This book begins with the current state of higher education system implemented in Indonesia. As ‘this’ business has grown to an industry that has ever-lasting growing demands, the government and the public have become fascinated that its raison d'être has misaligned from its ‘normative’ main causes and purposes. As a business, it surely applies economic theories. Factors affecting demands and supplies rule the market. The ‘buyer’ of higher education services have cried for government’s intervention to the system that dictates the market rules commercially. For some time and some things, the government had taken it for granted, let the higher education system set and rule the games of the industry. Until it finally set the public outcry. The Constitution Court found it guilty to violate the constitution rights of human being in Indonesia and delivered a verdict of the cancellation of Legalised Higher Education Institutions Law (UU No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan). The Court had also made some amendments to the Law of Education System in Indonesia (UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Some revamps have taken place and been on an on-going process to make Indonesia a better place. Some law enforcement efforts need more than just the written laws. We need to see some oversight institution that can do something and rectify what needs to be right and done in the first place. Never let the bureaucratic entanglements be the one that can hamper.
1. Sistem Pendidikan Tinggi
di Indonesia
oleh :
Sando Sasako
http://bit.ly/1ZQgHiQ
Penerbit: CV Serabdi Sakti
Jakarta, Januari 2016
SandoSasakoonHigherEducation
2. Silahkan berkontribusi terhadap publikasi ini melalui
Bank Central Asia
a/n Sando Sasako
A/C No. 084.0789.934
Untuk informasi dan konsultasi lebih lanjut,
Silahkan hubungi kami melalui saluran komunikasi berikut
+62 851 0518 7118
Paypal Account : CQBYNAJ9XP7DY
Bitcoin address : 12CHoH6u5eZwnL7tQ3w49UhZzSwi8oGXcV
3. Sistem Pendidikan Tinggi
di Indonesia
oleh :
Sando Sasako
Penerbit: CV Serabdi Sakti
Jakarta, Januari 2016
SandoSasakoonHigherEducation
5. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – iii
Kata Pengantar
Gelar kesarjanaan telah menjadi semacam bentuk pengakuan terhadap seseorang oleh satu
perguruan tinggi. Pengakuan tersebut dinyatakan di atas secarik kertas bernama ijazah. Dua kalimat
di atas menjadi semacam tesis dan anti-tesis, klimaks dan anti-klimaks.
Kegetiran (terhadap fenomena) puncak gunung es berhadapan dengan semakin terjal dan dalamnya
palung di lembah dan kaki gunung es., yang mungkin membumi, menapak ke permukaan di suatu
dasar laut. Beberapa gunung es memiliki akar yang menghujam jauh ke bawah lantai samudera atau
laut luas (deep rooted). Sementara banyak gunung es lainnya justru tidak memiliki akar sama sekali,
baik tunggal maupun serabut.
Di dunia politik, gunung es yang tidak berakar tersebut dinamakan massa mengambang. Di dunia
bisnis, floating mass tersebut sering disebut opportunistic rent-seekers, alias pedagang. Beberapa
pedagang bisa berorientasi pada salah satu aspek dari pasar atau malah ketiganya. Tiga aspek
tersebut adalah permintaan, penawaran, dan pasar itu sendiri yaitu yang menyatukan, menyesuaikan
permintaan dan penawaran.
Permintaan dan penawaran yang sangat dinamis membutuhkan market maker yang bisa membuat
seimbang keduanya. Instrumen yang digunakan biasanya melibatkan dan berdampak pada sentimen
pasar. Pasar yang selalu berayun dan mengayun menciptakan bubble and burst secara silih berganti.
Market-timing pun tidak bisa diprediksi, kecuali dengan memanfaatkan, memanipulasi herd
behaviour dan herd instint.
Pedagang yang sangat ekonomis dan efisien, tetapi belum tentu efektif secara sosial, tentunya harus
berupaya meminimkan biaya dan memaksimalkan keuntungan di segala kesempatan, kapan saja, di
mana saja, dan dengan siapa saja. Hmm, jadi ingat slogan . Always Coca-cola. Saat
bagian ini ditulis, 20 Januari 2016 dini hari, CNNmoney baru saja mempublikasikan artikel tinjauan
slogan Coca-Cola sepanjang masa (http://cnnmon.ie/1P4yj3y). A very shocking coincident!
Prinsip mau menang sendiri merupakan salah satu ciri masyarakat post-modern yang semakin
liberalis dan egosentris. Tidak boleh ada kata kalah dalam kamus kehidupan setiap individu, kecuali
menurunkan shared-benefits terhadap pihak-pihak yang sama-sama berkepentingan memperebutkan
potongan kue bolu yang sama.
Prinsip menghalalkan segala cara (by any means necessary) ala Machiavelli menjadi suatu
keharusan di tengah hutan belantara dan/atau samudera luas yang tidak bertepi dan tidak bertuan
(uncharted territories). Hukum rimba (fish law) berlaku bagi tuan tanah dan pihak-pihak yang diberi
kekuasaan.
Beberapa penguasa yang adil, arif, dan bijaksana, mencoba menenangkan ‘massa mengambang’
dengan menerapkan hukum reward and punishment, stick and carrot. For those who to obey Thee
and to comply with what Thou hast commanded, Thou shalt bestow Thy grace on thou by Thy
mercy and pardon.
Walau pemerintah telah dan tetap mencoba mendisiplinkan perguruan tinggi dengan ketentuan
untuk tunduk dan patuh pada sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yang sifatnya internal,
pemerintah seakan alfa dan tutup mata terhadap aspek penegakan hukum dan aturan serta prinsip
pengelolaan perguruan tinggi, khususnya pada aspek akuntabilitas dan transparansi.
Pemerintah sendiri justru sangat menghindari transparansi kebijakan. Banyak kebijakan, peraturan
yang sifatnya publik hanya beredar dan didistribusikan serta justru bisa ‘dinikmati’ oleh segelintir
SandoSasakoonHigherEducation
6. iv – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
kalangan internal dan inner circle sang penguasa. Arogansi kekuasaan pun semakin diperlihatkan ke
publik dengan menistakan dan membredel serta membumi-hanguskan produk output penguasa
sebelumnya, yang sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Contoh kasus yang nyata adalah ribuan link yang harus mati (rot, dead, dangling, broken URLs)
akibat kewajiban penggantian nama-nama domain utama maupun yang dibawahnya (sub-domains).
Pemerintah seakan mengharamkan aparat yang sedang berkuasa untuk menerapkan kebijakan
preservasi terhadap berbagai praktek, aturan, kebiasaan, atau sejenisnya yang telah dilakukan para
pendahulunya (Sins of the Fathers). Tidak boleh ada mirroring sites, preservation policy on older
sites.
Pemerintah seakan membiarkan generasi saat ini dan generasi masa depan tidak boleh belajar dari
kesalahan masa lalu (learn from the past mistakes). Walau demikian, melalui Perpres No.33/2012
tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDHIN), SBY sebagai Presiden RI
sudah menitahkan seluruh anggota JDHIN untuk melakukan 4 hal terkait dokumen hukum dan
dokumentasi hukum, antara lain:
1. menjamin terciptanya pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum yang terpadu dan
terintegrasi di berbagai instansi pemerintah dan institusi lainnya;
2. menjamin ketersediaan dokumentasi dan informasi hukum yang lengkap dan akurat, serta dapat
diakses secara cepat dan mudah;
3. mengembangkan kerja sama yang efektif antara pusat jaringan dan anggota jaringan serta antar
sesama anggota jaringan dalam rangka penyediaan dokumentasi dan informasi hukum; dan
4. meningkatkan kualitas pembangunan hukum nasional dan pelayanan kepada publik sebagai salah
satu wujud ketatapemerintahan yang baik, transparan, efektif, efisien, dan bertanggungjawab.
Anggota JDHIN mencakup Kementerian Negara; Sekretariat Lembaga Negara; Lembaga
Pemerintahan Non Kementerian; Pemerintah Provinsi; Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
Sekretariat DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota; perpustakaan hukum pada PTN dan PTS;
serta lembaga lain yang bergerak di bidang pengembangan dokumentasi dan informasi hukum yang
ditetapkan oleh Menteri Hukum.
Kita memang hanya boleh berharap negara kita memang memiliki pemerintahan yang lebih baik
dan menuju ke arah yang lebih baik, bukan saja bagi segelintir orang, tetapi the greater goods.
Penentuan the greater goods at or for the greater number merupakan sesuatu yang dilematis. Harus
ada yang berkorban dan dikorbankan. Anyone?
