Penelitian ini mengkaji pengaruh lingkungan tumbuh dan umur tanaman terhadap produksi dan kualitas simplisia purwoceng di Dieng dan Gunung Putri. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi dan kualitas simplisia lebih tinggi di Dieng dibandingkan Gunung Putri, yang disebabkan oleh kondisi lingkungan dan kesuburan tanah yang lebih baik di Dieng. Produksi meningkat seiring bertambahnya umur tanaman.
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
68 124-1-sm
1. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
310
PRODUKSI DAN MUTU SIMPLISIA PURWOCENG BERDASARKAN
LINGKUNGAN TUMBUH DAN UMUR TANAMAN
(Production and Quality of Purwoceng in Different Locations and Plant Ages)
Mono Rahardjo1)
, I. Darwati1)
dan A. Shusena2)
1)
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
2)
PT. Gujati 59 Utama
Abstract
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb) commonly used as aphrodisiac, and indigenous to
Dieng, is now classified as endangered commodity. However it has potential to adapt to other
locations (ex situ). This experiment aiming at studying the effect of locations and plant ages on
quantity and quality of production was conducted in Dieng, Wonosobo, Central Java (in situ) and
Gunung Putri, Cipanas, West Java (ex situ), during 2004 and 2005. Plant ages were applied at 3,
6 and 9 months. Ten plants were sampled from each 200 m2
crops. The results showed that total
production of dry matters of simplisia at 3, 6 and 9 months in Dieng were 15.30, 68.55 and
95.25 g/10 plants respectively higher than the dry matters of simplisia in Gunung Putri at similar
ages. Simplisia production at 3 months was rather low (39.40 g), then increased 2.58 times after
6 months and 3.91 times after 9 months in Dieng. Sitosterol content was found only on plant root
in Dieng. Stigma sterol was found on shoot and root, however vitamin E was found only on shoot
at 3, 6 and 9 months of harvesting , both in Dieng and Gunung Putri. Bergapten and vitamin E in
shoot, vitamin E in root was higher in Dieng than in Gunung Putri. Production and quality of
simplisia were higher in Dieng than production and quality of simplisia in Gunung Putri.
Keyword: Pimpinella pruatjan Molkenb, plant location, plant age, production and quality
Naskah diterima tanggal 2 Desember 2005, disetujui tanggal 11 Desember 2006
Alamat koresponden:
Jl. Ir. H. Juanda No. 22, Bogor, 16122
PENDAHULUAN
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb)
sebagai obat untuk meningkatkan vitalitas pria, secara
empiris turun temurun sudah diketahui. Herba
purwoceng banyak dimanfaatkan kususnya di daerah
Dieng Wonosobo, bahkan telah menyebar ke banyak
daerah (1). Secara ilmiah khasiat purwoceng sebagai
afrodisiak sedang diteliti. Hasil penelitian
Taufiqurrachman dan Wibowo (2) menunjukkan
bahwa ekstrak purwoceng cenderung dapat
meningkatkan testosteron hewan percobaan tikus
jantan. Hasil penelitian ini merupakan petunjuk awal
secara ilmiah bahwa purwoceng berfungsi sebagai
afrodisiak.
Terdapat kecenderungan peningkatan
penggunaan obat afrodisiak di dunia termasuk di
Indonesia. Fenomena ini berdampak terhadap
besarnya minat industri obat tradisional untuk
membuat produk jamu berbahan baku purwoceng,
sehingga nilai jual simplisianya meningkat. Harga
herba segar simplisia purwoceng mencapai Rp
75.000/kg (3). Berdasarkan kajian analisis usahatani
purwoceng, dalam satu kali masa tanam selama 1
tahun diperoleh keuntungan sebesar Rp
333.625.000/ha dengan modal usaha Rp 104.000.000
(1).
Purwoceng, tanaman obat asli Indonesia
tumbuh subur pada tempat berketinggian 2.000 -
3.000 m dpl (di atas permukaan laut) (4). Sebelum
dibudidayakan tanaman purwoceng yang merupakan
tanaman liar, tumbuh di bawah tegakan hutan
Pegunungan Dieng. Tanaman ini sudah termasuk
kategori langka, sekarang hanya dijumpai di
Pegunungan Dieng dalam koleksi kecil-kecilan oleh
petani pemerhati purwoceng (3).
