SlideShare a Scribd company logo
1 of 7
Download to read offline
Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
310
PRODUKSI DAN MUTU SIMPLISIA PURWOCENG BERDASARKAN
LINGKUNGAN TUMBUH DAN UMUR TANAMAN
(Production and Quality of Purwoceng in Different Locations and Plant Ages)
Mono Rahardjo1)
, I. Darwati1)
dan A. Shusena2)
1)
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
2)
PT. Gujati 59 Utama
Abstract
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb) commonly used as aphrodisiac, and indigenous to
Dieng, is now classified as endangered commodity. However it has potential to adapt to other
locations (ex situ). This experiment aiming at studying the effect of locations and plant ages on
quantity and quality of production was conducted in Dieng, Wonosobo, Central Java (in situ) and
Gunung Putri, Cipanas, West Java (ex situ), during 2004 and 2005. Plant ages were applied at 3,
6 and 9 months. Ten plants were sampled from each 200 m2
crops. The results showed that total
production of dry matters of simplisia at 3, 6 and 9 months in Dieng were 15.30, 68.55 and
95.25 g/10 plants respectively higher than the dry matters of simplisia in Gunung Putri at similar
ages. Simplisia production at 3 months was rather low (39.40 g), then increased 2.58 times after
6 months and 3.91 times after 9 months in Dieng. Sitosterol content was found only on plant root
in Dieng. Stigma sterol was found on shoot and root, however vitamin E was found only on shoot
at 3, 6 and 9 months of harvesting , both in Dieng and Gunung Putri. Bergapten and vitamin E in
shoot, vitamin E in root was higher in Dieng than in Gunung Putri. Production and quality of
simplisia were higher in Dieng than production and quality of simplisia in Gunung Putri.
Keyword: Pimpinella pruatjan Molkenb, plant location, plant age, production and quality
Naskah diterima tanggal 2 Desember 2005, disetujui tanggal 11 Desember 2006
Alamat koresponden:
Jl. Ir. H. Juanda No. 22, Bogor, 16122
PENDAHULUAN
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb)
sebagai obat untuk meningkatkan vitalitas pria, secara
empiris turun temurun sudah diketahui. Herba
purwoceng banyak dimanfaatkan kususnya di daerah
Dieng Wonosobo, bahkan telah menyebar ke banyak
daerah (1). Secara ilmiah khasiat purwoceng sebagai
afrodisiak sedang diteliti. Hasil penelitian
Taufiqurrachman dan Wibowo (2) menunjukkan
bahwa ekstrak purwoceng cenderung dapat
meningkatkan testosteron hewan percobaan tikus
jantan. Hasil penelitian ini merupakan petunjuk awal
secara ilmiah bahwa purwoceng berfungsi sebagai
afrodisiak.
Terdapat kecenderungan peningkatan
penggunaan obat afrodisiak di dunia termasuk di
Indonesia. Fenomena ini berdampak terhadap
besarnya minat industri obat tradisional untuk
membuat produk jamu berbahan baku purwoceng,
sehingga nilai jual simplisianya meningkat. Harga
herba segar simplisia purwoceng mencapai Rp
75.000/kg (3). Berdasarkan kajian analisis usahatani
purwoceng, dalam satu kali masa tanam selama 1
tahun diperoleh keuntungan sebesar Rp
333.625.000/ha dengan modal usaha Rp 104.000.000
(1).
Purwoceng, tanaman obat asli Indonesia
tumbuh subur pada tempat berketinggian 2.000 -
3.000 m dpl (di atas permukaan laut) (4). Sebelum
dibudidayakan tanaman purwoceng yang merupakan
tanaman liar, tumbuh di bawah tegakan hutan
Pegunungan Dieng. Tanaman ini sudah termasuk
kategori langka, sekarang hanya dijumpai di
Pegunungan Dieng dalam koleksi kecil-kecilan oleh
petani pemerhati purwoceng (3).
Perkembangan usaha industri obat
tradisional yang meningkat dan nilai jual herba yang
sangat tinggi ikut menjadi pemicu penambangan
purwoceng secara besar-besaran. Penambangan
herba tanpa diikuti budidaya menyebabkan
purwoceng makin langka dan membahayakan masa
depan tanaman ini. Usaha pertanian secara intensif di
Pegunungan Dieng dan sekitarnya, menjadi salah satu
faktor tergesernya komoditas purwoceng oleh
komoditas sayuran terutama kentang yang dapat
dipenen tiga kali dalam setahun. Untuk mengurangi
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
311
pengaruh kompetisi dengan tanaman kentang di
habitat asli purwoceng, maka dilakukan penelitian
pengembangannya di luar habitat asli.
Pada umumnya, produktivitas purwoceng
dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan umur panen
tanaman. Semakin panjang umur tanaman semakin
tinggi produksi herba yang dapat dipanen. Hasil
penelitian terhadap pengaruh umur tanaman
menjelaskan, bahwa kadar metabolit sekunder
meningkat pada fase generatif tanaman obat
penghasil herba, juga tergantung pada genera,
species, atau strain tanaman (5). Selain itu
mungkinkah waktru panen purwoceng dapat
dipercepat, agar petani lebih cepat memetik hasil.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh lingkungan tumbuh dan umur panen
terhadap produktivitas dan mutu herba purwoceng.
Informasi ini menjadi petunjuk untuk pengembangan
purwoceng di luar habitatnya.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2004-
2005 di dataran tinggi Dieng (1.990 m dpl) dan di
dataran tinggi Gunung Putri (1.540 m dpl). Gunung
Putri dikategorikan sebagai luar habitat asli (ex situ).
Kondisi agro-ekologi dan kesuburan tanah lokasi
penelitian dicatumkan pada Tabel 1. Perlakuan
penelitian ini meliputi dua lingkungan tumbuh dan
tiga umur panen. Dua lingkungan tumbuh tersebut
adalah: (1) Dataran tinggi Dieng dan (2) Gunung
Putri, sedangkan tiga perlakuan umur panen adalah
umur: (a) 3 bulan, (b) 6 bulan dan (c) 9 bulan.
Penelitian menggunakan jarak tanam 40 x 30 cm pada
lahan seluas 200 m2
di masing-masing lokasi. Dosis
pupuk yang diberikan adalah 20 t pupuk kandang/ha,
400 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha dan 300 kg KCl/ha.
Penanaman dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2004.
Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman
di musim kemarau dan penyiangan percobaan tiap
dua bulan selama pertumbuhan. Selama penelitian
tidak dialami gangguan hama dan penyakit, sehingga
pengendaliannya baik dengan pestisida maupun cara
lain tidak dilakukan. Tanaman dinaungi dengan
paranet dengan tingkat naungan 25%. Kegiatan ini
merupakan suatu kegiatan observasi dengan cara
pengambilan contoh tanaman (spesimen) secara acak
pada waktu panen di satu hamparan pertanaman