Jakarta, 20 Januari 2016
Sando Sasako
sandosako @ yahoo.com
Mobile +62 812 8056 516
SandoSasakoonHigherEducation
7. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – v
Daftar Isi
Kata Pengantar .............................................................................................................................. iii
Daftar Isi .........................................................................................................................................v
Daftar Tabel ...................................................................................................................................vi
Daftar Bagan ................................................................................................................................ vii
Executive Summary........................................................................................................................ix
Pendahuluan....................................................................................................................................1
Sertifikasi Pendidikan Tinggi.......................................................................................................1
Perkembangan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi ...................................................................3
Akreditasi Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional................................................6
Status Hukum Sistem Pendidikan Nasional..................................................................................8
Akreditasi Pendidikan Tinggi ........................................................................................................11
Instrumen Akreditasi .................................................................................................................12
Komponen atau Standar Akreditasi............................................................................................12
Kaidah dan Kode Etik Akreditasi...............................................................................................15
Prosedur Akreditasi ...................................................................................................................15
Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi...................................................................................17
EPSBED....................................................................................................................................17
Standar Minimal Mutu vs Standar Mutu Minimal ......................................................................20
Dimensi Mutu dalam Pendidikan ...............................................................................................21
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.........................................................................................24
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia..........................................................27
Klas dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi............................................................................31
Perguruan Tinggi Kedinasan......................................................................................................31
Legalitas PTK........................................................................................................................31
Keberadaan PTK....................................................................................................................34
Perguruan Tinggi Keagamaan....................................................................................................39
Beberapa Dasar Hukum PTA.................................................................................................39
Keberadaan PTAN.................................................................................................................41
Perguruan Tinggi Negeri............................................................................................................42
Sejarah Pendidikan Tinggi .....................................................................................................43
Antara Otonomi dan Badan Hukum .......................................................................................44
Antara Otonomi dan Tujuan (dan) Idealisme Pendidikan .......................................................47
Antara Otorita dan Konflik Kepentingan................................................................................49
Klas dalam Perguruan Tinggi menurut Kapabilitas ........................................................................53
Klas PTN menurut Pengelolaan Keuangan ....................................................................................57
PTN Berbadan Hukum...............................................................................................................57
Bantuan Operasional PTN .........................................................................................................59
PTN Badan Layanan Umum ......................................................................................................61
Antara Statuta, Struktur, dan Organisasi ........................................................................................64
Referensi.......................................................................................................................................67
Web...........................................................................................................................................67
Dokumen...................................................................................................................................67
Buku..........................................................................................................................................68
Lampiran.......................................................................................................................................69
SandoSasakoonHigherEducation
8. vi – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Lampiran 1 – Dokumen Terkait Proses Akreditasi.........................................................................69
Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) (v.02.12.2011)......................................................................69
Prodi Umum..............................................................................................................................70
Prodi D-III Keperawatan (v.2014)..............................................................................................71
Prodi D-III Kebidanan (v.2014) .................................................................................................72
Prodi NERS (v.2014).................................................................................................................73
Prodi Kedokteran (v.2014).........................................................................................................74
Prodi Kedokteran Gigi (v.2014).................................................................................................75
Prodi Kedokteran Hewan (v.2014).............................................................................................76
Prodi Magister Psikologi (v.2014)..............................................................................................77
Prodi Pendidikan Profesi Akuntansi (v.2014).............................................................................78
Dokumen Terkait Proses Akreditasi Prodi Pendidikan Profesi Guru (v.29.11.2011)...................79
Lampiran 2 – Struktur Hukum Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi ..............................................81
Struktur Isi UU No.12/2012.......................................................................................................81
Struktur Isi PP No.4/2014 ..........................................................................................................83
Lampiran 3 – Daftar PTN ..............................................................................................................85
Lampiran 4 – Daftar PTN-BLU .....................................................................................................93
Lampiran 5. – Daftar Universitas Terbaik di Dunia........................................................................99
QS World University Rankings..................................................................................................99
QS World University Rankings: Methodology.......................................................................99
Changes to the QS World University Rankings Methodology ..............................................100
QS World University Rankings® 2015/16 ...........................................................................101
THE World University Rankings .............................................................................................111
Rankings Table Information.................................................................................................111
THE World University Rankings 2015-2016........................................................................111
Shanghai Jiao Tong Academic Ranking of World Universities 2015........................................121
Academic Ranking of World Universities: Methodology .....................................................121
Academic Ranking of World Universities 2015....................................................................123
Webometrics Ranking of World Universities ...........................................................................133
Webometrics Ranking of World Universities: Metodologi ...................................................133
Daftar Perguruan Tinggi Terbaik menurut Webometrics, Juli 2015 ......................................134
Center for World University Rankings.....................................................................................149
Center for World University Rankings: Methodology ..........................................................149
CWUR 2015 - World University Rankings ..........................................................................149
Daftar Tabel
Table 1 – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999.......................................................7
Table 2 - L-RAISE++ Didefinisikan ..............................................................................................13
Table 3 - Beberapa model manajemen mutu ..................................................................................25
Table 4 - Beberapa IAIN pelopor PTAIN di Indonesia...................................................................41
Table 5 – Beberapa PTN menurut Penetapan Status BHMN dan/atau BHP, dan Penetapan
Statutanya......................................................................................................................43
Table 6 – Pembandingan rincian otonomi di PTS, PTN, dan PTN-BH...........................................45
Table 7 – Produk Hukum Penetapan Statuta, OTK, Pendirian, Perubahan, Pembubaran
Perguruan Tinggi...........................................................................................................53
Table 8 – Definisi satuan perguruan tinggi menurut kapabilitasnya................................................56
Table 9 – Pembandingan Struktur Organisasi dan Tata Kerja di PTS, PTN, dan PTN-BH..............65
SandoSasakoonHigherEducation
9. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – vii
Table 10 – Daftar PTN, PTA, PTK................................................................................................91
Table 11 – Daftar PTN, PTA, PTK dengan Status BLU.................................................................97
Table 12 – QS World University Rankings® 2015/16..................................................................101
Table 13 – THE World University Rankings 2015-2016..............................................................111
Table 14 – Indicators and Weights for ARWU.............................................................................121
Table 15 – Definitions of Indicators.............................................................................................122
Table 16 - Data Sources...............................................................................................................122
Table 17 – Academic Ranking of World Universities 2015..........................................................132
Table 18 – Peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia menurut Webometrics.info, Juli 2015 .........147
Table 19 – CWUR 2015 - World University Rankings.................................................................182
Daftar Bagan
Figure 1 – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan ...........................14
Figure 2 – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan...............................14
Figure 3 – Konsep mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan...........................22
Figure 4 – Dimensi mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan .........................23
Figure 5 – Manajemen Kendali Mutu ............................................................................................25
Figure 6 – Siklus Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi ......................................................26
Figure 7 – Anatomi Peraturan Perundang-undangan Perguruan Tinggi ..........................................50
Figure 8 – Rumus perhitungan alokasi BOPTN 2013.....................................................................60
Figure 9 – Konsekuensi UGM sebagai BLU ..................................................................................62
SandoSasakoonHigherEducation
11. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – ix
Executive Summary
This book begins with the current state of higher education system implemented in Indonesia. As
‘this’ business has grown to an industry that has ever-lasting growing demands, the government and
the public have become fascinated that its raison d'être has misaligned from its ‘normative’ main
causes and purposes.
As a business, it surely applies economic theories. Factors affecting demands and supplies rule the
market. The ‘buyer’ of higher education services have cried for government’s intervention to the
system that dictates the market rules commercially. For some time and some things, the government
had taken it for granted, let the higher education system set and rule the games of the industry. Until
it finally set the public outcry.
The Constitution Court found it guilty to violate the constitution rights of human being in Indonesia
and delivered a verdict of the cancellation of Legalised Higher Education Institutions Law (UU
No.9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan). The Court had also made some amendments to the
Law of Education System in Indonesia (UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Some revamps have taken place and been on an on-going process to make Indonesia a better place.
Some law enforcement efforts need more than just the written laws. We need to see some oversight
institution that can do something and rectify what needs to be right and done in the first place.
Never let the bureaucratic entanglements be the one that can hamper.
SandoSasakoonHigherEducation
13. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 1
Pendahuluan
Persyaratan akademis bagi seseorang untuk bisa melamar pekerjaan telah menjadi batu pijakan bagi
penyelenggara pendidikan tinggi untuk bebas menetapkan biaya bagi peserta didik yang ingin cepat
mendapatkan gelar akademis. Banyak peserta didik tidak bisa segera mendapatkan gelar akademis
bila tidak ikut ‘berpartisipasi’ dalam penyelenggaraan ujian karya ilmiah (tugas akhir, skripsi, dan
seterusnya) dan wisuda.
Di sisi lain, semakin banyak perguruan tinggi standar (minimum) (mediocre1
) yang menetapkan
biaya kuliah murah di awal kuliah dan selama kuliah. Setelah SKS mencukupi untuk bisa
mendapatkan gelar akademis tertentu, peserta didik diwajibkan membayar uang kelulusan yang
mencakup biaya ujian dan biaya wisuda. Besarannya (misalnya Rp 4 juta) bisa lebih dari 10 kali
lipat (cicilan) uang kuliah bulanan (misalnya Rp 300.000).
Praktek ini sudah berjalan puluhan tahun. Nilai nominalnya pun tidak sebesar seperti sekarang ini,
tetapi berkembang menurut status perguruan tinggi. Hukum ekonomi permintaan pun berlaku. Bila
permintaan bertambah, harga pasti naik, ceteris paribus. Murahnya biaya kuliah pun dipengaruhi
hukum enonomi penawaran. Over supply membuat harga jatuh dan produk diobral, ceteris paribus.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi pun, prinsip ekonomi sangat dipegang teguh, setidaknya
oleh perguruan tinggi standar (minimum). Biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi ditekan
seminim mungkin, mulai dari biaya alat (pengadaan dan perawatan sarana-prasarana yang minim
dan sekedarnya), ‘upah’ untuk pendidik (yang bersifat ala kadar), sampai pada minimnya insentif
untuk penelitian dan pengembangan keahlian bagi pendidik.
Banyak pendidik hanya membuat diktat dan modul tanpa statement of authorship (pernyataan
bahwa tulisan itu adalah hasil karyanya sendiri).2
Hal terburuk lainnya adalah praktek ini dibiarkan
oleh BAN-PT dan Ditjen Dikti sebagai karya ilmiah dan dapat digunakan dosen untuk naik jabatan.
Amazing.
Diktat dan modul banyak dipakai sebagai pengganti buku teks. Alasannya, buku teks ditulis dalam
bahasa Inggris dan tidak mudah dipahami oleh pendidik dan peserta didik. Kalau pun ada buku teks
yang dijadikan referensi, kebanyakan sudah uzur dan bukan asli, alias bajakan dalam bentuk
fotokopi. Praktek pelanggaran hak cipta dan plagiarisme menjadi suatu hal yang wajar dan lazim.
Keengganan peserta didik dan pendidik untuk memakai buku teks adalah karena mereka tidak
memiliki kualifikasi untuk bisa membaca dan memahami, yakni dalam hal TPA dan TOEFL. Hal
ini tidak bisa dipungkiri mengingat perguruan tinggi sudah lama mempraktekkan prinsip garbage in,
garbage out, baik dalam hal penerimaan peserta didik dan pendidik. Dulu, banyak PTS menerapkan
sistem passing grade. Sekarang, mereka menerapkan sistem early bird registration.
Sertifikasi Pendidikan Tinggi
Sudah cukup banyak perguruan tinggi yang menerapkan sistem points of sales dan waralaba dalam
praktek bernama kelas jauh dan pendidikan jarak jauh. Gurita bisnis perguruan tinggi tipe ini sudah
tentu ada yang mempelopori. Inovasi dalam penerimaan peserta didik dibentang luas dan
dibolehkan dengan banyaknya pembukaan kelas-kelas (prodi, program studi) spesialisasi, praktek,
1
Merriam-Webster, mediocre: not very good, of moderate or low quality, value, ability, or performance: ordinary,
so-so (moderately well, tolerably).
2
Budi Frensidy, Persaingan Perguruan Tinggi Indonesia : A Losers' Game, Manajemen Usahawan Indonesia,
Depok, Agustus 2007, http://spartaindo.blogspot.co.id/2009/09/wajah-persaingan-perguruan-tinggi-kita_25.html,
https://groups.yahoo.com/neo/groups/aktunand/conversations/messages/6141
SandoSasakoonHigherEducation
14. 2 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
dan membumi dalam artian bisa langsung dipekerjakan setelah tamat kuliah. Izin penyelenggaraan
baru bisa diberikan oleh Menteri (Pendidikan Tinggi), tentunya setelah berbagai persyaratan
minimum untuk bisa beroperasi dipenuhi dan dijalankan.
Per Februari 2015, UGM menawarkan 221 program studi yang sudah diakreditasi oleh BAN-PT,
mulai dari D-III sampai S-3; disusul IPB sebanyak 172 program studi; UI sebanyak 170 program
studi; UPI sebanyak 125 program studi; USU sebanyak 121 program studi; ITB sebanyak 120
program studi; dan Unair sebanyak 109 program studi. Selain 7 PTN eks-BHMN, dua PTN lainnya
mencakup Unhas sebanyak 115 program studi dan ITS sebanyak 61 program studi.
Nama besar penyelenggara pendidikan tinggi tidak menyurutkan minat perguruan tinggi (yang
menerapkan) standar (minimal dalam segala hal) untuk mau menjalankan usahanya. Mereka malah
dengan bangga mencantumkan berbagai nama terkenal dari PTN dan PTS sebagai pejabat Guru
Besar, Lektor Kepala, dan Lektor di tempat mereka menyelenggarakan pendidikan tinggi, atau
minimal di atas secarik kertas pengakuan dan/atau kesediaan. Bila ditelusuri lebih lanjut, persentase
kedatangan dan kehadiran mereka per bulan mungkin bisa mendekati angka nol persen.
Dalam rangka menginventarisir siapa mengajarkan apa dan di mana, pemerintah kemudian
menetapkan berbagai aturan dan tata tertib dengan nama sertifikasi dosen, antara lain:
1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
3. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen.
4. PP No.37/2009 tentang Dosen.
5. PP No.41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan
Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor.
6. PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
7. Permendiknas No.47/2009 tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen.
8. SK Mendikbud No.53/2012 tentang Perguruan Tinggi Penilai Sertifikasi Pendidik untuk Dosen
9. Permendiknas No.20/2008 tentang Penetapan Inpassing Pangkat Dosen Bukan PNS yang Telah
Menduduki Jabatan Akademik pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Masyarakat
dengan Pangkat PNS.
10. Permendiknas No.17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan
Tinggi.
11. Permendiknas No.48/2009 tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS di Lingkungan
Depdiknas.
Sistem yang menginventarisir seluruh data dan informasi terkait dosen sebagai pendidik dikenal
dengan nama Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Menjelang akhir 2013,
Ditendik Dikti mewajibkan semua dosen yang sudah ber-NIDN untuk mengisi SIPKD secara
online. Bila tidak, tunjangan serdos diputus, kenaikan jabatan tidak bisa diproses, dan lainnya.3
Sifatnya yang personal dan individual membuat SIPKD sering diplesetkan sebagai Sistem Informasi
Penyebab Keresahan Dosen. Tidak ada help-desk yang beroperasi 24/7, FAQ, konfigurasi back-end
server yang qualified dan mumpuni. Oleh karena itu, banyak pihak mencemooh proyek asal-asalan
Ditjen Dikti yang biasanya fire and forget. Sekali diterapkan, setelah itu vakum dan tidak ada
kontinuitasnya.
SIPKD merupakan salah satu contoh. Beberapa sistem informasi akademis lainnya mencakup PDPT
(dulu EPSBED), Simlitabmas, dan lainnya. Sifatnya yang rinci dan teknis menempatkan Ditjen
3
Djoko Lukito, SIPKD dan kritik terhadap Dikti, 20131223, http://lukito.staff.ugm.ac.id/2013/12/23/sipkd-dan-
kritik-terhadap-dikti/
SandoSasakoonHigherEducation
15. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 3
Dikti sebagai badan yang menjalankan 6 fungsi sekaligus, yakni regulator, controller, comptroller,
Fasilitator, Empowering, Enabling.
Penertiban produk perguruan tinggi pun dilakukan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk tunduk
pada berbagai aturan dan tata tertib dengan nama kewajiban untuk mendapatkan akreditasi program
studi. Dasar hukum yang utama, saat ini, adalah UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi,
khususnya pada paragraf 1 dari Bagian IX yang membahas tentang Proses Pendidikan dan
Pembelajaran, atau tepatnya pada pasal 33 dan 34.
Upaya pemutihan dilakukan dengan menetapkan akreditasi standar suatu program studi pada grade
atau nilai C bagi program studi yang sudah berjalan atau pun perguruan tinggi yang baru mendapat
izin penyelenggaraan oleh Menteri (yang bertanggungjawab pada pendidikan tinggi), yakni telah
memenuhi persyaratan minimum akreditasi (program studi dan institusi).
Nilai akreditasi minimum tersebut harus sudah diperbaiki dalam rentang waktu 6 bulan dengan
mengajukan permohonan akreditasi ulang kepada BAN-PT.4
Bila tidak, penyelenggaraan program
studi tersebut dinyatakan tidak sah dan izin penyelenggaraannya dicabut.5
Seandainya nilai
akreditasi (B) belum didapatkan dan ditetapkan oleh BAN-PT, maka nilai akreditasi program studi
yang bersangkutan masih pada tingkatan C.
Perkembangan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi
Dulu, sebelum ada BAN-PT yang mulai mengakreditasi program studi dan institusi penyelenggara
pendidikan tinggi sejak tahun 2005, sistem akreditasi hanya berlaku dan mengacu pada instusinya
saja, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Bila merujuk ke dasar hukumnya, kita akan semakin
takjub dan kagum bahwa produk hukum yang melandasi adalah produk pada masa orde lama, yakni
UU No.22/1961 tentang Pendidikan Tinggi.
Sekedar catatan, sampai bulan November 2001, tepatnya sebelum pemberlakuan SK Mendiknas
No.184/U/2001 (tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma,
Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi), 3 status (akreditasi) PTS tersebut masih berlaku,
yakni Terdaftar, Diakui, Disamakan.6
Di tahun 2002, penyelenggaraan program non-reguler di PTN
diatur dalam SK Dirjen Dikti No.28/DIKTI/Kep/2002.
Perlu 44 tahun ternyata bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memperbaharui dan
melembagakan dasar hukum penilaian program studi dan institusi penyelenggara pendidikan tinggi,
yakni Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT dan perubahannya (Permendiknas No.6/2010).
Penyelenggaraan pendidikan tinggi pun baru diatur secara menyeluruh di tahun 2014, yakni melalui
PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Dengan berlakunya PP No.4/2014, dua peraturan pemerintah sebelumnya, khusus yang mengatur
tentang pendidikan tinggi, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi, yakni:
1. PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (LNRI 2010~23, TLNRI
~5105), dan perubahannya
2. PP No.66/2010 tentang Perubahan atas PP No.17/2010 (LNRI 2010~112, TLNRI~5157).
4
SE Ketua BAN-PT No.5447/BAN-PT/AK/2013 tentang Ijin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi
5
SE Dirjen Dikti No.160/E/AK/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi.
6
SK Mendiknas No.184/U/2001 mencabut berlakunya SK Dirjen Dikti No.357/D/0/1989 tentang Memberlakukan
ljazah bagi Lulusan PTS Terdaftar, Diakui, Disamakan.
SandoSasakoonHigherEducation
16. 4 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Walau demikian, BAN-PT telah ‘ada’ sejak tahun 1994 dengan kewenangan untuk melaksanakan
sistem akreditasi pada semua institusi pendidikan tinggi, meliputi:7
1. Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
2. Perguruan Tinggi Swasta (PTS),
3. Perguruan Tinggi Agama (PTA),
4. Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK),
5. Program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ),
6. Program-program kerjasama dengan institusi pendidikan tinggi di dalam negeri yang ditawarkan
oleh institusi pendidikan tinggi dari luar negeri.
Secara formal kelembagaan hukum, BAN-PT merupakan lembaga non-struktural di bawah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui beberapa keputusan dan peraturan Menteri
Pendidikan, antara lain:8
1. SK Mendiknas No.187/U/1998 tentang BAN-PT.
2. SK Mendiknas No.118/U/2003 tentang BAN-PT.
3. SK Mendiknas No.119/P/2003 tentang Pengangkatan Ketua, Sekretaris, dan Anggota BAN-PT.
4. Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT.
5. Permendiknas No.6/2010 tentang Perubahan atas Permendiknas No.28/2005.
6. Permendikbud No.59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional;
7. Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi (mencabut
semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BAN-
PT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN).
8. SK Mendikbud No.207/P/2012 tentang Ketua dan Sekretaris BAN-PT, BAN-S/M, dan BAN-
PNF Periode Tahun 2012-2017.
9. Permendikbud No.174/2012 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT, BAN-S/M,
BAN-PNF).
Sebagai lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan (Tinggi) (sekarang dibawah
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi), legalitas, otoritas, keberadaan BAN-PT
berjalan mengikuti derap langkah Menteri Pendidikan dan yang terkait, khususnya Ditjen Dikti.
Beberapa peraturan terkait pelaksanaan akreditasi program studi dan penyelenggaranya, mencakup:
1. SK Mendiknas No.004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi.
2. Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1).
3. Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi.
4. SE Dirjen Dikti No.160/E/AK/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program
Studi atau di sini
5. SE DirLemKermaDikti No.1897/E2.3/T/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi
Program Studi
6. SE Dirjen Dikti No.194/E.E3/AK/2014 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Institusi
Perguruan Tinggi.
7. SE BAN-PT No.5447/BAN-PT/AK/2013 tentang Ijin Penyelenggaraan dan Akreditasi Prodi.
8. SK BAN-PT No.001/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Prosedur dan Mekanisme Akreditasi Prodi
9. SK BAN-PT No.002/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Peringkat dan Masa Berlaku Akreditas
Prodi Jenjang Diploma, Sarjana, Magister, Doktor, dan Profesi.
10. SK BAN-PT No.010/BAN-PT/Ak-X/S2/VII/2012 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi Prodi
Studi pada Program Magister di Perguruan Tinggi
11. SK BAN-PT No.447/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi
Prodi pada Program Sarjana
7
http://ban-pt.kemdiknas.go.id/tentang-ban-pt
8
http://ban-pt.kemdiknas.go.id/dasar-hukum
SandoSasakoonHigherEducation
17. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 5
Keberadaan BAN-PT merupakan amanat dari undang-undang sistem pendidikan nasional,
khususnya UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pada masa itu dan
sesudahnya, akreditasi bersifat sukarela, fokus implementasi terbatas pada program studi, dan
pelaksanaannya dilakukan oleh BAN-PT.
Kesederhanaan ‘implementasi’ bisa dilihat dari ‘sangat sederhananya’ definisi tentang akreditasi,
pada masa itu. Dalam UU No.2/1989, kata akreditasi hanya terdapat dalam Penjelasan ayat 1 dari
pasal 46. Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut:
“Penilaian (setiap satuan pendidikan dilakukan secara berkala dan dalam rangka pembinaan
yang) meliputi segi-segi administrasi, kelembagaan, tenaga kependidikan, kurikulum, peserta
didik, sarana dan prasarana, serta keadaan umum satuan pendidikan baik yang
diselenggarakan Pemerintah maupun masyarakat untuk menentukan akreditasi satuan
pendidikan dan usaha pembinaan yang diperlukan.”
Seiring berjalannya waktu, penyempurnaan dilakukan terhadap definisi sistem pendidikan nasional,
yakni sebagaimana yang tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Beberapa perubahan penting terkait sistem akreditasi yang baru mencakup:
1. sifatnya yang berubah menjadi wajib,
2. diterapkan terhadap program studi dan institusi penyelenggaranya,
3. sistem penjaminan mutu internal menjadi wajib,
4. pelaksana akreditasi tidak terbatas oleh BAN-PT, tetapi didelegasikan kepada beberapa lembaga
akreditasi mandiri (LAM) sesuai rumpun ilmu pengetahuan dari program studi yang ingin
diakreditasi.
Beberapa tahapan penting dalam pelaksanaan sistem akreditasi oleh BAN-PT:
1. 1994, berdiri atas dasar dan amanat UU No.2/1989.
2. 1994, persiapan instrumen akreditasi untuk program studi sarjana (S1).
3. 1996, pelaksanaan pertama proses akreditasi program studi.
4. 1999, mulai menyelenggarakan akreditasi untuk program magister (S2).
5. 2000, menyusun naskah akademik sistem dan perangkat Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi
(AIPT).
6. 2001 mulai dengan program studi diploma dan program studi doktor (S3).
7. 2002, tersusunnya naskah akademik sistem dan perangkat AIPT.
8. 2004, perangkat instrumen AIPT telah tersusun, disosialisasikan, diujicobakan.
9. 2006, mulai mengakreditasi prodi sarjana Universitas Terbuka.
10. 2007, mulai melaksanakan AIPT terhadap 55 perguruan tinggi.
11. 2008, mulai melaksanakan Akreditasi Program Pendidikan Profesi (APPP).
12. 2008, merevisi instrumen AIPT dan menerapkannya pada 25 perguruan tinggi.
