1. Diberlakukan Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 tahun 2003, telah merubah
paradigma pendidikan yang selama ini
bersifat sentralistik menjadi otonomi
sampai di tingkat satuan pendidikan
dalam kadar tertentu. Bahkan pada pasal-
pasal di Bab XV, peran serta masyarakat
dalam pendidikan semakin dominan dan
menentukan mutu sekolah. Oleh sebab itu
memberdayakan satuan pendidikan dan
masyarakatnya menjadi agenda paling
penting dalam pendidikan di masa
mendatang. Namun demikian, mungkin
ada yang merisaukan apakah satuan
pendidikan dan masyarakatnya telah siap
menghadapi perubahan tersebut ! Jangan-
jangan ini hanya cara lain untuk
mengatakan sekolah belum siap dan
pendidikan pun perlu kembali ke sistem
lama, yakni sentralistik dari pusat.
Namun dugaan semacam itu tak perlu
dikuatirkan, karena iklim demokrasi di
negeri ini agaknya tidak akan mendukung
kita kembali ke masa lalu. Depdiknas pun
dengan bantuan dana pinjaman ADB
(Asean Development Bank) telah
mengembangkan program pemberdayaan
sekolah miskin di tingkat pendidikan
dasar dan pengelola di tingkat kabupaten/
kota. Program itu dikenal dengan DBEP
(Decentralized Basic Education Project)
yang telah mencakup tiga provinsi (Bali,
NTB, dan NTT) dan ribuan sekolah
miskin di tingkat pendidikan dasar
semenjak tahun 2003.
Tulisan ini tidak akan membahas proyek
tersebut secara mendalam, tetapi hanya
akan memaparkan bagaimana hakekat
pemberdayaan desentralisasi di tingkat
sekolah dan pemerintah daerah dalam
menangani masalah pendidikan.
Karakteristik Desentralisasi
Pendidikan
Desentralisasi pendidikan mengandung
pengertian membagi kewenangan yang
lebih besar dalam tanggung jawab yang
dahulunya dipegang pusat. Pemberian
kewenangan ini terkait pula pada
kemampuan daerah/sekolah dalam
tanggung jawab tersebut. Jika sekolah
atau daerah saat itu dianggap belum
mampu menanganinya secara mandiri,
maka pemberdayaan kapasitas sekolah
dan daerah menjadi masalah utama yang
harus ditangani pemerintah pusat. Strategi
pemberdayaan diberikan dengan memper
bantukan konsultan pada berbagai hal
yang diperlukan sambil melatih sekolah
dan dinas pendidikan terkait memperaktik
kan konsep-konsep desentralisasi secara
nyata Untuk itu, sekolah diminta
menyusun Rencana Pengembangan
Sekolah (RPS) dan Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota menyusun Rencana
Pengembangan Pendidikan Kabupaten
/Kota (RPPK) dengan melibatkan
stakeholder yang terkait. Dana ADB
yang diberikan ke sekolah untuk
melaksanakan RPS dan kabupaten/kota
untuk melaksanakan RPPK, digunakan
RPS di SMK dan Pendayagunaan di BP2K di DKI Jakarta (Bambang Dharmaputra) 1
Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) di SMK dan Pendayagunaan di
Balai Pengembangan Pendidikan Kejuruan di DKI Jakarta
Bambang Dharmaputra
Dosen Universitas Negeri Jakarta Program Studi Pendidikan Teknik Elektronika
RPS merupakan rancangan yang disusun oleh sekolah dan masyarakatnya dalam membangun pendidikan di
sekolah mereka . Program ini sudah diterapkan pada pendidikan dasar untuk ribuan sekolah di tiga provinsi
(Bali, NTB, dan NTT). Pada hakikatnya, model RPS ini dapat diterapkan di SMK dengan berbagai
modifikasi. Salah satu modifikasinya adalah melibatkan BP2K untuk membantu SMK yang kurang
beruntung.
Kata kunci: desentalisasi pendidikan, karakteristik pendidikan kejuruan, BP2K, model RPS SMK
2. sebagai sarana pembelajaran , dan bukan
tujuan. Selama pelaksanaan ini
berlangsung, maka ada tim independen
yang meman tau dan mengevaluasi
pelaksanaan di tingkat sekolah dan di
tingkat kabupaten/ kota yang melaporkan
ke ADB.
