Eksperimen ini merancang dan membuat alat solar cooling menggunakan karbon aktif sebagai adsorben dan metanol sebagai refrigeran. Alat ini mampu menurunkan suhu dengan memanfaatkan proses desorpsi dan adsorpsi. Hasilnya menunjukkan alat berfungsi dengan baik dan mampu menghasilkan COP sebesar 0,275.
1. MODEL EKSPERIMEN SOLAR COOLING
UNTUK MENJELASKAN KONVERSI ENERGI
Dewanto Harjunowibowo1, July Trianita Widya Rahayu2
Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir.Sutami No.36 A Surakarta 57126
E-mail : dewanto_h@yahoo.com1, julytrianita@gmail.com2
Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk merancang bangun alat solar cooling menggunakan solid adsorben
berupa karbon aktif. Kemudian alat solar cooling digunakan untuk menjelaskan prinsip kerja sistem pendingin
dan menentukan nilai COP yang dihasilkan oleh sistem.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Eksperimen dilakukan
dengan alat solar cooling yang sudah dirangkai. Untuk mendukung eksperimen, alat solat cooling dilengkapi
dengan alat ukur termokopel dan termometer digital.
Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan perancangan dan pembuatan alat solar cooling menggunakan solid
adsorben berupa karbon aktif dan refrigeran berupa metanol. Alat solar cooling bekerja dengan metode
adsorpsi. Siklus kerja sistemterdiri dari dua proses, yaitu proses desorpsi dan proses adsorpsi. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh nilai COP sebesar 0,275.
I. Pendahuluan
Solar cooling merupakan istilah dari teknologi
pendingin dengan memanfaatkan panas sinar
matahari (Hartmann, 2011). Panas/kalor merupakan
salah satu bentuk dari energi, sehingga mengambil
kalor dari suatu benda ekuivalen dengan
mengambil sebagian energi dari molekul-
molekulnya. Untuk mengambil kalor tersebut,
maka udara harus bersentuhan dengan suatu bahan
atau material yang memiliki temperatur yang lebih
rendah (Tampubolon dan Samosir, 2005).
Sistem pendingin merupakan salah satu
kebutuhan penting dalam kehidupan manusia.
Namun kecenderungan ini tidak diikuti dengan
penerapan teknologi baru dalam bidang sistem
pendingin. Sistem konvensional masih banyak
digunakan, sementara teknologi terbarunya masih
sebatas pilihan.
Menurut Saputra (2008), setidaknya ada tiga
permasalahan yang timbul akibat adanya
penggunaan sistem refrigerasi atau sistem
pendingin secara konvensional. Pertama, kebutuhan
energi pada sistem refrigerasi/ pendingin terhadap
pasokan listrik cukup signifikan. Di Indonesia, 60%
konsumsi listrik digunakan untuk memasok energi
mesin pengkondisian udara. Oleh karena itu,
perusahaan penghematan energi yang dilakukan
terhadap mesin pengkondisian udara akan
berdampak signifikan terhadap usaha penghematan
energi di dunia.
Kedua, penggunaan sistemrefrigrasi/ pendingin
secara konvensional dapat menimbulkan kerusakan
lapisan ozon. Hipotesis yang disampaikan oleh
Molina dan Rowland dalam Saputra (2008)
menyebutkan bahwa dampak buruk
chlorofluoromethane (CFC) terhadap lapisan ozon
mencetuskan babak baru dalam dunia
pengkondisian udara. Diperkirakan terjadi
kerusakan lapisan ozon sekitar 3% per dekade.
Ketiga, sistem refrigerasi/ pendingin
berkontribusi pada produksi CO2 yang dapat
mendorong adaya pemanasan global. CO2 yang
merupakan gas rumah kaca ini dihasilkan melalui
sistem pembangkit energi untuk suplai listrik mesin
refrigerasi. Selain berkontribusi pada produksi CO2,
teknologi refrigerasi juga berkontribusi langsung
pada pemanasan global melalui kebocoran dan
buangan refrigeran (yang bersifat gas rumah kaca)
ke lingkungan.
