SlideShare a Scribd company logo
1 of 166
Download to read offline
Perencanaan dan Penganggaran Yang Berpihak
Pada Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan
LAPORAN PEMBANGUNAN
MANUSIA BERBASIS GENDER
PROVINSI PAPUA 2012
2 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini dipersiapkan untuk melengkapi Laporan
Pembangunan Papua 2012 yang diterbitkan oleh Bappeda Provinsi Papua dengan bekerjasama dengan UNDP serta
dengan melibatkan konsultasi yang intensif dengan berbagai wakil lembaga pemerintah, Majelis Rakyat Papua,
organisasi non pemerintah serta individu individu yang peduli pada persoalan gender di Provinsi Papua maupun di
tingkat nasional.
Laporan ini memberikan perhatian pada isu gender yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan perempuan Papua,
yaitu pada aspek kependudukan, aspek kemiskinan serta aspek yang tertinggal di beberapa bidang pembangunan
manusia yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Di samping itu, laporan ini juga mengangkat persoalan
pengambilan keputusan, otonomi perempuan, serta persoalan konflik dan kekerasan yang dihadapi perempuan.
Rangkuman dari Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini akan menjadi bagian yang
integratif dan kompelementatif dengan bab-bab yang ada di dalam Laporan Pembangunan Manusia Provinsi papua
2012 yang disusun oleh BAPPEDA provinsi Papua bekerja sama dengan UNDP Indonesia.
Informasi dan data yang dipresentasikan dalam persoalan gender pada Laporan ini menjadi dasar pertimbangan untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di tanah Papua. Rekomendasi yang dipresentasikan dalam Laporan ini
merupakan rekomendasi yang dirangkum dalam serangkaian rencana tindak gender yang disusun secara sistematis
dalam kerangka Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG). Rekomendasi rekomendasi tersebut
menggiring pada suatu aksi tanggap dalam bentuk RAD PUG yang memasukkan upaya perbaikan pada bidang utama
pembangunan manusia, yaitu pembangunan di bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang ekonomi di samping
upaya perbaikan di dalam upaya implementasi pelembagaan PUG, perbaikan kesetaraan gender dalam konteks otonomi
khusus dan upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan.
Persoalan gender di tanah Papua merupakan suatu isu yang urgen dan bersifat darurat. Upaya serius dan sistematis
melalui proses perencanaan dan penganggaan pembangunan yang responsif pada persoalan gender dan akuntabel
untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender merupakan upaya yang niscaya agar masyarakat Papua, khususnya
Orang Asli Papua perempuan, mendapatkan status yang sama dan tidak tertinggal dari saudara Indonesia mereka yang
lain. Suatu Rencana Aksi Daerah Pengarustumaan Gender dengan berfokus pada rencana aksi dan tanggap pada bidang
bidang utama, yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang ekonomi disusun, menjadi lampiran dan akan
menjadi referensi utama upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tanah Papua. Program dan kegiatan yang
tercantum dalam Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender ini hendak merefleksikan mendesaknya kebutuhan
intervensi yang sistematis, integrative, dan pada saat yang sama pragmatis dan implementatif, dengan melalui tindak
tindakan yang luar biasa. Prinsip-prinsip tersebut hendak mendorong lebih cepat upaya mewujudkan tanah Papua yang
damai, sejahtera dan setara di antara warganya, perempuan dan laki, tua muda warga asli Papua dan juga warga non
Papua serta bermartabat.
Kesetaraan antara perempuan di Tanah Papua, kesejahteraan dan kejayaan kita, perempuan Indonesia.
KATA PENGANTAR
3Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF
Diukur dengan indikator ekonomi serta indikator pembangunan manusia,
Papua merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Data SUSENAS
tahun 2010 menunjukkan bahwa Provinsi Papua tetap merupakan provinsi
termiskin dengan lebih dari 40 persen dari populasi penduduk tergolong
miskin.
Perempuan di Papua, secara khusus, memiliki persoalan kerentanan yang
berbeda dengan apa yang dihadapi oleh kelompok laki-laki dalam persoalan
kemiskinan yang mereka hadapi. Standar kesehatan maupun tingkat
pendidikan rata-rata perempuan Papua pada posisi terendah secara nasional.
Angka kematian Ibu meninggal karena melahirkan adalah sebesar 1.060 (BPS
2005) dan menurun menjadi sekitar 220 (BPS 2012) merupakan salah satu yang
tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi
Papua menunjukkan bahwa perempuan mengalami kekurangan gizi secara
serius. Sekitar 80% perempuan hamil mengalami anemia dan memerlukan
perawatanditahun2010.DenganprevalensiKekerasanterhadapRumahTangga
(KDRT) terhadap perempuan dan anak anak sebesar 13,6%, sekitar 10 % lebih
tinggi daripada prevalensi KDRT di tingkat nasional, kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak yang dilaporkan menunjukkan kecenderungan
adanya peningkatan. Namun demikian, upaya penanganan korban KDRT
masih terbatas dan belum dianggap sebagai persoalan pelanggaran hak asasi
manusia.
Dalam hal ekonomi, walaupun perempuan Papua merupakan pemain
utama dalam perekonomian namun pengakuan atas kerja ekonomi maupun
dukungan pengembangan dan pemberdayaannya masih terbatas.
Kesemua persoalan dan situasi gender di atas menjadikan Indikator
Pembangunan Gender (IPG) perempuan Papua lebih rendah dari kaum laki-
lakinya, sementara status perempuan Papua jauh tertinggal dibandingkan
dengan status perempuan lain di Indonesia. Data tahun 2012 menunjukkan
bahwa sepuluh Kabupaten dengan IPG terendah di Indonesia terdapat di
provinsi Papua.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 hendak
melaporkan status perempuan dan laki-laki Papua dan sekaligus merupakan
alat advokasi untuk mewujudkan kesetaraan gender di Papua. Laporan ini
mencakup presentasi isu gender pada aspek kependudukan dan demografi,
kesehatan, pendidikan dan ekonomi serta politik, di samping persoalan konflik
dan kekerasan terhadap perempuan dan anaik dan isu gender dalam konteks
otonomi khusus.
Disampingitu,perempuanmenghadapipengalamankemiskinanyangberbeda
dibandingkan dengan apa yang dialami laki-laki. Perempuan mendapatkan
perbaikan kepastian atas partisipasinya di arena politik, antara lain dengan
adanya ketersediaan sepertiga (1/3) dari Kursi di Majelis Rakyat Papua (MRP)
untuk diwakili oleh kelompok perempuan. Kepastian akan quota kursi di MRP
tersebut diatur dalam Undang Undang no 21/2000 tentang Otonomi Khusus
agar perempuan melalui aspek sosial dan budaya dapat mengkikis hambatan
Kemana Hilangnya Perempuan
Papua?
Rasio jenis kelamin yang menunjukkan
kecenderungan terus menurun dari
tahun ke tahun perlu diwaspadai.
Walausuatulaporanpenelitiantentang
penduduk Papua pada tahun 2007
menduga adanya pencatatan yang
tidak lengkap tentang anggota rumah
tangga perempuan sebelum dan
sesudah usia reproduksi yang dimulai
dari persentase yang rendah pada
pencatatan kelahiran bayi perempuan,
data dari Sensus Penduduk Indonesia
2010 mengindikasikan bahwa
ketidakseimbangan rasio penduduk
perempuan dibandingkan laki-laki
terjadipadasemuakelompokumur Hal
ini menandakan adanya kemungkinan
harapan hidup perempuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan laki-laki,
yang untuk situasi Indonesia yang terus
membangun adalah tidak normal.
4 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
untuk mendapat akses sumber daya ekonomi (tanah, modal dan pasar) serta untuk mendapat akses di dunia pendidikan
dan pelatihan. Namun demikian, aspirasi perempuan untuk menyuarakan kelompoknya di MRP masih terbatas.
Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua juga masih terbatas, hanya di bawah 10% pada
Pemilu 2009. Persoalan sistem politik yang tidak kondusif atas adanya partisipasi perempuan dan di samping adanya
beban berlebih perempuan dalam mengelola rumah tangga dan ekonomi keluarga yang membatasi waktu perempuan
menjadi pembatas perempuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan untuk berperan aktif di ruang publik,
baik di pemerintahan maupun di dunia politik.
Di mata perempuan Papua, Otonomi Khusus yang bertujuan untuk memberdayakan masyarat Papua, termasuk
perempuan, pada akhirnya hanya dirasakan sebagai bersifat politis saja. Perubahan sosial yang diharapkan dibawa oleh
Otsus, yang antara lain hendak memperbaiki status pendidikan, kesehatan dan kemandirian ekonomi masyarakat dan
perempuan Papua, belum secara signifikan terjadi. Dalam hal struktur ekonomi, perubahan pada umumnya di sektor
ekonomi pelayanan yang terjadi dengan adanya perluasan kesempatan perempuan bekerja di sektor formal, antara
lain sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan di sektor pelayanan seperti toko, restoran. Namun demikian, perubahan
tersebut hanya terbatas kemampuannya dalam berkontribusi pada pertembuhan ekonomi di perkotaan. Sementara itu,
perbaikan ketrampilan perempuan dalam sektor pertanian, yang menghidupi sekitar 60 persen keluarga Papua masih
terbatas. Walaupun persentase perempuan yang bekerja dengan dibayar makin meningkat, perempuan yang bekerja
tidak dibayar masih menjadi gambaran umum angkatan kerja perempuan Papua.
PENDUDUK PAPUA, DEMOGRAFI, DAN GENDER – HILANGNYA MAMA PAPUA
Data hasil Sensus Penduduk 2010 itu selanjutnya mencatat bahwa dari jumlah penduduk Papua sebesar 2.833.381 hanya
1.327.498 orang diantaranya adalah perempuan. Sementara, penduduk laki-lakinya adalah 1.505.883 laki-laki. Hal ini
menyebabkan penghitungan bahwa di antara 100 penduduk laki-laki terdapat hanya sekitar 88 orang perempuan. Data
demografi menunjukkan adanya ketimpangan yang makin memburuk pada rasio penduduk perempuan terhadap laki-
laki sejak tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada tahun 1995, rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,96
yang kemudian menurun menjadi 0,90 pada tahun 2000 dan menjadi 0,88 pada tahun 2010.
Beberapa indikasi ketidakseimbangan jumlah penduduk di perkampungan pada umumnya disebabkan oleh
terbatasnya fasilitas dasar kesehatan yang menyebabkan perempuan mengalami mortalitas atau kematian prematur
yang disebabkan oleh masih tingginya kasus kematian ibu karena hamil dan melahirkan, penyakit infeksi dan parasit
serta adanya kecenderungan meningkatnya pertumbuhan kasus HIV/AIDS di antara perempuan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan kasus di antara kelompok laki-laki. Di perkotaan, ketidakseimbangan jumlah
penduduk perempuan dan laki-laki mendapat kontribusi dari adanya migrasi penduduk karena alasan pekerjaan yang
tidak mengikutsertakan istri atau anggota keluarga. Tidak seimbangnya rasio penduduk berdasar jenis kelamin tersebut
membawa dampak pada beban kerja perempuan, khususnya di kalangan rumah tangga di perkampungan yang
mayoritas bermata pencaharian di bidang pertanian.
Pertumbuhan penduduk Papua mencapai sekitar 5,39 % pada sepuluh tahun terakhir dan diproyeksikan masih akan
meningkat sekitar 2,60% untuk masa 10 tahun yang akan datang. Data Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2007 mencatat adanya peningkatan angka fertilitas remaja dan kebutuhan ber “KB” yang tidak terjawab (‘the unmet
needs”) yang cukup tinggi, yaitu sekitar 21,4% pada tahun merupakan persoalan yang kritikal dalam hal kependudukan
di Provinsi Papua, termasuk di antaranya persoalan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diharapkan sehingga
berkontribusi pada tingginya kasus abortus yang tidak aman.
Papua menghadapi persoalan terbatasnya data, termasuk data kependudukan maupun data sosial dan ekonomi.
Staf Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, misalnya menghadapi persoalan sulitnya topografi dan geografis dalam
menjalankan peran mengumpulkan data. Kesulitan tipologi geografis tersebut meningkatkan biaya pengumpulan data
di beberapa wilayah di Papua yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan alat transportasi udara. Terbatasnya
data kependudukan juga disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan sipil
penduduk,baik pada pencatatan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian. Pencatatan penduduk dan sipil
menjadi sangat penting untuk meningkatkan informasi dan data yang tepat agar dapat diselenggarakan pelayanan
dasar pemerintah agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat Papua, perempuan dan laki-laki serta masyarakat yang
kebutuhan khusus dengan lebih efektif. Pencatatan sipil juga membantu masyarakat Papua khususnya masyarakat asli
5Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
Papua, perempuan dan kelompok miskin untuk dapat mengakses fasilitas
perlindungan sosial yang lebih purna.
	