Ciri Khusus DBEP
Dalam MAP1
(Momerandum
Administration Project) ADB dengan
pemerintah RI disebut beberapa ciri
sebagai berikut
1. Fokus kemiskinan
Keberpihakan pada siswa miskin meru
pakan persyaratan pertama yang diminta
ADB. Oleh sebab itu, pemerintah daerah
harus dapat menentukan sekolah-sekolah
mana yang termasuk kriteria miskin dan
menjaringnya secara transparan dan ber
tanggungjawab. Untuk itu para konsultan
yang ada di kabupaten/kota berkewajiban
memberdayakan kapasitas dinas pendi
dikan setempat untuk melaksanakannya.2
2. Implementasinya terdesentralisasi
Sekolah miskin yang terpilih, untuk meng
gunakan dana yang akan diberikan
diharuskan membuat RPS. Sekolah
miskin (biasanya kemampuannya pun
lemah) dalam menyusun RPS perlu
diperkuat. Untuk itu perlu dibantu
konsultan untuk tingkat sekolah (FF: Field
Facilitator) yang dikoordinir oleh
konsultan tingkat kabupaten/kota (DM:
District Manager). Tugas FF dan DM
terus berlanjut pada pendampingan
implementasi RPS tersebut. Selain itu,
DM harus memberdayakan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah) tingkat
kecamatan untuk SD/MI dan MBS
Kabupaten/Kota untuk SMP/MTs
3. Implementasinya berorientasi pada
proses, dari bawah, dan bersifat
partisipatori
Penyusunan RPS harus disusun bersama
semua stakeholder sekolah. Jadi rencana
yang diajukan harus mencerminkan
kebutuhan dari bawah dan ada partisipasi
mereka. RPS baru syah jika semua
program yang diajukan ditanda tangani
kepala sekolah, ketua komite sekolah, dan
ada penanggung jawab program yang
ditunjuk Selain itu, RPS yang diajukan
terbuka untuk dilihat semua pihak, dan
pelaksanaannya dikontrol masyarakat.
4. Mekanisme pendanaan berbasis
rencana/kebutuhan
Ada saja kemungkinan RPS yang disusun
ambisius dan tidak mencerminkan
kebutuhan sekolah. Oleh sebab itu, ADB
menetapkan dana-dana apa yang dapat
dibiayai (eligebel) dan tidak. Untuk
mengontrol RPS yang disusun sekolah
sesuai rencana/kebutuhan, maka tim MBS
Kecamatan dan Kota / Kabupaten berhak
menilai RPS yang diajukan dan diperiksa
ulang oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/
Kota sebelum dikirim ke pusat. Jika RPS
dianggap menyimpang oleh tim peme
riksa, maka diberikan masukan ke sekolah
untuk memperbaiki dan jika dianggap
sudah memadai baru di kirim ke pusat
untuk mendapat dana ADB untuk RPS
mereka
5. Perhatian akan berkelanjutan
program.
Dana RPS tersebut diberikan untuk tiga
tahun bagi pengembangan mutu sekolah.
Setiap tahun sekolah harus mengevaluasi
dan merevisi RPS, dan salah satu ukuran
RPS yang direvisi adalah jaminan
berkelanjutan program setelah program
DBEP berakhir. Dengan demikian, jika
sekolah hanya mengandalkan pembiayaan
dari dana ADB, maka tidak ada perhatian
akan berkelanjutan program. Di sini pula
peran tim MBS Kecamatan dan
Kabupaten/Kota untuk menilai revisi RPS
tersebut
6. Mendukung praktik yang baik.
Program yang diajukan bukan semata
program standar, tetapi program yang di
dukung dan diakui baik dalam praktiknya
oleh semua pihak. Jadi prinsip keberman
2 Pevote, Vol.1, No. 1 September 2006 : 1-10
3. faatan menjadi penting, dan jika dianggap
cocok untuk sekolah lain, maka hal
tersebut dapat ditiru, tentunya dengan
penyesuaian.
7. Penekanan pada transparansi,
akuntabilitas, dan kesesuaian .
Penyusunan RPS yang baik, harus dibukti
kan pada implementasinya secara
transparan, akuntabel, dan sesuai dengan
rancangan program. Oleh sebab itu,
sekolah berkewajiban menempelkan
penggunaan dana di papan pengumuman
tentang pelaksanaan RPS setiap bulan ke
masyarakat sekolah. Secara tranparan
pun, sekolah berkewajiban menjelaskan
apa yang berkaitan dengan RPS terhadap
gugatan masyarakatnya.
8. Monitoring independen
Karena penekanan akan transparansi,
akuntabilitas, dan kesesuaian, DBEP akan
melibatkan suatu kelompok pemonitor
independen yang memberikan laporan ke
pusat. Namun demikian, sebaiknya juga
monitoring melibatkan komite sekolah
dan dinas pendidikan setempat. Intinya
semakin banyak pihak yang mengawasi,
maka kemungkinan kecurangan semakin
kecil.
9. Peran organisasi-organisasi non
pemerintah
Hakekatnya, komite sekolah sebagai
organisasi non pemerintah, adalah
lembaga yang paling berwenang dan ber
kepentingan pelaksanaan RPS. Namun,
karena keterbatasan waktu dan
kemampuan dari komite sekolah, maka
bantuan dari pihak luar menjadi penting.
FF yang berfungsi sebagai pendamping
sekolah, dapat mem bantu sekolah pada
saat implementasi RPS. Sekolah dapat
berkonsultasi tentang semua masalah
yang dihadapi dalam pelaksanaan, dan
jika FF tidak mampu mengatasinya dapat
berkonsultasi dengan DM dan seterusnya
akan memberi solusi pengatasannya.