Terkait dengan hal ini, Protokol Kyoto tahun
1997 tentang perubahan iklim bumi telah mengatur
penggunaan refrigeran yang termasuk dalam gas
rumah kaca, yaitu HFCs (Hidro Fluoro Carbons).
Gas-gas yang memiliki potensi efek rumah kaca
dikategorikan dalam zat GWP (Global Warming
Potential), sedangkan zat perusak lapisan ozon
disebut ODS (Ozon Depleting Substance). Dengan
demikian, terdapat tiga hal yang mempengaruhi
perkembangan sistem refrigerasi saat ini, yaitu : (1)
penghematan energi, (2) tuntutan refrigeran non-
ODS dan (3) tuntutan refrigeran non-GWP. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, maka
dikembangkanlah sistem pendingin yang ramah
lingkungan dan efisien, salah satunya adalah alat
solar cooling.
Saat ini telah banyak dilakukan penelitian
mengenai sistem pendingin. Telah dilakukan
penelitian awal mengenai solar cooling dengan
menggunakan alat destilasi. Alat tersebut dapat
menurunkan temperatur pada tekanan udara 1 atm.
Penelitian dengan menggunakan adsorber-pair
berupa metanol-karbon aktif berbentuk granul
2. menghasilkan nilai COP sebesar 0,23 (Dewanto,
dkk, 2014).
Keberadaan adsorber dalam sistem pendingin
adsorpsi sangat menentukan efisiensi sistem.
Adsorber yang baik harus mampu menyerap cairan
refrigeran sebanyak-banyaknya dan melepaskannya
kembali dengan cepat. Untuk itu, adsorber harus
mampu menyebarkan aliran kalor yang diterima
secara baik dan cepat ke seluruh bagian adsorber.
Kecepatan transfer kalor pada adsorber ini berbeda-
beda hasilnya antara adsorber bentuk butiran
(granules) dan padatan (solid). Menurut Wang et al
(2006), transfer kalor terbaik ada pada adsorber
dengan bentuk padatan daripada butiran. Hal ini
dikarenakan kerapatan adsorber bentuk padatan
lebih tinggi daripada bentuk butiran.
Berdasarkan kajian tersebut, maka rancang
bangun eksperimen ini ditujukan untuk
menganalisis cara kerja alat solar cooling serta
efisiensi kinerja sistem. Variabel yang diukur
dalam penelitian ini adalah temperatur generator
(Tgen), temperatur evaporator (Tevap), temperatur
wadah (Tchiller) dan temperatur lingkungan (Tlingk).
Dari data berupa temperatur tersebut dapat diukur
nilai COP (Coeffisien Of Performance) yang
dihasilkan oleh sistem refrigerasi menggunakan
pasangan karbon aktif-metanol.
II. Pembahasan
Langkah pertama yang dilakukan dalam
penelitian adalah merancang dan merangkain alat
solar cooling yang terbuat dari bahan stainless
steel. Alat solar cooling kemudian digunakan untuk
mengambil data. Selanjutnya, data dianalisis untuk
mengetahui efisiensi kinerja sistem yang
dinyatakan dengan nilai COP sistem.
2.1. Alat Solar Cooling
Solar Cooling merupakan sistem pendingin
dengan memanfaatkan panas matahari. Sistem
tersebut terdiri atas tiga komponen utama (Li dkk,.,
2004a), yaitu Generator, Kondensor, Evaporator
dan Chiller. Desain alat solar cooling yang telah
dirangkai ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Desain Alat Solar Cooling,
1)Generator; 2)Kondensor;
3)Evaporator; 4)Termometer Digital;
5)Termokopel; 6)Chiller; 7)Kran
Stainless; 8) dan 9) Inlet dan Outlet Air
Kondensor
Alat utama terdiri dari dua ruangan yang saling
terhubung dengan salah satu ruang berisi adsorbser
(bagian generator) dan ruang yang lain sebagai
evaporator. Di dalam generator terdapat padatan
yang berfungsi sebagai penyerap cairan bisa berupa
pasangan Silika gel-Air (Maggio dkk,., 2009) atau
Karbon Aktif-Metanol (Li dan Sumathy, 1999; Li
dkk, 2004b; Dai dkk,. 2002). Dalam penelitian ini,
generator diisi dengan solid adsorben berupa
karbon aktif dan refrigeran berupa metanol.