Perkembangan usaha industri obat
tradisional yang meningkat dan nilai jual herba yang
sangat tinggi ikut menjadi pemicu penambangan
purwoceng secara besar-besaran. Penambangan
herba tanpa diikuti budidaya menyebabkan
purwoceng makin langka dan membahayakan masa
depan tanaman ini. Usaha pertanian secara intensif di
Pegunungan Dieng dan sekitarnya, menjadi salah satu
faktor tergesernya komoditas purwoceng oleh
komoditas sayuran terutama kentang yang dapat
dipenen tiga kali dalam setahun. Untuk mengurangi
2. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
311
pengaruh kompetisi dengan tanaman kentang di
habitat asli purwoceng, maka dilakukan penelitian
pengembangannya di luar habitat asli.
Pada umumnya, produktivitas purwoceng
dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan umur panen
tanaman. Semakin panjang umur tanaman semakin
tinggi produksi herba yang dapat dipanen. Hasil
penelitian terhadap pengaruh umur tanaman
menjelaskan, bahwa kadar metabolit sekunder
meningkat pada fase generatif tanaman obat
penghasil herba, juga tergantung pada genera,
species, atau strain tanaman (5). Selain itu
mungkinkah waktru panen purwoceng dapat
dipercepat, agar petani lebih cepat memetik hasil.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh lingkungan tumbuh dan umur panen
terhadap produktivitas dan mutu herba purwoceng.
Informasi ini menjadi petunjuk untuk pengembangan
purwoceng di luar habitatnya.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2004-
2005 di dataran tinggi Dieng (1.990 m dpl) dan di
dataran tinggi Gunung Putri (1.540 m dpl). Gunung
Putri dikategorikan sebagai luar habitat asli (ex situ).
Kondisi agro-ekologi dan kesuburan tanah lokasi
penelitian dicatumkan pada Tabel 1. Perlakuan
penelitian ini meliputi dua lingkungan tumbuh dan
tiga umur panen. Dua lingkungan tumbuh tersebut
adalah: (1) Dataran tinggi Dieng dan (2) Gunung
Putri, sedangkan tiga perlakuan umur panen adalah
umur: (a) 3 bulan, (b) 6 bulan dan (c) 9 bulan.
Penelitian menggunakan jarak tanam 40 x 30 cm pada
lahan seluas 200 m2
di masing-masing lokasi. Dosis
pupuk yang diberikan adalah 20 t pupuk kandang/ha,
400 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha dan 300 kg KCl/ha.
Penanaman dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2004.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman
di musim kemarau dan penyiangan percobaan tiap
dua bulan selama pertumbuhan. Selama penelitian
tidak dialami gangguan hama dan penyakit, sehingga
pengendaliannya baik dengan pestisida maupun cara
lain tidak dilakukan. Tanaman dinaungi dengan
paranet dengan tingkat naungan 25%. Kegiatan ini
merupakan suatu kegiatan observasi dengan cara
pengambilan contoh tanaman (spesimen) secara acak
pada waktu panen di satu hamparan pertanaman
purwoceng. Pengambilan contoh tanaman di ke dua
lokasi dilakukan pada umur 3, 6 dan 9 bulan,
masing-masing berjumlah 10 tanaman. Contoh
tanaman pada umur panen 12 bulan tidak diambil,
karena tanaman telah masak penuh dan mengalami
senesen pada umur 10 bulan.
Tabel 1. Karakteristik agro-ekologi dan sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian
di Dieng dan Gunung Putri.
