1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu
penyebab kematian utama pada bayi dan balita, diperkirakan 13 juta anak balita di
dunia meninggal setiap tahun. Sebagian besar penelitian di Negara berkembang
menunjukkan bahwa diberbagai negara setiap tahunnya 20-30% kematian bayi
dan balita disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA).
Diperkirakan 2-5 juta bayi dan balita diberbagai negara setiap tahunnya.
Duapertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok bayi, terutama bayi usia 2
bulan pertama sejak kelahiran. Kejadian infeksi pernapasan akut terutama bagian
atas, di Negara berkembang dilaporkan antara 4-7 kali per anak per tahun, ini
hampir sama terjadi di Amerika, Afrika dan Asia (WHO, 2008).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati
urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Kematian
akibat ISPA terutama pneumonia di Indonesia pada akhir tahun 2000 sekitar
450.000 balita. Diperkirakan, sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun atau
12.500 korban per bulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak per jam atau seorang
balita tiap lima menit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun
2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di
Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.
Menurut hasil Riskesdas 2007 kejadian ISPA pada satu bulan terakhir
adalah 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35%. Dan
menurut SDKI 2007 prevalensi ISPA tertinggi pada anak umur 24-35 bulan yaitu
sebanyak 14%.
Untuk dapat menanggulangi penyebaran ISPA tentu diperlukan
pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko ISPA. Beberapa penelitian sudah
banyak dilakukan untuk mengetahui faktor pemicu maupun pencegah ISPA.
Di Negara berkembang, sekitar 24% infeksi saluran nafas kebanyakan
disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti
2. 2
polusi udara dalam ruang maupun di luar ruangan, asap rokok (Etzel, 1997).
Faktor faktor yang berhubungan dengan ISPA antara lain umur, jenis kelamin,
status gizi, berat badan lahir, status ASI, status imunisasi, kepadatan hunian,
penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan
perokok. Selain itu juga konsumsi vitamin A memiliki pengaruh terhadap
timbulnya ISPA pada balita (Anandari, 2007).
Sedangkan hasil dari analisis data Riskesdas 2007 diperoleh faktor-faktor
yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA pada balita yaitu umur, status
gizi, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, bahan bakar masak, perokok dalam rumah,
jenis lantai dan outdoor pollution.
Menurut data Puskesmas Monta, ISPA merupakan urutan pertama dalam
daftar 10 penyakit terbanyak. Dan jumlah kesakitan balita dengan kasus ISPA
dari tahun 2017 terdapat 3086 kasus, kemudian pada tahun 2018 sejak januari
hingga agustus terdapat sebanyak 2282 kasus ISPA (Laporan Puskesmas, 2018).
Berdasarkan data di atas, masih tingginya kasus ISPA pada balita, penulis
merasa tertarik untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu, karakteristik balita,
sumber pencemaran udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada balita.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah “Bagaimanakah gambaran pengetahuan ibu, karakteristik balita,
sumber pencemaran udara dalam ruang dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah Kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui gambaran pengetahuan ibu, karakteristik balita, sumber
pencemaran udara dalam ruang terhadap kejadian ISPA di Wilayah Kerja
Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja
Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta.
3. 3
2. Mengetahui gambaran pengetahuan ibu balita tentang ISPA di Wilayah
Kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta.
3. Mengetahui gambaran karakteristik balita (berat bayi lahir, status
imunisasi, status ASI) di Wilayah Kerja Posyandu Samangawa Desa
Sakuru Kecamatan Monta.
4. Mengetahui gambaran pencemaran udara dalam ruang (bahan bakar
memasak dan keberadan perokok) di Wilayah Kerja Posyandu
Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi peneliti lain
Penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan awal bagi penelitian
selanjutnya, terutama untuk penelitian sejenis yang terkait dengan kejadian
ISPA
1.4.2 Manfaat bagi puskesmas
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi petugas kesehatan
khususnya pengelola program KIA, program P2 ISPA dan bagian promosi
kesehatan dalam memberikan informasi guna merencanakan program
pencegahan dan penanganan terhadap kejadian ISPA
1.4.3 Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai
informasi dalam mengurangi kejadian ISPA pada balita di wilayahnya.
1.4.4 Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini dapat memberi informasi dan menambah wawasan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA di wilayah
kerja posyandu samangawa desa Sakuru kecamatan Monta.
4. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut
2.1.1 Pengertian ISPA
Merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut dan
mulai diperkenalkan pada tahun 1984, dengan istilah Acute Respiratory
infectious (ARI). Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mengandung tiga
unsur, yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Yang dimaksud dengan
infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran
pernapasan adalah organ yang dimulai dari hidung sampai alveoli beserta
organ adneksanya, seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Sedangkan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari (Depkes, 2006).
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian dan atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli
termasuk jaringan adneksanya. Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi
saluran pernapasan bagian atas, seperti nasopharyngitis, pharyngo, dan
epiglotitis, dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah, seperti laryngitis,
tracheobronchitis dan bronchitis pneumonia (Depkes, 2006).
Infeksi saluran napas bagian atas adalah infeksi yang disebabkan
mikroorganisme di struktur saluran napas yang tidak berfungsi saat
pertukaran gas, termasuk rongga hidung, faring, dan laring yang dikenal
dengan ISPA antara lain pilek, faringitis atau radang tenggorok, laryngitis,
dan influenza tanpa komplikasi.
Saluran pernapasan bagian atas terdiri dari hidung, faring, laring,
dan epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan
melembabkan udara yang dihirup.
5. 5
2.1.2 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan
ricketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus,
stapilokokus, pneumokokus, hemofilus, bordetela dan korinebakterium.
Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan mikrovirus, adenovirus,
koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus, dan lain-lain (Depkes,
2006).
Menurut Catsel, et.al. (1991), virus yang terdapat dalam saluran
pernapasan dibagi atas beberapa macam yaitu: 1) Virus respiratory
syncytial, menyebabkan bronchiolitis 2) Virus parainfluenza, khususnya tipe
1 menyebabkan sebagian kasus croup, bisa menimbulkan infeksi saluran
pernapasan atas dan bronchitis 3) Virus influenza A dan B menyebabkan
infeksi saluran pernapasan atas selama epidemic 4) Adenovirus,
menyebabkan penyakit saluran pernapasan simptomatik ringan atau
konjungtivitis, bisa menyebabkan pneumonia fatal 5) Rhinovirus,
menyebabkan infeksi koriza, infeksi virus Coxsackie terbatas pada saluran
pernapasan atas. Tipe A menyebabkan herpangina dan tonsilopharingitis.
Virus Coe (A21) menyebabkan infeksi saluran pernapasan.
2.1.3 Patofisiologi ISPA
Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga
dapat terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.
Semua yang infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga
terjadi pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi
menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan
ISPA, yaitu kongesti atau hidung tersumbat, sputum berlebih, dan rabas
hidung (pilek). Sakit kepala, demam ringan juga dapat terjadi akibat reaksi
inflamasi. Meskipun saluran napas atas secara langsung terpajan dengan
lingkungan, infeksi relative jarang meluas menjadi infeksi saluran napas
bawah yang mengenai bronchus atau alveolus. Terdapat banyak
6. 6
mekanismae perlindungan di sepanjang saluran napas untuk mencegah
infeksi.
Range dari mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat
luas seperti bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamidia, jamur dan
virus. Padahal karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari
organismeorganisme ini berbeda satu sama lainnya dalam menimbulkan
penyakit pernapasan (Gwaltney, et.al., 2001 dalam Ariyanto, 2008).
Agen infeksius memasuki saluran pernapasan dapat dengan cara:
penyebaran secara homogen, atau dengan inhalasi, ataupun dengan aspirasi
ke dalam saluran tracheobronchial. Diperkirakan hanya 10-15% anak-anak
dengan pneumonia yang penyebarluasan penyakit pneumonia balita adalah
melalui mekanisme nonhematogen.