Pengalaman Implementasi
Implementasi desentralisasi pendidikan di
tingkat sekolah dan MBS Kecamatan dan
Kota/Kabupaten sejak tahun 2003 telah
memberi gambaran yang cukup baik.
Sekolah miskin sekali pun, ternyata ada
yang mampu menyusun dan mengimple
mentasikan RPS dengan baik sehingga
mendapat akreditasi A oleh tim penilai
pusat. Tetapi ada juga kepala sekolah
terpaksa turun jabatan karena
implementasi RPS yang buruk dan
tuntutan masyarakatnya. Secara keselu
ruhan dapat dikatakan bahwa sekolah
semakin mampu mengimplementasikan
dan kontrol komite sekolah semakin baik
terhadap RPS.
Peran FF sebagai konsultan sekolah
sangat dirasakan dalam memecahkan atau
setidaknya menjadi teman menumpahkan
kesulitan yang dihadapi sekolah dalam
mengimplementasikan RPS. Demikian
pula, peran FF dalam memotivasi sekolah
untuk melaksanakan RPS dengan baik,
dan sekaligus mengingatkan sekolah akan
kewajiban membuat laporan bulanan
keuangan ke publik secara terbuka,
mendorong sekolah tranparan, akuntabel
terhadap masyarakatnya. Paradigma baru
inilah yang sebenarnya ingin dibangun
proyek DBEP dan bukan pemberian
dananya. Secara keseluruhan DM
mengontrol FF yang ada, dan memberi
petunjuk-petunjuk dalam membina
sekolah. Sewaktu-waktu DM bersama FF
berkunjung ke sekolah untuk membina
mereka secara langsung.
Di sisi lain, tim MBS Kecamatan dan
MBS Kabupaten/Kota perlu ditingkatkan
kapasitas dalam membina sekolah, dan ini
menjadi tanggungjawab DM. Berbeda
dengan sekolah, maka tim MBS tidak
mendapat dana khusus dari ADB tetapi
dari dana pendamping APBD yang
nilainya mungkin terlalu kecil
dibandingkan sekolah. Dana yang cukup
besar dari ADB tersedia di RPPK dan di
sinilah sebenarnya pembinaan Tim MBS
dapat diberikan melalui desentralisasi
kegiatan (berikut dananya) oleh Pimpinan
RPS di SMK dan Pendayagunaan di BP2K di DKI Jakarta (Bambang Dharmaputra) 3
4. Bagian Kegiatan (Pimbagkeg) DBEP di
kabupaten/kota. DM tidak memegang
kebijakan pemberian dana RPPK, dan
yang mungkin dilakukan adalah
menyarankan Pimbagkeg untuk memberi
kegiatan tim MBS kecamatan dan kota/
kabupaten secara nyata.
Upaya yang dilakukan DM untuk tugas
ini adalah meminta agar para pengawas
sekolah mendampingi FF dalam bertugas.
Hal ini penting, karena setelah proyek ini
berakhir, maka tugas FF dapat diganti
oleh pengawas. Selain itu, para pengawas
tersebut ada di bawah koordinasi tim
MBS, dan kewajiban tim MBS membina
para pengawasnya. Melalui jalur inilah,
DM dapat meningkatkan kapasitas tim
MBS, yakni melalui tindakan nyata yang
dilakukan di lapangan.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
terkait melihat manfaat diterapkan RPS
untuk membina sekolahnya. Apalagi sejak
ada dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), maka adanya RPS yang dapat
mengontrol kegiatan sekolah secara
transparan, akuntabel, dan sesuai
rancangan telah terbukti ada pada
sekolah-sekolah DBEP. Jadi sekolah
DBEP dapat dijadikan model bagi sekolah
lainnya. Oleh sebab itu, kepala dinas pun
menginstruksikan agar semua sekolah
pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs)
membuat RPS sebagaimana yang dibuat
sekolah DBEP. Untuk itu, RPS yang
dibuat harus komprehensif, yakni memuat
semua sumber dana yang diterima
sekolah, dan rancangan penggunaannya
seperti RPS DBEP. Jadi para pengawas
harus mengetahui cara membuat RPS agar
mereka mampu membina sekolah-sekolah
mereka. Jika ini dapat berjalan, maka
pinjaman dana ADB benar-benar
bermanfaat bagi daerah dalam mengimp
lementasikan desentralisasi pendidikan di
tingkat sekolah dan kabupaten/kota.
Karakteristik Pendidikan Vokasional
Berbagai definisi dapat saja diberikan
untuk memaknai pendidikan kejuruan
atau vokasional. Namun demikian,
menurut Strong dan Schaefer (1975:59)3
tekanan utamanya adalah mempersiapkan
seseorang menjadi tenaga kerja yang
berguna. Itulah sebabnya pada kurikulum
SMK tahun 1994 dikembangkan
pendidikan system ganda (PSG) sebagai
upaya melakukan “link and match” antara
pendidikan dan dunia kerja. Namun
Doni4
, melihat kelemahan system PSG
saat itu sebagai kesalahan visi dalam
memandang relasi keseluruhan antara
dunia pendidikan dan kepentingan pasar.