a. Generator
Generator merupakan bagian dari alat solar
cooling yang berisi solid adsorben. Generator
terbuat dari bahan stainless steel dengan
ukuran (28x22x6) cm3. Pada bagian ini
dilengkapi dengan termokopel untuk
mengetahui suhu yang ada di dalam solid
adsorben ketika proses desorpsi maupoun
adsorpsi berlangsung.
b. Kondensor
Kondensor terbuat dari bahan stainless steel
dengan panjang 31 cm dan diameter 0,6 cm.
Kondensor merupakan pipa penghubung
antara generator dengan evaporator. Pada
bagian kondensor ditempatkan selang yang
mengalirkan air dingin dari pemompa.
Kondensor digunakan untuk mendinginkan
uap refrigeran akibat pemanasan di generator,
sehingga uap terseb ut mengembun dan
menetes di evaporator.
c. Evaporator
Evaporator terbuat dari bahan stainless steel
dengan dilengkapi termometer digital pada
bagian atasnya untuk mengetahui suhu yang
ada di dalam evaporator. Selain itu,
evaporator juga dilengkapi dengan termokopel
untuk mengetahui suhu refrigeran yang
menetes di evapotar. Evaporator berfungsi
sebagai tempat refrigeran yang menetes dari
generator ketika proses desorpsi. Sedangkan
ketika proses adsorpsi, evaporator berfungsi
sebagai tempat untuk menyalurkan kembali
refrigeran menuju generator.
d. Chiller
Chiller merupakan tempat yang terisolasi dari
keadaan lingkungan sekitar. Pada bagian
chiller dilengkapi dengan termokopel untuk
mengetahui perubahan suhu yang terjadi di
dalamnya. Chiller akan mengalami penurunan
suhu ketika proses adsorpsi berlangsung. Hal
ini terjadi karena adanya penyerapan kalor
dari chiller oleh evaporator untuk meng-
uapkan refrigeran menuju generator.
e. Komponen Pendukung Alat Solar Cooling
Alat solar cooling dapat bekerja dengan
bantuan beberapa alat pendukung. Salah satu
alat pendukung ini adalah kompor listrik
sebagai sumber panas. Alat pendukung
lainnya adalah termometer digital dan
termokopel yang berfungsi untuk mengetahui
3. temperatur yang ada di dalamkomponen solar
cooling. Selain itu, pada bagian kondensor
juga dilengkapi dengan alat pemompa air
untuk memompa air masuk menuju
kondensor. Air memasuki kondensor melalui
inlet dan outlet. Pada bagian generator
dilengkapi dengan alat pendukung berupa
manometer. Manometer digunakan untuk
mengatur tekanan yang berada di dalam
sistem.
2.2. Prinsip Kerja Alat Solar Cooling
Pada prinsipnya, alat ini bekerja dengan
memanfaatkan proses desorpsi (pemanasan) dan
adsorpsi (pendinginan). Pada saat proses desorpsi,
generator yang dalamnya telah berisi solid
adsorben dipanaskan dengan menggunakan
kompor listrik hingga kandungan refrigeran di
dalamnya habis menguap menuju evaporator.
Ketika uap refrigeran sampai di kondensor, uap
tersebut mengembun akibat pendinginan yang ada
di kondensor. Pada akhirnya, refrigeran menetes di
evaporator.
Setelah proses desorpsi (pemanasan), langkah
selanjutnya adalah proses adsorpsi (pendinginan).
Proses adsorpsi dapat dimulai ketika semua suhu
di masing-masing komponen dari solar cooling
sudah setimbang. Pada saat proses adsorpsi
berlangsung, tekanan di bagian generator lebih
rendah daripada bagian evaporator. Akibatnya,
refrigeran yang ada di bagian evaporator akan
menguap menuju generator kembali. Penguapan
ini membutuhkan kalor. Oleh karena itu,
evaporator akan mengambil kalor/ panas dari
chiller untuk menguapkan refrigeran yang ada di
dalamnya. Akibatnya, akan terjadi penurunan suhu
pada bagian chiller.
