Dokumen tersebut membahas tentang budaya keselamatan di rumah sakit. Menurut dokumen tersebut, budaya keselamatan di rumah sakit dicirikan oleh lingkungan yang kolaboratif antar tenaga medis, melibatkan pasien dan keluarga, serta mendorong kerja sama tim medis yang fokus pada pasien. Budaya keselamatan juga dipengaruhi oleh nilai, sikap, persepsi, kompetensi, dan pola perilaku tenaga medis dan manajemen rum
1. dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, MM, MHKes
Komisi Akreditasi Rumah Sakit
WS KKS dan TKRS
DALAM SNARS Edisi 1
KARS
2. • Pendahuluan
• Dimensi Budaya Mutu dan
Keselamatan (Quality & Safety)
• Budaya Keselamatan dalam
Standar TKRS
• Patient Safety Culture
KARS
3. KARS
(Maksud TKRS 13 dan TKRS 13.1)
Budaya keselamatan dapat diartikan sbb: “Budaya keselamatan di RS adalah
sebuah lingkungan yang kolaboratif karena 1)staf klinis memperlakukan satu
sama lain secara hormat dengan melibatkan serta 2)memberdayakan pasien dan
keluarga. Pimpinan mendorong 3)staf klinis pemberi asuhan bekerja sama dalam
tim yang efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional dlm 4)asuhan
berfokus pada pasien.
Budaya keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap, persepsi,
kompetensi, dan pola perilaku individu maupun kelompok yg menentukan
komitmen thd, serta kemampuan manajemen pelayanan kesehatan maupun
keselamatan. Budaya keselamatan dicirikan dengan komunikasi yg berdasar atas
rasa saling percaya dengan persepsi yang sama tentang pentingnya keselamatan
dan dgn keyakinan akan manfaat langkah2 pencegahan.
Tim belajar dari KTD (kejadian tidak diharapkan) dan KNC (kejadian nyaris
cedera). Staf klinis pemberi asuhan menyadari keterbatasan kinerja manusia dlm
sistem yg kompleks dan ada proses yg terlihat dari belajar serta menjalankan
perbaikan melalui brifing
4. KARS
Keselamatan & mutu berkembang dalam suatu lingkungan yg mendukung
kerjasama dan rasa hormat thd sesama tanpa melihat jabatan mereka dalam RS.
Direktur RS menunjukkan komitmennya ttg budaya keselamatan dan mendorong
budaya keselamatan untuk seluruh staf RS.
Perilaku yg tidak mendukung budaya keselamatan adalah:
• perilaku yg tidak layak (inappropriate) seperti kata2 atau bahasa tubuh yg
merendahkan atau menyinggung perasaan sesama staf, misalnya mengumpat
dan memaki;
• perilaku yg mengganggu (disruptive) a.l. perilaku tidak layak yg dilakukan
secara berulang, bentuk tindakan verbal atau nonverbal yg membahayakan
atau mengintimidasi staf lain, dan “celetukan maut” adalah komentar
sembrono di depan pasien yg berdampak menurunkan kredibilitas staf klinis
lain. Contoh mengomentari negatif hasil tindakan atau pengobatan staf lain di
depan pasien, misalnya “obatnya ini salah, tamatan mana dia...?”, melarang
perawat utk membuat laporan ttg KTD, memarahi staf klinis lainnya di depan
pasien, kemarahan yg ditunjukkan dgn melempar alat bedah di kamar operasi,
serta membuang rekam medis di ruang rawat;
• perilaku yg melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama, dan suku
termasuk gender;
• pelecehan seksual.
5. KARS
Hal-hal penting menuju budaya keselamatan:
1) Staf RS mengetahui bhw kegiatan operasional RS berisiko tinggi dan bertekad utk
melaksanakan tugas dengan konsisten serta aman.
2) regulasi serta lingkungan kerja mendorong staf tdk takut mendapat hukuman
bila membuat laporan ttg KTD dan KNC.
3) direktur RS mendorong tim keselamatan pasien melaporkan insiden
keselamatan pasien ke tingkat nasional sesuai dengan peraturan perUUan.
4) mendorong kolaborasi antar staf klinis dengan pimpinan untuk mencari penyelesaian
masalah keselamatan pasien.
Komitmen organisasi menyediakan sumber daya, seperti staf, pelatihan, metode
pelaporan yg aman, dsb-nya untuk menangani masalah keselamatan
Masih banyak RS yg masih memiliki budaya untuk menyalahkan suatu pihak yg akhirnya
merugikan kemajuan budaya keselamatan. Just culture adalah model terkini mengenai
pembentukan suatu budaya yg terbuka, adil dan pantas, menciptakan budaya belajar,
merancang sistem2 yg aman, serta mengelola perilaku yg terpilih (human error, at risk
behavior, dan reckless behavior). Model ini melihat peristiwa2 bukan sbg hal2 yg perlu
diperbaiki, tetapi sbg peluang2 utk memperbaiki pemahaman baik thd risiko dari sistem
maupun risiko perilaku.
6. Ada saat2 individu seharusnya tidak disalahkan atas suatu kekeliruan;
sbg contoh, ketika ada komunikasi yg buruk antara pasien & staf, ketika
perlu pengambilan keputusan secara cepat, dan ketika ada kekurangan
faktor manusia dlm pola proses pelayanan. Namun, terdapat juga
kesalahan tertentu yg merupakan hasil dari perilaku yg sembrono dan
hal ini membutuhkan pertangg-jwban.
Contoh dari perilaku sembrono mencakup kegagalan dlm mengikuti
pedoman kebersihan tangan, tdk melakukan time-out sebelum mulainya
operasi, atau tdk memberi tanda pd lokasi pembedahan.
Budaya keselamatan mencakup mengenali dan menujukan masalah yg
terkait dgn sistem yg mengarah pada perilaku yg tidak aman. Pada saat
yg sama, RS harus memelihara pertangg-jwban dgn tidak mentoleransi
perilaku sembrono.