purwoceng. Pengambilan contoh tanaman di ke dua
lokasi dilakukan pada umur 3, 6 dan 9 bulan,
masing-masing berjumlah 10 tanaman. Contoh
tanaman pada umur panen 12 bulan tidak diambil,
karena tanaman telah masak penuh dan mengalami
senesen pada umur 10 bulan.
Tabel 1. Karakteristik agro-ekologi dan sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian
di Dieng dan Gunung Putri.
Uraian Dieng Gunung Putri
Tinggi tempat (m dpl) 1.990 1.540
Suhu udara 15–210
C 15,5-25,80
C
Kelembaban udara 60 – 75% 60-95%
Curah hujan > 4.000 mm > 4.000 mm
Fraksi pasir (%) 17,19 67,07
Fraksi debu (%) 62,45 21.31
Fraksi liat (%) 20,36 9,62
pH H2O 5,65 5,41
pH KCl 5,12 5,04
C organik 6,26 3,77
N total (%) 0,35 0,27
C/N ratio 17,89 13,96
P tersedia (ppm) 7,09 1,31
S (ppm) 24,70 20,11
Basa dd (me/100g) :
Ca 7,89 6,43
Mg 1,16 0,71
K 1,08 0,35
Na 0,31 0,23
KTK 25,20 17,00
Parameter yang diamati meliputi komponen
pertumbuhan seperti: bobot segar dan bobot kering
bagian tajuk (batang + daun + bunga/biji) dan akar
serta mutu simplisia sepert: kadar air, kadar abu,
Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
312
kadar sari larut alkohol dan larut air, serta komponen
steroid terdiri atas: sitosterol, stigma sterol,
(stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan (stigmasta-7, 25 dien-
3-ol), komponen atsiri terdiri atas: germacrene, β-
besabolene, β-caryophylline, α-humulene, dan
carvacrol, turunan furanokumarin terdiri atas:
bergapten dan xanthotoxin.
Contoh tanaman diambil dengan cangkul
sedemikian sehingga tidak terjadi kerusakan akar atau
ada yang tertinggal. Hasil panen tersebut dicuci
bersih dengan air mengalir, kemudian dikering-
anginkan. Setelah dipisah diadakan penimbangan
terhadap akar dan tajuk untuk mengetahui bobot
segar ke dua bagian itu. Masing-masing bagian
dipotong-potong dengan ukuran lebih kurang 0,5 cm,
masing-masing dikeringkan di dalam oven pada suhu
50o
C selama 96 jam. Setelah simplisia purwoceng
mencapai kering mutlak ditimbang untuk
memperoleh bobot keringnya. Analisis komponen
kimia diamati dengan menggunakan alat GSMS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Simplisia
Produksi simplisia purwoceng berupa
biomas segar dan kering di habitat asli (Dieng) lebih
tinggi dari pada produksi tanaman di luarnya
(Gunung Putri). Total produksi simplisia (tajuk dan
akar) segar pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan
berturut-turut 141,25 g, 756,70 g dan 996,05 g/10
tanaman di Dieng dan 136,78 g, 211,25 g dan 400,15
g/10 tanaman di Gunung Putri, menunjukkan
perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu 4,47 g (3,26%),
545,45 g (258,20%) dan 595,90 g (148,91%) berturut-
turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan (Tabel 2).
Gambaran serupa juga terjadi untuk bobot kering
siplisia tajuk dan akar pada umur panen 3, 6 dan 9
bulan, yaitu berturut-turut 39,40 g, 101,80 g dan
154,00 g/10 tanaman di Dieng dan 24,10 g, 33,25 g
dan 58,75 g/10 tanaman di Gunung Putri (Tabel 3),
menunjukkan perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu
15,30 g (63,48%), 68,55 g (206,16%) dan 95,25 g
(162,12%) berturut-turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan.
Rendahnya produksi simplisia di Gunung
Putri pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan diduga selain
dipengaruhi oleh kondisi tempat seperti elevasi (lebih
rendah), suhu udara (lebih tinggi), kelembaban udara
(lebih tinggi) dan kesuburan tanah (lebih rendah)
(Table 1) yang kurang menguntungkan bagi
pertumbuhan purwoceng. Kecenderungan ini sejalan
dengan pernyataan Santoso et al. (6) dan Karama et
al. (7).
Rendahnya tingkat kesuburan tanah di
Gunung Putri dibandingkan dengan tanah Dieng
dicirikan oleh fraksi pasir yang lebih tinggi, C-
organik yang lebih rendah dan kandungan N, P, K,
Ca dan Mg di dalam tanah yang lebih rendah (Tabel
1). Penampilan tanaman purwoceng di Gunung Putri
kurang subur, sehingga hasil biomas di Gunung Putri
lebih rendah dibandingkan dengan hasil biomas
tanaman di Dieng. Produktivitas purwoceng di
Gunung Putri masih berpeluang ditingkatkan dengan
penambahan dosis pupuk baik organik maupun
anorganik. Karena berdasarkan hasil pengamatan
secara visual, ada beberapa tanaman purwoceng yang
pertumbuhannya lebih subur pada tanah yang tingkat
kesuburanya lebih tinggi.
Tabel 2. Bobot segar biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman
(bulan) Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
3 103,15 38,10 141,25 108,24 28,54 136,78
6 684,65 72,05 756,70 161,20 50,05 211,25
9 915,80 80,25 996,05 327,00 73,15 400,15
Sebagian besar biomas purwoceng terdapat
di tajuk yaitu sekitar 80 – 98%, sisanya di akar.
Beberapa pemerhati purwoceng berpendapat
(komunikasi pribadi), bahwa yang mempunyai
khasiat afrodisiak adalah akarnya saja. Namun hasil
penelitian Taufiqurrachman dan Wibowo (2) dan
Rahardjo et al. (13), semua bagian tanaman termasuk
tajuk (batang + daun + bunga/buah) juga mengandung
bahan berkhasiat afrodisiak dan cenderung dapat
meningkatkan testosteron hewan percobaan tukus
jantan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani
purwoceng, biasanya purwoceng dipanen pada umur
9 – 12 bulan, bahkan ada yang pada umur di atas satu
tahun, namun pada saat-saat petani sangat
memerlukan uang, petani juga memanen tanamannya
pada umur 6 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan
tanaman telah mencapai masak maksimal pada umur
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
313
10 bulan di kedua tempat, pada umur ini bijinya
sudah masak dan daunnya mulai rontok (senesen).
Apabila tanaman tidak dipanen pada saat ini, akan
mengalami stagnasi pertumbuhan dan kemudian
bersemi kembali dan tumbuh di tahun berikutnya.
Tabel 3. Bobot kering biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman
(bulan) Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
Tajuk
(g/10 tan)
Akar
(g/10 tan)
Total
(g/10 tan)
3 30,50 8,90 39,40 19,22 4,88 24,10
6 90,90 10,90 101,80 27,60 5,65 33,25
9 140,75 13,25 154,00 48,75 10,00 58,75
Tabel 4. Kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol, serta kadar abu simplisia (tajuk + akar)
purwoceng.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan)Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Kadar air (%) 9,41 9,28 8,80 9,52 9,40 9,25
