Terjemahan kitab suci sering mengundang kontroversi karena risiko kesalahan atau pergeseran makna. Artikel ini meninjau sejarah penerjemahan Alquran ke bahasa Melayu, mulai dari usaha awal pada abad ke-16 hingga terbitnya Al Quran dan Terjemahnya oleh pemerintah Indonesia pada 1965. Terjemahan resmi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor politik dan ideologi berkuasa pada masing-masing edisi.
1. Terjemah yang Membatalkan Mukjizat
Oleh:
Prima Sulistya Wardhani
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
2
|
7
Terjemah yang Membatalkan Mukjizat
oleh Prima Sulistya Wardhani
Senarai tiga abad penerjemahan Alquran di Nusantara hingga berujung pada Al Qur’an dan
Terjemahnya. Ada pengaruh Ahmadiyah, tapi kemudian memudar seiring tekanan politik.
KERUMITAN penerjemahan kitab suci dan bagaimana “kecelakaan” di dalamnya bisa
menjerumuskan kita ke neraka karena menyekutukan Tuhan dijelaskan dengan sangat bagus
dalam artikel pendek Remy Sylado berjudul “Tuhan ‘Isaj Elmeseih’”.
Tahun 1663 Injil bahasa Melayu pertama kali terbit, terjemahan Brouwerius dari bahasa
Portugis. Injil terjemahan tersebut terbit kembali tahun 1733 dalam bahasa Melayu tinggi
setelah digarap oleh Leijdecker dengan membawa berbagai perubahan, salah satunya: “Isa
Almaseh” berubah menjadi “Tuhan ‘Isaj Elmeseih”.
Masalahnya, dalam Injil bahasa-bahasa Eropa yang diterjemahkan dari teks asal berbahasa
Yunani, Isa Almasih menyandang panggilan yang bersinonim dengan “tuan”, seperti senhor
(Portugis), heere (Belanda), seigneur (Prancis), signor (Italia), dan lord (Inggris). Semuanya
merujuk pada kata Yunani berarti sama, kyriou. Persoalan bahasa yang biasanya dipandang
sebelah mata menjadi gawat: menyisipnya fonem /h/ yang memisahkan “tu-“ dari “-an” seketika
juga memisahkan kedudukan seseorang antara bumi dan langit. Ini persoalan substansial yang
dalam Kristen maupun antara Kristen dan Islam sendiri diyakini berbeda-beda.
Proyek penerjemahan kitab suci memang mengundang banyak tentangan, mempertimbangkan
risiko-risiko yang dibawanya. Dalam kasus Alquran di Nusantara, penerjemahannya sudah
dimulai sejak abad ke-16, tapi hingga awal abad ke-20, pekerjaan itu sesungguhnya masih
dianggap mustahil. Sebutlah Hamzah Fansuri, penyair besar abad ke-16 yang hidup di Aceh.
Fansuri kerap memasukkan petikan-petikan Alquran yang ia terjemahkan ke dalam puisi-
puisinya. Akhirnya, karya-karyanya berakhir di kobaran api atas titah sultan.
Ada tiga faktor yang membuat alim ulama Islam enggan menerjemahkan Alquran ke bahasa
selain Arab. Pertama, karena adanya keyakinan bahwa Alquran dalam bahasa aslinya tak
tertirukan (i’jāz). Kedua, adanya kekhawatiran akan penodaan/pergeseran dari edisi aslinya
sebagaimana terjadi pada kitab-kitab terdahulu (tahrīf). Sedangkan ketiga, adanya ramalan
teolog-teolog Arab bahwa terjemahan Alquran yang mengesampingkan teks aslinya akan
dinodai pengaruh asing.
3. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
3
|
7
Dengan segala tentangan dan kekhawatiran yang menyertainya, usaha menerjemahkan Alquran
terus dilakukan. Yang terkini di Indonesia adalah polemik Alquran terjemahan H. B. Jassin,
Sang Paus Sastra, berjudul Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia yang terbit tahun 1978. Walau
kemudian, penerjemahan Alquran ditangani langsung oleh pemerintah. Jadilah Al Qur’an dan
Terjemahnya susunan Departemen Agama sebagai buku yang hampir selalu ada di setiap
rumah muslim Indonesia.
Sejarah terjemahan Alquran bahasa Melayu
Federspiel membagi masa-masa penerjemahan Alquran ke bahasa Melayu dalam tiga periode.
Periode pertama (1500-1920-an) adalah ketika Alquran hanya diterjemahkan sepenggal-
sepenggal untuk kepentingan penyampaian doktrin. Hamzah Fansuri masuk dalam periode ini.
Lalu juga ada Shams al-Din al-Sumatra’i, murid Fansuri, serta Nur al-Din al-Raniri, penentang
Fansuri, yang ironisnya juga melakukan cara serupa.
Di saat yang sama, penerjemahan lisan berlangsung di madrasah ketika para guru memaparkan
tafsir Alquran kepada murid-muridnya. Kebiasaan ini memunculkan kebutuhan atas naskah
lengkap. Maka muncullah terjemahan lengkap yang disertai tafsir untuk pertama kalinya pada
1675 dalam wujud Tarjumān al-Mustafid oleh ‘Abd al-Ra’uf.
