Kebijakan AS untuk mengubah rezim di Irak pada 2003 didasari oleh ideologi liberalisme yang mendasari konsensus politik di AS. Ideologi liberalisme AS cenderung menyederhanakan kompleksitas dunia luar dan melihat demokrasi sebagai solusi untuk setiap negara, sehingga memungkinkan kebijakan invasi dan okupasi Irak dilancarkan.
Kebijakan amerika serikat tentang pengubahan rezim di irak
1. 1
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TENTANG PENGUBAHAN REZIM DI IRAK
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kebijakan invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada 19 Maret 2003 menyebabkan
jatuhnya rezim Saddam Hussein. Namun, kebijakan tersebut langsung diikuti dengan terjebaknya
AS dalam kekerasan sektarian yang berkepanjangan di Irak, di antara tiga sekte Shiah Arab,
Sunni Arab dan Sunni Kurdi. Meskipun dilancarkan oleh Presiden George W. Bush berdasarkan
agenda yang dikedepankan oleh kalangan neokonservatif, kebijakan tersebut mendapat
persetujuan dari dua kalangan, Republikan dan Demokrat, dalam dewan legislatif AS saat itu.
Kebijakan tersebut sampai sekarang direspon oleh debat yang berkepanjangan antara
pihak yang mendukung dan pihak yang menentang. Para pendukung berpendapat bahwa invasi
ke Irak penting untuk dilakukan dalam upaya menggulingkan Saddam Husein dan membawa
perubahan di kawasan Timur Tengah. Di sisi lain, para penentang berpendapat bahwa Perang
Irak tidak akan mewujudkan kepentingan nasional AS (http://www.bear-
left.com/archive/2002/0926oped.html). Kompas (24 Maret 2013, hlm. 10) mencatat bahwa biaya
invasi AS ke Irak mencapai 770 miliar dolar AS dan AS kehilangan 4.488 tentara. Sementara
itu, pihak Irak kehilangan 116.000 penduduk sipil dalam perang tersebut. Kompas juga mencatat
bahwa meski AS berhasil memenangkan pertempuran dengan mudah dalam waktu dua minggu,
AS telah melakukan kesalahan fatal dengan melakukan “pembubaran semua institusi negara Irak,
termasuk angkatan bersenjata Irak.” Pada awalnya kebijakan ini dijustifikasi oleh keberadaan
senjata pemusnah masal di Irak yang ternyata tidak terbukti. Kemudian, kebijakan digeser
menjadi upaya untuk menyebarkan demokrasi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di bagian latar belakang, maka perumusan masalah adalah mengapa
AS memutuskan untuk mengadakan perubahan rezim dengan membubarkan semua institusi
negara di Irak yang terbelah secara etnis dan membangunnya kembali dari awal. Dengan
demikian, makalah ini bertujuan untuk mempelajari alasan-alasan dan penyebab kebijakan AS di
Irak dan melihat pengaruh ideologi yang melatarbelakangi kebijakan AS tersebut. Makalah ini
2. 2
akan mengangkat argumen bahwa faktor ideologi sangat berpengaruh dalam pilihan kebijakan
AS mengenai pengubahan rezim di Irak. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa bias ideologi AS
yang mencakup asal usul ideologi reaksi berlebihan menyebabkan AS melakukan kebijakan
perubahan rezim di Irak dengan cara pembubaran total institusi negara Irak dan okupasi Irak.
Secara spesifik, dengan menggunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif-analitis
makalah ini akan menyoroti peran ideologi liberalisme dalam membentuk perangkat yang
menyederhanakan pandangan elit terhadap kompleksitas yang dihadapi dalam konteks pasca-
serangan 9/11.
Untuk menguraikan argumen tersebut, pertama-tama makalah ini akan membahas konsep
ideologi dan kaitannya dengan kebijakan luar negeri dengan mengadopsi gagasan Michael Hunt
dan Michael Desch. Selanjutnya, makalah ini akan mendiskusikan peran liberalisme dalam
membentuk penyederhanaan realitas dengan mempertimbangkan tulisan Andrew Williams serta
pandangan Louis Hartz mengenai tradisi liberal di Amerika. Untuk menunjukkan cerminan
ideologi yang menyertai kebijakan Perang Irak, makalah ini akan berusaha menjabarkan
ungkapan-ungkapan yang menunjukkan peran ideologi yang dimaksud.