Kadar sari larut alkohol (%) 4,42 4,02 4,24 4,30 4,35 4,28
Kadar sari larut air (%) 32,42 26,55 42,25 30,25 31,05 39,45
Kadar abu (%) 11,98 12,6 10,29 11,40 10,90 10,25
Semakin panjang umur tanaman semakin
tinggi hasil biomas, seperti yang diperlihatkan oleh
pertanaman di Dieng dan di Gunung Putri. Tanaman
yang dipanen pada fase vegetatif (umur 3 bulan),
hasil biomas kering masih sangat sedikit, kemudian
menjadi 2,58 kali pada umur 6 bulan dan 3,91 kali
pada tanaman berumur 9 bulan di Dieng (Tabel 3).
Sedangkan hasil biomas kering di Gunung Putri umur
panen 3 bulan baru mencapai 24,10 g/10 tanaman,
menjadi 1,38 kali pada umur panen 6 bulan dan 2,44
kali pada umur 9 bulan. Tanaman purwoceng umur 6
bulan sudah mulai berbunga baik yang di Dieng
maupun di Gunung Putri. Pada umumnya tanaman
obat mulai dapat dipanen pada saat tanaman sudah
mulai berbunga, diasumsikan metabolit sekunder
sudah terbentuk secara optimal di dalam jaringan
tanaman.
Mutu Simplisia
Secara empiris dan turun temurun dari nenek
moyang kita hingga saat ini, purwoceng telah dan
terus dimanfaatkan sebagai obat kuat pria. Namun
belum banyak hasil penelitian yang merinci
komponen kimia apa saja yang terkandung di dalam
simplisia purwoceng, sehingga berfungsi sebagai
afrodisiak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar abu, kadar sari larut alkohol dan air tidak
banyak dipengaruhi baik oleh lingkungan tumbuh
maupun umur tanaman (Tabel 4). Berdasarkan hasil-
hasil penelitian terahulu, bahwa kadar abu, kadar sari
larut alkohol dan sari larut air lebih banyak
dipengaruhi oleh proses pasca panen.
Porwoceng sebagai afrodisiak mengandung
metabolit sekunder berupa komponen kimia
kelompok steroid, atsiri, furanokumarin dan vitamin,
yang terdapat baik di jaringan tajuk maupun di akar.
Namun jumlah komponen kimia di jaringan tajuk
lebih banyak jenisnya dari pada di akar, hal ini
disebabkan proses pembentukan (sintesis) metabolit
sekunder terdapat di jaringan tajuk terutama di daun,
termasuk steroid diproduksi pada bagian sitosol dan
plastid di dalam sel (8).
Kelompok steroid terdiri atas: sitosterol,
stigma sterol, (stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan
(stigmasta-7, 25 dien-3-ol). Sitosterol hanya
ditemukan pada akar tanaman purwoceng umur 3 dan
6 bulan yang ditanam di Dieng (Tabel 5), tetapi tidak
ditemukan pada umur 9 bulan. Hal ini disebabkan
sitosterol dapat dikonversi ke dalam bentuk
komponen steroid lainnya dan ratio sitosterol dengan
stigma sterol dapat berubah pada kondisi tanaman
senesen (9). Disamping itu, sitosterol di dalam
jaringan tanaman berfungsi sebagai permeabilitas
Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
314
membran sel (10), sehingga sitosterol pada tanaman
lebih banyak diproduksi pada fase vegetatif.
Stigma sterol ditemukan pada tajuk dan akar
dari tanaman berumur 3 , 6 dan 9 bulan baik di Dieng
maupun di Gunung Putri, dengan kadar lebih tinggi di
Dieng. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ditemukan pada
tanaman berumur 3 dan 6 bulan di Dieng dan di
Gunung Putri pada tanaman berumur 3, 6 dan 9
bulan. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol ditemukan hanya
pada tanaman purwoceng umur 9 bulan di Dieng.
Tabel 5. Kandungan komponen kimia tajuk purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri.
Dieng Gunung Putri
Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan)
Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Komponen steroid:
1. Stigmasterol (ppm) 0,048 0,036 0,064 0,053 0,045 0,051
2. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ada ada - ada ada ada
3. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol - - ada - - -
Komponen atsiri:
1. Germacrene ada ada - ada ada -
2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada
3. β-Caryophylline - - ada ada ada ada
4. α-Humulene - - ada - - ada
5. Carvacrol - - ada ada - -
Turanan Furanokumarin:
1. Bergapten (ppm) - - 5,19 1,94 3,20 3,18
2. Xanthotoxin ada - - - - -
Vitamin E (ppm) 0,084 0,111 0,053 0,066 0,048 0,054
Keterangan:
- : tidak terdeteksi
Kadar stegma sterol di tajuk tidak berbeda
antara purwoceng di Dieng dan di Gunung Putri,
namun kadar stegma sterol akar purwoceng di Dieng
lebih tinggi dari pada di Gunung Putri (Tabel 4).
Sintesis metabolit sekunder termasuk steroid
dipengaruhi oleh proses metabolisme primer (5,11)
tanaman yang lebih subur akan mengasilkan
metabolit sekunder lebih banyak, karena produk
metabolit primernya tinggi. Oleh karena itu
purwoceng di Dieng lebih tinggi kandungan metabolit
sekundernya dari pada purwoceng di Gunung Putri.
Akar purwoceng di Dieng mengandung
sitosterol, sedangkan di Gunung Putri tidak (Tabel
5), hal ini disebabkan sitosterol dapat dikonversi
menjadi komponen steroid yang lain. Dilihat dari
jumlah dan macam kompenen metabolit sekunder,
simplisia purwoceng di Dieng lebih tinggi mutunya
dari pada simplisia purwoceng di Gunung Putri.
Kadar stigma sterol dan sitosterol pada akar dapat
meningkat dengan perlakuan pemupukan
dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk
(12), oleh karena itu diperkirakan dengan
meningkatnya tingkat kesuburan tanah dan tanaman
maka mutu simplisianya dapat meningkat.
Steroid merupan komponen kimia berkhasiat
dalam sintesis hormon testoteron pada manusia (2).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak ayam
yang diberi ramuan ekstrak purwoceng pertumbuhan
jenggernya lebih cepat.
Purwoceng selain mengandung steroid juga
mengandung atsiri dengan turunannya yang meliputi
germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α-
humulene, dan carvacrol. Komponen ini jenisnya
lebih banyak pada jaringan tajuk daripada akar. Pada
jaringan akar hanya ditemukan germacrene dan β-
besabolene sedangkan pada tajuk ditemukan
germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α-
humulene dan carvacrol, hal ini disebabkan atsiri
disintesis di dalam daun.
Germacrene pada jaringan tajuk ditemukan
pada tanaman umur 3 dan 6 bulan baik di Dieng
maupun di Gunung Putri, β-caryophylline ditemukan
pada tanaman umur 3 dan 6 bulan di Dieng dan pada
umur 3, 6 dan 9 bulan di Gunung Putri. Sedang β-
caryophylline ditemukan pada tanaman berumur 9
bulan di Dieng dan pada tanaman umur 3, 6 dan 9
bulan di Gunung Putri. Bagaimanapun, α-humulene