KEMISKINAN DAN GENDER
Data kuantitatif tentang kemiskinan di Papua bervariasi tergantung metodologi
yang dipergunakan. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menggunakan metodologi dan variabel yang
berbeda untuk mencatat angka kemiskinan. Studi oleh UNICEF dan AusAID
tentang Kemiskinan dan Gender pada tahun 2007 mencatat bahwa bagi
masyarakat Papua asli, kemiskinan bukan diukur dari situasi kekurangan
atau tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan material tertentu namun
dilihat sebagai kurangnya kemampuan untuk menghasilkan penghasilan
untuk hidup. Namun jika masyarakat Papua asli ditanya tentang siapa saja di
masyarakatnya yang berada posisi kesejahteraan yang lebih baik, maka mereka
akan menjawabnya“pegawai negeri, guru, staf kesehatan”.
PEMBANGUNAN MANUSIA DAN GENDER – TERENDAH DI
INDONESIA
SelamainiPapuaselaluberadapadarankingterendahdalampencapaianIndeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang
merupakan IPM dengan mempertimbangkan perbedaan capaian perempuan
dan laki-laki. Walaupun IPM Papua terus menunjukkan peningkatan, namun
peningkatan tersebut tidak mengubah ranking Papua dalam pencapaian
IPM dibanding tingkat nasional. Sementara itu, IPG Papua masih begitu jauh
dibandingkan IPG di tingkat nasional. Artinya, kesenjangan yang ada di Papua
bukan hanya disebabkan oleh aspek perbedaan yang berbasis gender tetapi
juga ketertinggalan wilayah Papua.
Untuk IPM di tingkat kabupaten/kota, tingkat terendah ada di kabupaten
Jayawijaya. Kabupaten Jayawijaya bukan saja merupakan kabupaten dengan
tingkat IPM terendah, tetapi juga tingkat IPG yang terendah. Artinya, kualitas
hidup manusia yang rendah di Jayawijaya bukan hanya terjadi karena
kesenjangan geografis dan akses pada sumber daya pembangunan yang
mencolok di dalam provinsi dan di Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh
adanya kesenjangan gender di masyarakat ini. Namun demikian, IPG hanya
memberikan gambaran parsial terkait status perempuan dan laki-laki di Papua.
Hambatan yang dihadapi perempuan Papua lebih muncul ketika kita menilik
indikator yang lain yaitu pengukuran pemberdayaan perempuan yang diwakili
oleh indikator keterwakilan perempuan dalam parlemen dan juga kontribusi
perempuan dalam perekonomian di sektor non ekonomi yang disebut Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG). IDG Papua jauh di bawah IDG tingkat nasional.
Untuk Papua, IDG menjadi rendah karena persoalan ‘invisibility’ atau tidak
nampaknya peran perempuan dalam sektor ekonomi yang mayoritas bermata
pencaharian di sektor ekonomi subsisten.
PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN GENDER
Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Papua adalah 72,91 yang menunjukkan
trend positif. AHH perempuan adalah 74 sementara AHH laki-laki adalah 70,95.
AHH penduduk perempuan di Papua baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
Indeks Pembangunan Gender Papua
(IPG) berada terendah di tingkat
nasional. Kemiskinan yang ada di
Papua bukan hanya karena persoalan
ketertinggalan karena letak dan
situasi geografisnya tapi juga karena
kesenjangan dan diskriminasi yang
berbasis gender.
Sepuluh kabupaten dengan IPG
terendah, termasuk Jayawijaya,
terdapat di Provinsi Papua.
Indeks Pemberdayaan Gender
(IDG) Papua juga rendah, dan hal
ini mendapat kontribusi dari oleh
rendahnya partisipasi perempuan
di parlemen dan di sektor publik
pada posisi manajerial. Walaupun
perempuan Papua memiliki persentase
tertinggi secara nasional dalam
pendapatan ekonomi keluarga, namun
karena perempuan mayoritas ada di
sektor pertanian subsistens dan sedikit
perempuan yang berada di sektor
formal, maka IDG papua juga rendah.
Indeks Pembangunan Gender Papua
(IPG) berada terendah di tingkat
nasional. Kemiskinan yang ada di
Papua bukan hanya karena persoalan
ketertinggalan karena letak dan
situasi geografisnya tapi juga karena
kesenjangan dan diskriminasi yang
berbasis gender.
Sepuluh kabupaten dengan IPG
terendah, termasuk Jayawijaya,
terdapat di Provinsi Papua.
Indeks Pemberdayaan Gender
(IDG) Papua juga rendah, dan hal
ini mendapat kontribusi dari oleh
rendahnya partisipasi perempuan
di parlemen dan di sektor publik
pada posisi manajerial. Walaupun
perempuan Papua memiliki persentase
tertinggi secara nasional dalam
pendapatan ekonomi keluarga, namun
karena perempuan mayoritas ada di
sektor pertanian subsistens dan sedikit
perempuan yang berada di sektor
formal, maka IDG papua juga rendah.
6 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
kabupaten/kota juga terus meningkat dan lebih tinggi dari Angka Harapan Hidup laki-laki. Perolehan AHH perempuan
yang lebih tinggi dari AHH laki-laki konsisten dengan teori dan konsep yang berkembang secara umum, khususnya ketika
terdapat adanya pembangunan yang positif dalam hal prasarana dan sarana kesehatan di wilayah tersebut. Namun
demikian, perkembangan dan kecenderungan AHH tersebut nampak tidak konsisten dengan data rasio penduduk
berdasar jenis kelamin pada semua kelompok umur penduduk Papua dalam dekade terakhir. Perhitungan AHH yang
merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan sektor kesehatan dapat dihitung dengan menggunakan “life
table”. Namun demikian, karena keterbatasan data maka Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) serta UNDP sepakat untuk menghitung AHH dengan menggunakan pendekatan tak langsung
yaitu anak lahir hidup (ALH) dan anak masih hidup (AMH) yang merupakan penghitungan dengan pendekatan paket
program Mortpack. Nampaknya penghitungan dengan pendekatan progam Mortpack ini tidak mampu menjelaskan
situasi kesehatan masyarakat Papua secara akurat dan konsisten sehingga penggunaan AHH dan selanjutnya hasil
penghitungan kolektif IPM dan IPG perlu disertai data dan analis pendukung lainnya.
Penyakit utama di antara perempuan dan laki-laki di Papua adalah malaria, penyakit gangguan pernafasan dan
tuberkolosis (TBC). Walaupun pemantauan atas kasus HIV/AIDS dilakukan oleh semua kabupaten di Papua, namun
beberapa studi terkait HIV/AIDS mencatat adanya keterbatasan peralatan dan kapasitas di antara staf kesehatan untuk
merespons tingginya kasus HIV/AIDS.
Tingkat prevalensi HIV/AIDS di Papua adalah tertinggi di Indonesia and jumlah kasus yang dicatat menunjukkan angka
yang mengkhawatirkan. Kasus HIV/AIDS yang dicatat diduga hanyalah merupakan puncak gunung es dari persoalan
yang ada, mengingat perilaku seksual dan keberadaan fasilitas maupun tenaga kesehatan yang sangat terbatas.
Situasi dan kondisi kesehatan perempuan dan laki-laki Papua memberi indikasi bahwa AHH penduduk perempuan
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Persoalan rasio penduduk perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang,
kasus perempuan yang meninggal karena melahirkan yang masih tinggi, tingginya persentase perempuan hamil yang
kekurangan nutrisi yang disebabkan oleh praktek praktek terkait gizi makanan yang bias gender yang disebabkan oleh
budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat yang mentabukan perempuan untuk tidak mengkonsumsi protein hewani
(ikan dan daging) karena persepsi hal ini akan ‘mengganggu’ kesehatan perempuan, rendahnya akses perempuan
pada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan karena faktor geografis yang sulit dan tingginya persentase keluarga
miskin serta masih tidak seimbangnya aspek sosial dan budaya terkait relasi gender yang mempengaruhi lemahnya
pengambilan keputusan perempuan untuk mengakses dan merujuk ke fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan ketika
mereka menghadapi situasi darurat dalam persalinan merupakan sebagian dari begitu banyak persoalan kesehatan
yang sarat dengan isu gender.
Dalam hal fasilitas kesehatan, terdapat kecenderungan bahwa jumlah Rumah Sakit (RS) di Provinsi Papua meningkat pada
beberapatahunini.NamunpeningkatanjumlahRumahSakittersebuttidakdidukungmeratanyakeberadaandanjumlah
RS di kabupaten/kota. Bahkan hanya ada 1 RS Jiwa di seluruh Provinsi Papua (yang juga harus berbagi pasien dari Provinsi
Papua Barat), padahal persoalan kesehatan reproduksi juga memiliki keterkaitan dengan kesehatan jiwa. Isu tingginya
kasus kekerasan terhadap perempuan dan masih adanya persoalan trauma di kalangan perempuan setelah masa konflik
merupakan persoalan yang serius. Sementara itu, terdapat kecenderungan penurunan jumlah dan efektivitas hampir di
semua fasilitas kesehatan dasar (Puskesmas, Polindes, dan Posyandu). Selain itu, data Dinas Kesehatan Provinsi Papua
menunjukkan cukup banyak Puskesmas (termasuk Puskesmas keliling) yang dalam keadaan rusak berat, rusak atau tak
terdata. Hal ini tentu mengganggu kerja untuk memfasilitasi dan melayani kesehatan masyarakat Papua, khususnya
mereka yang miskin dan perempuan.
Persoalan tenaga kesehatan di Provinsi Papua juga memiliki isu berdimensi gender. Jumlah perawat di Papua terbata.
Jumlah tenaga kesehatan yang lain yang dokter, dokter gigi dan dokter spesialis, serta bidan, bahkan menunjukkan
penurunan signifikan pada beberapa tahun terakhir, khususnya dari tahun 2009 samnpai tahun 2011. Beberapa wilayah
kabupaten pemekaran di Provinsi Papua bahkan tidak memiliki dokter, apalagi dokter gigi dan dan dokter spesialis.
Hal ini memerlukan perhatian serius karena persentase kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan trampil hanya
pada 47,58% dan angka ini menurun dari persentase pada tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 58,73% di tahun
2006, 52,27% di tahun 2007, 46,87% di tahun 2008 dan 49,8% di tahun 2009. Hal ini menjadi salah satu sebab yang
berkontribusi pada masih tingginya kasus kematian ibu hamil dan melahirkan dan juga kasus kematian bayi.
7Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
Kekayaan alam dan hutan membawa ruang dan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan nutrisi dari
makanannya. Namun demikian, pada tingkat individu praktek sosial dan budaya di keluarga masih mendudukkan anak-
anak dan perempuan hamil dan melahirkan dalam kondisi status gizi yang berkekurangan.
Lamanya dan tingginya intensitas konflik yang terjadi antara masyarakat Papua dengan Negara sertatingginya kasus
kekerasan kekerasan terhadap perempuan karena konflik di dalam rumah tangga dan di publik mendorong tingginya
kasus kesehatan jiwa perempuan Papua. Di samping itu, studi global yang memasukkan Indonesia dan beberapa
wilayah Indonesia Timur, termasuk Papua, yang menunjukkan korelasi positif antara tingginya kasus perempuan
yang kehilangan anak karena kematian bayi ataupun abortus dengan kesehatan jiwa merupakan indikasi yang perlu
diwaspadai. Kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa di Papua menjadikan persoalan kesehatan jiwa kritis.
Perempuan Papua memiliki kerentanan yang berbeda dengan laki-laki Papua dalam hal kesehatannya. Bagi perempuan
Papua, HIV/AIDS membawa beban bukan hanya pada dirinya tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat, mengingat peran
perempuan yang sangat besar pada kehidupan ekonomi dan sosial serta di dalam rumah tangga. Adanya pertunangan
dini, bahkan sebelum anak-anak pada usia pubertas, yang dilanjutkan dengan hubungan seksual setelah pubertas,
perilaku berganti-ganti pasangan seksual, tingginya persentasi perempuan dan laki-laki dengan persoalan penyakit
menular seksual dan tingginya kasus poligami di perkampungan berkontribusi pada kerentanan perempuan. Aspek
sosial dan budaya membawa situasi perempuan dengan HIV/AIDS menjadi lebih berat.
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN GENDER
Aspekkeduadalampembangunanmanusiaadalah pembangunanpendidikan. Pelaksanaanpendidikandanpengajaran
masyarakat Papua di masa Orde Lama dan sebagian dari masa Orde Baru sangat tergantung pada keberadaan misionaris.
Diberhentikannya atau dibatasinya kelompok misionaris di Papua di masa Orde Baru menjadikan banyak. Dalam hal
AngkaMelekHuruf,terdapatkesenjangangendersekitarkuranglebih10%yaituterdapatproporsipendudukperempuan
melek huruf yang lebih rendah dibanding proporsi penduduk laki-lakinya. Capaian untuk Angka Melek Huruf antara
perempuan dan laki-laki ini juga sangat bervariasi di antara kabupaten kabupaten dan Kota di Provinsi Papua.
Dalam hal rata-rata lama sekolah, terdapat perbedaan capaian sekitar 1,5 tahun antara capaian perempuan dan laki-
laki. Rata-rata perempuan hanya berada selama 5,83 tahun di bangku sekolah sementara rata-rata laki-laki duduk di
bangku sekolah selama 7,33 tahun. Kesenjangan terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Papua, namun
kesenjangan capaian di antara penduduk antar kabupaten/kota juga menyolok. Pemahaman dan motivasi masyarakat
akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki di kalangan masyarakat Papua, khususnya masyarakat
Papua asli, dalam upaya mengejar ketertinggalan di Papua perlu ditingkatkan.
Persoalan absentisme di antara guru, khususnya yang menunjukkan kecenderungan absentisme yang lebih tinggi di
kalangan guru perempuan dan guru orang asli Papua di perkampungan dan tempat yang terisolir, merupakan persoalan
yangperlumendapatperhatianPemerintahDaerahprovinsiPapuaagardapatmenjaminterlaksananyapendidikandasar
anak-anak Papua, perempuan dan laki-laki. Upaya untuk mengurangi absentisme guru dapat meliputi membangun
mekanisme insentif berupa perumahan bagi guru baik perempuan dan laki-laki terutama yang bekerja di pelosok dan
daerah terisolir, pengembangan pendidikan guru bantu di kampung serta peningkatan partisipasi masyarakat dan
orang tua untuk memastikan agar anak-anak mereka bersekolah dan memastikan terselenggaranya pendidikan yang
berkualitas dan menjunjung keadilan merupakan suatu kebutuhan.
Penyusunan kriteria yang berprinsip pada keberpihakan pada kelompok miskin dan berkeadilan gender dalam program
pemberian beasiswa pada berbagai level merupakan suatu kebutuhan yang penting di Papua. Hal ini untuk mengejar
ketertinggalan dan kurangnya kesempatan yang adil bagi kelompok miskin dan marjinal.
•	 Penyelenggaraan usia dini yang responsif pada situasi lokal terbukti efektif untuk mendorong agar anak-anak usia
sekolah memasuki sekolah dasar pada waktunya/usianya. Angka putus sekolah, baik untuk anak perempuan dan
laki-laki, sangat tinggi yang disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi. Indikator lain yang menjadi perhatian
dalam pembangunan millennium adalah rasio yang seimbang antara angka partisipasi sekolah bagi anak-anak
(perempuan dan laki-laki) asli Papua dan Non Papua. Terdapat kesenjangan yang berbasis gender dan suku untuk
tingkat partisipasi sekolah di tingkat usia sekolah SD, SLTP dan SLTA antara penduduk Asli Papua dan Non Papua,
8 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
di samping terdapat persoalan transisi pendidikan pada berbagai level di
Papua. Selanjutnya, terdapat pula kesenjangan partisipasi anak laki-laki asli
Papua yang berbalik lebih tinggi dibandingkan pada anak non Papua pada
kelompok umur untuk pendidikan tinggi, disamping munculnya persoalan
kesenjangangenderpadakelompokusiainiyangberbalikantaraanak-anak
perempuan dan laki-laki pada kelompok usia tersebut, yaitu sebesar 8% di
antara anak Papua dan sekitar 2 % di antara anak non Papua. Hampir tidak
ditemui kesenjangan antara partisipasi sekolah pada anak perempuan asli
Papua dan non Papua pada kelompok usia tersebut. Persoalan kesenjangan
partisipasi sekolah tersebut perlu mendapat perhatian serius yang terkait
implikasinya pada status pendidikan dasar anak Papua pada usia sekolah
pendidikan dasar dan menengah, di samping persoalan keadilan gender
pada tingkat pendidikan tinggi.
Secara keseluruhan dan juga dalam hal l gendernya, belum dicapai oleh Papua.
Keberadaan guru di daerah terpencil dan kecocokan kurikulum dan metode
pendidikan dengan kebutuhan dan situasi lokal belum sesuai. Penyusunan
panduan mata pelajaran muatan lokal yang sensitif gender juga dirasakan
penting mengingat mata pelajaran muatan lokal akan membantu lestarinya
budaya lokal Papua, disamping mata pelajaran muatan lokal dapat dikaitkan
dengan upaya membangun relevansi belajar dengan ketrampilan kerja di masa
yang akan datang. Selama ini perencanaan dan pelaksanaan pejaran muatan
lokal masih acak dan belum memanfaatkan materi yang memasukkan aspek
kelestarian budaya Papua yang ada. Dikeluhkan banyak pihak bahwa bahas ibu
di Papua makin hilang. Sebagai contoh, tidak banyak masyarakat yang berasal
dari daerah Sentani masih mampu berbahasa Sentani.
PEMBANGUNAN EKONOMI DAN GENDER – MAMA PAPUA
YANG SERING TERLUPAKAN.
Sektor ekonomi yang aktif di Papua adalah sektor pertanian dan pelayanan,
di samping sektor pemerintahan. Perempuan Papua yang bertempat tinggal
di perkampungan merupakan penggerak ekonomi pertanian di Papua.
Perempuan memperoleh pendapatan dari menjual sayur yang berasal dari
kebunnya, di samping mendapat akses untuk menambah pendapatan dari
perkebunan, industry kayu dan konstruksi. Sementara itu, laki-laki memiliki
akses dan kesempatan untuk bekerja di perkebunan yang berskala lebih besar,
di samping pada proses penggergajian kayu dan pertambangan, walaupun
sebagian besar adalah dengan status pekerja musiman.
Dalam hal sektor pertanian, peran perempuan yang besar yaitu masih di atas
60% dan masihberkarakter subsistensi yang membuat kontribusi perempuan
Papuadalamsektorinihanyatercatatdalamangkatankerja,tetapitidaktercatat
secara memadai dalam perhitungan Pendapatan Daerah Regional Brutto
(PDRB). Tingginya tingkat subsistensi sektor pertanian pada masyarakat yang
mayoritas berpenghasilan dari sektor pertanian ini menyebabkan perempuan
Papua di wilayah kampung memiliki akses yang terbatas pada pendapatan
yang memberikan hasil uang.
Di pasar-pasar, walaupun perempuan dan laki-laki berjualan namun mayoritas
kegiatan di pasar dipegang oleh perempuan. Terdapat beberapa pola atas apa
yang dijual oleh perempuan dan laki-laki Papua apabila dibandingkan dengan
masyarakat perempuan dan laki-laki non Papua. Pedagang dari kalangan
masyarakat Papua pada umumnya berjualan pinang dan sayur mayur serta
Pendidikan berbasis asrama yang
dikelola dengan baik, merupakan
salah satu solusi untuk menjawab
sulitnya akses, khususnya di kalangan
anak perempuan, pada pendidikan
di wilayah terisolir. Walaupun banyak
asrama dibangun dan dikelola
pemerintah daerah dan lembaga
non pemerintah, beberapa laporan
menunjukkanbahwasituasidankondisi
asrama tidak terawat, tidak memiliki
fasilitas yang memadai dan kurang
mempertimbangkan keamanan murid
dan penghuni perempuannya. Upaya
untuk memperbaiki pengadaan dan
pengeloaan asrama yang dikelola oleh
pemerintah daerah dan lembaga non
pemerintah yang professional dan
sensitifgender menjadisuatukebijakan
yang prioritas. Kalangan pendidik dan
orang tua mengharapkan kehadiran
asrama berbasis asrama seperti yang
pernah didirikan dan dikelola oleh
misionaris di masa yang lalu.
9Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
umbi umbian. Sementara masyarakat pendatang menjual hampir semua jenis
produk yang ada. Di ibukota Provinsi Papua, Jayapura, Mama Papua mengeluh
soal tidak adanya perlakuan yang adil bagi perempuan Papua untuk mengakses
tempat berjualan. Mama Papua juga mengeluh sering digusur dan diusir karena
pada umumnya berjualan pinang dan sayuran di emper pasar karena tidak
mampu membayar sewa tempat di pasar. Saat ini, belum semua kabupaten/
kota memiliki pasar permanen di tingkat kecamatan. Sementara itu, di pasar
di Jayapura misalnya, dicatat banyak Mama-Mama Papua yang menyewakan
los pasarnya dan pada akhirnya lebih memilih untuk menjual dagangannya di
lantai pasar yang seringkali becek di waktu hujan karena persoalan kebiasaan.
Selain itu, Mama Mama Papua, khususnya mereka yang datang dari kampung
dan gunung dan berjualan di kota besar seperti Jayapura, lebih memilih
mendapatkan pendapatan tunai yang cepat dengan cara menyewakan losnya
tinimbang menghadapi kemungkinan kerugian karena barang dagangannya
tidak laku.
Pada umumnya masyarakat perkotaan memiliki akses yang lebih mudah untuk
ke sektor perbankan dan lembaga keuangan di bandingkan. Sementara itu,
masyarakat perkampungan tidak mudah mendapatkan akses pada pelayanan
lembaga keuangan formal. Selain tidak memiliki anggunan seperti seritifikat
tanah karena mengingat kepemilikan tanah adalah kepemilikan komunal adat,
masyarakat perkampungan juga memiliki akses yang terbatas atas informasi
dan pelayanan lembaga keuangan. Bentuk lembaga keuangan tradisional
tidak berkembang di masyarakat karena pola sosial dan ekonomi masyarakat
Papua yang masih memiliki pola ekonomi subsistensi. Di beberapa wilayah,
pertukaran aset dan uang dilakukan melalui pertukaran antara suku (klan)
yang pada umumnya terjadi melalui perkawinan dan pembayaran mas kawin.
Masyarakat yang hidup lebih dekat dengan perkotaan lebih mengenal sistem
keuangan dan pembayaran dan memiliki pola konsumsi pada barang barang
dan materi. Pinjaman dari lembaga keuangan sudah dikenal dan bukan hanya
untuk pembelian barang produksi tetapi juga barang konsumsi seperti televisi,
pakaian dan barang barang non-tradisional.
Pada sektorinformaldiperkotaan,laki-lakiPapuaparuhbayaberjualandipasar,
sementara kelompok muda Papua menjajakan koran atau menjadi tukang
parkir. Sementara itu, sedikit sekali laki-laki Papua di perkampungan yang
melakukan pekerjaan ekonomi. Situasi sosial dan budaya yang menempatkan
laki-laki Papua pada peran menjaga keluarga, berperang dan hanya membuka
lahanbaruyangkemudianmenjadikanmerekamempunyaipersoalanekonomi
yang serius.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) perempuan di Papua tinggi yaitu 75,59% (laki-laki 84,98%), sementara
TPAK perempuan non Papua hanya 49,54% (laki-laki 85,42%). Masih terdapat
kesenjangan pada TPAK laki-laki Non Papua yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan TPAK Orang Non Papua. TPAK perempuan Asli Papua sangat
tinggi karena perempuan asli Papua melakukan hampir semua pekerjaan
ekonomi keluarga, walau tingkat subsistensi di sektor pertanian masih tinggi.
Persoalan pengakuan kepada peran perempuan ”Mama Papua” di sektor
pertanian dan perdagangan perlu dilakukan. Pemerintah daerah (terutama
pemerintah kabupaten dan kota) perlu untuk memahami kebutuhan Mama
Papua agar usahanya di bidang ekonomi mendapat dukungan, termasuk
tempat berdagang, akses pada informasi, akses pada pamasaran barang dan
lain-lain agar Mama Papua mendapat dukungan kongkrit bagi perbaikan
Peran perempuan dalam struktur
masyarakat adat dan di tingkat
kampung dan kecamatan juga
sangat terbatas. Perempuan
hadir di pertemuan pertemuan di
tingkat desa danmenyampaikan
pendapat mereka. Namun demikian,
pengambilan keputusan dalam
proses pembangunan, misalnya pada
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat RESPEK didominasi oleh
kelompok laki-laki. Secara kontras, data
sekunder yang dicatat dalam suatu
studi gender di Papua menunjukkan
bahwa perempuan memainkan peran
vital dalam pengambilan keputusan
di keluarga. Hal ini dimungkinkan
karena perempuan sebagai pencari
nafkah masih memungkinkan untuk
membuat keputusan yang terbatas
pada penggunaan uang tunai yang
jumlahnya juga tidaklah besar.
Sementara itu, pengambilan keputusan
dalam hal pengeluaran yang tidak
rutin, misalnya untuk pendidikan dan
kesehatan, masih perlu keputusan dan
kesepakatan dengan suami.
10 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
hidupnya.
TPAK perempuan di sektor pelayanan sedikit meningkat pada 10 tahun terakhir sejalan dengan berdirinya makin
banyak pusat perbelanjaan dan penginapan/hotel di Papua, khususnya di wilayah perkotaan. Partisipasi perempuan di
sektor pemerintahan, yang secara tradisional masih didominasi laki-laki, masih rendah dan belum mencapai pekerjaan
dengan jabatan senior. Pendataan akan posisi perempuan yang menduduki jabatan di eselon II masih acak. Per 2012
dicatat bahwa terdapat 3 perempuan menduduki posisi pada jabatan eselon II, di antaranya pada Biro Pemberdayaan
Perempuan. Sementara itu, mayoritas perempuan juga berada di sektor informal dan pekerjaan yang rentan dengan
eksploitasi. Di sisi lain, perempuan masih menghadapi beban ganda atas pekerjaan yang tidak diupah, baik pekerjaan
di rumah tangga (pekerjaan domestik dan mengasuh anak), di kebun atau di masyarakat (Posyandu). Beban kerja untuk
pekerjaan yang tidak diupah juga menjadi beban anak-anak gadis untuk mengasuh adik-adiknya yang berpotensi
menambah kerentanan mereka untuk putus sekolah lebih cepat dibandingkan teman teman laki-lakinya.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN GENDER
Secara umum, laki-laki masih memainkan peran utama dalam berbagai pengambilan keputusan di rumah tangga, di
dalam masyarakat adat, dan di ruang publik. Budaya yang menjadikan mas kawin atau ‘belis’ sebagai bagian penting
dari perkawinan sering menempatkan perempuan dalam posisi tak berdaya dan sebagai aset keluarga besar karena
nilai belis yang diputuskan berdasar proses tawar menawar di kalangan klan dan keluarga besarnya. Belis menjadikan
perempuan sering tidak memiliki daya tawar di dalam rumah tangga maupun di dalam klan dan adat. Terdapat banyak
kasus keterlambatan perempuan hamil dan melahirkan dalam mengakses pertolongan tenaga kesehatan pada kondisi
darurat yang berakibat pada kematian perempuan. Juga, rendahnya daya tawar perempuan dibandingkan laki-laki
sering mengakibatkan perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan.
Partisipasi perempuan dalam politik, dalam hal ini parlemen juga terbatas. Hasil Pemilu 2009 mengecewakan perempuan
Papua karena keterwakilan perempuan di parlemen (DPR Provinsi dan di tingkat pusat) hanya mencapai 7,1%, jauh di
bawah capaian nasional yaitu 18%. Hal ini sangat disayangkan karena Otsus sebetulnya mendorong lebih tingginya
partisipasi perempuan di dalam posisi posisi penting di ruang publik, seperti yang diterapkan dalam posisi perempuan
sebesar 33% di Majelis Rakyat Papua (MRP).
Partisipasi perempuan di ruang publik masih terbatas secara kuantitatif dan kualitatif. Pada tahun 2010, terdapat 11
perempuan duduk di jabatan structural eselon III (atau 9,2%) dan terdapat 107 perempuan di posisi jabatan eselon
IV (atau mencapai 21,7%). Sayang sekali belum ada perempuan yang menduduki posisi jabatan eselon IIA di kantor
pemerintah Provinsi Papua dan data yang terkait partisipasi perempuan di sektor swasta sayangnya juga terbatas.
Beban berganda bagi perempuan atas tugas rumah tangga dan ekonomi membuat perempuan kekurangan waktu
untuk meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lainnya yang sangat vital dalam
upaya meningkatkan peran dan kualitas perempuan di bidang publik, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Dalam
kontekskemiskinan,perempuanmengalamikemiskinanwaktuyangmemberimanfaatdirisendiri. Olehkarenaitu,peran
laki-laki perlu dalam upaya perubahan untuk membuka ruang pengambilan keputusan di kalangan perempuan dalam
rumah tangga mereka, khususnya dalam bidang kesehatan, yang akan mendukung perbaikan status dan kesehatan
perempuan. Terdapat bukti yang didukung studi global bahwa terjadi peningkatan kapasitas pengambilan keputusan
perempuan ketika mereka memiliki pendapatan. Makin mandiri perempuan secara ekonomis, makin tinggi kemampuan
mereka mengambil keputusan dalam akses mereka pada fasilitas dan pelayanan kesehatannya. Kematian Ibu karena
mengandung dan melahirkan dapat dihindari. Selain itu, ketika perempuan mempunyai kemampuan mengambil
keputusan, mereka menabung lebih banyak dari laki-laki dan mereka menabung uangnya untuk kepentingan keluarga,
baikuntukmakan,gizi,pendidikanmaupununtukkebutuhanpribadiperempuansendiri.Halinitentuakanmemperbaiki
kinerja indikator pemberdayaan perempuan pada IDG.
OTONOMI KHUSUS DAN OTONOMI PEREMPUAN PAPUA
Otonomi Khusus Papua menjadi tonggak bagi perlindungan Orang Papua Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera
untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudaranya di provinsi lain di Indonesia. Banyak aturan dalam undang-
undang Otsus yang diberikan bersifat proteksi terhadap Orang Asli Papua yang mengarah kepada penguatan
11Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
kemampuan untuk berkembang sendiri.
Lahirnya Otsus untuk Papua juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat
Papua (MRP) yang mempunyai sejumlah tugas dan wewenang yang secara
khusus bertujuan untuk melindungi, memihak dan memberdayakan Orang
Asli Papua sebagai bagian dari Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
MRP juga hendak memastikan bahwa tindakan dan bentuk kekerasan terhadap
bangsa Papua, termasuk kaum perempuan Papua akan hilang. Keanggotaan
MRP memastikan 1/3nya diwakili oleh kelompok perempuan (1/3 oleh
kelompok adat dan sisanya kelompok pemuda).
PemerintahProvinsiPapuatelahmengupayakanpembebasanbiayapendidikan
dan kesehatan dan mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua
di antara kelompok miskin, perempuan dan laki. Beberapa hal terkait upaya
mengintegrasikan kriteria terkait prioritas pemberian beasiswa untuk
masyarakat miskin dan perempuan perlu mendapat perhatian. Dalam hal
pelayanan kesehatan, diseminasi informasi terkait apa yang dapat dicakup oleh
perlindungan sosial dalam bentuk berobat gratis perlu diberikan secara luas,
khususnya melalui media yang ‘akrab’ dengan kelompok Papua yang miskin
dan juga perempuan. Ketiadaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di
beberapa kabupaten/kota di wilayah provinsi perlu mendapat perhatian agar
masyarakat termiskin dan perempuan di Papua mendapat manfaat program ini.
Terkait pemberdayaan ekonomi perempuan, perlu diidentifikasi upaya-upaya
praktis yang inovatif agar perempuan yang bergerak di seksektor pertanian dan
perdagangan dapat terbantu dengan tersedianya akses terhadap informasi,
tempat dan keuangan. Dukungan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok laki-
laki, khususnya di sektor pertanian juga perlu dilakukan, mengingat selama ini
pekerjaan di sektor pertanian hampir semuanya dilakukan oleh perempuan.
Program ini perlu dilakukan dengan hati hati dan disertai analisis gender yang
memadai.
Pemahaman akan aspek sosial dan budaya masyarakat Papua perlu dilakukan
ketika pendekatan rumah tangga digunakan dalam program pemberdayaan
ekonomi perempuan dalam posisi pengambil keputusan di sektor publik
masih terbatas. Partisipasi perempuan dalam politik, dalam hal ini parlemen,
pada Pemilu 2009 agak mengecewakan karena hanya mencapai 7,1%, jauh di
bawah capaian nasional, 18%. Hal ini sangat disayangkan karena melalui Otsus,
perempuan Papua mendapat 33% dari posisi di Majelis Rakyat Papua.
Pada posisi di eksekutif, dicatat bahwa perempuan masih terbatas
partisipasinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahun 2010,
terdapat 11 perempuan duduk di jabatan structural eselon III (atau 9,2%) dan
terdapat 107 perempuan di posisi jabatan eselon IV (atau menapai 21,7%).
Sayang sekali belum ada perempuan yang menduduki posisi jabatan eselon IIA
di kantor pemerintah Provinsi Papua.
Beban berganda bagi perempuan yang duduk di parlemen dan di
pemerintahan membuat perempuan kekurangan waktu untuk meningkatkan
kemampuannya melalui pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lainnya.
Mereka juga mengalami kekurangan waktu untuk dirinya sendiri. Sayang sekali,
terdapatketerbatasaminformasiterkaitpartisipasiperempuandisektorswasta.
RAD PUG difokuskan pada kegiatan
ke dalam RAPBD, Renja, dan RKA/KL,
yang :
•	 Mempengaruhi program utama,
dengan dana anggaran besar,
yang dampaknya akan besar
bagi peningkatan kualitas hidup
perempuan dan laki-laki Papua;
•	 Mengusulkan pengarusutamaan
gender pada kebijakan,
program dan kegiatan dengan
menggunakan uraian sesuai
dengan proses Perencanaan
Penganggaran Responsif Gender
(PPRG) dengan menggunakan
Gender Budget Statement (GBS).
Adapun GBS perlu merumuskan
(1) analisis gender/kesenjangan
gender secara singkat: (2)
intervensi repsonsif gendernya;
(3) memasukkan indikator input,
output dan outcomes yang
sensitive gender: (4) memastikan
alokasi anggaran yang responsif
pada pesoalan gender yang
diidentifikasi dan mencapai
indikator output dan perubahan
yang telah tercantum ke dalam
RKA/KL
•	 Mendorong agar Bappeda selaku
ketua Pokja dan Tim teknis serta
BPPA selaku Sekretaris Pokja
dan Tim Teknis PUG memiliki
kapasitas yang memadai untuk
mampu memfasilitasi proses
penyusunan RAD PUG, finalisasi
RAD PUG, memberikan dukungan
teknis agar SKPD mampu
mengimplemetasikan RAD PUG
dan memantau dan mengevaluasi
RAD PUG mereka masing masing
dan menghubungkannya dengan
pelaporan dalam LAKIP masing
masing;
12 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
PENGARUSUTAMAAN GENDER, ANGGARAN BERBASIS GENDER, KEBERPIHAKAN
PEMBANGUNAN PADA PEREMPUAN PAPUA
Persoalan gender di Papua adalah persoalan ketidaksetaraan yang serius. Persoalan mencakup keharusan mengejar
ketertinggalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang melandasi Pembangunan Manusia – kesehatan,
pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga sangat serius, termasuk di dalamnya kekerasan di wilayah
konflik, di pertambangan, di tempat bekerja (pasar), di area pekerjaan yang rentan pada eksploitasi dan di dalam rumah
tangga. Secara khusus, persoalan kesehatan dan HIV/AIDS adalah persoalan yang perlu tindak lanjut komprehensif.
KematianibudankematiananakmasihtertinggidiIndonesiadanmemerlukansolusiyangcepat.Mengingatkompleksnya
persoalan gender di hampir semua bidang, maka pemerintah harus mengadopsi Pengarusutamaan Gender sebagai
strategi yang secara sistematis hendak menurunkan dan menghapus kesenjangan gender yang ada di Papua melalui
pembangunan di berbagai bidang.
Biro pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) merupakan lembaga fasilitator pengarusutamaan gender
di Provinsi Papua yang dikepalai oleh pejabat Eselon IIB. BPPA sempat menjadi Badan pada tahun 2006 (dengan pimpinan
pejabat Esekon IIA). Dengan status yang tinggi, Badan sempat memainkan peran koordinatif pengarusutamaan gender
di SKPD di wilayah pemerintahan Provinsi Papua. Sayang sekali status Badan dihapus dan dikembalikan menjadi Biro
dengan berbagai alasan, termasuk di dalamnya (a) kemampuan menyerap anggaran berdasar kinerja; b) persaingan
antar lembaga di dalam pemerintahan daerah Provinsi Papua untuk masuk dalam struktur organisasi pemerintahan.
Dukungan lembaga ornop, PSW universitas dan individu untuk mendukung Biro PPA dalam mengembalikan status nya
menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan perlu diupayakan.
Pokja PUG dan Tim Teknis PUG telah dibentuk namun masih memerlukan dukungan teknis untuk memperkuat
kapasitasnya sebagai fasilitator PUG yang efektif. Klarifikasi dan konfirmasi tentang peran Pokja PUG dan Tim Teknis PUG
perlu dilakukan agar terjadi kejelasan peran untuk secara efektif menjalankan implementasi strategi PUG;
BappedadanBPPAperlumengkoordinasidanmemfasilitasiproseslanjutankerjaPokjadanTimteknisdalammemfasilitasi
Rencana Aksi daerah (RAD) PUG di tingkat provinsi (dan nantinya kabupaten/kota) agar RAD PUG yang saat ini telah
disusun dapat dilakukan dengan efektif. Usulan pada pendekatan, kebijakan, program dan kegiatan yang ada di RAD
PUG hendaknya diarahkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang strategis yang membawa daya ungkit yang besar
pada perubahan dan implementasi kebijakan dan pada program dan kegiatan yang responsif pada kebutuhan mendasar
masyarakat Papua, baik perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang tua serta mereka yang berkebutuhan khusus.
Di tingkat masyarakat, RESPEK telah memulai pembangunan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta pemberdayaan
ekonomi melalui proses perencanaan partisipatoris. Proses perencanaan yang partisipatif perlu memastikan dilakukan
dengan fasilitasi yang sensitive gender agar kelompok perempuan dapat benar benar diberdayakan. Analisis distribusi
pemanfaat masih perlu dilakukan agar perempuan dan laki-laki papua, anak-anak serta orang tua serta kelompok yang
berkebutuhan khusus mendapat manfaat dari proses RESPEK.
Secara khusus, BPPA perlu meningkatkan kapasitasnya untuk mampu menjalankan peran sebagai katalis PUG. BPA perlu
melakukan promosi KKG agar dapat memberi pengaruh dalam perubahan nilai dan praktek praktek yang masih bias
gender agar dapat mewujudkan KKD di lembaga lembaga SKPD dan ornop serta mendorong lahirnya media untuk
mendiseminasi perwujudan kesetaraan gender di masyarakat;
BPPA perlu membangun kerjasama dengan mitranya yaitu PSW Universitas di Jayapura dan juga organisasi perempuan
serta organisasi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk mewujudkan kestaraan gender dengan kongkrit di area
peningkatan gizi, peningkatan akses pada air bersih, sanitasi dan kesehatan anak-anak;
BAPPEDA perlu melahirkan surat edaran keharusan mengintegrasikan alat analisis gender ke dalam proses penyusunan
RAPBD dan mengadvokasi agar kebijakan, program dan kegiatan yang diidentifikasi dalam RAD PUG dapat mulai
diimplementasi dalam RAPBD/APBD 2012. BAPPEDA juga perlu mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas di
dalam Bappeda, dan di antara anggota Pokja PUG dan Tim Teknis PUG agar implementasi PUG optimal dan efektif.
13Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
REKOMENDASI
Persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang berbasis gender di Papua merupakan persoalan serius yang perlu
disikapi dengan sistematis dan strategis. Agar sistematis dan strategis, tanggap dan tindakan untuk menjawab persoalan
gender di Papua perlu dimasukkan dalam suatu Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender (PUG) yang
dihasilkan dengan dasar analisis situasi gender. Dimana analisis ini telah disusun dan dipresentasikan dalam Laporan
Pembangunan Manusia Berbasis Gender ini yang dilaksanakan dengan visi, misi, prinsip dan strategi yang sejalan
dengan apa yang menjadi landasan pembangunan manusia di Papua serta dikelola dengan efektif dan efisien serta
diimplementasikan dengan akuntabel. RAD PUG perlu terus di’update’ dan diperpanjang serta disempurnakan, untuk
mencakup rencana pembangunan jangka panjang. Untuk memastikan hal tersebut, maka aspek dana program serta
kegiatan RAD PUG perlu diintegrasikan dalam Rencana Jangka Panjang dan Jangka Mengengah Provinsi Papua. Di
bawah ini adalah rangkuman dari hal utama RAD PUG Pembangunan Manusia Papua 2013-2016. Sementara uraian lebih
lengkap dari RAD PUG tersebut dapat ditemui dalam dokumen RAD PUG Pembangunan Manusia Papua 2013 – 2016.
RAD PUG yang terdiri dari rencana tindak upaya upaya khusus (dan luar biasa) di bidang kesehatan, pendidikan,
pelembagaan dan implementasi Pengarusutamaan Gender, peningkatan kepemimpinan dan pengambilan keputusan
perempuan dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu, rencana dan tindak untuk
mengembangkan sistem pendataan yang berbasis gender yang dapat menjadi data dasar dan juga yang membantu
upaya pemantauan perubahan perbaikan kualitas hidup masyarakat Papua, khususnya masyarakat papua asli,
perempuan, anak-anak, orang tua dan kelompok masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus perlu dilakukan
sebagai bagian integral dari implementasi RAD PUG. Peningkatan kapasitas PUG menjadi bagian penting dari RAD dan
bagian ini dirangkum dalam Strategi dan Rencana Peningkatan Kapasitas PUG Provinsi Papua 2013-2016 yang akan
diterbitkan secara bersamaan dengan dokumen ini. Studi terkait penyebab kesenjangan dan diskriminasi gender yang
secara sistematis terjadi di Papua pada bidang-bidang pendidikan dan kesehatan serta ekonomi juga menjadi bagian
dari RAD PUG.
Bappeda dan Biro Pemberdayaan Perempuan perlu memfinalisasi dokumen RAD PUG untuk mendapat masukan yang
lebih teknis dan operasional serta agar mendapat dukungan berbagai pihak, termasuk Gubernur Provinsi Papua, DPRD
Provinsi Papua, MRP Provinsi Papua, Organisasi SKPD, Ornop dan Ormas.
RAD PUG yang implementatif harus disahkan melalui landasan hukum yang memadai (Perda atau SK Gubernur, sesuai
dengan situasi) agar dapat dilaksanakan dengan disiplin dan akuntabel.
Bappeda dan Biro PPA juga perlu mengkoordinasikan adanya kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dan individu
di Papua maupun di tingkat nasional maupun internasional yang berpotensi untuk mendukung implementasi RAD PUG;
Bappeda dan Biro PPA perlu memfasilitasi dibangunnya mekanisme akuntabilitas melalui forum diskusi, konsultasi dan
advokasi tingkat pimpinan SKPD, disusunnya mekanisme pemantauan dan evaluasi agar SKPD mampu memantau dan
mengevaluasi sendiri implementasi RAD nya dan melaporkannya kepada konstituen (masyarakat papua, perempuan
dan laki-laki, serta anak-anak, orang tua dan kelompok berkebutuhan khusus lainnya).,
Mengingat RAD PUG adalah merupakan bagian dari reformasi di tingkat pemerintah dan lembaga mitra, maka kerjasama
antara pemerintah dan organisasi non pemerintah menjadi kritikal.
Agar RAD PUG dapat dilaksanakan dengan akuntabelitas yang memadai, maka kebijakan anggaran, baik di tingkat
nasional dan provinsi serta kabupaten, perlu dilakukan untuk memastikan alokasi anggaran yang dibutuhkan dalam
implementasi RAD PUG, dan juga dalam pelaporan dan pemantauan serta evaluasinya. Untuk itu penggunaan
Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan menggunakan ‘Gender Budget Statement’ (GBS)
menjadi suatu keniscayaan, karena penggunaan GBS mendorong penganggaran yang berbasis kinerja melalui proses
yang praktis dan mendorong kinerja yang meningkat dari SKPD karena GBS memfasilitasi dan menuntut identifikasi dan
perumusan indikator kinerja yang dapat dipergunakan sebagai indikator capaian dan perubahan dalam perbaikan dan
perwujudan kesetaraan gender.
RAD PUG perlu disosialisasikan secara memadai kepada para pelaksana RAD PUG yang terkait, lembaga donor dan
masyarakat sipil agar para pihak tersebut memahami bahwa RAD PUG merupakan hal yang prioritas dan perlu dukungan
14 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
serius. Sosialisasi kepada pemanfaat RAD PUG, masyarakat, khususnya perempuan, anak-anak, orang tua, orang papua
asli dan masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus, agar RAD PUG mendapat dukungan dalam pelaksanaannya.
Pengidentifikasian mekanisme insentif yang memastikan implementasi RAD PUG yang akuntabel dan efektf diperlukan
dalam mendorong agar perwujudan kesetaraan gender dan memberhentikan diskriminasi dapat segera terlaksana.
Perubahan yang mendorong perwujudan kesetaraan gender di masa reformasi yang terus berjalan di sistem politik
seperti di Indonesia dan Papua yang sangat dinamis, keberadaan agen pengubah menjadi suatu hal yang penting. Agen
pengubah untuk mendorong perubahan nyata tersebut dapat berasal dari pemerintah (eksekutif), legislatif ataupun
yudikatif, di samping organisasi non pemerintah dan juga individu individu yang menjadi ‘role model’ perubahan itu
sendiri.
Bappeda dan BPPA perlu membangun mekanisme insentif yang akan diberikan kepada SKPD atau individu yang telah
giat menghasilkan perubahan dalam implementasi RAD.
Memasukkan aspek pengembangan model model yang berhasil dalam mengimplementasikan PUG dalam konteks
papua yang hendak melakukan percepatan pembangunan;
Mengidentifikasi ‘champion’ atau pemenang lokal yang telah berhasil mendorong implementasi PU pada tataran praktis
dan kongkrit.
15Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF	 03
	 Pembangunan Ekonomi Dan Gender – Mama Papua Yang Sering Terlupakan.	 09
	 Otonomi Khusus Dan Otonomi Perempuan Papua	 12
	 Pengarusutamaan Gender, Anggaran Berbasis Gender, Keberpihakan Pembangunan
	 Pada Perempuan Papua	 13
	Rekomendasi	 14
DAFTAR ISI		17
	 1. 	 PENDAHULUAN	 21
		 1.A. Latar Belakang	 21
		 1.B. Tujuan Penulisan	 23
		 1.C. Sistematika Penulisan	 23
		 1.D.metodologi Dan Sumber Data	 23
	 2. 	 PENDUDUK, DEMOGRAFI DAN GENDER 	
		 2. A. Penduduk, Pertumbuhan Dan Distribusinya	 25
				 Penduduk, Struktur Sosial Budaya, Pertumbuhan Dan Distribusinya	 25
		 2. B. Kemana Hilangnya Perempuan Papua?	 28
		 2. C. Komposisi Penduduk Dalam Keluarga Dan Beban Kerja Gender	 32
		 2. D. Fertilitas Dan Pernikahan Dini	 34
		 2. E. Penduduk Usia Lanjut	 34
		 2. F. 	Pencatatan Kependudukan Dan Sipil – Pengakuan
				 dan Perlindungan Kepada Hak Perempuan Papua	 35
		 2.G. Kesimpulan Bab 2: Penduduk, Demografi, Dan Gender	 37
	 3. 	 PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BERBASIS GENDER : STATUS DAN TREN
		 3.A. 	Pembangunan Manusia Papua Dan Kesetaraan Gender : Status Dan Tren	 40
		 3.B. 	Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia,
				 Indeks Pembangunan Gender, Dan Indeks Pemberdayaan Gender Dan Data	 45
		 3.C. 	Kesimpulan Bab 3..	 46
	 4. 	 PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN GENDER
		 4.A. 	Kesehatan Perempuan Papua, Morbiditas, Dan Penyebab Kematian	 48
		 4.B. 	Kesehatan Reproduksi	 53
		 4.B.1. Kematian Ibu Hamil Dan Melahirkan Yang Tinggi.	 53
		 4. C. 	Hiv/Aids Dan Aspek Gender Dari Kematian Perempuan Papua	 64
		 4.D. 	Kesimpulan Bab 4 - Kesehatan Dan Gender	 67
16 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
	