Selepas karya Ra’uf, hingga tiga ratus kemudian tidak ada karya baru. Hal ini menimbulkan
persoalan. Riddlle mengilustrasikan lewat petikan salah satu surat Raden Ajeng Kartini yang
mengatakan, ia merasa konyol membaca Alquran dalam bahasa Arab tanpa tahu artinya.
Periode kedua (1920-an‒1960-an) bertonggak ketika H. O. S. Tjokroaminoto menerjemahkan
The Holy Qur’an dari bahasa Inggris, susunan Maulana Muhammad Ali, Presiden Ahmadiyah
Lahore. Selepas itu bermunculan banyak terjemahan sehingga timbul inisiatif di Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) agar pemerintah membuat terjemahan resmi.
Periode ketiga (1960-an‒sekarang) adalah masa ketika para cendekiawan Islam menerjemah
penggal-penggal Alquran sendiri—bukan merujuk terjemah yang sudah ada—misalnya untuk
kepentingan khotbah, serta tidak menyertakan teks asli. Di periode inilah H. B. Jassin membuat
“terjemahan puitis” tanpa mencantumkan teks Arabnya. Karya Jassin segera mengundang
polemik karena ia bukan ahli agama, tapi ia membela diri dengan mengatakan bahwa ia bukan
menerjemah Alquran melainkan “menggubah puisi Indonesia berdasarkan terjemahan Alquran
yang ada”.
4. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
4
|
7
Berkebalikan dengan cercaan yang ditimpakan pada karya Jassin, Riddlle justru menemukan
dua keunggulan. Pertama, sejak abad ke-16, penerjemahan Alquran berkutat pada seberapa
ketat naskah setia pada naskah asli. Akibatnya, aspek puitis Alquran tidak ditranslasikan ke
bahasa tujuan (termasuk dalam aspek puitis Alquran adalah rimanya, baca “Quran, Rima,
Rap”). Jassin justru melakukan sebaliknya, hal yang selama ratusan tahun dihindari.
Kedua, Riddlle menganalisis struktur sintaksis karya Jassin dan menemukan tudingan bahwa
karya ini meleset atau tidak setia pada Alquran tidaklah benar. Analisis Riddlle membandingkan
Alquran sumber, tafsir Cambridge atas Surah 18 (1600), Tarjuman al-Mustafid (1675), al-
Quraan dan Terjemahnya (1965/1971), serta Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia (1978).
Ia menemukan bahwa antara keempat terjemahan tersebut tidak banyak berbeda; masih
mementingkan kesetiaan pada struktur sintaksis sumber. Sehingga, ia menyimpulkan,
kehebohan yang ditimbulkan karya Jassin sebenarnya lebih karena keterbukaannya
menyatakan karya tersebut sebagai tafsir puitis.
Politik dalam Al Quran dan Terjemahnya
Sebelum korupsi pengadaan Alquran dua tahun lalu menyadarkan bahwa politik juga berlaku
dalam urusan-urusan sakral, bagaimana Al Quran dan Terjemahnya digarap sudah jauh lebih
dulu menunjukkan hal tersebut. Ichwan (2009) menunjukkan bahwa dalam kitab terjemahan
Alquran resmi Indonesia tersebut, bisa dibaca mengenai siapa kelompok yang berkuasa.
MPRS mengeluarkan keputusan bahwa pemerintah akan mengeluarkan terjemahan Alquran
“resmi” pada 1960. Edisi I keluar dalam tiga volume, muncul di tahun 1965, 1967, dan 1969.
Edisi II yang merupakan revisi Edisi I keluar tahun 1974. Sedangkan Edisi III, yang merupakan
revisi kedua, keluar tahun 1990.
Edisi I merupakan salah satu program Pembangunan Semesta Berencana tahap pertama, yang
dicanangkan Presiden Sukarno. Edisi ini merujuk ke dua referensi, yakni The Holy Quran
susunan Maulana Muhammad Ali (tafsir Ahmadiyah Lahore) dan The Holy Qur’an susunan
Maulvi Sher Ali (tafsir Ahmadiyah Qadiyan).
Di Edisi II, Al Qur’an dan Terjemahnya lagi-lagi merujuk ke tafsir Ahmadiyah (Qadiyan)
dengan memakai The Holy Quräan susunan Mirza Basiruddin Mahmud Ahmad. Hal ini agak
mengejutkan bagi awam mengingat betapa buruknya stigma Ahmadiyah hari ini.
5. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
5
|
7
Semua pengaruh Ahmadiyah tersebut dihapuskan dari Edisi III, yang terbit dengan biaya dari
pemerintah Saudi Arabia. Edisi ini diterbitkan di Madinah dan segera menuai kritik dari
kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang menyebutnya “al-Quran Terjemah Wahabi”. Tetapi,
Muhammadiyah dan al-Irsyad—yang Ichwan sebut golongan reformis yang bersimpati pada
sejumlah aspek ajaran Wahabi—meresponsnya dengan gembira.