hanya ditemukan pada tanaman umur 9 bulan baik di
Dieng maupun di Gunung Putri. Carvacrol
ditemukan pada tanaman umur 9 bulan di Dieng pada
umur 3 bulan di Gunung Putri. Tidak ada perbedaan
Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006
315
turunan atsiri antara hasil purwoceng di Dieng dan di
Gunung Putri (Tabel 4 dan 5).
Purwoceng juga mengandung turunan
furanokumarin yaitu bergapten dan xanthotoxin.
Bergapten ditemukan pada jaringan tajuk tanaman
pada umur 9 bulan di Dieng dan pada umur 3, 6 dan 9
bulan di Gunung Putri. Bergapten juga ditemukan
pada jaringan akar tanaman purwoceng pada saat
tanaman berumur 6 bulan di Gunung Putri.
Bergapten pada jaringan tajuk tanaman pada umur 9
bulan di Dieng mencapai (5,19 ppm) lebih tinggi
daripada di Gunung Putri (3,18 ppm), perbedaannya
cukup tinggi yaitu 2,01 ppm (63,20%) (Tabel 4).
Xanthotoxin hanya ditemukan pada jaringan tajuk
tanaman di Dieng. Dilihat dari kandungan bergapten,
simplisia di Dieng mutunya lebih tinggi dari pada di
Gunung Putri.
Vitamin E hanya ditemukan pada jaringan
tajuk tanaman baik di Dieng maupun di Gunung
Putri. Kadar vitamin E tertinggi ditemukan di Dieng
pada tanaman umur 6 bulan, yaitu tanaman yang
mulai berbunga. Perbedaan kandungan komponen
kimia yang mencolok antara purwoceng di Dieng dan
di Gunung Putri adalah sitoterol yang hanya terdapat
pada tanaman purwoceng yang ditanam di Dieng.
Vitamin E di Dieng lebih tinggi dibandingkan hasil di
Gunung Putri (Tabel 4 dan 5).
Tabel 5. Kandungan komponen kimia akar purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri.
Dieng
Umur tanaman (bulan)
Gunung Putri
Umur tanaman (bulan)
Kandungan kimia
3 6 9 3 6 9
Sterol:
1. Stigma sterol (ppm) 0,067 0,047 0,003 0,005 0,020 0,006
2. Sitosterol (ppm) 6,41 10,29 - - - -
Atsiri:
1. Germacrene - - - ada - -
2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada
Turanan Furanokumarin:
Bergapten (ppm) - - - - 1,036 -
Keterangan:
- : tidak terdeteksi
Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung
Putri (ex situ), namun produksi dan mutunya lebih
rendah daripada di Dieng (in situ). Diperkirakan
dengan meningkatkan kesuburan tanah Gunung Putri
melalui pemberian pupuk yang optimal dengan
diimbangi pemberian pupuk oganik yang tinggi maka
dapat meningkatkan produksi dan mutu simplisia.
KESIMPULAN
1. Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri
(ex situ), namun produksi dan mutunya lebih
rendah dari pada di Dieng (in situ).
2. Total produksi simplisia purwoceng kering di
Dieng lebih tinggi dari pada di Gunung Putri,
perbedaannya berturut-turut 15,30 g (63,48%),
68,55 g (206,16%) dan 95,25 g (162,12%) pada
umur 3, 6 dan 9 bulan.
3. Total produksi simplisia kering masih sangat
sedikit pada tanaman umur 3 bulan, yaitu 39,40
g/10 tanaman, menjadi 2,58 kali pada umur 6
bulan dan 3,91 kali pada umur 9 bulan di
Dieng dan di Gunung Putri umur 3 bulan hanya
mencapai 24,10 g/10 tanaman, menjadi 1,38 kali
pada umur 6 bulan dan 2,44 kali pada umur 9
bulan.
4. Kandungan bergapten dan vitamin E pada
jaringan tajuk lebih tinggi di Dieng, namun
kandungan stigma sterol pada jaringan tajuk
tidak berbeda antara hasil di Dieng dan di
Gunung Putri.
5. Kandungan stigma sterol pada jaringan akar
purwoceng lebih tinggi di Dieng dari pada di
Gunung Putri dan sitosterol hanya terdapat pada
jaringan akar tanamn di Dieng. Stigma sterol
dan vitamin E ditemukan pada jaringan tajuk
tanaman pada ketiga umur panen baik di Dieng
maupun di Gunung Putri.
6. Akar purwoceng mengandung stigma sterol pada
ketiga umur panen baik di Dieng maupun di
Gunung Putri.
DAFTAR RUJUKAN
1. Rahardjo, M. 2005. Purwoceng, budidaya dan
pemanfaatan untuk obat perkasa pria. Buku
Tanaman Obat G LXXIV/1032/2005. Penebar
Swadaya. 59 hal.
2. Taufiqurrachman and S. Wobowo. 2005.
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
experimental study in male rats sprague dawley.
Makalah disamnpaikan pada Seminar Nasional
Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.)
316
Tumbuhan Obat Indonesia POKJANAS TOI
ke XXVIII, tanggal 15-16 September 2005 di
Bogor. 8 hal.
3. Rahardjo, M. 2003. Purwoceng tanaman obat
afrodisiak yang langka, Warta Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri, Puslitbang-
bun 9(2):4-7.
4. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia (Buku III). Dept. Kehutanan, Jakarta.
1550 hal.
5. Herbert, R.B. 1998. The biosynthesis of
secondary metabolites. Second Edition,
Chapman and Hall, London, New York, 23 hal.
6. Santoso, D., J.S. Adiningsih, and Heryadi. 1989.
N, S, P and K status of soils in Islanda outside
Java. Sulfur fertilizer polecy for lowland and
upland rice cropping systems in Indonesia, Aciar
Proceedings : 77-82.
7. Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan.
1990. Penggunaan pupuk oragaik pada tanaman
pangan. Proseeding Lokakarya Nasional
Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13
Nopember 1990, Puslittanak : 395-425.
8. Hartmann, M.A. and L. Wentzinger. 2006.
Tobaco BY-2 cells as an useful experimental,
system for investigating regulation of the sterol
pathway. http://www.mete.mtesz.hu/pls/pro-
ceedings/eloadasok-pdf/0-1-2 hartmann pdf,
Januari 2006.
9. Moreao, R.A., B.D. Whitaker, K.B. Hicks. 2002.
Phytosteros, phytostanols, and their conjugates in
food : structursl diversity, quantitative analisys,
and health-promoting uses. Progres in Lipid
Research 41: 457-500.
10. Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant
physiology. Sinauer associate, Inc. Publishers,
Massechusetts. 689 hal.
11. Dalimoenthe, S.L. 1987. Kultur jaringan sebagai
sarana untuk menghasilkan metabolit sekunder.
Seminar Nasional Metabolit Sekunder,
Yogyakarta : 157-161.
12. Rahardjo, M., Rosita SMD dan I. Darwati.
2005a. Pengaruh pemupukan terhadap produksi
dan mutu simplisia purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molkenb). Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional POKJANAS TOI ke
XXVIII, tanggal 15 – 16 September di Bogor. 14
hal.
13. Rahardjo, M., S. Wahyuni, O. Trisilawati, dan
E. Djauhariya. 2005b. Ciri agronomis, mutu dan
lingkungan tumbuh tanaman obat langka
purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb).
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
POKJANAS TOI ke XXVIII, tanggal 15 – 16
September 2005 di Bogor. 11 hal.