2.3. Solid Adsorber-Pair
Adsorben yang sering digunakan adalah Karbon
aktif (Li dan Sumathy, 1999; Li dkk, 2004b; Dai
dkk,. 2002), Serat karbon aktif, zeolit (Wang, dkk.,
2009), dan Silika Gel-Air (Yang dalam Li, G dkk,,
2012).
a. Karakteristik Karbon Aktif sebagai
Adsorben
Karbon aktif umumnya dibuat dari
material semacam kayu, batubara, tulang, dan
kulit kelapa (Wang, dkk, 2009). Beberapa hal
yang membedakan karbon aktif dengan
adsorben lainnya adalah pada bentuk
permukaannya. Permukaan karbon aktif
diliputi dengan matrik oksida dan beberapa
material anorganik. Oleh karena itu, karbon
aktif bersifat non polar atau hanya memiliki
sebuah polaritas yang lemah (Wang, dkk,
2009). Penyerapan panas dari pasangan
karbon aktif lebih rendah dibandingkan
pasangan padatan yang lainnya. Perbandingan
karakteristik karbon aktif berbentuk granul
dan padatan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Karbon Aktif
Besaran Fisis Karbon Aktif
Berbentuk
Granul
Karbon
Aktif
Berbentuk
Padatan
Massa jenis 460 kg m-3 600 kg m-3
Konduktivitas
Panas
0,11 W m-1
K-1
0,30 W m-1
K-1
Kapasitas
Panas
0,93 kJ kg-1
K-1
0,93 kJ kg-1
K-1
(Sumber : Hussein, 2008)
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa
massa jenis karbo aktif dalam bentuk padatan
lebih besar daripada karbon aktif dalam
bentuk granul. Massa jenis (ρ) sendiri
merupakan perbandingan antara massa (m)
dengan volume benda (V). Massa jenis dapat
dirumuskan seperti pada Persamaan 1.
𝜌 =
𝑚
𝑉
(1)
dimana ρ adalah massa jenis (kg m-3), m
adalah massa (kg) dan V adalah volume (m3).
Persamaan 1 tersebut menunjukkan bahwa
massa jenis berbanding lurus dengan massa.
Dengan demikian, massa dari karbon aktif
yang dipadatkan lebih besar daripada massa
karbon aktif dalam bentuk granul pada
volume ruang yang sama.
Karbon aktif yang dipadatkan mempunyai
jarak antar molekul yang lebih rapat jika
dibandingkan dengan karbon aktif dalam
bentuk granul. Hal ini mengakibatkan panas
dari satu titik dapat menginduksi titik yang
lainnya secara cepat daripada dalam bentuk
granul. Hal tersebut mengakibatkan nilai
konduktivitas reratanya lebih tinggi
dibandingkan dengan karbon aktif berbentuk
granul.
b. Karakteristik Metanol sebagai Refrigeran
Dalam banyak hal, kemampuan atau
performa methanol berada di antara air dan
amonia. Methanol memiliki tekanan
penguapan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan iar (meskipun pada tekanan 1 atm),
sehingga sangat cocok untuk membuat
pendinginan. Meskipun demikian, pada
temperatur lebih dari 120°C, tekanan menjadi
tidak stabil. Untuk temperatur aplikasi lebih
dari 200°C adsorben yang biasa digunakan
adalah karbon aktif, silika gel, dan zeolit.
Metanol dipilih karena memiliki kelebihan
sebagai berikut (Li dan Sumathy, 1999) :
4. a) Pada tekanan atmosfir metanol
berbentuk cairan yang ringan, mudah
menguap dibandingkan dengan air
meskipun pada tekanan 1 atm.
b) Sangat efisien.
c) Tidak korosif terhadap besi atau baja.
Metanol juga dikenal sebagai metil
alkohol, wood alcohol atau spiritus. Metanol
merupakan bentuk alkohol paling sederhana.
Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk
cairan yang ringan, mudah menguap, tidak
berwarna, mudah terbakar dan beracun
dengan bau yang khas (berbau lebih ringan
dari pada etanol). Metanol digunakan sebagai
bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan
bakar dan sebagai bahan aditif bagi etanol
industri (Gupta N et al, 2008). Pada Tabel 2 di
bawah ini ditunjukkan karakteristik metanol
secara umum.
Tabel 2. Karakteristik Metanol
Sifat Metanol
Massa Jenis 787 kg/m3, cair
Titik Lebur -97,7 °C
Titik Didih 64,5 °C
Klasifikasi
EU
Flammable (F), Toxic (T)
Panas Laten
Penguapan
(Le)
1100 kL/kg
(Sumber : Hussein, 2008)
2.4. COP (Coefficient of Performance)
COP (Coefficient of Performance) refrigerasi
merupakan gambaran efisiensi siklus alat
refrigerasi, yang dinyatakan oleh perbandingan
energi kalor yang diserap dari evaporator (Qevap)
terhadap energi yang dibutuhkan untuk
menggerakkan kompressor (W). Pada sistem
refrigerasi ini, pemakaian kompressor digantikan
dengan karbon aktif. Untuk menaikkan tekanan
refrigeran yang teradsorpsi agar mencapai tekanan
kondensasinya, karbon aktif dipanaskan sampai
pada temperatur tertentu.
Coefficient of Performance (Alva and
González, 2001) dapat ditunjukkan pada
persamaan 2.
W
Q
COP in
gen
chilleramb
T
TT
COP
(2)
2.5. Hasil Penelitian
Siklus sistem pendingin ini merupakan siklus
semi kontinyu atau intermittent. Hal ini karena
terjadinya proses pendinginan harus menunggu
penurunan suhu sistem hingga seimbang. Satu
siklus terdiri dari siklus desorpsi dan siklus
adsorpsi.
Proses desorpsi merupakan proses pemanasan
pada sistem sehingga pergerakan molekul
adsorben (karbon aktif) akan meningkat. Pada
jumlah panas tertentu akan dihasilkan energi
kinetik yang cukup untuk melepaskan refrigeran
(metanol) dari adsorben. Proses desorpsi ini
merupakan proses endhotermic karena
membutuhkan energi panas. Proses desorpsi
dilakukan selama ±2,5 jam dengan pemanasan
hingga 120°C. Menurut Hu (1998), temperatur
lebih dari 120°C harus dihindari karena metanol
akan terdekomposisi menjadi bentuk lain.
Proses pemanasan dilakukan dengan
menggunakan kontrol suhu yang disetting sebesar
69°C sesuai dengan titik didih methanol (Hussein,
2008). Sedangkan alat pemanas disetting sebesar
300 W. Hasil proses desorpsi ditunjukkan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Hubungan Suhu terhadap
Waktu saat Desorpsi
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa
terjadi kenaikan suhu pada masing-masing
komponen dari solar cooling. Proses desorpsi
dimulai pada suhu ±29°C dengan suhu lingkungan
27°C. Kenaikan suhu yang signifikan terjadi pada
generator (Tgen). Generator pada permukaan bawah
mengalami kenaikan suhu lebih dulu daripada
generator pada permukaan atas dan tengah. Namun
pada menit ke-37 semua titik pada generator
memiliki suhu yang sama, yaitu sebesar 69,1°C.
Setelah mencapai menit ke-37, suhu di generator
kembali mengalami kenaikan suhu. Suhu
generator pada permukaan bawah mengalami
kenaikan yang paling signifikan daripada suhu
generator pada permukaan atas dan tengah. Hal ini
dikarenakan setelah mencapai titik didih metanol,
seluruh kandungan metanol dalam solid adsorben
pada permukaan bawah sudah habis menguap.
