح‬َ‫ك‬َ‫ة‬ ‫ر‬َْ‫ْر‬ َ‫ك‬َ‫ة‬ ِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬ِ‫ر‬‫س‬
“Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan
ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)
َ ْ ِ‫إ‬ ‫ر‬‫ن‬ َ‫إ‬ ‫ر‬ْ ِ َ‫ح‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ف‬ِ ِ ْ‫ْر‬ َ ْ ِ‫إ‬ ْ ََ ِ‫ت‬‫ر‬َِْ‫ر‬ِ َ ْ‫ُىر‬ََْ‫ْر‬ ََ ِ‫ن‬‫ر‬‫ع‬‫ا‬ُِ ِ‫ا‬َْ‫ر‬‫أ‬ ْ ََ ‫ر‬َ َْ‫ر‬ُِْ‫ْر‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ك‬ ْ‫ا‬ِْ‫ْر‬ َ‫ن‬ َ‫إ‬ ‫ر‬ْ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬ِ‫ر‬‫رس‬‫ع‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ ِ‫ل‬ِ ْ‫ن‬‫ر‬ُ‫ر‬‫ر‬ َ‫ف‬ِ ِ ْ‫ْر‬
“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya
orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2003, shahih)
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Referensi: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu
Khuzaimah.
Panggang-GK, 2 Jumadits Tsani 1431 H (15/05/2010)
Sudahkah Kita Meneladani Akhlak
Salafus Shalih?
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫ح‬ ‫ر‬َ ‫ر‬‫ي‬ْ‫ع‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ِ ِ‫ْح‬ َِْ‫ح‬ ‫ر‬‫غ‬‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ‫ر‬ْ ِ‫ت‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ِ ‫ر‬‫ع‬ْ ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ ‫ة‬‫ر‬‫ن‬ْ‫ض‬ِ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ا‬ُ‫م‬َ ‫ر‬‫ا‬ ‫و‬‫ن‬ْ‫ع‬َ‫ن‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫ض‬ْ‫ن‬‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫و‬‫ن‬ْ‫ع‬َ‫ن‬ ِ ‫ر‬َُ َِْْ‫ر‬‫م‬‫ر‬ ْ‫ْة‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫ك‬ ‫ر‬َ َ‫ُف‬ َ‫س‬ِ‫ْرك‬ ْ ‫ر‬‫ة‬ َ
َ ‫ر‬َُ َِْْ ْ ََ ‫و‬‫ة‬‫ر‬‫ن‬ْ‫ض‬ِ‫أ‬ ِ‫ا‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan la
ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga
termasuk cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairairah radhiyallahu’anhu
ini lafaz Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ‫ف‬ِ ِ َ‫ن‬ ‫ر‬‫ح‬ ِ‫ي‬‫ْر‬ َ‫ف‬َ‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ِ‫إ‬َْ‫ر‬‫م‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬‫ي‬‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬‫ة‬ََُِ ‫ْر‬ ْ‫ن‬َ‫ن‬ْ‫م‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ُْ‫ي‬ِ‫م‬ ‫ر‬َُِِْ‫ر‬‫إ‬ َ ِ‫ْح‬ َ‫ف‬ِ‫م‬ْ ِ ‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan
perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang
baik.” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, hadits hasan sahih).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Rasulullah menyebutkan perintah berakhlak
secara terpisah (padahal ia termasuk bagian dari takwa, pen) dikarenakan kebanyakan orang
mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Allah dan
tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan
hak-hak Allah sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat
jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq/benar…” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 237)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk
surga? Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia.” Beliau juga ditanya tentang
sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut
dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘Hadits hasan shahih.’)
Dua macam akhlak mulia
Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush
Shalihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq (Akhlak mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh
beliau ialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini
beliau juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara
hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia
kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Allah.
Berakhlaq mulia kepada Allah yaitu senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang
berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa
keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Allah menakdirkan sesuatu yang
tidak disukai menimpa seorang muslim maka hendaknya dia ridha terhadapnya, pasrah dan
sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya:radhiitu billaahi
rabban ‘Aku ridha Allah sebagai Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum syar’i
kepadanya maka dia menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan
syari’at Allah ‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna
berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana
yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
1. Kafful adza (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama
baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
2. Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang
dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
3. Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri
apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah
husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi
gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan
mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas
kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’ala (semua paragraf di
atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh al-Utsaimin, II/387)
Bagaimana berakhlak mulia kepada sesama?
Di dalam sebuah ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk bisa meraih akhlak
yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya niscaya akan merasakan
kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala berfirman,
ِْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ا‬َْ‫ر‬‫ض‬ْ‫ْر‬ َ‫م‬ِ ‫ر‬ َُ ََ ‫ر‬ِْ‫ْر‬ َ ‫ر‬‫ة‬ ْ‫ع‬ َ‫س‬ْ‫ة‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ َ‫أ‬ ْ‫س‬ِ‫ض‬ْ‫ر‬ َ‫ن‬ ْ‫س‬َِ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. al-A’raaf: 199)
Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq kepada sesama
serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan
pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal:
1. Menjadi pema’af.
2. Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf.
3. Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat
membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak
membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia
mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud
ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga
disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain.
Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena
kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin
disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan lemah
lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat menurut situasi dan
kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi
pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh.
Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka dengan mengajarkan ilmu yang kamu miliki,
menganjurkan kebaikan, menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua,
mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat
yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan bantuan demi kebaikan dan takwa,
menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih
kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Berpaling dari orang-orang yang bodoh artinya tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan
mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka
menyingkirlah. Anda tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka pula.
Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan
dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya. Dengan
cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati menjadi tentram dan
tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara itu dapat merubah orang yang
semula musuh menjadi teman (diramu dari Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif
al-Mannan hal. 83-84)
Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬‫ه‬ْ‫ن‬‫ر‬ِ ِ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬ُْ ‫ر‬ِ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ي‬َ ‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ ََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬ِ‫م‬ََ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ ََ ِ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ك‬ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ ََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬‫ض‬ْ‫ن‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬
‫ر‬ ‫ا‬ََِ ُْ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِِ‫ع‬‫ر‬‫أ‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ ‫ر‬ِ ْ‫س‬ِِ‫ْر‬ َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِ ُْ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬َ‫ر‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِِ‫ع‬‫ر‬‫أ‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ ‫ر‬ِ ْ‫س‬ِِ‫ْر‬ ‫ر‬‫ي‬ََْ ‫ر‬‫ة‬ ْ‫ع‬‫ر‬ِ َ ِ‫ْح‬ ‫ر‬‫ات‬ِ ‫ر‬‫س‬ ‫ر‬ُ ْ‫ا‬ِ‫ر‬ ‫ر‬ِ
‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ََ‫ن‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ت‬ ‫ر‬ِ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang
yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun,
mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti
tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang
sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-
Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang yang
paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila
akhlak Anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat
dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang
terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak
adalahtsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun (Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa
makna tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang
lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang
lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia
berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak
diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah
pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat
Anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka
lalu Anda sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa (lihat Syarh
Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa
makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang
meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena
kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan
menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam
tidak paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab
maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan.
Adapun jika Anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara
dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara
dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya Anda berbicara
dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang
mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda
menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan
dan angkuh dalam pembicaraan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan makna mutafaihiqun:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong.
Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-
olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena
adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang
sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang
tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia
telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah,
seyogyanya dia merendahkan diri (tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah
mendapat anugerah harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada
tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah
hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak
disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah: “Orang miskin yang sombong” Sebab
orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah semestinya
orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin meningkatkan syukurnya kepada
Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama, semoga Allah memberikan taufiq
kepada saya dan seluruh umat Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik,
dan semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek,
sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia (lihat Syarah Riyadhush Shalihin, hal. 397-
398)
Ahlus Sunnah dan Akhlak Mulia
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik
paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya
kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas
mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?” Maka beliau menjawab: “Karakter
paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan
ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak
(budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda
dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:
Adapun dalam hal akidah, Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan
keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini
tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-
Nya.
Adapun dalam hal ibadah, Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka
yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-
ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga Anda tidak akan menjumpai
adanya perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi
mereka adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak
mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak
diizinkan oleh Allah.
Sedangkan dalam hal akhlak, Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka
tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya:
mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan
pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan
keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah, Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama
manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang
diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya,
‫ر‬ ‫ر‬ِ ِ‫س‬‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬َ َ‫س‬ ‫ر‬ُ َ ْ‫ر‬ َ‫ن‬ َ ‫ر‬‫ض‬ََُ‫ر‬‫ن‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬ََ َ‫ض‬ُْ‫ر‬‫ن‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫س‬‫ر‬‫ن‬ ُْ‫ر‬َ َ‫إ‬َِ ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ن‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬ ْ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ََ َ‫ض‬ُْ‫ر‬‫ن‬ َ ‫ر‬َِ ‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ َ‫اس‬ِ‫ن‬ ‫ر‬‫ي‬ُِ‫ر‬‫ن‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ِ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ْ ْ ََ
“Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka
berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka.
Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut
barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Hakim bin
Hizam radhiyallahu’anhu)
Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari
keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang
akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam
sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti
contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan
sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian
dari Golongan Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari
Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini,
meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.
Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah
terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala
kepada kita di dalam firman-Nya,
ُْ‫ر‬‫إ‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ َُ‫م‬ِ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫اإ‬ِ‫ي‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ َِْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬َ َ ََُ‫ع‬‫ْر‬ ‫ر‬ ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬َ‫ر‬‫رس‬‫أ‬ ْ‫ا‬ََُِِ‫ر‬ِ ْ ‫ر‬ِ َ‫ر‬ َُ‫ة‬ ‫ر‬‫ا‬ َ‫ر‬ ‫ا‬َِ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ُك‬ََْ ‫ر‬‫س‬ْ‫ن‬َ‫ح‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫ي‬ُِْْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ا‬ُْ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ‫ر‬‫ي‬
َ‫غ‬َُ ْ‫ا‬ِِ ِ‫س‬‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬ ‫ر‬ْ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ََُ‫ع‬‫ْر‬
“Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan
yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar
kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (Qs. asy-Syura: 13)
Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung
jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka
menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
ِ‫ا‬ْ ‫ر‬‫أ‬ َ ْ‫ك‬ِ ْ‫ي‬ََ ‫ر‬ُْ ‫ر‬‫ر‬ ‫ض‬‫ر‬َُ‫أ‬ ْ‫ا‬ِ‫ي‬ ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ ْ‫ك‬ِ ‫ر‬‫ي‬َُ‫ع‬ ْ‫ا‬ِِ ِ‫س‬‫ر‬ ‫ر‬ َُ‫م‬ِ‫ْر‬ ِ َ‫ح‬
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung
jawabmu atas mereka.” (Qs. al-An’am: 159)
Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol
yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat –Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila
muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara
ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di
antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun
terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau
shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam
berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru
saja memakan daging onta. Sang imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan sang makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap
berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun
seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu
tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang
bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah
perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda
pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh
untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat
dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya
saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil
dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai
dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat
dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu
keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para
sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang
bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari
perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para
sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani
Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di
antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah
keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Ada juga di antara
mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera
berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya –dan
mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu
tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena
perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.
Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang
menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah
terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan
yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan
seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-
ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk
menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa
memahami dan memetik kejelasan perkaranya.
Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan
meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu
memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal
ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang
lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan
hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan
bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling
berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara
lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada
agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk
menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok
yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 22-26)
Ilmu melahirkan akhlak tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan
adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula
sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin
meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin
berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi
kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk
menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka
bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka
bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik
kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.
Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu
sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah
kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk
menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian
kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada
seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman
tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,
ِ‫س‬َِْ‫م‬‫ر‬ِ ْ‫ك‬‫ر‬ِ ِ‫س‬ِ‫م‬ْ‫أ‬‫ر‬ِ‫ر‬ِ َ‫ي‬ ‫ر‬‫ا‬ِ ْ‫ن‬‫ر‬َُ‫ر‬ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ َ‫ت‬ْ‫ع‬‫ر‬ ْ ََ ْ‫ر‬‫م‬‫ر‬َ
“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah
justru kufur.” (Qs. an-Naml: 40)
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan
dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima
kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya
berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu
artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji
manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,
ُ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ِ‫ط‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ ‫ر‬َ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ ِ ‫ر‬ ْ‫ي‬ َِْْ َِ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ َ ‫ر‬َ‫ر‬‫س‬ْ‫م‬‫ر‬ِ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ِ‫ت‬‫ا‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬ ِ‫غ‬‫ر‬َِ‫ض‬‫ر‬‫ي‬ ‫ر‬‫ا‬ ِ‫غ‬‫ر‬َ‫ر‬‫س‬ْ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬ ِ‫غ‬ ِ‫ت‬‫ا‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬ ِ‫غ‬‫ر‬ِ ْ‫ى‬ َ‫س‬ َ‫غ‬ُْ‫ر‬ ‫ر‬‫ة‬ ‫ر‬‫س‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬َ‫ر‬ ِ‫ط‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ ‫ر‬َ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ َِ‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬
َ ‫ر‬‫ي‬ ‫ر‬َ‫ر‬ِ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ُِ‫ر‬‫م‬
“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan
mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan
diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata,
‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (Qs. al-Fajr: 15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan
(dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku
muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan
musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (al-Fawa’id, hal. 149)