Diberlakukannya UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No.59/2012
tentang Badan Akreditasi Nasional, fungsi utama dalam peran dan tugas BAN-PT mengalami
pergeseran yang cukup signifikan, antara lain:
1. mengembangkan sistem akreditasi nasional;
2. melaksanakan akreditasi institusi;
3. melaksanakan penilaian kelayakan prodi/PT baru bersama Ditjen Dikti;
4. memberikan rekomendasi, dan
5. evaluasi terhadap LAM, serta
6. melaksanakan akreditasi program studi yang belum memiliki LAM serumpun.
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi mencabut
semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BAN-PT
dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN.
SandoSasakoonHigherEducation
18. 6 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Akreditasi Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional
Akreditasi terhadap perguruan tinggi mulai menjadi perhatian ketika pemerintah dan masyarakat
merasa perlu adanya sistem penilaian bagi penyelenggara pendidikan, bukan hanya peserta didiknya
saja yang perlu dinilai, tetapi semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan secara
menyeluruh dan meliputi semua jenjang pendidikan dalam satu sistem bernama sistem pendidikan.
Sistem penilaian yang dimaksud adalah sistem akreditasi, dimana kegiatan penilaian kelayakan
program dalam satuan pendidikan dibuat berdasarkan seperangkat kriteria yang telah ditetapkan.
Sistem pendidikan yang diperbaharui memerlukan strategi tertentu. Strategi tersebut diharapkan
bisa membuat visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan
melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi pembangunan
pendidikan nasional dalam UU No.20/2003 meliputi:
1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional yang dimaksud pada masa kini tentu berbeda dengan sistem pendidikan
pada masa orla, khususnya yang didefinisikan dalam Penetapan Presiden No.19/1965 tentang
Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Bila melihat substansi yang diatur, setidaknya
ada 4 undang-undang yang pernah mendefinisikan sistem pendidikan nasional di masa orla, antara
lain:
1. UU Nr.4/1950 dari RI Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk
Seluruh Indonesia (LN~1950 No.550).9
2. UU No.12/1954 tentang Pernyataan Berlakunya UU Nr.4/1950 (LN~1954 No.38, TLN No.550).
3. Perpres No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional.
4. Penpres No.19/1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
5. UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) (LN~1989 No.6, TLN No.3390).
6. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) (LN~2003 No.78, TLNRI
No.4301).
Sebagai juklak dari UU No.2/1989, PP No.30/1990 tentang Pendidikan Tinggi memuat hal
(pengawasan dan) akreditasi pada ayat 3 dari pasal 121 di Bab XIV. Materi dan substansi akreditasi
pendidikan tinggi tidak jauh berubah dengan PP No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi. Di
Peraturan Pemerintah (No.60/1999) yang baru, persyaratan telah terakreditasi di negara asal berlaku
bagi program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi asing untuk dan atas nama kerjasama
dengan perguruan tinggi domestik.
9
Dalam UU No.12/1954, pemberlakuan undang-undang yang dimaksud ditulis sebagai UU Nr.4/1950. Di tahun
1950, setidaknya ada Undang-Undang dengan nomor yang sama, tetapi berbeda penambahan. Seperti UU Darurat
No.4/1950 tentang Penerimaan Anggauta APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat); atau UU No.4/1950
tentang Penggantian Kerugian DPR RIS.
SandoSasakoonHigherEducation
19. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 7
Tabel – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999
PP No. No.30/1990 No.60/1999
Tentang Pendidikan Tinggi Pendidikan Tinggi
Tanggal 10 Juli 1990 24 Juni 1999
LN - TLN LN~1990 No.38, TLN No.3414 LN~1999 No.115, TLN No.3859
Bab XIV. Pengawasan dan Akreditasi XIV. Pengawasan dan Akreditasi
Pasal 121 128
Ayat 1 Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu
dan efisiensi semua perguruan tinggi.
Menteri menetapkan tata cara pengawasan mutu
dan efesiensi semua perguruan tinggi.
Ayat 2 Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan penilaian berkala yang meliputi
kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan,
keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan,
sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi
akademik, kepegawaian, keuangan, dan
kerumahtanggaan.
Mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan keterkaitan antara tujuan, masukan,
proses, dan keluaran, yang merupakan
tanggungjawab institusional perguruan tinggi
masing-masing.
Ayat 3 Penilaian sebagaimana dimaksud alam ayat (2)
dilakukan oleh badan akreditasi yang diangkat oleh
Menteri.
Penilaian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan oleh badan akreditasi yang mandiri.
Ayat 4 Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan
terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil
pengawasan mutu dan efisiensi.
Menteri menetapkan langkah-langkah pembinaan
terhadap perguruan tinggi berdasarkan hasil
pengawasan mutu dan efesiensi.
Ayat 5 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
oleh Menteri.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur oleh
Menteri.
Penjelasan Pasal 128 Ayat (2)
Mutu terdiri dari efektifitas, efisiensi, produktifitas,
akuntabilitas, suasana akademik, dan ketahanan
sistem.
Penjelasan Pasal 128 Ayat (3)
Kemandirian Badan Akreditasi menjadi dasar
dalam pelaksanaan tugasnya walaupun memperoleh
dukungan sumber daya dari pihak lain termasuk
Pemerintah.
Penjelasan Pasal 121 Ayat 4 Pasal 128 Ayat (4)
Langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi
dapat berbentuk:
1. peningkatan bantuan penyediaan sumber daya;
2. pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumber daya bagi program-program
tertentu;
3. penghentian pelaksanaan program-program
tertentu;
4. penangguhan untuk sementara otonomi
pengelolaan perguruan tinggi yang
bersangkutan;
5. langkah pembinaan lainnya yang dipandang
perlu.
Langkah pembinaan terhadap perguruan tinggi
dapat berbentuk:
a. Peningkatan bantuan penyediaan sumber daya;
b. Pengurangan atau penghentian bantuan
penyediaan sumber daya bagi program-program
tertentu;
c. Penghentian pelaksanaan program-program
tertentu;
d. Penangguhan untuk sementara otonomi
pengelolaan perguruan tinggi yang
bersangkutan;
e. Langkah pembinaan lainnya yang dipandang
perlu.
Table 1 – Perbedaan antara PP No.30/1990 dan PP No.60/1999
Kerjasama yang dimaksud bisa berbentuk kontrak manajemen; program kembaran; program
pemindahan kredit; tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan
akademik; pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik; penerbitan
bersama karya ilmiah; penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; dan bentuk-
bentuk lain yang dianggap perlu. Pelaksanaan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau instansi
asing diatur oleh Menteri (Pendidikan Tinggi).
Tidak jauh berbedanya materi dan substansi di PP No.30/1990 dan PP No.60/1999 seakan
memperlihatkan sistem akreditasi pada masa itu nampaknya jalan di tempat. Hal ini berbeda cukup
drastis begitu UU No.2/1989 dicabut dan diganti dengan UU No.20/2003. UU Sisdiknas yang baru
SandoSasakoonHigherEducation
20. 8 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
juga mencabut Perpu No.48/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (LN~1960
No.155, TLN No.2103).
Dulu, pengawasan pendidikan dan pengajaran asing diatur dalam (minimal 2) peraturan Penguasa
Perang (KSAD dan KSAL). Perpu No.48/1960 mengakhiri masa berlakunya pengawasan
pendidikan dan pengajaran asing oleh Penguasa Perang per 16 Desember 1960. Peraturan Penguasa
Perang yang dimaksud adalah:
1. Peraturan Penguasa Perang Pusat/KSAD No.Prt/Peperpu/09/1958 tanggal 14 April 1958.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat KSAL No.Z 1/1/10 tanggal 16 April 1958.
Di awal abad ke-20, pada masa penjajahan Belanda, persyaratan, izin, dan pengawasan bersifat
sangat ketat. Dengan berlakunya Ordonansi Pengawasan Pengajaran Partikelir (Staatsblad 1932
No.494)10
di bulan September 1932, semua sekolah yang tidak didirikan oleh pemerintah atau
memperoleh subsidi pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dulu. Guru-gurunya harus lulusan
sekolah negeri atau berasal dari sekolah bersubsidi.11
Beberapa puluh tahun sebelumnya, melalui Ordonansi Guru (1905), seseorang yang mengajar
agama pun harus memperoleh izin bupati. Di tahun 1925-an, peraturan itu diperlunak dengan cukup
memberitahu maksud pengajaran, daftar murid, dan kurikulum. Salah satu tujuannya adalah sebagai
bentuk dan upaya standarisasi pendidikan pada zaman kolonial Belanda.
Hal ini baru ditegaskan oleh UU No.20/2003 dengan menyatakan bahwa pendidik merupakan
produk perguruan tinggi yang terakreditasi (pasal 42 ayat 2). Pendidik yang dimaksud adalah
pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Kualifikasi pendidik diakui melalui sertifikasi pendidik. Hal yang tidak jelas dinyatakan dalam
pasal 43 ayat 2 adalah apa dan siapa yang seharusnya terakreditasi dalam hal sertifikasi pendidik,
perguruan tingginya-kah atau program studinya-kah? Program studi yang dimaksud adalah program
(pendidikan) pengadaan tenaga kependidikan.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk kursus dan pelatihan, keduanya
dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional. Sebagai
bentuk pendidikan berkelanjutan, kedua hal tersebut (kursus dan pelatihan) bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan,
standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian
profesional.
Khusus penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing, mereka diperbolehkan menyelenggarakan
pendidikan di wilayah NKRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka
pun wajib telah terakreditasi atau diakui di negaranya.
Status Hukum Sistem Pendidikan Nasional
Hanya sedikit yang mengetahui dengan pasti status hukum terakhir dari UU No.20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas). Delapan hal pokok yang berubah pasca Hak Uji Materi di
MK dengan beberapa Putusan MK, yaitu:
10
Ordonansi pengawasan sekolah partikelir (S~1932 No.494, 495, dan 533, dioebah dan ditambah dalam S~1933
No.372 dan 450 dan moelaï berlakoe pada S~1933 No.449; dan terakhir diubah dalam S~1940 No.3).
http://ci.nii.ac.jp/ncid/BA84871588
11
Budi Susanto, Kebingungan Pendidikan, Suara Merdeka, 5 Mei 2008,
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/05/05/12048/Kebingungan-Pendidikan-
SandoSasakoonHigherEducation
21. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 9
1. Pasal 6 ayat (2).
Setiap warga negara bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a. sepanjang frasa “….bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang dimaknai “….ikut
bertanggung jawab”.
b. sepanjang frasa, ”...bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
kecuali dimaknai, “...ikut bertanggung jawab”.
c. isinya berubah menjadi: “Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.”
2. Pasal 12 ayat (1) huruf c.
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang
berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a. sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b. sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya” tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. isinya berubah menjadi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi.”
3. Pasal 49 ayat (1).
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Putusan MK (No.24/PUU-V/2007, tanggal 20 Feb. 2008) →
a. sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Penjelasan Pasal 49 ayat (1).
Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.
Putusan MK (No.011/PUU-III/2005, tanggal 19 Feb. 2005) →
a. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5. Pasal 50 ayat (3).
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional.
Putusan MK (No.5/PUU-X/2012 tanggal 8 Januari 2012) →
a. bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
6. Pasal 53 ayat (1).
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
a. sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara
pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
7. Penjelasan Pasal 53 ayat (1).
Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
SandoSasakoonHigherEducation
22. 10 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
a. bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945.
b. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8. Pasal 55 ayat (4).
