M 001 -a1- risalah kata pengantar rdpu 10 nopember 2014 2
1. KATA PENGANTAR
KETUA UMUM MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (MASTEL)
PADA RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMISI I DPR-RI
DENGAN MASYARAKAT TELEMATIKA INDONESIA (MASTEL)
MENGENAI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG 36 TAHUN 1999
TENTANG TELEKOMUNIKASI
Tanggal 10 Nopember 2014
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Yth. Ketua dan Wakil Ketua Komisi I DPR-RI
Yth. Para Anggota Komisi I DPR-RI
Para Hadirin Yth.
1. Marilah bersama-sama kita haturkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT karena hanya atas karunia dan ridhoNya, kita dapat
berkumpul pada pagi hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat
dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi I DPR-RI
dengan Mayarakat TeleMatika Indonesia (MASTEL).
2. Perkenankanlah saya atas nama pengurus dan anggota Mastel
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada
Pimpinan Komisi 1 atas undangan dan kesempatan yg diberikan
kepada MASTEL untuk bertemu serta bertukar fikiran dengan
para wakil rakyat yang tergabung dalam Komisi I DPR-RI
mengenai industri telekomunikasi dan informatika khususnya
tentang pandangan MASTEL mengenai Implementasi Undang-undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Semoga
dari pertemuan ini kita dapat memperoleh manfaat sebagai
bekal untuk mendukung dan mendorong perkembangan
telekomunikasi dan informatika di negara kita agar dapat
mengejar ketertinggalan dibandingkan dengan kemajuan
2. pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di
negara negara tetangga.
3. Bagi MASTEL, Komisi I-DPR RI bukanlah lembaga yang asing
karena sejak beberapa tahun terakhir ini antara MASTEL
dengan Komisi I telah terjalin suatu hubungan yang sangat
baik. Frekuensi pertemuan pun termasuk sering baik dalam
bentuk RDPU maupun pertemuan-pertemuan lainnya misalnya
dalam kelompok kerja konvergensi dan penyiaran, maupun
diskusi atau seminar yang diselenggarakan oleh MASTEL.
Semoga keakraban ini dapat berlanjut pada masa bakti DPR-RI
tahun 2014-2019 dan seterusnya.
4. Sebelum memasuki substansi pembahasan hari ini ,
perkenankanlah kami untuk terlebih dahulu memperkenalkan,
khususnya kepada para Anggota Komisi I-DPR-RI yang baru,
sekelumit mengenai organisasi MASTEL/ Masyarakat
Telematika Indonesia. MASTEL adalah organisasi profesional ,
nirlaba yang mandiri yang beranggotakan Asosiasi-asosiasi di
bidang telekomunikasi dan penyiaran, perusahaan operator
telekomunikasi , penyiaran, industri telekomunikasi, lembaga
penelitian, akademisi serta profesional & praktisi perorangan
yang bergerak dan berminat serta pedul i terhadap
perkembangan bidang Telekomunikasi dan Informatika.
Mastel didirikan pada tanggal 1 Desember 1993, pada saat
pertelekomunikasian di Indonesia masih kental diwarnai
dengan kondisi monopolistik di mana keikutsertaan swasta
sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi belum dii jinkan
oleh peraturan perundangan yang berlaku. MASTEL pada saat
itu dimotori oleh tiga kekuatan utama dalam bidang
telekomunikasi , masing masing PT. Telkom, PT. Indosat dan
Kementerian Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi RI didukung
oleh Asosiasi (APNATEL) dan organisasi sosial P2TEL serta
kalangan pelaku usaha dan tokoh tokoh senior yg bergerak
dalam bidang telekomunikasi. Tujuan didirikannya Mastel
tercermin dalam Visi yang dengan tegas menyatakan bahwa
MASTEL konsisten untuk mewujudkan visinya sebagai
organisasi yang kredibel dan mampu berperan aktif dalam
mendorong pengembangan TeleMatika untuk kepentingan
masyarakat Indonesia. Pada saat ini MASTEL beranggotakan
700 orang anggota profesional dan akademisi , 75 perusahaan
2
3. yang bergerak dalam bidang telekomunikasi, penyiaran, law
firm dan 23 asosiasi yang bergerak di dalam bidang telematika.