Uraian Dieng Gunung Putri
Tinggi tempat (m dpl) 1.990 1.540
Suhu udara 15–210
C 15,5-25,80
C
Kelembaban udara 60 – 75% 60-95%
Curah hujan > 4.000 mm > 4.000 mm
Fraksi pasir (%) 17,19 67,07
Fraksi debu (%) 62,45 21.31
Fraksi liat (%) 20,36 9,62
pH H2O 5,65 5,41
pH KCl 5,12 5,04
C organik 6,26 3,77
N total (%) 0,35 0,27
C/N ratio 17,89 13,96
P tersedia (ppm) 7,09 1,31
S (ppm) 24,70 20,11
Basa dd (me/100g) :
Ca 7,89 6,43
Mg 1,16 0,71
K 1,08 0,35
Na 0,31 0,23
KTK 25,20 17,00
Parameter yang diamati meliputi komponen
pertumbuhan seperti: bobot segar dan bobot kering
bagian tajuk (batang + daun + bunga/biji) dan akar
serta mutu simplisia sepert: kadar air, kadar abu,
3. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
312
kadar sari larut alkohol dan larut air, serta komponen
steroid terdiri atas: sitosterol, stigma sterol,
(stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan (stigmasta-7, 25 dien-
3-ol), komponen atsiri terdiri atas: germacrene, β-
besabolene, β-caryophylline, α-humulene, dan
carvacrol, turunan furanokumarin terdiri atas:
bergapten dan xanthotoxin.
Contoh tanaman diambil dengan cangkul
sedemikian sehingga tidak terjadi kerusakan akar atau
ada yang tertinggal. Hasil panen tersebut dicuci
bersih dengan air mengalir, kemudian dikering-
anginkan. Setelah dipisah diadakan penimbangan
terhadap akar dan tajuk untuk mengetahui bobot
segar ke dua bagian itu. Masing-masing bagian
dipotong-potong dengan ukuran lebih kurang 0,5 cm,
masing-masing dikeringkan di dalam oven pada suhu
50o
C selama 96 jam. Setelah simplisia purwoceng
mencapai kering mutlak ditimbang untuk
memperoleh bobot keringnya. Analisis komponen
kimia diamati dengan menggunakan alat GSMS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Simplisia
Produksi simplisia purwoceng berupa
biomas segar dan kering di habitat asli (Dieng) lebih
tinggi dari pada produksi tanaman di luarnya
(Gunung Putri). Total produksi simplisia (tajuk dan
akar) segar pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan
berturut-turut 141,25 g, 756,70 g dan 996,05 g/10
tanaman di Dieng dan 136,78 g, 211,25 g dan 400,15
g/10 tanaman di Gunung Putri, menunjukkan
perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu 4,47 g (3,26%),
545,45 g (258,20%) dan 595,90 g (148,91%) berturut-
turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan (Tabel 2).
Gambaran serupa juga terjadi untuk bobot kering
siplisia tajuk dan akar pada umur panen 3, 6 dan 9
bulan, yaitu berturut-turut 39,40 g, 101,80 g dan
154,00 g/10 tanaman di Dieng dan 24,10 g, 33,25 g
dan 58,75 g/10 tanaman di Gunung Putri (Tabel 3),
menunjukkan perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu
15,30 g (63,48%), 68,55 g (206,16%) dan 95,25 g
(162,12%) berturut-turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan.
Rendahnya produksi simplisia di Gunung
Putri pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan diduga selain
dipengaruhi oleh kondisi tempat seperti elevasi (lebih
rendah), suhu udara (lebih tinggi), kelembaban udara
(lebih tinggi) dan kesuburan tanah (lebih rendah)
(Table 1) yang kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan purwoceng. Kecenderungan ini sejalan
dengan pernyataan Santoso et al. (6) dan Karama et
al. (7).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah di
Gunung Putri dibandingkan dengan tanah Dieng
dicirikan oleh fraksi pasir yang lebih tinggi, C-
organik yang lebih rendah dan kandungan N, P, K,
Ca dan Mg di dalam tanah yang lebih rendah (Tabel
1). Penampilan tanaman purwoceng di Gunung Putri
kurang subur, sehingga hasil biomas di Gunung Putri
lebih rendah dibandingkan dengan hasil biomas
tanaman di Dieng. Produktivitas purwoceng di
Gunung Putri masih berpeluang ditingkatkan dengan
penambahan dosis pupuk baik organik maupun
anorganik. Karena berdasarkan hasil pengamatan
secara visual, ada beberapa tanaman purwoceng yang
pertumbuhannya lebih subur pada tanah yang tingkat
kesuburanya lebih tinggi.