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan
sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Putusan MK (No.58/PUU-VIII/2010, tanggal 29 September 2011) →
a. kata ‘dapat’ bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang
pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
b. kata ‘dapat’tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi
jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
9. Pasal 67 ayat (1).
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
a. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register No.77/PUU-
XI/2013.
b. Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal
67 ayat (1) sepanjang frasa “tanpa hak”.
10. Pasal 71.
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) <Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.>
dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
a. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register No.77/PUU-
XI/2013.
b. Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal
71 sepanjang frasa “tanpa ijin pemerintah atau pemerintah daerah”
SandoSasakoonHigherEducation
23. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 11
Akreditasi Pendidikan Tinggi
Berdasarkan proses dan alur kerjanya, akreditasi merupakan bagian kedua dari tiga tahapan
penilaian, yakni evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan dan
disebutkan dalam Bab XVI di UU No.20/2003. Beberapa tujuan dari ketiga aktivitas ini mencakup:
1. pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan penilaian pencapaian standar nasional
pendidikan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.
2. penentuan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-
formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
3. pemantauan kesinambungan proses, kemajuan, perbaikan hasil belajar peserta didik, program,
dan satuan (lembaga) pendidikan pada jalur formal dan non-formal untuk semua jenjang dan
jenis pendidikan sebagai objek evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
4. penyelenggaraan penilaian program studi oleh pengelola pendidikan (dalam bentuk hasil
evaluasi, EPSBED); dan/atau oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga mandiri,
masyarakat dan/atau organisasi profesi (dalam bentuk hasil akreditasi) yang berwenang secara
berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik; dan hasil penyelenggaraannya dinyatakan dalam
bentuk sertifikat (ijazah dan sertifikat kompetensi bagi peserta didik; nilai akreditasi bagi
program studi dan penyelenggara program studi; sertifikat kompetensi bagi penyelenggara
pendidikan) yang dibuat oleh lembaga sertifikasi.
5. pernyataan dan bentuk akuntabilitas publik penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
6. mendapatkan pengakuan atas berbagai hal terkait proses dan hasil akreditasi.
7. mendapatkan alokasi dana dan bantuan akreditasi program studi secara kompetitif, transparan,
dan objektif dalam rangka pelaksanaan dan penyiapan akreditasi prodi yang belum diakreditasi
oleh BAN-PT dan/atau nilai akreditasi yang sudah mau kadaluwarsa, yakni berdasarkan mutu
proposal yang diajukan dan terbuka bagi setiap perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Bila mengacu pada proses, input, dan output, akreditasi merupakan perwujudan dari ketiga hal
tersebut. Sebagai proses, akreditasi merupakan upaya BAN-PT untuk menilai dan menentukan
status mutu program studi di perguruan tinggi berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan.
Sebagai hasil, akreditasi merupakan status mutu perguruan tinggi yang diumumkan kepada
masyarakat.
Hasil yang dinyatakan sebagai output, dalam sistem yang berkesinambungan, continuous and
sustainable, output tersebut merupakan input bagi penyelenggara program studi untuk terus menerus
melakukan perbaikan, mempertahankan mutu yang tinggi, dan meningkatkan mutu ke taraf yang
lebih tinggi lagi (CQI, continuous quality improvement).
Berbeda dengan bentuk penilaian mutu lainnya, akreditasi dilakukan oleh pakar sejawat dan mereka
yang memahami hakekat pengelolaan program studi/perguruan tinggi sebagai Tim atau Kelompok
Assessor. Keputusan mengenai mutu didasarkan pada penilaian terhadap berbagai bukti yang terkait
dengan standar yang ditetapkan dan berdasarkan nalar dan pertimbangan para pakar sejawat
(judgments of informed experts).
Bukti-bukti yang diperlukan termasuk laporan tertulis yang disiapkan oleh institusi perguruan tinggi
yang akan diakreditasi yang diverifikasi melalui kunjungan para pakar sejawat ke tempat
kedudukan perguruan tinggi. Sebagai bentuk dan upaya penilaian mutu eksternal, akreditasi
merupakan penilaian yang berkaitan dengan akuntabilitas, pemberian izin, pemberian lisensi oleh
badan tertentu.
SandoSasakoonHigherEducation
24. 12 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Salah satu output dari akreditasi mutu eksternal (external quality assessment, EQA) adalah dalam
rangka menentukan peringkat (ranking) perguruan tinggi. Data dan informasi sebagai instrumen
akreditasi oleh lembaga eksternal yang dibutuhkan biasanya tidak jauh berbeda dengan yang
dipersyaratkan oleh BAN-PT, termasuk didalamnya segala hal terkait EPSBED (yang setara dengan
IQA, internal quality assessment).
Beberapa landasan hukum yang terkait dengan keberadaan, tugas, dan fungsi akreditasi pendidikan
tinggi dalam hubungannya dengan mutu dan penjaminan mutu, antara lain:
1. UU No.20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional;
2. UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi;
3. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen;
4. PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP);
5. PP No.32/2013 tentang Perubahan atas PP No.19/2005.
6. PP No.13/2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No.19/2005.
7. Perpres No.8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
8. Permendiknas No.20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan;
9. Permendiknas No.63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP);
10. Permendiknas No.2/2010 tentang Renstra Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014;
Instrumen Akreditasi
Sebelum BAN-PT melaksanakan akreditasi terhadap suatu program studi dan/atau institusi
penyelenggaranya, perguruan tinggi tersebut sudah harus melakukan internal review, IQA, atau
yang lebih dikenal dengan EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri). Komponen
EPSBED, daftar isian (atau borang) program studi dan daftar isian pengelola program studi
merupakan instrumen akreditasi (satu) program studi.
Instrumen akreditasi prodi dan institusi perguruan tinggi diatur dalam Permendiknas No.73/2009
tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1). Beberapa dokumen terkait proses
akreditasi yang sudah ada saat ini, antara lain:
1. Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT).
2. Program Studi
3. Program Studi D-III Keperawatan
4. Program Studi D-III Kebidanan
5. Program Studi Ners
6. Program Studi Kedokteran
7. Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
8. Program Studi Kedokteran Hewan
9. Program Studi Magister Psikologi Profesi
10. Program Pendidikan Profesi Akuntansi
11. Program Pendidikan Profesi Guru
Komponen atau Standar Akreditasi
Daftar isian program studi dan daftar isian pengelola program studi mencakup deskripsi dan analisis
yang sistematis sebagai respons yang proaktif terhadap berbagai indikator yang dijabarkan dari
standar akreditasi program studi. Standar dan indikator akreditasi tersebut dijelaskan dalam
pedoman penyusunan borang akreditasi program studi.
Informasi yang diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam borang akreditasi itu
digunakan untuk dua tujuan pokok, yaitu untuk:
1. menilai kinerja akademik dan administratif program studi, dan
SandoSasakoonHigherEducation
25. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 13
2. menemukan dimensi-dimensi kinerja program studi yang memerlukan perbaikan atau
pembinaan.
Pertanyaan yang dituangkan dalam borang akreditasi disusun berdasarkan beberapa dimensi mutu
yang menunjukkan mutu suatu program studi. Jumlah dimensi mutu bervariasi karena banyak hal,
seperti menurut perspektif, waktu perumusannya, pihak-pihak yang merumuskan, atau lainnya.
Upaya pembedaan label dan pigeon-holing biasa terjadi.
Dalam Lampiran V (dari Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi
Sarjana S1) yang berisi Panduan Pengisian Borang Akreditasi Program Studi Jenjang S1, dimensi
mutu berjumlah 9. Sementara dalam Lampiran I-nya yang berisi Naskah Akademik Akreditasi
Program Studi Sarjana, dimensi mutu dinyatakan berjumlah 11.
Kesebelas dimensi mutu tersebut adalah kepemimpinan (leadership); relevansi, kesesuaian
(relevancy); suasana akademik (academic atmosphere); (internal management and organisation,
governance, tata pamong) yang ber-kecukupan (adequate) dan layak (appropriate); keberlanjutan
(sustainability); selektivitas (selectivity); efisiensi (efficiency); efektivitas (effectiveness); ekuitas
(pemerataan, keadilan); produktivitas (productivity).
Kesebelas dimensi ini menunjukkan mutu komprehensif dari suatu penyelenggaraan program studi
untuk menghasilkan keluaran yang bermutu tinggi, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.
Hubungan kesebelas dimensi mutu tersebut mewujudkan prinsip L-RAISE++. Program studi yang
ingin diakreditasi seharusnya mendeskripsikan dan menganalisis semua indikator dalam konteks
keseluruhan standar akreditasi dengan memperhatikan 11 dimensi mutu yang merupakan jabaran
dari L-RAISE++.
Tabel – L-RAISE++ Didefinisikan
Kepemimpinan merujuk kepada kemampuan untuk mengerahkan dan mengarahkan sumber daya dalam upaya
mencapai tujuan institusi/program secara efektif dan efisien.
Relevansi, kesesuaian tingkat keterkaitan hasil/keluaran dengan tujuan institusi/program, keterkaitan antara berbagai
komponen atau standar dan keterkaitan dengan tuntutan masyarakat nasional maupun global.
Suasana akademik iklim yang mendukung interaksi antar sivitas akademika untuk mengoptimumkan proses
pembelajaran.
Internal management and organisation that
Kecukupan menunjukkan tingkat ketercapaian persyaratan ambang yang diperlukan untuk
penyelenggaraan suatu program.
Kelayakan tingkat ketepatan unsur masukan, proses, keluaran, maupun tujuan institusi/program ditinjau
dari ukuran ideal secara normatif.
Keberlanjutan menunjukkan keberlangsungan institusi/penyelenggaraan program yang meliputi ketersediaan
masukan, kegiatan proses pembelajaran, maupun pencapaian hasil yang optimal.
Selektivitas merujuk pada bagaimana penyelenggara program memilih masukan, aktivitas pendidikan,
maupun penentuan prioritas keluaran berdasarkan pertimbangan kemampuan/kapasitas yang
dimiliki.
Efisiensi merujuk pada tingkat pemanfaatan masukan (sumber daya) yang digunakan untuk proses
pendidikan.
Efektivitas merujuk pada tingkat ketercapaian tujuan insitusi/program yang telah ditetapkan yang diukur
dari hasil/keluaran program.
Pemerataan merujuk pada pemerataan kesempatan mendapat pendidikan.
Produktivitas tingkat keberhasilan proses peningkatan mutu yang dilakukan dalam memanfaatkan masukan.
Table 2 - L-RAISE++ Didefinisikan
Komponen atau perihal yang dijadikan tolok ukur atau indikator bagi BAN-PT untuk melakukan
penilaian akreditasi terbagi atas 7 standar, yakni:
1. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian.
2. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu.
3. Mahasiswa dan lulusan.
4. Sumber daya manusia.
SandoSasakoonHigherEducation
26. 14 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Figure 1 – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan
Bagan – Standar BAN-PT disandingkan dengan Standar Nasional Pendidikan
Sumber: Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1)
Figure 2 – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan
Bagan – Standar BAN-PT dipetakan terhadap Standar Nasional Pendidikan
Sumber: Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1)
SandoSasakoonHigherEducation
27. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 15
5. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik.
6. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi.