	 5. 	 PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN GENDER	
		 5.1. 	Keaksaraan Dan Gender	 69
		 5.B. 	Pendidikan Perempuan Dan Laki-Laki Papua Dalam Transisi	 70
		 5. B.3. Sumber Daya Manusia Pendidikan
				 : Aksesiilitas, Kualitas, Relevansi Dan Aspek Gender -	 74
		 5.C. 	Kesimpulan Bab 5 – Pendidikan Dan Gender	 77
	
	 6. 	 EKONOMI DAN GENDER
		 6.A.	 Perempuan Dan Laki-Laki Papua Dan Peran Ekonomi	 79
		 6. B. Mama Papua – Pelaku Ekonomi Papua Yang Nyaris Tanpa Statistik,
				 Yang Sering Terlupakan Dan Tergusur	 84
		 6.C. Hutan Papua, Lingkungan Hidup, Dan Pembangunan Berkelanjutan	 86
		 6.D. 	Kesimpulan : Ekonomi Dan Gender	 86
	
	 7. 	 POLITIK DAN GENDER
		 7.A.	 Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan	 88
		 7.A. 	1.Perempuan Di Legislatif	 88
		 7.B. 	Kesimpulan – Perempuan Dalam Politik Dan Pengambil Keputusan	 91
	 8.	 OTONOMI KHUSUS, OTONOMI PEREMPUAN	
		 8.B. 	Otonomi Perempuan, Konflik Dan Kekerasan Terhadap Perempuan.	 99
		 8.C. 	Kesimpulan – Bab 8 – Otonomi Khusus Dan Otonomi Perempuan	 104
				 Pengarusutamaan Gender Sebagai Strategi Pembangunan Di Provinsi Papua	 106
	 9.	 PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI STRATEGI
		 PEMBANGUNAN DI PROVINSI PAPUA 			
		 9.A. 	Partisipasi Perempuan Papua Dalam Proses Perencanaan Pembangunan	 109
		 9.C. 	Kesimpulan - Pengarusutamaan Gender, Anggaran Berbasis Gender,
				 Keberpihakan Pembangunan Pada Perempuan Papua	 114
	 10.	 KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN AGEN PERUBAH DALAM PERWUJUDAN 	 		
		 KESETARAAN GENDER DI PROVINSI PAPUA
		 10.1. 	 Kesimpulan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis
				 Gender Provinsi Papua 2012	 116
		 10.2. 	 Rekomendasi	 121
LAMPIRAN	123
	 Lampiran 1.	 123
		 Rangkuman Metode Penghitungan Indeks Pembangunan
		 Manusia Dan Aspek Gender	 123
		 3.B. Pembangunan Manusia Dan Pengukuran Ketidakmerataaan
		 Dan Ketidak Adilan Pembangunan.	 124
17Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
	 	 	