More Related Content

What's hot

SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...
SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...
SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...University of Brawijaya
 
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_c
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_cStudi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_c
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_cEngkhyHambu
 
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...Repository Ipb
 
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (Ekal Kurniawan
 
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...Repository Ipb
 
Agrobiogen 2 2_2006_74-80
Agrobiogen 2 2_2006_74-80Agrobiogen 2 2_2006_74-80
Agrobiogen 2 2_2006_74-80Dedi Hutapea
 
Andrew hidayat 101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu
 Andrew hidayat   101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu Andrew hidayat   101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu
Andrew hidayat 101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcuAndrew Hidayat
 

What's hot (10)

SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...
SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...
SELEKSI GENOTIP POTENSIAL ERCIS (Pisum sativum L.) FASE POLONG HIJAU [KACANG ...
 
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_c
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_cStudi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_c
Studi identifikasi stomata_pada_kelompok_tanaman_c
 
6829 19209-1-pb
6829 19209-1-pb6829 19209-1-pb
6829 19209-1-pb
 
Ju rnal kacang hijau
Ju rnal kacang hijauJu rnal kacang hijau
Ju rnal kacang hijau
 
Gelatin kulit
Gelatin kulitGelatin kulit
Gelatin kulit
 
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...
PENGARUH INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA PADA REGENERASI KALUS EMBRIOGENIK KEPROK ...
 
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (
Karakter agronomi berbagai aksesi tanaman katuk (
 
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN BIOKIMIA AKSESI PAMELO {Citrus maxima (Burm.) Mer...
 
Agrobiogen 2 2_2006_74-80
Agrobiogen 2 2_2006_74-80Agrobiogen 2 2_2006_74-80
Agrobiogen 2 2_2006_74-80
 
Andrew hidayat 101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu
 Andrew hidayat   101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu Andrew hidayat   101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu
Andrew hidayat 101806-id-pengaruh-penambahan-sari-temulawak-curcu
 

Similar to 68 124-1-sm

PPT_nurya_polos-edit TKU.pptx
PPT_nurya_polos-edit TKU.pptxPPT_nurya_polos-edit TKU.pptx
PPT_nurya_polos-edit TKU.pptxDodolaneNoya
 
Laporan vegetatif tanaman katuk
Laporan vegetatif tanaman katukLaporan vegetatif tanaman katuk
Laporan vegetatif tanaman katukEkal Kurniawan
 
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...Repository Ipb
 
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1Repository Ipb
 
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...Brawijaya University
 
Tugas kultur in vitro tumbuhan
Tugas kultur in vitro tumbuhanTugas kultur in vitro tumbuhan
Tugas kultur in vitro tumbuhantochi run
 
Laporan Akhir Dasar-dasar Agronomi
Laporan Akhir Dasar-dasar AgronomiLaporan Akhir Dasar-dasar Agronomi
Laporan Akhir Dasar-dasar AgronomiPutrimian Hairani
 
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review Journal
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review JournalPpt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review Journal
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review JournalSMPN 4 Kerinci
 
ppt hubungan serangga dengan jamur tiram
ppt hubungan serangga dengan jamur tiramppt hubungan serangga dengan jamur tiram
ppt hubungan serangga dengan jamur tiramrahmatanislami
 
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nilappt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nilaIpenII
 

Similar to 68 124-1-sm (20)

PPT_nurya_polos-edit TKU.pptx
PPT_nurya_polos-edit TKU.pptxPPT_nurya_polos-edit TKU.pptx
PPT_nurya_polos-edit TKU.pptx
 
6 apresus
6 apresus6 apresus
6 apresus
 
1605 2977-1-pb
1605 2977-1-pb1605 2977-1-pb
1605 2977-1-pb
 
Laporan vegetatif tanaman katuk
Laporan vegetatif tanaman katukLaporan vegetatif tanaman katuk
Laporan vegetatif tanaman katuk
 
Jurnal kultur jaringan
Jurnal kultur jaringanJurnal kultur jaringan
Jurnal kultur jaringan
 
67 bika 04_sutris_titik
67 bika 04_sutris_titik67 bika 04_sutris_titik
67 bika 04_sutris_titik
 
Outline bejo
Outline bejoOutline bejo
Outline bejo
 
Jarak Tanam bayam merah.pdf
Jarak Tanam bayam merah.pdfJarak Tanam bayam merah.pdf
Jarak Tanam bayam merah.pdf
 
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...
OPTIMASI PERTUMBUHAN DAN MULTIPLIKASI LINI KLON PLBS ANGGREK Spathoglottis pl...
 
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1
ANALISIS KAPASITASDAN KECEPATAN ALIRAN SUNGAI BEKASI HULU1
 
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...
PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK IN VITRO SILASE PAK...
 
Tugas kultur in vitro tumbuhan
Tugas kultur in vitro tumbuhanTugas kultur in vitro tumbuhan
Tugas kultur in vitro tumbuhan
 
Laporan Akhir Dasar-dasar Agronomi
Laporan Akhir Dasar-dasar AgronomiLaporan Akhir Dasar-dasar Agronomi
Laporan Akhir Dasar-dasar Agronomi
 
630 1400-1-sm
630 1400-1-sm630 1400-1-sm
630 1400-1-sm
 
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review Journal
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review JournalPpt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review Journal
Ppt kuljar jeruk nipis (amrullah m) Review Journal
 
Penelitian tanaman
Penelitian tanamanPenelitian tanaman
Penelitian tanaman
 
ppt hubungan serangga dengan jamur tiram
ppt hubungan serangga dengan jamur tiramppt hubungan serangga dengan jamur tiram
ppt hubungan serangga dengan jamur tiram
 
16801 50544-1-pb (1)
16801 50544-1-pb (1)16801 50544-1-pb (1)
16801 50544-1-pb (1)
 
Tugas mikologi
Tugas mikologiTugas mikologi
Tugas mikologi
 
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nilappt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
ppt perbedaan warna wadah terhadap pertumbuhan dan sintasab larva ikan nila
 