Saluran pernapasan memiliki kemampuan untuk menyaring dan
menangkap kuman pathogen yang masuk dengan cara Refleks batuk, yaitu
dengan mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta mengeluarkan
mukus yang terakumulasi dan mukosyliaris. Lapisan mukosiliaris yaitu
lapisan yang terdiri dari sel-sel yang beralokasi dari bronkus ke atas dan
mempunyai produksi mukus, serta sel-sel silia yang melapisi sel-sel
penghasil mukus. Sel penghasil mukus menangkap partikel benda asing, dan
silia bergerak secara ritmik untuk mendorong mukus dan semua partikel
yang terperangkap, ke atas cabang pernapasan ke nasofaring tempat mukus
tersebut dapat dikeluarkan sebagai sputum, dikeluarkan melalui hidung atau
ditelan. Proses kompleks ini kadang disebut sebagai system escalator
mukosiliaris. Silia adalah struktur lembut yang mudah rusak atau cedera
oleh berbagai stimulus berbahaya, termasuk asap rokok.
Apabila mikroorganisme dapat lolos dari mekanisme pertahanan
tersebut dan membuat koloni di saluran pernapasan atas, bagian penting
pertahanan ketiga system imun, akan bekerja untuk mencegah
mikroorganisme tersebut sampai ke saluran napas bawah. Respon ini
7. 7
diperantarai oleh limfosit, tetapi melibatkan sel darah putih lainnya (Corwin,
2009).
Seperti Kanra, et.al (1997) dalam Ariyanto (2008) mengatakan,
makrophag alveolar akan mengeliminasi organisme yang mencapai alveoli.
Eliminasi organisme infeksius diperkuat oleh imununoglobulin G dan A
serta faktor lainnya, sebagai pelengkap seperti antiprotease, lysoszyme, dan
fibronectin. Kondisi yang mendukung keadaan yang menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh, antara lain: infeksi virus yang menyebabkan
menurunnya daya tahan pada saluran pernapasan, dilakukannya tindakan
endotracheal dan traechostomy, obat-obat yang berdampak pada reflek
batuk, menghambat pergerakan mucosiliaris (Kanra, et.al., 1997 dalam
Ariyanto, 2008).
2.1.4 Tanda dan Gejala Penyakit ISPA
Penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi pada telinga,
tenggorokan (pharynx) trachea, bronchioli, dan paru. Tanda dan gejala
penyakit infeksi saluran pernapasan: batuk, sakit tenggorokan, pilek,
demam, kesulitan bernapas dan sakit telinga. Berdasarkan tingkat
keparahannya, infeksi saluran pernapasan akut di bagi menjadi tiga
kelompok yaitu:
1. ISPA ringan
Gejalanya antara lain adalah:
a. Batuk
b. Serak yaitu anak bersuara bersuara parau ketika mengeluarkan suara
(misalnya pada saat berbicara atau menangis)
c. Pilek yakni anak mengeluarkan lender/ingus dari hidung
d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370
C atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas.
2. ISPA sedang
Anak dinyatakan menderita ISPA sedang, bila dijumpai gejal-gejala
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
8. 8
a. Pernapasan lebih dari 50 kali permenit pada anak berumur kurang
dari satu tahun atau lebih dari 40 kali permanit pada anak yang
berumur satu tahun atau lebih.
b. Suhu lebih dari 390
C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f. Pernapasan berbunyi seperti mendengkur
g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut
3. ISPA berat
Anak dinyatakan ISPA berat, jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan dan
sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada saat
bernapas
c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
d. Pernapasan berbunyi seperti mengorok, menciut dan anak tampak
gelisah
e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas
f. Nadi cepat lebih dari 60 kali permanit atau tak teraba
g. Tenggorokan berwarna merah
Pada tahun 1998 World Health Organization telah
mempublikasikan pola baru tatalaksana penderita ISPA. Kriteria untuk
menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah: balita, dengan gejala
batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari
4 bagian yaitu: a) Pemeriksaan b) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya c)
Penentuan klasifikasi penyakit d) Pengobatan dan tindakan.
9. 9
2.1.5 Klasifikasi ISPA
1. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua golongan
umur yaitu gologan umur 2 bulan sampai dengan < 5 tahun dan
golongan umur < 2 bulan (Depkes, 2006). Golongan umur 2 bulan
sampai dengan < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:
a. Pneumonia berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa
anak harus dalam keadaa tenang, tidak menangis atau meronta).
b. Pneumonia
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat adalah:
Untuk usia 2 bulan -12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih
Bukan pneumonia Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada
bagian bawah dan tidak ada napas cepat. “Tanda Bahaya” untuk
golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu:
1) Tidak bisa minum
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stidor
5) Gizi buruk (Depkes, 1996)
2. Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas:
a. Pneumonia berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian
bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur
kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah
atau napas cepat. “Tanda Bahaya” untuk golongan umur kurang dari
2 bulan, yaitu:
10. 10
1) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai
kurang dari ½ volume yang biasa diminum)
2) Kejang
3) Kesadaran menurun
4) Stridor
5) Wheezing
6) Demam/dingin
2.1.6 Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai Negara termasuk
Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko
baik yang meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas)
akibat ISPA terutama pneumonia:
1. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA (Depkes, 2006)
Umur < 2 bulan
Laki-laki
Gizi kurang
Berat badan lahir rendah
Tidak mendapat ASI memadai
Polusi udara
Kepadatan tempat tinggal
Imunisasi yang tidak memadai
Membedong anak
Defisiensi vitamin A
Pemberian makanan tambahan terlalu dini
2. Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA (Depkes, 2006)
Umur < 2 bulan
Tingkat sosial ekonomi rendah
Kurang gizi
Berat badan lahir
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
11. 11
Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah
Kepadatan tempat tinggal
Imunisasi yang tidak memadai
Menderita penyakit kronis
Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan
yang salah.
3. Faktor risiko yang berhubungan dengan individu dan lingkungan pada
kejadian pneumonia di klinik anak pada Negara berkembang (Buletin
WHO, 2008) :
Faktor risiko terbatas
a. Kekurangan gizi (berat menurut umur z score < –2 )
b. Berat lahir rendah (< 2500 g)
c. Tidak ASI eksklusif (selama 6 bulan pertama)
d. Tidak imunisasi campak (selama usia 12 bulan pertama)
e. Pencemaran udara dalam rumah
f. Kepadatan hunian
Faktor risiko mungkin
a. Keluarga yang merokok
b. Kekurangan seng
c. Pengalaman ibu dalam pemberian pengobatan
d. Penyakit penyerta (misalnya. diare, penyakit jantung, asma)
Faktor risiko kemungkinan
a. Pendidikan ibu
b. Pengasuh anak
c. Curah hujan (kelembaban)
d. Dataran tinggi (udara dingin)
e. Defisiensi Vitamin A
f. Jumlah paritas
g. Pencemaran udara luar
12. 12
2.1.7 Penularan ISPA
Adanya ketertarikan bahwa ada penularan lewat udara yang dapat
menimbulkan penyakit pernapasan terjadi pada abad ke-19 menurut
Williams Wells. Konsep ini memperkenalkan adanya droplet nuclei, suatu
partikel infeksius yang amat kecil berukuran < 10μ, yang terdapat di udara.
Modus transmisi ini menjadi hal yang penting dalam epidemiologis
perkembangan riwayat pada penyakit pernapasan. Karena beberapa hal
menunjukkan bahwa tidak semua respiratory pathogen bertransmisi dengan
cara yang sama (Gwaltney, et.al., 2001).
Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain
melalui udara pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya
kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke
seluruh saluran pernapasan. Dari saluran pernapasan kuman menyebar ke
seluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi ini rentan, maka ia akan terkena
ISPA (Depkes RI, 1999).
Menurut Amin (1989) dalam Mudehir (2002) proses penyebaran
Infeksi Saluran Pernafasan akut dikenal dengan 3 cara, yaitu: 1. Melalui
Aerosol lembut, seperti batuk 2. Melalui Aerosol keras, seperti batuk dan
bersih 3. Melalui aerosol lebih keras, seperti batuk dan bersin melalui
kontak langsung/ tidak langsung dengan benda-benda yang telah
terkontaminasi (hand to hand transmission).
2.1.8 Pencegahan Penyakit ISPA
Pencegahan dilakukan agar anak bisa bebas dari serangan ISPA
atau terjadinya ISPA pada anak balita dapat berkurang. Sesuai dengan cara
terjadinya ISPA, maka cara pencegahan menurut dr. Runizar Roesin dan dr.
Indriyono (1985) dalam Ariyanto perlu dilakukan terhadap:
Menghindarkan anak dari kuman
a. Menghindarkan anak berdekatan dengan penderita ISPA, karena
kuman penyebab ISPA sangat mudah menular dari satu orang ke
orang lain.
13. 13
b. Jika seorang ibu menderita ISPA sedangkan ia butuh mengasuh anak
atau menyusui bayinya, ibu tersebut harus menutup hidung dan
mulutnya dengan sapu tangan.
Meningkatkan daya tahan tubuh anak
Meningkatkan daya tahan dapat dilakukan dengan jalan berikut ini:
a. Menjaga gizi anak tetap baik dengan memberikan makanan yang
cukup bergizi (cukup protein, kalori, lemak, vitamin dan mineral).
Bayi-bayi sedapat mungkin mendapat air susu ibu sampai usia 2
tahun.
b. Kebersihan anak harus dijaga agar tidak mudah terserang penyakit
menular.
c. Memberikan kekebalan kepada anak dengan memberikan imunisasi.
Memperbaiki lingkungan
Untuk mencegah ISPA, lingkungan harus diperbaiki khususnya
lingkungan perumahan:
a. Rumah harus berjendela agar aliran dan pertukaran udara cukup
baik.
b. Asap dapur dan asap rokok tidak boleh berkumpul dalam rumah.
Orang dewasa tidak boleh merokok dekat anak atau bayi.
c. Rumah harus kering tidak boleh lembab.
d. Sinar matahari pagi harus diusahakan agar dapat masuk ke rumah.
e. Rumah tidak boleh terlalu padat dengan penghuni.
f. Kebersihan di dalam dan di luar rumah harus dijaga, rumah harus
mempunyai jamban yang sehat, dan sumber air bersih.
g. Air buangan dan pembuangan sampah harus diatur dengan baik, agar
nyamuk, lalat dan tikus tidak berkeliaran di dalam dan di sekitar
rumah.
14. 14
2.1.9 Cara Mengatasi Bahaya ISPA
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya ISPA pada
balita antara lain:
Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat
(Puskesmas atau Rumah Sakit) atau menghubungi kader kesehatan
terdekat bila ditemukan disertai adanya kesulitan bernafas.
Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di
bawa ke tempat pelayanan kesehatan terdekat.
2.1.10 Program Penanggulangan ISPA
Pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia dimulai pada
tahun1984, bersamaan dengan dilancarkannya Pemberantasan penyakit
ISPA ditingkat global oleh WHO. Dalam tatalaksana ISPA tahun1984,
dengan klsifikasi penyakit ISPA: ISPA ringan, sedang dan berat. Pada
tahun 1988, WHO mempublikasikan cara diagnosis yang sederhana,
praktis, dan tepat guna, dipisahkan antara tatalaksana klasifikasi penyakit
pneumonia dan penyakit infeksi akut telinga dan tenggorokan. Pada
lokakarya Nasional ke-3 tahun 1990 disepakati pola tatalaksana yang
diadaptasisesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Sejak tahun 1990 ini pemberantasan ISPA dititik beratkan dan
difokuskan pada pengendalian pneumonia balita (Depkes, 2006).
Kebijakan pemerintah yang mendukung program ISPA antara lain
Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak
dan Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembanguna
Nasional 2000-2004. Salah satu sasaran yang akan dicapai adalah
menurunkan angka kesakitan balita akibat pneumonia pada balita menjadi
3 per 1000 kelahiran hidup. Target dalam menurunkan angka kesakitan
balita akibat pneumonia adalah dari 10-20% pada tahun 2000 menjadi 8-
16% pada tahun 2005 (Depkes, 2005).
15. 15
2.1.11 Permasalahan ISPA
Di Indonesia Sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam
program pengendalian penyakit (P2) ISPA meliputi kader, petugas
kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA disarana pelayanan
kesehatan (polindes, pustu, puskesmas, Rumah Sakit, poliklinik),
pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan
pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilaksanakan diberbagai
jenjang melalui kegiatan diantaranya; pelatihan ISPA bagi kader, pelatihan
tatalaksana penderita (diintegrasikan dalam pelatihan MTBS), pelatihan
autopsy verbal, pelatihan audit kasus, pelatihan audit manajemen,
pelatihan promosi P2 ISPA dan pelatihan tatalaksana kasus ISPA balita di
sarana pelayanan kesehatan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan baik di
tingkat pusat, provinsi, dan kab/kota. Meskipun demikian hingga saat ini
kuantitas dan kualitas SDM petugas P2 ISPA dirasakan masih kurang
(Depkes, 2006).
2.1.12 Penatalaksanaan ISPA
Di Indonesia, ISPA khususnya pneumonia merupakan penyebab
kematian utama. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap
tahun diperkirakan ada 150.000 kematian balita yang disebabkan oleh
ISPA. Ini berarti ada 410 kematian balita oleh penyakit ISPA (pneumonia)
(Depkes, 2006).
2.1.13 Program Pengendalian ISPA
Program pengendalian ISPA yang dilakukan oleh pemerintah
mempunyai tujuan utama yaitu :
a. Menekankan/ mengurangi kematian oleh pneumonia pada balita.
b. Mengurangi penggunaan antibiotika dan obat yang kurang tepat
pada pengobatan penyakit ISPA.
c. Menurunkan kesakitan pneumonia pada kelompok balita.
16. 16
Strategi utama untuk menurunkan kematian akibat pneumonia
adalah dengan cara penemuan dini dan pengobatan secara tepat.
Prinsip pengobatan bagi penderita ISPA (Depkes, 2006):
a. Penderita batuk pilek biasa (batuk yang tidak disertai napas cepat/
sesak napas) tidak perlu diberi antibiotic. Mereka memerlukan
paracetamol bila demam dan obat untuk meringankan batuk.
b. Penderita batuk yang disertai napas cepat (pneumonia) harus
mendapatka antibiotik selama 5 hari. Antibiotik jenis
kotrimoksazol, amoksicillin, ampicillin atau penicillin.
c. Penderita batuk yang disertai napas sesak (pneumonia berat) perlu
dirujuk ke Rumah Sakit atau puskesmas dengan fasilitas rawat
inap.
Strategi WHO dalam penanggulangan ISPA antara lain:
a. Meningkatkan cakupan imunisasi
b. Case manajemen ISPA
c. Imbauan agar para ibu mencari pengobatan pada petugas kesehatan
yang terlatih sedini mungkin.
Kurangnya informasi yang berkaitan dengan pengetahuan
dalam menghadapi ISPA, cara pengobatan di rumah, dan pencarian
pengobatan di luar rumah. Program penanggulangan ISPA yang
dilaksanakan secara nasional akan lebih efisien bila banyak dilakukan
pada peningkatan cara ibu mengenali ISPA dan cara pencarian
pengobatan yang efektif dan efisien, supaya mortalitas dan morbiditas
bayi dan balita menurun secara bermakna, jika dibandingkan dengan
hanya mengandalkan petugas kesehatan saja. Maka dengan bertumpu
pada keberhasilan peningkatan pengetahuan ibu akan menurunkan
angka kematian dan kesakitan bayi dan balita khususnya dalam
program penanggulangan ISPA di Indonesia.