7. Penelitian dan pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerja sama.
Kaidah dan Kode Etik Akreditasi
Untuk menjaga kelancaran, obyektivitas dan kejujuran dalam pelaksanaan akreditasi suatu program
studi, BAN-PT mengembangkan serangkaian kaidah dan kode etik akreditasi yang perlu dipatuhi
oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan akreditasi, yaitu assessor, program studi
yang ingin diakreditasi, dan para anggota dan staf sekretariat BAN-PT.
Kaidah dan kode etik tersebut berisikan pernyataan dasar filosofis dan kebijakan yang melandasi
penyelenggaraan akreditasi; hal-hal yang harus dilakukan (the dos) dan yang tidak layak dilakukan
(the don’ts) oleh setiap pihak terkait; serta sanksi terhadap “pelanggaran”-nya. Penjelasan dan
rincian kode etik ini berlaku umum bagi akreditasi semua tingkat dan jenis peguruan tinggi dan
program studi. Oleh karena itu kode etik tersebut disajikan dalam buku tersendiri di luar perangkat
instrumen akreditasi program studi.
Prosedur Akreditasi
Salah satu kaidah dan kode etik akreditasi adalah ketaatan dan ketertiban terhadap prosedur
akreditasi program studi. Berikut tahapan akreditasi terhadap program studi dan/atau penyelenggara
program studi:
1. BAN-PT memberitahu penyelenggara program studi mengenai prosedur pelaksanaan akreditasi
program studi.
2. Penyelenggara program studi mengisi borang sesuai dengan cara yang dituangkan dalam
Pedoman Pengisian Borang Program studi.
3. Penyelenggara program studi mengirimkan borang tersebut beserta lampiran-lampirannya
kepada BAN-PT.
4. BAN-PT memverifikasi kelengkapan borang tersebut.
5. BAN-PT menetapkan (melalui seleksi dan pelatihan) tim asesor yang terdiri atas dua orang
pakar sejawat yang memahami penyelenggaraan program studi.
6. Setiap asesor secara mandiri menilai dokumen akreditasi program studi yang terdiri atas borang
program studi, borang fakultas/sekolah tinggi, serta laporan evaluasi-diri program studi
(asesmen kecukupan) dalam bentuk lokakarya di tempat yang disediakan oleh BAN-PT selama
2 – 3 hari.
7. Pada akhir lokakarya tersebut setiap anggota tim asesor menyerahkan kepada BAN-PT hasil
asesmen kecukupan atau kekurangan dalam penyelenggaraan program studi, serta saran-saran
perbaikan yang tentunya akan menjadi acuan prodi dalam melangkah ke depan.
8. Tim asesor melakukan asesmen lapangan ke lokasi perguruan tinggi selama 2 sampai 3 hari
kerja.
9. Tim asesor melaporkan hasil asesmen lapangan kepada BAN-PT paling lama seminggu setelah
asesmen lapangan.
10. BAN-PT memvalidasi laporan tim asesor.
11. BAN-PT menetapkan hasil akreditasi program studi.
12. BAN-PT mengumumkan hasil akreditasi kepada masyarakat luas, menginformasikan hasil
keputusan kepada asesor yang terkait, dan menyampaikan sertifikat akreditasi kepada
penyelenggara program studi yang bersangkutan. Sebagai ukuran kesiapan perguruan tinggi
melakukan proses pendidikan, hasil akreditasi merupakan awal dari cara dan mekanisme
pemeliharaan dan perbaikan pengelolaan prodi ke depan.
13. BAN-PT menerima dan menanggapi keluhan atau “pengaduan” dari masyarakat, untuk
mendukung transparansi dan akuntabilitas publik dalam proses dan hasil penilaian.
SandoSasakoonHigherEducation
29. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 17
Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Menurut SK Mendiknas No.004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi,
penilaian EPSBED dilakukan oleh BAN-PT. BAN-PT dibentuk sebagai badan independen non-
struktural yang bertugas melakukan penilaian terhadap mutu dan (upaya penjaminan mutu serta)
efisiensi penyelenggara pendidikan tinggi.
Dasar akreditasi program studi adalah data dan informasi yang diberikan oleh perguruan tinggi
serta verifikasi BAN-PT dalam bentuk kunjungan ke lokasi penyelenggaraan program studi. Data
dan informasi yang disampaikan meliputi kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan,
mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik,
kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan perguruan tinggi, hasil pembelajaran, dan kualitas
lulusan.
Hasil akreditasi adalah pengakuan atas program studi pada perguruan tinggi yang telah memenuhi
standar (atau syarat) minimal (mutu tertentu), yakni yang sesuai dengan perangkat yang telah
ditentukan BAN-PT. Hasil akreditasi menjadi masukan bagi Dirjen Dikti untuk menetapkan
langkah pengawasan dan pembinaan terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bagi perguruan tinggi, akreditasi merupakan bentuk akuntabilitas terhadap masyarakat. Dengan
berlakunya SK Mendiknas No.004/U/2002, SK Mendikbud No.188/U/1998 tentang Akreditasi
Program Studi pada Perguruan Tinggi untuk Program Sarjana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dewasa ini, ketentuan terbaru mengenai akreditasi program studi dan perguruan tinggi diatur oleh
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Permendikbud
No.87/2014 ini mencabut semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi,
program studi, dan BAN-PT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN.
EPSBED
Secara fisik, EPSBED merupakan salah satu sistem informasi akademik. Sebagai aplikasi pengisian
data untuk evaluasi penyelenggaraan program studi, program EPSBED yang disediakan Ditjen
Dikti dapat di-download, dulu, di situs evaluasi.or.id. Pada mulanya, EPSBED berjalan di DOS
dengan menggunakan TUI (Text User Interface).
Sejak tahun 2010, EPSBED mulai mengggunakan GUI (Graphical User Interface), dan bisa
dijalankan di komputer berbasis Windows. Sebagai tempat kompilasi database seluruh aspek
tentang perguruan tinggi, mulai dari input-proses-output-outcome per prodi, EPSBED kini lebih
dikenal dengan istilah PDPT (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi).
Data di-entry dengan menggunakan program EPSBED dan disimpan dalam bentuk file dbf. Data
tersebut kemudian disimpan dalam bentuk CD untuk dikirim ke Dikti. Setelah situs evaluasi.or.id
ada di tahun 2005, data bisa di-entry secara langsung lewat internet. Sejak itu pula, informasi yang
ditampilkan merupakan data kumulatif sejak laporan Semester Ganjil 2002/2003.
Telah terselenggaranya EPSBED merupakan prasyarat utama bagi diberlangsungkannya proses
akreditasi. EPSBED merupakan nama lain dari mekanisme IQA (internal quality assessment).
EPSBED juga dikenal dengan istilah Evaluasi Kelayakan Penyelenggaraan Program Studi atas
Dasar Evaluasi Diri.
Sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan penjaminan mutu, setiap akhir semester, semua PTN
wajib melaporkan ke Ditjen Dikti, sementara PTS ke Kopertis setempat. Makna dari ‘terkirimnya’
SandoSasakoonHigherEducation
30. 18 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
data EPSBED adalah status program studi diakui keberadaannya oleh Dikti, bisa mendapat
perpanjangan izin operasional, serta berhak menerima mahasiswa baru.
Validasi data EPSBED selama empat semester terakhir dijadikan dasar oleh Ditjen Dikti untuk
memberikan perpanjangan ijin penyelenggaraan program studi suatu perguruan tinggi. Upaya
validasi tidak diiringi dengan verifikasi lapangan, kecuali di atas meja. Akibatnya, berbagai praktek
illegal semakin menjamur, dengan beberapa contoh diantaranya mencakup:12
1. data jumlah mahasiswa yang terdaftar,
2. penerimaan mahasiswa yang dilakukan secara terus menerus sepanjang semester tanpa melalui
proses penyaringan,
3. aktivitas kuliah yang berada di luar lokasi kampus (kelas jauh),
4. tatap muka perkuliahan yang selalu kurang dari 75%,
5. pelaksanaan ujian-ujian yang menyimpang dari kaidah akademik,
6. intervensi pimpinan terhadap kewenangan dosen dalam evaluasi hasil belajar,
7. plagiat dalam penulisan tugas akhir skripsi, dan lainnya.
Wajib lapor kegiatan proses belajar mengajar merupakan kewajiban setiap perguruan tinggi atas
dasar SK Mendiknas No.184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan
Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi. Beberapa dasar hukumnya
mencakup:
1. PP No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 128 ayat (2) menyatakan penjaminan mutu pada
prinsipnya merupakan tanggungjawab institusional perguruan tinggi masing-masing.
2. SK Mendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa.
3. SK Mendiknas No.234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi.
SK Mendiknas No.184/U/2001 mencabut beberapa ketentuan yang bertentangan, antara lain:
1. SK Mendikbud No.0198/U/1987 tentang Penyelenggaraan Ujian Sendiri bagi PTS berstatus
Disamakan.
2. SK Mendikbud No.020/U/1986 tentang Ujian Negara bagi Mahasiswa PTS.
3. SK Dirjen Dikti No.19/DIKTI/Kep/1986; tentang Pedoman Pelaksanaan SK Mendikbud
No.020/U/1986 tentang Ujian Negara bagi Mahasiswa PTS.
4. SK Dirjen Dikti No.421/DIKTI/Kep/I996 tentang Persyaratan dan Tata cara Ujian Negara bagi
Mahasiswa Program Sarjana dan Diploma PTS.
5. SK Dirjen Dikti No.75/DIKTI/Kep/1993 tentang Ujian Negara bagi Mahasiswa Fakultas
Kedokteran di Lingkungan PTS;
6. SK Mendikbud No.023/U/1993 tentang Pembinaan Fakultas Kedokteran di Perguruan Tinggi
Yang Diselenggarakan Masyarakat
7. SK Dirjen Dikti No.357/D/0/1989 tentang Memberlakukan ljazah bagi Lulusan PTS Terdaftar,
Diakui, Disamakan.
8. SK Dirjen Dikti No.304/DIKTI/Kep/1998 tentang Tindak Lanjut SK Mendikbud
No.188/U/1998 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi untuk Program
Sarjana;
9. SK Dirjen Dikti No.347/DIKTI/Kep/I998 tentang Persyaratan dan Tata cara Ujian Pengawasan
Mutu bagi Mahasiswa Program Pasca Sarjana Program Magister PTS.
10. SK Dirjen Dikti No.314/DIKTI/Kep/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan dan
Pengawasan terhadap Program Studi yang Tidak Terakreditasi untuk Program Sarjana di
Perguruan Tinggi;
12
Aa Ngr. Agung Redioka, Mengkokohkan Etika Akademik sebagai Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi guna
Menumbuhkan Kepercayaan Masyarakat, 20121105, https://redioka.wordpress.com/2012/11/05/mengkokohkan-etika-
akademik-sebagai-penjaminan-mutu-pendidikan-tinggi-guna-menumbuhkan-kepercayaan-masyarakat/.
SandoSasakoonHigherEducation
31. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 19
11. SK Dirjen Dikti No.374/DIKTI/Kep/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Pengawasan
Program Studi yang Terakreditasi untuk Program Sarjana di Perguruan Tinggi.
12. SK Mendikbud No.295/U/1998 tentang Tidak Berlakunya Beberapa Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bagi Perguruan Tinggi Yang Telah Diakreditasi;
SK Mendiknas No.184/U/2001 dijabarkan lebih lanjut dalam 2 SK Dirjen Dikti, yakni
1. SK Dirjen Dikti No.08/DIKTI/Kep/2002 tentang Petunjuk Teknis SK Mendiknas
No.184/U/2001; dan aturan perubahan dan tambahannya dalam
2. SK Dirjen Dikti No.34/DIKTI/Kep/2002 tentang Perubahan dan Peraturan Tambahan SK Dirjen
Dikti No.08/DIKTI/Kep/2002.