More Related Content

What's hot

Sifat mulia - Al hilm
Sifat mulia - Al hilmSifat mulia - Al hilm
Sifat mulia - Al hilmDzul Fahmi
 
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin ppt
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin pptBab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin ppt
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin pptsoleh solehudin
 
Cara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniCara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniFaisal Pak
 
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin ppt
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin pptBab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin ppt
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin pptsoleh solehudin
 
Dakwah remaja dakwah cinta
Dakwah remaja dakwah cintaDakwah remaja dakwah cinta
Dakwah remaja dakwah cintaKang Masduki
 
Adab Terhadap Orang Tua & Guru
Adab Terhadap Orang Tua & GuruAdab Terhadap Orang Tua & Guru
Adab Terhadap Orang Tua & GuruMaulanaFirdaus19
 
Mengenal Manhaj Salaf
Mengenal Manhaj SalafMengenal Manhaj Salaf
Mengenal Manhaj Salafyanto abdulah
 
Ekstremisme Dalam Kalangan Muslim
Ekstremisme Dalam Kalangan MuslimEkstremisme Dalam Kalangan Muslim
Ekstremisme Dalam Kalangan MuslimHIKMAH Wilayah
 
Materi tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hMateri tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hYayan Somantri
 
Kewajiban menjaga shalat lima waktu
Kewajiban menjaga shalat lima waktuKewajiban menjaga shalat lima waktu
Kewajiban menjaga shalat lima waktuRisou Kun
 
Quranic healing theraphy
Quranic healing theraphyQuranic healing theraphy
Quranic healing theraphyPutri Wikie
 
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27Ustadz Ahmad Ridwan
 
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 ppt
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 pptRiyadhus Shalihin Bab 1 -3 ppt
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 pptsoleh solehudin
 
Megobati penyakit
Megobati penyakitMegobati penyakit
Megobati penyakitHelmon Chan
 

What's hot (20)

Sifat mulia - Al hilm
Sifat mulia - Al hilmSifat mulia - Al hilm
Sifat mulia - Al hilm
 
Al hilm
Al hilmAl hilm
Al hilm
 
Tata sholat tahajjud
Tata sholat tahajjudTata sholat tahajjud
Tata sholat tahajjud
 
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin ppt
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin pptBab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin ppt
Bab 3 lanjutan hadits-hadits ttg Sabar riyadus shalihin ppt
 
Cara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'aniCara dakwah yang Qur'ani
Cara dakwah yang Qur'ani
 
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin ppt
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin pptBab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin ppt
Bab 3 hadits 2 Riyadhus Shalihin ppt
 
3 istiqomah
3 istiqomah3 istiqomah
3 istiqomah
 
Dakwah remaja dakwah cinta
Dakwah remaja dakwah cintaDakwah remaja dakwah cinta
Dakwah remaja dakwah cinta
 
Dakwah Islam
Dakwah IslamDakwah Islam
Dakwah Islam
 
Adab Terhadap Orang Tua & Guru
Adab Terhadap Orang Tua & GuruAdab Terhadap Orang Tua & Guru
Adab Terhadap Orang Tua & Guru
 
Mengenal Manhaj Salaf
Mengenal Manhaj SalafMengenal Manhaj Salaf
Mengenal Manhaj Salaf
 
Bab 2 taubat
Bab 2 taubatBab 2 taubat
Bab 2 taubat
 
Ekstremisme Dalam Kalangan Muslim
Ekstremisme Dalam Kalangan MuslimEkstremisme Dalam Kalangan Muslim
Ekstremisme Dalam Kalangan Muslim
 
Materi tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 hMateri tarhib ramadhan 1440 h
Materi tarhib ramadhan 1440 h
 
Kewajiban menjaga shalat lima waktu
Kewajiban menjaga shalat lima waktuKewajiban menjaga shalat lima waktu
Kewajiban menjaga shalat lima waktu
 
Quranic healing theraphy
Quranic healing theraphyQuranic healing theraphy
Quranic healing theraphy
 
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27
HATI MEMBANTU MU MENIMBANG ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN | HADITS ARBAIN KE 27
 
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 ppt
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 pptRiyadhus Shalihin Bab 1 -3 ppt
Riyadhus Shalihin Bab 1 -3 ppt
 
Shalat DHUHA
Shalat DHUHAShalat DHUHA
Shalat DHUHA
 
Megobati penyakit
Megobati penyakitMegobati penyakit
Megobati penyakit
 

Viewers also liked

Presentaciónaplicacionesmoviles
PresentaciónaplicacionesmovilesPresentaciónaplicacionesmoviles
PresentaciónaplicacionesmovilesGibrán Reynoso
 
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola Mora
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola MoraTutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola Mora
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola MoraMarta Lia Molina
 
GSS_CaseStudy_Levit8
GSS_CaseStudy_Levit8GSS_CaseStudy_Levit8
GSS_CaseStudy_Levit8Beau Hunter
 