Pertangg-jwban membedakan kesalahan unsur manusia (seperti
kekeliruan), perilaku yg berisiko (contohnya mengambil jalan pintas),
dan perilaku sembrono (spt mengabaikan langkah2 keselamatan yg
sudah ditetapkan).
7. Direktur RS melakukan evaluasi rutin dgn jadwal yg tetap dgn
menggunakan bbrp metode, survei resmi, wawancara staf, analisis data,
dan diskusi kelompok.
Direktur RS mendorong agar dapat terbentuk kerja sama utk membuat
struktur, proses, dan program yg memberikan jalan bagi perkembangan
budaya positif ini
Direktur RS harus menanggapi perilaku yg tidak terpuji dari semua
individu dari semua jenjang RS, termasuk manajemen, staf
administrasi, staf klinis, dokter tamu atau dokter part time, serta
anggota representasi pemilik
10. SNARS Edisi 1
Pokja – Pokja
SDM RS
Penerapan Standar
- Kegiatan Pelayanan RS
Akreditasi Paripurna
Leadership
Etika
Budaya
Manajemen/
Pengelolaan
KARS
*Kepemimpinan yg efektif ditentukan oleh
sinergi yg positif antara Pemilik RS, Direktur
RS, Para Pimpinan di RS dan Kepala unit kerja
& unit pelayanan.
*Direktur RS secara kolaboratif
mengoperasionalkan RS bersama dgn para
pimpinan, kepala unit kerja & unit pelayanan
utk mencapai visi misi yg ditetapkan dan
memiliki tangg-jwb dlm pengelolaan
manajemen peningkatan mutu dan
keselamatan pasien, manajemen kontrak serta
manajemen sumber daya. (TKRS) (Nico Lumenta, 2017)
Kepemimpinan RS
dalam SNARS Ed 1
Sistem
yg
kompleks
11. KARS
PEMILIK :Organisasi ,wewenang pemilik ,tanggung jawab dan
resposibility pemilik dan reperesentasi pemilik,
PMKP.(menyetuju,menerima dan menindak lanjuti laporan
)(TKRS 1,1.1,1.2,1.3 .)
PEMILIK :Organisasi ,wewenang pemilik ,tanggung jawab dan
resposibility pemilik dan reperesentasi pemilik,
PMKP.(menyetuju,menerima dan menindak lanjuti laporan
)(TKRS 1,1.1,1.2,1.3 .)
DIREKSI :Kualifikasi dan U T W.(TKRS 2).
DIREKSI :Kualifikasi dan U T W.(TKRS 2).
KEPALA BIDANG /DIVISI:Identifikasi dan
perencanaan jenis pelayanan,
kualifikasi,informasi dan data pelayanan utk
masy,komuniksi efektif (TKRS 3 ,3.1,3.2,)
KEPALA BIDANG /DIVISI:Identifikasi dan
perencanaan jenis pelayanan,
kualifikasi,informasi dan data pelayanan utk
masy,komuniksi efektif (TKRS 3 ,3.1,3.2,)
1.
3.
2.
12. KARS
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
:rekrutmen .retensi,pengembangan ,diklat (TKRS
3.3 )
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
:rekrutmen .retensi,pengembangan ,diklat (TKRS
3.3 )
MANAJEMEN PMKP:Regulasi
,program,laporan,prioritas pengukuran (TKRS
4,4.1,5 )
MANAJEMEN PMKP:Regulasi
,program,laporan,prioritas pengukuran (TKRS
4,4.1,5 )
MANAJEMEN KONTRAK
MANAJEMEN KONTRAK
4.
6.
5.
13. KARS
MANAJEMEN SUMBER DAYA
,Pengadaan,penggunaan.Informasi rantai
distribusi (TKRS 7,7.1)
MANAJEMEN SUMBER DAYA
,Pengadaan,penggunaan.Informasi rantai
distribusi (TKRS 7,7.1)
ORGANISASI DAN TANGGUNG JAWAB STAF
KLINIS :organisasi ,RS,Unit Pelayanan , staf klinis
medis,keperawatan, (TKRS 8 )
ORGANISASI DAN TANGGUNG JAWAB STAF
KLINIS :organisasi ,RS,Unit Pelayanan , staf klinis
medis,keperawatan, (TKRS 8 )
UNIT PELAYANAN :Pedoman
pengorganisasian,identifikasi dan koordinasi
pelayanan,program PMKP,data dan informasi
untuk Evaluasi kinerja unit dan individu,(TKRS
9,10,11,11.1.11.2)
UNIT PELAYANAN :Pedoman
pengorganisasian,identifikasi dan koordinasi
pelayanan,program PMKP,data dan informasi
untuk Evaluasi kinerja unit dan individu,(TKRS
9,10,11,11.1.11.2)
7.
9.
8.