3. Kerangka Teori
Teori utama yang diangkat dalam makalah ini merujuk kepada elemen ideologi di dalam
kebijakan luar negeri. Teori ini diangkat untuk mendiskusikan pemikiran Michael Desch
mengenai tindakan nonliberal dalam kasus pengubahan rezim di Irak dan bias ideologi dalam
keputusan pasca-invasi tersebut. Desch beranggapan bahwa segala bentuk tindakan non-liberal
yang dilakukan oleh AS pada masa pemerintahan Bush sesungguhnya bersumber kepada empat
premis utama sebagai bias ideologi liberal yang telah sebelumnya dikemukakan oleh Robert
Packenham. Mengutip Packenham, Desch berpendapat bahwa liberalisme di AS dikarakterisasi
oleh empat premis unik: (1) political and economic development is easy; (2) all good things go
together; (3) radicalism and revolution are bad; and (4) democracy is more important than
political order.
Dalam membahas kebijakan luar negeri, ideologi menjadi relevan karena ia bersandar
pada proporsi sederhana dari kepentingan fundamental, yakni individu dan masyarakat perlu
mereduksi dunia ke dalam istilah-istilah yang terbatas dalam upaya untuk bergerak dalam dunia
kompleksitas yang tak terbatas. Michael Hunt mendefinisikan ideologi sebagai “seperangkat
keyakinan atau asumsi-asumsi yang saling terkait yang berfungsi mereduksi kompleksitas suatu
3. 3
potongan realitas ke dalam istilah-istilah yang dapat dipahami serta mengarahkan cara-cara yang
layak untuk bersentuhan dengan kenyataan tersebut.” (Hunt 2004, 222). Jadi, ideologi dalam
kebijakan luar negeri adalah seperangkat keyakinan dan nilai-nilai yang membuat hubungan
internasional dimengerti dan pengambilan keputusan menjadi mungkin.
Bagi Hunt, pemahaman definisi merupakan langkah penting yang mengubah kerangka
referensi untuk mempelajari pembuat kebijakan. Hunt banyak menggunakan konsepsi-konsepsi
para antropolog yang mengatakan bahwa ideologi diturunkan dari struktur makna yang terbentuk
secara sosial yang diasosiasikan dengan budaya. Setelah budaya menciptakan makna, ideologi
akan hadir dan bisa dipahami dengan cara melekatkan diri ke dalam symbol-simbol budaya
tersebut dan mengkode maknanya. Kalangan Neo-Marxis membubuhkan anggapan bahwa
ideologi bisa membantu mengatasi pembatasan dengan cara memberi wawasan bagi akibat dan
proses.
BAB II
PEMBAHASAN
4. 4
1. Peran Ideologi dalam Kebijakan Luar Negeri AS
Ideologi tidak bisa dipahami terpisah dari konteks budaya, hubungan kekuasaan, dan
pembentukan, transmisi dan interpretasi makna. Gagasan ideologi sebagai struktur komplek
memiliki potensi terhadap – dan hubungan yang erat dengan – kondisi sosial dan ekonomi
dengan cara membangun dan menawarkan keuntungan terhadap pendekatan dominan. Di satu
sisi, dampak gagasan atas kebijakan sering hanya dinyatakan secara tak langsung atau
dikembangkan dengan kesan. Di sisi lain, gagasan-gagasan sering dibiarkan bebas mengambang,
dilepaskan dari proses atau kebutuhan ekonomi atau sosial.
Dalam sejarahnya, kebijakan luar negeri Amerika telah bergejolak selama beberapa
dekade terakhir ini. Mengikuti alir sejarah Perang Vietnam sampai kepada cara-cara Reagan
menata kekuatan Amerika, para kritikus mengatakan bahwa karena dunia telah berubah,
kebijakan Perang Dingin tidak lagi tepat dilakukan oleh AS. Mereka berpendapat bahwa
transformasi kebijakan sangat diperlukan dan bahwa jika kebijakan luar negeri berubah menjadi
signifikan dan tahan lama, maka kebijakan luar negeri harus dibarengi dengan pemikiran ulang
premis kebijakan yang fundamental dan menyeluruh.