17. 17
1. Penanggulangan ISPA Menurut (Biddulp et.al, 1999 dalam Ariyanto,
2008) cara penanggulangan penyakit ISPA dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu :
Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan terutama diarahkan kepada pencegahan
penyakit ISPA yaitu:
a) Primordial Prevention yang bertujuan menghindari faktor
risiko bila faktor tersebut belum ditemukan dalam masyarakat,
misalnya penderita batuk, asap rokok, yang menyebabkan
risiko tinggi terhadap terjadinya ISPA perlu dihindari dengan
cepat.
b) Primary Prevention yang bertujuan untuk mengurangi atau
merubah faktor risiko yang telah ada baik pada individu
maupun masyarakat, misalnya bagaimana mengurangi
kepadatan penghuni, memperbaiki ventilasi rumah,membuat
system dapur sedemikian rupa sehingga dapat membatasi
penghisapan asap dari kompor. Pencegahan penyakit ISPA
khususnya pada anak-anak, maka pendidikan kesehatan
diarahkan terutama pada ibu-ibu.
Pengendalian Infeksi ISPA
Pengendalian ISPA yang dimaksud adalah pengobatan ISPA, baik
ISPA bagian atas maupun ISPA bagian bawah. Pengendalian
diupayakan supaya, ISPA bagian atas tidak menimbulkan
komplikasi dan bagaimana supaya ISPA bagian bawah tidak
terlalu parah.
Imunisasi Program imunisasi yang bertujuan untuk mencegah
penyakit tertentu seperti difteri, campak dan pertusis dapat
mengurangi terjadinya pneumonia karena penyakit-penyakit
tersebut dapat berkomplikasi dengan ISPA bagian bawah.
18. 18
2.1.14 Faktor- Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian ISPA
Pada Balita Kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan
tentang ISPA yang dimiliki oleh masyarakat khususnya ibu, karena ibu
sebagai penanggung jawab utama dalam pemeliharaan kesejahteraan
keluarga. Mereka mengurus rumah tangga, menyiapkan keperluan rumah
tangga, merawat keluarga yang sakit, dan lain sebagainya. Pada masa
balita dimana balita masih sangat tergantung kepada ibunya, sangatlah
jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas kesejahteraan anaknya”
(Nadesul, 2002).
Kondisi udara dalam rumah yang tercemar (mengalami polusi) ini
perlu dicegah dalam rangka menurunkan kejadian ISPA pada balita. Hal
ini diperkuat hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF dan WHO yang
menyatakan bahwa salah satu cara mencegah kejadian ISPA pada balita
adalah mengurangi pencemaran udara dalam rumah (reducing indoor air
pollution). Salah satu faktor yang mempengaruhi ISPA adalah merokok.
Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan
kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen
cianida, amonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol,
conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresor peryline dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian Surjadi, ISPA yang terjadi pada ibu
dan anak berhubungan dengan penggunaan bahan bakar untuk memasak
dan kepadatan hunian rumah, demikian pula terdapat pengaruh
pencemaran di dalam rumah terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa.
Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan
pencemar antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO).
Demikian pula pembakaran obat nyamuk, membakar kayu di dapur
mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama Balita baik yang
bersifat akut maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi saluran
pernafasan dan iritasi mata. Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga
berperan dalam penularan ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara
19. 19
kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia.
Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan ISPA
berat dan sedang dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi
yang cukup untuk mengurangi polusi asap dapur dan mengurangi polusi
udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang tinggal di rumah yang
padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali
dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat
(Achmadi, 1993).
2.1.15 Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Gangguan Saluran
Pernapasan
Salah satu gangguan yang mungkin disebabkan oleh pencemaran
udara dalam ruangan adalah infeksi saluran pernapasan akut. ISPA dapat
meliputi bagian atas saja dan atau bahkan bagian bawah seperti laryngitis,
tracheobronchitis, bronchitis dan pnemonia (Depkes RI, 1993). Secara
garis besarnya, kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh asap dalam
ruangan yang bersumber dari perokok, penggunaan bahan bakar kayu /
arang / minyak tanah dan penggunaan obat nyamuk bakar. Disamping itu
ditentukan oleh ventilasi, tata ruangan dan kepadatan penghuninya.
Manusia sebagai makhluk hidup sangat bergantung pada udara
untuk kelangsungan hidupnya. Kualitas udara yang buruk akan
meningkatkan terjadinya penyakit saluran pernapasan diantaranya :
(Kusnoputranto, 2000)
1. ISPA karena ventilasi tidak adekuat dan kepadatan hunian sehingga
infeksi silang meningkat
2. Asma dan penyakit alergi lainnya terutama pada balita yang
disebabkan oleh asap rokok
3. Bronchitis kronis
4. Meningkatnya risiko kanker paru yang disebabkan asap rokok, dan
polutan dari luar rumah
5. Penyakit TBC
20. 20
2.2 Pengetahuan Ibu
Menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan adalah merupakan suatu
hasil dari tahu, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indera
penglihatan dan indera pendengaran. Apabila suatu tindakan didasari oleh
pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung
lama. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang. Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, yang diartikan
sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan
cara menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan dengan
benar pula.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam struktur organisasi
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sistesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru (menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah ada)
21. 21
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek berdasarkan kriteria sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada.
Menurut pendeketan konstruktivitas, pengetahuan bukanlah fakta dari
suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan terus menerus oleh
seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-
pemahaman baru. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang, yaitu :
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut menerima informasi. Dengan
pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan
informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak
informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat
tentang kesehatan.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana
diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa
seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan
rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non
formal. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek juga mengandung
dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah yang
akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu.
22. 22
Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, akan
menumbuhkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.
2. Mass media/ informasi
Informasi yang diperolah baik dari pendidikan formal maupun non
formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)
sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya
teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai
sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti, televisi, radio,
surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukkan opini dan kepercayaan orang.
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media
massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu
hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan
terhadap hal tersebut.
3. Sosial budaya dan ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian
seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.
Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas
yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini
akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
4. Lingkungan
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada di sekitar
individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu
yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya
interaksi timbal balik maupun tidak yang akan direspon sebagai
pengetahuan oleh setiap individu.
23. 23
5. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
masa lalu.
Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan
memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman
belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan
mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan
menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam
bidang kerjanya.
6. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.
Pada usia madya, individu akan berperan aktif dalam masyarakat dan
kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya
upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan
lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca.
Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan
verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua sikap
tradisional mengenai jalannya perkembangan selama hidup :
a. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang
dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah
pengetahuannya.
b. Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua
karena mengalami kemunduran baik fisik maupun mental. Beberapa
teori berpendapat bahwa IQ sesorang akan menurun cepat sejalan
dengan bertambahnya usia. Suatu studi intervensi berdasarkan
pendekatan budaya lokal menunjukkan adanya peningkatan skor rerata
24. 24
pengetahuan tentang pneumonia pada ibu balita yang mendapatkan
pendidikan kesehatan dari kader terlatih lebih tinggi bermakna 4 kali
jika di bandingkan dengan peningkatan skor rerata pengetahuan tentang
pneumonia pada ibu balita yang tidak mendapat pendidikan kesehatan
(Kresno dalam Ariyanto, 2006). Hasil penelitian Ariyanto (2006),
menunjukkan bahwa ibu balita yang pengetahuannya kurang tentang
ISPA mempunyai risiko terhadap balitanya untuk menderita ISPA 3,67
kali lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan ibu yang baik tentang
ISPA.