14. KARS
MANAJEMEN ETIS
:Regulasi,Kerangka kerja,
Penanganan dilema etis klinis
/non klinis /sistem pelaporan
(TKRS 12,12.1,12.2 ),
BUDAYA KESELAMATAN:
Regulasi,pelaksanaan,monitoring,
tindakan memperbaiki budaya
keselamatan (TKRS 13,13.1 )
10
11
15. Sistem Pelayanan
Klinis
Asuhan Pasien / Patient Care
Quality & Safety
PASIEN
Standar
Manajemen
PMKP, PPI,
TKRS, MFK,
KKS, MIRM
Sasaran KP
ProgNas
Std Yan
Fokus Pasien
ARK, HPK,
AP, PAP,
PAB, PKPO
MKE
Regulasi :
• Kebijakan
• Pedoman,
• Panduan
• SPO
• Program
Indikator :
• Ind. Area
Klinis
• Ind Klinis
• Ind SKP
• Ind Upaya
Manajemen
Dokumen
Implementasi
TataKelola Rumah Sakit dlm perspektif SNARS Edisi 1
UU 44/2009 ttg
RS, Peraturan
Per UU an
lainnya
Sistem
Manajemen
PCC
KARS
16. Sistem Pelayanan
Klinis
Asuhan Pasien / Patient Care
Quality & Safety
PASIEN
Good
Clinical
Governance
Good
Hospital
Governance
Good
Patient
Care
•Good Patient Care
• Good Clinical
Governance
Sistem
Manajemen
Tata Kelola RS
yang Baik
Tata Kelola Klinis
yang Baik
Tata Kelola
Asuhan Pasien
yang Baik
• Good Hospital
Governance &
Ps 36 UU 44/2009
Std Nas Akreditasi
RS Ed 1
KARS
17. 4 Fondasi
PPA Asuhan pasien
Pelayanan
Fokus Pasien
(Patient Centered
Care)
Manajemen
Risiko RS
Risiko Klinis
• Asuhan Medis
• Asuhan Keperawatan
• Asuhan Gizi
• Asuhan Obat • Evidence Based Medicine
• Value Based Medicine
(Nico A Lumenta & Adib A Yahya, 2012)
EBM
VBM
Etik
Kebutuhan
Pasien
• Mutu
• Patient
Safety
“Safety is a
fundamental principle
of patient care and a
critical component of
Quality Management.”
(World Alliance for Patient
Safety, Forward Programme,
WHO, 2004)
KARS
18. Atlet >< Organisasi
Fisik & Tehnik prima 1. System – Structure – People
Strategi & Taktik utk
memenangkan pertandingan
2. Strategy, Visi-Misi-Tujuan
Mental 3. Culture & Leadership
(Kompas, 28 Mei 2016)
Pentingnya ‘Organization Diagnostic’ untuk menjadi
“High Performance Organization” (HPO)
(System)
(Structure)
(People)
2
1
1
1
3
3
KARS
19. Dalam Definisi Budaya, ada pembagian dalam aspek :
Antropologi, Sosial dan Organisasi
• “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems
of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be
considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you
perceive, think, and feel in relation to those problems.“ (Barnes, V, US Nuclear
Regulatory Commission)
• Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
• Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
(Wikipedia Bahasa Indonesia)
Berbagai Definisi Budaya
• Culture : a way of thinking, behaving, or working that
exists in a place or organization (Merriam Webster)
• Budaya terbentuk dari elemen2 : kebijakan, prosedur,
kondisi2 kerja, struktur untuk pembuatan keputusan
dan tipe2 perilaku yang didukung. (The Just Culture Community,
Outcome Engineering, 2009)
KARS
20. Dimensi Budaya Mutu dan Safety
dalam Standar Akreditasi RS
(Nico Lumenta, 2015)
ASUHAN PASIEN
RISIKO SAFETY
MUTU
KARS
21. MUTU
Good Corp Governance
Leadership
Good Clinical Governance
Standarisasi Input-Proses-Output-
Outcome
Pengukuran Mutu
PDCA
RISIKO
RS institusi yg kompleks dan
high risk : asuhan multi PPA,
multi budaya, multi regulasi,
legal, finance, SD
Risk Register
Matrix Grading
FMEA
Situational Awareness
RCA
ASUHAN PASIEN
Good Patient Care
Patient Centered Care
Asuhan Pasien Terintegrasi
PPA sebagai Tim, Kolaborasi
Interprofesional + Kompetensinya
Berpartner dgn Pasien
DPJP sebagai Clinical Leader
MDR - Multidisciplinary Round
BPIS
SAFETY
• Just Culture
• Reporting Culture
• Learning Culture
• Informed Culture
• Flexible Culture
• Generative Culture (MaPSaF)
• 7 Standar KP, 6 SKP, 7 Langkah
KPRS, 13 Program WHO-PS
(Nico Lumenta, 2015)
Dimensi Budaya
Quality dan Safety
dalam Standar Akreditasi RS
KARS
22. Cultural competence
Kesadaran budaya (Cultural awareness)
• adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri
dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang
masuk.
• Dapat menilai apakah hal tsb normal dan dapat diterima pada
budayanya atau mungkin tidak lazim atau tidak dapat diterima di
budaya lain.
• Perlu memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari
kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk
menghormatinya
Kompetensi budaya adalah tingkat tertinggi dari kesadaran budaya
• Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan
mengambil suatu keputusan dan kecerdasan budaya.
• Kompetensi budaya merupakan pemahaman thd
kelenturan budaya (culture adhesive).
• Penting karena dengan kecerdasan budaya seseorg
memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan pengambilan
keputusan pada suatu situasi tertentu.
KARS
24. (Epner, DE & Baile, WF : Patient-centeredcare:thekeytoculturalcompetence. Annals
ofOncology, vol 23, supl 3, 2012)
Patient-centered care: the key to
cultural competence
* In the final analysis, we
should treat our patients
as we would want others
to treat us during periods
of vulnerability and fear.
* Dalam analisis final, kita harus
mperlakukan pasien2 kita
sebagaimana kita ingin
diperlakukan oleh orang lain,
selama periode yg penuh dgn krisis
maupun ketakutan
* The key to cultural
competence is patient
centeredness built on
respect, sensitivity,
composure, partnership,
honesty, astuteness,
curiosity, and tolerance. All
people really care about is
being cared about
* Kunci menuju kompetensi kultural
adalah patient centeredness (focus
kpd pasien) yg dibangun atas
respek (rasa hormat), sensitivitas,
kesabaran, kemitraan, kejujuran,
kecerdikan, rasa ingin tahu, dan
toleransi. Semua orang benar2
peduli ttg asuhan
The Golden Rule
KARS
26. Levels of maturity with respect to a safety culture
A. Why
waste our
time on
safety?