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición incierta
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición inciertaArauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición incierta
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición inciertaCrónicas del despojo
 
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...JAVIER SOLIS NOYOLA
 
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724kien12f3
 
Arizona State Offers a Range of Medical Education Options
Arizona State Offers a Range of Medical Education OptionsArizona State Offers a Range of Medical Education Options
Arizona State Offers a Range of Medical Education OptionsGreg Angle
 
7. a torres-mi percepción docente
7.  a torres-mi percepción docente7.  a torres-mi percepción docente
7. a torres-mi percepción docenteArmando Torres Ruiz
 
Aprendiz sena deberes y derechos
Aprendiz sena deberes y derechos Aprendiz sena deberes y derechos
Aprendiz sena deberes y derechos Yoelis Navas
 
DM Measurement with CHIME
DM Measurement with CHIMEDM Measurement with CHIME
DM Measurement with CHIMEBen Izmirli
 
3. a torres-características de mi nivel educativo
3.  a torres-características de mi nivel educativo3.  a torres-características de mi nivel educativo
3. a torres-características de mi nivel educativoArmando Torres Ruiz
 
4. a torres-las reformas educativas en méxico
4.  a torres-las reformas educativas en méxico4.  a torres-las reformas educativas en méxico
4. a torres-las reformas educativas en méxicoArmando Torres Ruiz
 

Viewers also liked (16)

Presentaciónaplicacionesmoviles
PresentaciónaplicacionesmovilesPresentaciónaplicacionesmoviles
Presentaciónaplicacionesmoviles
 
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola Mora
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola MoraTutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola Mora
Tutorial de ayuda para acceso al aula virtual del Ingreso Lola Mora
 
GSS_CaseStudy_Levit8
GSS_CaseStudy_Levit8GSS_CaseStudy_Levit8
GSS_CaseStudy_Levit8
 
Wireless Design Project
Wireless Design ProjectWireless Design Project
Wireless Design Project
 
2
22
2
 
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición incierta
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición inciertaArauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición incierta
Arauca 1983-2015 Fin de un ciclo histórico y transición incierta
 
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...
SYLLABUS o Programa del alumno de Matemáticas Aplicadas. Documento desarrolla...
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1
 
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724
Tieu luan hdh_quan_ly_bo_nho_trong_windows__1724
 
Arizona State Offers a Range of Medical Education Options
Arizona State Offers a Range of Medical Education OptionsArizona State Offers a Range of Medical Education Options
Arizona State Offers a Range of Medical Education Options
 
7. a torres-mi percepción docente
7.  a torres-mi percepción docente7.  a torres-mi percepción docente
7. a torres-mi percepción docente
 
Aprendiz sena deberes y derechos
Aprendiz sena deberes y derechos Aprendiz sena deberes y derechos
Aprendiz sena deberes y derechos
 
DM Measurement with CHIME
DM Measurement with CHIMEDM Measurement with CHIME
DM Measurement with CHIME
 
SISTEMAS OPERATIVOS
SISTEMAS OPERATIVOSSISTEMAS OPERATIVOS
SISTEMAS OPERATIVOS
 
3. a torres-características de mi nivel educativo
3.  a torres-características de mi nivel educativo3.  a torres-características de mi nivel educativo
3. a torres-características de mi nivel educativo
 
4. a torres-las reformas educativas en méxico
4.  a torres-las reformas educativas en méxico4.  a torres-las reformas educativas en méxico
4. a torres-las reformas educativas en méxico
 

Similar to Akhlaq

Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptx
Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptxAkhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptx
Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptxSimpleFarmer1
 
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...Mohammad Hidir Baharudin
 
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînKoreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînMuhsin Hariyanto
 
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakan
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakanBagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakan
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakaniqadin172
 
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Amar Ma'ruf Nahi MunkarAmar Ma'ruf Nahi Munkar
Amar Ma'ruf Nahi MunkarEneng Susanti
 
Ma’rifatul dienul islam
Ma’rifatul dienul islamMa’rifatul dienul islam
Ma’rifatul dienul islamSuseno Suseno
 
Shalatlah Sebagaimana Melihatku Shalat
Shalatlah Sebagaimana Melihatku ShalatShalatlah Sebagaimana Melihatku Shalat
Shalatlah Sebagaimana Melihatku ShalatYulian Purnama
 
Bahaya mengambil ideologi selain islam
Bahaya mengambil ideologi selain islamBahaya mengambil ideologi selain islam
Bahaya mengambil ideologi selain islamRizky Faisal
 
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)amri30
 
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...Mohammad Hidir Baharudin
 
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah KuburPeringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah KuburBidak 99
 
Inti Ajaran Islam
Inti Ajaran IslamInti Ajaran Islam
Inti Ajaran Islaminfomiftah
 
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwah
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwahKedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwah
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwahUniversity of Sriwijaya
 
Kiat meningkatkan iman
Kiat meningkatkan imanKiat meningkatkan iman
Kiat meningkatkan imanHelmon Chan
 
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptx
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptxMEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptx
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptxArdiannurArRoya
 
memantaskan diri.pptx
memantaskan diri.pptxmemantaskan diri.pptx
memantaskan diri.pptxParminParmin4
 

Similar to Akhlaq (20)

Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptx
Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptxAkhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptx
Akhlaqul Karimah Sesuai Ahlussunnah wal Jama'ah An Nahdiyyah di Era 5.0.pptx
 
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...
Kuliah Selepas Maghrib_31 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati_M.Hidir...
 
