Teks tersebut membahas perjuangan emansipasi wanita sejak zaman dahulu hingga saat ini. Pada awalnya, wanita diperlakukan dengan sangat tidak adil dan rendah di berbagai belahan dunia. Namun, perlahan nasib wanita mulai membaik seiring perkembangan peradaban. Meski demikian, gerakan feminis yang berkembang di Barat kemudian menyebarkan gagasan persamaan hak antara laki-laki dan wanita tanpa memper
1. Benarkah Kartini Mengajarkan Emansipasi?
Sejak dulu wanita dijajah pria! barangkali penggalan bait lagu ini membuat kita bertanya-
tanya, mengapa wanita merasa terjajah oleh kaum pria. Jika kita coba telusuri, sejak kira-kira
tahun 200 Sebelum Masehi, nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang . Kaum laki-
laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka
dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang
suami dalam memperlakukan istrinya.
Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di
Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab,
lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-
hidup. Di Mesir dan Persia , perlakuan terhadap perempuan tak kalah sadisnya.
Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai
predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan
kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang
perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah
SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan yang tiada
tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda Rasulullah SAW ini
mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti seorang perempuan) adalah salah satu
penentu dalam meraih surga. Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai
luhur.
Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga akhirnya pada awal abad
ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar, seiring dengan peradaban, sains dan teknologi
yang ditawarkan oleh Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang
dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation
(Gerakan Pembebasan Wanita).
2. Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya memperoleh kesamaan hak. Mereka
memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi
demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminisme di AS
difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena kala itu wanita
disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga
pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-
hak mereka sebagai warga negara.
Setelah tuntutan itu terpenuhi, gerakan feminisme agak tenggelam hingga tahun 1950-an.
Saat itu kedudukan wanita yang ideal sebagai ibu rumah tangga tak pernah digugat, meski
sudah banyak wanita yang aktif bekerja di luar rumah sebagai buah revolusi industri. Pada
tahun 1960, isu feminisme berkembang lagi di AS. Tujuannya adalah menyadarkan kaum
wanita bahwa pekerjaan yang dilakukan di sektor domestic (rumah tangga) merupakan hal
yang tidak produktif. Kemunculan kembali isu ini karena diilhami oleh buku karya Betty
Freidan berjudul The Feminine Mystiquue (1963). Freidan mengatakan bahwa peran
tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga adalah faktor utama penyebab wanita tidak
berkembang kepribadiannya.
Untuk itu, wanita tidak harus kawin dan punya anak agar tidak membebani dan menghambat
pengembangan dirinya. Tokoh-tokoh feminis kala itu, memberikan dorongan kepada wanita
untuk membebaskan diri dari kewajiban kerumahtanggaan. Juliet Mitcher dalam bukunya
Women’s Estate (1971) mengatakan “menjadi ibu rumah tangga itu sama dengan menjadi
budak.” Tampak gerakan feminis kala itu berkembang menjadi wadah perjuangan untuk
membebaskan wanita dari rumah tangga dan membenci laki-laki. Laki-laki dipandang
sebagai figur penindas dan takut disaingi wanita. Gerakan kaum feminis yang mengecilkan
arti keluarga relatif berhasil mengubah persepsi terhadap keluarga konvensional pada
sebagian besar masyarakat AS.
3. Hal ini karena: Pertama, kuatnya pengaruh budaya materialisme yang mengukur segala
keberhasilan dengan bentuk materi. Kekuasaan dalam keluarga diukur dari banyaknya materi
yang dibawa ke dalam keluarga. Wanita dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga,
jika tidak menghasilkan materi (uang).
Kedua, individualisme yang dianut kuat di masyarakat. Sistem yang ada di Barat telah
menempatkan individu sebagai figur yang lebih penting dari kelompok. Individu adalah the
center of human action. Menurut paham ini, pekerjaan kerumahtanggaan dianggap sebagai
penindasan individu. Ketiga, teori neoclassical economics yang tidak memasukkan pekerjaan
domesticwanita dalam perhitungan GNP (Gross National Product). Dengan demikian wanita
dengan tugas reproduktifnya dan domestiknya seolah-olah tidak mempunyai kontribusi apa-
apa dalam pembangunan.
Gencarnya kampanye feminisme tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat AS, tetapi di
seluruh dunia, virus peradaban ini terus menginfeksi tubuh masyarakat. Hal ini terbukti dari
hasil yang dicapai pada Konferensi Wanita Sedunia (2 Juli 1975), di Mexico City.
Konferensi tersebut merupakan Puncak Tahun Wanita Internasional (TWI) dan menghasilkan
World Plan of Action of The International Women’s Year, sebagai pedoman bagi kegiatan
dalam jangka waktu 10 tahun. Hasil Konferensi ini diterima Majelis Umum PBB dan
dijadikan resolusi PBB yang mempunyai kekuatan untuk ditaati oleh semua negara anggota
PBB, tak terkecuali negeri-negeri Islam seperti Indonesia .
Munculnya tokoh-tokoh feminisme di negeri-negeri Islam seperti Fatima Mernissi (Maroko),
Nafis Sadik (Pakistan), Taslima Nasreen (Bangladesh), Amina Wadud, Mazharul Haq Khan
serta beberapa tokoh dari Indonesia seperti Wardah Hafidz, Myra Diarsi setidaknya menjadi
bukti bahwa gerakan inipun cukup laku di dunia Islam. Bahkan tak hanya dari kalangan
wanita, dari kalangan pria juga mendukung gerakan ini seperti Asghar Ali Engineer, Didin
Syafruddin, dan lain-lain. Di Indonesia, feminisme lebih dikenal dengan emansipasi wanita.
Tak sedikit orang-orang yang telah memperjuangkan emansipasi tersebut menjadikan RA
4. Kartini menjadi simbol perjuangannya. Pikiran-pikiran RA Kartini yang tertuang dalam
bentuk surat-menyurat kemudian dikumpulkan dalam satu buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang”.
Dari sini kita jadi bertanya? Benarkah RA Kartini yang telah mengajarkan emansipasi? Jika
ditilik lebih lanjut, apa yang diajarkan RA Kartini, pada dasarnya adalah peningkatan harkat
dan martabat wanita serta menuntut hak-hak wanita yang memang itu menjadi haknya dan
bukanlah emansipasi sebagaimana yang berkembang di Barat. Rupanya kiprah RA Kartini
telah disalahartikan atau memang sengaja dijadikan cantolan oleh para tokoh emansipasi
wanita di Indonesia untuk menggolkan tujuannya yakni menuntut persamaan hak antara laki-
laki dan wanita di segala bidang, bukan sekedar menuntut apa-apa yang memang menjadi
kaum wanita.
Bukankah Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan wanita dengan posisinya masing-
masing secara pas, tidak mengeksploitasi satu sama lain? Allah telah memberikan hak-hak
kepada wanita sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki, kecuali ada hal-hal khusus yang
diberikan Allah terkait dengan tabiat dan martabat wanita, seperti kemampuan hamil,
melahirkan dan menyusui yang tidak diberikan-Nya kepada laki-laki. [Siti Nuryati]