2.3 Berat Bayi Lahir
Berat badan lahir ditetapkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram.
Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) akan meningkatkan resiko kesakitan
dan kematian karena bayi rentan terhadap kondisi-kondisi infeksi saluran
pernapasan bagian bawah.
Ibu yang sedang hamil harus mendapatkan asupan makanan yang
cukup dengan gizi seimbang, kekurangan asupan gizi pada saat hamil dapat
menyebabkan bayi yang dilahirkan berat badannya rendah. Penyakit anemia
defisiensi zat besi pada ibu yang tengah hamil juga dapat menyebabkan bayi
lahir dengan berat badan rendah atau bayi lahir prematur. Jika ibu hamil
menderita anemia berat, risiko morbiditas maupun mortalitas bagi ibu dan
bayinya meninggi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan premature lebih
besar (Pudjiadi, 2000).
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan gizi dan
kecenderungan untuk mudah menderita penyakit menular seperti ISPA, diare,
dsb. Dari hasil penelitian, didapatkan adanya hubungan bermakna antara berat
lahir rendah dengan kejadian ISPA pada balita (Ariyanto, 2006).
25. 25
2.4 Status ASI
ASI merupakan makanan paling baik untuk bayi. Komponen ASI
sudah cukup menjaga pertumbuhan dari lahirnya bayi sampai umur 6 bulan.
Bayi harus diberikan ASI secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan
(Depkes, 2002). Lebih dari 6 bulan pemberian ASI maka kebutuhan bayi harus
diteruskan atau ditambahkan dengan pemberian makanan pendamping selain
ASI (proses menyapih).
Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa
tambahan makanan atau minuman apapun (seperti susu formula, jeruk, madu,
air teh, air putih), dan tanpa makanan tambahan (seperti pisang, pepaya, bubur
susu, biskuit, bubur nasi dan tim). Anak sampai usia enam bulan pertama
hanya membutuhkan ASI saja. ASI menyediakan segala-galanya yang
dibutuhkan anak usia ini (BKKBN, 2001). Sedangkan menurut Rusli (2004)
ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan
tanpa memberikan makanan/cairan lain.
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya
antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan
perlindungan terhadap berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi (Depkes,
2002).
ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri
dan virus. Terutama selama minggu pertama (4 sampai 6 hari) payudara akan
menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang mengandung zat kekebalan
(imunoglobin, komplemen, lisozim, laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang
sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi yang mendapat ASI
Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena
dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim,
2004). Sementara itu, sel limfosit B di lamina propria payudara memproduksi
IgA1 yang disekresi, berupa sIgA1. SIgA ASI mengandung antibodi terhadap
virus polio, rotavirus, influenza, Haemophilus influenzae, virus respiratory
sinsisial (RSV), streptococcus pneumoniae, shigela, salmonella dan E.coli.
26. 26
Oleh kaena itu, ASI mampu mengurangi morbiditas Infeksi saluran pencernaan
dan pernapasan bagian atas. SIgA ASI meningkat pada mukosa traktus
respiratorius di empat hari pertama kehidupan, sehingga dapat mengurangi
penyakit otitis media dan pneumonia. Fakta tersebut lebih nyata pada enam
bulan pertama, namun bisa tampak hingga tahun kedua. Svanborg dan timnya
telah melakukan penyelidikan yang luas dalam kemampuan ASI untuk
melindungi lapisan usus dari bakteri pneumokokus invasif seperti yang
menyebabkan peningkatan tingkat infeksi saluran pernapasan atas dan otitis
media pada anak-anak tidak disusui.
Studi meyakinkan juga menunjukkan perlindungan yang signifikan
terhadap diare, infeksi saluran pernapasan, otitis media (infeksi telinga), atau
infeksi saluran kemih, tim Silfverdal juga menyarankan bahwa peningkatan
sistem kekebalan tubuh bisa bertahan selama tahunan, di luar periode
menyusui itu sendiri (The Pediatric Infectious Disease Journal, 2002).
Penelitian Gani (2004), menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA
5,3 kali tidak mendapatkan ASI eksklusif dibandingkan dengan anak balita
yang tidak menderita ISPA.
2.5 Status Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang dapat di
terima semua kalangan dan sangat efektif dalam upaya menurunkan kematian
bayi dan balita. Tujuan pemberian imunisasi adalah memberika kekebalan
pada anak balita terhadap penyakit tertentu. Imunisasi dasar bagi balita
meliputi imunisasi Hepatitis B, BCG, DPT, Polio, dan campak sebelum balita
berumur 1 tahun. Balita yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap,
maka akan mudah terserang penyakit. Imunisasi dasar yang tidak lengkap,
maksimum hanya dapat memberikan perlindungan 25%-40%, sedangkan anak
yang sama sekali tidak diimunisasi, tentu tingkat kekebalannya lebih rendah
lagi (Ibrahim dalam Arianto, 2006).
27. 27
Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah salah satu jenis penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat
dicegah dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan campak.
Disisi lain penyakit ISPA pada saat ini tidak dapat dicegah secara
langsung melalui imunisasi, karena belum tersedianya vaksin yang khusus
untuk mencegah penyakit ISPA (Arthag, 1992).
Penelitian di Indramayu (Sutrisna, 1993) mengidentifikasi adanya
hubungan antara status imunisasi campak dan timbulnya kematian akibat
ISPA, anak-anak yang belum pernah menderita campak dan belum
mendapatkan imunisasi campak mempunyai resiko meninggal lebih besar.
2.6 Adanya Perokok Dalam Rumah
Merokok diketahui mengganggu efektivitas sebagian mekanisme
pertahan respirasi. Produk asap rokok diketahui merangsang produksi mukus
dan menurunkan pergerakan silia. Sehingga terjadi stimulasi stimulasi mukus
yang kental dan terperangkapnya partikel atau mikroorganisme di jalan napas,
yang dapat menurunkan pergerakan udara dan meningkatkan risiko
pertumbuhan mikroorganisme.
Bayi dan balita yang terpajan asap rokok sebelum dan sesudah
kelahiran memperlihatkan peningkatan angka ISPA, dibandingkan dengan
bayi dan balita dari orang tua yang bukan perokok. keluaran urin yang
mengandung metabolit nikotin meningkat drastis pada anak-anak dari orang
tua perokok dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang bukan
perokok. Beberapa metabolit nikotin bersifat karsinogen dan mengiritasi paru.
Kesehatan yang kian mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin
banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan
kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif)
yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Perokok pasif akan
mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni,
2003).
28. 28
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream
sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream.
Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang
sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau
lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok
pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
(IAKMI) mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung
dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di
udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya (Noorastuti,
2010).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar
risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan,
memperburuk asma dan memperberat penyakit angina pectoris serta dapat
meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita.
Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran
pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan
lainnya (Dachroni, 2002).
Hasil studi di Italy, menyimpulkan bahwa 21% infeksi saluran
pernafasan akut pada usia 2 bulan pertama kehidupan dipengaruhi oleh adanya
orang tua perokok dalam rumah (Forastiere et al., 2002)
Menurut Kusnoputranto dalam Ariyanto (2006), bahwa asap rokok
dari orang tua maupaun dari orang lain yang tinggal dalam rumah, tidak saja
merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius tapi juga akan
menambah risiko kesakitan dari bahan toksik yang lain, bahwa anak-anak
terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama
memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan gangguan paru-
paru pada waktu dewasa nanti.
Asap rokok dan asap dapur dapat merusak mekanisme pertahanan paru
sehingga mudah menderita ISPA (Sutrisna, 1993).