B. We do
something
when we
have an
incident
C. We have
systems in
place to
manage all
identified
risks
D. We are
always on
the alert for
risks that
might
emerge
E. Risk
management
is an integral
part of
everything
that we do
PATHOLOGICAL REACTIVE BUREAUCRATIC PROACTIVE GENERATIVE
(A.Mengapa
membuang waktu
utk keselamatan)
(B.Kita berbuat
sesuatu bila
terjadi insiden)
(C.Kita sudah
punya sistem utk
mengelola risiko
yg teridentifikasi)
(Kita selalu
waspada thd
risiko yg
mungkin timbul)
(Manajemen risiko
merupakan
bagian integral
dari semua
kegiatan yg kita
kerjakan)
Manchester Patient Safety Framework – MaPSaF
(Tingkat kematangan dalam budaya keselamatan)
(D.Kami selalu
waspada thd risiko
yg mungkin
muncul)
(E.Manajemen
risiko merupakan
bagian integral dari
semua yg kami
lakukan)
27. A. Pathological: organisasi dgn sikap yg berlaku “mengapa
membuang waktu kita pada keselamatan” dan hanya sedikit
atau tidak ada investasi dalam meningkatkan keselamatan.
B. Reactive: organisasi yg hanya memikirkan keamanan setelah
insiden terjadi.
C. Bureaucratic: organisasi yg sangat berbasis kertas dan
keselamatan melibatkan kotak centang utk membuktikan
kepada auditor dan penilai bahwa mereka berfokus pada
keselamatan.
D. Proactive: organisasi yg menempatkan nilai tinggi pada
peningkatan keselamatan, aktif berinvestasi dalam peningkatan
keselamatan berkelanjutan dan memberi penghargaan kpd staf
yg meningkatkan masalah terkait keselamatan.
E. Generative: nirwana dari semua organisasi keselamatan di
mana keselamatan merupakan bagian integral dari semua yg
mereka lakukan. Dalam organisasi generatif, keselamatan
benar2 ada dalam hati dan pikiran semua orang, mulai dari
manajer senior hingga staf garis depan.
28. BUDAYA KESELAMATAN
KARS
Dalam TKRS 13 dan 13.1
Budaya keselamatan
1)staf klinis memperlakukan satu sama lain secara hormat dengan
2) melibatkan dan memberdayakan pasien dan keluarga
3)staf klinis pemberi asuhan bekerja sama dalam tim yang efektif dan
mendukung proses kolaborasi interprofesional
4)asuhan berfokus pada pasien.
30. Konsep
Patient Centred Care
(Std HPK)
Konsep Inti
Core Concept
Asuhan
Terintegrasi
Perspektif Pasien
Perspektif PPA
•Conway,J et al: Partnering with Patients and Families To Design a
Patient- and Family-Centered Health Care System, A Roadmap for
the Future. Institute for Patient- and Family-Centered Care, 2006
•Standar Akreditasi RS v.2012, KARS
•Nico Lumenta, Sintesis berbagai literatur, 2015
Integrasi Intra-Inter PPA
(AP 4, SKP 2, TKRS 3.2, MKE 5)
Integrasi Inter Unit
(PAP 2, ARK 3.1, TKRS 3.2, MKE 5)
Integrasi PPA-Pasien
(HPK 2, 2.1, 2.2, AP 4, MKE 6)
Horizontal & Vertical Integration
33. -2,400 years ago -
“Primum, non nocere”
(“First, do no harm”)
Hippocrates
(460-335 BC).
34. Standar TKRS.13
Direktur RS menciptakan dan mendukung
budaya keselamatan di seluruh area di RS
sesuai peraturan perundang-undangan.
KARS
35. Elemen Penilaian TKRS.13
1. Direktur RS mendukung terciptanya budaya
keterbukaan yg dilandalasi akuntabilitas. (W)
2. Direktur RS mengidentifikasi, mendokumentasikan dan
melaksanakan perbaikan perilaku yg tidak dapat
diterima. (D,O,W )
3. Direktur RS menyelenggarakan pendidikan dan
menyediakan informasi (seperti bahan pustaka dan
laporan) yg terkait dengan budaya keselamatan RS
bagi semua individu yg bekerja dalam RS.(D,O,W )
4. Direktur RS menjelaskan bagaimana masalah terkait
budaya keselamatan dalam RS dapat diidentifikasi
dan dikendalikan.(W )
5. Direktur RS menyediakan sumber daya untuk
mendukung dan mendorong budaya keselamatan di
dalam RS.(D,O,W) KARS
36. Standar TKRS.13.1
Direktur RS melaksanakan, melakukan
monitor, mengambil tindakan untuk
memperbaiki program budaya
keselamatan di seluruh area di RS
BUDAYA KESELAMATAN
KARS
37. Elemen Penilaian TKRS 13.1
1. Direktur RS menetapkan regulasi pengaturan sistem
menjaga kerahasiaan, sederhana dan mudah
diakses oleh fihak yg mempunyai kewenangan untuk
melaporkan masalah yg terkait dengan budaya
keselamatan dalam RS secara tepat waktu (R)
2. Sistem yg rahasia, sederhana dan mudah diakses
oleh fihak yg mempunyai kewenangan untuk
melaporkan masalah yang terkait dengan budaya
keselamatan dalam RS telah disediakan (O, W)
3. Semua laporan terkait budaya keselamatan rumah
sakit telah di investigasi secara tepat waktu. (D,W)
4. Ada bukti bahwa iidentifikasi masalah pada sistem
yang menyebabkan tenaga kesehatan melakukan
perilaku yg berbahaya telah dilaksanakan. (D, W)
KARS
38. Elemen Penilaian TKRS 13.1
5. Direktur RS telah menggunakan pengukuran/
indikator mutu untuk mengevaluasi dan memantau
budaya keselamatan dalam rumah sakit serta
melaksanakan perbaikan yang telah teridentifikasi
dari pengukuran dan evaluasi tersebut.(D,W )
6. Direktur RS menerapkan sebuah proses untuk
mencegah kerugian/dampak terhadap individu yang
melaporkan masalah terkait budaya keselamatan
tersebut. (D,O,W)
KARS
39. Patient Safety Culture
DIMENSIONS OF PSC
Through a qualitative meta-analysis the seven subcultures of patient safety
culture were identified as:
1. Leadership culture
2. Teamwork culture
3. Culture of evidence-based practice
4. Communication culture
5. Learning culture
6. Just culture
7. Patient-centered culture
Patient safety culture has been defined as :
“the values shared among organization members
about what is important, their beliefs about how
things operate in the organization, and the
interaction of these with work unit and
organizational structures and systems, which
together produce behavioral norms in the
organization that promote safety”
"Nilai-nilai yg dianut di antara staf RS ttg apa
yg penting, kepercayaan mereka ttg
bagaimana segala sesuatu beroperasi dalam
RS, dan interaksi ini dengan unit kerja dan
struktur organisasi dan sistem, yg bersama-
sama menghasilkan norma perilaku dalam RS
yg mempromosikan keselamatan"
40. 1. Leadership: Leaders acknowledge the
healthcare environment is a high-risk
environment and seek to align vision/mission,
staff competency, and fiscal and human
resources from the boardroom to the frontline
Pemimpin mengakui lingkungan yan kes
adalah lingkungan berisiko tinggi dan
berusaha menyelaraskan visi / misi,
kompetensi staf, dan sumber daya fiskal
dan manusia dari ruang rapat ke garis
depan.