	 Lampiran 2.
		 Penduduk Perempuan Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur Dan 			
		 Status Perkawinan, Provinsi Papua, 2010	 130
	 Lampiran 3.
		 Penduduk Laki-Laki Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur Dan Status 			
		 Perkawinan, Provinsi Papua, 2010	 132
	 Lampiran 4.
		 Jumlah Dan Persentase Penduduk Miskin Di Papua Menurut Daerah, 1999-2011	 133
	 Lampiran 5.
		 Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Provinsi Papua Dan Kabupaten 2009 – 2010	 134
	 Lampiran 6.
		 Indeks Pembangunan Gender/Ipg Provinsi Papua Per Kabupaten/Kota 2009 - 2010.	 135
	 Lampiran 7.
		 Indeks Pemberdayaan Gender (Idg) Provinsi Papua Per Kabupaten Kota, Tahun 2010	 136
	 Lampiran 8.
		 Anak Lahir Hidup (Alh) Provinsi Papua	 137
	 Lampiran 9.
		 Angka Harapan Hidup, Berdasar Jenis Kelamin Provinsi Papua
		 Per Kabupaten/Kota, 2010	 138
	 Lampiran 10.
		 Rata-Rata Lama Pendidikan Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas
		 Dirinci Menurut Jenis Kelamin, 2011	 139
	 Lampiran 11.
		 Angka Transisi, Sekolah Dasar Ke Sekolah Menengah Pertama, Provinsi Papua, 2010	 140
	 Lampiran 12.
		 Banyaknya Pegawai Negeri Sipil Daerah, Per Kabupaten,
		 Provinsi Papua, Menurut Jenis Kelamin 2010	 142
	 Lampiran 13.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sd)
		 Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 143
	 Lampiran 14.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sltp)
		 Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 145
	 Lampiran 15.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Slta)
		 Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 147
	 Lampiran 16.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sekolah Dasar (Sd)
		 Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 149
	 Lampiran 17.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sltp)
		 Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 151
18 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
	 Lampiran 18.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sekolah Dasar (Slta) 			
		 Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010	 153
	 Lampiran 19.
		 Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sma Swasta
		 Menurut Kabupaten 2010	 155
	 Lampiran 20.
		 Jumlah Anggota Dprd Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua
		 Menurut Jenis Kelamin Periode 2009 – 2014	 157
	 Lampiran 21.
		 Jumlah Pejabat Per Golongan Di Pemda	 158
	 Lampiran 22.
		 Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan
		 Yang Ditamatkan & Jenis Kelamin 2010	 159
	 Lampiran 23.
		 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan
		 Utama Dan Jenis Kelamin 2010	 160
	 Lampiran 24.
		 Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Yang
		 Ditamatkan & Jenis Kelamin 2010	 162
	 Lampiran 25.
		 Jumlah Kegiatan/Pekerjaan, Berdasarkan Status	 163
	 Lampiran 26.
		 Jumlah Tenaga Medis Provinsi Papua 2010	 164
	 Lampiran 28.
		 Prevalensi Gizi Buruk, 2008	 165
	 Lampiran 29.
		 Data Laporan Upaya Menurunkan Angka Kematian
		 Ibu Sebesar Tiga Perempatnya Antara 1990 Dan 2015	 166
	 Lampiran 30.
		 Jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat Di Provinsi Papua, Per Kabupaten, 2011	 168
	 Lampiran 31.
		 Aps Non Papua	 175
	 Lampiran 32.
		 Aps Papua	 176
DAFTAR PUSTAKA	 179
DAFTAR HADIR	 181
19Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
1.a. LATAR BELAKANG
Diukur dengan indikator ekonomi dan pembangunan manusia, Papua merupakan salah satu wilayah termiskin di
Indonesia. Dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2010, Provinsi Papua tetap merupakan provinsi termiskin,
dengan lebih dari 40 persen dari populasi penduduk tergolong miskin. Perempuan di Papua, secara khusus, rentan
pada persoalan kemiskinan serta standar kesehatan perempuan rendah. Data pada tahun 2010 dari Dinas Kesehatan
Provinsi Papua menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang mengalami kekurangan gizi cukup tinggi dan sekitar 80%
perempuan hamil mengalami anemia dan memerlukan perawatan.
Meski perempuan mendapatkan perbaikan atas partisipasinya di arena politik, antara lain mendapat kepastian bahwa
kursi sejumlah sepertiga (1/3) dari Kursi di Majelis Rakyat Papua (MRP), aspek sosial dan budaya menghambat perempuan
untuk mendapat akses sumber daya ekonomi termasuk tanah, modal, dan pasar serta untuk mendapat akses di dunia
pendidikandanpelatihan.Walaupunpersentaseperempuanyangbekerjadengandibayarmakinmeningkat, perempuan
yang bekerja tidak dibayar masih menjadi gambaran umum angkatan kerja perempuan Papua.
Kesenjangan status perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga sangat nyata. Indikator utama dari persoalan ini
adalah masih tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan. Angka kematian Ibu meninggal karena melahirkan
adalah sebesar 1.060 (BPS 2005), tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Penyebab utama persoalan ini adalah,
antara lain, masih rendahnya efektifitas investasi pemerintah pada pengelolaan dan pelayanan kesehatan perempuan,
di samping status dan kondisi kesehatan perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Persoalan kesenjangan
gender dalam hal asupan makanan masih merupakan persoalan. Walau perempuan sudah tidak selalu menjadi orang
yang terakhir makan, namun asupan makanan perempuan dibandingkan dengan kalori yang mereka keluarkan dalam
pekerjaan mereka sehari hari, secara umum, tidak seimbang. Pekerjaan di kebun, di samping pekerjaan rumah tangga,
membutuhkan asupan kalori yang memadai. Situasi ini menjadi serius ketika ibu hamil dan melahirkan. Kekurangan gizi
ibu hamil masih merupakan hal yang umum terjadi.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan masih belum mendapat perhatian yang memadai
sebagaipersoalanhakasasidanhaliniberkontribusipadaditerimanyasikapdiskriminasiterhadapperempuan.Persoalan-
persoalan kekerasan terhadap perempuan di bagian Indonesia yang lain yang dapat dipecahkan melalui pengadilan
justru tidak menjadi perhatian penegak hukum di wilayah Papua. Persoalan kurangnya perlindungan dan keamanan
perempuan di dalam rumah tangga dan di arena publik mengembalikan perilaku tradisional yang menempatkan
Rencana dan Penganggaran Yang Berpihak Pada Perempuan,
Anak, dan Kelompok Renta
LAPORAN PEMBANGUNAN
MANUSIA BERBASIS
GENDER PROVINSI PAPUA
2012
BAB 1
20 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
perempuan dengan status rendah.
Perubahan sosial membawa perubahan pada adanya perluasan kesempatan perempuan untuk bekerja di sektor formal,
antara lain sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dan di sektor pelayanan seperti toko, restoran dan perhotelan yang pada
prinsipnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan banyak keluarga, khususnya di perkotaan.
Adanya kesenjangan yang terus ada pada capaian-capaian targetTujuan Pembangunan Milenium (MDGs) menunjukkan
bahwa adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan keluarga tidaklah memadai untuk menghapus
kemiskinan, terutama kemiskinan yang dialami perempuan.
Laki-laki masih memainkan peran utama dalam berbagai pengambilan keputusan di rumah tangga maupun masyarakat.
Olehkarenaitu,peranlaki-lakiperludalamupayaperubahanuntukmembukaruangpengambilankeputusandikalangan
perempuan dalam rumah tangga mereka, maupun perempuan dengan kelompok yang lebih luas di masyarakat.
Terdapat bukti yang didukung studi global bahwa terdapat peningkatan kapasitas pengambilan keputusan perempuan
ketika mereka memiliki pendapatan. Makin mandiri perempuan secara ekonomis, makin tinggi kemampuan mereka
mengambil keputusan dan dalam berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan penghapusan kemiskinan. Ketika
perempuan mempunyai kemampuan mengambil keputusan, mereka menabung lebih banyak dari laki-laki dan mereka
menabung uangnya untuk kepentingan keluarga, baik untuk makan, gizi, pendidikan, maupun untuk kebutuhan pribadi
perempuan sendiri. Hal ini tentu akan memperbaiki kinerja indikator pemberdayaan perempuan yang ada di MDG ketiga.
Pemberdayaan perempuan adalah target ketiga MDGs dan memiliki tiga indikator utama untuk memonitor kemajuan
target tersebut. Indikator yang pertama adalah rasio yang seimbang antara angka partisipasi sekolah bagi perempuan
dan anak laki-laki. Secara keseluruhan dan juga dalam hal ketimpangan gendernya belum dicapai oleh Papua.
Keberadaan guru di daerah terpencil dan kecocokan kurikulum serta metode pendidikan dengan kebutuhan dan situasi
lokal belum sesuai. Angka putus sekolah, baik untuk anak perempuan dan laki-laki sangat tinggi yang disebabkan oleh
biaya pendidikan yang tinggi.
Indikator kedua, proporsi perempuan di pekerjaan non pertanian yang digaji meningkat cukup cepat di Papua, namun
hal ini terjadi hanya di sektor yang rentan seperti toko dan perhotelan. Selebihnya, perempuan yang bekerja di sektor
pertanian adalah mereka yang tidak diupah. Hal ini menyebabkan kontribusi perempuan dalam perhitungan PDRB tidak
nampak.
Indikator ketiga adalah perempuan dalam posisi pengambil keputusan. Di DPR tingkat Provinsi, perempuan menduduki
1 dari 3 kursi DPR periode 2009-2014.
Kemajuan dari ketiga indikator dibutuhkan ketika kesenjangan gender pada indikator lain dalam MDGs hendak
diwujudkan. Indikator kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga dan di arena publik merupakan
indikator yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender yang secara bersamaan akan memperbaiki
kemampuan perempuan berkiprah dalam arena penyusunan kebijakan publik.
1.b. TUJUAN PENULISAN
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini disusun untuk melihat tingkat keberhasilan,
mengakui dan mencatat tantangan pembangunan masyarakat Papua, khususnya dari perspektif gender. Laporan ini
dapat dipergunakan sebagai referensi dalam rangka proses perencanaan dan penyusunan kebijakan, program dan
kegiatan sehingga masyarakat Provinsi Papua mampu meningkatkan pencapaian pembangunan manusianya dan
mampumengurangikesenjanganpencapaianantaraperempuandanlaki-lakidiberbagaibidang,yangdirepresentasikan
dengan indeks pembangunan gender (IPG) dan indeks pemberdayaan gender (IDG). Selain itu, Laporan ini akan
menelusuri faktor-faktor yang memiliki kaitan terhadap pencapaian IPG maupun IDG melalui komponen pembentuk
IPG dan IDG, di samping melihat secara lebih luas aspek yang menyentuh kehidupan perempuan Papua, termasuk aspek
yang menjadi perhatian dari berbagai Konvensi Perempuan, antara lain CEDAW, Dua Belas (12) Aspek kritis Beijing dan
juga Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Developmet Goals/MDGs).
21Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
1.c. SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab pertama adalah
Bab Pendahuluan yang menjelaskan Latar Belakang, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan serta Metodologi dan
Sumber Data. Bab kedua memberi perhatian pada aspek Kependudukan dan Demografi Papua dari kacamata gender.
Bab Ketiga mendiskusikan Pembangunan Manusia dan Kemiskinan dari perspektif gender. Bab Keempat menjelaskan
Pencapaian Pembangunan Manusia di bidang Kesehatan dalam konteks kesetaraan gender. Bab Kelima mendiskusikan
Pendidikan dan Gender. Bab Keenam mengurai Ekonomi dan Gender. Bab Ketujuh Mendiskusikan Perempuan dan
Pengambilan Keputusan. Bab Kedelapan mendiskusikan Otonomi Khusus, Otonomi Perempuan. Bab Kesembilan
mendiskusikan Pengarusutamaan Gender sebagai Strategi pembangunan di Provinsi Papua. Bab Sepuluh menutup
Laporan ini dengan Kesimpulan dan Rekomendasi yang diikuti rekomendasi Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD)
Pengarusutamaan Gender (PUG) Provinsi Papua.
1.d.METODOLOGI DAN SUMBER DATA
Laporan ini disusun melalui beberapa metode, baik melalui kajian literatur dan serangkaian konsultasi dalam bentuk
lokakarya maupun wawancara. Catatan kritis diberikan oleh nara sumber berpengalaman tentang isu gender di Provinsi
Papua dan juga oleh mereka yang memahami aspek teknis sektor dan data yang melatarbelakangi isu gender di wilayah
ini. Daftar individu dan lembaga yang terlibat dalam proses konsultasi dan penyusunan Laporan ini dapat dilihat pada
Lampiran 1. Berbagai literatur dari laporan laporan terkait pembangunan manusia dan aspek gender yang disusun
berbagai lembaga dan individu di Provinsi Papua menjadi acuan, yang kemudian dikonsultasikan dengan narasumber
baik dari kalangan pemerintah, universitas, organisasi non pemerintah maupun individu-individu yang memahami
persoalan masyarakat, khususnya dalam konteks kesetaraan gender di wilayah ini.
Sumber data utama yang digunakan, khususnya dalam penghitungan IPGdan IDG, adalah data dan informasi yang
dikumpulkan, dikelola dan disusun oleh Badan Pusat Statistik Nasional di Jakarta maupun Provinsi Papua untuk Laporan
Pembangunan Manusia. Selain itu, data-data yang berasal dari data Kependudukan dari Sensus Penduduk 2010, data
Susenas dan data Sakernas serta data lain terkait perkembangan ekonomi dan sosial lain di Provinsi Papua menjadi
dasar analisis Laporan. Laporan ini juga memanfaatkan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam rangka
penyusunan Laporan MDGs Provinsi Papua, di samping data dan informasi yang diterbitkan secara khusus oleh lembaga
pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan) dan data Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Respek.
Mengingat terbatasnya ketersediaan data terpilah berdasar gender dan jenis kelamin di Provinsi Papua, maka Laporan
juga memanfaatkan data dan informasi serta analisis yang telah disusun oleh berbagai lembaga, termasuk lembaga
donor, universitas, organisasi pemerintah serta individu yang terkait gender di Provinsi Papua.
22 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
2. a. PENDUDUK, PERTUMBUHAN DAN DISTRIBUSINYA
PENDUDUK, STRUKTUR SOSIAL BUDAYA, PERTUMBUHAN DAN DISTRIBUSINYA
Dari hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi Papua adalah 2.833.381 orang yang terdiri dari 1.327.498
perempuan dan 1.505.883 laki-laki1
dengan laju pertumbuhan penduduk provinsi di tahun 2010 sebesar 5,39 persen
pertahun merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tingginya laju pertumbuhan di provinsi Papua dipengaruhi oleh
masuknya migran pekerja ke wilayah ini, terutama pekerja di sektor pertambangan.
Di dalam jumlah penduduk sebesar 2.833.381 orang tersebut, terdapat kurang lebih 44 sub budaya, 177 suku dan 251
bahasa2
. Sejumlah bahasa lokal tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu Austronesia dan Non-
Austronesia. Keluarga dan suku (klan) adalah unit terkecil di dalam budaya dan masyarakat Papua dan mereka adalah
basis organisasi informal dalam masyarakat. Keluarga besar termasuk orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan,
pasangan (suami istri), anak-anak dan cucu-cucu. Meski dalam satu rumah, anggota keluarga, misalnya yang sudah
menikah, tidak selalu berbagi makanan yang sama. Bahkan pasangan memiliki dapur dan ruang dalam rumah yang
berbeda.
Di Papua, walaupun suami istri adalah anggota dari keluarga yang sama, hal ini tidak secara otomatis diartikan bahwa
mereka berbagi semua makanan. Beberapa bagian dari makanan bisa saja dibagi kepada tetangga daripada dengan
suami dan anak-anak. MDaging dan ikan biasanya dibagi di antara laki-laki yang hidup dan tinggal di perairan atau
pantai. Salah satu alasan adalah jenis makanan ini sering ditabukan bagi perempuan yang masih dalam masa reproduksi
dan juga untuk anak-anak karena dianggap‘mengganggu’kesehatan mereka3
.
Kekayaaan budaya yang berbasis bahasa di Papua dapat dilihat dari keragamannya. Di Kabupaten Biak terdapat satu
budaya yang berbasis bahasa, sementara di Kabupaten Jayapura terdapat kurang lebih 85 bahasa dan sub-budaya.
Perbedaan dan keragaman budaya di Papua juga disertai dengan berbagai struktur dan konstruksi budaya yang
membentuk relasi perempuan dan laki-lakinya, termasuk dalam pembagian peran dan tanggung jawabnya. Dengan
adanya pemekaran wilayah Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat, maka hampir semua struktur budaya
masyarakat Provinsi Papua adalah patriarki4
.
Dari begitu banyak bahasa lokal tersebut, terdapat lima bahasa lokal utama yang diucapkan oleh masyarakat Papua
yaitu seperti nampak pada tabel di bawah ini.
1. 	 Papua Dalam Angka 2012 (BPS) mencatat bahwa dengan luas wilayah 316.553,10 km2, kepadatan penduduk di Papua sebanyak 9 jiwa per km2.
Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 278 jiwa per km2
, diikuti Kabupaten Jayawijaya (85 jiwa per km2
) dan Kabupaten Mimika (82 jiwa per
km2
). Sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Mamberamo Raya, yakni kurang dari 1 jiwa per km2
.
2.	 DjekkyR.Djoht“Etnografi,SejarahPerkembangannyadanKlasifikasiKebudayaan-KebudayaanDiPapua,2006.KataPapuaberasaldaribahasaMelayu
“pua pua’ yang berarti ‘keriting’.
3.	 GRM Report “ November 2008 – January 2009 PAPUA ASSESSMENT USAID/INDONESIA-Final Report
4.	 Patriarki berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘ayah dan aturan’. Jadi, Patriarki berarti aturan keluarga atau organisasi yang dibuat oleh ayah.
Walaupun patriarki awalnya hanya mencakup relasi di dalam keluarga. Dalam prakteknya, patriarki mengacu pada tatanan masyarakat yang
didominasi oleh laki-laki (Sejarah Klasik, http://ancienthistory.about.com/od/familyanddailylife/g/011310Patriarchy.htm). Kelompok masyarakat
dengan budaya matriarkhi hanya terdapat di bagian suku Muyu di Merauke. Sementar beberapa suku dengan budaya matriarki ada di wilayah Provinsi
Papua Barat, yaitu di wilayah Mamberamo, juga di antara suku Hatam, Hala dan Sou di Manokwari.
PENDUDUK, DEMOGRAFI
DAN GENDER 	
BAB 2
23Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
5. 	 Berdasarkonsepantropologi, masyarakatpapuadapatdibagiberdasarpolaperkawinandanrelasidalamkelompokethno-linguistic;hirarki,pertukaran
makanan, saling meolong, akses pada tanah dan sumber daya, dan hak waris.
Tabel. 2.1. Bahasa Lokal utama dan Jumlah Penduduk yang Menggunakannya, 2010.
1,230,264
1,684,144
2,833,381
2000 20101900
500,000
-
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
Sumber : Rangkuman dari Republic of Indonesia, “Core document forming part of the reports of States parties”, 15 October 2010
Dalam hal rasio ketergantungan di Provinsi Papua terus menurun dalam beberapa dekade. Secara umum, rasio
ketergantungan yang menurun menunjukkan bahwa beban tanggungan penduduk usia produktif makin berkurang.
Pada tahun 1990, setiap 100 orang penduduk usia produktif di Papua harus menanggung sekitar 79 orang non produktif
sedangkan pada tahun 2000 dan 2010 terus turun menjadi 62 orang dan 56 orang. Hal ini merupakan sebuah kesempatan
besar bagi Papua untuk melakukan investasi karena beban tanggungan penduduk makin berkurang. Namun demikian,
mengingat peran ekonomi keluarga di daerah perkampungan pada umumnya dilakukan oleh perempuan, maka rasio
ketergantungan ini tidak secara penuh dapat menerangkan beban kerja anggota perempuan dan laki-laki yang deasa.
Di keluarga Papua, pada umumnya perempuan bertanggung jawab untuk menyediakan sayuran dan makanan yang
dianggap‘cocok’untuk perempuan dan anak-anak. Terdapat pembagian peran yang cukup jelas antara perempuan dan
laki-laki dalam hal kontribusinya kepada pendapatan, walaupun terdapat akses yang berbeda pada sumber daya.
Di antara keluarga besar juga berbagi kepemilikan tanah dan berbagi peran dalam mengasuh anak. Oleh karenanya bila
pemerintah dan lembaga non pemerintah hendak mengembangkan program pembangunan yang melibatkan keluarga
adalah penting untuk memasukkan konsep keluarga besar yang berbagi pendapatan dan produksi dengan anggota
keluarga besar. Hubungan keluarga terikat dalam aturan hak waris, relasi gender dan kepemimpinan.
Tiap kelompok etnis di tiap desa memiliki budaya dan tradisi yang terkait aturan penggunaan sumber daya, kompensasi
atas persoalan pribadi seperti pernikahan, aturan moral dan juga adat. Lembaga adat mengatur dan menjadi penasehat
ketika muncul perselisihan yang memerlukan solusi. Lembaga keagaman berada pada tingkat desa dan pada umumnya
terlibat dalam pelayanan pendidikan dan keagamaan. Di wilayah yang jauh dari kota, gereja sering merupakan satu-
satunya lembaga yang dipakai untuk memfasilitasi pertemuan pertemuan desa.
Masyarakat Papua memiliki aturan kehidupan sosial atas hak dan tanggung jawabnya5
. Aturan-aturan ini terkait aturan
dan pola perkawinan dan relasi dalam kelompok ethno-linguistic: hirarki, pertukaran makanan, saling meolong, akses
pada tanah dan sumber daya,hak waris perempuan,pembagian kekuasaan dan kepemimpinan serta kebiasaan.
Secara umum, perempuan akan ‘masuk’ ke dalam keluarga suami ketika menikah dan pindah ke rumah mertua. Bagi
perempuan yang berada dalam sistem ini, anak seringkali menjadi milik keluarga suami sehingga ketika terjadi perceraian
mereka akan kehilangan sepenuhnya hak asuh mereka. Biasanya keluarga suami akan mempersiapkan mas kawin kepada
keluarga pihak perempuan, yang pada umumnya tidak mau mengembalikan mas kawin tersebut ketika perempuan (istri)
akhirnya bercerai. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan tekanan tekanan di pihak perempuan dan bahkan kekerasan
terhadapnya. Alasan lain mengapa saudara istri tidak mau meninggalkan mas kawin karena seringkali mas kawin tersebut
sudah dipakai anggota keluarga laki-laki dari pihak perempuan untuk menikah dan untuk mencegah adanya keributan
di antara suami istri. Dengan demikian, hubungan perkawinan dengan mas kawin dianggap mempersatukan klan.
Di beberapa bagian dari masyarakat Papua, poligami adalah hal yang biasa dan hal ini sering menyebabkan adanya
penularan penyakit-penyakit karena hubungan seksual yang menyebabkan perempuan secara psikologis tertekan.
Aspek lain dari sistem kekeluargaan yang terkait aspek gender adalah kewajiban suami untuk menanggung kebutuhan
keluarga besar. Sistem ini, seperti yang terjadi di masyarakat Merauke dan Marind, menyebabkan perempuan sering
mendapat bagian terakhir dari makanan. Karena perempuan memiliki tugas berat maka mereka sering mengalami
persoalan kekurangan gizi, terutama ketika mereka dalam situasi hamil dan menyusui.
24 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
Data yang berasal dari BPS Provinsi Papua menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 2.833.381
orang, terdapat sekitar 74.9% adalah penduduk asli Papua dan sekitar 23,25 % adalah penduduk non Papua, sementara
sekitar 1.9% tidak masuk ke dalam kedua kategori karena tidak diperolehnya informasi dalam proses enumerasi6
.
Penduduk non Papua merupakan migran yang berasal dari berbagai wilayah, antara lain Jawa, Batak, Toraja, Makassar,
Bugis dan wilayah timur lain, seperti Nusa Tenggara Timur and Ambon.
Pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Papua mencapai 5.39% dan angka pertumbuhan ini adalah satu di antara yang
tertinggi di Indonesia.
Tabel. 2. 2. Proporsi Penduduk Papua dan Non Papua, berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010
Papua Non Papua
Perempuan
Sub-Total
% Perempuan dari
total penduduk
Tak Terjawab Total
1,008,604 302,350 16,544 1,327,498
2,121,436 658,708 53,237 2,833,381
48% 46% 31% 47%
Sumber : Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Papua yang diolah, 2012
Data BPS hasil Sensus Penduduk tahun 2010 untuk Provinsi Papua menunjukkan bahwa di antara penduduk Papua
sejumlah 2.121.436 orang, terdapat 48% penduduk Papua perempuan, dan di antara penduduk non Papua, terdapat 46%
penduduk Non Papua perempuan. Sementara itu, di antara perempuan yang ada di Provinsi Papua sebesar 1.327.498
orang, 76% di antaranya adalah penduduk asli Papua.
Tingkat pemahaman masyarakat tentang penggunaan alat kontrasepsi di Papua sebesar 24,5%, relatif lebih baik
dibandingkan dengan pemahaman masyarakat di wilayah Indonesia yang lain, seperti Nusa Tenggara Timur. Namun
demikian, tingkat ‘total fertility rate’ atau TFR Papua cukup tinggi yaitu sebesar 2,9 (SDKI 2007). TFR sebesar 2,9
mengindikasikan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi atau ‘unmet needs’ dari pelayanan alat kontrasepsi (KB) yang
membawa implikasi bukan hanya pertambahan jumlah penduduk yang melebihi harapan tetapi juga resiko kesulitan
dalam proses melahirkan, termasuk resiko kematian di antara kelompok perempuan subur yang berada dalam kriteria
beresiko (umur di atas 40 tahun, usia dini dan mereka yang memiliki anak dengan frekuensi yang tinggi dan jarak
kelahiran yang pendek)7
.
Gambar2.1. Penduduk Papua, 1990 – 2010.
1,230,264
1,684,144
2,833,381
2000 20101900
500,000
-
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
Sumber : Penduduk Dalam Angka 2012, BPS Provinsi Papua
Selama sepuluh tahun, antara hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010, laju pertumbuhan penduduk adalah 5,39 persen.
Diproyeksikan oleh BPS bahwa laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua pada tahun 2011 adalah 2,60%. Berdasar
kelompok umur, penduduk Papua didominasi oleh Kelompok Usia Muda (0-14 tahun), sementara proporsi terkecil
7. 	 BKKBN, UNFPA, UNICEF, AusAID “Analisa situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaten jayapura, Jayawijaya,
Manokwari, dan Sorong).
25Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
adalah dari penduduk usia di atas 55 tahun. Komposisi penduduk semacam ini menandakan bahwa angka harapan
hidup di Provinsi Papua masih rendah (pada tahun 2010 angka harapan hidup di Papua adalah 68,60 tahun). Selain itu,
komposisi penduduk seperti di atas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang tinggi yaitu sebesar
57,40 persen pada tahun 20118
.
2.b.  KEMANA HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA?	
Data Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk di Provinsi Papua berjumlah 2.833.381 orang
(1,505,883laki-lakidan1.327,498perempuan). Rasiojeniskelaminpendudukperempuandibandingkanlaki-lakidiPapua
menunjukkan rasio yang tidak seimbang yaitu penduduk perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki, yaitu sebesar 113.4,
Ini berarti bahwa di antara 100 perempuan terdapat 113,4 orang laki-laki. Untuk kepentingan analisis pada Laporan ini,
rasio penduduk berdasar jenis kelamin dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk perempuan dibagi dengan
jumlah penduduk laki-laki. Dengan perhitungan tersebut maka berarti terdapat 88 perempuan di antara 100 orang laki-
laki di Papua pada tahun 2010. Trend ketidakseimbangan rasio jenis kelamin penduduk Papua telah terjadi sejak tahun
1990an dan memburuk pada pada tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada tahun 1995, rasio penduduk perempuan
terhadap laki-laki adalah 0,96, menurun menjadi 0,90 pada tahun 2000 dan menjadi 0,88 pada tahun 2010. Pemerintah
perlu memperhatikan adanya kecenderungan rasio jenis kelamin yang menunjukkan kecenderungan terus menurun
dari tahun ke tahun.
Gambar2.2 Rasio Jenis Kelamin Penduduk Perempuan per 100
Penduduk Laki-laki Papua, 1995, 2000, dan 2010
0,96
0,90
0,88
2000 20101905
0.88
0.86
0.84
0.90
0.92
0.94
0.96
0.98
Sumber : BPS Provinsi Papua, “Papua Dalam Angka 2012” yang diolah
Laporan AusAID dan UNICEF tentang “Gender and Poverty Study of Papua” (2008) pernah memprediksi bahwa
rasio jenis kelamin ini akan terus menurun sampai sekitar 0,894 di tahun 2010. Namun rupanya di tahun 2010, Sensus
Penduduk mencatat bahwa rasio jenis kelamin menjadi lebih timpang yaitu 0.88. Dari data yang dikeluarkan oleh BPS
Provinsi Papua tentang jumlah penduduk per bulan September 2011, yang disusun dalam rangka menyusun Daftar
Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), jumlah penduduk Papua adalah berjumlah 3.153.981 (1.466.755 perempuan
dan 1.687.226 laki-laki) dan dengan rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,869. Rasio penduduk ini
menunjukkan pula bahwa rasio jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi makin rendah hanya dalam
masa 1 tahun. Artinya terdapat persoalan yang harus dianalis dengan cermat dan diberikan solusi yang tepat terkait
ketimpangan jenis kelamin di antara penduduk Papua.
Struktur demografi di Provinsi Papua menunjukkan adanya rasio penduduk berdasar jenis kelamin yang secara signifikan
tidak seimbang. Hanya pada penduduk dengan usia antara 20-29 tahun dan di atas 95 tahun saja, jumlah penduduk
perempuan seimbang atau sedikit lebih banyak dari laki-laki. Data ini menghasilkan suatu indikasi bahwa perempuan
mengalami kematian prematur lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-lakinya. Dengan kecenderungan
situasi rasio jenis kelamin penduduk yang tidak seimbang yaitu jumlah penduduk perempuan yang lebih sedikit dari
8. 	 BPS Provinsi Papua, Papua Dalam Angka 2012, 2012
26 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
jumlah laki-laki yang bahkan selama sepuluh (10) tahun terakhir di hampir semua kelompok umur, khususnya di atas usia
40 tahun, akan memberikan indikasi akan adanya Angka Harapan Hidup perempuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan Angka Harapan Hidup laki-laki. Walaupun jumlah perempuan Papua secara absolut tidak berkurang, namun
rasio ini dapat dikatakan menggambarkan suatu fenomena “hilangnya” perempuan di Papua dalam konteks gender.
“Hilangnya” perempuan Papua ini juga mengindikasikan masih terbatasnya ketersediaan dan mutu pelayanan dasar
untuk masyarakat, khususnya perempuan. Fenomena kependudukan semacam ini perlu mendapat perhatian para
pengambil keputusan, mengingat situasi kesehatan perempuan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan aksesibilitas
akan prasarana dan pelayanan kesehatannya.
Tabel 2.2: Jumlah Penduduk dan Rasio Perempuan dan Laki-laki per Kelompok Umur,
Hasil Sensus Penduduk 2010
Sumber : BPS, Sensus Penduduk Indonesia, 2010
Selanjutnya, Data BPS hasil Sensus Penduduk 2010 (dengan estimasi data penduduk tahun 2006) yang tersedia
menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup Papua total adalah 72,91, sedangkan Angka Harapan Hidup perempuan
adalah 74 dan sementara Angka Harapan Hidup laki-laki adalah 70,959
. Perhitungan di tabel 2 di bawah menunjukkan
bahwa Angka Harapan Hidup penduduk perempuan di Papua terus meningkat dan lebih tinggi dari Angka Harapan
Hidup laki-laki. Kecenderungan akan Angka Harapan Hidup Perempuan tersebut konsisten dengan teori dan konsep
yang berkembang secara umum, khususnya ketika terdapat adanya pembangunan dan perkembangan prasarana
kesehatan, khususnya kesehatan perempuan yang memadai10
. Namun demikian, konsistennya perolehan AHH yang
dihitung dari anak lahir hidup dan anak masih hidup tetap memerlukan perhatian akan kualitas hidup masyarakat Papua,
khususnya untuk AHH perempuan, mengingat perkembangan prasarana kesehatan primer (Puskesmas) dan pelayanan
tenaga kesehatan di Provinsi Papua yang menunjukkan fluktuasi dan kecenderungan adanya penurunan. Diskusi tentang
9. 	 BPS Provinsi Papua, 2012. Defini Angka Harapan Hidup yang disepakati BPS dan lembaga terkait adalah “suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak
lahir yang akan dicapai oleh penduduk dalam suatu wilayah dalam kurum waktu tertentu”.
27Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
situasi prasarana dan pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya kelompok perempuan di Papua, dapat dilihat pada
bab selanjutnya. Dalam konteks gender, adanya Angka Harapan Hidup perempuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan Angka Harapan Hidup laki-laki menunjukkan adanya persoalan kesehatan yang serius di wilayah ini, khususnya
terkait status dan kualitas kesehatan perempuan.
Gambar 2.3. Angka Harapan Hidup, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010.
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2010
2. c. KOMPOSISI PENDUDUK DALAM KELUARGA DAN BEBAN KERJA GENDER
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa organisasi terkecil di masyarakat Papua adalah klan, yang masing masing
memiliki kelembagaan adat yang mengendalikan batas kepemilikan sumber daya, nilai/harga maupun persoalan
persoalan pribadi, perkawinan, panduan moral, dan persoalan adat, termasuk resolusi konflik ‘alternative dispute
resolution’11
. Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa sekitar 43% dari penduduk Papua tinggal di perkotaan,
sementara 57% nya tinggal di perdesaan. Data penduduk ini mengindikasikan masih kuatnya pola relasi sosial yang
10.	 Angka umur harapan hidup/AHA atau “life expectancy” mewakili lamanya hidup merupakan dimensi umur panjang dan sehat yang mencerminkan
aspek kesehatan. Pada cakupan lebih luas merupakan ukuran kinerja pembangunan sektor kesehatan. AHA dapat dihitung dengan menggunakan “life
table”. Untuk kepentingan penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011, BPS dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan
menggunakan AHA yang dihitung menggunakan pendekatan tak langsung (indirect). Jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung AHA
adalah dua (2) jenis yaitu anak lahir hidup (ALH) dan anak masih hidup (AMH) dengan penghitungan menggunakan pendekatan Paket program
Mortpack.
11.	 Djekky R. Djoht “Etnografi, Sejarah Perkembangannya dan Klasifikasi Kebudayaan-Kebudayaan Di Papua, 2006 . Kata Papua berasal dari kata melayu,
‘pua –pua’ yang artinya keriting.
28 Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
mengikuti tatanan sosial dan adat masyarakat asli Papua, khususnya mereka yang bertempat tinggal dan hidup di
wilayah kampung.
Persoalan ketimpangan yang cukup signifikan antara jumlah penduduk perempuan dibandingkan dengan laki-laki
merupakan persoalan yang memerlukan perhatian. Ketimpangan rasio jenis kelamin penduduk Papua dapat dijelaskan
oleh beberapa kemungkinan, antara lain tingginya angka kematian ibu kala hamil dan melahirkan serta adanya bias
gender yang berbasis budaya yang mendahulukan keberlangsungan hidup anak laki-laki dibanding anak perempuan.
Untuk wilayah seperti Papua yang angka kematian anaknya juga tinggi, hal ini tentu saja mengkhawatirkan.
Adanya rasio jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang di masyarakat dan di keluarga ini
mempengaruhi beban kerja perempuan di dalam rumah tangga. Hasil studi menunjukkan bahwa ketika hamilpun,
perempuan Papua bekerja selama 14 jam per hari, sementara laki-laki bekerja selama 8 jam per hari. Dapat dikatakan
bahwa perempuan memang memiliki beban berganda di dalam rumah tangganya12
. Peran perempuan besar dalam
perekonomian keluarga dan masyarakat, khususnya di sektor Pertanian.
Dalam studi yang dilakukan di beberapa negara dengan persoalan Angka Harapan Hidup (AHH) yang timpang, seperti
di India, Bangladesh dan Botswana, menunjukkan adanya aspek ketimpangan gender yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan, kurangya akses pada fasilitas kesehatan, khususnya kesehatan ibu hamil dan melahirkan, serta
rendahnya otonomi perempuan13
. Studi tersebut juga membuat kesimpulan bahwa perempuan punya peran besar
dalam pembangunan. Hanya saja peran perempuan belum diakui masyarakat sekitarnya. Ketika perempuan memiliki
otonomi yang kuat serta akses yang baik pada fasilitas kesehatan dan alat kontrasepsi maka angka kelahiran dan angka
kematian bayi dapat ditekan. Adanya otonomi perempuan juga mengurangi kasus meninggalnya perempuan karena
HIV/AIDS dan juga karena alasan lain, misalnya kasus aborsi yang tidak berhasil. Beberapa negara yang memiliki AHH
yang senjang tersebut mencatat adanya sistem patriarkipatriarki yang kuat yang menyebabkan nyawa perempuan (dan
anak yang dikandung perempuan) dihargai kurang dari nyawa laki-laki. Hal ini merupakan indikasi adanya ketidakadilan
gender di wilayah wilayah tersebut. Secara keseluruhan, adanya ketimpangan rasio jenis kelamin di antara penduduk
perempuan dan laki-laki pada hampir semua golongan umur penduduk membawa implikasi pada transisi dan struktur
demografi di Papua. Persoalan demografi ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak.
Aspek lain yang mempengaruhi struktur demografi Papua perlu mendapat perhatian adalah aspek migrasi, baik migrasi
di dalam wilayah Papua maupun transmigrasi yang dahulu difasilitasi program pemerintah dan juga yang dilakukan
dengan suka rela oleh keluarga pendatang. Studi menunjukkan bahwa migrasi di dalam wilayah Papua lebih disebabkan
oleh faktor penarik‘pull factors’untuk mendapatkan kehidupan sebagai masyarakat yang lebih moderen daripada karena
aspek pendorong‘push factor’seperti persoalan kemiskinan di wialayah asal14
. Adanya dinamika migrasi di dalam Papua
yang disebabkan oleh faktor penarik tersebut mendorong kemungkinan makin ditinggalkannya pekerjaan atau mata
pencaharian di sektor pertanian. Sementara itu, arus transmigrasi saat ini merupakan migrasi spontan pada umumnya
berasal dari masyarakat Bugis, Makasar, Toraja dan Maluku yang pada umumnya bermata pencaharian berdagang,
sementara migrasi yang dikelola pemerintah berasal dari masyarakat Jawa, Madura dan Sumatra yang biasanya bermata
pencaharian pedagang dan Pegawai Negeri Sipil15
.
2. d. FERTILITAS DAN PERNIKAHAN DINI
Penduduk pada kelompok usia subur (15-49 tahun) merupakan mayoritas (59%) di Papua. Kondisi ini menunjukkan
adanya potensi isu kesehatan reproduksi yang besar di wilayah ini. Papua juga diidentifikasi sebagai salah satu provinsi
yang memiliki persentase yang tinggi untuk pernikahan dini (di bawah 15 tahun). Data menunjukkan bahwa pada tahun
2010 terdapat 55% penduduk berusia di atas 10 tahun yang berstatus menikah. Dari angka tersebut, penduduk Papua
pada kelompok umur 10 sd 14 tahun yang memiliki status menikah adalah 0.24% sementara penduduk pada kelompok
umur 15 sd 19 tahun yang menikah adalah 14.52% (BPS Provinsi Papua, 2010).
12.	 AusAID and UNICEF, “Gender and Poverty Analysis in Papua”, November 2007
13.	 “The Demographics of Inequality”, September 2011.
14.	 OXFAM’s Poverty Analysis Paper - Papua, disusun oleh R Hewat and L Michell untuk OXFAM GB, 2007.
15.	 AusAID and UNICEF, ibid, 2007
29Laporan Pembangunan Manusia
dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012
Tabel 2.3. Presentase Penduduk Pada Kelompok Usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun
Yang Memiliki Status menikah, Provinsi Papua, 2010.KELOMPOK UMUR Persentase
Berumur 10 - 14 0.24%
Berumur 15 - 19 14.52%
Sumber : BPS Provinsi Papua, 2010
Yang ironis, dicatat pula bahwa perceraian pada perkawinan usia dini juga cukup signifikan16
. Data tahun 2003
menunjukkan bahwa 1% dari perempuan pada usia 15 tahun telah pernah menikah dan separuhnya berstatus cerai.
Data menunjukkan bahwa angka ini meningkat dibandingkan angka pada tahun 199717
. Angka hasil Sensus Penduduk
2010 menunjukkan bahwa sekitar 18.6% dari perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun sudah pula bercerai,
sementarasekitar2%dariperempuanyangmenikahantaraumur15sampai19tahunmengalamiperceraian18
.Studilebih
lanjut akan persoalan ini perlu mendapat perhatian mengingat implikasi perkawinan dini sering diikuti oleh persoalah
putus sekolah di antara anak perempuan, di samping kehamilan dini. Hal ini tentu saja merugikan perempuan Papua
karena hilangnya kesempatan perempuan untuk mengecap pendidikan lebih tinggi, juga meningkatkan kerentanan
selama hamil dan melahirkan. Kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Papua salah satunya disebabkan oleh usia dini
perkawinan perempuan. Kedua isu tersebut mempengaruhi kualitas dan status pendidikan dan kesehatan perempuan
muda di Papua, yang pada umumnya rendah.
2. e. PENDUDUK USIA LANJUT
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi empat (4), yaitu usia pertengahan : 45 -59
tahun, lanjut usia 60 -74 tahun,lanjut usia tua 75 – 90 tahun dan usia sangat tua diatas 90 tahun. Namun, penggolongan
penduduk usia lanjut juga sering didefiniskan untuk penduduk pada usia di atas 56 tahun19
. Bila kita pergunakan definisi
yang ditetapkan WHO maka untuk Papua, hanya terdapat 1.9% penduduk yang berada pada kelompok usia di atas
60 tahun. Dari jumlah penduduk di atas usia di atas 60 tahun tersebut, 59% di antaranya adalah penduduk laki-laki
dan sisanya yaitu sekitar 41% adalah penduduk perempuan. Untuk konteks Indonesia, komposisi penduduk usia lanjut
dipengaruhi oleh turunnya tingkat fertilitas, perbaikan Angka Harapan Hidup dan meningkatnya tingkat bertahan
hidup. Papua merupakan satu dari empat provinsi dengan persentase penduduk usia lanjut yang rendah20
. Berbeda
dengan wilayah Indonesia yang lain (dan juga wilayah Negara berkembang dan maju yang lain) di mana perempuan
merupakan mayoritas dari kelompok usia lanjut, di wilayah Papua lebih banyak laki-laki usia lanjut dibandingkan
dengan perempuan21
. Di Papua, peran untuk merawat orang lanjut usia ada pada kelompok laki-laki22
. Mengingat
data kependudukan di Provinsi Papua menunjukkan rasio penduduk perempuan yang lebih kecil dibanding laki-laki,
hampir pada semua kelompok usia (kecuali usia di atas 95 tahun), adanya persoalan rendahnya tingkat regenerasi atau
‘replacement’dari kelompok usia lanjut, khususnya di Papua, perlu menjadi perhatian.
16.	 AusAID and UINCEF, ibid, 2007
17.	 Catatan dan bahan Analisis Gender dan Kemiskinan untuk UNICEF (2008), menunjukkan bahwa 40% anak perempuan ( 15 sd 18 tahun) di perkotaan
dan 23% anak perempuan pada jenjang usia yang sama di perdesaan punya status menikah. Angka ini drastis meningkat drastis dibanding pada tahun
1997.
18.	 Hasil Sensus Penduduk 2012, BPS Provinsi Papua
19.	 Menurut beberapa studi di Indonesia, definisi kelompok lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak
berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2002). Saparinah Sadli ( 1983) berpendapat bahwa pada usia
55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium dan pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya
tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya.
20.	 Nugroho Abikusno, untuk UNFPA Indonesia “Papers in Population Ageing No. 3, Older Population in Indonesia: Trends, Issues and Policy Responses, 2007
21.	 Sering disebut ‘the feminization of the elderly’
22.	 UNFPA, UNICEF, AusAID, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) “Analisa Situasi keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat”, 2007
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua
PHDR GENDER Papua

More Related Content

What's hot

Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Irma Damayanti
 
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Muh Saleh
 
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamatMateri kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Muh Saleh
 
Masalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remajaMasalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remaja
Joni Iswanto
 
jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09
mediahusada
 
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Mohammad Subhan
 

What's hot (20)

Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
 
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
 
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
 
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negaraAmalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
 
Kemiskinan
KemiskinanKemiskinan
Kemiskinan
 
4. program kespro (1)
4. program kespro (1)4. program kespro (1)
4. program kespro (1)
 
prinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu giziprinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu gizi
 
Pembangunan kesehatan
Pembangunan kesehatanPembangunan kesehatan
Pembangunan kesehatan
 
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamatMateri kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamat
 
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
 
Penilaian posyandu ii
Penilaian posyandu iiPenilaian posyandu ii
Penilaian posyandu ii
 
Masalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remajaMasalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remaja
 
Karya ilmiah (ESDM)
Karya ilmiah (ESDM)Karya ilmiah (ESDM)
Karya ilmiah (ESDM)
 
jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09
 
Pengantar gerontologi semester s1
Pengantar gerontologi semester s1Pengantar gerontologi semester s1
Pengantar gerontologi semester s1
 
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
 
Ketenagakerjaan
KetenagakerjaanKetenagakerjaan
Ketenagakerjaan
 
Proyek perubahan dumdum ppt
Proyek perubahan dumdum pptProyek perubahan dumdum ppt
Proyek perubahan dumdum ppt
 

Viewers also liked

Guilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenesGuilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenes
Luis guilcapi
 
Guilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenesGuilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenes
Luis guilcapi
 
диагностический блок
диагностический блокдиагностический блок
диагностический блок
AkuJIa
 
The capitalism distribution-12.12.12
The capitalism distribution-12.12.12The capitalism distribution-12.12.12
The capitalism distribution-12.12.12
Gustavo Kahil
 
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESSCapital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
Alkis Vazacopoulos
 
Professionalism
ProfessionalismProfessionalism
Professionalism
Alicecen
 
1. pendahuluan
1. pendahuluan1. pendahuluan
1. pendahuluan
Aguss Aja
 
Los dones del_espiritu
Los dones del_espirituLos dones del_espiritu
Los dones del_espiritu
Tito Ortega
 
об’єднаймо школи
об’єднаймо школиоб’єднаймо школи
об’єднаймо школи
08600 Vasilkov
 

Viewers also liked (20)

Kebudayaan papua
Kebudayaan papuaKebudayaan papua
Kebudayaan papua
 
Soal dan Jawaban - ISBD
Soal dan Jawaban - ISBDSoal dan Jawaban - ISBD
Soal dan Jawaban - ISBD
 
Educação Ambiental através do Espaço Construído da Escola
Educação Ambiental através do Espaço Construído da EscolaEducação Ambiental através do Espaço Construído da Escola
Educação Ambiental através do Espaço Construído da Escola
 
Segre1997
Segre1997Segre1997
Segre1997
 
Guilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenesGuilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenes
 
Japanese Genotype-phenotype Archive へのデータ登録
Japanese Genotype-phenotype Archive へのデータ登録Japanese Genotype-phenotype Archive へのデータ登録
Japanese Genotype-phenotype Archive へのデータ登録
 
Guilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenesGuilcapi mis imagenes
Guilcapi mis imagenes
 
Celebrate professional transitions and successes to drive and sustain impleme...
Celebrate professional transitions and successes to drive and sustain impleme...Celebrate professional transitions and successes to drive and sustain impleme...
Celebrate professional transitions and successes to drive and sustain impleme...
 