29. 29
Hasil penelitian Ariyanto (2006) menyatakan balita yang tinggal di
rumh dengan adanya perokok mempunyai kemungkinan mendapatkan
gangguan pernapasan sebanyak 1,986 kali di banding dengan balita yang
tinggal serumah dengan tidak adanya perokok dalam rumah.
2.7 Bahan Bakar Memasak
Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak
seharihari adalah minyak tanah, kayu, gas dan listrik. Pada daerah pedesaan
masih sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar karena
lebih aman dan mudah didapat. Namun demikian sumber energi kayu bakar
dan minyak tanah sangat mencemari udara dan mengganggu kesehatan
manusia, karena hasil pembakarannya mengandung particulate, sulfur oksida,
nitrogen oksida, karbonmonoksida, fluoride, aldehida dan senyawa
hydrocarbon (Kusnoputranto, dalam Irianto (2006).
Apabila sarana ventilasi pada rumah tidak baik dan dapurnya tidak
dilengkapi dengan cerobong asap, maka asap dari dapur akan memenuhi
ruangan dan menyebabkan sirkulasi udara dalam ruang kurang baik, sehingga
kandungan partikulat dan kandungan bahan kimia dari asap tersebut tidak
dapat keluar, hal ini maka akan mempermudah balita terserang penyakit
pernapasan. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah memberikan
kesempatan 3,8 kali lebih besar untuk mendapatkan ISPA pada balita
dibandingakan dengan bahan bakar gas (Soesanto, dkk, 2000).
Hasil penelitian Kendall dan Leeder (1985) dalam Soesanto, dkk
(2000), menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar
di dapur mungkin berperan walaupun tidak begitu nyata apabila keadaan sosial
ekonomi penghuninya baik. Begitupula dengan hasil penelitian Handayani
(1997), bahwa terdapat hubungan yang paling kuat antara jenis bahan bakar
yang digunakan dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Rumah
dengan bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih
besar untuk mendapatkan ISPA pada anak balita dibandingkan dengan bahan
bakar gas.
30. 30
2.8 Kerangka Teori
Sumber : modifikasi dari : Purawidjaja (2000), Mudehir (2002), Depkes RI
(2004) dalam Irianto (2006).
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Sumber pencemaran
udara dalam ruang
Bahan bakar
masak
Adanya perokok
Pemakaian Obat
nyamuk bakar
Lingkungan fisik
rumah
Ventilasi
Jenis lantai
Jenis dinding
Pencahayaan
Suhu
Kelembaban
Kepadatan hunian
Karakteristik ibu
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Status ekonomi
Karakteristik balita
Umur
Jenis Kelamin
Berat badan lahir
Status ASI
Status imunisasi
Pemberian Vit A
Status gizi
Pemberian MP-ASI
Mikroorganisma Virus,
bakteri, ricketsia
ISPA Balita
31. 31
2.9 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Pengetahuan ibu
Karakteristik balita :
BBL
Status ASI
Status imunisasi
Sumber pencemaran udara
dalam ruang :
Ada perokok dalam rumah
Bahan bakar memasak
ISPA pada
Balita
32. 32
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis rancangan
deskriptif
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Penelitian
Variabel Bebas (independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu,
karakteristik balita dan sumber pencemaran udara dalam ruang.
Variabel terikat (Dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian ISPA pada balita
3.2.2 Definisi Operasional
No
.
Variabel Definisi operasional Cara ukur/
Alat ukur
Hasil ukur Skala
data
1. Kejadian
ISPA pada
balita
Suatu penyakit Infeksi
yang menyerang saluran
pernafasan mulai dari
hidung sampai paru-
paru dan bersifat akut
dengan tanda-tanda
batuk pilek, dalam
kurun waktu 4 minggu
terakhir, pada usia 0 - 59
bulan.
Wawancara/
Kuesioner
0. Sakit
1. Tidak sakit
Ordinal
2. Pengetahuan
ibu
Pengetahuan ibu tentang
penyakit ISPA (gejala,
penyebab dan bahaya).
Dengan nilai skor 1-2
Wawancara/
Kuesioner
0. Kurang
(< mean)
1. Baik
( ≥ mean)
Ordinal
33. 33
dari setiap pertanyaan,
jumlah skor terbesar 14,
dan nilai mean = 7
3. Berat Bayi
Lahir
Riwayat berat badan
balita saat dilahirkan.
Wawancara/
Kuesioner
KMS
0. BBLR
(<2500 gr)
1. Normal
(≥2500 gr)
Ordinal
4. Status ASI Riwayat balita
mendapatkan ASI
eksklusif (0-6 bulan).
Wawancara/
Kuesioner
0.Tidak
eksklusif
1.ASI
eksklusif
Ordinal
5. Status
Imunisasi
Keadaan kelengkapan
imunisasi balita sesuai
umur saat dilakukan
wawancara.
Wawancara/
Kuesioner
KMS
0. Tidak
lengkap
1. Lengkap
Ordinal
6. Keberadaan
perokok di
rumah
Adanya salah satu
penghuni rumah yang
mempunyai kebiasaan
merokok di dalam
rumah
Wawancara/
Kuesioner
0. Ada
1. Tidak ada
Ordinal
7. Bahan bakar
memasak
Jenis bahan bakar yang
biasa di pakai saat
memasak dalam rumah.
Wawancara/
Kuesioner
0. Kayu
bakar,
minyak
tanah
1. Gas, listrik
Ordinal
Table 3.1 Definisi Operasional
34. 34
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita di
wilayah kerja posyandu samangawa desa Sakuru kecamatan Monta.
3.3.2 Sampel
Kriteria Sampel
Sampel dari penelitian ini merupakan bagian dari populasi yang
memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah:
1. Bayi laki-laki dan perempuan yang berusia 0 sampai 59 bulan
2. Ibu bayi bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini
Adapun kriteria eksklusi yaitu kriteria yang menghilangkan
kemungkinan populasi untuk menjadi sampel penelitian meliputi:
1. Ibu bayi tidak bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini.
2. Ibu yang mempunyai balita yang tidak berada di tempat saat
diadakan penelitian
Cara penentuan sampel dan besar sampel
Penentuan sampel penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling, yaitu mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden
atau sampel. Sehingga total sampel pada penelitian ini adalah sebanyak
15 sampel.
3.4 Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
Pengumpulan data
Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara dan observasi secara
langsung terhadap responden untuk mengetahui kejadian ISPA dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Setelah data terkumpul dari hasil wawancara
dan observasi dilakukan pengolahan data dengan sistem skoring
35. 35
Instrument penelitian
Instrument merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data
(Notoatmodjo, 2010). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Kuesioner
Kuesioner berisi beberapa pertanyaan yang terstruktur untuk mengetahui
karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
ISPA pada balita
2. Lembar persetujuan responden
Sebagai tanda persetujuan menjadi subjek penelitian
3. Kartu Menuju Sehat
Digunakan untuk melihat status imunisasi dan berat badan lahir
3.5 Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
3.6 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.6.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di posyandu samangawa desa Sakuru kecamatan
Monta.
Populasi
Sampel
Pengumpulan data
(wawancara)
Teknik sampling
(purposive
sampling)
Analisa Data
36. 36
3.6.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan tanggal 12 September 2018
3.7 Pengolahan Dan Analisis Data
Pengolahan data
Setelah pengumpulan data, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap
yaitu:
a) Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau
kuesioner apakah jawaban yang ada pada kuesioner sudah jelas, lengkap,
relevan dan konsisten.
b) Coding
Melakukan pemberian kode-kode tertentu dengan tujuan mempersingkat
dan mempermudah pengolahan data.
c) Entry data
Data yang telah diedit dan diberi kode kemudian diproses ke dalam
program komputer.
d) Cleaning data
Melihat kembali data yang telah dimasukkan atau sudah dibersihkan dari
kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada entry data.