Tabel 2. Bobot segar biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman
(bulan) Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
3 103,15 38,10 141,25 108,24 28,54 136,78
6 684,65 72,05 756,70 161,20 50,05 211,25
9 915,80 80,25 996,05 327,00 73,15 400,15
Sebagian besar biomas purwoceng terdapat
di tajuk yaitu sekitar 80 – 98%, sisanya di akar.
Beberapa pemerhati purwoceng berpendapat
(komunikasi pribadi), bahwa yang mempunyai
khasiat afrodisiak adalah akarnya saja. Namun hasil
penelitian Taufiqurrachman dan Wibowo (2) dan
Rahardjo et al. (13), semua bagian tanaman termasuk
tajuk (batang + daun + bunga/buah) juga mengandung
bahan berkhasiat afrodisiak dan cenderung dapat
meningkatkan testosteron hewan percobaan tukus
jantan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani
purwoceng, biasanya purwoceng dipanen pada umur
9 – 12 bulan, bahkan ada yang pada umur di atas satu
tahun, namun pada saat-saat petani sangat
memerlukan uang, petani juga memanen tanamannya
pada umur 6 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan
tanaman telah mencapai masak maksimal pada umur
4. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
313
10 bulan di kedua tempat, pada umur ini bijinya
sudah masak dan daunnya mulai rontok (senesen).
Apabila tanaman tidak dipanen pada saat ini, akan
mengalami stagnasi pertumbuhan dan kemudian
bersemi kembali dan tumbuh di tahun berikutnya.
Tabel 3. Bobot kering biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman
(bulan) Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
3 30,50 8,90 39,40 19,22 4,88 24,10
6 90,90 10,90 101,80 27,60 5,65 33,25
9 140,75 13,25 154,00 48,75 10,00 58,75
Tabel 4. Kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol, serta kadar abu simplisia (tajuk + akar)
purwoceng.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan)Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Kadar air (%) 9,41 9,28 8,80 9,52 9,40 9,25
Kadar sari larut alkohol (%) 4,42 4,02 4,24 4,30 4,35 4,28
Kadar sari larut air (%) 32,42 26,55 42,25 30,25 31,05 39,45
Kadar abu (%) 11,98 12,6 10,29 11,40 10,90 10,25
Semakin panjang umur tanaman semakin
tinggi hasil biomas, seperti yang diperlihatkan oleh
pertanaman di Dieng dan di Gunung Putri. Tanaman
yang dipanen pada fase vegetatif (umur 3 bulan),
hasil biomas kering masih sangat sedikit, kemudian
menjadi 2,58 kali pada umur 6 bulan dan 3,91 kali
pada tanaman berumur 9 bulan di Dieng (Tabel 3).
Sedangkan hasil biomas kering di Gunung Putri umur
panen 3 bulan baru mencapai 24,10 g/10 tanaman,
menjadi 1,38 kali pada umur panen 6 bulan dan 2,44
kali pada umur 9 bulan. Tanaman purwoceng umur 6
bulan sudah mulai berbunga baik yang di Dieng
maupun di Gunung Putri. Pada umumnya tanaman
obat mulai dapat dipanen pada saat tanaman sudah
mulai berbunga, diasumsikan metabolit sekunder
sudah terbentuk secara optimal di dalam jaringan
tanaman.
Mutu Simplisia
Secara empiris dan turun temurun dari nenek
moyang kita hingga saat ini, purwoceng telah dan
terus dimanfaatkan sebagai obat kuat pria. Namun
belum banyak hasil penelitian yang merinci
komponen kimia apa saja yang terkandung di dalam
simplisia purwoceng, sehingga berfungsi sebagai
afrodisiak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar abu, kadar sari larut alkohol dan air tidak
banyak dipengaruhi baik oleh lingkungan tumbuh
maupun umur tanaman (Tabel 4). Berdasarkan hasil-
hasil penelitian terahulu, bahwa kadar abu, kadar sari
larut alkohol dan sari larut air lebih banyak
dipengaruhi oleh proses pasca panen.
Porwoceng sebagai afrodisiak mengandung
metabolit sekunder berupa komponen kimia
kelompok steroid, atsiri, furanokumarin dan vitamin,
yang terdapat baik di jaringan tajuk maupun di akar.