Dengan komposisi keanggotaan seperti yang kami sampaikan di
atas, MASTEL dapat dikatakan sebagai organisasi payung
(umbrel la organisation) bagi perusahaan dan asosiasi di bidang
telematika di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi dalam
menjalankan visi misinya MASTEL digerakkan dengan perangkat
organisasi yang terdiri dari Dewan Pengurus Harian, Dewan
Profesi dan Asosiasi serta sekretariat yang dipimpin oleh
Direktur Eksekutif dengan lembaga tertinggi ada pada
Musyawarah Nasional Anggota Mastel.
5. Rekam jejak Mastel dapat ditemukan di berbagai produk
kebijakan dan perundangan yang berkaitan dengan
telekomunikasi dan informatika serta penyiaran antara lain
Undang Undang 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan
Fundamental Technical Plan Tahun 2001 yang merupakan dua
dokumen yang sangat penting di dalam tatanan bisnis
Telekomunikasi di Indonesia. Keterlibatan ini terjadi karena
bisnis telekomunikasi (di dunia, termasuk di Indonesia)
merupakan salah satu bisnis yang sangat di atur oleh
pemerintah (heavily-regulated). Dalam kaitan ini MASTEL
dengan anggota yang kebanyakan berlatar belakang
pengetahuan dan pengalaman di bidang telekomuniksi
dilibatkan oleh Pemerintah pada saat penyusunan FTP tahun
2001. Demikian pula pada saat penyusunan Undang Undang No
32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan berbagai kebijakan
lainnya. Pada tahun 2009 MASTEL juga dilibatkan oleh
Bappenas, Kementerian Kominfo serta Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014 serta
Rencana Pita Lebar Indonesia (Indonesia Broadband Plan) yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden RI No. 96 tahun 2014 dan
merupakan peta jalan (road-map) Pembangunan jaringan
pitalebar Indonesia. Dalam kaitan dengan kebijakan
telekomunikasi nasional dan cyber security, MASTEL duduk
sebagai anggota Dewan TIK Nasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden RI No. 01 Tahun 2014 mengenai Dewan TIK
Nasional, dan bersama Kantor Menko Polhukkam membentuk
National Cyber Security Desk yang berada di bawah koordinasi
Kemenko Polhukkam.
3
4. 4
Bapak & Ibu Yth
6. Sehubungan dengan agenda utama yang disampaikan oleh
Komisi I DPR RI mengenai Implementasi Undang Undang Nomor
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan kaitannya terhadap
trend Konvergensi, perkenankanlah kami menyampaikan
beberapa pemikiran yang menjadi perhatian (concern) para
pelaku industri sebagai berikut:
a. Perlu disadari bahwa pada abad ke-21, telekomunikasi
memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan
kita sehari-hari , baik dalam konteks kenegaraan, masyarakat
bahkan individu. Infrastruktur telekomunikasi dewasa ini,
khususnya Jaringan Pitalebar atau lebih sering dikenal
sebagai Broadband Networks telah menjadi salah satu
kebutuhan utama masyarakat di abad 21. Broadband
merupakan infrastruktur ekonomi yang sangat vital yang
akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara
tersebut. Infrastruktur telekomunikasi tidak dapat lagi
dipersepsikan sebagai suatu sarana dan prasarana yang
dipergunakan hanya untuk menghubungkan komunikasi dari
suatu titik ke titik yang lainnya, melainkan sebagai faktor
pengungkit, faktor penentu yang akan menjamin
keberhasilan pada sektor manapun dalam kehidupan kita
bernegara dan bermasyarakat. Telekomunikasi merupakan
enabler dalam suatu pembangunan ekonomi. Dalam kaitan
inilah Bank Dunia mengemukakan hasil penelitian mereka
bahwa setiap pertumbuhan 10 persen penetrasi akses
internet di suatu negara, akan mendorong tumbuhnya
Produk Domestik Bruto di negara tersebut sebesar 1,38
persen. Dengan pemahaman seperti ini maka tidak
mengherankan apabila di negara maju seperti Amerika
Serikat, mereka mengelompokkan infrastruktur
telekomunikasi sebagai critical-infrastructure atau
infrastruktur kritis di mana gangguan terhadap infrastruktur
telekomunikasi baik secara f isik maupun virtual
5. dikatagorikan sebagai suatu pelanggaran berat dengan
ancaman pidana.
b. Perlu dimaklumi bahwa dalam UU 36/1999 tentang
Telekomunikasi, Pemerintah dibatasi kewenanganya hanya
sebatas kepada fungsi Pembinaan sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 4 bahwa telekomunikasi dikuasai oleh Negara
dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Fungsi
Pembinaan ini meliputi penetapan kebi jakan, pengaturan,
pengawasan dan pengendalian dan tidak termasuk fungsi
penyediaan atau pembangunan, karena kegiatan-kegiatan ini
sudah di limpahkan kepada badan usaha yang memperoleh
ijin penyelenggaraan. Semangat dari UU 36/1999 saat itu
adalah menghilangkan fungsi Pemerintah di bidang
pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi yang
sebelumnya ditugaskan oleh Undang-undang sebelumnya.