Gerencia de proyectos de tecnología educativa
Gerencia de proyectos de tecnología educativaGerencia de proyectos de tecnología educativa
Gerencia de proyectos de tecnología educativa
 
диагностический блок
диагностический блокдиагностический блок
диагностический блок
 
The capitalism distribution-12.12.12
The capitalism distribution-12.12.12The capitalism distribution-12.12.12
The capitalism distribution-12.12.12
 
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESSCapital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
Capital Investment Industrial Modeling Framework - IMPRESS
 
Professionalism
ProfessionalismProfessionalism
Professionalism
 
1. pendahuluan
1. pendahuluan1. pendahuluan
1. pendahuluan
 
Angle Resolved colour of Prints
Angle Resolved colour of PrintsAngle Resolved colour of Prints
Angle Resolved colour of Prints
 
Server-Solvers-Interacter-Interfacer-Modeler-Presolver Libraries and Executab...
Server-Solvers-Interacter-Interfacer-Modeler-Presolver Libraries and Executab...Server-Solvers-Interacter-Interfacer-Modeler-Presolver Libraries and Executab...
Server-Solvers-Interacter-Interfacer-Modeler-Presolver Libraries and Executab...
 
Los dones del_espiritu
Los dones del_espirituLos dones del_espiritu
Los dones del_espiritu
 
2 corresponsabilidade
2 corresponsabilidade2 corresponsabilidade
2 corresponsabilidade
 
4erliders
4erliders4erliders
4erliders
 
об’єднаймо школи
об’єднаймо школиоб’єднаймо школи
об’єднаймо школи
 

Similar to PHDR GENDER Papua

652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
Dian631634
 
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat PapuaRingkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
NaciJacqueline Hamadi
 
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docxEPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
Dian631634
 
Materi Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu KepiMateri Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu Kepi
yulestian
 

Similar to PHDR GENDER Papua (20)

PERMASALAHAN KESETARAAN GENDER DALAM SISTIM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
PERMASALAHAN KESETARAAN GENDER DALAM SISTIM SOSIAL BUDAYA INDONESIAPERMASALAHAN KESETARAAN GENDER DALAM SISTIM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
PERMASALAHAN KESETARAAN GENDER DALAM SISTIM SOSIAL BUDAYA INDONESIA
 
Skripsi weni
Skripsi weniSkripsi weni
Skripsi weni
 
652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
652-Article Text-12395-1-10-20190516 (1).pdf
 
Ketimpangan gender di rumah sakit
Ketimpangan gender di rumah sakitKetimpangan gender di rumah sakit
Ketimpangan gender di rumah sakit
 
Tata kelola pelayanan publik bagi anak jalanan
Tata kelola pelayanan publik bagi anak jalanan Tata kelola pelayanan publik bagi anak jalanan
Tata kelola pelayanan publik bagi anak jalanan
 
Gender slide
Gender slideGender slide
Gender slide
 
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat PapuaRingkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
Ringkasan eksekutif Rapat Dengar Pendapat Papua
 
RDPU_Kesejahteraan Ibu dan Anak_Rini Poltekesos.pptx
RDPU_Kesejahteraan Ibu dan Anak_Rini Poltekesos.pptxRDPU_Kesejahteraan Ibu dan Anak_Rini Poltekesos.pptx
RDPU_Kesejahteraan Ibu dan Anak_Rini Poltekesos.pptx
 
Faktor faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang menopause
Faktor faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang menopauseFaktor faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang menopause
Faktor faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu tentang menopause
 
Migrasi dan Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Papua
Migrasi dan Pertumbuhan Penduduk di Provinsi PapuaMigrasi dan Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Papua
Migrasi dan Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Papua
 
PP. Kependudukan Dan Tenaga Kerja.pptx
PP. Kependudukan Dan Tenaga Kerja.pptxPP. Kependudukan Dan Tenaga Kerja.pptx
PP. Kependudukan Dan Tenaga Kerja.pptx
 
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docxEPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
EPIDEMIOLOGI KESEHATAN REPRODUKSI LANJUT.docx
 
Program Penanggulangan Kemiskinan - Andika Azzi Djannata
Program Penanggulangan Kemiskinan - Andika Azzi Djannata   Program Penanggulangan Kemiskinan - Andika Azzi Djannata
Program Penanggulangan Kemiskinan - Andika Azzi Djannata
 
Materi Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu KepiMateri Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu Kepi
 
Perkembangan pembangunan (suripto 2013)
Perkembangan pembangunan (suripto  2013)Perkembangan pembangunan (suripto  2013)
Perkembangan pembangunan (suripto 2013)
 
Bagaimana berkarya dan bekerja dalam mencapai kesetaraan gender (monita)
Bagaimana berkarya dan bekerja dalam mencapai kesetaraan gender (monita)Bagaimana berkarya dan bekerja dalam mencapai kesetaraan gender (monita)
Bagaimana berkarya dan bekerja dalam mencapai kesetaraan gender (monita)
 
Dependency ratio jawa barat
Dependency ratio jawa barat Dependency ratio jawa barat
Dependency ratio jawa barat
 
Masa depan generasi muda dengan kb
Masa depan generasi muda dengan kbMasa depan generasi muda dengan kb
Masa depan generasi muda dengan kb
 
ASPEK SOSIAL BUDAYA KEHAMILAN
ASPEK SOSIAL BUDAYA KEHAMILANASPEK SOSIAL BUDAYA KEHAMILAN
ASPEK SOSIAL BUDAYA KEHAMILAN
 
JURNAL PDP VOL 5 N0 1 Benny Agus Setiono Kemiskinan
JURNAL PDP VOL 5 N0 1 Benny Agus Setiono KemiskinanJURNAL PDP VOL 5 N0 1 Benny Agus Setiono Kemiskinan
JURNAL PDP VOL 5 N0 1 Benny Agus Setiono Kemiskinan
 