2. Teamwork: A spirit of collegiality,
collaboration, and cooperation exists among
executives, staff, and independent practitioners.
Relationships are open, safe, respectful, and
flexible.
Semangat kolegialitas, kolaborasi, dan
kerja sama ada di kalangan eksekutif, staf,
dan praktisi independen. Hubungan
terbuka, aman, hormat, dan fleksibel.
3. Evidence-based: Patient care practices
are based on evidence. Standardization to
reduce variation occurs at every opportunity.
Processes are designed to achieve high
reliability.
Praktik asuhan pasien didasarkan pada
bukti. Standardisasi utk mengurangi
variasi terjadi pada setiap kesempatan.
Prosesnya dirancang utk mencapai
kehandalan yg tinggi.
4. Communication: An environment exists
where an individual staff member, no matter
what his or her job description, has the right
and the responsibility to speak up on behalf of
a patient.
Lingkungan ada di tempat anggota staf
individu, tidak peduli apa deskripsi
pekerjaannya, memiliki hak dan tangg-jwb
untuk berbicara atas nama pasien.
41. 5. Learning: The hospital learns from its
mistakes and seeks new opportunities for
performance improvement. Learning is
valued among all staff, including the
medical staff.
RS belajar dari kesalahannya dan
mencari peluang baru untuk
peningkatan kinerja. Belajar dihargai
di antara semua staf, termasuk staf
medis.
6. Just: A culture that recognizes errors
as system failures rather than individual
failures and, at the same time, does not
shrink from holding individuals
accountable for their actions.
Budaya yg mengenali kesalahan sbg
kegagalan sistem daripada kegagalan
individu dan, pada saat yg sama,
akuntabilitas individu atas tindakan
tidak mengecil
7. Patient-centered: Patient care is
centered around the patient and family.
The patient is not only an active
participant in his own care, but also acts
as a liaison between the hospital and the
community.
Asuhan pasien berpusat di sekitar
pasien dan keluarga. Pasien bukan
hanya peserta aktif dalam asuhannya
sendiri, tapi juga bertindak sbg
penghubung antara RS dan
masyarakat.
(Source: Botwinick, Bisognano, & Haraden, 2006.)
42. Culture of Safety Typology
Subculture Properties
Leadership Accountability .Change management. Commitment. Executive rounds.
Governance.Open relationships. Physician engagement. Priority. Resources. Role
model. Support . Vigilance.
Visibility . Vision/mission.
Teamwork Alignment. Deference to expertise wherever found. Flattened hierarchy.
Multidisciplinary/mutigenerational. Mutual respect. Psychological safety . Readiness
to adapt/flexibility . Supportive. Watch each other’s back.
Evidence-based Best practices. High reliability/zero defects. Outcomes driven. Science of safety.
Standardization: protocols, checklists, guidelines. Technology/automation.
Communication Assertion/speak-up . Bottom-up approach, Hand-offs . Linkages between executives
and front line/resolution/feedback . Safety briefings/debriefings. Structured
techniques: SBAR, time-out, read-back ,Transparency.
Learning Awareness/informed . Celebrate success/rewards . Data driven,
Education/training including physicians ,. Learn from mistakes/evaluation,
Monitor/benchmark. Performance improvement . Proactive . Root-cause analyses,
Share lessons learned.
Just Blame-free. Disclosure . Non punitive reporting . No at-risk behaviors,
Systems—not individuals. Trust
Patient- Centered Community/grassroots involvement . Compassion/caring . Empowered
patients/families.
Exemplary patient experiences. Focus on patient . Formal participation in care.
health promotion, Informed patients/families . Patient stories
43. Culture of Safety Typology
Subculture Properties
Leadership Akuntabilitas. Manajemen perubahan. Komitmen. Ronde eksekutif.
Governance. Hubungan terbuka. Keterlibatan dokter. Prioritas. Sumber daya.
Panutan. Dukungan. Kewaspadaan. Visibilitas. Visi Misi.
Teamwork Penjajaran. Tergantung keahlian dimanapun ditemukan. Hirarki yang rata.
Multidisiplin / mutigenerasional. Saling menghormati. Keselamatan psikologis.
Kesiapan untuk beradaptasi / fleksibel. Mendukung. Perhatikan punggung
masing-masing.
Evidence-based Praktik terbaik. Keandalan tinggi / nol cacat. Gerakkan berbasis hasil. Ilmu
keselamatan. Standardisasi: protokol, daftar periksa, pedoman. Teknologi /
otomasi.
Communication Tegas / angkat bicara. Pendekatan bottom-up, Hand-off. Kaitan antara
eksekutif dan garis depan / resolusi / umpan balik. Briefing / pembekalan
keselamatan Teknik terstruktur: SBAR, time-out, read-back, Transparansi.