Shalat dhuha
Shalat dhuhaShalat dhuha
Shalat dhuha
 
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamînKoreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
Koreksi atas salah kaprah pemahaman tentang rahmatan li al-âlamîn
 
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakan
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakanBagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakan
Bagaimana kita-menyeru-kepada-islam-fathi-yakan
 
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Amar Ma'ruf Nahi MunkarAmar Ma'ruf Nahi Munkar
Amar Ma'ruf Nahi Munkar
 
Ma’rifatul dienul islam
Ma’rifatul dienul islamMa’rifatul dienul islam
Ma’rifatul dienul islam
 
Shalatlah Sebagaimana Melihatku Shalat
Shalatlah Sebagaimana Melihatku ShalatShalatlah Sebagaimana Melihatku Shalat
Shalatlah Sebagaimana Melihatku Shalat
 
PINTU PAHALA DAN PENGHAPUS DOSA
PINTU PAHALA DAN PENGHAPUS DOSAPINTU PAHALA DAN PENGHAPUS DOSA
PINTU PAHALA DAN PENGHAPUS DOSA
 
Berlaku istiqomah
Berlaku istiqomahBerlaku istiqomah
Berlaku istiqomah
 
Berlaku istiqomah
Berlaku istiqomahBerlaku istiqomah
Berlaku istiqomah
 
Bahaya mengambil ideologi selain islam
Bahaya mengambil ideologi selain islamBahaya mengambil ideologi selain islam
Bahaya mengambil ideologi selain islam
 
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)
Ulil Amri, Agama Islam, Ilmu Komunikasi, Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos)
 
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...
Kuliah 30 Minit Sebelum Jumaat_15 Julai 2016_Masjid Al-Hidayah Taman Melawati...
 
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah KuburPeringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur
Peringatan Keras Untuk Para Penyembah Kubur
 
Inti Ajaran Islam
Inti Ajaran IslamInti Ajaran Islam
Inti Ajaran Islam
 
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwah
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwahKedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwah
Kedudukan, fungsi dan tujuan mentoring dalam dakwah
 
Kiat meningkatkan iman
Kiat meningkatkan imanKiat meningkatkan iman
Kiat meningkatkan iman
 
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptx
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptxMEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptx
MEMANTASKAN DIRI MENJADI PENGEMBAN DAKWAH.pptx
 
memantaskan diri.pptx
memantaskan diri.pptxmemantaskan diri.pptx
memantaskan diri.pptx
 