68 124-1-sm

  • 1. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.) 310 PRODUKSI DAN MUTU SIMPLISIA PURWOCENG BERDASARKAN LINGKUNGAN TUMBUH DAN UMUR TANAMAN (Production and Quality of Purwoceng in Different Locations and Plant Ages) Mono Rahardjo1) , I. Darwati1) dan A. Shusena2) 1) Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 2) PT. Gujati 59 Utama Abstract Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb) commonly used as aphrodisiac, and indigenous to Dieng, is now classified as endangered commodity. However it has potential to adapt to other locations (ex situ). This experiment aiming at studying the effect of locations and plant ages on quantity and quality of production was conducted in Dieng, Wonosobo, Central Java (in situ) and Gunung Putri, Cipanas, West Java (ex situ), during 2004 and 2005. Plant ages were applied at 3, 6 and 9 months. Ten plants were sampled from each 200 m2 crops. The results showed that total production of dry matters of simplisia at 3, 6 and 9 months in Dieng were 15.30, 68.55 and 95.25 g/10 plants respectively higher than the dry matters of simplisia in Gunung Putri at similar ages. Simplisia production at 3 months was rather low (39.40 g), then increased 2.58 times after 6 months and 3.91 times after 9 months in Dieng. Sitosterol content was found only on plant root in Dieng. Stigma sterol was found on shoot and root, however vitamin E was found only on shoot at 3, 6 and 9 months of harvesting , both in Dieng and Gunung Putri. Bergapten and vitamin E in shoot, vitamin E in root was higher in Dieng than in Gunung Putri. Production and quality of simplisia were higher in Dieng than production and quality of simplisia in Gunung Putri. Keyword: Pimpinella pruatjan Molkenb, plant location, plant age, production and quality Naskah diterima tanggal 2 Desember 2005, disetujui tanggal 11 Desember 2006 Alamat koresponden: Jl. Ir. H. Juanda No. 22, Bogor, 16122 PENDAHULUAN Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb) sebagai obat untuk meningkatkan vitalitas pria, secara empiris turun temurun sudah diketahui. Herba purwoceng banyak dimanfaatkan kususnya di daerah Dieng Wonosobo, bahkan telah menyebar ke banyak daerah (1). Secara ilmiah khasiat purwoceng sebagai afrodisiak sedang diteliti. Hasil penelitian Taufiqurrachman dan Wibowo (2) menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng cenderung dapat meningkatkan testosteron hewan percobaan tikus jantan. Hasil penelitian ini merupakan petunjuk awal secara ilmiah bahwa purwoceng berfungsi sebagai afrodisiak. Terdapat kecenderungan peningkatan penggunaan obat afrodisiak di dunia termasuk di Indonesia. Fenomena ini berdampak terhadap besarnya minat industri obat tradisional untuk membuat produk jamu berbahan baku purwoceng, sehingga nilai jual simplisianya meningkat. Harga herba segar simplisia purwoceng mencapai Rp 75.000/kg (3). Berdasarkan kajian analisis usahatani purwoceng, dalam satu kali masa tanam selama 1 tahun diperoleh keuntungan sebesar Rp 333.625.000/ha dengan modal usaha Rp 104.000.000 (1). Purwoceng, tanaman obat asli Indonesia tumbuh subur pada tempat berketinggian 2.000 - 3.000 m dpl (di atas permukaan laut) (4). Sebelum dibudidayakan tanaman purwoceng yang merupakan tanaman liar, tumbuh di bawah tegakan hutan Pegunungan Dieng. Tanaman ini sudah termasuk kategori langka, sekarang hanya dijumpai di Pegunungan Dieng dalam koleksi kecil-kecilan oleh petani pemerhati purwoceng (3). Perkembangan usaha industri obat tradisional yang meningkat dan nilai jual herba yang sangat tinggi ikut menjadi pemicu penambangan purwoceng secara besar-besaran. Penambangan herba tanpa diikuti budidaya menyebabkan purwoceng makin langka dan membahayakan masa depan tanaman ini. Usaha pertanian secara intensif di Pegunungan Dieng dan sekitarnya, menjadi salah satu faktor tergesernya komoditas purwoceng oleh komoditas sayuran terutama kentang yang dapat dipenen tiga kali dalam setahun. Untuk mengurangi
  • 2. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006 311 pengaruh kompetisi dengan tanaman kentang di habitat asli purwoceng, maka dilakukan penelitian pengembangannya di luar habitat asli. Pada umumnya, produktivitas purwoceng dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh dan umur panen tanaman. Semakin panjang umur tanaman semakin tinggi produksi herba yang dapat dipanen. Hasil penelitian terhadap pengaruh umur tanaman menjelaskan, bahwa kadar metabolit sekunder meningkat pada fase generatif tanaman obat penghasil herba, juga tergantung pada genera, species, atau strain tanaman (5). Selain itu mungkinkah waktru panen purwoceng dapat dipercepat, agar petani lebih cepat memetik hasil. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lingkungan tumbuh dan umur panen terhadap produktivitas dan mutu herba purwoceng. Informasi ini menjadi petunjuk untuk pengembangan purwoceng di luar habitatnya. METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2004- 2005 di dataran tinggi Dieng (1.990 m dpl) dan di dataran tinggi Gunung Putri (1.540 m dpl). Gunung Putri dikategorikan sebagai luar habitat asli (ex situ). Kondisi agro-ekologi dan kesuburan tanah lokasi penelitian dicatumkan pada Tabel 1. Perlakuan penelitian ini meliputi dua lingkungan tumbuh dan tiga umur panen. Dua lingkungan tumbuh tersebut adalah: (1) Dataran tinggi Dieng dan (2) Gunung Putri, sedangkan tiga perlakuan umur panen adalah umur: (a) 3 bulan, (b) 6 bulan dan (c) 9 bulan. Penelitian menggunakan jarak tanam 40 x 30 cm pada lahan seluas 200 m2 di masing-masing lokasi. Dosis pupuk yang diberikan adalah 20 t pupuk kandang/ha, 400 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha dan 300 kg KCl/ha. Penanaman dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2004. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman di musim kemarau dan penyiangan percobaan tiap dua bulan selama pertumbuhan. Selama penelitian tidak dialami gangguan hama dan penyakit, sehingga pengendaliannya baik dengan pestisida maupun cara lain tidak dilakukan. Tanaman dinaungi dengan paranet dengan tingkat naungan 25%. Kegiatan ini merupakan suatu kegiatan observasi dengan cara pengambilan contoh tanaman (spesimen) secara acak pada waktu panen di satu hamparan pertanaman purwoceng. Pengambilan contoh tanaman di ke dua lokasi dilakukan pada umur 3, 6 dan 9 bulan, masing-masing berjumlah 10 tanaman. Contoh tanaman pada umur panen 12 bulan tidak diambil, karena tanaman telah masak penuh dan mengalami senesen pada umur 10 bulan. Tabel 1. Karakteristik agro-ekologi dan sifat fisik dan kimia tanah lokasi penelitian di Dieng dan Gunung Putri. Uraian Dieng Gunung Putri Tinggi tempat (m dpl) 1.990 1.540 Suhu udara 15–210 C 15,5-25,80 C Kelembaban udara 60 – 75% 60-95% Curah hujan > 4.000 mm > 4.000 mm Fraksi pasir (%) 17,19 67,07 Fraksi debu (%) 62,45 21.31 Fraksi liat (%) 20,36 9,62 pH H2O 5,65 5,41 pH KCl 5,12 5,04 C organik 6,26 3,77 N total (%) 0,35 0,27 C/N ratio 17,89 13,96 P tersedia (ppm) 7,09 1,31 S (ppm) 24,70 20,11 Basa dd (me/100g) : Ca 7,89 6,43 Mg 1,16 0,71 K 1,08 0,35 Na 0,31 0,23 KTK 25,20 17,00 Parameter yang diamati meliputi komponen pertumbuhan seperti: bobot segar dan bobot kering bagian tajuk (batang + daun + bunga/biji) dan akar serta mutu simplisia sepert: kadar air, kadar abu,