Pada hakekatnya pasarlah yang sangat
membutuhkan tenaga-tenaga profesional
hasil pendidikan agar usaha mereka
berjalan di dalam situasi persaingan yang
semakin ketat. Kesalahan selama ini,
pendidikan hanya diabdikan ke pasar
semata, dengan membentuk manusia dari
satu sisi saja, yakni memenuhi tuntutan
pasar kerja sesaat. Pada hakekatnya,
pendidikan itu mempunyai dua sisi yang
harus dikembangkan, yakni sisi filosofis
dan sisi praktis. Sisi filosofis mendorong
pendidikan itu mengembangkan diri,
belajar dan mencari ilmu, walaupun saat
itu belum dilihat manfaatnya. Sebaliknya
sisi praktis mendorong hanya pada sisi
terapan yang saat ini dirasakan sangat
berguna dan praktis.
Tidak ada yang salah dalam PSG, tetapi
kedok ideologis dan kerancuan visi
pendidikan di balik program ini yang
jomplang. Menyerahkan bulat-bulat
dengan kemauan pasar, mengakibatkan
sekolah hanya mau mengembangkan sisi
terapannya saja dan mengabaikan sisi
filosofis dari pendidikan. Akibatnya,
siswa menjadi tidak berkembang kemam
puan mengembangkan diri, dan mencari
ilmu secara mandiri. Di sisi lain, perkem
bangan teknologi yang semakin cepat,
perusahaan menuntut pekerja yang
mampu mengikuti perkembangan dan
4 Pevote, Vol.1, No. 1 September 2006 : 1-10
5. mampu menggali ilmu baru di tempat
kerja secara mandiri.
Sejak dari dahulu, pembentukkan sikap
dan penanaman etos kerja dianggap
pengalaman belajar paling penting
diberikan di SMK. Misalnya, Kazanas dan
Wolf5
mengatakan bahwa dengan
kemajuan teknologi yang semakin cepat,
sikap kerja seseorang semakin penting,
karena semakin banyak keahlian di bidang
vokasional digantikan oleh mesin.
Menurut kajian ATT&C Australia PTY
Ltd6
ada 6 kompetensi dasar yang harus
dikembangkan bagi pekerja di industri.
Enam competency based performance
tersebut disingkat SAEKAR (Skills,
Attitude, Experience, Knowledge,
Accountability, dan Responsibility).
Selain itu arah perubahan dari kualifikasi
yang diperlukan dalam industri
manufacturing di abad 21 menurut
German – Singapore Institute akan
berubah, yakni kebutuhan skills menurun
tetapi kemampuan intra disiplin dan
kualifikasi sikap kerja yang penting serta
pengetahuan teknologi tentang apa dan
bagaimana suatu peralatan yang terus
berubah akan meningkat.
Jadi PSG bukan hal yang salah, tetapi
langkah SMK menyiapkan siswanya
sebelum ke DUDI (Dunia Usaha dan
Dunia Industri) perlu dilakukan dengan
matang. Seperti dilihat dari akronim
SAEKAR, maka tiga kompetensi yang
harus dikembangkan masuk dalam ranah
afektif, yakni Attitude, Accountability, dan
Responsibility. Ranah afektif tidak dapat
diajarkan secara langsung, tetapi
terbentuk (disadari atau tidak) pada saat
pembelajaran ranah kognitif atau
psikomotor. Misalnya, accountability
akan terkait dalam pembelajaran kognitif
dan psikomotor. Jika sekolah tidak
menekankan kerja yang bertanggung
jawab dalam praktik di sekolah, maka
sulit kita mengharap siswa kelak akan
bertanggung jawab dalam bekerja.
Demikian pula berlaku dalam pelajaran
teori, bukan pada isi materi pelajarannya
yang harus canggih, tetapi watak belajar
mencari ilmu itulah yang harus
ditanamkan sekolah.
Berbeda dengan sekolah umum, maka
sekolah kejuruan menuntut fasilitas
belajar praktik yang lebih, baik jenisnya
maupun frekuensinya. Watak kerja di
industri tidak mungkin diberikan dengan
ceramah di ruang kelas, tetapi harus
terealisasikan di ruang praktik yang
dirancang dengan baik. Jika ruang praktik
sekolah kejuruan rendah mutunya, maka
sulit kita berharap lulusannya akan
terbentuk watak kerja yang dituntut pasar.
Namun tidak berarti, ruang praktik yang
hebat dan canggih, berarti lulusannya
berwatak kerja yang hebat pula.
Secanggih apa pun peralatan, maka hasil
akhir ditentukan oleh guru atau instruktur
yang mengelola pembelajaran tersebut.
Oleh sebab itu, guru dan peralatan
merupakan pasangan yang dituntut dalam
pembelajaran di SMK.