Akhlaq

  • 1. 13 Akhlak Utama Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia. Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, ِ‫ق‬َ‫ال‬ْ‫خ‬َ‫أل‬‫ا‬ َ‫ح‬ِ‫ل‬‫ا‬َ‫ص‬ َ‫ِّم‬ِ‫َم‬‫ت‬ُ‫أل‬ ُ‫ت‬ْ‫ِث‬‫ع‬ُ‫ب‬ ‫ا‬َ‫م‬َّ‫ن‬ِ‫إ‬ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih) Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a, َ‫ت‬ْ‫ن‬َ‫أ‬ َّ‫ال‬ِ‫إ‬ ‫ا‬َ‫ه‬ِ‫ن‬َ‫س‬ْ‫ح‬َ‫أل‬ ‫ِى‬‫د‬ْ‫ه‬َ‫ي‬ َ‫ال‬ ِ‫ق‬َ‫ال‬ْ‫خ‬َ‫أل‬‫ا‬ ِ‫ن‬َ‫س‬ْ‫ح‬َ‫أل‬ ‫ِى‬‫ن‬ِ‫د‬ْ‫ه‬‫ا‬ َّ‫م‬ُ‫ه‬ِّ‫الل‬ “Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771). Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti? Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagaiushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah: Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman, ُ‫ك‬َِّ‫اَّلل‬ِ‫ب‬ َ‫ون‬ُ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ؤ‬ُ‫ت‬ َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ن‬ ْ‫و‬َ‫ه‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ َ‫و‬ ِ‫وف‬ُ‫ْر‬‫ع‬َ‫م‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ َ‫ون‬ُ‫ُر‬‫م‬ْ‫َأ‬‫ت‬ ِ‫اس‬َّ‫ن‬‫ِل‬‫ل‬ ْ‫ت‬َ‫ج‬ ِ‫ر‬ْ‫خ‬ُ‫أ‬ ٍ‫ة‬َّ‫م‬ُ‫أ‬ َ‫ْر‬‫ي‬َ‫خ‬ ْ‫م‬ُ‫ت‬ْ‫ن‬ “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, َ‫ن‬ْ‫ر‬ََ‫ن‬‫ر‬ ْ‫ن‬َ‫ك‬‫ر‬‫م‬ْ ‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ْ ََ‫ر‬ َ‫غ‬َ‫ي‬ ‫ر‬ َ َ‫ن‬‫ر‬ ْ‫ن‬َ‫ك‬‫ر‬‫م‬ْ ‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ْ ََ‫ر‬ َ‫ط‬َ‫ع‬‫ر‬َُ‫ن‬ ِ‫ط‬ ْ‫َس‬َُ‫ر‬‫ه‬ُِْ‫ر‬ ْ‫س‬‫ر‬‫م‬ْ‫ي‬َِ ْ‫ك‬ِ‫م‬ْ‫ي‬ََ َ‫ر‬ِ‫ر‬‫س‬ ْ ‫ر‬َ َ ‫ر‬َُ َِْ ِ‫أ‬‫ر‬‫ض‬ْ‫ع‬‫ر‬ِ ‫ار‬َ‫ر‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ َ‫غ‬ “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49) Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman, ِ ‫ر‬ ْ‫إ‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ََ َ‫م‬ِ‫ر‬ َ‫ن‬ ْ‫ك‬ِ ْ‫ر‬َ‫ع‬ ‫ر‬ِ‫ر‬‫ا‬ َ‫ة‬‫ر‬‫ي‬‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ َ‫ة‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ْ‫ا‬‫ر‬َْ‫ْر‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ة‬‫ر‬َْ‫م‬َ‫إ‬ْ‫ر‬ َ‫ن‬ ‫َار‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ َ‫ت‬َُ‫ن‬‫ر‬ َ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ َِْ‫ع‬ْ “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
  • 2. Ketiga: Sabar ketika berdakwah Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman AllahTa’ala, ِ‫ُور‬‫م‬ُ ْ‫األ‬ ِ‫م‬ْ‫ز‬َ‫ع‬ ْ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫ِك‬‫ل‬َ‫ذ‬ َّ‫ن‬ِ‫إ‬ َ‫ك‬َ‫ب‬‫ا‬َ‫ص‬َ‫أ‬ ‫ا‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬َ‫ع‬ ْ‫ر‬ِ‫ب‬ْ‫ص‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫َر‬‫ك‬ْ‫ن‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ن‬َ‫ع‬ َ‫ه‬ْ‫ن‬‫ا‬َ‫و‬ ِ‫وف‬ُ‫ْر‬‫ع‬َ‫م‬ْ‫ال‬ِ‫ب‬ ْ‫ُر‬‫م‬ْ‫أ‬َ‫و‬ “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17) Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan. Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, «ُ‫ة‬َ‫ح‬‫ي‬ ِ‫ص‬َّ‫ن‬‫ال‬ ُ‫ِّين‬ِ‫د‬‫ال‬»َ‫ل‬‫َا‬‫ق‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ِ‫ل‬ ‫َا‬‫ن‬ْ‫ل‬ُ‫ق‬«َِّ ِ‫َّلل‬ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫ت‬َّ‫م‬‫ا‬َ‫ع‬ َ‫و‬ َ‫ين‬ ِ‫ِم‬‫ل‬ْ‫س‬ُ‫م‬ْ‫ال‬ ِ‫ة‬َّ‫م‬ِ‫ئ‬َ‫أل‬ َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ل‬‫ُو‬‫س‬ َ‫ِر‬‫ل‬َ‫و‬ ِ‫ه‬ِ‫ب‬‫َا‬‫ت‬ِ‫ك‬ِ‫ل‬َ‫و‬.» “Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55) Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah. Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala, ( َ‫ون‬ُ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ُؤ‬‫م‬ْ‫ال‬ َ‫ح‬َ‫ل‬ْ‫ف‬َ‫أ‬ ْ‫د‬َ‫ق‬1( َ‫ُون‬‫ع‬ِ‫ش‬‫َا‬‫خ‬ ْ‫م‬ِ‫ه‬ِ‫ت‬ َ‫ال‬َ‫ص‬ ‫ِي‬‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬ َ‫ِين‬‫ذ‬َّ‫ال‬ )2) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2) Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan, ْ‫اس‬ِ‫م‬‫ر‬‫أ‬ ْ‫ْع‬‫ن‬‫ر‬‫ة‬ ِ ‫ا‬ِ‫م‬‫ر‬ِ ‫ر‬ُ‫ر‬ ‫ر‬ِ “(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837) Kesembilan: Tegar menghadapi ujian Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala, ِ‫ن‬ ‫ر‬ َ‫إ‬ َ‫ْس‬ُ‫ر‬‫ه‬َ‫ن‬ ْ‫ك‬َِ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬َ‫ن‬ ِْ‫ْر‬ َِ ‫ر‬‫ا‬ُِ ‫ر‬َِ‫ي‬َ‫ح‬
  • 3. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫ر‬‫ع‬ ََ‫ْرس‬ ِ‫غ‬‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬َ َ‫ع‬ ‫ر‬‫س‬ ْ ‫ر‬َ‫ر‬ ْ‫ك‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ َ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ِ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ ‫ر‬ ِ‫ْح‬ ِ َ‫ح‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ا‬‫ر‬ُ‫ر‬‫ن‬ْ‫ْر‬ َ‫ك‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ‫ر‬‫ن‬‫ر‬َ َ‫ْا‬‫ىر‬‫ر‬ِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬‫ر‬‫ظ‬َ‫ة‬ ِ َ‫ح‬‫ر‬ ‫ر‬‫ك‬ َ ‫ر‬ ْ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬ ِ‫ك‬‫ر‬ ِ ‫ْر‬ ِ‫غ‬‫ر‬ “Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih) Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‫ف‬‫ا‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ ََّ‫اَّلل‬ ‫وا‬ُ‫ل‬َ‫س‬ َ‫و‬ ، ِِّ‫و‬ُ‫د‬َ‫ع‬ْ‫ال‬ َ‫ء‬‫َا‬‫ق‬ِ‫ل‬ ‫وْا‬َّ‫ن‬َ‫م‬َ‫ت‬َ‫ت‬ َ‫ال‬‫وا‬ُ‫ر‬ِ‫ب‬ْ‫ص‬‫َا‬‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ه‬‫ُو‬‫م‬ُ‫ت‬‫ِي‬‫ق‬َ‫ل‬ ‫ا‬َ‫ذ‬ِ‫إ‬َ‫ف‬ ، َ‫ة‬َ‫ي‬ “Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742) Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’alamelarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman, ْ‫ك‬ِ‫م‬َُ‫ع‬ُْ‫ر‬ِ ُْ‫ر‬‫ن‬‫ر‬ ‫ر‬‫م‬ ‫ر‬ََ‫ن‬‫ر‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫ن‬ُ ََِْ ْ ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ن‬ ‫ر‬ْ‫ر‬ِ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30). Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada. Keduabelas: Tidak kufur nikmat Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُ‫ر‬َ‫د‬ْ‫َز‬‫ت‬ َ‫ال‬ ْ‫ن‬َ‫أ‬ ُ‫ر‬َ‫د‬ْ‫ج‬َ‫أ‬ َ‫ُو‬‫ه‬َ‫ف‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬َ‫ق‬ ْ‫َو‬‫ف‬ َ‫و‬ُ‫ه‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ُ‫ظ‬ْ‫ن‬َ‫ت‬ َ‫ال‬ َ‫و‬ ْ‫م‬ُ‫ك‬ْ‫ن‬ ِ‫م‬ َ‫ل‬َ‫ف‬ْ‫س‬َ‫أ‬ ْ‫ن‬َ‫م‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫وا‬ُ‫ر‬ُ‫ظ‬ْ‫ن‬‫ا‬َِّ‫اَّلل‬ َ‫ة‬َ‫م‬ْ‫ع‬ِ‫ن‬ ‫وا‬ “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963) Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َِ ِ ْ‫ك‬ِ ِ‫ي‬‫ر‬ ْ‫إ‬‫ر‬ِ ‫ي‬ ‫ر‬ََُ‫ح‬ ‫ر‬ َُ‫ي‬ََََِْْ‫ْر‬ ِ‫ت‬‫ر‬َْ‫م‬‫ر‬ِ