Dalam Implementasi UU 36/1999 ini seringkali terjadi
Pemerintah tidak berdaya terutama apabila harus melayani
kebutuhan masyarakat di daerah-terpencil , daerah yang
belum berkembang atau daerah yang secara ekonomi belum
menguntungkan (unquick-yielding); karena pada umumnya
badan usaha akan menolak pembangunan sarana
telekomunikasi di lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan
bagi usaha mereka. Apakah Pemerintah akan diberikan
kembali wewenang fungsi pembangunan dalam Perubahan
UU 36/1999, kesemuanya kami serahkan kepada para
Anggota Komisi I -DPR-RI.
c. Kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi di daerah
terpencil atau belum berkembang sesungguhnya sudah
diatur dalam Pasal 16 UU 36/1999 di mana setiap
Penyelenggara diwajibkan untuk memberikan kontribusi
dalam pelayanan universal. Kontribusi pelayanan universal
ini berbentuk penyediaan sarana dan prasarana
telekomunikasi atau kompensasi lainnya. Namun Pasal 16
berserta penjelasannya menimbulkan multi tafsir sehingga
berpotensi dapat melanggar hukum (terutama dari kacamata
5
6. Penegak Hukum). Oleh karena itu kewajiban USO ini perlu
diatur dengan lebih transparan dan akuntabel sehingga
masyarakat dapat ikut mengawasi penggunaan dana yang
terkumpul dari para operator (1,25% dari pendapatan
kotor). Kami t sepakat dan mendukung gagasan pemerintah
untuk memeratakan layanan dan jasa telekomunikasi di
seluruh tanah air, baik yang diperkotaan maupun yang jauh
di daerah terpencil di Indonesia. Untuk itu kelangsungan
program USO perlu dipertahankan eksistensinya walaupun
perlu dilakukan pembenahan di sana sini agar tidak
menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Di
samping itu penggunaan dana USO pun perlu lebih realistis
misalnya dapat juga digunakan untuk menunjang
pengembangan infrastruktur di daerah penyangga
perkotaan, seperti kota-kota satelit di sekitar Jakarta dan
kota-kota besar lainnya yang dapat dipastikan sangat
membutuhkan adanya jaringan pitalebar terutama kabel
serat optik, untuk menumbuhkan industri kreati f yang
sekaligus akan dapat bermanfaat untuk mengurangi tekanan
trafik dari pinggiran kota ke pusat pusat kota.
d. Masalah yang berkaitan dengan Penyelenggaraan diatur
dalam Bab IV yang terdiri dari 36 pasal. Walaupun Pasal-pasal
dalam bab ini dan berbagai peraturan turutannya
sudah jelas dan dapat dimengerti dengan baik oleh para
pelaku bisnis di bidang telekomunikasi, ternyata untuk
aparat penegak hukum dianggap tidak jelas sehingga
seringkali terjadi penafsiran yang berbeda, sebagaimana
terjadi dalam kasus IM2 yang pernah kami sampaikan kepada
Komisi I DPRI RI dalam acara RDPU tanggal 22 Januari 2013,
mengenai Penggunaan Pita Frekuensi 2,1 Mhz PT. Indosat,
sehingga kami tidak perlu mengulang apa yang pernah kami
sampaikan pada waktu itu; hanya dalam kesempatan ini kami
ingin melaporkan bahwa vonis terhadap mantan Direktur
Utama PT. Indosat Mega Media (IM2) (Bapak Indar Atmanto)
telah di jatuhi hukuman oleh majel is hakim baik pada sidang
di Pengadilan Tipikor Jakarta maupun Pengadilan Tinggi
6
7. Jakarta dinyatakan bersalah dengan hukuman 4 tahun
penjara, dan denda sebesar Rp.200 Juta subsider 3 bulan
penjara serta kewajiban membayar Rp.1,3 Triliun oleh IM2.
Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta hukuman
menjadi 8 tahun penjara sementara kewajiban membayar
Rp.1,3 Triliun dibebankan kepada PT IM2. Pada tingkat
Mahkamah Agung kasasi yang diajukan ditolak oleh majelis
hakim dan menguatkan vonis yang ditetapkan oleh
Pengadilan Tinggi yaitu hukuman 8 tahun penjara dengan
denda sebesar Rp. 1,3 Triliun.
Sementara itu dalam tuntutan bahwa IM2 mengakibatkan
kerugian negara sebesar Rp.1,3 Triliun sebagaimana yang
dihitung oleh BPKP (sebelum kasus IM2 disidangkan)
Mahkamah Agung dalam gugatan kasasi yang diajukan oleh
BPKP menetapkan bahwa perhitungan BPKP adalah keliru
dan tidak terjadi kerugian negara. Hal ini adalah sebagai
kelanjutan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
dimana majelis hakim dengan tegas menyatakan bahwa
perhitungan BPKP yang menyatakan bahwa PT IM2
mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.1,3 Triliun
sebagai suatu hal yang tidak sah dan harus dicabut.
Keputusan ini diharapkan akan menjadi bukti baru yang
dapat diajukan sebagai dasar Peninjauan Kembali; namun
sayangnya masih terhambat, karena salinan keputusan MA
masih belum dikirimkan kepada kepada pihak-pihak terkait
padahal Sdr. Indar Atmanto sudah menjalani hukuman atas
dasar petikan surat keputusan yang disampaikan oleh Pihak
Kejaksaan Agung. Situasi ini , sangat mengganggu iklim
usaha di bidang TIK karena adanya ketidakpastian hukum
bagi para investor, dan membingungkan di mana
Pemerintah/Regulator menyatakan tidak ada pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh IM2 tetapi para penegak hukum
telah menjatuhkan vonis bersalah. Kami harapkan para
Anggota Komisi I dapat benar-benar menyadari dan
memikirkan hal-hal semacam ini , kami berharap pada saat
Bapak & Ibu membuat berbagai undang-undang jangan
sampai undang-undang tersebut dapat disalahtafsirkan oleh
7
8. pihak-pihak terkait. Hal-hal yang pada awalnya dianggap
sudah jelas oleh Bapak & Ibu tetapi bagi para penegak
hukum belum tentu jelas atau dimengerti yang dapat
mengakibatkan kekeliruan dalam membuat tuduhan maupun
keputusan hakim.
e. Sebagaimana kami sampaikan di bagian terdahulu bahwa
akibat ditetapkannya UU 36/1999, di Indonesia telah terjadi
restrukturisasi industri telekomunikasi dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat (pelaku
usaha baik dalam negeri maupun asing) untuk berusaha di
bidang telekomunikasi dengan sasaran untuk meningkatkan
pembangunan jaringan telekomunikasi (teledensitas,
aksesibilitas) dan meningkatkan pelayanan jasa
telekomunikasi utamanya jasa telekomukasi baru untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada saat itu Kebijakan
menarik investor ke dalam industri telekomunikasi
didasarkan kepada: - jumlah sarana dan prasarana
telekomunikasi yang masih terbatas (tingkat density
rendah), - minimnya dana Pemerintah untuk membangun
infrastruktur telekomunikasi.
Peran pemerintah dalam tahap awal restrukturisasi memang
diperlukan, agar proses berjalan lancar, antara lain sebagai
regulator untuk mengendalikan ijin-ijin terkait dengan
penetapan jumlah penyelenggara; pengalokasian sumber
daya (frekuensi, nomer dlsb). menghilangkan hambatan bagi
masuknya operator baru, mengawasi interkoneksi antara
operator baru dengan "incumbent", membuat program
perluasan akses ke daerah yang harus dilayani.
Namun sangat disayangkan bahwa pengaturan tentang
adanya Regulator yang netral tidak diatur secara jelas oleh
UU 36/1999, karena hanya dicantumkan dalam Penjelasan
pada Pasal 4, sebagai bagian dari fungsi pembinaan. Untuk
saat ini dan masa mendatang Regulator seharusnya benar-benar
menjadi lembaga yang independen. Makna dari
pengertian independen, yakni : independent dari
perusahaan-perusahaan yang diaturnya agar tidak bias
8
9. terhadap kepentingan perusahaan, independen dari tekanan
politik. Dengan indenpendensi ini diharapkan dengan adanya
perubahan dalam politik dan pemerintahan tidak membawa
perubahan terhadap kebijakan dan regulasi, independen dari
perseorangan dalam pengambilan keputusan untuk
menjamin objektivitas dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh sebab itu seharusnya lembaga seperti ini tidak berada
dibawah Menteri, seperti saat ini.
f. Dalam Pasal 5 UU 36/1999 telah diatur pula tentang peran
serta masyarakat yakni dalam bentuk penyampaian
pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat mengenai arah pengembangan telekomunikasi
dalam rangka penetapan kebijakan pengaturan,
pengendalian dan pengawasan di bidaang telekomunikasi.