Pencarian ideologi politik luar negeri Ameika yang diinspirasi oleh pendekatan budaya
akan membuat orang Amerika mencari seperangkat gagasan yang relatif koheren, bernilai secara
emosional dan berkonsep. Gagasan kebijakan luar negeri ini akan harus merefleksikan kesan
mengenai diri sendiri. Kemudian, cara untuk menemukan ideologi ini adalah dengan cara
mengambil pandangan visioner atas perilaku dan nilai sekelompok orang yang kemudian
memberi makna bagi kebijakan luar negeri yang dibangun oleh para elit. Para elit itu mencakup
pembuat kebijakan dan peserta dalam dikusi dan debat kebijakan di acara-acara besar.
Terkait dengan konsensus yang menjadi dasar ideologi, menurut Louis Hartz (1955, 1),
Amerika Serikat sudah liberal sejak lahir. Berbeda dengan Eropa, politik Amerika dibentuk oleh
sejarah sosial dan politik yang khas, yang dicirikan dengan tidak adanya feodalisme dan dibentuk
dengan keyakinan politik monolitik yang muncul dari sejarah koloni-koloni Amerika di masa
lalu (Hartz 1991, 3). Koloni-koloni yang kemudian tumbuh menjadi negara baru tersebut
memiliki cakupan doktrin yang mereka percaya berlaku universal mengenai hak kepemilikan
pribadi, kapitalisme, pemerintahan yang terbatas dan hak-hak individual. Sejarah Amerika tidak
mengalami pergolakan sosial yang keras berdasarkan kelas di negara-negara Eropa, misalnya
Perancis, di akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Secara sosial, feodalisme adalah warisan
Dunia Lama dan Amerika Serikat tidak pernah bisa menciptakan ruang politik untuk sosialisme,
5. 5
fasisme atau politik radikal lainnya. Dengan demikian, liberalisme di Amerika Serikat berbeda
dengan liberalisme di Eropa karena penduduk Amerika tidak pernah melalui pengalaman
feodalisme dan aristokrasi turun temurun.
Hartz (1955, 62) mempersepsikan warga negara Amerika Serikat sebagai warga yang
hampir secara seragam berdedikasi untuk “kebebasan sosial atomistik”, sebuah doktrin yang
melibatkan komitmen terhadap etika para individualis, kekurangsukaan terhadap kekuasaan
negara, skeptisisme terhadap kaum elit sosial, dan perasaan bangga atas kesetaraan sosial
(equality). Liberalisme bentuk inilah yang berkembang menjadi dogma dan berada di jantung
identitas politik Amerika (Hartz 1955, 9).
Liberalisme yang dipahami oleh Louis Hartz sendiri merupakan liberalisme yang kental
akan paham Lockeanisme. Hartz berpendapat bahwa konsensus Amerika berakar dari gagasan
filsuf Inggris John Locke (1632-1704). Menurut Locke, kesetaraan adalah alamiah bagi manusia
karena semua manusia memiliki kepemilikan yang sama, yaitu tenaga kerja. Kebebasan lebih
disukai ketimbang autoritarianisme karena pemerintahan terbaik adalah mereka yang
memenangkan perjanjian dengan rakyat. Tradisi berpikir seperti ini dikenal dengan nama tradisi
“Kontrak Sosial.” Mengacu kepada pemikiran ini, individu merupakan unit pemegang
kebebasan. Negara mendapatkan kekuasaan dari individu berdasarkan “kontrak” di mana
individu-individu yang menjadi warga negara memberikan sedikit kebebasannya kepada negara
untuk menjamin kebebasan seluruh individu dihargai dan diamankan. Hal ini juga berarti
toleransi beragama di antara masyarakat merupakan gagasan bagus karena keimanan yang
merupakan kemauan bebas akan lebih kuat dibandingkan keimanan yang dipaksa. Bagi Hartz,
liberalisme Lockean telah membentuk cara hidup Amerika, yang menciptakan konsensus
mengenai hak properti, mobilitas sosial, kebebasan individu dan demokrasi popular yang begitu
kuat sehingga tak seorangpun bisa lepas darinya.
2. Liberalisme dan Perang
Sebetulnya, prinsip-prinsip liberalisme dapat sangat bertentangan dengan penggunaan
kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Namun, terdapat elemen-elemen tertentu dalam
bangun pemikiran liberalisme yang dapat saja digunakan secara parsial untuk menjustifikasi
suatu kebijakan. Bagi Andrew Williams (2006), warisan liberal terhadap pemikiran perang dan
perdamaian sesungguhnya tidak hanya besar, tapi juga kontroversial.