PHDR GENDER Papua

  • 1. Perencanaan dan Penganggaran Yang Berpihak Pada Perempuan, Anak dan Kelompok Rentan LAPORAN PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER PROVINSI PAPUA 2012
  • 2. 2 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini dipersiapkan untuk melengkapi Laporan Pembangunan Papua 2012 yang diterbitkan oleh Bappeda Provinsi Papua dengan bekerjasama dengan UNDP serta dengan melibatkan konsultasi yang intensif dengan berbagai wakil lembaga pemerintah, Majelis Rakyat Papua, organisasi non pemerintah serta individu individu yang peduli pada persoalan gender di Provinsi Papua maupun di tingkat nasional. Laporan ini memberikan perhatian pada isu gender yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan perempuan Papua, yaitu pada aspek kependudukan, aspek kemiskinan serta aspek yang tertinggal di beberapa bidang pembangunan manusia yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Di samping itu, laporan ini juga mengangkat persoalan pengambilan keputusan, otonomi perempuan, serta persoalan konflik dan kekerasan yang dihadapi perempuan. Rangkuman dari Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini akan menjadi bagian yang integratif dan kompelementatif dengan bab-bab yang ada di dalam Laporan Pembangunan Manusia Provinsi papua 2012 yang disusun oleh BAPPEDA provinsi Papua bekerja sama dengan UNDP Indonesia. Informasi dan data yang dipresentasikan dalam persoalan gender pada Laporan ini menjadi dasar pertimbangan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di tanah Papua. Rekomendasi yang dipresentasikan dalam Laporan ini merupakan rekomendasi yang dirangkum dalam serangkaian rencana tindak gender yang disusun secara sistematis dalam kerangka Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG). Rekomendasi rekomendasi tersebut menggiring pada suatu aksi tanggap dalam bentuk RAD PUG yang memasukkan upaya perbaikan pada bidang utama pembangunan manusia, yaitu pembangunan di bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang ekonomi di samping upaya perbaikan di dalam upaya implementasi pelembagaan PUG, perbaikan kesetaraan gender dalam konteks otonomi khusus dan upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan. Persoalan gender di tanah Papua merupakan suatu isu yang urgen dan bersifat darurat. Upaya serius dan sistematis melalui proses perencanaan dan penganggaan pembangunan yang responsif pada persoalan gender dan akuntabel untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender merupakan upaya yang niscaya agar masyarakat Papua, khususnya Orang Asli Papua perempuan, mendapatkan status yang sama dan tidak tertinggal dari saudara Indonesia mereka yang lain. Suatu Rencana Aksi Daerah Pengarustumaan Gender dengan berfokus pada rencana aksi dan tanggap pada bidang bidang utama, yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang ekonomi disusun, menjadi lampiran dan akan menjadi referensi utama upaya untuk mewujudkan kesetaraan gender di tanah Papua. Program dan kegiatan yang tercantum dalam Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender ini hendak merefleksikan mendesaknya kebutuhan intervensi yang sistematis, integrative, dan pada saat yang sama pragmatis dan implementatif, dengan melalui tindak tindakan yang luar biasa. Prinsip-prinsip tersebut hendak mendorong lebih cepat upaya mewujudkan tanah Papua yang damai, sejahtera dan setara di antara warganya, perempuan dan laki, tua muda warga asli Papua dan juga warga non Papua serta bermartabat. Kesetaraan antara perempuan di Tanah Papua, kesejahteraan dan kejayaan kita, perempuan Indonesia. KATA PENGANTAR
  • 3. 3Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF Diukur dengan indikator ekonomi serta indikator pembangunan manusia, Papua merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Data SUSENAS tahun 2010 menunjukkan bahwa Provinsi Papua tetap merupakan provinsi termiskin dengan lebih dari 40 persen dari populasi penduduk tergolong miskin. Perempuan di Papua, secara khusus, memiliki persoalan kerentanan yang berbeda dengan apa yang dihadapi oleh kelompok laki-laki dalam persoalan kemiskinan yang mereka hadapi. Standar kesehatan maupun tingkat pendidikan rata-rata perempuan Papua pada posisi terendah secara nasional. Angka kematian Ibu meninggal karena melahirkan adalah sebesar 1.060 (BPS 2005) dan menurun menjadi sekitar 220 (BPS 2012) merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua menunjukkan bahwa perempuan mengalami kekurangan gizi secara serius. Sekitar 80% perempuan hamil mengalami anemia dan memerlukan perawatanditahun2010.DenganprevalensiKekerasanterhadapRumahTangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak anak sebesar 13,6%, sekitar 10 % lebih tinggi daripada prevalensi KDRT di tingkat nasional, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaporkan menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan. Namun demikian, upaya penanganan korban KDRT masih terbatas dan belum dianggap sebagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ekonomi, walaupun perempuan Papua merupakan pemain utama dalam perekonomian namun pengakuan atas kerja ekonomi maupun dukungan pengembangan dan pemberdayaannya masih terbatas. Kesemua persoalan dan situasi gender di atas menjadikan Indikator Pembangunan Gender (IPG) perempuan Papua lebih rendah dari kaum laki- lakinya, sementara status perempuan Papua jauh tertinggal dibandingkan dengan status perempuan lain di Indonesia. Data tahun 2012 menunjukkan bahwa sepuluh Kabupaten dengan IPG terendah di Indonesia terdapat di provinsi Papua. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 hendak melaporkan status perempuan dan laki-laki Papua dan sekaligus merupakan alat advokasi untuk mewujudkan kesetaraan gender di Papua. Laporan ini mencakup presentasi isu gender pada aspek kependudukan dan demografi, kesehatan, pendidikan dan ekonomi serta politik, di samping persoalan konflik dan kekerasan terhadap perempuan dan anaik dan isu gender dalam konteks otonomi khusus. Disampingitu,perempuanmenghadapipengalamankemiskinanyangberbeda dibandingkan dengan apa yang dialami laki-laki. Perempuan mendapatkan perbaikan kepastian atas partisipasinya di arena politik, antara lain dengan adanya ketersediaan sepertiga (1/3) dari Kursi di Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk diwakili oleh kelompok perempuan. Kepastian akan quota kursi di MRP tersebut diatur dalam Undang Undang no 21/2000 tentang Otonomi Khusus agar perempuan melalui aspek sosial dan budaya dapat mengkikis hambatan Kemana Hilangnya Perempuan Papua? Rasio jenis kelamin yang menunjukkan kecenderungan terus menurun dari tahun ke tahun perlu diwaspadai. Walausuatulaporanpenelitiantentang penduduk Papua pada tahun 2007 menduga adanya pencatatan yang tidak lengkap tentang anggota rumah tangga perempuan sebelum dan sesudah usia reproduksi yang dimulai dari persentase yang rendah pada pencatatan kelahiran bayi perempuan, data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010 mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan rasio penduduk perempuan dibandingkan laki-laki terjadipadasemuakelompokumur Hal ini menandakan adanya kemungkinan harapan hidup perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yang untuk situasi Indonesia yang terus membangun adalah tidak normal.
  • 4. 4 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 untuk mendapat akses sumber daya ekonomi (tanah, modal dan pasar) serta untuk mendapat akses di dunia pendidikan dan pelatihan. Namun demikian, aspirasi perempuan untuk menyuarakan kelompoknya di MRP masih terbatas. Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua juga masih terbatas, hanya di bawah 10% pada Pemilu 2009. Persoalan sistem politik yang tidak kondusif atas adanya partisipasi perempuan dan di samping adanya beban berlebih perempuan dalam mengelola rumah tangga dan ekonomi keluarga yang membatasi waktu perempuan menjadi pembatas perempuan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan untuk berperan aktif di ruang publik, baik di pemerintahan maupun di dunia politik. Di mata perempuan Papua, Otonomi Khusus yang bertujuan untuk memberdayakan masyarat Papua, termasuk perempuan, pada akhirnya hanya dirasakan sebagai bersifat politis saja. Perubahan sosial yang diharapkan dibawa oleh Otsus, yang antara lain hendak memperbaiki status pendidikan, kesehatan dan kemandirian ekonomi masyarakat dan perempuan Papua, belum secara signifikan terjadi. Dalam hal struktur ekonomi, perubahan pada umumnya di sektor ekonomi pelayanan yang terjadi dengan adanya perluasan kesempatan perempuan bekerja di sektor formal, antara lain sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan di sektor pelayanan seperti toko, restoran. Namun demikian, perubahan tersebut hanya terbatas kemampuannya dalam berkontribusi pada pertembuhan ekonomi di perkotaan. Sementara itu, perbaikan ketrampilan perempuan dalam sektor pertanian, yang menghidupi sekitar 60 persen keluarga Papua masih terbatas. Walaupun persentase perempuan yang bekerja dengan dibayar makin meningkat, perempuan yang bekerja tidak dibayar masih menjadi gambaran umum angkatan kerja perempuan Papua. PENDUDUK PAPUA, DEMOGRAFI, DAN GENDER – HILANGNYA MAMA PAPUA Data hasil Sensus Penduduk 2010 itu selanjutnya mencatat bahwa dari jumlah penduduk Papua sebesar 2.833.381 hanya 1.327.498 orang diantaranya adalah perempuan. Sementara, penduduk laki-lakinya adalah 1.505.883 laki-laki. Hal ini menyebabkan penghitungan bahwa di antara 100 penduduk laki-laki terdapat hanya sekitar 88 orang perempuan. Data demografi menunjukkan adanya ketimpangan yang makin memburuk pada rasio penduduk perempuan terhadap laki- laki sejak tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada tahun 1995, rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,96 yang kemudian menurun menjadi 0,90 pada tahun 2000 dan menjadi 0,88 pada tahun 2010. Beberapa indikasi ketidakseimbangan jumlah penduduk di perkampungan pada umumnya disebabkan oleh terbatasnya fasilitas dasar kesehatan yang menyebabkan perempuan mengalami mortalitas atau kematian prematur yang disebabkan oleh masih tingginya kasus kematian ibu karena hamil dan melahirkan, penyakit infeksi dan parasit serta adanya kecenderungan meningkatnya pertumbuhan kasus HIV/AIDS di antara perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kasus di antara kelompok laki-laki. Di perkotaan, ketidakseimbangan jumlah penduduk perempuan dan laki-laki mendapat kontribusi dari adanya migrasi penduduk karena alasan pekerjaan yang tidak mengikutsertakan istri atau anggota keluarga. Tidak seimbangnya rasio penduduk berdasar jenis kelamin tersebut membawa dampak pada beban kerja perempuan, khususnya di kalangan rumah tangga di perkampungan yang mayoritas bermata pencaharian di bidang pertanian. Pertumbuhan penduduk Papua mencapai sekitar 5,39 % pada sepuluh tahun terakhir dan diproyeksikan masih akan meningkat sekitar 2,60% untuk masa 10 tahun yang akan datang. Data Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 mencatat adanya peningkatan angka fertilitas remaja dan kebutuhan ber “KB” yang tidak terjawab (‘the unmet needs”) yang cukup tinggi, yaitu sekitar 21,4% pada tahun merupakan persoalan yang kritikal dalam hal kependudukan di Provinsi Papua, termasuk di antaranya persoalan tingginya tingkat kehamilan yang tidak diharapkan sehingga berkontribusi pada tingginya kasus abortus yang tidak aman. Papua menghadapi persoalan terbatasnya data, termasuk data kependudukan maupun data sosial dan ekonomi. Staf Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, misalnya menghadapi persoalan sulitnya topografi dan geografis dalam menjalankan peran mengumpulkan data. Kesulitan tipologi geografis tersebut meningkatkan biaya pengumpulan data di beberapa wilayah di Papua yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan alat transportasi udara. Terbatasnya data kependudukan juga disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan sipil penduduk,baik pada pencatatan kelahiran, perkawinan, perceraian dan kematian. Pencatatan penduduk dan sipil menjadi sangat penting untuk meningkatkan informasi dan data yang tepat agar dapat diselenggarakan pelayanan dasar pemerintah agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat Papua, perempuan dan laki-laki serta masyarakat yang kebutuhan khusus dengan lebih efektif. Pencatatan sipil juga membantu masyarakat Papua khususnya masyarakat asli
  • 5. 5Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Papua, perempuan dan kelompok miskin untuk dapat mengakses fasilitas perlindungan sosial yang lebih purna. KEMISKINAN DAN GENDER Data kuantitatif tentang kemiskinan di Papua bervariasi tergantung metodologi yang dipergunakan. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggunakan metodologi dan variabel yang berbeda untuk mencatat angka kemiskinan. Studi oleh UNICEF dan AusAID tentang Kemiskinan dan Gender pada tahun 2007 mencatat bahwa bagi masyarakat Papua asli, kemiskinan bukan diukur dari situasi kekurangan atau tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan material tertentu namun dilihat sebagai kurangnya kemampuan untuk menghasilkan penghasilan untuk hidup. Namun jika masyarakat Papua asli ditanya tentang siapa saja di masyarakatnya yang berada posisi kesejahteraan yang lebih baik, maka mereka akan menjawabnya“pegawai negeri, guru, staf kesehatan”. PEMBANGUNAN MANUSIA DAN GENDER – TERENDAH DI INDONESIA SelamainiPapuaselaluberadapadarankingterendahdalampencapaianIndeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang merupakan IPM dengan mempertimbangkan perbedaan capaian perempuan dan laki-laki. Walaupun IPM Papua terus menunjukkan peningkatan, namun peningkatan tersebut tidak mengubah ranking Papua dalam pencapaian IPM dibanding tingkat nasional. Sementara itu, IPG Papua masih begitu jauh dibandingkan IPG di tingkat nasional. Artinya, kesenjangan yang ada di Papua bukan hanya disebabkan oleh aspek perbedaan yang berbasis gender tetapi juga ketertinggalan wilayah Papua. Untuk IPM di tingkat kabupaten/kota, tingkat terendah ada di kabupaten Jayawijaya. Kabupaten Jayawijaya bukan saja merupakan kabupaten dengan tingkat IPM terendah, tetapi juga tingkat IPG yang terendah. Artinya, kualitas hidup manusia yang rendah di Jayawijaya bukan hanya terjadi karena kesenjangan geografis dan akses pada sumber daya pembangunan yang mencolok di dalam provinsi dan di Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh adanya kesenjangan gender di masyarakat ini. Namun demikian, IPG hanya memberikan gambaran parsial terkait status perempuan dan laki-laki di Papua. Hambatan yang dihadapi perempuan Papua lebih muncul ketika kita menilik indikator yang lain yaitu pengukuran pemberdayaan perempuan yang diwakili oleh indikator keterwakilan perempuan dalam parlemen dan juga kontribusi perempuan dalam perekonomian di sektor non ekonomi yang disebut Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). IDG Papua jauh di bawah IDG tingkat nasional. Untuk Papua, IDG menjadi rendah karena persoalan ‘invisibility’ atau tidak nampaknya peran perempuan dalam sektor ekonomi yang mayoritas bermata pencaharian di sektor ekonomi subsisten. PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN GENDER Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Papua adalah 72,91 yang menunjukkan trend positif. AHH perempuan adalah 74 sementara AHH laki-laki adalah 70,95. AHH penduduk perempuan di Papua baik di tingkat provinsi maupun di tingkat Indeks Pembangunan Gender Papua (IPG) berada terendah di tingkat nasional. Kemiskinan yang ada di Papua bukan hanya karena persoalan ketertinggalan karena letak dan situasi geografisnya tapi juga karena kesenjangan dan diskriminasi yang berbasis gender. Sepuluh kabupaten dengan IPG terendah, termasuk Jayawijaya, terdapat di Provinsi Papua. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Papua juga rendah, dan hal ini mendapat kontribusi dari oleh rendahnya partisipasi perempuan di parlemen dan di sektor publik pada posisi manajerial. Walaupun perempuan Papua memiliki persentase tertinggi secara nasional dalam pendapatan ekonomi keluarga, namun karena perempuan mayoritas ada di sektor pertanian subsistens dan sedikit perempuan yang berada di sektor formal, maka IDG papua juga rendah. Indeks Pembangunan Gender Papua (IPG) berada terendah di tingkat nasional. Kemiskinan yang ada di Papua bukan hanya karena persoalan ketertinggalan karena letak dan situasi geografisnya tapi juga karena kesenjangan dan diskriminasi yang berbasis gender. Sepuluh kabupaten dengan IPG terendah, termasuk Jayawijaya, terdapat di Provinsi Papua. Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Papua juga rendah, dan hal ini mendapat kontribusi dari oleh rendahnya partisipasi perempuan di parlemen dan di sektor publik pada posisi manajerial. Walaupun perempuan Papua memiliki persentase tertinggi secara nasional dalam pendapatan ekonomi keluarga, namun karena perempuan mayoritas ada di sektor pertanian subsistens dan sedikit perempuan yang berada di sektor formal, maka IDG papua juga rendah.
  • 6. 6 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 kabupaten/kota juga terus meningkat dan lebih tinggi dari Angka Harapan Hidup laki-laki. Perolehan AHH perempuan yang lebih tinggi dari AHH laki-laki konsisten dengan teori dan konsep yang berkembang secara umum, khususnya ketika terdapat adanya pembangunan yang positif dalam hal prasarana dan sarana kesehatan di wilayah tersebut. Namun demikian, perkembangan dan kecenderungan AHH tersebut nampak tidak konsisten dengan data rasio penduduk berdasar jenis kelamin pada semua kelompok umur penduduk Papua dalam dekade terakhir. Perhitungan AHH yang merupakan salah satu indikator kinerja pembangunan sektor kesehatan dapat dihitung dengan menggunakan “life table”. Namun demikian, karena keterbatasan data maka Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) serta UNDP sepakat untuk menghitung AHH dengan menggunakan pendekatan tak langsung yaitu anak lahir hidup (ALH) dan anak masih hidup (AMH) yang merupakan penghitungan dengan pendekatan paket program Mortpack. Nampaknya penghitungan dengan pendekatan progam Mortpack ini tidak mampu menjelaskan situasi kesehatan masyarakat Papua secara akurat dan konsisten sehingga penggunaan AHH dan selanjutnya hasil penghitungan kolektif IPM dan IPG perlu disertai data dan analis pendukung lainnya. Penyakit utama di antara perempuan dan laki-laki di Papua adalah malaria, penyakit gangguan pernafasan dan tuberkolosis (TBC). Walaupun pemantauan atas kasus HIV/AIDS dilakukan oleh semua kabupaten di Papua, namun beberapa studi terkait HIV/AIDS mencatat adanya keterbatasan peralatan dan kapasitas di antara staf kesehatan untuk merespons tingginya kasus HIV/AIDS. Tingkat prevalensi HIV/AIDS di Papua adalah tertinggi di Indonesia and jumlah kasus yang dicatat menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Kasus HIV/AIDS yang dicatat diduga hanyalah merupakan puncak gunung es dari persoalan yang ada, mengingat perilaku seksual dan keberadaan fasilitas maupun tenaga kesehatan yang sangat terbatas. Situasi dan kondisi kesehatan perempuan dan laki-laki Papua memberi indikasi bahwa AHH penduduk perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Persoalan rasio penduduk perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang, kasus perempuan yang meninggal karena melahirkan yang masih tinggi, tingginya persentase perempuan hamil yang kekurangan nutrisi yang disebabkan oleh praktek praktek terkait gizi makanan yang bias gender yang disebabkan oleh budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat yang mentabukan perempuan untuk tidak mengkonsumsi protein hewani (ikan dan daging) karena persepsi hal ini akan ‘mengganggu’ kesehatan perempuan, rendahnya akses perempuan pada fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan karena faktor geografis yang sulit dan tingginya persentase keluarga miskin serta masih tidak seimbangnya aspek sosial dan budaya terkait relasi gender yang mempengaruhi lemahnya pengambilan keputusan perempuan untuk mengakses dan merujuk ke fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan ketika mereka menghadapi situasi darurat dalam persalinan merupakan sebagian dari begitu banyak persoalan kesehatan yang sarat dengan isu gender. Dalam hal fasilitas kesehatan, terdapat kecenderungan bahwa jumlah Rumah Sakit (RS) di Provinsi Papua meningkat pada beberapatahunini.NamunpeningkatanjumlahRumahSakittersebuttidakdidukungmeratanyakeberadaandanjumlah RS di kabupaten/kota. Bahkan hanya ada 1 RS Jiwa di seluruh Provinsi Papua (yang juga harus berbagi pasien dari Provinsi Papua Barat), padahal persoalan kesehatan reproduksi juga memiliki keterkaitan dengan kesehatan jiwa. Isu tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan masih adanya persoalan trauma di kalangan perempuan setelah masa konflik merupakan persoalan yang serius. Sementara itu, terdapat kecenderungan penurunan jumlah dan efektivitas hampir di semua fasilitas kesehatan dasar (Puskesmas, Polindes, dan Posyandu). Selain itu, data Dinas Kesehatan Provinsi Papua menunjukkan cukup banyak Puskesmas (termasuk Puskesmas keliling) yang dalam keadaan rusak berat, rusak atau tak terdata. Hal ini tentu mengganggu kerja untuk memfasilitasi dan melayani kesehatan masyarakat Papua, khususnya mereka yang miskin dan perempuan. Persoalan tenaga kesehatan di Provinsi Papua juga memiliki isu berdimensi gender. Jumlah perawat di Papua terbata. Jumlah tenaga kesehatan yang lain yang dokter, dokter gigi dan dokter spesialis, serta bidan, bahkan menunjukkan penurunan signifikan pada beberapa tahun terakhir, khususnya dari tahun 2009 samnpai tahun 2011. Beberapa wilayah kabupaten pemekaran di Provinsi Papua bahkan tidak memiliki dokter, apalagi dokter gigi dan dan dokter spesialis. Hal ini memerlukan perhatian serius karena persentase kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan trampil hanya pada 47,58% dan angka ini menurun dari persentase pada tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 58,73% di tahun 2006, 52,27% di tahun 2007, 46,87% di tahun 2008 dan 49,8% di tahun 2009. Hal ini menjadi salah satu sebab yang berkontribusi pada masih tingginya kasus kematian ibu hamil dan melahirkan dan juga kasus kematian bayi.
  • 7. 7Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Kekayaan alam dan hutan membawa ruang dan kesempatan bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan nutrisi dari makanannya. Namun demikian, pada tingkat individu praktek sosial dan budaya di keluarga masih mendudukkan anak- anak dan perempuan hamil dan melahirkan dalam kondisi status gizi yang berkekurangan. Lamanya dan tingginya intensitas konflik yang terjadi antara masyarakat Papua dengan Negara sertatingginya kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan karena konflik di dalam rumah tangga dan di publik mendorong tingginya kasus kesehatan jiwa perempuan Papua. Di samping itu, studi global yang memasukkan Indonesia dan beberapa wilayah Indonesia Timur, termasuk Papua, yang menunjukkan korelasi positif antara tingginya kasus perempuan yang kehilangan anak karena kematian bayi ataupun abortus dengan kesehatan jiwa merupakan indikasi yang perlu diwaspadai. Kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa di Papua menjadikan persoalan kesehatan jiwa kritis. Perempuan Papua memiliki kerentanan yang berbeda dengan laki-laki Papua dalam hal kesehatannya. Bagi perempuan Papua, HIV/AIDS membawa beban bukan hanya pada dirinya tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat, mengingat peran perempuan yang sangat besar pada kehidupan ekonomi dan sosial serta di dalam rumah tangga. Adanya pertunangan dini, bahkan sebelum anak-anak pada usia pubertas, yang dilanjutkan dengan hubungan seksual setelah pubertas, perilaku berganti-ganti pasangan seksual, tingginya persentasi perempuan dan laki-laki dengan persoalan penyakit menular seksual dan tingginya kasus poligami di perkampungan berkontribusi pada kerentanan perempuan. Aspek sosial dan budaya membawa situasi perempuan dengan HIV/AIDS menjadi lebih berat. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN GENDER Aspekkeduadalampembangunanmanusiaadalah pembangunanpendidikan. Pelaksanaanpendidikandanpengajaran masyarakat Papua di masa Orde Lama dan sebagian dari masa Orde Baru sangat tergantung pada keberadaan misionaris. Diberhentikannya atau dibatasinya kelompok misionaris di Papua di masa Orde Baru menjadikan banyak. Dalam hal AngkaMelekHuruf,terdapatkesenjangangendersekitarkuranglebih10%yaituterdapatproporsipendudukperempuan melek huruf yang lebih rendah dibanding proporsi penduduk laki-lakinya. Capaian untuk Angka Melek Huruf antara perempuan dan laki-laki ini juga sangat bervariasi di antara kabupaten kabupaten dan Kota di Provinsi Papua. Dalam hal rata-rata lama sekolah, terdapat perbedaan capaian sekitar 1,5 tahun antara capaian perempuan dan laki- laki. Rata-rata perempuan hanya berada selama 5,83 tahun di bangku sekolah sementara rata-rata laki-laki duduk di bangku sekolah selama 7,33 tahun. Kesenjangan terjadi hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Papua, namun kesenjangan capaian di antara penduduk antar kabupaten/kota juga menyolok. Pemahaman dan motivasi masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki di kalangan masyarakat Papua, khususnya masyarakat Papua asli, dalam upaya mengejar ketertinggalan di Papua perlu ditingkatkan. Persoalan absentisme di antara guru, khususnya yang menunjukkan kecenderungan absentisme yang lebih tinggi di kalangan guru perempuan dan guru orang asli Papua di perkampungan dan tempat yang terisolir, merupakan persoalan yangperlumendapatperhatianPemerintahDaerahprovinsiPapuaagardapatmenjaminterlaksananyapendidikandasar anak-anak Papua, perempuan dan laki-laki. Upaya untuk mengurangi absentisme guru dapat meliputi membangun mekanisme insentif berupa perumahan bagi guru baik perempuan dan laki-laki terutama yang bekerja di pelosok dan daerah terisolir, pengembangan pendidikan guru bantu di kampung serta peningkatan partisipasi masyarakat dan orang tua untuk memastikan agar anak-anak mereka bersekolah dan memastikan terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan menjunjung keadilan merupakan suatu kebutuhan. Penyusunan kriteria yang berprinsip pada keberpihakan pada kelompok miskin dan berkeadilan gender dalam program pemberian beasiswa pada berbagai level merupakan suatu kebutuhan yang penting di Papua. Hal ini untuk mengejar ketertinggalan dan kurangnya kesempatan yang adil bagi kelompok miskin dan marjinal. • Penyelenggaraan usia dini yang responsif pada situasi lokal terbukti efektif untuk mendorong agar anak-anak usia sekolah memasuki sekolah dasar pada waktunya/usianya. Angka putus sekolah, baik untuk anak perempuan dan laki-laki, sangat tinggi yang disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi. Indikator lain yang menjadi perhatian dalam pembangunan millennium adalah rasio yang seimbang antara angka partisipasi sekolah bagi anak-anak (perempuan dan laki-laki) asli Papua dan Non Papua. Terdapat kesenjangan yang berbasis gender dan suku untuk tingkat partisipasi sekolah di tingkat usia sekolah SD, SLTP dan SLTA antara penduduk Asli Papua dan Non Papua,
  • 8. 8 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 di samping terdapat persoalan transisi pendidikan pada berbagai level di Papua. Selanjutnya, terdapat pula kesenjangan partisipasi anak laki-laki asli Papua yang berbalik lebih tinggi dibandingkan pada anak non Papua pada kelompok umur untuk pendidikan tinggi, disamping munculnya persoalan kesenjangangenderpadakelompokusiainiyangberbalikantaraanak-anak perempuan dan laki-laki pada kelompok usia tersebut, yaitu sebesar 8% di antara anak Papua dan sekitar 2 % di antara anak non Papua. Hampir tidak ditemui kesenjangan antara partisipasi sekolah pada anak perempuan asli Papua dan non Papua pada kelompok usia tersebut. Persoalan kesenjangan partisipasi sekolah tersebut perlu mendapat perhatian serius yang terkait implikasinya pada status pendidikan dasar anak Papua pada usia sekolah pendidikan dasar dan menengah, di samping persoalan keadilan gender pada tingkat pendidikan tinggi. Secara keseluruhan dan juga dalam hal l gendernya, belum dicapai oleh Papua. Keberadaan guru di daerah terpencil dan kecocokan kurikulum dan metode pendidikan dengan kebutuhan dan situasi lokal belum sesuai. Penyusunan panduan mata pelajaran muatan lokal yang sensitif gender juga dirasakan penting mengingat mata pelajaran muatan lokal akan membantu lestarinya budaya lokal Papua, disamping mata pelajaran muatan lokal dapat dikaitkan dengan upaya membangun relevansi belajar dengan ketrampilan kerja di masa yang akan datang. Selama ini perencanaan dan pelaksanaan pejaran muatan lokal masih acak dan belum memanfaatkan materi yang memasukkan aspek kelestarian budaya Papua yang ada. Dikeluhkan banyak pihak bahwa bahas ibu di Papua makin hilang. Sebagai contoh, tidak banyak masyarakat yang berasal dari daerah Sentani masih mampu berbahasa Sentani. PEMBANGUNAN EKONOMI DAN GENDER – MAMA PAPUA YANG SERING TERLUPAKAN. Sektor ekonomi yang aktif di Papua adalah sektor pertanian dan pelayanan, di samping sektor pemerintahan. Perempuan Papua yang bertempat tinggal di perkampungan merupakan penggerak ekonomi pertanian di Papua. Perempuan memperoleh pendapatan dari menjual sayur yang berasal dari kebunnya, di samping mendapat akses untuk menambah pendapatan dari perkebunan, industry kayu dan konstruksi. Sementara itu, laki-laki memiliki akses dan kesempatan untuk bekerja di perkebunan yang berskala lebih besar, di samping pada proses penggergajian kayu dan pertambangan, walaupun sebagian besar adalah dengan status pekerja musiman. Dalam hal sektor pertanian, peran perempuan yang besar yaitu masih di atas 60% dan masihberkarakter subsistensi yang membuat kontribusi perempuan Papuadalamsektorinihanyatercatatdalamangkatankerja,tetapitidaktercatat secara memadai dalam perhitungan Pendapatan Daerah Regional Brutto (PDRB). Tingginya tingkat subsistensi sektor pertanian pada masyarakat yang mayoritas berpenghasilan dari sektor pertanian ini menyebabkan perempuan Papua di wilayah kampung memiliki akses yang terbatas pada pendapatan yang memberikan hasil uang. Di pasar-pasar, walaupun perempuan dan laki-laki berjualan namun mayoritas kegiatan di pasar dipegang oleh perempuan. Terdapat beberapa pola atas apa yang dijual oleh perempuan dan laki-laki Papua apabila dibandingkan dengan masyarakat perempuan dan laki-laki non Papua. Pedagang dari kalangan masyarakat Papua pada umumnya berjualan pinang dan sayur mayur serta Pendidikan berbasis asrama yang dikelola dengan baik, merupakan salah satu solusi untuk menjawab sulitnya akses, khususnya di kalangan anak perempuan, pada pendidikan di wilayah terisolir. Walaupun banyak asrama dibangun dan dikelola pemerintah daerah dan lembaga non pemerintah, beberapa laporan menunjukkanbahwasituasidankondisi asrama tidak terawat, tidak memiliki fasilitas yang memadai dan kurang mempertimbangkan keamanan murid dan penghuni perempuannya. Upaya untuk memperbaiki pengadaan dan pengeloaan asrama yang dikelola oleh pemerintah daerah dan lembaga non pemerintah yang professional dan sensitifgender menjadisuatukebijakan yang prioritas. Kalangan pendidik dan orang tua mengharapkan kehadiran asrama berbasis asrama seperti yang pernah didirikan dan dikelola oleh misionaris di masa yang lalu.
  • 9. 9Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 umbi umbian. Sementara masyarakat pendatang menjual hampir semua jenis produk yang ada. Di ibukota Provinsi Papua, Jayapura, Mama Papua mengeluh soal tidak adanya perlakuan yang adil bagi perempuan Papua untuk mengakses tempat berjualan. Mama Papua juga mengeluh sering digusur dan diusir karena pada umumnya berjualan pinang dan sayuran di emper pasar karena tidak mampu membayar sewa tempat di pasar. Saat ini, belum semua kabupaten/ kota memiliki pasar permanen di tingkat kecamatan. Sementara itu, di pasar di Jayapura misalnya, dicatat banyak Mama-Mama Papua yang menyewakan los pasarnya dan pada akhirnya lebih memilih untuk menjual dagangannya di lantai pasar yang seringkali becek di waktu hujan karena persoalan kebiasaan. Selain itu, Mama Mama Papua, khususnya mereka yang datang dari kampung dan gunung dan berjualan di kota besar seperti Jayapura, lebih memilih mendapatkan pendapatan tunai yang cepat dengan cara menyewakan losnya tinimbang menghadapi kemungkinan kerugian karena barang dagangannya tidak laku. Pada umumnya masyarakat perkotaan memiliki akses yang lebih mudah untuk ke sektor perbankan dan lembaga keuangan di bandingkan. Sementara itu, masyarakat perkampungan tidak mudah mendapatkan akses pada pelayanan lembaga keuangan formal. Selain tidak memiliki anggunan seperti seritifikat tanah karena mengingat kepemilikan tanah adalah kepemilikan komunal adat, masyarakat perkampungan juga memiliki akses yang terbatas atas informasi dan pelayanan lembaga keuangan. Bentuk lembaga keuangan tradisional tidak berkembang di masyarakat karena pola sosial dan ekonomi masyarakat Papua yang masih memiliki pola ekonomi subsistensi. Di beberapa wilayah, pertukaran aset dan uang dilakukan melalui pertukaran antara suku (klan) yang pada umumnya terjadi melalui perkawinan dan pembayaran mas kawin. Masyarakat yang hidup lebih dekat dengan perkotaan lebih mengenal sistem keuangan dan pembayaran dan memiliki pola konsumsi pada barang barang dan materi. Pinjaman dari lembaga keuangan sudah dikenal dan bukan hanya untuk pembelian barang produksi tetapi juga barang konsumsi seperti televisi, pakaian dan barang barang non-tradisional. Pada sektorinformaldiperkotaan,laki-lakiPapuaparuhbayaberjualandipasar, sementara kelompok muda Papua menjajakan koran atau menjadi tukang parkir. Sementara itu, sedikit sekali laki-laki Papua di perkampungan yang melakukan pekerjaan ekonomi. Situasi sosial dan budaya yang menempatkan laki-laki Papua pada peran menjaga keluarga, berperang dan hanya membuka lahanbaruyangkemudianmenjadikanmerekamempunyaipersoalanekonomi yang serius. Secara umum dapat dikatakan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Papua tinggi yaitu 75,59% (laki-laki 84,98%), sementara TPAK perempuan non Papua hanya 49,54% (laki-laki 85,42%). Masih terdapat kesenjangan pada TPAK laki-laki Non Papua yang sedikit lebih tinggi dibandingkan TPAK Orang Non Papua. TPAK perempuan Asli Papua sangat tinggi karena perempuan asli Papua melakukan hampir semua pekerjaan ekonomi keluarga, walau tingkat subsistensi di sektor pertanian masih tinggi. Persoalan pengakuan kepada peran perempuan ”Mama Papua” di sektor pertanian dan perdagangan perlu dilakukan. Pemerintah daerah (terutama pemerintah kabupaten dan kota) perlu untuk memahami kebutuhan Mama Papua agar usahanya di bidang ekonomi mendapat dukungan, termasuk tempat berdagang, akses pada informasi, akses pada pamasaran barang dan lain-lain agar Mama Papua mendapat dukungan kongkrit bagi perbaikan Peran perempuan dalam struktur masyarakat adat dan di tingkat kampung dan kecamatan juga sangat terbatas. Perempuan hadir di pertemuan pertemuan di tingkat desa danmenyampaikan pendapat mereka. Namun demikian, pengambilan keputusan dalam proses pembangunan, misalnya pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat RESPEK didominasi oleh kelompok laki-laki. Secara kontras, data sekunder yang dicatat dalam suatu studi gender di Papua menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran vital dalam pengambilan keputusan di keluarga. Hal ini dimungkinkan karena perempuan sebagai pencari nafkah masih memungkinkan untuk membuat keputusan yang terbatas pada penggunaan uang tunai yang jumlahnya juga tidaklah besar. Sementara itu, pengambilan keputusan dalam hal pengeluaran yang tidak rutin, misalnya untuk pendidikan dan kesehatan, masih perlu keputusan dan kesepakatan dengan suami.