Dengan demikian, panas yang berada di generator
pada permukaan bawah digunakan untuk
menaikkan suhu. Sedangkan panas yang berada di
generator pada permukaan atas dan tengah
digunakan untuk mengubah fase metanol
(menguapkan metanol) dan menaikkan suhu
sehingga kenaikan suhu yang terjadi lebih kecil
daripada kenaikan suhu yang terdapat di generator
pada permukaan bawah.
5. Perbedaan kenaikan suhu pada generator
dapat digunakan untuk menghitung kecepatan
transfer panas pada saat desorpsi. Kecepatan
transfer panas dihitung dengan menentukan waktu
yang dibutuhkan oleh panas generator pada
permukaan atas dan tengah untuk memiliki suhu
yang sama dengan generator pada permukaan
bawah. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ketika
generator pada permukaan atas,tengah, dan bawah
mencapai titik suhu yang sama sebesar 31°C pada
waktu yang berbeda-beda. Keadaan ini
ditunjukkan secara jelas dalam grafik pada
Gambar 3.
Gambar 3.Perbandingan Kenaikan Suhu Generator
saat Menit ke-11, ke-12 dan ke-13
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa untuk
mencapai suhu 31°C generator permukaan bawah
membutuhkan waktu 11 menit, generator tengah
membutuhkan waktu 12 menit dan generator
permukaan bawah membutuhkan waktu 13 menit.
Dengan demikian, kecepatan transfer panas dapat
dihitung sebagai berikut :
𝑣 𝑑𝑇𝑃 1 =
31 − 27
11 − 0
=
4
11
= 0,36 ℃/menit
𝑣 𝑑𝑇𝑃 2 =
31 − 27
12 − 0
=
4
12
= 0,33 ℃/menit
𝑣 𝑑𝑇𝑃 3 =
31 − 27
13 − 0
=
4
13
= 0,30 ℃/menit
Berdasarkan hasil tersebut, maka diperoleh
kecepatan transfer panas rata-rata sebesar :
𝑣 𝑑𝑇𝑃 =
0,36 + 0,33 + 0,30
3
=
0,99
3
= 0,33 ℃/menit
Nilai kecepatan transfer panas rata-rata ketika
desorpsi sebesar 0,33°C/menit. Nilai ini memiliki
arti bahwa terdapat kenaikan suhu sebesar 0,33°C
tiap menitnya ketika proses desorpsi berlangsung.
Selain transfer panas, pada saat desorpsi juga
dapat dihitung nilai kecepatan transfer massa
adsorben. Kecepatan transfer massa dapat dihitung
dengan mengukur volume metanol yang
tertampung oleh evaporator selama proses desorpsi
berlangsung. Berdasarkan data yang diperoleh
setelah proses desorpsi, volume metanol yang
dihasilkan selama 170 menit adalah 300 mL.
Dengan demikian, kecepatan transfer massa
adsorben pada saat desorpsi sebesar 1,76 mL/menit.
Artinya, metanol dalam adsorben dapat menguap
sebanyak 1,76 mL menuju evaporator tiap
menitnya selama proses desorpsi tersebut
berlangsung.
M.Li, et al (2004) melakukan penelitian
mengenai efisiensi adsorben karbon aktif-metanol
dan karbon aktif-etanol pada solar ice maker.
Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil
bahwa proses desorpsi yang dilakukan selama 6
jam mampu menghasilkan metanol dengan volume
2750 mL. Hasil ini menunjukkan bahwa kecepatan
transfer massa yang dihasilkan sebesar 7,64
mL/menit. Dengan demikian, laju penguapan yang
terjadi saat desoprsi pada penelitian oleh M.Li,et al
(2004) lebih cepat daripada penelitian ini.