6. 6
Bagi beberapa pemikir liberal, jikalau ada pertumbuhan moral dari individu dan ekstensi
individu dalam masyarakat, pertumbuhan moral itu harus diputuskan dalam jenis konfigurasi
yang ada dalam individu dan masyarakat tersebut. Holmes dan Cobden percaya bahwa nasib
seseorang pada dasarnya merupakan hal yang harus diupayakan bagi diri mereka sendiri
(Williams 2006, 33). Kebebasan bisa menjadi kewajiban moral yang harus ditemukan, tidak
untuk dikenakan. Tradisi kebercukupan moral ini merupakan warisan terbesar, sesuatu yang
telah dilanjutkan oleh para pemikir seperti Walzer dan dianggap sebagai sesuatu yang bersinar di
pemikiran para liberal yang masih menolak menerima ide intervensi oleh negara kuat dalam
berhubungan dengan negara lemah.
Namun di sisi lain, kita juga bisa melihat tokoh liberal lainnya, misalnya Locke, yang
berpandangan bahwa ide non-intervesi tidak akan menjadi suatu kutukan atau suatu
ketidaknyamanan yang perlu diselesaikan (Williams 2006, 20). Presiden Woodrow Wilson,
Franklin Delano Roosevelt dan bahkan kedua Presiden Bush akan menemukan penyebab umum
dari pemikiran Mill dan Cobben atas isu intervensi. Mereka juga akan menerima bahwa
kebebasan harus dibawa pada laras pistol untuk mempertahankan jantung liberal, baik di Inggris,
AS ataupun Eropa (Williams 2006, 33).
Menyoroti warisan Locke dan dalam watak Hartz yang masih berlaku dalam cara
pandang orang Amerika terhadap bangsa lain yang tidak identik dengan mereka, Desch
mempertanyakan mengapa AS dengan tradisi liberal yang bertahan lama dapat merangkul
kebijakan tak-liberal dalam beberapa tahun terakhir. Di luar negeri, AS telah melancarkan
strategi hegemoni dan hampir secara sepihak meluncurkan perang preventif di Irak yang tidak
konsisten dengan nilai-nilai liberal. Di dalam negeri sendiri, kebijakan-kebijakan seperti
kebijakan yang mengalir dari USA Patriot Act, yang termasuk cara menerjemahkan bahasa dan
penyiksaan terhadap tersangka terror, telah mempertanyakan komitmen AS bagi prinsip penting
lainnya dari liberalism, seperti menghargai hak-hak individu dan kemerdekaan sipil.
Serangan Al-Qaida terhadap AS pada 11 September 2011 dan selanjutnya perang
terhadap terorisme telah membuat AS kurang liberal. Logika terhadap argumen ini adalah bahwa
perang antarnegara secara historis merusak kebebasan domestik dan perang terhadap terorisme
menyebabkan AS mengikuti jalan yang sudah usang ini. Seperti yang dicatat dalam American
Civil Liberties Union, istilah “keamanan nasional” sering digunakan sebagai dalih terhadap
pelanggaran hak-hak individu dan peristiwa serangan teroris pada 11 September 2011 telah
memobilisasi AS dalam perang melawan terorisme. Lebih jauh lagi, Desch mengatakan bahwa
7. 7
kebijakan non-liberal di AS – termasuk pengejaran hegemoni global, peluncuran perang
preventif, pengenaan pembatasan kebebasan sipil atas nama keamanan nasional, dan dukungan
bagi penyiksaan di bawah keadaan tertentu – telah berkembang bahkan sebelum serangan teroris
11 September dan kebijakan takliberal ini dianut sepanjang spektrum politik. Serangan 11
September tidak dapat menjelaskan kebijakan non-liberal AS dalam perang melawan teror.
Desh berpendapat bahwa justru liberalisme Amerika yang membuat AS begitu non-liberal saat
ini. Di bawah keadaan tertentu, liberalisme mendorong orang Amerika untuk menyebarkan
nilai-nilai mereka ke seluruh dunia dan memimpin mereka melihat perang atas terorisme sebagai
tipe konflik yang mematikan yang bisa dimenangkan hanya dengan menggunakan taktik non-
liberal.