  • 4. “Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬ ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ َََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ‫ر‬‫ا‬ َِ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬ِ‫م‬ََ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ ََ ِ َ‫ح‬ ِ‫ر‬ُْ ‫ر‬ِ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ي‬َ ‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ “Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih) ‫ر‬‫ع‬ َ‫غ‬ََِ ِ َ ْ ِ‫إ‬َ‫ن‬ ِ‫ا‬ َ‫س‬ْ‫ع‬ُِ‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬ ََََِْْ‫ْر‬ ِ َ‫ح‬َ‫ك‬َ‫ة‬ ‫ر‬َْ‫ْر‬ َ‫ك‬َ‫ة‬ ِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬ِ‫ر‬‫س‬ “Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih) َ ْ ِ‫إ‬ ‫ر‬‫ن‬ َ‫إ‬ ‫ر‬ْ ِ َ‫ح‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ف‬ِ ِ ْ‫ْر‬ َ ْ ِ‫إ‬ ْ ََ ِ‫ت‬‫ر‬َِْ‫ر‬ِ َ ْ‫ُىر‬ََْ‫ْر‬ ََ ِ‫ن‬‫ر‬‫ع‬‫ا‬ُِ ِ‫ا‬َْ‫ر‬‫أ‬ ْ ََ ‫ر‬َ َْ‫ر‬ُِْ‫ْر‬‫ر‬‫ا‬ َ‫ك‬ ْ‫ا‬ِْ‫ْر‬ َ‫ن‬ َ‫إ‬ ‫ر‬ْ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬ِ‫ر‬‫رس‬‫ع‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ ِ‫ل‬ِ ْ‫ن‬‫ر‬ُ‫ر‬‫ر‬ َ‫ف‬ِ ِ ْ‫ْر‬ “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih) Semoga yang singkat ini bermanfaat. Referensi: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah. Panggang-GK, 2 Jumadits Tsani 1431 H (15/05/2010) Sudahkah Kita Meneladani Akhlak Salafus Shalih? Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ‫ح‬ ‫ر‬َ ‫ر‬‫ي‬ْ‫ع‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ِ ِ‫ْح‬ َِْ‫ح‬ ‫ر‬‫غ‬‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ‫ر‬ْ ِ‫ت‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ِ ‫ر‬‫ع‬ْ ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ ‫ة‬‫ر‬‫ن‬ْ‫ض‬ِ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ا‬ُ‫م‬َ ‫ر‬‫ا‬ ‫و‬‫ن‬ْ‫ع‬َ‫ن‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫ض‬ْ‫ن‬‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫و‬‫ن‬ْ‫ع‬َ‫ن‬ ِ ‫ر‬َُ َِْْ‫ر‬‫م‬‫ر‬ ْ‫ْة‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫ك‬ ‫ر‬َ َ‫ُف‬ َ‫س‬ِ‫ْرك‬ ْ ‫ر‬‫ة‬ َ َ ‫ر‬َُ َِْْ ْ ََ ‫و‬‫ة‬‫ر‬‫ن‬ْ‫ض‬ِ‫أ‬ ِ‫ا‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ “Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairairah radhiyallahu’anhu ini lafaz Muslim) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‫ف‬ِ ِ َ‫ن‬ ‫ر‬‫ح‬ ِ‫ي‬‫ْر‬ َ‫ف‬َ‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ِ‫إ‬َْ‫ر‬‫م‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬‫ي‬‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ة‬‫ر‬‫ة‬ََُِ ‫ْر‬ ْ‫ن‬َ‫ن‬ْ‫م‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ُْ‫ي‬ِ‫م‬ ‫ر‬َُِِْ‫ر‬‫إ‬ َ ِ‫ْح‬ َ‫ف‬ِ‫م‬ْ ِ ‫ر‬ ‫ر‬‫إ‬ “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, hadits hasan sahih). Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Rasulullah menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah (padahal ia termasuk bagian dari takwa, pen) dikarenakan kebanyakan orang
  • 5. mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Allah dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan hak-hak Allah sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq/benar…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 237) Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia.” Beliau juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘Hadits hasan shahih.’) Dua macam akhlak mulia Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Shalihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq (Akhlak mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau ialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Allah. Berakhlaq mulia kepada Allah yaitu senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Allah menakdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim maka hendaknya dia ridha terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya:radhiitu billaahi rabban ‘Aku ridha Allah sebagai Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka dia menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini: 1. Kafful adza (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya. 2. Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya. 3. Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah husnul khuluq. Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas
  • 6. kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’ala (semua paragraf di atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh al-Utsaimin, II/387) Bagaimana berakhlak mulia kepada sesama? Di dalam sebuah ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala berfirman, ِْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ا‬َْ‫ر‬‫ض‬ْ‫ْر‬ َ‫م‬ِ ‫ر‬ َُ ََ ‫ر‬ِْ‫ْر‬ َ ‫ر‬‫ة‬ ْ‫ع‬ َ‫س‬ْ‫ة‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ َ‫أ‬ ْ‫س‬ِ‫ض‬ْ‫ر‬ َ‫ن‬ ْ‫س‬َِ “Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. al-A’raaf: 199) Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal: 1. Menjadi pema’af. 2. Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf. 3. Berpaling dari orang-orang yang bodoh. Pengertian pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat menurut situasi dan kondisi yang ada. Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka dengan mengajarkan ilmu yang kamu miliki, menganjurkan kebaikan, menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua, mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan bantuan demi kebaikan dan takwa, menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia). Berpaling dari orang-orang yang bodoh artinya tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka menyingkirlah. Anda tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka pula. Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya. Dengan