Berbeda halnya dengan proses desorpsi, proses
adsorpsi merupakan proses pendinginan pada
sistem. Pada proses ini lingkungan melepas kalor
sehingga menimbulkan penurunan suhu. Hasil
proses adsorpsi ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Grafik Hubungan Suhu terhadap
Waktu saat Adsorpsi
Gambar 4 menunjukkan penurunan suhu yang
terjadi pada setiap komponen sistem selama proses
adsorpsi berlangsung. Proses adsorpsi dimulai pada
suhu ±29°C. Penurunan suhu yang paling
signifikan terjadi pada chiller, dimana panas chiller
mengalami penurunan menjadi suhu 20°C pada
menit ke-180. Penurunan suhu yang signifikan
terjadi pada menit ke-180, yaitu dari suhu 22°C
turun menjadi 20°C. Fenomena ini dapat terjadi
karena adanya faktor dari luar, seperti perubahan
posisi kabel termokopel dalam chiller. Kemudian
pada menit ke-181 suhu chiller kembali naik. Hal
ini dikarenakan karbon aktif sudah mengalami titik
jenuh sehingga tidak dapat menyerap metanol
dengan optimal. Akibatnya, proses adsorpsi ini
masih menyisakan 70 mL metanol di evaporator.
Data volume metanol ketika proses adsorpsi
dapat digunakan untuk menghitung kecepatan
6. transfer massa adsorben ketika adsorpsi. Pada saat
pemanasan (desorpsi), metanol dapat menguap
hingga 300 mL yang kemudian ditampung di
evaporator. Setelah proses adsorpsi berlangsung,
metanol yang tersisa di evaporator adalah 70 mL.
Dengan demikian, volume metanol yang diserap
adalah 230 mL selama 190 menit. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa kecepatan
transfer massa adsorben pada saat adsorpsi sebesar
1,21 mL/menit. Hasil tersebut memberikan
pengertian bahwa ketika proses adsorpsi
berlangsung, adsorben dalam generator dapat
menyerap 1,21 mL metanol dalam evaporator tiap
menitnya.
Penelitian yang telah dilakukan oleh M.Li, et al
(2004) menunjukkan bahwa karbon aktif dapat
mengadsorpsi metanol sebanyak 2550 mL selama
18 jam. Hasil ini memberikan nilai kecepatan
transfer massa sebesar 2,36 mL/menit. Dengan
demikian, karbon aktif pada penelitian M.Li, et al
(2004) dapat menyerap metanol lebih cepat
dibandingkan dengan laju penyerapan metanol oleh
karbon aktif yang dihasilkan dari penelitian ini.
Sedangkan kecepatan transfer panas saat
adsorpsi ditentukan dengan cara menghitung waktu
yang dibutuhkan chiller untuk mengalami
penurunan suhu. Berdasarkan Gambar 29 dapat
dilihat bahwa panas di chiller menurun menjadi
20,1°C dengan suhu awal sebesar 29,2°C. Dengan
demikian, penurunan suhu yang terjadi sebesar
9,1°C. Penurunan suhu ini dialami selama 183
menit. Keadaan tersebut memberikan kecepatan
transfer adsorben saat adsorpsi sebesar 0,05
°C/menit. Perhitungan kecepatan transfer panas
saat adsorpsi dapat dituliskan sebagai berikut:
𝑣 𝑎𝑇𝑃 =
29,2 − 20,1
183
=
9,1
183
= 0,05 ℃/menit
Artinya, terjadi penurunan suhu sebesar 0,05°C tiap
menitnya selama proses adsorpsi berlangsung.
Berdasarkan penelitian ini dapat diperoleh hasil
bahwa untuk suhu lingkungan sebesar 27°C,
generator membutuhkan suhu sebesar 40°C untuk
menguapkan refrigeran (metanol). Sedangkan suhu
yang diserap oleh evaporator sehingga
menyebabkan penurunan suhu adalah 9,1°C.
Dengan demikian, nilai COP yang dihasilkan dari
proses ini adalah :
𝐶𝑂𝑃 =
29,2 − 20,1
69 − 29
=
9,1
40
= 0,2275
III. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa :
1. Alat solar cooling untuk menjelaskan
konversi energi telah berhasil dirancang dan
dirangkai sehingga dapat digunakan sebagai
model eksperimen solar cooling. Alat solar
cooling menggunakan solid adsorber-pair
berupa karbon aktif-metanol.
2. Dari hasil penelitian diperoleh nilai COP yang
diperoleh sistemsebesar 0,2275.