3. Bias Ideologi dalam Kebijakan Perang Irak
Menyoroti Perang Irak yang dilancarkan sejak tanggal 19 Maret 2003, Mayor Isaiah
Wilson menilai bahwa perang ini sesungguhnya merupakan kepanjangan dari apa yang telah
dimulai oleh AS sejak Perang Teluk 1991. Baginya, “[Perang ini] merupakan perang yang
berpusat secara operasional kepada penghancuran angkatan bersenjata Irak – kapabilitas perang
negara – sekaligus penghancuran aparat kenegaraaan Saddam Husein.” (Ricks 2006, 117). Hal
ini menunjukkan adanya semacam kontinuitas yang agak menjelaskan tentang apa yang
melatarbelakangi bentuk kebijakan AS pada kasus Perang Irak ini. Sesuai dengan argumen
utama makalah ini, pada dasarnya kontinuitas ini terjadi pada level ideologi. Kontinuitas yang
dimaksud dapat membantu memahami konsensus yang dibutuhkan dalam hal berlakunya suatu
situasi “kompleksitas” yang harus disederhanakan untuk merumuskan suatu kebijakan.
Di dalam situasi kompleks terkait dengan persepsi ancaman terhadap terorisme dan
situasi politik Timur Tengah yang kurang menentu, merupakan hal yang beralasan untuk
menganggap bahwa kasus Perang Irak memiliki elemen ideologi yang cukup kuat. Menurut
Michael Hunt, observasi terhadap ideologi memungkinkan kita untuk melihat balik kepada
“akhir abad ke-18 dan abad ke-19 ketika elit-elit politik di Amerika bergerak ke arah konsensus
atas berbagai isu mendasar yang berkenaan dengan urusan-urusan internasional.” (Hunt 1987,
17). Dalam kondisi demikian, pertanyaan yang penting adalah “bangsa seperti apa yang ingin
(kita) tuju, bagaimana identitas (kita) dicerminkan dalam perilaku (kita) di tingkat internasional.”
(Hunt 1987, 17).
8. 8
Gelagat “penyederhanaan kompleksitas” seperti inilah yang sesungguhnya nampak dalam
berbagai pertimbangan dan ungkapan-ungkapan yang dinyatakan oleh berbagai elit pembuat
kebijakan pada masa-masa awal Perang Irak berlangsung. Menurut Ikenberry, serangan terhadap
World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001 mengingatkan masyarakat
AS akan serangan terhadap Pearl Harbour pada masa Perang Dunia Kedua (Ikenberry 2001, 1).
Serangan ini ternyata secara retorika membangkitkan penggunaan simbol-simbol yang menyertai
grand strategy Amerika pada era-Bush. Bagi Bush, “Irak yang terbebaskan (liberated) dapat
menunjukkan kekuataan kebebasan (freedom) untuk mentransformasikan kawan yang penting
tersebut (Timur Tengah), dengan jalan membawa harapan dan kemajuan kepada kehidupan
jutaan orang di sana,” seperti yang diungkapkannya dalam diskusi di American Enterprise
Institute (Dodge 2010, 1269). Menyertai ucapan tersebut adalah corak kebijakan Perang Irak dan
pengubahan rezim yang bercirikan ketidaksukaan terhadap kekuasaan negara yang terlalu besar,
andalan terhadap ekonomi pasar, kebebasan yang diwujudkan dengan pemilu dan demokrasi
yang prosedural, serta kepercayaan yang berlebihan terhadap kapasitas individual.
Secara operasional, ideologi liberal berperan dalam bentuknya yang sudah termodifikasi
di dalam paham neo-liberalisme yang berkembang sejak Reagan berkuasa serta terwujud dalam
bentuk konsensus Washington yang mendasari pola pendekatan International Monetary Fund dan
World Bank. Penyederhanaan liberalisme dalam bentuk neo-liberalisme inilah yang kemudian
digunakan oleh kubu neo-konservatif dalam rangka mengarsiteki Perang Irak serta strategi yang
mengikutinya. Kalangan ini berada di sekitar kebijakan militeristik Departemen Pertahanan AS
dengan nama-nama seperti Paul Wolfowitz dan Douglas Feith. Kalangan ini cenderung
berpegang kepada pendekatan unilateralisme yang digabungkan dengan komitmen mentah
terhadap demokrasi yang berintesitas rendah, hanya mengandalkan pemilu, liberalisasi dan
penggunaan senjata apabila perlu (Dodge 2010, 1273-4).