SMK di DKI Jakarta
Jumlah penduduk DKI Jakarta
berdasarkan hasil regrestrasi penduduk
pertengahan tahun 2004 tercatat sebanyak
7,47 juta jiwa dengan luas wilayah 661,5
km2
. Ini berarti kepadatan penduduk di
DKI Jakarta sebanyak 11,3 ribu
orang/km2
, sehingga menjadi wilayah
terpadat penduduknya di seluruh
Indonesia7
Jika dilihat dari pendidikannya, maka dari
usia sepuluh tahun ke atas yang
berjenjang SLTP/SLTA sekitar 58,72
persen, sementara untuk jenjang maksimal
tamat SD sekitar 20,66 persen, dan untuk
jenjang akademi/perguruan tinggi
sebanyak 10,18 persen.
Dari usia penduduk di atas 15 tahun,
maka yang tergolong angkatan kerja
sebanyak 4,10 juta orang dan bukan
angkatan kerja sebanyak 2,52 juta orang.
Dari angkatan kerja tersebut sebanyak
602,74 ribu orang sedang mencari
pekerjaan. Dari catatan Dinas Tenaga
RPS di SMK dan Pendayagunaan di BP2K di DKI Jakarta (Bambang Dharmaputra) 5
6. Kerja DKI Jakarta terdaftar ada 20,62 ribu
orang, dan yang berhasil ditempatkan
sebanyak 6,85 ribu orang dari 11,85 ribu
lowongan kerja yang ada. Catatan BPS
selanjutnya menjelaskan ada sebanyak
300,58 ribu orang pencari kerja yang
masih belum ditempatkan. Angka
pengangguran yang cukup tinggi ini perlu
diperhatikan oleh SMK yang out put nya
adalah calon-calon tenaga kerja yang
sebagian besar akan masuk di pasar kerja
DKI Jakarta.
Jika kita melihat data statistik BPS lebih
lanjut pada tahun 2004, maka nampak
pula bahwa jumlah SMK lebih banyak
dibanding SMU, tetapi jumlah guru dan
siswanya SMK lebih kecil dibanding
SMU. Jika dirinci lebih lanjut, maka
jumlah SMK Swasta sebanyak 522
sekolah dan SMK Negeri hanya 59
sekolah. Jadi perbandingannya hampir
1/10 saja SMK Negeri dibanding SMK
Swasta. Di sisi lain, jumlah SMU ada 500
sekolah, dengan rincian 118 SMU Negeri
dan 382 SMU Swasta. Jadi
perbandingannya sekitar ¼ saja SMU
Negeri dibanding SMU Swasta. Data
yang lebih rinci tentang perbandingan
SMU dan SMK tampak pada tabel 1 pada
halaman berikut.
Dari data tersebut terlihat besarnya minat
pihak swasta untuk mengembangkan
SMK dibanding SMU. Padahal kita
mengetahui, persyaratan SMK menuntut
sekali adanya ruang praktik dan bengkel,
justru itu tidak tidak terlalu dipersyaratkan
untuk SMU. Tuntutan ruang praktik dan
bengkel berarti menuntut investasi yang
besar jika ingin bermutu. Itulah sebabnya,
pada tahun 1975 pemerintah mengembang
kan BLPT Pulogadung yang sekarang
bernama BP2K Pulogadung. Saat itu
yang diizinkan praktik di sana, hanyalah
STM Negeri saja dan STM Swasta
dibantu Pemprov DKI Jakarta
dibangunkan BPKPT seperti di Budi
Utomo dan Duren Sawit.
Ironisnya, saat ini BP2K yang ada di DKI
Jakarta justru kekurangan murid dari
SMK yang ada. Investasi Pemprov DKI
Jakarta di bidang sarana dan prasarana
praktik ke BP2K yang cukup besar itu
menjadi kurang bermanfaat. Minat SMK
untuk praktik ke BP2K semakin lama
semakin kecil jumlahnya, dan ini terlihat
dari siswa yang dikirim ke sana.
Berbagai alasan yang dikemukakan SMK
mulai dari alasan teknis pelaksanaan yang
tidak aman bagi siswa, yakni pada tahun
90an seringnya terjadi tawuran siswa
SMK yang praktik ke BP2K. Selain itu
ada pula alasan ekonomis tentang
pembiayaan praktik di BP2K yang harus
ditanggung SMK cukup tinggi dengan
kondisi siswa mereka yang tergolong
miskin. Tetapi ada pula yang mengatakan
kualitas praktik di BP2K tidak bermutu,
dan mereka pun merasa sanggup
melaksanakan sendiri di sekolahnya.
Agaknya alasan ekonomilah yang lebih
dominan dibanding alasan lainnya, tetapi
BP2K perlu juga berbenah diri terhadap
tuntutan mutu dari sekolah.