Saran
Untuk meningkatkan akurasi data maka perlu
dilengkapi dengan alat flowmeter untuk
mengetahui jumlah debet metanol yang
tertampung di evaporator. Selain itu, untuk
memperoleh nilai COP yang lebih baik maka perlu
adanya pemvakuman sistem.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada DIKTI
dan UNS atas dana Hibah yang diberikan dengan
no. Kontrak 501/UN27.11/PN/2014.
IV. Daftar Pustaka
Alva, L.H. and González J.E., 2001, Simulation Of
An Air-Cooled Solar-Assisted Absorption
Air Conditioning System, Proceedings of
Forum 2001 Solar Energy: The Power to
Choose, April 21-25, Washington, DC
Dai Y.J., R.Z. Wang, Y.X. Xu. 2002. Study of a
Solar Powered Solid Adsorption-Desiccant
Cooling System Used for Grain Storage.
Renewable Energy 25, hal. 417-430
Dewanto, H., Danar S.W., July T.W.R. 2014.
Model Eksperimen Konversi Energi Sistem
Refrigerasi dengan Metode Adsorpsi. Jurnal
Materi dan Pembelajaran Fisika (JMPF),
Hal. 49
Gupta N, Sonambekar AA, Daksh SK, Tomar L.
2008. A rare presentation of methanol
toxicity. Ann Indian Acad Neurol, pp. 249
Hartmann, N., Glueek, C., Schmidt, F.P., 2011.
Solar Cooling for Small Office Buildings:
Comparison of Solar thermal and
Photovoltaic Option for Two Different
European Climates. Renewable Energy 36.
Pg 1329-1338
Hu EJ., 1998. A study of thermal decomposition of
methanol in solar powered adsorption
refrigeration systems. Solar Energy; 62 (5),
Hal. 325–9
Hussein, W.K.S. 2008. Solar Energy Refrigeration
by Liquid – Solid Adsorption Technique,
Master Thesisi. Palestine : An-Najah
University
Li, G., Hwang, Y., Radermacher, R. 2012. Review
of Cold Storage materials for Air
Conditioning Application. International
Journal of Refrigeration, doi :
10.1016/j.ijrefrig.2012.06.003
Li, M, Huang, H.B., Wang, R.Z., Wang, L.L., Cai,
W.D., Yang, W.M. 2004b. Experimental
Study on Adsorber of Activated Carbon with
Refrigerant of Methanol and Ethanol for
7. Solar Ice Maker. Renewable Energy 29, pp.
2235 – 2244
Li, M, Sun, C.J., Wang, R.Z. dan Cai, W.D. 2004a.
Development of No Valve Solar Ice Maker.
Applied Thermal Engineering 24, pp. 865 –
872
Li Z.F., dan Sumathy, K. 1999. A Solar Powerred
Ice-Maker with the Solid Adsorption Pair of
Activated Carbon and Methanol.
International Journal of Energy Research 23
(6) ; 517-527
Maggio, G., Gordeeva, L.G., Freni, A., Yu. I.
Aristov, Santori, G., Polonara, F., dan
Restuccia, G., 2009. Simulation of a solid
sorption ice-maker based on the novel
composite sorbent ‘‘lithium chloride in
silica gel pores”. Applied Thermal
Engineering 29, pp.1714–1720.
Saputra, B.W. 2008. Desain Sistem Adsorpsi.
Jurnal Ilmiah Teknik mesin Cakram, Vol.3
No.1, Hal. 1-3
Tampubolon, Darwis, dan R. Samosir. 2005.
Pemahaman tentang Sistem Refrigerasi.
Jurnal Teknik SIMETRIKA Vol.4 No.1,
Hal. 314-316
Wang K, Wu JY, Wang RZ, Wang LW. 2006.
Effective Thermal Conductivity ofExpanded
Graphite-CaCl2 Composite Adsorber for
Chemical Adsorption Chillers. Energy
Convers Manage; 47(13-14): 1902-12
Wang, L.W., Wang, R.Z., dan Oliveira, R.G., 2009.
A Review on Adsorption Working Pairs for
Refrigeration. Renewable and Sustainable
Energy Reviews. 13(3), pp. 518-534