Empat elemen neoliberalisme yang digunakan oleh kalangan neo-konservatif adalah
individual, pasar, negara dan demokrasi (Dodge 2010, 1274-1275). Dalam elemen individu,
rasionalitas masing-masing warga diasumsikan akan memegang kendali begitu rezim yang
menindas ditumbangkan dari kekuasaan. Hal ini tercermin dalam ungkapan Bush yang dikutip di
atas. Sementara itu, dalam elemen pasar, rasionalitas individu dianggap akan terwujud dalam
arena pasar yang dapat secara spontan berfungsi sebagai sarana perwujudan keuntungan bersama
antarindividu yang bertindak di dalamnya. Kedua elemen ini terwujud pada elemen ketiga, yakni
negara. Untuk memungkinkan rasionalitas individu dan spontanitas pasar mewujudkan diri,
9. 9
negara harus dijaga agar tetap berada di luar kehendak pribadi dengan perannya yang minimal di
dalam sistem politik. Rasionalitas ini akan dijamin dengan elemen keempat, yaitu demokrasi
yang oleh kalangan neo-liberal dipandang sebagai nilai universal.
Kategori-kategori inilah yang kemudian berperan sebagai kategori analitik yang
mendampingi kategori analitik neo-konservatif – unilateralisme dan komitmen terhadap
demokrasi terbatas – dalam membentuk kebijakan AS di Irak. Hal ini tercermin dalam ungkapan
Presiden Bush sendiri yang mengatakan bahwa “keseluruhan negeri kita telah berkaca dan
menemukan diri kita yang lebih baik. Kita telah diingatkan bahwa kita semua adalah warga
negara dengan kewajiban terhadap sesama warga, terhadap negeri kita dan terhadap sejarah. Kita
telah mulai berpikir tidak lagi mengenai apa yang kita bisa akumulasikan, namun lebih kepada
(kebaikan) apa yang bisa kita lakukan.” (dikutip dari Dodge 2010, 1275-1276). Dengan
demikian, National Security Strategy era-Bush dirumuskan dengan prioritas utama yang
berkenaan dengan prinsip moral, pasar bebas dan perdagangan bebas untuk melawan tirani dan
rezim-rezim totaliter.
Pada mulanya, penyerangan ke Irak hanya bertujuan “plug in and play” (Dodge 2010,
1278) untuk menumbangkan Saddam Hussein dengan tetap menjaga seraya mereformasi
birokrasi Irak sekaligus institusi militer dan keamanannya. Pandangan ini paralel dengan
pandangan Condoleeza Rice. Logikanya adalah untuk menerapkan penyesuaian struktural
(structural adjustment) yang selama ini telah digaungkan oleh duo IMF-World Bank dengan
persenjataan yang dimiliki oleh Amerika untuk membawa perubahan. Namun, rencana ini
kontras dengan realitas pascaperang yang menunjukkan kehancuran 17 dari 23 bangunan
kementerian di Irak serta kerugian Irak yang mencapai sepertiga GDP tahunan Irak. Sebagai
negara yang menerima sanksi dan pengucilan dari komunitas internasional, kapasitas aparatur
negara Irak tidak dapat menjamin koherensi nasional sehingga AS harus memikirkan ulang
strateginya.
Pertimbangan ulang ini tercermin dalam penunjukkan Paul Bremer sebagai Administrator
Coalition Provisional Authority (CPA). Di bawah Bremer, CPA melakukan de-Baath-ifikasi
dengan cara menumbangkan para pejabat tinggi negara yang berasal dari Partai Baath.
Pandangan bahwa negara harus diekslusi dari perwujudan rasionalitas individu dan spontanitas
pasar amat kental dalam hal ini. Rumsfeld bahkan mengungkapkan bahwa “orang-orang yang
bebas dapat bebas membuat kesalahan. Mereka juga bebas untuk memilih hidup yang diinginkan
dan melakukan hal-hal yang menakjubkan.” (dikutip dari Dodge 2010, 1280).
10. 10
Kebijakan ini ternyata berujung kepada kesulitan yang dihadapi oleh AS di dalam negeri
Irak yang terbelah secara etnis. Dalam hal ini, militer Irak dianggap tidak mampu menjadi
penjaga demokrasi sehingga harus dibubarkan. AS kemudian juga menderita akibat jatuhnya
korban serta perang yang berkepanjangan dalam bentuk insurgensi. Dalam kondisi yang
demikian, Bremer terdorong untuk dengan segera mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
Irak. Dalam konteks yang demikian, Washington memindahkan tanggung jawab utama
pengaturan Irak dari tangan Departemen Pertahanan ke Departemen Luar Negeri. Namun,
perubahan ini ternyata tidak berujung kepada perubahan tujuan yang melandasi intervensi AS di
Irak. Bush mengemukakan bahwa “kebebasan di tanah kita sendiri semakin tergantung pada
kesuksesan kebebasan di belahan dunia yang lainnya.” (dikutip dari Dodge 2010, 1282-1283)
Kebijakan ini hanya bergeser setelah Rumsfeld turun dan Condoleeza Rice naik pamor.