Kemiskinan di DKI Jakarta
Krisis ekonomi di tahun 1998 telah
berakibat besar sekali, sehingga telah
menjadi krisis multi dimensi sampai saat
ini. Angka pengangguran yang disebutkan
BPS di DKI Jakarta bukan barang aneh,
dan para lulusan sekolah yang akan
masuk sebagai angkatan kerja pun akan
semakin sulit mencari pekerjaan. Sambil
berharap pertumbuhan ekonomi semakin
baik di tahun mendatang, maka penyiapan
siswa SMK yang berkualitas di DKI
Jakarta perlu diprioritaskan oleh Pemprov
DKI Jakarta. Pemberdayaan SMK dengan
mendayagunakan BP2K perlu ditingkat
kan dengan pendekatan keberpihakan
kepada keluarga miskin.
Walaupun pendapatan asli daerah sebagai
mana ditunjukkan oleh PDRB Pemprov
DKI Jakarta cukup tinggi (tahun 2004 saja
sebesar 320.371.140 juta rupiah), tetapi
6 Pevote, Vol.1, No. 1 September 2006 : 1-10
7. tak dapat disangkal bahwa jumlah
keluarga miskin di DKI Jakarta cukup
tinggi pula. Oleh sebab itu, keberpihakan
Pemprov DKI Jakarta ke masyarakat
miskin menjadi sangat penting, apalagi
dalam konteks
otonomi dan demokrasi yang semakin
baik ke depan.
Dari segi kemiskinan, data BPS pun
memberi laporan yang suram. Misalnya,
di Kodya Jakarta Utara8
saja, rumah
tangga miskin pada tahun 2004 sebanyak
27.131 keluarga dengan anggota
RPS di SMK dan Pendayagunaan di BP2K di DKI Jakarta (Bambang Dharmaputra) 7
Kotamadya SMU SMK
Negeri/Swasta Sekolah Guru Murid Sekolah Guru Murid
Jakarta Selatan 103 3.569 45.456 130 3.543 44.680
Negeri 31 1.725 24.781 15 699 10.033
Swasta 72 1.844 20.675 115 2.844 34.647
Jakarta Timur 134 4.756 62.019 186 5.107 64.559
Negeri 39 2.342 34.364 13 751 10.491
Swasta 95 2.414 27.655 173 4.356 54.068
Jakarta Pusat 70 1.969 23.376 75 1.971 22.257
Negeri 13 733 9.814 14 635 8.203
Swasta 57 1.236 13.562 61 1.336 14.054
Jakarta Barat 110 3.038 35.102 117 3.096 38.886
Negeri 17 920 12.902 8 418 5.739
Swasta 93 2.118 22.200 109 2.678 33.147
Jakarta Utara 82 2.284 26.080 72 1.847 19.244
Negeri 17 860 11.919 8 431 5.531
Swasta 65 1.424 14.161 64 1.416 13.713
Kepulauan Seribu 1 20 430 1 15 171
Negeri 1 20 430 1 15 171
Swasta - - - - - -
Jumlah 500 15.636 192.463 581 15.579 189.797
Negeri 118 6.600 94.210 59 2.949 40.168
Swasta 382 9.036 98.253 522 12.630 149.629
2003/2004 490 15.791 205.255 590 16.117 193.630
2002/2003 487 15.746 206.234 598 16.246 200.463
2001/2002 479 15.662 213.060 583 16.678 200.463
2000/2001 473 15.497 211.212 841 16.225 206.267
1999/2000 483 15.494 213.531 547 16.383 222.064
Sumber Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Propinsi DKI Jakarta, dan diolah penulis dari
data Jakarta dalam Angka 2004
Tabel 1. Jumlah Sekolah, Guru dan Murid pada SMU dan SMK Menurut Status
Sekolah dan Kotamadya 2004/2005
8. keluarganya sebanyak 116.063 orang. Jika
dibandingkan jumlah penduduk Jakarta
Utara sebesar 1.182.749 orang , maka
berarti hampir 10 % penduduk Jakarta
Utara termasuk katagori miskin. Data ini
sebelum terjadi kenaikan BBM pada
Oktober 2005, maka sekarang tentunya
akan berbeda dari tahun 2004. Apalagi
angka kemiskinan yang ditunjukkan BPS
ibarat gunung es, di mana yang muncul di
permukaan kecil dibanding yang ada di
bawahnya. Umumnya orang tua yang
memasukkan anaknya ke SMK bukanlah
kelompok keluarga kaya dan berharap
anak mereka secepatnya bekerja setelah
tamat serta membantu orang tua.
Akibatnya kemungkinan putus sekolah
(drop out) di SMK akan tinggi dibanding
SMU.
Data statistik tahun 2004 pun mendukung
dugaan tersebut, yakni jumlah siswa putus
sekolah di SMU untuk kelas I (794
siswa), kelas II (404 siswa), dan kelas III
(90 siswa) atau seluruhnya 1.288 siswa.
Jadi angka putus sekolah di SMU sebesar
0,7 %. Sedangkan di SMK 1,4 % atau dua
kali lipat dari SMU. Data tahun 2004
untuk siswa putus sekolah SMK untuk
siswa kelas I (1.682 siswa), kelas II (814
siswa), dan kelas III (248 siswa) atau
seluruhnya 2.714 siswa.