  • 10. 10 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 hidupnya. TPAK perempuan di sektor pelayanan sedikit meningkat pada 10 tahun terakhir sejalan dengan berdirinya makin banyak pusat perbelanjaan dan penginapan/hotel di Papua, khususnya di wilayah perkotaan. Partisipasi perempuan di sektor pemerintahan, yang secara tradisional masih didominasi laki-laki, masih rendah dan belum mencapai pekerjaan dengan jabatan senior. Pendataan akan posisi perempuan yang menduduki jabatan di eselon II masih acak. Per 2012 dicatat bahwa terdapat 3 perempuan menduduki posisi pada jabatan eselon II, di antaranya pada Biro Pemberdayaan Perempuan. Sementara itu, mayoritas perempuan juga berada di sektor informal dan pekerjaan yang rentan dengan eksploitasi. Di sisi lain, perempuan masih menghadapi beban ganda atas pekerjaan yang tidak diupah, baik pekerjaan di rumah tangga (pekerjaan domestik dan mengasuh anak), di kebun atau di masyarakat (Posyandu). Beban kerja untuk pekerjaan yang tidak diupah juga menjadi beban anak-anak gadis untuk mengasuh adik-adiknya yang berpotensi menambah kerentanan mereka untuk putus sekolah lebih cepat dibandingkan teman teman laki-lakinya. PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN GENDER Secara umum, laki-laki masih memainkan peran utama dalam berbagai pengambilan keputusan di rumah tangga, di dalam masyarakat adat, dan di ruang publik. Budaya yang menjadikan mas kawin atau ‘belis’ sebagai bagian penting dari perkawinan sering menempatkan perempuan dalam posisi tak berdaya dan sebagai aset keluarga besar karena nilai belis yang diputuskan berdasar proses tawar menawar di kalangan klan dan keluarga besarnya. Belis menjadikan perempuan sering tidak memiliki daya tawar di dalam rumah tangga maupun di dalam klan dan adat. Terdapat banyak kasus keterlambatan perempuan hamil dan melahirkan dalam mengakses pertolongan tenaga kesehatan pada kondisi darurat yang berakibat pada kematian perempuan. Juga, rendahnya daya tawar perempuan dibandingkan laki-laki sering mengakibatkan perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif dan kekerasan. Partisipasi perempuan dalam politik, dalam hal ini parlemen juga terbatas. Hasil Pemilu 2009 mengecewakan perempuan Papua karena keterwakilan perempuan di parlemen (DPR Provinsi dan di tingkat pusat) hanya mencapai 7,1%, jauh di bawah capaian nasional yaitu 18%. Hal ini sangat disayangkan karena Otsus sebetulnya mendorong lebih tingginya partisipasi perempuan di dalam posisi posisi penting di ruang publik, seperti yang diterapkan dalam posisi perempuan sebesar 33% di Majelis Rakyat Papua (MRP). Partisipasi perempuan di ruang publik masih terbatas secara kuantitatif dan kualitatif. Pada tahun 2010, terdapat 11 perempuan duduk di jabatan structural eselon III (atau 9,2%) dan terdapat 107 perempuan di posisi jabatan eselon IV (atau mencapai 21,7%). Sayang sekali belum ada perempuan yang menduduki posisi jabatan eselon IIA di kantor pemerintah Provinsi Papua dan data yang terkait partisipasi perempuan di sektor swasta sayangnya juga terbatas. Beban berganda bagi perempuan atas tugas rumah tangga dan ekonomi membuat perempuan kekurangan waktu untuk meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lainnya yang sangat vital dalam upaya meningkatkan peran dan kualitas perempuan di bidang publik, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Dalam kontekskemiskinan,perempuanmengalamikemiskinanwaktuyangmemberimanfaatdirisendiri. Olehkarenaitu,peran laki-laki perlu dalam upaya perubahan untuk membuka ruang pengambilan keputusan di kalangan perempuan dalam rumah tangga mereka, khususnya dalam bidang kesehatan, yang akan mendukung perbaikan status dan kesehatan perempuan. Terdapat bukti yang didukung studi global bahwa terjadi peningkatan kapasitas pengambilan keputusan perempuan ketika mereka memiliki pendapatan. Makin mandiri perempuan secara ekonomis, makin tinggi kemampuan mereka mengambil keputusan dalam akses mereka pada fasilitas dan pelayanan kesehatannya. Kematian Ibu karena mengandung dan melahirkan dapat dihindari. Selain itu, ketika perempuan mempunyai kemampuan mengambil keputusan, mereka menabung lebih banyak dari laki-laki dan mereka menabung uangnya untuk kepentingan keluarga, baikuntukmakan,gizi,pendidikanmaupununtukkebutuhanpribadiperempuansendiri.Halinitentuakanmemperbaiki kinerja indikator pemberdayaan perempuan pada IDG. OTONOMI KHUSUS DAN OTONOMI PEREMPUAN PAPUA Otonomi Khusus Papua menjadi tonggak bagi perlindungan Orang Papua Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudaranya di provinsi lain di Indonesia. Banyak aturan dalam undang- undang Otsus yang diberikan bersifat proteksi terhadap Orang Asli Papua yang mengarah kepada penguatan
  • 11. 11Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 kemampuan untuk berkembang sendiri. Lahirnya Otsus untuk Papua juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mempunyai sejumlah tugas dan wewenang yang secara khusus bertujuan untuk melindungi, memihak dan memberdayakan Orang Asli Papua sebagai bagian dari Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. MRP juga hendak memastikan bahwa tindakan dan bentuk kekerasan terhadap bangsa Papua, termasuk kaum perempuan Papua akan hilang. Keanggotaan MRP memastikan 1/3nya diwakili oleh kelompok perempuan (1/3 oleh kelompok adat dan sisanya kelompok pemuda). PemerintahProvinsiPapuatelahmengupayakanpembebasanbiayapendidikan dan kesehatan dan mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua di antara kelompok miskin, perempuan dan laki. Beberapa hal terkait upaya mengintegrasikan kriteria terkait prioritas pemberian beasiswa untuk masyarakat miskin dan perempuan perlu mendapat perhatian. Dalam hal pelayanan kesehatan, diseminasi informasi terkait apa yang dapat dicakup oleh perlindungan sosial dalam bentuk berobat gratis perlu diberikan secara luas, khususnya melalui media yang ‘akrab’ dengan kelompok Papua yang miskin dan juga perempuan. Ketiadaan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di beberapa kabupaten/kota di wilayah provinsi perlu mendapat perhatian agar masyarakat termiskin dan perempuan di Papua mendapat manfaat program ini. Terkait pemberdayaan ekonomi perempuan, perlu diidentifikasi upaya-upaya praktis yang inovatif agar perempuan yang bergerak di seksektor pertanian dan perdagangan dapat terbantu dengan tersedianya akses terhadap informasi, tempat dan keuangan. Dukungan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok laki- laki, khususnya di sektor pertanian juga perlu dilakukan, mengingat selama ini pekerjaan di sektor pertanian hampir semuanya dilakukan oleh perempuan. Program ini perlu dilakukan dengan hati hati dan disertai analisis gender yang memadai. Pemahaman akan aspek sosial dan budaya masyarakat Papua perlu dilakukan ketika pendekatan rumah tangga digunakan dalam program pemberdayaan ekonomi perempuan dalam posisi pengambil keputusan di sektor publik masih terbatas. Partisipasi perempuan dalam politik, dalam hal ini parlemen, pada Pemilu 2009 agak mengecewakan karena hanya mencapai 7,1%, jauh di bawah capaian nasional, 18%. Hal ini sangat disayangkan karena melalui Otsus, perempuan Papua mendapat 33% dari posisi di Majelis Rakyat Papua. Pada posisi di eksekutif, dicatat bahwa perempuan masih terbatas partisipasinya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada tahun 2010, terdapat 11 perempuan duduk di jabatan structural eselon III (atau 9,2%) dan terdapat 107 perempuan di posisi jabatan eselon IV (atau menapai 21,7%). Sayang sekali belum ada perempuan yang menduduki posisi jabatan eselon IIA di kantor pemerintah Provinsi Papua. Beban berganda bagi perempuan yang duduk di parlemen dan di pemerintahan membuat perempuan kekurangan waktu untuk meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lainnya. Mereka juga mengalami kekurangan waktu untuk dirinya sendiri. Sayang sekali, terdapatketerbatasaminformasiterkaitpartisipasiperempuandisektorswasta. RAD PUG difokuskan pada kegiatan ke dalam RAPBD, Renja, dan RKA/KL, yang : • Mempengaruhi program utama, dengan dana anggaran besar, yang dampaknya akan besar bagi peningkatan kualitas hidup perempuan dan laki-laki Papua; • Mengusulkan pengarusutamaan gender pada kebijakan, program dan kegiatan dengan menggunakan uraian sesuai dengan proses Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan menggunakan Gender Budget Statement (GBS). Adapun GBS perlu merumuskan (1) analisis gender/kesenjangan gender secara singkat: (2) intervensi repsonsif gendernya; (3) memasukkan indikator input, output dan outcomes yang sensitive gender: (4) memastikan alokasi anggaran yang responsif pada pesoalan gender yang diidentifikasi dan mencapai indikator output dan perubahan yang telah tercantum ke dalam RKA/KL • Mendorong agar Bappeda selaku ketua Pokja dan Tim teknis serta BPPA selaku Sekretaris Pokja dan Tim Teknis PUG memiliki kapasitas yang memadai untuk mampu memfasilitasi proses penyusunan RAD PUG, finalisasi RAD PUG, memberikan dukungan teknis agar SKPD mampu mengimplemetasikan RAD PUG dan memantau dan mengevaluasi RAD PUG mereka masing masing dan menghubungkannya dengan pelaporan dalam LAKIP masing masing;
  • 12. 12 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 PENGARUSUTAMAAN GENDER, ANGGARAN BERBASIS GENDER, KEBERPIHAKAN PEMBANGUNAN PADA PEREMPUAN PAPUA Persoalan gender di Papua adalah persoalan ketidaksetaraan yang serius. Persoalan mencakup keharusan mengejar ketertinggalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang melandasi Pembangunan Manusia – kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga sangat serius, termasuk di dalamnya kekerasan di wilayah konflik, di pertambangan, di tempat bekerja (pasar), di area pekerjaan yang rentan pada eksploitasi dan di dalam rumah tangga. Secara khusus, persoalan kesehatan dan HIV/AIDS adalah persoalan yang perlu tindak lanjut komprehensif. KematianibudankematiananakmasihtertinggidiIndonesiadanmemerlukansolusiyangcepat.Mengingatkompleksnya persoalan gender di hampir semua bidang, maka pemerintah harus mengadopsi Pengarusutamaan Gender sebagai strategi yang secara sistematis hendak menurunkan dan menghapus kesenjangan gender yang ada di Papua melalui pembangunan di berbagai bidang. Biro pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) merupakan lembaga fasilitator pengarusutamaan gender di Provinsi Papua yang dikepalai oleh pejabat Eselon IIB. BPPA sempat menjadi Badan pada tahun 2006 (dengan pimpinan pejabat Esekon IIA). Dengan status yang tinggi, Badan sempat memainkan peran koordinatif pengarusutamaan gender di SKPD di wilayah pemerintahan Provinsi Papua. Sayang sekali status Badan dihapus dan dikembalikan menjadi Biro dengan berbagai alasan, termasuk di dalamnya (a) kemampuan menyerap anggaran berdasar kinerja; b) persaingan antar lembaga di dalam pemerintahan daerah Provinsi Papua untuk masuk dalam struktur organisasi pemerintahan. Dukungan lembaga ornop, PSW universitas dan individu untuk mendukung Biro PPA dalam mengembalikan status nya menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan perlu diupayakan. Pokja PUG dan Tim Teknis PUG telah dibentuk namun masih memerlukan dukungan teknis untuk memperkuat kapasitasnya sebagai fasilitator PUG yang efektif. Klarifikasi dan konfirmasi tentang peran Pokja PUG dan Tim Teknis PUG perlu dilakukan agar terjadi kejelasan peran untuk secara efektif menjalankan implementasi strategi PUG; BappedadanBPPAperlumengkoordinasidanmemfasilitasiproseslanjutankerjaPokjadanTimteknisdalammemfasilitasi Rencana Aksi daerah (RAD) PUG di tingkat provinsi (dan nantinya kabupaten/kota) agar RAD PUG yang saat ini telah disusun dapat dilakukan dengan efektif. Usulan pada pendekatan, kebijakan, program dan kegiatan yang ada di RAD PUG hendaknya diarahkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang strategis yang membawa daya ungkit yang besar pada perubahan dan implementasi kebijakan dan pada program dan kegiatan yang responsif pada kebutuhan mendasar masyarakat Papua, baik perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang tua serta mereka yang berkebutuhan khusus. Di tingkat masyarakat, RESPEK telah memulai pembangunan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta pemberdayaan ekonomi melalui proses perencanaan partisipatoris. Proses perencanaan yang partisipatif perlu memastikan dilakukan dengan fasilitasi yang sensitive gender agar kelompok perempuan dapat benar benar diberdayakan. Analisis distribusi pemanfaat masih perlu dilakukan agar perempuan dan laki-laki papua, anak-anak serta orang tua serta kelompok yang berkebutuhan khusus mendapat manfaat dari proses RESPEK. Secara khusus, BPPA perlu meningkatkan kapasitasnya untuk mampu menjalankan peran sebagai katalis PUG. BPA perlu melakukan promosi KKG agar dapat memberi pengaruh dalam perubahan nilai dan praktek praktek yang masih bias gender agar dapat mewujudkan KKD di lembaga lembaga SKPD dan ornop serta mendorong lahirnya media untuk mendiseminasi perwujudan kesetaraan gender di masyarakat; BPPA perlu membangun kerjasama dengan mitranya yaitu PSW Universitas di Jayapura dan juga organisasi perempuan serta organisasi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk mewujudkan kestaraan gender dengan kongkrit di area peningkatan gizi, peningkatan akses pada air bersih, sanitasi dan kesehatan anak-anak; BAPPEDA perlu melahirkan surat edaran keharusan mengintegrasikan alat analisis gender ke dalam proses penyusunan RAPBD dan mengadvokasi agar kebijakan, program dan kegiatan yang diidentifikasi dalam RAD PUG dapat mulai diimplementasi dalam RAPBD/APBD 2012. BAPPEDA juga perlu mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas di dalam Bappeda, dan di antara anggota Pokja PUG dan Tim Teknis PUG agar implementasi PUG optimal dan efektif.
  • 13. 13Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 REKOMENDASI Persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang berbasis gender di Papua merupakan persoalan serius yang perlu disikapi dengan sistematis dan strategis. Agar sistematis dan strategis, tanggap dan tindakan untuk menjawab persoalan gender di Papua perlu dimasukkan dalam suatu Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dihasilkan dengan dasar analisis situasi gender. Dimana analisis ini telah disusun dan dipresentasikan dalam Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender ini yang dilaksanakan dengan visi, misi, prinsip dan strategi yang sejalan dengan apa yang menjadi landasan pembangunan manusia di Papua serta dikelola dengan efektif dan efisien serta diimplementasikan dengan akuntabel. RAD PUG perlu terus di’update’ dan diperpanjang serta disempurnakan, untuk mencakup rencana pembangunan jangka panjang. Untuk memastikan hal tersebut, maka aspek dana program serta kegiatan RAD PUG perlu diintegrasikan dalam Rencana Jangka Panjang dan Jangka Mengengah Provinsi Papua. Di bawah ini adalah rangkuman dari hal utama RAD PUG Pembangunan Manusia Papua 2013-2016. Sementara uraian lebih lengkap dari RAD PUG tersebut dapat ditemui dalam dokumen RAD PUG Pembangunan Manusia Papua 2013 – 2016. RAD PUG yang terdiri dari rencana tindak upaya upaya khusus (dan luar biasa) di bidang kesehatan, pendidikan, pelembagaan dan implementasi Pengarusutamaan Gender, peningkatan kepemimpinan dan pengambilan keputusan perempuan dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Di samping itu, rencana dan tindak untuk mengembangkan sistem pendataan yang berbasis gender yang dapat menjadi data dasar dan juga yang membantu upaya pemantauan perubahan perbaikan kualitas hidup masyarakat Papua, khususnya masyarakat papua asli, perempuan, anak-anak, orang tua dan kelompok masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus perlu dilakukan sebagai bagian integral dari implementasi RAD PUG. Peningkatan kapasitas PUG menjadi bagian penting dari RAD dan bagian ini dirangkum dalam Strategi dan Rencana Peningkatan Kapasitas PUG Provinsi Papua 2013-2016 yang akan diterbitkan secara bersamaan dengan dokumen ini. Studi terkait penyebab kesenjangan dan diskriminasi gender yang secara sistematis terjadi di Papua pada bidang-bidang pendidikan dan kesehatan serta ekonomi juga menjadi bagian dari RAD PUG. Bappeda dan Biro Pemberdayaan Perempuan perlu memfinalisasi dokumen RAD PUG untuk mendapat masukan yang lebih teknis dan operasional serta agar mendapat dukungan berbagai pihak, termasuk Gubernur Provinsi Papua, DPRD Provinsi Papua, MRP Provinsi Papua, Organisasi SKPD, Ornop dan Ormas. RAD PUG yang implementatif harus disahkan melalui landasan hukum yang memadai (Perda atau SK Gubernur, sesuai dengan situasi) agar dapat dilaksanakan dengan disiplin dan akuntabel. Bappeda dan Biro PPA juga perlu mengkoordinasikan adanya kerjasama pemerintah dengan pihak swasta dan individu di Papua maupun di tingkat nasional maupun internasional yang berpotensi untuk mendukung implementasi RAD PUG; Bappeda dan Biro PPA perlu memfasilitasi dibangunnya mekanisme akuntabilitas melalui forum diskusi, konsultasi dan advokasi tingkat pimpinan SKPD, disusunnya mekanisme pemantauan dan evaluasi agar SKPD mampu memantau dan mengevaluasi sendiri implementasi RAD nya dan melaporkannya kepada konstituen (masyarakat papua, perempuan dan laki-laki, serta anak-anak, orang tua dan kelompok berkebutuhan khusus lainnya)., Mengingat RAD PUG adalah merupakan bagian dari reformasi di tingkat pemerintah dan lembaga mitra, maka kerjasama antara pemerintah dan organisasi non pemerintah menjadi kritikal. Agar RAD PUG dapat dilaksanakan dengan akuntabelitas yang memadai, maka kebijakan anggaran, baik di tingkat nasional dan provinsi serta kabupaten, perlu dilakukan untuk memastikan alokasi anggaran yang dibutuhkan dalam implementasi RAD PUG, dan juga dalam pelaporan dan pemantauan serta evaluasinya. Untuk itu penggunaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan menggunakan ‘Gender Budget Statement’ (GBS) menjadi suatu keniscayaan, karena penggunaan GBS mendorong penganggaran yang berbasis kinerja melalui proses yang praktis dan mendorong kinerja yang meningkat dari SKPD karena GBS memfasilitasi dan menuntut identifikasi dan perumusan indikator kinerja yang dapat dipergunakan sebagai indikator capaian dan perubahan dalam perbaikan dan perwujudan kesetaraan gender. RAD PUG perlu disosialisasikan secara memadai kepada para pelaksana RAD PUG yang terkait, lembaga donor dan masyarakat sipil agar para pihak tersebut memahami bahwa RAD PUG merupakan hal yang prioritas dan perlu dukungan
  • 14. 14 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 serius. Sosialisasi kepada pemanfaat RAD PUG, masyarakat, khususnya perempuan, anak-anak, orang tua, orang papua asli dan masyarakat yang memiliki kebutuhan khusus, agar RAD PUG mendapat dukungan dalam pelaksanaannya. Pengidentifikasian mekanisme insentif yang memastikan implementasi RAD PUG yang akuntabel dan efektf diperlukan dalam mendorong agar perwujudan kesetaraan gender dan memberhentikan diskriminasi dapat segera terlaksana. Perubahan yang mendorong perwujudan kesetaraan gender di masa reformasi yang terus berjalan di sistem politik seperti di Indonesia dan Papua yang sangat dinamis, keberadaan agen pengubah menjadi suatu hal yang penting. Agen pengubah untuk mendorong perubahan nyata tersebut dapat berasal dari pemerintah (eksekutif), legislatif ataupun yudikatif, di samping organisasi non pemerintah dan juga individu individu yang menjadi ‘role model’ perubahan itu sendiri. Bappeda dan BPPA perlu membangun mekanisme insentif yang akan diberikan kepada SKPD atau individu yang telah giat menghasilkan perubahan dalam implementasi RAD. Memasukkan aspek pengembangan model model yang berhasil dalam mengimplementasikan PUG dalam konteks papua yang hendak melakukan percepatan pembangunan; Mengidentifikasi ‘champion’ atau pemenang lokal yang telah berhasil mendorong implementasi PU pada tataran praktis dan kongkrit.
  • 15. 15Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF 03 Pembangunan Ekonomi Dan Gender – Mama Papua Yang Sering Terlupakan. 09 Otonomi Khusus Dan Otonomi Perempuan Papua 12 Pengarusutamaan Gender, Anggaran Berbasis Gender, Keberpihakan Pembangunan Pada Perempuan Papua 13 Rekomendasi 14 DAFTAR ISI 17 1. PENDAHULUAN 21 1.A. Latar Belakang 21 1.B. Tujuan Penulisan 23 1.C. Sistematika Penulisan 23 1.D.metodologi Dan Sumber Data 23 2. PENDUDUK, DEMOGRAFI DAN GENDER 2. A. Penduduk, Pertumbuhan Dan Distribusinya 25 Penduduk, Struktur Sosial Budaya, Pertumbuhan Dan Distribusinya 25 2. B. Kemana Hilangnya Perempuan Papua? 28 2. C. Komposisi Penduduk Dalam Keluarga Dan Beban Kerja Gender 32 2. D. Fertilitas Dan Pernikahan Dini 34 2. E. Penduduk Usia Lanjut 34 2. F. Pencatatan Kependudukan Dan Sipil – Pengakuan dan Perlindungan Kepada Hak Perempuan Papua 35 2.G. Kesimpulan Bab 2: Penduduk, Demografi, Dan Gender 37 3. PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BERBASIS GENDER : STATUS DAN TREN 3.A. Pembangunan Manusia Papua Dan Kesetaraan Gender : Status Dan Tren 40 3.B. Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Gender, Dan Indeks Pemberdayaan Gender Dan Data 45 3.C. Kesimpulan Bab 3.. 46 4. PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN GENDER 4.A. Kesehatan Perempuan Papua, Morbiditas, Dan Penyebab Kematian 48 4.B. Kesehatan Reproduksi 53 4.B.1. Kematian Ibu Hamil Dan Melahirkan Yang Tinggi. 53 4. C. Hiv/Aids Dan Aspek Gender Dari Kematian Perempuan Papua 64 4.D. Kesimpulan Bab 4 - Kesehatan Dan Gender 67
  • 16. 16 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 5. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN GENDER 5.1. Keaksaraan Dan Gender 69 5.B. Pendidikan Perempuan Dan Laki-Laki Papua Dalam Transisi 70 5. B.3. Sumber Daya Manusia Pendidikan : Aksesiilitas, Kualitas, Relevansi Dan Aspek Gender - 74 5.C. Kesimpulan Bab 5 – Pendidikan Dan Gender 77 6. EKONOMI DAN GENDER 6.A. Perempuan Dan Laki-Laki Papua Dan Peran Ekonomi 79 6. B. Mama Papua – Pelaku Ekonomi Papua Yang Nyaris Tanpa Statistik, Yang Sering Terlupakan Dan Tergusur 84 6.C. Hutan Papua, Lingkungan Hidup, Dan Pembangunan Berkelanjutan 86 6.D. Kesimpulan : Ekonomi Dan Gender 86 7. POLITIK DAN GENDER 7.A. Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan 88 7.A. 1.Perempuan Di Legislatif 88 7.B. Kesimpulan – Perempuan Dalam Politik Dan Pengambil Keputusan 91 8. OTONOMI KHUSUS, OTONOMI PEREMPUAN 8.B. Otonomi Perempuan, Konflik Dan Kekerasan Terhadap Perempuan. 99 8.C. Kesimpulan – Bab 8 – Otonomi Khusus Dan Otonomi Perempuan 104 Pengarusutamaan Gender Sebagai Strategi Pembangunan Di Provinsi Papua 106 9. PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN DI PROVINSI PAPUA 9.A. Partisipasi Perempuan Papua Dalam Proses Perencanaan Pembangunan 109 9.C. Kesimpulan - Pengarusutamaan Gender, Anggaran Berbasis Gender, Keberpihakan Pembangunan Pada Perempuan Papua 114 10. KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN AGEN PERUBAH DALAM PERWUJUDAN KESETARAAN GENDER DI PROVINSI PAPUA 10.1. Kesimpulan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 116 10.2. Rekomendasi 121 LAMPIRAN 123 Lampiran 1. 123 Rangkuman Metode Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia Dan Aspek Gender 123 3.B. Pembangunan Manusia Dan Pengukuran Ketidakmerataaan Dan Ketidak Adilan Pembangunan. 124
  • 17. 17Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Lampiran 2. Penduduk Perempuan Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur Dan Status Perkawinan, Provinsi Papua, 2010 130 Lampiran 3. Penduduk Laki-Laki Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Kelompok Umur Dan Status Perkawinan, Provinsi Papua, 2010 132 Lampiran 4. Jumlah Dan Persentase Penduduk Miskin Di Papua Menurut Daerah, 1999-2011 133 Lampiran 5. Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Provinsi Papua Dan Kabupaten 2009 – 2010 134 Lampiran 6. Indeks Pembangunan Gender/Ipg Provinsi Papua Per Kabupaten/Kota 2009 - 2010. 135 Lampiran 7. Indeks Pemberdayaan Gender (Idg) Provinsi Papua Per Kabupaten Kota, Tahun 2010 136 Lampiran 8. Anak Lahir Hidup (Alh) Provinsi Papua 137 Lampiran 9. Angka Harapan Hidup, Berdasar Jenis Kelamin Provinsi Papua Per Kabupaten/Kota, 2010 138 Lampiran 10. Rata-Rata Lama Pendidikan Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Dirinci Menurut Jenis Kelamin, 2011 139 Lampiran 11. Angka Transisi, Sekolah Dasar Ke Sekolah Menengah Pertama, Provinsi Papua, 2010 140 Lampiran 12. Banyaknya Pegawai Negeri Sipil Daerah, Per Kabupaten, Provinsi Papua, Menurut Jenis Kelamin 2010 142 Lampiran 13. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sd) Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 143 Lampiran 14. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sltp) Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 145 Lampiran 15. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Slta) Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 147 Lampiran 16. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sekolah Dasar (Sd) Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 149 Lampiran 17. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Gurusekolah Dasar (Sltp) Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 151
  • 18. 18 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Lampiran 18. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sekolah Dasar (Slta) Swasta Menurut Kabupaten, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 153 Lampiran 19. Banyaknya Sekolah, Murid, Guru, Dan Rasio Murid-Guru Sma Swasta Menurut Kabupaten 2010 155 Lampiran 20. Jumlah Anggota Dprd Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Menurut Jenis Kelamin Periode 2009 – 2014 157 Lampiran 21. Jumlah Pejabat Per Golongan Di Pemda 158 Lampiran 22. Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan & Jenis Kelamin 2010 159 Lampiran 23. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama Dan Jenis Kelamin 2010 160 Lampiran 24. Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan & Jenis Kelamin 2010 162 Lampiran 25. Jumlah Kegiatan/Pekerjaan, Berdasarkan Status 163 Lampiran 26. Jumlah Tenaga Medis Provinsi Papua 2010 164 Lampiran 28. Prevalensi Gizi Buruk, 2008 165 Lampiran 29. Data Laporan Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu Sebesar Tiga Perempatnya Antara 1990 Dan 2015 166 Lampiran 30. Jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat Di Provinsi Papua, Per Kabupaten, 2011 168 Lampiran 31. Aps Non Papua 175 Lampiran 32. Aps Papua 176 DAFTAR PUSTAKA 179 DAFTAR HADIR 181
  • 19. 19Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 1.a. LATAR BELAKANG Diukur dengan indikator ekonomi dan pembangunan manusia, Papua merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2010, Provinsi Papua tetap merupakan provinsi termiskin, dengan lebih dari 40 persen dari populasi penduduk tergolong miskin. Perempuan di Papua, secara khusus, rentan pada persoalan kemiskinan serta standar kesehatan perempuan rendah. Data pada tahun 2010 dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang mengalami kekurangan gizi cukup tinggi dan sekitar 80% perempuan hamil mengalami anemia dan memerlukan perawatan. Meski perempuan mendapatkan perbaikan atas partisipasinya di arena politik, antara lain mendapat kepastian bahwa kursi sejumlah sepertiga (1/3) dari Kursi di Majelis Rakyat Papua (MRP), aspek sosial dan budaya menghambat perempuan untuk mendapat akses sumber daya ekonomi termasuk tanah, modal, dan pasar serta untuk mendapat akses di dunia pendidikandanpelatihan.Walaupunpersentaseperempuanyangbekerjadengandibayarmakinmeningkat, perempuan yang bekerja tidak dibayar masih menjadi gambaran umum angkatan kerja perempuan Papua. Kesenjangan status perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga sangat nyata. Indikator utama dari persoalan ini adalah masih tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan. Angka kematian Ibu meninggal karena melahirkan adalah sebesar 1.060 (BPS 2005), tertinggi di Indonesia dan Asia Tenggara. Penyebab utama persoalan ini adalah, antara lain, masih rendahnya efektifitas investasi pemerintah pada pengelolaan dan pelayanan kesehatan perempuan, di samping status dan kondisi kesehatan perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Persoalan kesenjangan gender dalam hal asupan makanan masih merupakan persoalan. Walau perempuan sudah tidak selalu menjadi orang yang terakhir makan, namun asupan makanan perempuan dibandingkan dengan kalori yang mereka keluarkan dalam pekerjaan mereka sehari hari, secara umum, tidak seimbang. Pekerjaan di kebun, di samping pekerjaan rumah tangga, membutuhkan asupan kalori yang memadai. Situasi ini menjadi serius ketika ibu hamil dan melahirkan. Kekurangan gizi ibu hamil masih merupakan hal yang umum terjadi. Bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan masih belum mendapat perhatian yang memadai sebagaipersoalanhakasasidanhaliniberkontribusipadaditerimanyasikapdiskriminasiterhadapperempuan.Persoalan- persoalan kekerasan terhadap perempuan di bagian Indonesia yang lain yang dapat dipecahkan melalui pengadilan justru tidak menjadi perhatian penegak hukum di wilayah Papua. Persoalan kurangnya perlindungan dan keamanan perempuan di dalam rumah tangga dan di arena publik mengembalikan perilaku tradisional yang menempatkan Rencana dan Penganggaran Yang Berpihak Pada Perempuan, Anak, dan Kelompok Renta LAPORAN PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER PROVINSI PAPUA 2012 BAB 1
  • 20. 20 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 perempuan dengan status rendah. Perubahan sosial membawa perubahan pada adanya perluasan kesempatan perempuan untuk bekerja di sektor formal, antara lain sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dan di sektor pelayanan seperti toko, restoran dan perhotelan yang pada prinsipnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan banyak keluarga, khususnya di perkotaan. Adanya kesenjangan yang terus ada pada capaian-capaian targetTujuan Pembangunan Milenium (MDGs) menunjukkan bahwa adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan keluarga tidaklah memadai untuk menghapus kemiskinan, terutama kemiskinan yang dialami perempuan. Laki-laki masih memainkan peran utama dalam berbagai pengambilan keputusan di rumah tangga maupun masyarakat. Olehkarenaitu,peranlaki-lakiperludalamupayaperubahanuntukmembukaruangpengambilankeputusandikalangan perempuan dalam rumah tangga mereka, maupun perempuan dengan kelompok yang lebih luas di masyarakat. Terdapat bukti yang didukung studi global bahwa terdapat peningkatan kapasitas pengambilan keputusan perempuan ketika mereka memiliki pendapatan. Makin mandiri perempuan secara ekonomis, makin tinggi kemampuan mereka mengambil keputusan dan dalam berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi dan penghapusan kemiskinan. Ketika perempuan mempunyai kemampuan mengambil keputusan, mereka menabung lebih banyak dari laki-laki dan mereka menabung uangnya untuk kepentingan keluarga, baik untuk makan, gizi, pendidikan, maupun untuk kebutuhan pribadi perempuan sendiri. Hal ini tentu akan memperbaiki kinerja indikator pemberdayaan perempuan yang ada di MDG ketiga. Pemberdayaan perempuan adalah target ketiga MDGs dan memiliki tiga indikator utama untuk memonitor kemajuan target tersebut. Indikator yang pertama adalah rasio yang seimbang antara angka partisipasi sekolah bagi perempuan dan anak laki-laki. Secara keseluruhan dan juga dalam hal ketimpangan gendernya belum dicapai oleh Papua. Keberadaan guru di daerah terpencil dan kecocokan kurikulum serta metode pendidikan dengan kebutuhan dan situasi lokal belum sesuai. Angka putus sekolah, baik untuk anak perempuan dan laki-laki sangat tinggi yang disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi. Indikator kedua, proporsi perempuan di pekerjaan non pertanian yang digaji meningkat cukup cepat di Papua, namun hal ini terjadi hanya di sektor yang rentan seperti toko dan perhotelan. Selebihnya, perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah mereka yang tidak diupah. Hal ini menyebabkan kontribusi perempuan dalam perhitungan PDRB tidak nampak. Indikator ketiga adalah perempuan dalam posisi pengambil keputusan. Di DPR tingkat Provinsi, perempuan menduduki 1 dari 3 kursi DPR periode 2009-2014. Kemajuan dari ketiga indikator dibutuhkan ketika kesenjangan gender pada indikator lain dalam MDGs hendak diwujudkan. Indikator kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga dan di arena publik merupakan indikator yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender yang secara bersamaan akan memperbaiki kemampuan perempuan berkiprah dalam arena penyusunan kebijakan publik. 1.b. TUJUAN PENULISAN Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua 2012 ini disusun untuk melihat tingkat keberhasilan, mengakui dan mencatat tantangan pembangunan masyarakat Papua, khususnya dari perspektif gender. Laporan ini dapat dipergunakan sebagai referensi dalam rangka proses perencanaan dan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan sehingga masyarakat Provinsi Papua mampu meningkatkan pencapaian pembangunan manusianya dan mampumengurangikesenjanganpencapaianantaraperempuandanlaki-lakidiberbagaibidang,yangdirepresentasikan dengan indeks pembangunan gender (IPG) dan indeks pemberdayaan gender (IDG). Selain itu, Laporan ini akan menelusuri faktor-faktor yang memiliki kaitan terhadap pencapaian IPG maupun IDG melalui komponen pembentuk IPG dan IDG, di samping melihat secara lebih luas aspek yang menyentuh kehidupan perempuan Papua, termasuk aspek yang menjadi perhatian dari berbagai Konvensi Perempuan, antara lain CEDAW, Dua Belas (12) Aspek kritis Beijing dan juga Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Developmet Goals/MDGs).
