Rezim WTO memiliki legitimasi untuk mencegah masalah perdagangan berlanjut antar negara anggotanya. Namun dalam kasus penolakan ekspor kopi Indonesia ke Jepang karena melebihi batas residu pestisida, WTO hanya dapat berperan sebatas menjalankan prinsip-prinsipnya seperti Most Favoured Nation tanpa membeda-bedakan negara anggotanya.
3. FILOSOFI KOMODITAS KOPI INDONESIA
Kopi merupakan jenis tanaman perkebunan tahunan
(perennial) yang menjadi primadona bagi konsumen pasar
domestik dan international. Tanaman kopi sebagai
komoditas ekspor mempunyai nilai ekonomis relatif tinggi
di pasaran dunia, dimana Indonesia masuk dalam urutan
nomor 3 penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil
dan Vietnam. Dari total produksi, sekitar 67% kopi Indonesia
di ekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Beberapa jenis kopi yang paling
sering di ekspor adalah Arabika (Coffea arabica Linn), Kopi
Robusta (Coffea canephora Piere ex Froehner), Kopi Liberika
(Coffea liberica Bull ex Hien) dan Kopi Ekselsa (Coffea
exelsa A. Chev).
5. LANDASAN
KONSEPTUAL
E F E K T I V I T A S
R E Z I M
Sebuah Rezim dapat dibilang efektif apabila
tujuan utama dan otonominya diterima oleh
entitas - entitas dibawahnya.
Rezim sendiri dimulai dari output dari
pembuatan rezim internasional itu sendiri,
implementasi rezim dan juga yang terakhir
adalah impact, yang mana menjelaskan
bagaimana rezim dapat memberikan
pengaruh terhadap entitas di bawahnya.
6. Sejarah Kopi
Sejarah kopi di Indonesia dimulai pada tahun 1696 ketika Belanda membawa kopi dari
Malabar, India, ke Jawa. Mereka membudidayakan tanaman kopi tersebut di Kedawung,
sebuah perkebunan yang terletak dekat Batavia. Namun upaya ini gagal kerena tanaman
tersebut rusak oleh gempa bumi dan banjir.
7. S E J A R A H K O P I I N D O N E S I A
Sampai beberapa tahun lamanya, kopi
liberika menggantikan kopi arabika yang
mana adalah jenis kopi asli Indonesia di
perkebunan dataran rendah. Di pasar
Eropa kopi liberika saat itu dihargai sama
dengan arabika. Namun rupanya tanaman
kopi liberika juga mengalami hal yang
sama, rusak terserang karat daun.
Kemudian pada tahun 1907 Belanda
mendatangkan spesies lain yakni kopi
robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini
berhasil, hingga saat ini perkebunan-
perkebunan kopi robusta yang ada di
dataran rendah bisa bertahan.
Pasca kemerdekaan Indonesia tahun
1945, seluruh perkebunan kopi Belanda
yang ada di Indonesia di nasionalisasi.
Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi
pemasok kopi dunia.
8. KASUS EKSPOR KOPI INDONESIA PADA JEPANG
Kasus penolakan biji kopi Indonesia di Jepang sebanyak 10 kontainer yang berisi 200 ton akibat
melebihi batas maksimal residu pestisida. Kopi asal Indonesia dianggap mengandung unsur
aktif pestisida isocarab dan carbaryl melebihi ambang batas yang diizinkan. Jepang, memang
termasuk negara yang ketat dalam menerapkan standar impor produk pertaniannya termasuk
kopi Indonesia. Sejak 2006 pemerintah Jepang telah menetapkan 200 jenis bahan kimia yang
tidak boleh terkandung pada komoditi kopi melebihi ambang batas yang diizinkan, yang dikenal
sebagai uniform level sebesar 0,01 ppm. Hal inilah yang menyebabkan Jepang tidak menerima
kopi Indonesia.
9. Rezim WTO sebagai sebuah entitas
yang memayungi perdagangan
internasional anggota - anggotanya
memiliki legitimasi yang dapat
mencegah adanya masalah yang
berlanjutan di dalam proses dagang
anggota - anggotanya.
ANALISIS
10. Dari kejadian diatas dan peranan WTO di dalamnya yang secara
tidak langsung, kita dapat melihat bahwa rezim WTO yang
membawahi negara - negara anggotanya memiliki efektivitas
kekuatan dan legitimasi yang dapat memberikan dorongan maupun
tekanan bagi negara dibawahnya untuk dapat menyesuaikan diri
dengan ketentuan internasional yang ada. Namun, terlepas dari
legitimasi tersebut, kita dapat melihat bahwa segala langkah yang
diambil oleh WTO tersebut, khususnya di dalam kasus ini, WTO
masih menjalankan prinsip2nya terutama prinsip Most Favoured
Nation dimana WTO tidak dapat membeda - bedakan negara
anggotanya dan WTO harus memperlakukan semuanya secara
setara.
KESIMPULAN