Analisis Data
Analisis data dalam hal ini menggunakan teknik sebagai berikut:
1) Analisis univariat
Analisis ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing
variabel, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Adapun yang
dianalisa adalah variabel bebas (pengetahuan ibu, karakteristik balita,
sumber pencemaran udara dalam ruang) dan variabel terikat (ISPA pada
balita).
3.8 Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika
penelitian yang meliputi:
37. 37
3.8.1 Informed consent
Sebelum melakukan penelitian calon responden diberi penjelasan
tentang tujuan dan manfaat penelitian. Apabila calon responden bersedia
untuk diteliti maka calon responden harus menandatangani lembar
persetujuan tersebut dan jika responden menolak untuk diteliti maka
peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormatinya.
3.8.2 Anonymity
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian, maka
peneliti tidak mencantumkan subjek penelitian. Untuk memudahkan
digunakan dalam mengenali identitas, peneliti menggunakan nomor atau
kode responden.
3.8.3 Confidientiality
Informasi yang diberikan oleh reposnden serta semua data yang
terkumpul dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.
38. 38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu,
karakteristik balita dan pencemaran udara dalam ruang dengan kejadian ISPA
pada balita yang telah dilaksanakan pada Tanggal 12 September 2018 di Wilayah
Kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta. Jumlah
keseluruhan sampel yang digunakan sebanyak 15 responden. Pengukuran tingkat
pengetahuan, karakteristik balitadan pencemaran udara dalam ruang
menggunakan kuesioner dan Kartu Menuju Sehat. Berdasarkan penelitian yang
telah dilaksanakan di Wilayah Kerja Posyandu Raberas Kecamatan Seketeng
maka diperoleh hasil sebagai berikut:
4.1.1 Analisis Univariat
Analisis digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing varibel, baik
variabel bebas maupun variabel terikat.jumlah responden yang diteliti
adalah 15 responden.
4.1.1.1 Gambaran kejadian ISPA pada balita
Distribusi kasus ISPA pada balita di wilayah kerja Posyandu
Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta dapat dilihat pada
tabel 4.1 Hasil penelitian bahwa balita yang terkena ISPA pada 4
minggu terakhir sebanyak 14 (93,3%) dan 1 balita (6,7%) tidak
menderita ISPA dalam 4 minggu terakhir. Hal ini berarti masih
tingginya kasus ISPA pada balita di wilayah kerja Posyandu
Samangawa Desa Sakuru Kecamatan Monta.
39. 39
ISPA Balita
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Ya 14 93.3 93.3 93.3
Tidak 1 6.7 6.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.1 Distribusi Responden berdasarkan Kejadian ISPA
Balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Kecamatan Monta
Grafik 4.1 Distribusi Responden berdasarkan Kejadian ISPA
Balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Kecamatan Monta
4.1.1.2 Gambaran Pengetahuan Ibu
Dari hasil penelitian pada semua responden (15 ibu balita), pada
tabel 4.2 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan
kurang tentang ISPA sebanyak 9 orang (60%), sedangkan 6 orang
(40%) ibu lainnya berpengetahuan baik tentang penyakit ISPA.
Artinya ibu-ibu balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Ya Tidak
ISPA Balita
40. 40
Desa Sakuru Puskesmas Monta masih kurang terpapar dengan
informasi mengenai penyakit ISPA.
Pengetahuan Ibu Balita
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Baik 6 40.0 40.0 40.0
Kurang 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.2 Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu
Balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
Grafik 4.2 Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan Ibu
Balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
4.1.1.3 Gambaran Karakteristik Balita
Hasil penelitian dari 15 responden, terdapat 10 balita (66,7%)
yang lahir dengan berat badan lahir rendah, dan 5 balita (33,3%)
lainnya lahir dengan berat badan normal. Ada 10 balita (66,7%)
yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sedangkan 5 balita
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Baik Kurang
Pengetahuan Ibu Balita
41. 41
(33,3%) mendapat ASI eksklusif. dan proporsi balita yang tidak
mendapat imunisasi lengkap sebanyak 3 (20%) sedangkan balita
yang telah imunisasi lengkap adalah 12 (80%). Hal ini
menujukkan banyaknya ibu yang melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah, masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI
secara eksklusif di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa
Sakuru Puskesmas Monta, namun presentase capaian imunisasi
lengkap cukup tinggi.
Tabel 4.3 Distribusi Responden berdasarkan berat badan lahir
balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
Grafik 4.3 Distribusi Responden berdasarkan berat badan lahir
balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
≥ 2500 gram < 2500 gram
Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
≥ 2500 g 5 33.3 33.3 33.3
< 2500 g 10 66.7 66.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
42. 42
Status ASI
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Eksklusif 5 33.3 33.3 33.3
non-
eksklusif
10 66.7 66.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.4 Distribusi Responden berdasarkan status ASI balita di
wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Puskesmas
Monta
Grafik 4.4 Distribusi Responden berdasarkan status ASI balita di
wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Puskesmas
Monta
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
Eksklusif Non-eksklusif
Status ASI
43. 43
Status Imunisasi
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Lengkap 12 80.0 80.0 80.0
Tidak
lengkap
3 20.0 20.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.5 Distribusi Responden berdasarkan status Imunisasi
balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
Grafik 4.5 Distribusi Responden berdasarkan status Imunisasi
balita di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
4.1.1.4 Gambaran Sumber Pencemaran dalam Ruang
Hasil penelitian diketahui terdapat 9 balita (60%) yang tinggal
serumah dengan perokok, dan hanya 6 (40%) balita lainnya
tinggal di rumah tidak terdapat perokok. Hal ini menunjukkan
bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki kebiasaan
merokok di dalam rumah di Wilayah Kerja Posyandu Samangawa
Desa Sakuru Kecamatan Monta.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Lengkap Tidak Lengkap
Status Imunisasi
44. 44
Hasil penelitian dan pengamatan tentang jenis bahan bakar yang
digunakan saat memasak didapatkan ibu balita yang
menggunakan bahan bakar kayu/ minyak tanah sebanyak 13
(86,7%) sedangkan 2 (13,3%) ibu balita yang lain menggunakan
gas/ listrik sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki
kebiasaan memasak menggunakan minyak tanah/kayu bakar di
Wilayah Kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru Kecamatan
Monta.
Kebiasaan Merokok dalam Rumah
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Tidak 6 40.0 40.0 40.0
Ya 9 60.0 60.0 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.6 Distribusi Responden berdasarkan kebiasaan merokok
dalam rumah di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
Grafik 4.6 Distribusi Responden berdasarkan kebiasaan merokok
dalam rumah di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
0%
50%
100%
150%
200%
250%
300%
Tidak Ya
Kebiasaan Merokok dalam Rumah
45. 45
Bahan Bakar Memasak
Frequency Percent Valid
Percent
Cumulative
Percent
Valid
Gas 2 13.3 13.3 13.3
Minyak
tanah
13 86.7 86.7 100.0
Total 15 100.0 100.0
Tabel 4.7 Distribusi Responden berdasarkan bahan bakar
memasak di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
Grafik 4.7 Distribusi Responden berdasarkan bahan bakar
memasak di wilayah kerja Posyandu Samangawa Desa Sakuru
Puskesmas Monta
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Gas/Listrik Minyak tanah/Kayu Bakar
Bahan Bakar Memasak
46. 46
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Masih tingginya angka kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Posyandu
Samangawa Desa Sakuru Puskesmas Monta Kabupaten Bima.
Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA masih rendah. Masih banyak ibu
balita yang tidak mengetahui penyebab, faktor-faktor risiko dan bahaya dari
penyakit ISPA, kebanyakan ibu menyatakan ISPA merupakan suatu penyakit
biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya.