Namun jumlah komponen kimia di jaringan tajuk
lebih banyak jenisnya dari pada di akar, hal ini
disebabkan proses pembentukan (sintesis) metabolit
sekunder terdapat di jaringan tajuk terutama di daun,
termasuk steroid diproduksi pada bagian sitosol dan
plastid di dalam sel (8).
Kelompok steroid terdiri atas: sitosterol,
stigma sterol, (stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan
(stigmasta-7, 25 dien-3-ol). Sitosterol hanya
ditemukan pada akar tanaman purwoceng umur 3 dan
6 bulan yang ditanam di Dieng (Tabel 5), tetapi tidak
ditemukan pada umur 9 bulan. Hal ini disebabkan
sitosterol dapat dikonversi ke dalam bentuk
komponen steroid lainnya dan ratio sitosterol dengan
stigma sterol dapat berubah pada kondisi tanaman
senesen (9). Disamping itu, sitosterol di dalam
jaringan tanaman berfungsi sebagai permeabilitas
5. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
314
membran sel (10), sehingga sitosterol pada tanaman
lebih banyak diproduksi pada fase vegetatif.
Stigma sterol ditemukan pada tajuk dan akar
dari tanaman berumur 3 , 6 dan 9 bulan baik di Dieng
maupun di Gunung Putri, dengan kadar lebih tinggi di
Dieng. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ditemukan pada
tanaman berumur 3 dan 6 bulan di Dieng dan di
Gunung Putri pada tanaman berumur 3, 6 dan 9
bulan. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol ditemukan hanya
pada tanaman purwoceng umur 9 bulan di Dieng.
Tabel 5. Kandungan komponen kimia tajuk purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan)
Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Komponen steroid:
1. Stigmasterol (ppm) 0,048 0,036 0,064 0,053 0,045 0,051
2. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ada ada - ada ada ada
3. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol - - ada - - -
Komponen atsiri:
1. Germacrene ada ada - ada ada -
2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada
3. β-Caryophylline - - ada ada ada ada
4. α-Humulene - - ada - - ada
5. Carvacrol - - ada ada - -
Turanan Furanokumarin:
1. Bergapten (ppm) - - 5,19 1,94 3,20 3,18
2. Xanthotoxin ada - - - - -
Vitamin E (ppm) 0,084 0,111 0,053 0,066 0,048 0,054
Keterangan:
- : tidak terdeteksi
Kadar stegma sterol di tajuk tidak berbeda
antara purwoceng di Dieng dan di Gunung Putri,
namun kadar stegma sterol akar purwoceng di Dieng
lebih tinggi dari pada di Gunung Putri (Tabel 4).
Sintesis metabolit sekunder termasuk steroid
dipengaruhi oleh proses metabolisme primer (5,11)
tanaman yang lebih subur akan mengasilkan
metabolit sekunder lebih banyak, karena produk
metabolit primernya tinggi. Oleh karena itu
purwoceng di Dieng lebih tinggi kandungan metabolit
sekundernya dari pada purwoceng di Gunung Putri.
Akar purwoceng di Dieng mengandung
sitosterol, sedangkan di Gunung Putri tidak (Tabel
5), hal ini disebabkan sitosterol dapat dikonversi
menjadi komponen steroid yang lain. Dilihat dari
jumlah dan macam kompenen metabolit sekunder,
simplisia purwoceng di Dieng lebih tinggi mutunya
dari pada simplisia purwoceng di Gunung Putri.
Kadar stigma sterol dan sitosterol pada akar dapat
meningkat dengan perlakuan pemupukan
dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk
(12), oleh karena itu diperkirakan dengan
meningkatnya tingkat kesuburan tanah dan tanaman
maka mutu simplisianya dapat meningkat.
Steroid merupan komponen kimia berkhasiat
dalam sintesis hormon testoteron pada manusia (2).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak ayam
yang diberi ramuan ekstrak purwoceng pertumbuhan
jenggernya lebih cepat.