Mengalami berbagai kompleksitas, AS kemudian mengarahkan fokusnya untuk melakukan
rekonstruksi dan peningkatan terhadap kapasitas negara dalam melakukan kontra-insurgensi
yang diikuti dengan penunjukkan Jenderal David Petraeus untuk misi militer AS di Irak. Doktrin
kontrainsurgensi memutarbalikkan doktrin neoliberal dengan jalan menjadikan negara sebagai
sarana utama serta solusi atas masalah insurgensi yang dihadapi.
BAB III
KESIMPULAN
11. 11
Ideologi liberalisme AS yang bersumber pada empat kategori analitik utama menjadi
dasar bagi kebijakan perubahan rezim di Irak, yaitu individu, pasar, negara yang terbatas dan
demokrasi berintensitas rendah. Empat kategori analitik ini merupakan hasil pemaknaan neo-
liberal yang menyertai retorika neo-konservatif yang amat berpengaruh pada periode pertama
kepemimpinan Presiden Bush. Melalui kacamata ini, Saddam Hussein dimaknai oleh elit AS
sebagai teroris yang mengancam keamanan dan kepentingan AS di Timur Tengah. Saddam
Hussein juga seorang tiran yang tidak memungkinkan adannya kehidupan berdemokrasi di Irak.
Oleh karena itu, Bush yakin bahwa untuk membawa harapan dan kemajuan bagi jutaan rakyat
Irak dn stabilitas di Timur Tengah, AS harus menginvasi Irak. Di dalam cara pandang yang
demikian, AS bertindak dengan cara membubarkan semua institusi kenegaraan di Irak yang
terkait dengan rezim Saddam Hussein, termasuk angkatan bersenjata Irak. Bush yakin bahwa
tidaklah sulit untuk membangun kembali Irak dari awal secara politik dan ekonomi. Saat Irak
telah terbangun secara politik dan ekonomi, demokrasi bisa tumbuh subur di negeri Irak dan
stabilitas di Timur tengah akan terwujud.
Dalam pemaparan tersebut, nampak bahwa dalam kebijakan luar negeri, ideologi
menyederhanakan realitas, dalam bentuk kategori analitik yang digunakan oleh elit dengan cara
mengutip konsensus nasional. Dalam kasus ini, ideologi berfungsi dalam bentuk retorika yang
digunakan oleh kalangan promotor kebijakan, yakni neokonservatif. Namun mesti dicatat bahwa
meskipun ideologi penting, namun agen-agen pelaku kebijakan juga berperan penting dalam
mewujudkan ideologi tersebut sehingga tercermin dalam pendekatan kebijakan luar negeri yang
digunakan.
DAFTAR REFERENSI
12. 12
Desch, Michael C. “America’s Liberal Illiberalism: The Ideological Origins of Overreaction in
U.S. Foreign Policy”, International Security, Vol. 32, No. 3 (Winter 2007/08):7–43.
Hunt, Michael H. Ideology and U.S. Foreign Policy. New Haven: Yale University Press, 2009.
Hogan, Michael J, Thomas G. Paterson. Explaining the History of American Foreign Relations.
New York: Cambridge University Press, 2004.
Ikenberry, G. John . “American Grand Strategy in the Age of Terror,” Survival, Vol. 43, No. 4
(Winter 2001-02):19-34.
Kompas, 24 Maret 2013, “Sebuah Pelajaran dari Kegagalan AS”.
Packenham, Robert A. Liberal America and the Third World. Princeton: Princeton University
Press, 1987.
Ricks, Thomas E. Fiasco: The American Military Adventure in Irak. New York: The Penguin
Press, 2006.
“The Iraq Syndrome,” http://www.foreignpolicy.com/articles/2013/03/19/the_iraq_syndrome
“War With Iraq is Not America’s National Interest,” http://www.bear-
left.com/archive/2002/0926oped.html.
Williams, Andre. Liberalism and War. New York: Routledge, 2006.