Lebih jauh, persyaratan untuk perpanjangan ijin program studi meliputi:13
1. pelaporan EPSBED 100%,
2. rasio dosen dan mahasiswa, dan
3. kualifikasi dosen.
Pelaporan EPSBED 100% dihitung dengan membagi jumlah wajib lapor terhadap jumlah laporan
yang diterima database EPSBED (jumlah laporan yang berhasil upload = jumlah wajib lapor yang
ditentukan). Jumlah wajib lapor ditentukan oleh jenjang pendidikan dan status program studi (prodi
baru atau perpanjangan) yang bisa dijabarkan sebagai berikut:
1. program S-1 dan D-4 sebanyak 4 tahun (atau 8 semester);
2. program Diploma III dan Program Pascasarjana sebanyak 3 tahun (atau 6 semester); dan
3. program studi baru untuk semua jenjang pendidikan (SK 108) selama 2 tahun (atau 3 semester).
Rasio dosen dengan mahasiswa menggunakan deskriptor jumlah mahasiswa dibagi dengan dosen
tetap dengan kriteria sebagai berikut:
1. kelompok bidang ilmu IPA dengan rasio maksimal 1 : 30
2. kelompok bidang ilmu IPS dengan rasio maksimal 1 : 45
Kualifikasi dosen ditentukan berdasarkan deskriptor jumlah dan tingkat pendidikan dosen yang
dipekerjakan sebagai dosen tetap di program studi. Rincian baku mutu deskriptor jumlah dosen
ditentukan sebanyak 6 orang dosen tetap; dan untuk baku mutu minimal setiap jenjang pendidikan
ditentukan sebagai berikut:
1. Jenjang Diploma III: 6 orang dosen dengan tingkat pendidikan minimal S1.
2. Jenjang Sarjana (S-1) dan Diploma IV: 2 orang dosen berpendidikan Magister dan 4 orang
berpendidikan S1
3. Jenjang Magister: 2 orang dosen berpendidikan Doktor dan 4 orang berpendidikan Magister.
4. Jenjang Doktor: semua dosen berpendidikan Doktor dan 2 orang di antaranya mempunyai
jenjang jabatan akademik Guru Besar.
Jika prodi berdiri sebelum tahun 2002/1, 100% data EPSBED dihitung mulai semester 2002/1. Bila
ada laporan yang bolong sampai semester pelaporan, maka prodi tidak akan bisa diperpanjang
ijinnya. Per Agustus 2010, program EPSBED yang masih dalam perbaikan membuat wajib lapor
adalah 2008/2, karena laporan 2009/1 masih belum bisa dilakukan dengan baik.
Untuk program S1 dan D4, masa lapor wajib adalah dari 2005/1 sampai 2008/2. Untuk program D3,
S2, dan S3, masa laporan wajib adalah dari 2006/1 sampai 2008/2. Untuk prodi baru yang mulai
melaksanakan laporan awal 20081, masa transisi pengalihan program EPSBED memberi
13
Nurfitri Thio, Perpanjangan Ijin Program Studi Online, 20100804,
http://www.kopertis12.or.id/2010/08/04/perpanjangan-ijin-program-studi-online.html
SandoSasakoonHigherEducation
32. 20 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
kelonggaran untuk pengajuan perpanjangan ijin walaupun baru 2 kali pelaporan (20081 dan
20082).14
Per Januari 2009, perpanjangan izin operasional suatu prodi PTS dilakukan oleh Kopertis setelah
proses evaluasi dilakukan. Selama proses evaluasi dan dalam rangka verifikasi, Kopertis berhak
meminta persyaratan/dokumen penunjang seperti hasil scan SK perpanjangan izin operasional, akte
pendirian, akte pengesahan, atau lainnya. Mandat Kopertis diberikan berdasarkan SK Dirjen Dikti
No.68/DIKTI/Kep/2008.
Standar Minimal Mutu vs Standar Mutu Minimal
Diksi bisa kontradiktif bila fokus frase berbeda pada implementasi struktur bahasa MD atau DM,
Menerangkan Diterangkan atau Diterangkan Menerangkan. Frase pertama bisa diartikan sebagai
ada standar minimal untuk mutu, standar minimal untuk dibilang suatu produk bermutu. Sementara
frase kedua bisa diartikan yang minimum adalah standar mutunya, standar mutu yang lebih rendah,
poorly defined, loose requirements.
Secara linguistik dan etimologis, pembahasan setiap frase bersifat menantang. Ada polemik dan
kontroversi yang bisa tidak berkesudahan, kecuali ditarik benang merahnya sebagai kesimpulan
akhir. Kesimpulan akhir biasanya cenderung memihak ke salah satu kutub, dengan berbagai
argumentasi pendukung dan/atau penolakan. Simple as that. Sederhanakan?
Standar suatu produk bisa dengan sangat mudah disepakati, terutama bila ada spesifikasi dan ukuran
dengan standar internasional atau standar lainnya. Sifat standar bisa nasional, regional, atau bahkan
per asosiasi profesi atau lainnya. Klasifikasi produk saja bisa memiliki banyak standar, seperti SNI,
SITC, ISIC, CCCN, HS, atau lainnya. Strategi pigeon holing, remember?
Spesifikasi produk dengan satu atau beberapa standar bisa sangat memudahkan, atau sebaliknya.
Salah satu tujuan pemenuhan spesifikasi menurut suatu standar adalah pengakuan (accredited) yang
dinyatakan dalam bentuk sertifikasi terhadap produk atau proses bahwa produk atau proses produksi
tersebut fully compliant terhadap satu atau beberapa standar tertentu.
Produk dengan (standar) mutu yang lebih baik sering mendapat julukan sebagai premium product,
high quality superior product, atau lainnya. Hal tersebut berlaku pada produk yang bersifat fisik dan
nyata. Sementara untuk produk yang bersifat jasa dan abstrak, julukan yang biasa terdengar adalah
excellent services, service excellency, superior performance, atau lainnya.
14
Salinan SE Direktorat Akademik No.141 7/D2.5/2010 tertanggal 2 Juni 2010.
Yth. Sdr. Koordinator Kopertis Wilayah I – XI1
Sebagai tindak lanjut dari surat kami nomor : 0855/D2.512010 tanggal 5 April 2010, dengan ini kami sampaikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Laman baru : http://www.evaluasi.dikti.go.id sudah dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal diantaranya untuk
perpanjangan program studi, perubahan data kelembagaan, pengajuan NIDN, dan sebagainya. Sedangkan perangkat
lunak untuk pelaporan data EPSBED 200911 selambat-lambatnya akhir Juni 2010 sudah bisa digunakan.
2. Khusus untuk perpanjangan ijin penyelenggaraan program studi yang program studinya berdiri pada tahun 2008
(mulai dan untuk akademik 200811) dan saat ini sudah dimungkinkan untuk mengusulkan perpanjangan ijin
program studi, akan diberikan dispensasi untuk mengajukan perpanjangan ijin melalui laman dimaksud. Salah satu
syaratnya harus sudah mengirimkan laporan EPSBED untuk tahun akademik 200811 dan 200812.
3. Berkenaan dengan hal tersebut, maka bagi PTS yang telah mengusulkan perpanjangan ijin melalui laman baru dan
termasuk yang berdiri pada tahun 2008 serta memenuhi syarat untuk diperpanjang, maka Kopertis dapat
memberikan rekomendasi kepada kami untuk bisa diterbitkan surat perpanjangannya. Untuk mempercepat proses
surat rekomendasi Saudara dapat -di scan dan dikirimkan kepada kami melalui email : mulvono@dikti.no.id
4. Perlu kami informasikan bahwa pemberian dispensasi ini akan dihentikan, jika perangkat lunak pelaporan EPSBED
200911 sudah dapat berjalan dengan baik. Atas perhatian dan kerjasama Saudara kami ucapkan terima kasih.
Tembusan : Dirjen Pendidikan Tinggi
SandoSasakoonHigherEducation
33. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 21
Penjual, pembeli, dan konsumen pendidikan memiliki standarnya masing-masing. Karena standar
individu bersifat personal, sifat standar menjadi lebih ‘fleksibel’, tidak melulu dan harus kaku
seperti standar (ukuran) international. Ukuran yang menjadi standar seseorang bisa dinilai atas dasar
persepsi, sensasi (emosi), dan ekspektasi, yang semuanya subjektif, harus berbeda orang per orang.
Penjual jasa pendidikan diwakili oleh 2 pihak, yakni pendidik dan penyelenggara pendidikan
(tinggi). Pembeli jasa pendidikan diwakili oleh peserta didik. Sementara konsumen pendidikan
diwakili oleh masyarakat yang bisa dibedakan atas statusnya sebagai orang tua peserta didik,
penyedia lapangan kerja, dan pemerintah. Konsumsi (hasil) pendidikan sangat ditentukan oleh
kebutuhan masyarakat, kebutuhan industri, dan kebutuhan profesionalisme.
Dua unsur lain terkait mutu adalah waktu dan tempat. Mutu yang ditawarkan peserta didik yang
telah lulus proses belajar-mengajar (dari pendidik dan penyelenggara pendidikan sebagai alma
mater) tentunya berbeda dengan mutu yang diharapkan oleh konsumen pendidikan. Kualifikasi dan
kompetensi yang diharapkan konsumen pendidikan tentu berbeda pula dengan kualifikasi dan
kompetensi yang ditawarkan peserta didik pasca wisuda.
Dimensi Mutu dalam Pendidikan
Dimensi mutu pun berbeda menurut jenis konsumen (pendidikan). Di industri manufaktur, dimensi
mutu lebih banyak meminta persyaratan dan spesifikasi yang terukur menurut standar internasional,
dengan fokus utama lebih pada produk sebagai output yang tidak boleh cacat dalam hal dan/atau
selama proses produksi. Produk pun bisa dibuat secara massal dan harga bisa ekonomis.
Di industri jasa, dimensi mutu lebih banyak memperlihatkan interaksi yang tinggi antara penjual
jasa pendidikan dengan pembeli jasa pendidikan, yakni selama proses produksi. Sifatnya yang
subjektif dan personal membuat output produk tidak bisa dibuat secara massal, melainkan case by
case, dan aspek harga-biaya biasanya tidak bisa ekonomis dan sangat diskriminatif.
Beberapa dimensi mutu yang harus melekat pada penjual jasa pendidikan mencakup kompetensi,
kredibilitas, reliabilitas, aksesibilitas, keamanan, komunikasi, memahami dan ramah (courtesy)
terhadap pembeli jasa pendidikan, dan bisa dirasakan (tangible) pembeli jasa pendidikan.15
Urutan
dimensi mutu tergantung kebutuhan pembeli jasa pendidikan. Demikian pula urutan dimensi mutu
menurut preferensi konsumen dan penjual jasa pendidikan bisa berbeda satu sama lain.