Purwoceng selain mengandung steroid juga
mengandung atsiri dengan turunannya yang meliputi
germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α-
humulene, dan carvacrol. Komponen ini jenisnya
lebih banyak pada jaringan tajuk daripada akar. Pada
jaringan akar hanya ditemukan germacrene dan β-
besabolene sedangkan pada tajuk ditemukan
germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α-
humulene dan carvacrol, hal ini disebabkan atsiri
disintesis di dalam daun.
Germacrene pada jaringan tajuk ditemukan
pada tanaman umur 3 dan 6 bulan baik di Dieng
maupun di Gunung Putri, β-caryophylline ditemukan
pada tanaman umur 3 dan 6 bulan di Dieng dan pada
umur 3, 6 dan 9 bulan di Gunung Putri. Sedang β-
caryophylline ditemukan pada tanaman berumur 9
bulan di Dieng dan pada tanaman umur 3, 6 dan 9
bulan di Gunung Putri. Bagaimanapun, α-humulene
hanya ditemukan pada tanaman umur 9 bulan baik di
Dieng maupun di Gunung Putri. Carvacrol
ditemukan pada tanaman umur 9 bulan di Dieng pada
umur 3 bulan di Gunung Putri. Tidak ada perbedaan
6. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
315
turunan atsiri antara hasil purwoceng di Dieng dan di
Gunung Putri (Tabel 4 dan 5).
Purwoceng juga mengandung turunan
furanokumarin yaitu bergapten dan xanthotoxin.
Bergapten ditemukan pada jaringan tajuk tanaman
pada umur 9 bulan di Dieng dan pada umur 3, 6 dan 9
bulan di Gunung Putri. Bergapten juga ditemukan
pada jaringan akar tanaman purwoceng pada saat
tanaman berumur 6 bulan di Gunung Putri.
Bergapten pada jaringan tajuk tanaman pada umur 9
bulan di Dieng mencapai (5,19 ppm) lebih tinggi
daripada di Gunung Putri (3,18 ppm), perbedaannya
cukup tinggi yaitu 2,01 ppm (63,20%) (Tabel 4).
Xanthotoxin hanya ditemukan pada jaringan tajuk
tanaman di Dieng. Dilihat dari kandungan bergapten,
simplisia di Dieng mutunya lebih tinggi dari pada di
Gunung Putri.
Vitamin E hanya ditemukan pada jaringan
tajuk tanaman baik di Dieng maupun di Gunung
Putri. Kadar vitamin E tertinggi ditemukan di Dieng
pada tanaman umur 6 bulan, yaitu tanaman yang
mulai berbunga. Perbedaan kandungan komponen
kimia yang mencolok antara purwoceng di Dieng dan
di Gunung Putri adalah sitoterol yang hanya terdapat
pada tanaman purwoceng yang ditanam di Dieng.
Vitamin E di Dieng lebih tinggi dibandingkan hasil di
Gunung Putri (Tabel 4 dan 5).
Tabel 5. Kandungan komponen kimia akar purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri.
Dieng
Umur tanaman (bulan)
Gunung Putri
Umur tanaman (bulan)
Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Sterol:
1. Stigma sterol (ppm) 0,067 0,047 0,003 0,005 0,020 0,006
2. Sitosterol (ppm) 6,41 10,29 - - - -
Atsiri:
1. Germacrene - - - ada - -
2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada
Turanan Furanokumarin:
Bergapten (ppm) - - - - 1,036 -
Keterangan:
- : tidak terdeteksi
Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung
Putri (ex situ), namun produksi dan mutunya lebih
rendah daripada di Dieng (in situ). Diperkirakan
dengan meningkatkan kesuburan tanah Gunung Putri
melalui pemberian pupuk yang optimal dengan
diimbangi pemberian pupuk oganik yang tinggi maka
dapat meningkatkan produksi dan mutu simplisia.
KESIMPULAN
1. Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri
(ex situ), namun produksi dan mutunya lebih
rendah dari pada di Dieng (in situ).
2. Total produksi simplisia purwoceng kering di
Dieng lebih tinggi dari pada di Gunung Putri,
perbedaannya berturut-turut 15,30 g (63,48%),
68,55 g (206,16%) dan 95,25 g (162,12%) pada
umur 3, 6 dan 9 bulan.