Learning Kesadaran / informasi. Rayakan kesuksesan / penghargaan. Gerak berbasis
data, Pendidikan / pelatihan termasuk dokter,. Belajar dari kesalahan /
evaluasi, Monitor / benchmark. Peningkatan performa . Proaktif Analisis akar
penyebab, Bagikan pelajaran yang dipetik.
Just Bebas dari menyalahkan Pengungkapan. Pelaporan tanpa hukuman Tidak ada
perilaku berisiko, Sistem bukan individu. Kepercayaan
Patient-
Centered
Keterlibatan masyarakat / akar rumput. Kasih sayang / perhatian
Memberdayakan pasien / keluarga. Pengalaman teladan pasien. Fokus pada
pasien. Partisipasi formal dalam perawatan. promosi kesehatan, informasi
pasien / keluarga. Cerita pasien
47. CULTURAL FEATURES
• Feature of a positive patient safety culture
- All employees identifying and resolving safety issues
- Employees looking for opportunities to help others and intervene when
needed
- Reinforcement of safer behaviors by everyone
- Employees accepting accountability for safety of the patients
- Employee openness to coaching and feedback
- Desire to provide resources to improve patient safety
- Willingness to share, communicate and learn
- Employees are encouraged to raise issues and suggestions
• Less desirable patient safety culture traits could include e.g.
- Concerns about safety are consistently not addressed
- No learning is achieved from adverse events
- Employees are reluctant to report incidents
- No one is held accountable for their safety responsibilities
- Safety management representation is kept out of key decision-making
processes
48. CULTURAL FEATURES
• Fitur budaya keselamatan pasien yang positif
- Semua karyawan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah keselamatan
- Karyawan mencari kesempatan untuk membantu orang lain dan melakukan intervensi
bila diperlukan
- Penguatan perilaku yang lebih aman oleh semua orang
- Karyawan menerima akuntabilitas untuk keselamatan pasien
- Keterbukaan karyawan terhadap pembinaan dan umpan balik
- Keinginan untuk menyediakan sumber daya untuk meningkatkan keselamatan pasien
- Kesediaan untuk berbagi, berkomunikasi dan belajar
- Karyawan didorong untuk mengangkat isu dan saran
• Karakter budaya keselamatan pasien yang kurang diinginkan dapat mencakup
mis.
- Kekhawatiran tentang keselamatan secara konsisten tidak ditangani
- Tidak ada pembelajaran yang dicapai dari kejadian tidak diharapkan
- Karyawan enggan melaporkan insiden KP
- Tidak ada yang akuntabel ttg tanggung jawab keselamatan mereka
- Representasi manajemen keselamatan berada diluar proses pengambilan keputusan
utama
49. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. : Patient Safety 2030.
London, UK: NIHR Imperial Patient Safety Translational Research Centre, 2016.)
50. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. : Patient Safety 2030.
London, UK: NIHR Imperial Patient Safety Translational Research Centre, 2016.)
51. THE ROLE OF LEADERSHIP
IN DEVELOPING
A SAFETY CULTURE
52. MANAGEMENT & CULTURE
A robust safety culture is the combination of attitudes and behaviours that best manages the
inevitable dangers created when humans, who are inherently fallible, work in extraordinarily
complex environments.c
Budaya keselamatan yg kuat adalah kombinasi dari sikap dan perilaku yg paling baik
dalam mengelola bahaya yg tak terelakkan yg tercipta saat manusia, yg secara
inheren tidak dapat diterima, bekerja di lingkungan yg sangat kompleks.
Leaders are the keepers and guardians of psychological safety. they must build a robust
safety culture, and a learning organisation.
Pemimpin adalah penjaga dan penjaga keamanan psikologis. mereka harus
membangun budaya keselamatan yang kuat, dan organisasi belajar.
Management is in charged with establishing the right possibilities and direction, vision and
systems, which in turn will be reflected in the quality and safety culture.
Pemimpin adalah penjaga dan penjaga keamanan psikologis. mereka harus
membangun budaya keselamatan yang kuat, dan organisasi belajar.
53. The essential role of leadership
in developing a safety culture
•
In any health care organization, leadership’s first priority is to be accountable for effective
care while protecting the safety of patients, employees, and visitors.
Dalam setiap organisasi Yan kesehatan, prioritas utama kepemimpinan adalah
bertanggung jawab atas asuhan yang efektif sekaligus melindungi keselamatan
pasien, karyawan, dan pengunjung.
Competent and thoughtful leaders contribute to improvements in safety and organizational
culture.
Pemimpin yg kompeten dan bijaksana berkontribusi terhadap perbaikan keselamatan
dan budaya organisasi.
The Joint Commission’s Sentinel Event Database reveals that leadership’s failure to create
an effective safety culture is a contributing factor to many types of adverse events – from
wrong site surgery to delays in treatment.
Database Kejadian Sentinel JC mengungkapkan bhw kegagalan kepemimpinan utk
menciptakan budaya keselamatan yg efektif merupakan faktor penyebab berbagai
jenis efek samping - dari operasi situs yg salah hingga keterlambatan dalam
pengobatan.
54. The Joint Commission Center for Transforming Healthcare
telah menemukan budaya keselamatan yang tidak memadai
sbg faktor kontributor yang signifikan terhadap KTD.
Kepemimpinan yang tidak adekuat dapat berkontribusi pada
KTD dengan berbagai cara, termasuk namun tidak terbatas
pada contoh-contoh ini:
Tidak cukupnya dukungan terhadap pelaporan insiden
keselamatan pasien (IKP)
Kurangnya umpan balik atau tanggapan terhadap staf dan
pihak lain yang melaporkan kerentanan keamanan
Membiarkan intimidasi staf yang melaporkan IKP
Menolak secara konsisten utk memprioritaskan dan
menerapkan rekomendasi keselamatan
Tidak mengatasi kelelahan staf
55. Steps for Leaders to Follow to Achieve Patient Safety and High Reliability
Langkah-langkah bagi Pemimpin untuk Mencapai Keselamatan Pasien dan Kehandalan Tinggi
1. Address strategic priorities, culture, and
infrastructure.
a. Establish patient safety as a strategic priority.
b. Assess organizational culture.
c. Establish a culture that supports patient safety.
d. Address organizational infrastructure.
e. Learn about patient safety and methods for
improvement.