  • 3. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.) 312 kadar sari larut alkohol dan larut air, serta komponen steroid terdiri atas: sitosterol, stigma sterol, (stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan (stigmasta-7, 25 dien- 3-ol), komponen atsiri terdiri atas: germacrene, β- besabolene, β-caryophylline, α-humulene, dan carvacrol, turunan furanokumarin terdiri atas: bergapten dan xanthotoxin. Contoh tanaman diambil dengan cangkul sedemikian sehingga tidak terjadi kerusakan akar atau ada yang tertinggal. Hasil panen tersebut dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian dikering- anginkan. Setelah dipisah diadakan penimbangan terhadap akar dan tajuk untuk mengetahui bobot segar ke dua bagian itu. Masing-masing bagian dipotong-potong dengan ukuran lebih kurang 0,5 cm, masing-masing dikeringkan di dalam oven pada suhu 50o C selama 96 jam. Setelah simplisia purwoceng mencapai kering mutlak ditimbang untuk memperoleh bobot keringnya. Analisis komponen kimia diamati dengan menggunakan alat GSMS. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Simplisia Produksi simplisia purwoceng berupa biomas segar dan kering di habitat asli (Dieng) lebih tinggi dari pada produksi tanaman di luarnya (Gunung Putri). Total produksi simplisia (tajuk dan akar) segar pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan berturut-turut 141,25 g, 756,70 g dan 996,05 g/10 tanaman di Dieng dan 136,78 g, 211,25 g dan 400,15 g/10 tanaman di Gunung Putri, menunjukkan perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu 4,47 g (3,26%), 545,45 g (258,20%) dan 595,90 g (148,91%) berturut- turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan (Tabel 2). Gambaran serupa juga terjadi untuk bobot kering siplisia tajuk dan akar pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan, yaitu berturut-turut 39,40 g, 101,80 g dan 154,00 g/10 tanaman di Dieng dan 24,10 g, 33,25 g dan 58,75 g/10 tanaman di Gunung Putri (Tabel 3), menunjukkan perbedaan rata-rata yang tinggi, yaitu 15,30 g (63,48%), 68,55 g (206,16%) dan 95,25 g (162,12%) berturut-turut untuk umur 3, 6 dan 9 bulan. Rendahnya produksi simplisia di Gunung Putri pada umur panen 3, 6 dan 9 bulan diduga selain dipengaruhi oleh kondisi tempat seperti elevasi (lebih rendah), suhu udara (lebih tinggi), kelembaban udara (lebih tinggi) dan kesuburan tanah (lebih rendah) (Table 1) yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan purwoceng. Kecenderungan ini sejalan dengan pernyataan Santoso et al. (6) dan Karama et al. (7). Rendahnya tingkat kesuburan tanah di Gunung Putri dibandingkan dengan tanah Dieng dicirikan oleh fraksi pasir yang lebih tinggi, C- organik yang lebih rendah dan kandungan N, P, K, Ca dan Mg di dalam tanah yang lebih rendah (Tabel 1). Penampilan tanaman purwoceng di Gunung Putri kurang subur, sehingga hasil biomas di Gunung Putri lebih rendah dibandingkan dengan hasil biomas tanaman di Dieng. Produktivitas purwoceng di Gunung Putri masih berpeluang ditingkatkan dengan penambahan dosis pupuk baik organik maupun anorganik. Karena berdasarkan hasil pengamatan secara visual, ada beberapa tanaman purwoceng yang pertumbuhannya lebih subur pada tanah yang tingkat kesuburanya lebih tinggi. Tabel 2. Bobot segar biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman. Dieng Gunung Putri Umur tanaman (bulan) Tajuk (g/10 tan) Akar (g/10 tan) Total (g/10 tan) Tajuk (g/10 tan) Akar (g/10 tan) Total (g/10 tan) 3 103,15 38,10 141,25 108,24 28,54 136,78 6 684,65 72,05 756,70 161,20 50,05 211,25 9 915,80 80,25 996,05 327,00 73,15 400,15 Sebagian besar biomas purwoceng terdapat di tajuk yaitu sekitar 80 – 98%, sisanya di akar. Beberapa pemerhati purwoceng berpendapat (komunikasi pribadi), bahwa yang mempunyai khasiat afrodisiak adalah akarnya saja. Namun hasil penelitian Taufiqurrachman dan Wibowo (2) dan Rahardjo et al. (13), semua bagian tanaman termasuk tajuk (batang + daun + bunga/buah) juga mengandung bahan berkhasiat afrodisiak dan cenderung dapat meningkatkan testosteron hewan percobaan tukus jantan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani purwoceng, biasanya purwoceng dipanen pada umur 9 – 12 bulan, bahkan ada yang pada umur di atas satu tahun, namun pada saat-saat petani sangat memerlukan uang, petani juga memanen tanamannya pada umur 6 bulan. Hasil penelitian ini menunjukkan tanaman telah mencapai masak maksimal pada umur
  • 4. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006 313 10 bulan di kedua tempat, pada umur ini bijinya sudah masak dan daunnya mulai rontok (senesen). Apabila tanaman tidak dipanen pada saat ini, akan mengalami stagnasi pertumbuhan dan kemudian bersemi kembali dan tumbuh di tahun berikutnya. Tabel 3. Bobot kering biomas purwoceng menurut umur dan bagian tanaman. Dieng Gunung Putri Umur tanaman (bulan) Tajuk (g/10 tan) Akar (g/10 tan) Total (g/10 tan) Tajuk (g/10 tan) Akar (g/10 tan) Total (g/10 tan) 3 30,50 8,90 39,40 19,22 4,88 24,10 6 90,90 10,90 101,80 27,60 5,65 33,25 9 140,75 13,25 154,00 48,75 10,00 58,75 Tabel 4. Kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol, serta kadar abu simplisia (tajuk + akar) purwoceng. Dieng Gunung Putri Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan)Kandungan kimia 3 6 9 3 6 9 Kadar air (%) 9,41 9,28 8,80 9,52 9,40 9,25 Kadar sari larut alkohol (%) 4,42 4,02 4,24 4,30 4,35 4,28 Kadar sari larut air (%) 32,42 26,55 42,25 30,25 31,05 39,45 Kadar abu (%) 11,98 12,6 10,29 11,40 10,90 10,25 Semakin panjang umur tanaman semakin tinggi hasil biomas, seperti yang diperlihatkan oleh pertanaman di Dieng dan di Gunung Putri. Tanaman yang dipanen pada fase vegetatif (umur 3 bulan), hasil biomas kering masih sangat sedikit, kemudian menjadi 2,58 kali pada umur 6 bulan dan 3,91 kali pada tanaman berumur 9 bulan di Dieng (Tabel 3). Sedangkan hasil biomas kering di Gunung Putri umur panen 3 bulan baru mencapai 24,10 g/10 tanaman, menjadi 1,38 kali pada umur panen 6 bulan dan 2,44 kali pada umur 9 bulan. Tanaman purwoceng umur 6 bulan sudah mulai berbunga baik yang di Dieng maupun di Gunung Putri. Pada umumnya tanaman obat mulai dapat dipanen pada saat tanaman sudah mulai berbunga, diasumsikan metabolit sekunder sudah terbentuk secara optimal di dalam jaringan tanaman. Mutu Simplisia Secara empiris dan turun temurun dari nenek moyang kita hingga saat ini, purwoceng telah dan terus dimanfaatkan sebagai obat kuat pria. Namun belum banyak hasil penelitian yang merinci komponen kimia apa saja yang terkandung di dalam simplisia purwoceng, sehingga berfungsi