  • 7. cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara itu dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman (diramu dari Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif al-Mannan hal. 83-84) Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬‫ه‬ْ‫ن‬‫ر‬ِ ِ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬ُْ ‫ر‬ِ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ي‬َ ‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ك‬ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ ََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ِْ‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬ِ‫م‬ََ‫ن‬‫ر‬‫إ‬‫ر‬ِ ْ ََ ِ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ك‬ْ‫ا‬‫ر‬ُ َ ِْ‫ر‬َ ََ‫ي‬ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬‫ض‬ْ‫ن‬‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ ِ ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ْ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِ ُْ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِِ‫ع‬‫ر‬‫أ‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ ‫ر‬ِ ْ‫س‬ِِ‫ْر‬ َ‫ة‬‫ر‬َ ‫ر‬ََُْ‫ْر‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِ ُْ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬َ‫ر‬ ‫ر‬ ‫ا‬ََِِ‫ع‬‫ر‬‫أ‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ ‫ر‬ِ ْ‫س‬ِِ‫ْر‬ ‫ر‬‫ي‬ََْ ‫ر‬‫ة‬ ْ‫ع‬‫ر‬ِ َ ِ‫ْح‬ ‫ر‬‫ات‬ِ ‫ر‬‫س‬ ‫ر‬ُ ْ‫ا‬ِ‫ر‬ ‫ر‬ِ ‫ر‬ ‫ا‬ِ‫س‬ََ‫ن‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬َِْ‫ْر‬ ‫ر‬‫ت‬ ‫ر‬ِ “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al- Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi) Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak Anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak adalahtsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun (Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397) Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat Anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu Anda sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397) Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab
  • 8. maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika Anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya Anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397) Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan makna mutafaihiqun: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah- olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri (tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah: “Orang miskin yang sombong” Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin meningkatkan syukurnya kepada Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama, semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan seluruh umat Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik, dan semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia (lihat Syarah Riyadhush Shalihin, hal. 397- 398) Ahlus Sunnah dan Akhlak Mulia Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?” Maka beliau menjawab: “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka: Adapun dalam hal akidah, Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini
  • 9. tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat- Nya. Adapun dalam hal ibadah, Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran- ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga Anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah. Sedangkan dalam hal akhlak, Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya. Dan dalam hal mu’amalah, Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, ‫ر‬ ‫ر‬ِ ِ‫س‬‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬ُ ْ‫ك‬‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬َ َ‫س‬ ‫ر‬ُ َ ْ‫ر‬ َ‫ن‬ َ ‫ر‬‫ض‬ََُ‫ر‬‫ن‬ْ‫ْر‬ ‫ر‬ََ َ‫ض‬ُْ‫ر‬‫ن‬ ِ‫ة‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫س‬‫ر‬‫ن‬ ُْ‫ر‬َ َ‫إ‬َِ ‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ن‬‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬ ْ َ‫ح‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ََ َ‫ض‬ُْ‫ر‬‫ن‬ َ ‫ر‬َِ ‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬‫ا‬ َ‫اس‬ِ‫ن‬ ‫ر‬‫ي‬ُِ‫ر‬‫ن‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ِ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ْ ْ ََ “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu’anhu) Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat. Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun. Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya, ُْ‫ر‬‫إ‬ ْ‫ا‬‫ر‬ِ َُ‫م‬ِ‫ْر‬ ‫ر‬‫ا‬ ‫اإ‬ِ‫ي‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ َِْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬َ َ ََُ‫ع‬‫ْر‬ ‫ر‬ ََ ْ‫ك‬ِ‫م‬‫ر‬‫ر‬ ‫ر‬َ‫ر‬‫رس‬‫أ‬ ْ‫ا‬ََُِِ‫ر‬ِ ْ ‫ر‬ِ َ‫ر‬ َُ‫ة‬ ‫ر‬‫ا‬ َ‫ر‬ ‫ا‬َِ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ُك‬ََْ ‫ر‬‫س‬ْ‫ن‬َ‫ح‬ َ‫غ‬َ‫ن‬ ‫ر‬‫ي‬ُِْْ ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬َ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬‫ا‬ُْ‫ر‬‫ر‬َ‫ح‬ ‫ر‬‫ي‬ َ‫غ‬َُ ْ‫ا‬ِِ ِ‫س‬‫ر‬َ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫م‬ ‫ر‬ْ‫ر‬‫ا‬ ‫ر‬ ََُ‫ع‬‫ْر‬
  • 10. “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (Qs. asy-Syura: 13) Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman, ِ‫ا‬ْ ‫ر‬‫أ‬ َ ْ‫ك‬ِ ْ‫ي‬ََ ‫ر‬ُْ ‫ر‬‫ر‬ ‫ض‬‫ر‬َُ‫أ‬ ْ‫ا‬ِ‫ي‬ ‫ر‬‫م‬‫ر‬‫ا‬ ْ‫ك‬ِ ‫ر‬‫ي‬َُ‫ع‬ ْ‫ا‬ِِ ِ‫س‬‫ر‬ ‫ر‬ َُ‫م‬ِ‫ْر‬ ِ َ‫ح‬ “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (Qs. al-An’am: 159) Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat –Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu. Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Sang imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan sang makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para
  • 11. sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya –dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini. Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan- ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya. Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 22-26) Ilmu melahirkan akhlak tawadhu’ Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin
  • 12. meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.” Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya, ِ‫س‬َِْ‫م‬‫ر‬ِ ْ‫ك‬‫ر‬ِ ِ‫س‬ِ‫م‬ْ‫أ‬‫ر‬ِ‫ر‬ِ َ‫ي‬ ‫ر‬‫ا‬ِ ْ‫ن‬‫ر‬َُ‫ر‬ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ َ‫ت‬ْ‫ع‬‫ر‬ ْ ََ ْ‫ر‬‫م‬‫ر‬َ “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (Qs. an-Naml: 40) Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman, ُ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ِ‫ط‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ ‫ر‬َ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ ِ ‫ر‬ ْ‫ي‬ َِْْ َِ‫ر‬‫ع‬‫ر‬ َ ‫ر‬َ‫ر‬‫س‬ْ‫م‬‫ر‬ِ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ِ‫ت‬‫ا‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬ ِ‫غ‬‫ر‬َِ‫ض‬‫ر‬‫ي‬ ‫ر‬‫ا‬ ِ‫غ‬‫ر‬َ‫ر‬‫س‬ْ‫م‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬ ِ‫غ‬ ِ‫ت‬‫ا‬َِ‫ر‬ُ‫ر‬ ِ‫غ‬‫ر‬ِ ْ‫ى‬ َ‫س‬ َ‫غ‬ُْ‫ر‬ ‫ر‬‫ة‬ ‫ر‬‫س‬‫ر‬‫ع‬‫ر‬َ‫ر‬ ِ‫ط‬ ‫ر‬ُ‫ر‬‫م‬ْ‫ن‬ْ ‫ر‬َ ْ‫ر‬‫م‬َ‫ح‬ َِ‫ر‬ِ ‫ر‬‫ا‬ َ ‫ر‬‫ي‬ ‫ر‬َ‫ر‬ِ ََ‫ن‬ ‫ر‬‫س‬ ُِ‫ر‬‫م‬ “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (Qs. al-Fajr: 15-17) Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (al-Fawa’id, hal. 149)