BP2K di DKI Jakarta
Balai Pendidikan Pelatihan Kejuruan
(BP2K) ada lima di DKI Jakarta. Daftar
alamat yang dikeluarkan Dikmenti9
untuk
tahun ajaran 2004/2005, merinci kelima
BP2K, yakni BP2K Budi Utomo, BP2K
Pulogadung, BP2K Kampung Jawa,
BP2K Lenteng Agung, dan BP2K Duren
Sawit. Kelima BP2K ini adalah
kepunyaan Pemprov DKI Jakarta, dan
bertujuan menampung praktik siswa SMK
yang sarana dan prasarana praktiknya
kurang memadai.
Misalnya fasilitas BP2K Pulogadung saja
mempunyai luas lahan 2,6 Ha dengan
ratusan instruktur (guru) dan gedung serta
fasilitas belajar seperti:
1. Bengkel Mesin beserta
peralatannya
2. Bengkel Otomotif beserta
peralatannya
3. Bengkel Listrik beserta
peralatannya
4. Bengkel Elektronika
beserta peralatannya
5. Bengkel Bangunan
beserta peralatannya
6. Ruang Aula
7. Ruang Perpustakaan
8. Ruang AVA (Audio
Visual Aid)
9. Ruang Belajar Teori
Selain itu sedang dikembangkan pula
fasilitas lainnya, seperti:
1. Laboratorium bahasa
Inggris beserta jaringan
perangkat elektroniknya
2. Laboratorium Fisika
untuk pengembangan
teknologi tepat guna
3. Laboratorium
Komputer untuk
pengembangan multi media
Di luar BP2K Pulogadung, Pemprov DKI
Jakarta masih mempunyai empat BP2K
lain yang tersebar di lima wilayah kota
DKI Jakarta.
Dari hasil analisis persekolahan, maka
tampak bahwa SMK di DKI Jakarta walau
pun jumlahnya besar, tetapi sebagian
besar terpuruk karena kemiskinan. Umum
nya SMK tersebut berstatus swasta,
dengan ciri angka DO tinggi dan sarana
praktik kurang memadai. Diperkirakan
tenaga pengajarnya pun kurang memadai,
sehingga tuntutan penerapan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
akan menjadi sulit tanpa dibantu Dinas
Dikmenti.
Upaya pengatasan masalah ini dapat
dilakukan dengan menutup SMK yang
tidak bermutu oleh Dikmenti, sehingga
mereka hilang dari peta persekolahan di
8 Pevote, Vol.1, No. 1 September 2006 : 1-10
9. DKI Jakarta. Tetapi cara ini, Pemprov
DKI Jakarta akan dituduh hanya berpihak
pada SMK ”bermutu” saja, dan
mengabaikan masyarakat miskin yang
hanya mampu menyekolahkan putra/
putrinya di SMK ”kurang bermutu”. Jika
kebijakan ini yang diambil, maka
dampaknya akan menjadi besar secara
politis.
Cara yang lebih baik adalah memberdaya
kan SMK ”kurang bermutu” tadi dengan
fasilitas BP2K yang dibiayai Pemprov
DKI Jakarta. Dengan demikian, tidak saja
siswa miskin saja yang tertolong dengan
mendapat praktik di BP2K, tetapi juga
mutu gurunya pun dapat didongkrak
dengan mengembangkan KTSP yang
didukung BP2K dan LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) yang
terkait.
Bantuan bagi SMK Kelompok Kurang
oleh BP2K di DKI Jakarta
Bantuan bagi SMK Kelompok Kurang
tersebut hendaknya jangan hanya
memberi fasilitas praktik gratis untuk para
siswanya semata, tetapi memberdayakan
guru dan sekolah untuk meningkatkan
mutu pembelajarannya. Dengan demikian,
lulusan SMK tersebut dapat diserap pasar
kerja, karena mutu pembelajarannya pun
diakui DUDI. Jadi pomeo lama yang
mengatakan jangan berikan ikan kepada
anak, tetapi berikan pancing agar anak
dapat memancing ikan selamanya. Hal
inilah yang perlu diterapkan dalam
memberdayakan SMK Kelompok Kurang
Untuk itu dapat ditempuh langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Dinas Dikmenti Pemprov DKI Jakarta
perlu mengidentifikasi SMK miskin
yang perlu dibantu per kodya di DKI
Jakarta berdasarkan kriteria yang
disepakati dengan Dewan Pendidikan.
Berdasarkan kriteria itu
dikembangkan instrumen untuk
menjaring SMK miskin, dan hasilnya
akan tersedia daftar SMK miskin
sesuai kriteria itu.
2. SMK miskin yang terjaring itu,
kemudian dibantu pengembangan
kapasitas sekolahnya dengan bantuan
BP2K dan LPTK terkait yang didanai
oleh Pemprov DKI Jakarta.
3. Bantuan itu jangan berbentuk uang
langsung ke sekolah, tetapi pember
dayaan siswa praktik dan guru/sekolah
dalam program-program yang didanai
oleh Pemprov DKI Jakarta.