Sebagian besar penderita ISPA lahir dengan berat badan lahir rendah dan ASI
non-eksklusif. Meskipun cakupan imunisasi sudah cukup baik namun angka
kejadian ISPA pada balita yang mendapat imunisasi lengkap masih tinggi.
Pencemaran udara dalam ruang mempengaruhi kesehatan balita, terutama
untuk terserang penyakit ISPA. Sebagian besar penderita ISPA hidup bersama
dengan perokok dan menggunakan bahan bakar minyak tanah serta kayu
bakar.
5.2 Saran
5.2.1 Saran bagi Masyarakat
Kepada anggota keluarga yang merokok khususnya para bapak, untuk
tidak merokok dalam rumah, atau sedapat mungkin berhenti
mengkonsumsi rokok.
Perlu diupayakan peningkatan pengetahuan bagi Kepala Keluarga atau
bapak tentang pentingnya menciptakan lingkungan sehat dalam
keluarga.
Bagi ibu hamil dianjurkan menjaga kesehatannya dengan memeriksakan
kehamilannya secara rutin ke petugas kesehatan agar dapat melahirkan
bayi yang sehat dengan berat badan normal.
47. 47
Kepada masyarakat agar selalu mendukung ibu menyusui untuk
memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai dengan usia 6 bulan
pertama.
5.2.2 Saran bagi Petugas Kesehatan
Memprioritaskan upaya preventif seperti membentuk wadah untuk
sarana penyuluhan khususnya untuk para bapak, yang mana pada saat
pertemuannya petugas dapat memberikan penyuluhan kepada bapak-
bapak mengenai kesehatan lingkungan rumah, keluarga maupun untuk
dirinya sendiri. Dengan harapan apa yang disampaikan dalam pertemuan
dapat diterapkan di lingkungannya masing-masing, berdasar
pertimbangan bahwa bapak adalah pemegang keputusan dalam rumah
tangga.
Perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
khususnya ibu tentang gejala dan tanda bahaya, penyebab, penularan,
cara mencegah dan mengatasi balita yang sakit ISPA.
5.2.3 Saran Penelitian Lanjut
Hasil penelitian ini masih banyak kelemahannya, walaupun demikian
harapannya hasil yang didapatkan bisa dipakai sebagai bahan bagi
peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit
ISPA dengan desain berbeda dan variabel-variabel lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
48. 48
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Budiman, Dr. (2006). Pengantar Kesehatan Lingkungan. EGC, Jakarta.
Chin, James, MD, MPH. (2006). Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Infomedika, Jakarta.
Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku saku patofisiologi, edisi revisi 3. EGC, Jakarta.
Depkes RI. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut. Depkes RI Dirjen P2PL, Jakarta.
Djojodibroto, Darmanto, R, Dr, Sp.P, FCCP. (2009). Respiratologi (Respiratory
Medicine). EGC, Jakarta.
Erfandi. (2009). Pengetahuan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi.
http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/04/19/pengetahuan-danfaktor-
faktor-yang-mempengaruhi/ . Pro-Health. Kamis 10 september 2018.
Irianto, Bambang. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik
Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah
Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana IKM UI.
Kasjono, Heru Subaris dan Yasril. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian
Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka
Cipta, Jakarta
Nurjazuli dan Retno Widyaningtyas. (2009). Jurnal Respirologi Indonesia, Majalah
resmi perhimpunan dokter paru Indonesia, Vol. 29, No. 2.
Price, Sylvia, A (et.al). (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2. EGC, Jakarta.
49. 49
Weber, W. Martin, et.al.(1998). Respiratory syncytial virus infection in tropical and
developing countries. Tropical Medicine and International Health, vol. 3
no. 4 PP 268-280.WHO. Geneva, Switzerland.
50. 50
KUESIONER PENELITIAN
Gambaran Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita dan Pencemaran Udara dalam
Ruang Terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Monta Kabupaten Bima
Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2018
I. Karakteristik Ibu Balita
1. Nama ibu :………………………
2. Alamat :………………………
3. Umur :………………………
4. Pendidikan : a. Tidak sekolah d. Tamat SLTP
b. Tidak tamat e. Tamat SMU/ Diploma
c. Tamat SD f. Tamat D3/ PT
5. Pekerjaan ibu: a. Ibu Rumah Tangga e. Karyawan/ buruh
b. PNS/ ABRI f. Wiraswasta
c. Pegawai swasta g. Pedagang
d. petani
II. Karakteristik Balita
1. Nama Anak : …………
2. Umur : ………..
3. Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
4. Berat badan saat lahir :
a. < 2500 gr b. ≥ 2500 gr
5. Apakah berat badan balita ibu pernah berada di bawah garis merah?
a. Ya 2. Tidak
6. Berapakah berat badan balita ibu saat ini?...........Kg
51. 51
7. Apakah balita ibu pernah diimunisasi DPT?
a. Ya b. Tidak
8. Bila ya, berapa kali?............
9. Apakah balita ibu pernah diimunisasi campak?
a. Ya b. Tidak
10. Apakah sejak lahir balita ibu diberi ASI?
a. Ya b. Tidak
11. Pada usia berapa ibu memberikan MP-ASI?
a. < 6 bulan b. ≥ 6 bulan
12. Apakah ibu membawa balita datang ke puskesmas untuk berobat?
a. Ya b. Tidak
13. Kapan terakhir balita ibu menderita penyakit panas, batuk, pilek?
a. Sebulan yang lalu b. 2 minggu yang lalu c. Saat ini
d. Lainnya, sebutkan……………..
III. Pengetahuan Ibu Tentang ISPA
14. Apakah ibu pernah mendengar penyakit ISPA (batuk, pilek, napas sesak/
cepat)?
a. Pernah b. Tidak
52. 52
15. Menurut ibu, apa saja tanda-tanda (gejala) penyakit ISPA? (jawaban bisa
lebih dari satu)
1. Batuk 2. Sesak napas
3. Napas cepat 4. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
5. Lain-lain, sebutkan :…….
6. Tidak tahu
16. Menurut ibu penyakit ini disebabkan oleh apa?
(jawaban bisa lebih dari satu)
1. Bakteri 2. Virus
3. Kuman 4. Cuaca buruk
5. Debu 6. Takdir
7. Tidak tahu 8. Lain-lain, sebutkan……
17. Menurut ibu, apakah penyakit ISPA termasuk penyakit yang berbahaya?
a. Ya b. Tidak
18. Bila ya, sebutkan alasannya…………
19. Apa saja yang menyebabkan balita mudah terkena ISPA?
(jawaban bisa lebih dari satu)
a. Tertular oleh penderita batuk
b. Imunisasi yang tidak lengkap
c. Kurang gizi serta pemberian ASI yang tidak memadai
d. Menghirup asap atau debu secara berulang-ulang
53. 53
e. Tinggal di lingkungan yang tidak sehat
20. Bagaimana cara ibu untuk mencegah agar balita tidak terkena penyakit
ISPA?
(jawaban bisa lebih dari satu)
a. Menjauhkan balita dari penderita batuk
b. Imunisasi lengkap
c. Memberikan ASI pada bayi/balita dari usia 0-2 tahun
d. Lingkungan dan ruangan yang bebas dari pencemaran udara
e. Menjauhkan bayi dari asap ( rokok, kendaraan, dll) dan debu
21. Apa yang ibu lakukan, apabila anak balita mengalami batuk dan sesak?
a. Diobati sendiri lebih dulu
b. Di bawah ke dokter/ perawat/ bidan/ Rumah Sakit
c. Dibiarkan
d. Lain-lain, sebutkan : ……..
IV. Pencemaran udara dalam ruang
22. Apa jenis bahan bakar yang paling sering digunakan untuk memasak di
rumah?
a. Gas b. Listrik
c. Minyak tanah d. Kayu bakar
23. Apakah dalam keluarga Ibu ada yang merokok di dalam rumah?
a. Ya b. Tidak