  • 21. 21Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 1.c. SISTEMATIKA PENULISAN Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab pertama adalah Bab Pendahuluan yang menjelaskan Latar Belakang, Tujuan Penulisan, dan Sistematika Penulisan serta Metodologi dan Sumber Data. Bab kedua memberi perhatian pada aspek Kependudukan dan Demografi Papua dari kacamata gender. Bab Ketiga mendiskusikan Pembangunan Manusia dan Kemiskinan dari perspektif gender. Bab Keempat menjelaskan Pencapaian Pembangunan Manusia di bidang Kesehatan dalam konteks kesetaraan gender. Bab Kelima mendiskusikan Pendidikan dan Gender. Bab Keenam mengurai Ekonomi dan Gender. Bab Ketujuh Mendiskusikan Perempuan dan Pengambilan Keputusan. Bab Kedelapan mendiskusikan Otonomi Khusus, Otonomi Perempuan. Bab Kesembilan mendiskusikan Pengarusutamaan Gender sebagai Strategi pembangunan di Provinsi Papua. Bab Sepuluh menutup Laporan ini dengan Kesimpulan dan Rekomendasi yang diikuti rekomendasi Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender (PUG) Provinsi Papua. 1.d.METODOLOGI DAN SUMBER DATA Laporan ini disusun melalui beberapa metode, baik melalui kajian literatur dan serangkaian konsultasi dalam bentuk lokakarya maupun wawancara. Catatan kritis diberikan oleh nara sumber berpengalaman tentang isu gender di Provinsi Papua dan juga oleh mereka yang memahami aspek teknis sektor dan data yang melatarbelakangi isu gender di wilayah ini. Daftar individu dan lembaga yang terlibat dalam proses konsultasi dan penyusunan Laporan ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Berbagai literatur dari laporan laporan terkait pembangunan manusia dan aspek gender yang disusun berbagai lembaga dan individu di Provinsi Papua menjadi acuan, yang kemudian dikonsultasikan dengan narasumber baik dari kalangan pemerintah, universitas, organisasi non pemerintah maupun individu-individu yang memahami persoalan masyarakat, khususnya dalam konteks kesetaraan gender di wilayah ini. Sumber data utama yang digunakan, khususnya dalam penghitungan IPGdan IDG, adalah data dan informasi yang dikumpulkan, dikelola dan disusun oleh Badan Pusat Statistik Nasional di Jakarta maupun Provinsi Papua untuk Laporan Pembangunan Manusia. Selain itu, data-data yang berasal dari data Kependudukan dari Sensus Penduduk 2010, data Susenas dan data Sakernas serta data lain terkait perkembangan ekonomi dan sosial lain di Provinsi Papua menjadi dasar analisis Laporan. Laporan ini juga memanfaatkan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam rangka penyusunan Laporan MDGs Provinsi Papua, di samping data dan informasi yang diterbitkan secara khusus oleh lembaga pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan) dan data Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek. Mengingat terbatasnya ketersediaan data terpilah berdasar gender dan jenis kelamin di Provinsi Papua, maka Laporan juga memanfaatkan data dan informasi serta analisis yang telah disusun oleh berbagai lembaga, termasuk lembaga donor, universitas, organisasi pemerintah serta individu yang terkait gender di Provinsi Papua.
  • 22. 22 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 2. a. PENDUDUK, PERTUMBUHAN DAN DISTRIBUSINYA PENDUDUK, STRUKTUR SOSIAL BUDAYA, PERTUMBUHAN DAN DISTRIBUSINYA Dari hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk di Provinsi Papua adalah 2.833.381 orang yang terdiri dari 1.327.498 perempuan dan 1.505.883 laki-laki1 dengan laju pertumbuhan penduduk provinsi di tahun 2010 sebesar 5,39 persen pertahun merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tingginya laju pertumbuhan di provinsi Papua dipengaruhi oleh masuknya migran pekerja ke wilayah ini, terutama pekerja di sektor pertambangan. Di dalam jumlah penduduk sebesar 2.833.381 orang tersebut, terdapat kurang lebih 44 sub budaya, 177 suku dan 251 bahasa2 . Sejumlah bahasa lokal tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu Austronesia dan Non- Austronesia. Keluarga dan suku (klan) adalah unit terkecil di dalam budaya dan masyarakat Papua dan mereka adalah basis organisasi informal dalam masyarakat. Keluarga besar termasuk orang tua, saudara laki-laki, saudara perempuan, pasangan (suami istri), anak-anak dan cucu-cucu. Meski dalam satu rumah, anggota keluarga, misalnya yang sudah menikah, tidak selalu berbagi makanan yang sama. Bahkan pasangan memiliki dapur dan ruang dalam rumah yang berbeda. Di Papua, walaupun suami istri adalah anggota dari keluarga yang sama, hal ini tidak secara otomatis diartikan bahwa mereka berbagi semua makanan. Beberapa bagian dari makanan bisa saja dibagi kepada tetangga daripada dengan suami dan anak-anak. MDaging dan ikan biasanya dibagi di antara laki-laki yang hidup dan tinggal di perairan atau pantai. Salah satu alasan adalah jenis makanan ini sering ditabukan bagi perempuan yang masih dalam masa reproduksi dan juga untuk anak-anak karena dianggap‘mengganggu’kesehatan mereka3 . Kekayaaan budaya yang berbasis bahasa di Papua dapat dilihat dari keragamannya. Di Kabupaten Biak terdapat satu budaya yang berbasis bahasa, sementara di Kabupaten Jayapura terdapat kurang lebih 85 bahasa dan sub-budaya. Perbedaan dan keragaman budaya di Papua juga disertai dengan berbagai struktur dan konstruksi budaya yang membentuk relasi perempuan dan laki-lakinya, termasuk dalam pembagian peran dan tanggung jawabnya. Dengan adanya pemekaran wilayah Papua menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat, maka hampir semua struktur budaya masyarakat Provinsi Papua adalah patriarki4 . Dari begitu banyak bahasa lokal tersebut, terdapat lima bahasa lokal utama yang diucapkan oleh masyarakat Papua yaitu seperti nampak pada tabel di bawah ini. 1. Papua Dalam Angka 2012 (BPS) mencatat bahwa dengan luas wilayah 316.553,10 km2, kepadatan penduduk di Papua sebanyak 9 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 278 jiwa per km2 , diikuti Kabupaten Jayawijaya (85 jiwa per km2 ) dan Kabupaten Mimika (82 jiwa per km2 ). Sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Mamberamo Raya, yakni kurang dari 1 jiwa per km2 . 2. DjekkyR.Djoht“Etnografi,SejarahPerkembangannyadanKlasifikasiKebudayaan-KebudayaanDiPapua,2006.KataPapuaberasaldaribahasaMelayu “pua pua’ yang berarti ‘keriting’. 3. GRM Report “ November 2008 – January 2009 PAPUA ASSESSMENT USAID/INDONESIA-Final Report 4. Patriarki berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘ayah dan aturan’. Jadi, Patriarki berarti aturan keluarga atau organisasi yang dibuat oleh ayah. Walaupun patriarki awalnya hanya mencakup relasi di dalam keluarga. Dalam prakteknya, patriarki mengacu pada tatanan masyarakat yang didominasi oleh laki-laki (Sejarah Klasik, http://ancienthistory.about.com/od/familyanddailylife/g/011310Patriarchy.htm). Kelompok masyarakat dengan budaya matriarkhi hanya terdapat di bagian suku Muyu di Merauke. Sementar beberapa suku dengan budaya matriarki ada di wilayah Provinsi Papua Barat, yaitu di wilayah Mamberamo, juga di antara suku Hatam, Hala dan Sou di Manokwari. PENDUDUK, DEMOGRAFI DAN GENDER BAB 2
  • 23. 23Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 5. Berdasarkonsepantropologi, masyarakatpapuadapatdibagiberdasarpolaperkawinandanrelasidalamkelompokethno-linguistic;hirarki,pertukaran makanan, saling meolong, akses pada tanah dan sumber daya, dan hak waris. Tabel. 2.1. Bahasa Lokal utama dan Jumlah Penduduk yang Menggunakannya, 2010. 1,230,264 1,684,144 2,833,381 2000 20101900 500,000 - 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 Sumber : Rangkuman dari Republic of Indonesia, “Core document forming part of the reports of States parties”, 15 October 2010 Dalam hal rasio ketergantungan di Provinsi Papua terus menurun dalam beberapa dekade. Secara umum, rasio ketergantungan yang menurun menunjukkan bahwa beban tanggungan penduduk usia produktif makin berkurang. Pada tahun 1990, setiap 100 orang penduduk usia produktif di Papua harus menanggung sekitar 79 orang non produktif sedangkan pada tahun 2000 dan 2010 terus turun menjadi 62 orang dan 56 orang. Hal ini merupakan sebuah kesempatan besar bagi Papua untuk melakukan investasi karena beban tanggungan penduduk makin berkurang. Namun demikian, mengingat peran ekonomi keluarga di daerah perkampungan pada umumnya dilakukan oleh perempuan, maka rasio ketergantungan ini tidak secara penuh dapat menerangkan beban kerja anggota perempuan dan laki-laki yang deasa. Di keluarga Papua, pada umumnya perempuan bertanggung jawab untuk menyediakan sayuran dan makanan yang dianggap‘cocok’untuk perempuan dan anak-anak. Terdapat pembagian peran yang cukup jelas antara perempuan dan laki-laki dalam hal kontribusinya kepada pendapatan, walaupun terdapat akses yang berbeda pada sumber daya. Di antara keluarga besar juga berbagi kepemilikan tanah dan berbagi peran dalam mengasuh anak. Oleh karenanya bila pemerintah dan lembaga non pemerintah hendak mengembangkan program pembangunan yang melibatkan keluarga adalah penting untuk memasukkan konsep keluarga besar yang berbagi pendapatan dan produksi dengan anggota keluarga besar. Hubungan keluarga terikat dalam aturan hak waris, relasi gender dan kepemimpinan. Tiap kelompok etnis di tiap desa memiliki budaya dan tradisi yang terkait aturan penggunaan sumber daya, kompensasi atas persoalan pribadi seperti pernikahan, aturan moral dan juga adat. Lembaga adat mengatur dan menjadi penasehat ketika muncul perselisihan yang memerlukan solusi. Lembaga keagaman berada pada tingkat desa dan pada umumnya terlibat dalam pelayanan pendidikan dan keagamaan. Di wilayah yang jauh dari kota, gereja sering merupakan satu- satunya lembaga yang dipakai untuk memfasilitasi pertemuan pertemuan desa. Masyarakat Papua memiliki aturan kehidupan sosial atas hak dan tanggung jawabnya5 . Aturan-aturan ini terkait aturan dan pola perkawinan dan relasi dalam kelompok ethno-linguistic: hirarki, pertukaran makanan, saling meolong, akses pada tanah dan sumber daya,hak waris perempuan,pembagian kekuasaan dan kepemimpinan serta kebiasaan. Secara umum, perempuan akan ‘masuk’ ke dalam keluarga suami ketika menikah dan pindah ke rumah mertua. Bagi perempuan yang berada dalam sistem ini, anak seringkali menjadi milik keluarga suami sehingga ketika terjadi perceraian mereka akan kehilangan sepenuhnya hak asuh mereka. Biasanya keluarga suami akan mempersiapkan mas kawin kepada keluarga pihak perempuan, yang pada umumnya tidak mau mengembalikan mas kawin tersebut ketika perempuan (istri) akhirnya bercerai. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan tekanan tekanan di pihak perempuan dan bahkan kekerasan terhadapnya. Alasan lain mengapa saudara istri tidak mau meninggalkan mas kawin karena seringkali mas kawin tersebut sudah dipakai anggota keluarga laki-laki dari pihak perempuan untuk menikah dan untuk mencegah adanya keributan di antara suami istri. Dengan demikian, hubungan perkawinan dengan mas kawin dianggap mempersatukan klan. Di beberapa bagian dari masyarakat Papua, poligami adalah hal yang biasa dan hal ini sering menyebabkan adanya penularan penyakit-penyakit karena hubungan seksual yang menyebabkan perempuan secara psikologis tertekan. Aspek lain dari sistem kekeluargaan yang terkait aspek gender adalah kewajiban suami untuk menanggung kebutuhan keluarga besar. Sistem ini, seperti yang terjadi di masyarakat Merauke dan Marind, menyebabkan perempuan sering mendapat bagian terakhir dari makanan. Karena perempuan memiliki tugas berat maka mereka sering mengalami persoalan kekurangan gizi, terutama ketika mereka dalam situasi hamil dan menyusui.
  • 24. 24 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Data yang berasal dari BPS Provinsi Papua menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 2.833.381 orang, terdapat sekitar 74.9% adalah penduduk asli Papua dan sekitar 23,25 % adalah penduduk non Papua, sementara sekitar 1.9% tidak masuk ke dalam kedua kategori karena tidak diperolehnya informasi dalam proses enumerasi6 . Penduduk non Papua merupakan migran yang berasal dari berbagai wilayah, antara lain Jawa, Batak, Toraja, Makassar, Bugis dan wilayah timur lain, seperti Nusa Tenggara Timur and Ambon. Pertumbuhan jumlah penduduk Provinsi Papua mencapai 5.39% dan angka pertumbuhan ini adalah satu di antara yang tertinggi di Indonesia. Tabel. 2. 2. Proporsi Penduduk Papua dan Non Papua, berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010 Papua Non Papua Perempuan Sub-Total % Perempuan dari total penduduk Tak Terjawab Total 1,008,604 302,350 16,544 1,327,498 2,121,436 658,708 53,237 2,833,381 48% 46% 31% 47% Sumber : Hasil Sensus Penduduk 2010 Provinsi Papua yang diolah, 2012 Data BPS hasil Sensus Penduduk tahun 2010 untuk Provinsi Papua menunjukkan bahwa di antara penduduk Papua sejumlah 2.121.436 orang, terdapat 48% penduduk Papua perempuan, dan di antara penduduk non Papua, terdapat 46% penduduk Non Papua perempuan. Sementara itu, di antara perempuan yang ada di Provinsi Papua sebesar 1.327.498 orang, 76% di antaranya adalah penduduk asli Papua. Tingkat pemahaman masyarakat tentang penggunaan alat kontrasepsi di Papua sebesar 24,5%, relatif lebih baik dibandingkan dengan pemahaman masyarakat di wilayah Indonesia yang lain, seperti Nusa Tenggara Timur. Namun demikian, tingkat ‘total fertility rate’ atau TFR Papua cukup tinggi yaitu sebesar 2,9 (SDKI 2007). TFR sebesar 2,9 mengindikasikan adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi atau ‘unmet needs’ dari pelayanan alat kontrasepsi (KB) yang membawa implikasi bukan hanya pertambahan jumlah penduduk yang melebihi harapan tetapi juga resiko kesulitan dalam proses melahirkan, termasuk resiko kematian di antara kelompok perempuan subur yang berada dalam kriteria beresiko (umur di atas 40 tahun, usia dini dan mereka yang memiliki anak dengan frekuensi yang tinggi dan jarak kelahiran yang pendek)7 . Gambar2.1. Penduduk Papua, 1990 – 2010. 1,230,264 1,684,144 2,833,381 2000 20101900 500,000 - 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 Sumber : Penduduk Dalam Angka 2012, BPS Provinsi Papua Selama sepuluh tahun, antara hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010, laju pertumbuhan penduduk adalah 5,39 persen. Diproyeksikan oleh BPS bahwa laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua pada tahun 2011 adalah 2,60%. Berdasar kelompok umur, penduduk Papua didominasi oleh Kelompok Usia Muda (0-14 tahun), sementara proporsi terkecil 7. BKKBN, UNFPA, UNICEF, AusAID “Analisa situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaten jayapura, Jayawijaya, Manokwari, dan Sorong).
  • 25. 25Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 adalah dari penduduk usia di atas 55 tahun. Komposisi penduduk semacam ini menandakan bahwa angka harapan hidup di Provinsi Papua masih rendah (pada tahun 2010 angka harapan hidup di Papua adalah 68,60 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti di atas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang tinggi yaitu sebesar 57,40 persen pada tahun 20118 . 2.b.  KEMANA HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA? Data Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk di Provinsi Papua berjumlah 2.833.381 orang (1,505,883laki-lakidan1.327,498perempuan). Rasiojeniskelaminpendudukperempuandibandingkanlaki-lakidiPapua menunjukkan rasio yang tidak seimbang yaitu penduduk perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki, yaitu sebesar 113.4, Ini berarti bahwa di antara 100 perempuan terdapat 113,4 orang laki-laki. Untuk kepentingan analisis pada Laporan ini, rasio penduduk berdasar jenis kelamin dihitung dengan membandingkan jumlah penduduk perempuan dibagi dengan jumlah penduduk laki-laki. Dengan perhitungan tersebut maka berarti terdapat 88 perempuan di antara 100 orang laki- laki di Papua pada tahun 2010. Trend ketidakseimbangan rasio jenis kelamin penduduk Papua telah terjadi sejak tahun 1990an dan memburuk pada pada tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada tahun 1995, rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,96, menurun menjadi 0,90 pada tahun 2000 dan menjadi 0,88 pada tahun 2010. Pemerintah perlu memperhatikan adanya kecenderungan rasio jenis kelamin yang menunjukkan kecenderungan terus menurun dari tahun ke tahun. Gambar2.2 Rasio Jenis Kelamin Penduduk Perempuan per 100 Penduduk Laki-laki Papua, 1995, 2000, dan 2010 0,96 0,90 0,88 2000 20101905 0.88 0.86 0.84 0.90 0.92 0.94 0.96 0.98 Sumber : BPS Provinsi Papua, “Papua Dalam Angka 2012” yang diolah Laporan AusAID dan UNICEF tentang “Gender and Poverty Study of Papua” (2008) pernah memprediksi bahwa rasio jenis kelamin ini akan terus menurun sampai sekitar 0,894 di tahun 2010. Namun rupanya di tahun 2010, Sensus Penduduk mencatat bahwa rasio jenis kelamin menjadi lebih timpang yaitu 0.88. Dari data yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Papua tentang jumlah penduduk per bulan September 2011, yang disusun dalam rangka menyusun Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), jumlah penduduk Papua adalah berjumlah 3.153.981 (1.466.755 perempuan dan 1.687.226 laki-laki) dan dengan rasio penduduk perempuan terhadap laki-laki adalah 0,869. Rasio penduduk ini menunjukkan pula bahwa rasio jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi makin rendah hanya dalam masa 1 tahun. Artinya terdapat persoalan yang harus dianalis dengan cermat dan diberikan solusi yang tepat terkait ketimpangan jenis kelamin di antara penduduk Papua. Struktur demografi di Provinsi Papua menunjukkan adanya rasio penduduk berdasar jenis kelamin yang secara signifikan tidak seimbang. Hanya pada penduduk dengan usia antara 20-29 tahun dan di atas 95 tahun saja, jumlah penduduk perempuan seimbang atau sedikit lebih banyak dari laki-laki. Data ini menghasilkan suatu indikasi bahwa perempuan mengalami kematian prematur lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-lakinya. Dengan kecenderungan situasi rasio jenis kelamin penduduk yang tidak seimbang yaitu jumlah penduduk perempuan yang lebih sedikit dari 8. BPS Provinsi Papua, Papua Dalam Angka 2012, 2012
  • 26. 26 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 jumlah laki-laki yang bahkan selama sepuluh (10) tahun terakhir di hampir semua kelompok umur, khususnya di atas usia 40 tahun, akan memberikan indikasi akan adanya Angka Harapan Hidup perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan Angka Harapan Hidup laki-laki. Walaupun jumlah perempuan Papua secara absolut tidak berkurang, namun rasio ini dapat dikatakan menggambarkan suatu fenomena “hilangnya” perempuan di Papua dalam konteks gender. “Hilangnya” perempuan Papua ini juga mengindikasikan masih terbatasnya ketersediaan dan mutu pelayanan dasar untuk masyarakat, khususnya perempuan. Fenomena kependudukan semacam ini perlu mendapat perhatian para pengambil keputusan, mengingat situasi kesehatan perempuan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan aksesibilitas akan prasarana dan pelayanan kesehatannya. Tabel 2.2: Jumlah Penduduk dan Rasio Perempuan dan Laki-laki per Kelompok Umur, Hasil Sensus Penduduk 2010 Sumber : BPS, Sensus Penduduk Indonesia, 2010 Selanjutnya, Data BPS hasil Sensus Penduduk 2010 (dengan estimasi data penduduk tahun 2006) yang tersedia menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup Papua total adalah 72,91, sedangkan Angka Harapan Hidup perempuan adalah 74 dan sementara Angka Harapan Hidup laki-laki adalah 70,959 . Perhitungan di tabel 2 di bawah menunjukkan bahwa Angka Harapan Hidup penduduk perempuan di Papua terus meningkat dan lebih tinggi dari Angka Harapan Hidup laki-laki. Kecenderungan akan Angka Harapan Hidup Perempuan tersebut konsisten dengan teori dan konsep yang berkembang secara umum, khususnya ketika terdapat adanya pembangunan dan perkembangan prasarana kesehatan, khususnya kesehatan perempuan yang memadai10 . Namun demikian, konsistennya perolehan AHH yang dihitung dari anak lahir hidup dan anak masih hidup tetap memerlukan perhatian akan kualitas hidup masyarakat Papua, khususnya untuk AHH perempuan, mengingat perkembangan prasarana kesehatan primer (Puskesmas) dan pelayanan tenaga kesehatan di Provinsi Papua yang menunjukkan fluktuasi dan kecenderungan adanya penurunan. Diskusi tentang 9. BPS Provinsi Papua, 2012. Defini Angka Harapan Hidup yang disepakati BPS dan lembaga terkait adalah “suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh penduduk dalam suatu wilayah dalam kurum waktu tertentu”.
  • 27. 27Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 situasi prasarana dan pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya kelompok perempuan di Papua, dapat dilihat pada bab selanjutnya. Dalam konteks gender, adanya Angka Harapan Hidup perempuan yang lebih rendah dibandingkan dengan Angka Harapan Hidup laki-laki menunjukkan adanya persoalan kesehatan yang serius di wilayah ini, khususnya terkait status dan kualitas kesehatan perempuan. Gambar 2.3. Angka Harapan Hidup, Berdasar Jenis Kelamin, Provinsi Papua, 2010. Sumber : BPS Provinsi Papua, 2010 2. c. KOMPOSISI PENDUDUK DALAM KELUARGA DAN BEBAN KERJA GENDER Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa organisasi terkecil di masyarakat Papua adalah klan, yang masing masing memiliki kelembagaan adat yang mengendalikan batas kepemilikan sumber daya, nilai/harga maupun persoalan persoalan pribadi, perkawinan, panduan moral, dan persoalan adat, termasuk resolusi konflik ‘alternative dispute resolution’11 . Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa sekitar 43% dari penduduk Papua tinggal di perkotaan, sementara 57% nya tinggal di perdesaan. Data penduduk ini mengindikasikan masih kuatnya pola relasi sosial yang 10. Angka umur harapan hidup/AHA atau “life expectancy” mewakili lamanya hidup merupakan dimensi umur panjang dan sehat yang mencerminkan aspek kesehatan. Pada cakupan lebih luas merupakan ukuran kinerja pembangunan sektor kesehatan. AHA dapat dihitung dengan menggunakan “life table”. Untuk kepentingan penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2011, BPS dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan menggunakan AHA yang dihitung menggunakan pendekatan tak langsung (indirect). Jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung AHA adalah dua (2) jenis yaitu anak lahir hidup (ALH) dan anak masih hidup (AMH) dengan penghitungan menggunakan pendekatan Paket program Mortpack. 11. Djekky R. Djoht “Etnografi, Sejarah Perkembangannya dan Klasifikasi Kebudayaan-Kebudayaan Di Papua, 2006 . Kata Papua berasal dari kata melayu, ‘pua –pua’ yang artinya keriting.
  • 28. 28 Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 mengikuti tatanan sosial dan adat masyarakat asli Papua, khususnya mereka yang bertempat tinggal dan hidup di wilayah kampung. Persoalan ketimpangan yang cukup signifikan antara jumlah penduduk perempuan dibandingkan dengan laki-laki merupakan persoalan yang memerlukan perhatian. Ketimpangan rasio jenis kelamin penduduk Papua dapat dijelaskan oleh beberapa kemungkinan, antara lain tingginya angka kematian ibu kala hamil dan melahirkan serta adanya bias gender yang berbasis budaya yang mendahulukan keberlangsungan hidup anak laki-laki dibanding anak perempuan. Untuk wilayah seperti Papua yang angka kematian anaknya juga tinggi, hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Adanya rasio jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang di masyarakat dan di keluarga ini mempengaruhi beban kerja perempuan di dalam rumah tangga. Hasil studi menunjukkan bahwa ketika hamilpun, perempuan Papua bekerja selama 14 jam per hari, sementara laki-laki bekerja selama 8 jam per hari. Dapat dikatakan bahwa perempuan memang memiliki beban berganda di dalam rumah tangganya12 . Peran perempuan besar dalam perekonomian keluarga dan masyarakat, khususnya di sektor Pertanian. Dalam studi yang dilakukan di beberapa negara dengan persoalan Angka Harapan Hidup (AHH) yang timpang, seperti di India, Bangladesh dan Botswana, menunjukkan adanya aspek ketimpangan gender yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, kurangya akses pada fasilitas kesehatan, khususnya kesehatan ibu hamil dan melahirkan, serta rendahnya otonomi perempuan13 . Studi tersebut juga membuat kesimpulan bahwa perempuan punya peran besar dalam pembangunan. Hanya saja peran perempuan belum diakui masyarakat sekitarnya. Ketika perempuan memiliki otonomi yang kuat serta akses yang baik pada fasilitas kesehatan dan alat kontrasepsi maka angka kelahiran dan angka kematian bayi dapat ditekan. Adanya otonomi perempuan juga mengurangi kasus meninggalnya perempuan karena HIV/AIDS dan juga karena alasan lain, misalnya kasus aborsi yang tidak berhasil. Beberapa negara yang memiliki AHH yang senjang tersebut mencatat adanya sistem patriarkipatriarki yang kuat yang menyebabkan nyawa perempuan (dan anak yang dikandung perempuan) dihargai kurang dari nyawa laki-laki. Hal ini merupakan indikasi adanya ketidakadilan gender di wilayah wilayah tersebut. Secara keseluruhan, adanya ketimpangan rasio jenis kelamin di antara penduduk perempuan dan laki-laki pada hampir semua golongan umur penduduk membawa implikasi pada transisi dan struktur demografi di Papua. Persoalan demografi ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak. Aspek lain yang mempengaruhi struktur demografi Papua perlu mendapat perhatian adalah aspek migrasi, baik migrasi di dalam wilayah Papua maupun transmigrasi yang dahulu difasilitasi program pemerintah dan juga yang dilakukan dengan suka rela oleh keluarga pendatang. Studi menunjukkan bahwa migrasi di dalam wilayah Papua lebih disebabkan oleh faktor penarik‘pull factors’untuk mendapatkan kehidupan sebagai masyarakat yang lebih moderen daripada karena aspek pendorong‘push factor’seperti persoalan kemiskinan di wialayah asal14 . Adanya dinamika migrasi di dalam Papua yang disebabkan oleh faktor penarik tersebut mendorong kemungkinan makin ditinggalkannya pekerjaan atau mata pencaharian di sektor pertanian. Sementara itu, arus transmigrasi saat ini merupakan migrasi spontan pada umumnya berasal dari masyarakat Bugis, Makasar, Toraja dan Maluku yang pada umumnya bermata pencaharian berdagang, sementara migrasi yang dikelola pemerintah berasal dari masyarakat Jawa, Madura dan Sumatra yang biasanya bermata pencaharian pedagang dan Pegawai Negeri Sipil15 . 2. d. FERTILITAS DAN PERNIKAHAN DINI Penduduk pada kelompok usia subur (15-49 tahun) merupakan mayoritas (59%) di Papua. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi isu kesehatan reproduksi yang besar di wilayah ini. Papua juga diidentifikasi sebagai salah satu provinsi yang memiliki persentase yang tinggi untuk pernikahan dini (di bawah 15 tahun). Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 55% penduduk berusia di atas 10 tahun yang berstatus menikah. Dari angka tersebut, penduduk Papua pada kelompok umur 10 sd 14 tahun yang memiliki status menikah adalah 0.24% sementara penduduk pada kelompok umur 15 sd 19 tahun yang menikah adalah 14.52% (BPS Provinsi Papua, 2010). 12. AusAID and UNICEF, “Gender and Poverty Analysis in Papua”, November 2007 13. “The Demographics of Inequality”, September 2011. 14. OXFAM’s Poverty Analysis Paper - Papua, disusun oleh R Hewat and L Michell untuk OXFAM GB, 2007. 15. AusAID and UNICEF, ibid, 2007
  • 29. 29Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua 2012 Tabel 2.3. Presentase Penduduk Pada Kelompok Usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun Yang Memiliki Status menikah, Provinsi Papua, 2010.KELOMPOK UMUR Persentase Berumur 10 - 14 0.24% Berumur 15 - 19 14.52% Sumber : BPS Provinsi Papua, 2010 Yang ironis, dicatat pula bahwa perceraian pada perkawinan usia dini juga cukup signifikan16 . Data tahun 2003 menunjukkan bahwa 1% dari perempuan pada usia 15 tahun telah pernah menikah dan separuhnya berstatus cerai. Data menunjukkan bahwa angka ini meningkat dibandingkan angka pada tahun 199717 . Angka hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa sekitar 18.6% dari perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun sudah pula bercerai, sementarasekitar2%dariperempuanyangmenikahantaraumur15sampai19tahunmengalamiperceraian18 .Studilebih lanjut akan persoalan ini perlu mendapat perhatian mengingat implikasi perkawinan dini sering diikuti oleh persoalah putus sekolah di antara anak perempuan, di samping kehamilan dini. Hal ini tentu saja merugikan perempuan Papua karena hilangnya kesempatan perempuan untuk mengecap pendidikan lebih tinggi, juga meningkatkan kerentanan selama hamil dan melahirkan. Kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Papua salah satunya disebabkan oleh usia dini perkawinan perempuan. Kedua isu tersebut mempengaruhi kualitas dan status pendidikan dan kesehatan perempuan muda di Papua, yang pada umumnya rendah. 2. e. PENDUDUK USIA LANJUT Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi empat (4), yaitu usia pertengahan : 45 -59 tahun, lanjut usia 60 -74 tahun,lanjut usia tua 75 – 90 tahun dan usia sangat tua diatas 90 tahun. Namun, penggolongan penduduk usia lanjut juga sering didefiniskan untuk penduduk pada usia di atas 56 tahun19 . Bila kita pergunakan definisi yang ditetapkan WHO maka untuk Papua, hanya terdapat 1.9% penduduk yang berada pada kelompok usia di atas 60 tahun. Dari jumlah penduduk di atas usia di atas 60 tahun tersebut, 59% di antaranya adalah penduduk laki-laki dan sisanya yaitu sekitar 41% adalah penduduk perempuan. Untuk konteks Indonesia, komposisi penduduk usia lanjut dipengaruhi oleh turunnya tingkat fertilitas, perbaikan Angka Harapan Hidup dan meningkatnya tingkat bertahan hidup. Papua merupakan satu dari empat provinsi dengan persentase penduduk usia lanjut yang rendah20 . Berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain (dan juga wilayah Negara berkembang dan maju yang lain) di mana perempuan merupakan mayoritas dari kelompok usia lanjut, di wilayah Papua lebih banyak laki-laki usia lanjut dibandingkan dengan perempuan21 . Di Papua, peran untuk merawat orang lanjut usia ada pada kelompok laki-laki22 . Mengingat data kependudukan di Provinsi Papua menunjukkan rasio penduduk perempuan yang lebih kecil dibanding laki-laki, hampir pada semua kelompok usia (kecuali usia di atas 95 tahun), adanya persoalan rendahnya tingkat regenerasi atau ‘replacement’dari kelompok usia lanjut, khususnya di Papua, perlu menjadi perhatian. 16. AusAID and UINCEF, ibid, 2007 17. Catatan dan bahan Analisis Gender dan Kemiskinan untuk UNICEF (2008), menunjukkan bahwa 40% anak perempuan ( 15 sd 18 tahun) di perkotaan dan 23% anak perempuan pada jenjang usia yang sama di perdesaan punya status menikah. Angka ini drastis meningkat drastis dibanding pada tahun 1997. 18. Hasil Sensus Penduduk 2012, BPS Provinsi Papua 19. Menurut beberapa studi di Indonesia, definisi kelompok lanjut usia adalah orang yang berusia 56 tahun ke atas, tidak mempunyai penghasilan dan tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2002). Saparinah Sadli ( 1983) berpendapat bahwa pada usia 55 sampai 65 tahun merupakan kelompok umur yang mencapai tahap praenisium dan pada tahap ini akan mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh/kesehatan dan berbagai tekanan psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya. 20. Nugroho Abikusno, untuk UNFPA Indonesia “Papers in Population Ageing No. 3, Older Population in Indonesia: Trends, Issues and Policy Responses, 2007 21. Sering disebut ‘the feminization of the elderly’ 22. UNFPA, UNICEF, AusAID, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) “Analisa Situasi keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat”, 2007