2. Engage key stakeholders.
a. Engage the Board of Trustees.
b. Engage physicians.
c. Engage staff.
d. Engage patients and families.
3. Communicate and build awareness.
a. Begin patient safety walkroundsTM.
b. Implement safety briefings.
c. Improve communication using SBAR.
d. Implement crew resource management
strategies.
4. Establish, oversee, and communicate
system-level
1.Pernyataan prioritas strategis, budaya, dan
infrastruktur.
a.Menetapkan keselamatan pasien sebagai
prioritas strategis.
b.Mengkaji budaya organisasi.
c.Pernyataan budaya yang mendukung
keselamatan pasien.
d.Pernyataan infrastruktur organisasi.
e.Belajar ttg keselamatan pasien dan metode
untuk perbaikan.
2. Melibatkan pemangku kepentingan utama.
a. Libatkan Dewan Pembina.
b. Libatkan dokter.
c. Libatkan staf
d. Libatkan pasien dan keluarga.
3. Komunikasi dan membangun kesadaran.
a.Mulai ronde keselamatan pasien
b.Implementasi briefing keselamatan.
c.Perbaiki komunikasi dgn SBAR.
d.Terapkan strategi pengelolaan sumber SDM
4. Menetapkan, mengawasi, dan komunikasi
pd tingkat sistem
56. 5. Establish aims beyond benchmarks.
a. Oversee and communicate system-level aims.
6. Track/measure performance over time,
strengthen analysis.
a. Measure harm over time as a system-level
measure.
b. Improve analysis of adverse events.
c. Strengthen incident reporting mechanisms.
7. Support staff and patients/families impacted
by medical errors.
a. Provide support to staff and patients/families
impacted be medical errors and harm.
b. Ensure the safety of the staff.
8. Align system-wide activities and incentives.
a. Align system measures, strategy, and projects.
b. Align incentives.
9. Redesign systems and improve reliability.
a. Redesign care processes to increase reliability.
b. Implement rapid response teams.
c. Introduce simulation.
d. Implement a computerized order entry system
5. Menetapkan tujuan di luar tolok ukur.
a.Mengawasi dan mengkomunikasikan tujuan tingkat
sistem.
6. Melacak / mengukur kinerja dari waktu ke waktu,
memperkuat analisis.
a.Mengukur bahaya dari waktu ke waktu sebagai
ukuran tingkat sistem.
b. Perbaiki analisis efek samping.
c. Memperkuat mekanisme pelaporan kejadian.
7. Dukung staf dan pasien / keluarga yang terkena
dampak kesalahan medis.
a.Memberikan dukungan kepada staf dan pasien /
keluarga yang terkena dampak adalah kesalahan
medis dan bahaya.
b.Pastikan keselamatan staf.
8. Sejajarkan seluruh aktivitas dan insentif sistem.
a.Menyelaraskan ukuran, strategi, dan proyek
sistem.
b. Selaraskan insentif.
9. Merancang ulang sistem dan meningkatkan
kehandalan.
a.Mendesain ulang proses perawatan untuk
meningkatkan kehandalan.
b. Melaksanakan tim respon cepat.
c. Perkenalkan simulasi.
d. Terapkan sistem entri pesanan terkomputerisasi
57. Namun, tidak ada solusi sederhana untuk meningkatkan keselamatan, dan
tidak ada intervensi tunggal yang diimplementasikan secara terpisah akan
sepenuhnya menangani masalah ini. Laporan ini menyoroti empat pilar
strategi keselamatan:
1. Pendekatan sistem. Pendekatan untuk mengurangi kerugian harus
diintegrasikan dan diterapkan pada tingkat sistem.
2. Fokus pd budaya. Sistem dan organisasi kesehatan harus benar-benar
mengutamakan kualitas dan keselamatan melalui penglihatan yang
inspiratif dan penguatan positif, bukan melalui kesalahan dan hukuman.
3. Pasien sebagai mitra sejati. Organisasi kesehatan harus melibatkan
pasien dan staf dalam keselamatan sebagai bagian dari solusi, tidak
hanya sebagai korban atau pelaku kejahatan.
4. Bias menuju tindakan. Intervensi harus didasarkan pada bukti kuat.
Namun, ketika bukti kurang atau masih muncul, penyedia layanan harus
melanjutkan dengan hati-hati, mengambil keputusan yang beralasan
daripada tidak bertindak.
(Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 2030. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
Translational Research Centre, 2016.)
EXECUTIVE SUMMARY
58. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 2030. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
Translational Research Centre, 2016.)
• The NIHR Imperial
Patient Safety
Translational Research
Centre (PSTRC)
• is part of the National
Institute for Health
Research and
• is a collaboration
between Imperial
College London and
• Imperial College
Healthcare NHS Trust
59. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 2030. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
Translational Research Centre, 2016.)
Tidak ada solusi sederhana untuk meningkatkan keselamatan, dan tidak ada
intervensi tunggal yg diimplementasikan secara terpisah akan sepenuhnya
menangani masalah ini. Laporan ini menyoroti empat pilar strategi
keselamatan:
1. Pendekatan sistem. Pendekatan untuk mengurangi kerugian harus
diintegrasikan dan diterapkan pada tingkat sistem.
2. Budaya berperan. Sistem dan organisasi kesehatan harus benar2
mengutamakan mutu dan keselamatan melalui visi yg inspiratif dan
penguatan positif, bukan melalui kesalahan dan hukuman.