Edisi I adalah produk kolaborasi Orde Lama dan NU. Penerbitnya adalah Yayasan Mu’awanah
Nahdlatul Ulama (Yamunu), yang berada di bawah NU. “Warna” Orde Lama tampak dalam
pilihan kata di pendahuluan.
Ketika Orde Lama tumbang, Ichwan menduga kedekatan Sukarno dan NU membuat Soeharto
memilih menggandeng Muhammadiyah dengan mengangkat Mukti Ali sebagai Menteri Agama.
Dampaknya langsung terasa ke terbitan Edisi II: bila Edisi I punya sebutan tak resmi sebagai
“edisi Yamunu”, maka Edisi II disebut “edisi Mukti Ali”.
Edisi II juga menunjukkan warna penguasanya, Orde Baru. Diksi-diksi di bagian pendahuluan
seputar “membina”, “teratur dan tertib”, “disiplin dan kepatuhan”, serta “pemerintahan pusat”.
Tak hanya di pendahuluan, bias penguasa juga muncul dalam teks terjemahan. Seperti yang
ditunjukkan Ichwan dalam perbandingan Surah Al-An’am ayat 123 di Edisi I dan Edisi II. Kata
akābira mujrīmiha yang diterjemahkan menjadi ‘pembesar-pembesar yang jahat’ di Edisi I
berubah menjadi ‘penjahat-penjahat yang terbesar’ di Edisi II.
Kemudian mengemuka pula soal prinsip antarkelompok. Dalam Edisi I—edisinya NU/kaum
tradisional—terjemahan Surah Al-Fajr ayat 22 memakai ta’wil (interpretasi). Kata rabbuka
(harfiah ‘Tuhanmu’) diterjemahkan menjadi ‘perintah Tuhan’ sehingga ayat itu secara lengkap
berbunyi:
“Dan datanglah perintah Tuhan dan (datang pula) malaikat berbaris-baris.”
Ta’wil dipakai dengan alasan untuk menghindari pemahaman antropomorfis atas Tuhan. Di
Edisi II dan III—edisinya kaum reformis—ta’wil tersebut dihapus karena golongan reformis pro
Wahabi-Salafi menolak ta’wil sehingga ayat tersebut menjadi:
“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris”.
6. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
6
|
7
Terjemah yang kedua dikritik ulama NU dengan menyebut bahwa seakan maknanya “Tuhan
sebagai komandan kekuatan militer”, yang dikhawatirkan mengarahkan pikiran umat pada
sosok manusia.
Jelas bahwa perbedaan terjemahan tersebut mencerminkan beda tafsir antara keduanya. Beda
tafsir itu bahkan merembet ke soal gender. Ichwan mengemukakan persoalan terjemah yang
bias gender, karena tim seluruhnya laki-laki, sehingga melemahkan posisi perempuan. Tiga
edisi Al Quran dan Terjemahnya menampakkan serangkai oposisi biner: Orde Lama vs Orde
Baru, tradisional vs reformis, laki-laki vs perempuan.
Salah satu beda terjemahan (dan berarti juga tafsir) yang menarik untuk menutup tulisan ini
adalah pada Surah Al-Baqarah ayat 260. Berikut terjemahan dalam Edisi II dan III:
“Dan (ingat) ketika Ibrahim berkata: ‘Ya, Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’
Ibrahim menjawab: ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar lebih tetap hati saya.’ Allah
berfirman: ‘(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-
burung itu [surhunna] kepadamu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor
daripadanya atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang
kepadamu dengan segera.”
Ichwan membandingkannya dengan Al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīz karya K. H.
Bisri Musthofa. Kitab ini mengartikan “surhunna” menjadi ‘potong-potonglah empat burung
itu’. Menurut Musthofa, burung jinak seperti merpati biasanya akan langsung datang jika
dipanggil pemiliknya—sesuatu yang tidak memiliki aspek mukjizat sama sekali. Memanggil
burung yang telah mati justru menunjukkan kekuasaan Tuhan. Ichwan menduga, terjemahan
Edisi II dan III merujuk pada tafsir Abu Muslim al-Isfahani, ulama yang rasional dan tidak
mempercayai mukjizat. Wallahualam.[]
7. PINDAI.ORG – Terjemah yang Membatalkan Mukjizat / 29 Juli 2015
H a l a m a n
7
|
7
Referensi:
A. H. Johns, “Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan”
Peter Riddell, “Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa-Bahasa di Indonesia”
Moch. Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik: Terjemahan Resmi al-Qur’an di Indonesia”
(Ketiganya terdapat dalam Chambert-Loir, Henri, penyunting. 2009. Sadur: Sejarah
Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG, École française d’Extrême-Orient,
Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa, dan Universitas Padjadjaran)
Remy Sylado. 2003. “Tuhan ‘Isaj Elmeseih”. Dalam Salomo Simanungkalit, penyunting, Inul itu
Diva? Kumpulan Rubrik Bahasa Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.