3. Total produksi simplisia kering masih sangat
sedikit pada tanaman umur 3 bulan, yaitu 39,40
g/10 tanaman, menjadi 2,58 kali pada umur 6
bulan dan 3,91 kali pada umur 9 bulan di
Dieng dan di Gunung Putri umur 3 bulan hanya
mencapai 24,10 g/10 tanaman, menjadi 1,38 kali
pada umur 6 bulan dan 2,44 kali pada umur 9
bulan.
4. Kandungan bergapten dan vitamin E pada
jaringan tajuk lebih tinggi di Dieng, namun
kandungan stigma sterol pada jaringan tajuk
tidak berbeda antara hasil di Dieng dan di
Gunung Putri.
5. Kandungan stigma sterol pada jaringan akar
purwoceng lebih tinggi di Dieng dari pada di
Gunung Putri dan sitosterol hanya terdapat pada
jaringan akar tanamn di Dieng. Stigma sterol
dan vitamin E ditemukan pada jaringan tajuk
tanaman pada ketiga umur panen baik di Dieng
maupun di Gunung Putri.
6. Akar purwoceng mengandung stigma sterol pada
ketiga umur panen baik di Dieng maupun di
Gunung Putri.
DAFTAR RUJUKAN
1. Rahardjo, M. 2005. Purwoceng, budidaya dan
pemanfaatan untuk obat perkasa pria. Buku
Tanaman Obat G LXXIV/1032/2005. Penebar
Swadaya. 59 hal.
2. Taufiqurrachman and S. Wobowo. 2005.
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
experimental study in male rats sprague dawley.
Makalah disamnpaikan pada Seminar Nasional
7. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
316
Tumbuhan Obat Indonesia POKJANAS TOI
ke XXVIII, tanggal 15-16 September 2005 di
Bogor. 8 hal.
3. Rahardjo, M. 2003. Purwoceng tanaman obat
afrodisiak yang langka, Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Puslitbang-
bun 9(2):4-7.
4. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia (Buku III). Dept. Kehutanan, Jakarta.
1550 hal.
5. Herbert, R.B. 1998. The biosynthesis of
secondary metabolites. Second Edition,
Chapman and Hall, London, New York, 23 hal.
6. Santoso, D., J.S. Adiningsih, and Heryadi. 1989.
N, S, P and K status of soils in Islanda outside
Java. Sulfur fertilizer polecy for lowland and
upland rice cropping systems in Indonesia, Aciar
Proceedings : 77-82.
7. Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan.
1990. Penggunaan pupuk oragaik pada tanaman
pangan. Proseeding Lokakarya Nasional
Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13
Nopember 1990, Puslittanak : 395-425.
8. Hartmann, M.A. and L. Wentzinger. 2006.
Tobaco BY-2 cells as an useful experimental,
system for investigating regulation of the sterol
pathway. http://www.mete.mtesz.hu/pls/pro-
ceedings/eloadasok-pdf/0-1-2 hartmann pdf,
Januari 2006.
9. Moreao, R.A., B.D. Whitaker, K.B. Hicks. 2002.
Phytosteros, phytostanols, and their conjugates in
food : structursl diversity, quantitative analisys,
and health-promoting uses. Progres in Lipid
Research 41: 457-500.
10. Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant
physiology. Sinauer associate, Inc. Publishers,
Massechusetts. 689 hal.
11. Dalimoenthe, S.L. 1987. Kultur jaringan sebagai
sarana untuk menghasilkan metabolit sekunder.
Seminar Nasional Metabolit Sekunder,
Yogyakarta : 157-161.
12. Rahardjo, M., Rosita SMD dan I. Darwati.
2005a. Pengaruh pemupukan terhadap produksi
dan mutu simplisia purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molkenb). Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional POKJANAS TOI ke
XXVIII, tanggal 15 – 16 September di Bogor. 14
hal.
13. Rahardjo, M., S. Wahyuni, O. Trisilawati, dan
E. Djauhariya. 2005b. Ciri agronomis, mutu dan
lingkungan tumbuh tanaman obat langka
purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb).
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
POKJANAS TOI ke XXVIII, tanggal 15 – 16
September 2005 di Bogor. 11 hal.