3. Pasien sebagai mitra sejati. Organisasi kesehatan harus melibatkan
pasien dan staf dalam keselamatan sebagai bagian dari solusi, tidak
hanya sebagai korban atau pelaku kejahatan.
4. Bias menuju tindakan. Intervensi harus didasarkan pada bukti kuat.
Namun, ketika bukti kurang atau masih akan muncul, penyedia layanan
harus melanjutkan dengan hati2, mengambil keputusan yg beralasan
daripada tidak bertindak.
EXECUTIVE SUMMARY
62. KARS
Menetapkan visi yang meyakinkan untuk keselamatan.
Visi organisasi mencerminkan prioritas bahwa, jika sejalan dengan
misinya, membangun fondasi yang kuat untuk pekerjaan
organisasi. Dengan menanamkan visi untuk keselamatan pasien
dan tenaga kerja total di dalam organisasi, pemimpin kesehatan
menunjukkan bahwa keselamatan adalah nilai inti.
63. KARS
Bangun kepercayaan, rasa hormat, dan inklusi.
Membangun kepercayaan, menunjukkan rasa hormat, dan
mempromosikan inklusi - dan menunjukkan prinsip2 di seluruh
organisasi dan dengan pasien dan keluarga - sangat penting bagi
kemampuan seorang pemimpin untuk menciptakan dan
mempertahankan budaya keselamatan. Untuk mencapai bahaya nol,
para pemimpin harus memastikan bahwa tindakan mereka konsisten
setiap saat dan di semua tingkat organisasi. Kepercayaan, rasa
hormat, dan inklusi adalah standar yang tidak dapat dinegosiasikan
yang harus mencakup ruang Dewan, departemen klinis C-suite, dan
keseluruhan staf
64. KARS
Memilih, mengembangkan, dan melibatkan Dewan Pembina.
Dewan Pembina memainkan peran penting dalam menciptakan dan
memelihara budaya keselamatan. CEO bertanggung jawab untuk
memastikan pendidikan anggota Dewan mereka mengenai ilmu
keselamatan dasar, termasuk pentingnya dan proses untuk menjaga
pasien dan angkatan kerja tetap aman. Dewan harus memastikan
bahwa metrik yang secara bermakna menilai keamanan organisasi dan
budaya keselamatan tersedia dan dianalisis secara sistematis,
dianalisis, dan hasilnya ditindaklanjuti.
65. KARS
Prioritaskan keamanan dalam pemilihan dan pengembangan pemimpin.
Merupakan tangg-jawab CEO, bekerja sama dengan Dewan, untuk memasukkan
akuntabilitas keselamatan sebagai bagian dari strategi pengembangan
kepemimpinan bagi organisasi. Selain itu, mengidentifikasi dokter, perawat, dan
pemimpin klinis lainnya sbg juara keselamatan adalah kunci untuk menutup
kesenjangan antara pengembangan kepemimpinan administratif dan klinis.
Harapan untuk merancang dan mengirimkan pelatihan keselamatan yg relevan
untuk semua pemimpin eksekutif dan klinis harus ditetapkan oleh CEO dan
kemudian menyebar ke seluruh organisasi.
66. KARS
Memimpin dan menghargai budaya yang adil.
Pemimpin harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang prinsip dan perilaku
budaya yang adil, dan berkomitmen untuk mengajar dan memberi model mereka.
Kesalahan manusia adalah dan selalu akan menjadi kenyataan. Dalam kerangka
budaya yang adil, fokusnya adalah pada menangani masalah sistem yang
berkontribusi pada kesalahan dan kerugian. Sementara dokter dan tenaga kerja
bertanggung jawab untuk secara aktif mengabaikan protokol dan prosedur,
melaporkan kesalahan, penyimpangan, nyaris rindu, dan kejadian buruk dianjurkan.
Tenaga kerja didukung saat sistem mogok dan terjadi kesalahan. Dalam budaya sejati,
semua anggota angkatan kerja - baik yang bersifat klinis maupun non-klinis - diberi
wewenang dan tidak takut untuk menyuarakan kekhawatiran tentang ancaman
terhadap keselamatan pasien dan tenaga kerja.
67. KARS
Menetapkan harapan perilaku organisasi.
Pemimpin senior bertanggung jawab untuk membangun kesadaran
keselamatan bagi semua dokter dan angkatan kerja dan, mungkin yang
lebih penting lagi, memodelkan perilaku dan tindakan ini. Perilaku ini
meliputi, namun tidak terbatas pada, transparansi, kerja tim yang
efektif, komunikasi aktif, kesopanan, dan umpan balik langsung dan
tepat waktu. Komitmen budaya ini harus dipahami dan diterapkan
secara universal untuk keseluruhan angkatan kerja, terlepas dari
peringkat, peran, atau departemen
68. References
- Botwinick, L., Bisognano, M., & Haraden, C. (2006). Leadership guide to
patient safety. Cambridge, MA: Institute for Healthcare Improvement.
Retrieved from www.ihi.org/knowledge/Pages/
IHIWhitePapers/LeadershipGuide toPatientSafetyWhitePaper.aspx
- Institute of Medicine (IOM). (2000). To err is human: Building a safer health
system. Washington, DC: National Academy Press. Retrieved from
http://www. iom.edu/Reports/1999/To-Err-isHuman-Building-A-Safer-
HealthSystem.aspx
- Institute of Medicine (IOM). (2001). Crossing the quality chasm: A new
health system for the 21st Century. Washington, DC: National Acade mies
Press. Retrieved from http://iom.edu/ Reports/2001/Crossing-the-
QualityChasm-A-New-Health-System-forthe-21st-Century.aspx
- Leape, L.L., Berwick, D.M., & Bates, D.W. (2002). What practices will most
improve safety? Evidence-based medicine meets patient safety. Journal of the
American Medical Association, 288(4), 501–507.
- The Joint Commission. (2009). Joint Commission Standards. Retrieved
February 16, 2009, from http://www.jointcommission.org/