Harvey dan Green (1993) mengidentifikasi 5 kelompok atau cara berpikir tentang mutu dalam
pendidikan. Watty meringkaskan aspek-aspek kunci dalam identifikasi yang dilakukan Harvey dan
Green, ke dalam 5 poin berikut:16
1. Pengecualian: distinctive, melekat dalam keunggulan, melampaui serangkaian standar minimum.
2. Kesempurnaan: tanpa cacat, menyelesaikan sesuatu dengan benar pada kali pertama (fokus pada
proses, bukan pada input dan output). Dalam prakteknya, dimensi mutu sebagai kesempurnaan
dapat dihilangkan, karena pendidikan tinggi pada dasarnya tidak bertujuan untuk menghasilkan
sarjana yang tanpa-cacat (defect-free).
3. Kecocokan pada tujuan: menghubungkan mutu pada tujuan, sesuai definisi penyedia.
4. Value for money: fokus pada efisiensi dan efektivitas, mengukur output terhadap input. Tujuan
populis daripada mutu (pemerintah).
15
David A. Garvin, Competing on the eight dimensions of quality. Harvard Business Review. Nov.1987,
https://hbr.org/1987/11/competing-on-the-eight-dimensions-of-quality/ar/1
16
K. Watty, “When will Academics Learn about Quality?,” Quality in Higher Education, Vol.9, No.3, 2003,
h.215.
SandoSasakoonHigherEducation
34. 22 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Figure 3 – Konsep mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan
Bagan – Konsep mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan
Sumber: Beniest et al, Quality assurance in agricultural education and training.
SandoSasakoonHigherEducation
35. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 23
Figure 4 – Dimensi mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan
Bagan – Dimensi mutu dalam pendidikan, Penjaminan mutu dalam pendidikan
Sumber: Beniest et al, Quality assurance in agricultural education and training.
SandoSasakoonHigherEducation
36. 24 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
5. Transformasi: perubahan kualitatif; pendidikan merupakan melakukan sesuatu terhadap peserta
didik, bukan terhadap konsumen. Termasuk diantaranya konsep peningkatan dan pemberdayaan:
demokratisasi proses, bukan hanya hasil.
Konsep Harvey dan Green (1993) pun dibahas pula oleh Beniest et al dengan menguraikan setiap
aspek kunci tentang mutu dalam pendidikan:17
1. Mutu sebagai pengecualian, terdiri dari tujuan tradisional, pengecekan terhadap standar dan
keunggulan lebih dari standar.
2. Mutu sebagai kesempurnaan atau konsistensi, terdiri dari keunggulan tanpa cacat dan budaya
mutu.
3. Mutu sebagai kecocokan pada tujuan, terdiri dari kepuasan pelanggan dan pemenuhan misi.
4. Mutu sebagai nilai uang, terdiri dari indikator kinerja dan kontrak pelanggan (customer charters).
5. Mutu sebagai transformasi, terdiri dari pemberdayaan peserta dan mempertinggi peserta.
Dengan mengadaptasi beberapa konsep dari Maxwell (1992); Srikanthan & Dalrymple (2002);
Mergen et al. (2000), Beniest et al mengemukakan teorinya tentang dimensi mutu ke dalam bagan
tersendiri. Mereka berpendapat bahwa ada 5 faktor yang melekat pada dimensi mutu dalam
pendidikan, yakni mutu kinerja, mutu conformance dan mutu disain di satu sisi, serta staff-student
interface dan relevansi di sisi lain.
Dimensi mutu dalam pendidikan dimulai dengan fokus pada aspek value for money. Penyedia
layanan pendidikan dituntut untuk ekonomis, efisien, memiliki disain terhadap mutu dan indikator
kinerja mutu. Termasuk didalamnya keahlian manajemen, proses pengajaran, hasil pembelajaran,
serta mempertimbangkan staff-student interface.
Interaksi yang tinggi antara penjual jasa pendidikan dan pembeli jasa pendidikan membedakan
berbagai prinsip dan implementasi dari konsep quality control dan quality assurance. Fokus quality
control terletak pada mutu output yang sesuai dengan spesifikasi dan standar yang telah ditentukan.
Sementara quality assurance, sangat tergantung pada interaksi kedua pihak, dan tentunya di pihak
pembeli jasa pendidikan.
Pembeli jasa pendidikan tidak melulu harus tergantung pada in-take dan input dari penjual jasa
pendidikan. Pembeli jasa pendidikan harus punya inisiatif yang tinggi terhadap apa yang ingin dia
bisa dan raih setelah wisuda, baik personal, individual, maupun dalam bentuk dan kerjasama tim,
sekuensil atau menurut kompartemen. Faktor inisiatif tidak terbatas pada aspek kreativitas dan
motif, melainkan juga pada hal-hal positif lainnya.
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan
Pengendalian mutu dan penjaminan mutu merupakan bagian dari manajemen muitu. Berbagai
konsep dan model manajemen mutu pun sudah cukup banyak ditawarkan dan diimplementasikan di
seluruh penjuru dunia. Walau demikian, prakteknya tidak melulu harus sesuai dengan ide awal dan
konsep orisinil.
Beberapa faktor penyesuai mencakup pemenuhan local content yang tidak sederhana dan mudah,
seperti bahasa, kebiasaan, adat, budaya, kepercayaan, persepsi, perspektif. The simple things in life.
Walau masyarakat dunia mulai mengerucut menjelma menjadi masyarakat post-modern, local
17
Jan Beniest, Wayne Nelles, Thomas Zschocke, Quality assurance in agricultural education and training, CGIAR
& UNU Institute for Environment and Human Security, UN CSD-16 Learning Centre, 20080515,
http://www.un.org/esa/sustdev/csd/csd16/LC/presentations/cgiar.pdf.
SandoSasakoonHigherEducation
37. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 25
content sebagai bumbu dan penambah cita rasa membuat kehidupan lebih terasa unik, bermakna,
dan variatif.
Penjaminan mutu menjadi lebih bermakna dan bisa lebih signifikan bisa ada progress, kemajuan,
standar yang semakin tinggi seperti undakan dan jenjang tangga yang semakin menaik. Walau
demikian, permasalahan utama dalam penjaminan mutu pendidikan adalah tangganya mau naik ke
mana, begitu pula pertanyaan lanjutan seperti tujuan dan arah pendakian.
Tabel – Beberapa model manajemen mutu
Model Definition
TQM A comprehensive management approach which requires contribution from all participants in
the organisation to work towards long-term benefits for those involved and society as a
whole.
EFQM excellence model Non-prescriptive framework that establishes nine criteria (divided between enablers and
results), suitable for any organisation to use to assess progress towards excellence.
Balanced scorecard Performance/strategic management system which utilises four measurement perspectives:
financial; customer; internal process; and learning and growth.
Malcolm Baldridge award Based on a framework of performance excellence which can be used by organisations to
improve performance. Seven categories of criteria: leadership; strategic planning; customer
and market focus; measurement, analysis, and knowledge management; human resource
focus; process management; and results.
ISO 9000 series International standard for generic quality assurance systems. Concerned with continuous
improvement through preventative action. Elements are customer quality and regulatory
requirements, and efforts made to enhance customer satisfaction and achieve continuous
improvement.
Business process re-
engineering
System to enable redesign of business processes, systems and structures to achieve improved
performance. It is concerned with change in five components: strategy; processes;
technology; organisation; and culture.
SERVQUAL Instrument designed to measure consumer perceptions and expectations regarding quality of
service in five dimensions: reliability; tangibles; responsiveness; assurance and empathy; and
to identify where gaps exist.
Sumber: Nina Becket dan Maureen Brookes, Quality Management Practice in Higher Education – What Quality Are
We Actually Enhancing?
Keterangan: TQM: Total Quality Management; EFQM: European framework for quality management; SERVQUAL:
Service Quality
Table 3 - Beberapa model manajemen mutu
Figure 5 – Manajemen Kendali Mutu
Bagan – Manajemen Kendali Mutu
Sumber: Kantor Jaminan Mutu UGM, “Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi”, Pelatihan, UGM, Yogyakarta,
2006.
SandoSasakoonHigherEducation
38. 26 – Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia
Figure 6 – Siklus Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
Bagan – Siklus Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
Sumber: Tirza Hanum, Kebijakan Nasional Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SPM-PT), Sub Tema:
Sinkronisasi Sistim Penjaminan Mutu Internal (SPM-PT), EPSBED dan Penjaminan Mutu Eksternal (Akreditasi),
Kopertis Menado, 22.11.2006.
SandoSasakoonHigherEducation
39. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia – 27
Ketika sampai pada analogi pemikiran seperti ini, rencana dan strategi pendidikan yang visionary
merupakan jawabannya. Gerbong kereta api itu selalu ada yang di depan, ada yang di tengah, dan
ada yang di belakang. Lokomotif pun tidak akan pernah bisa bergerak maju bila tidak ada bahan
bakar dan rel yang harus dilalui. Herd behaviour sangat mungkin membuat lokomotif semakin
meninggalkan gerbong yang terpisah jauh dalam hal jarak dan waktu.
Anak tangga yang dimaksud bisa dianalogikan sebagai standar yang ingin dilewati. Sementara
proses untuk naik ke jenjang berikutnya disebut siklus penjaminan mutu yang akan selalu berulang
setelah satu tahapan berhasil dilewati. Penetapan titik-titik kendali mutu (quality check-points) pada
setiap jenjang merupakan conditio sine qua non atau a must.
Dalam konsep Kaizen, continuous improvement, anak tangga tersebut dinyatakan sebagai standar
(SDCA, Standard, Do, Check, Action), sementara upaya Pendakian disebut PDCA (Plan, Do,
Check, Action). Prakteknya terhadap objek mutu membuat konsep ini lebih dikenal dengan istilah
CQI, Continuous Quality Improvement.
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia
Menurut Permendiknas No.63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP), SPMP
didefinisikan sebagai subsistem dari sisdiknas. Penjaminan mutu pendidikan diharapkan bisa
meningkatkan mutu pendidikan dan tingkat kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa melalui
berbagai kegiatan sistemik dan terpadu oleh penyelenggara pendidikan.
Penyelenggara pendidikan bisa berupa satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau
program pendidikan, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat. Targetnya pun terbagi
atas 3 tingkatan acuan mutu pendidikan, yakni SPM (Standar Pelayanan Minimal), Standar
Nasional Pendidikan (SNP), dan standar mutu pendidikan di atas SNP.
SPM khusus untuk sektor pendidikan, pengaturan yang cukup teknis terdapat dalam Permendiknas
No.63/2009. Sifatnya yang berhubungan dengan layanan publik dan sektor pemerintahan membuat
SPM pendidikan memiliki relevansi setidaknya dengan 3 aturan hukum diatasnya, yakni:
1. UU No.29/2009 tentang Pelayanan Publik (LNRI~2009 No.112, TLNRI No.5038).
2. PP No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah (Pusat),
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
3. PP No.65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Dasar Hukum SPMP setingkat Undang-Undang
1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen.
3. UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
4. PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
(yang mencabut segala hal yang mengatur tentang pendidikan tinggi di PP No.66/2010 dan PP
No.17/2010).
Dasar Hukum SPMP terkait Renstra di bidang Pendidikan
5. Permenristekdikti No.13/2015 tentang Renstra KemRisTekDikTi Tahun 2015-2019.
6. Permendikbud No.22/2015 tentang Renstra Kemendikbud Tahun 2015-2019
7. Permendiknas No.2/2010 tentang Renstra Kemdiknas Tahun 2010-2014.
8. Permendiknas No.32/2005 tentang Renstra Kemdiknas Tahun 2005-2009.
9. HELTS (Higher Education Long Term Strategy) 2003-2010.
10. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) 1996-2005.
SandoSasakoonHigherEducation