Dokumen tersebut membahas tentang rute menuju perdamaian yang baru melalui rekonsiliasi dan pengampunan, bukan balas dendam. Perdamaian sejati dicapai melalui dialog dan negosiasi yang terbuka dan jujur, serta menghargai martabat semua manusia termasuk yang rentan. Perang dan hukuman mati tidak pernah menjadi solusi dan bertentangan dengan martabat kemanusiaan.
2. • Jalan damai: memulihkan luka-luka
lama
• Pelaku damai: kita semua, pria dan
wanita [225].
3. • Perjumpaan yang baru BUKAN [226]:
dimulai dari situasi pra-konflik
Perjumpaan manipulatif [diplomasi kosong, agenda tersembunyi,
prilaku luhur yg diselimuti kepalsuan]
• Perjumpaan yang baru BERDASARKAN: historical truth of events
memahami satu sama lain
Usaha: panduan baru bagi kebaikan bersama.
• Komitmen: kebenaran dan keadilan: HARAPAN
4. • Kebenaran + Keadilan + Belas Kasih= 1.
• Ketiganya basis: Perdamaian. Maka, BUKAN balas dendam
MELAINKAN rekonsiliasi dan pengampunan.
• Kebanaran MENGAKUI: peristiwa kejahatan yang menimpa semua
manusia [kaum minoritas, perempuan, yang tersingkir dll].
• Tugas KITA mencegah/memutuskan/menghapus. [227].
5. Seni dan Arsitek Perdamaian
• Jalan perdamaian [228] BUKAN perkara penyeragaman TETAPI soal
work together, gotong royong, bahu-membahu: tujuan kebaikan
[keuntungan] bersama.
• Rute menuju persatuan sosial: adanya pengakuan terhadap
pandangan orang lain [yg sah] sekalipun sudut pandang itu [mungkin]
salah dan nyatanya prilaku mereka pun buruk.
• Kita TIDAK BOLEH membatasi orang lain berdasarkan prilaku dan
kata-katanya. TETAPI hargai omongan dan janji mereka: HARAPAN
6. Seni dan Arsitek Perdamaian
“By forming a new society, a society based on service to others, rather
than the desire to dominate; a society based on sharing what one has
with others, rather than the selfish scramble by each for as much
wealth as possible; a society in which the value of being together as
human beings is ultimately more important than any lesser group,
whether it be family, nation, race orculture” [229].
7. Seni dan Arsitek Perdamaian
• Usaha Perdamaian (rasa memiliki): Pada mulanya adalah IDENTITAS
PRIBADI yang mendapat bentuknya dalam KELUARGA [230].
• “society benefits when each person and social group feels truly at
home.”
• Persoalan keluarga menjadi miniatur persoalan global [memandang
semuanya dari sudut pandang kehidupan berkeluarga]
• The joys and sorrows of each of its members are felt by all.... it means
to be a family! If only we could view our political opponents or
neighbours in the same way that we view our children or our spouse,
mother or father! How good would this be!
8. Seni dan Arsitek Perdamaian
• Masing-masing orang bisa bertindak sebagai RAGI perdamaian di
dalam kehidupannya sehari-hari:
“Everyone has a fundamental role to play in a single great creative
project: to write a new page of history, a page full of hope, peace and
reconciliation”.
There is an “architecture” of peace, to which different institutions of
society contribute, each according to its own area of expertise, but
there is also an “art” of peace that involves us all [231].
9. Seni dan Arsitek Perdamaian
Perjumpaan dengan orang-orang kecil [yang rentan dan yang miskin]
penting: membangun persahabatan.
PERDAMAIN
“bukan hanya situasi tanpa perang tetapi soal komitmen untuk
mengakui, melindungi, dan memulihkan martabat saudara/i kita yang
sering diabaikan”: Bantu mereka melihat diri mereka sendiri [233].
10. Rekonsiliasi dan pengampunan itu tema sentral dalam Kristianitas
dan dalam agama lainnya.
Kristianitas: Yesus tidak pernah mempromosikan kekerasan dan
intoleransi (Bdk Mt 18:22, 23-35). [239-240].
We are called to love everyone, without exception (termasuk para
pemberontak dan koruptor sekalipun). True love....means seeking
ways to make him cease....
11. Di mana ada niat untuk membalas dendam, kedamaian batin dan kehidupan
yang normal adalah sebuah ilusi.
Tidak ada masa depan [keluarga/komunitas] yang utuh (unites), tidak ada
solusi yang bisa ditempuh: pembalasan dendam dan kebencian. Nothing is
gained this way and, in the end, everything is lost. [242]
it It can only be done by (Rom 12:21) and by
cultivating those virtues which foster reconciliation, solidarity and
peace”.[225]... that such goodness leads to a peaceful conscience and to
profound joy, even in the midst of difficulties and misunderstandings. [243]
12. Authentic reconciliation does not flee from conflict, but is achieved in
conflict, resolving it through dialogue and open, honest and patient
negotiation. [244]
A principle indispensable to the building of friendship in society:
unity is greater than conflict.
13. • Tidak benar menuntut suatu “rekonsiliasi sosial” dari mereka yang
telah mengalami luka dan kekejaman di masa lalu.
• REKONSILIASI itu pengalaman personal, reconciliation is a personal
act, and no one can impose it upon an entire society.
• Yang jelas, tidak dapat diadakan sebuah ‘rekonsiliasi umum’ [“blanket
reconciliation”] hanya untuk menutup luka ketidakadilan dengan
mantel ‘lupa’. [246]
14. • The Shoah [Holokaus], the atomic bombs dropped on Hiroshima and
Nagasaki, must not be forgotten. [247-248]
• It is a memory that ensures and encourages the building of a more
and ”. They need to be remembered, always and
ever anew.
• Kita harus memiliki kesadaran kolektif; mengisahkan kesalahan kita ini
kepada generasi muda, agar kesadaran akan anti kekerasan semakin
tertanam dalam diri manusia. [429]
15. • Mengampuni bukan berarti melupakan. Mengampuni merupakan
proses pembebasan para korban dari keinginan balas dendam, agar
mereka perlahan-lahan lepas dari naluri kekerasan yang sama. [250-
251].
• Revenge never truly satisfies victims.
16. • War is the negation of all rights [melukai kemanusiaan] and a dramatic assault
on the environment. If we want true integral human development for all, we
must work tirelessly to avoid war between nations and peoples. [257]
• Perang tidak akan pernah menjadi solusi. Malahan resikonya akan jauh lebih
besar ketimbang keuntungan. [258]
• Saint John XXIII, “it no longer makes sense to maintain that war is a fit
instrument with which to repair the violation of justice” [259]
• Perang itu bentuk dari kegagalan politik dan kemanusiaan, peyerahan, dan
orang takluk terhadap kekuatan jahat. [261]
17. • Paus Yohanes Paulus II: tidak dibenarkan secara moral maupun
hukum. Hukuman mati tidak dapat diterima; Gereja dengan tegas
menyerukan penghapusannya di seluruh dunia. [263]
• Perjanjian Baru: membalas kejahatan dengan kejahatan bukan solusi
untuk kehidupan (bdk Rm 12: 17, 19).
• Semua orang yang berkehendak baik dipanggil untuk tidak hanya
menghapus hukuman mati, dalam segala bentuknya, tetapi juga
bekerja untuk perbaikan kondisi penjara: menghormati
, orang yang dirampas kebebasannya. [268]
18. • Penolakan tegas terhadap hukuman mati: mengakui yang
tidak dapat dicabut dari setiap manusia dan untuk menerima bahwa
dia memiliki tempat di alam semesta ini. [269]