4. SMK yang terpilih dibebaskan biaya
praktik siswanya di BP2K, bahkan
fasilitas yang mendukung lainnya pun
dibantu Pemprov DKI Jakarta.
Dengan demikian tidak ada alasan
siswa putus sekolah karena
kemiskinan.
5. Dengan fasilitas praktik yang baik di
BP2K, DUDI akan lebih percaya dan
uji kompetensi pun bukan uji sesaat
tetapi hasil pembelajaran yang
diyakini berjalan baik di BP2K. Oleh
sebab itu, BP2K dapat diminta
mempersiapkan PSG sekolah miskin
itu pada DUDI terkait sesuai akad
kerjasama yang disepakati bersama.
6. Pemberdayaan SMK miskin itu tidak
berhenti pada fasilitas praktik para
siswanya, tetapi juga pada sekolah dan
para guru dalam mengembangkan
pembelajaran di sekolah mereka.
Untuk itu, LPTK bersama BP2K dan
pengawas sekolah terkait akan
membantu SMK dalam menyusun
RPS dan implementasinya.
7. RPS itu pada dasarnya rencana kerja
sekolah dalam upaya mengembangkan
program sekolah agar meningkat mutu
mereka. RPS itu harus dibuat bersama
stakeholder sekolah dan disetujui oleh
Komite Sekolah. Asas penyusunan
RPS adalah transparansi,
akuntabilitas, dan kesesuaian pada
rencana program yang dikembangkan.
RPS di SMK dan Pendayagunaan di BP2K di DKI Jakarta (Bambang Dharmaputra) 9
10. 8. Isi RPS itu antara lain misalnya
pemberdayaan guru dalam mengem
bangkan KTSP , program praktik di
BP2K, dan program lainnya yang
dianggap penting oleh sekolah. Semua
program sekolah itu ada penanggung
jawabnya, dan ini ditunjuk pada guru
yang berkaitan dengan kegiatan
tersebut. Sumber dana pun disebutkan,
misalnya dari Pemprov DKI, Komite
Sekolah, dan sumber lainnya yang
dapat digali sekolah.
9. Teknis penyusunan RPS akan
diberikan LPTK, dan dibimbing oleh
pengawas terkait bersama LPTK.
Demikian pula pada saat pelaksanaan
RPS itu, sekolah didampingi
pengawas dan LPTK agar program
yang direncanakan dapat berjalan.
Pengalaman menunjukkan di ratusan
sekolah pendidikan dasar, hal ini dapat
berjalan asalkan ada komitmen dari
pemerintah daerah. Bantuan ADB selama
tiga tahun sebesar $ 6.000 untuk SD/MI
dan $ 9.000 untuk SMP/MTs per sekolah,
hanya merupakan “pancing” yang
selanjutnya dikembangkan sekolah
melalui RPS. Pada hakikatnya bantuan
Pemprov DKI Jakarta pun akan
merupakan “pancing” agar SMK miskin
itu mampu meningkatkan kemampuan
mereka secara bertahap.
PUSTAKA RUJUKAN
10 Pevote, Vol.1, No. 1 September 2006 : 1-10
11. 1
Divisi Bagian Sosial, Departemen Asia Teng gara, Asian Development Bank ( September 2002). Memorandum
Administrasi Proyek: Indonesia, Proyek Desentralisasi Pendidikan Dasar (Loan 1863: INO-Decentralized Basic
Education Project), Versi 2,
2
Dharmaputra, Bambang. (2004). Studi Pelacakan: Sekolah Miskin Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) tahun
2003 Kota Denpasar, Propinsi Bali. Denpasar: DBEP Kota Denpasar
- - -, Studi Pelacakan: Sekolah Miskin Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) tahun 2003 Kabupaten Badung, Propinsi
Bali. Denpasar: DBEP Kabupaten Badung.
- - - , Studi Pelacakan: Sekolah Miskin Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) tahun 2003 Kabupaten Gianyar, Propinsi
Bali. Denpasar: DBEP Kabupaten Gianyar
3
Strong, M.E., Schaefer,C.J. (1975), Introduction to Trade, Industrial, And Technical Education, Columbus, Ohio:
Charles E Merril Publishing Company, h. 59
4
Doni Koesoema A (2004), “Pendidikan Manusia Versus Kebutuhan Pasar” dalam Pendidikan Manusia Indonesia, ed.
Tonny D.Widiastono. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, h. 202
5
Kazans, H.C, Wolf, L.C.(1972), “Development for Work Habits in Vocational Education – What the Literature
Indicates”, The Philosophy and Foundations of Vocational Education, New York: MSS Information Corporation, h. 10
6
Indonesian Australia Partnership for Skill Development Metal Project, Competency Based Training and Assessment
Awareness Program
7
Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta (2004), Jakarta dalam Angka 2004, h.79
8
BPS Kota Madya Jakarta Utara (2004), Jakarta Utara dalam Angka 2004, h.65
9
Pemprov DKI Jakarta , Dinas Dikmenti. (2005), Daftar Alamat SMA/SMK/PKBM dan Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta Propinsi DKI Jakarta