Namun sayangnya walaupun sudah berjalan 15 tahun, tindak
lanjut pengaturan tentang hal ini tidak pernah diterbitkan.
Padahal dalam Pasal 5 ayat (2) UU 36/1999, secara jelas
dinyatakan bahwa lembaga yang seharusnya dibentuk ini
keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di
bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi
telekomunikasi , asosisiasi produsen peralatan
telekomunikasi , asosiasi pengguna jaringan dan jasa
telekomunikasi dan masyarakat intelektual di bidang
telekomunikasi.
7. Terkait dengan konvergensi , hal ini adalah sebagai
konsekwensi logis dari perkembangan teknologi di bidang
telekomunikasi dan Informatika sehingga konvergensi
merupakan suatu keniscayaan, yang tidak dapat kita hindari.
Hal ini juga akan memberikan dampak yang sangat berarti
terhadap rencana revisi UU 36/1999, mengingat di era
konvergensi kita akan benar benar menyaksikan terjadinya
konvergensi di dalam bidang infrastruktur telekomunikasi dan
informatika serta Penyiaran sementara pada UU 36/1999
dengan tegas mengatur klasifikasi penyelenggara ke dalam tiga
layer masing masing penyelenggara jaringan, jasa dan khusus.
9
10. Sesungguhnya konvergensi hanya akan terjadi pada tataran
infrastrukturnya saja, sedangkan core-business (bisnis utama)
masing masing pelaku bisnis seperti telekomunikasi ,
penyiaran,perbankan dan jasa keuangan akan tetap berjalan
sebagaimana yang ada sekarang; namun kesemuanya ini akan
melalui infrastruktur yang sama (converged). Apabila selama
ini kita hanya dapat menyaksikan siaran televisi hanya melalui
pesawat televisi yang dipancarkan dan dikelola oleh lembaga
siaran maka ke depan kita akan dapat menyasikan siaran
televisi dengan pilihan device yang semakin beragam, baik
melalui telepon genggam komputer meja/desk top, video
streaming, dll yang dapat juga dilakukan oleh perusahaan
perusahaan di dalam bidang telekomunikasi. Demikian juga
dengan layanan perbankan yang akan menjadi semakin luas
menjangkau masyarakat, bahkan mampu menjangkau
masyarakat yang selama ini kita kategorikan sebagai unbank-able.
Melalui layanan dan jaringan telekomunikasi mereka
akan dapat mengakses ke layanan jasa keuangan /perbankan
seperti yang digariskan dalam konsep financial inclusion.
Lambat tetapi pasti fakta tersebut akan terjadi secara merata
di tanah air kita.
Banyak tugas yang harus dilakukan oleh pemerintah agar
dengan mulus kita dapat memasuki era konvergensi penuh (full
convergence), antara lain pembenahan regulasi dan
pengaturan frekuensi , pembangunan jaringan pitalebar. Era
konvergensi penuh nantinya membutuhkan dukungan undang-undang
dan regulasi dengan wawasan jauh ke depan dan
dinamis dengan tingkat jaminan kepastian hukum yang tinggi.
Pada era full konvergensi akan terjadi pemanfaatan jaringan
bersama yang selama ini diperuntukkan dengan tegas antara
pemanfaatan untuk telekomunikasi , akses data dan penyiaran
secara terpisah. Ke depan dengan memanfaatkan jaringan yang
sama, aneka jenis layanan akan dapat berjalan bersamaan. Tak
terbayangkan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke
depan kita di Indonesia akan dapat menikmati aneka layanan
jasa telekomunikasi, komunikasi data dan perbankan serta jasa
10
11. dan transaksi keuangan lainnya hanya melalui sebuah
perangkat yang kita pergunakan.
Demikian Kata Pengantar yang dapat kami sampaikan dengan
harapan dapat lebih dikembangkan dalam sesi tanya jawab. Atas
perhatian Bapak dan Ibu kami sampaikan ucapan terimakasih.
11
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Setyanto P Santosa
Ketua Umum