sebagai afrodisiak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu, kadar sari larut alkohol dan air tidak banyak dipengaruhi baik oleh lingkungan tumbuh maupun umur tanaman (Tabel 4). Berdasarkan hasil- hasil penelitian terahulu, bahwa kadar abu, kadar sari larut alkohol dan sari larut air lebih banyak dipengaruhi oleh proses pasca panen. Porwoceng sebagai afrodisiak mengandung metabolit sekunder berupa komponen kimia kelompok steroid, atsiri, furanokumarin dan vitamin, yang terdapat baik di jaringan tajuk maupun di akar. Namun jumlah komponen kimia di jaringan tajuk lebih banyak jenisnya dari pada di akar, hal ini disebabkan proses pembentukan (sintesis) metabolit sekunder terdapat di jaringan tajuk terutama di daun, termasuk steroid diproduksi pada bagian sitosol dan plastid di dalam sel (8). Kelompok steroid terdiri atas: sitosterol, stigma sterol, (stigmasta-7, 16 dien-3-ol), dan (stigmasta-7, 25 dien-3-ol). Sitosterol hanya ditemukan pada akar tanaman purwoceng umur 3 dan 6 bulan yang ditanam di Dieng (Tabel 5), tetapi tidak ditemukan pada umur 9 bulan. Hal ini disebabkan sitosterol dapat dikonversi ke dalam bentuk komponen steroid lainnya dan ratio sitosterol dengan stigma sterol dapat berubah pada kondisi tanaman senesen (9). Disamping itu, sitosterol di dalam jaringan tanaman berfungsi sebagai permeabilitas
  • 5. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.) 314 membran sel (10), sehingga sitosterol pada tanaman lebih banyak diproduksi pada fase vegetatif. Stigma sterol ditemukan pada tajuk dan akar dari tanaman berumur 3 , 6 dan 9 bulan baik di Dieng maupun di Gunung Putri, dengan kadar lebih tinggi di Dieng. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ditemukan pada tanaman berumur 3 dan 6 bulan di Dieng dan di Gunung Putri pada tanaman berumur 3, 6 dan 9 bulan. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol ditemukan hanya pada tanaman purwoceng umur 9 bulan di Dieng. Tabel 5. Kandungan komponen kimia tajuk purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri. Dieng Gunung Putri Umur tanaman (bulan) Umur tanaman (bulan) Kandungan kimia 3 6 9 3 6 9 Komponen steroid: 1. Stigmasterol (ppm) 0,048 0,036 0,064 0,053 0,045 0,051 2. Stigmasta-7, 16 dien-3-ol ada ada - ada ada ada 3. Stigmasta-7, 25 dien-3-ol - - ada - - - Komponen atsiri: 1. Germacrene ada ada - ada ada - 2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada 3. β-Caryophylline - - ada ada ada ada 4. α-Humulene - - ada - - ada 5. Carvacrol - - ada ada - - Turanan Furanokumarin: 1. Bergapten (ppm) - - 5,19 1,94 3,20 3,18 2. Xanthotoxin ada - - - - - Vitamin E (ppm) 0,084 0,111 0,053 0,066 0,048 0,054 Keterangan: - : tidak terdeteksi Kadar stegma sterol di tajuk tidak berbeda antara purwoceng di Dieng dan di Gunung Putri, namun kadar stegma sterol akar purwoceng di Dieng lebih tinggi dari pada di Gunung Putri (Tabel 4). Sintesis metabolit sekunder termasuk steroid dipengaruhi oleh proses metabolisme primer (5,11) tanaman yang lebih subur akan mengasilkan metabolit sekunder lebih banyak, karena produk metabolit primernya tinggi. Oleh karena itu purwoceng di Dieng lebih tinggi kandungan metabolit sekundernya dari pada purwoceng di Gunung Putri. Akar purwoceng di Dieng mengandung sitosterol, sedangkan di Gunung Putri tidak (Tabel 5), hal ini disebabkan sitosterol dapat dikonversi menjadi komponen steroid yang lain. Dilihat dari jumlah dan macam kompenen metabolit sekunder, simplisia purwoceng di Dieng lebih tinggi mutunya dari pada simplisia purwoceng di Gunung Putri. Kadar stigma sterol dan sitosterol pada akar dapat meningkat dengan perlakuan pemupukan dibandingkan dengan tanaman yang tidak dipupuk (12), oleh karena itu diperkirakan dengan meningkatnya tingkat kesuburan tanah dan tanaman maka mutu simplisianya dapat meningkat. Steroid merupan komponen kimia berkhasiat dalam sintesis hormon testoteron pada manusia (2). Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak ayam yang diberi ramuan ekstrak purwoceng pertumbuhan jenggernya lebih cepat. Purwoceng selain mengandung steroid juga mengandung atsiri dengan turunannya yang meliputi germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α- humulene, dan carvacrol. Komponen ini jenisnya lebih banyak pada jaringan tajuk daripada akar. Pada jaringan akar hanya ditemukan germacrene dan β- besabolene sedangkan pada tajuk ditemukan germacrene, β-besabolene, β-caryophylline, α- humulene dan carvacrol, hal ini disebabkan atsiri disintesis di dalam daun. Germacrene pada jaringan tajuk ditemukan pada tanaman umur 3 dan 6 bulan baik di Dieng maupun di Gunung Putri, β-caryophylline ditemukan pada tanaman umur 3 dan 6 bulan di Dieng dan pada umur 3, 6 dan 9 bulan di Gunung Putri. Sedang β- caryophylline ditemukan pada tanaman berumur 9 bulan di Dieng dan pada tanaman umur 3, 6 dan 9 bulan di Gunung Putri. Bagaimanapun, α-humulene hanya ditemukan pada tanaman umur 9 bulan baik di Dieng maupun di Gunung Putri. Carvacrol ditemukan pada tanaman umur 9 bulan di Dieng pada umur 3 bulan di Gunung Putri. Tidak ada perbedaan
  • 6. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 5, No. 1, Januari 2006 315 turunan atsiri antara hasil purwoceng di Dieng dan di Gunung Putri (Tabel 4 dan 5). Purwoceng juga mengandung turunan furanokumarin yaitu bergapten dan xanthotoxin. Bergapten ditemukan pada jaringan tajuk tanaman pada umur 9 bulan di Dieng dan pada umur 3, 6 dan 9 bulan di Gunung Putri. Bergapten juga ditemukan pada jaringan akar tanaman purwoceng pada saat tanaman berumur 6 bulan di Gunung Putri. Bergapten pada jaringan tajuk tanaman pada umur 9 bulan di Dieng mencapai (5,19 ppm) lebih tinggi daripada di Gunung Putri (3,18 ppm), perbedaannya cukup tinggi yaitu 2,01 ppm (63,20%) (Tabel 4). Xanthotoxin hanya ditemukan pada jaringan tajuk tanaman di Dieng. Dilihat dari kandungan bergapten, simplisia di Dieng mutunya lebih tinggi dari pada di Gunung Putri. Vitamin E hanya ditemukan pada jaringan tajuk tanaman baik di Dieng maupun di Gunung Putri. Kadar vitamin E tertinggi ditemukan di Dieng pada tanaman umur 6 bulan, yaitu tanaman yang mulai berbunga. Perbedaan kandungan komponen kimia yang mencolok antara purwoceng di Dieng dan di Gunung Putri adalah sitoterol yang hanya terdapat pada tanaman purwoceng yang ditanam di Dieng. Vitamin E di Dieng lebih tinggi dibandingkan hasil di Gunung Putri (Tabel 4 dan 5). Tabel 5. Kandungan komponen kimia akar purwoceng pada tiga tingkat umur di Dieng dan Gunung Putri. Dieng Umur tanaman (bulan) Gunung Putri Umur tanaman (bulan) Kandungan kimia 3 6 9 3 6 9 Sterol: 1. Stigma sterol (ppm) 0,067 0,047 0,003 0,005 0,020 0,006 2. Sitosterol (ppm) 6,41 10,29 - - - - Atsiri: 1. Germacrene - - - ada - - 2. β-Besabolene ada ada - ada ada ada Turanan Furanokumarin: Bergapten (ppm) - - - - 1,036 - Keterangan: - : tidak terdeteksi Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri (ex situ), namun produksi dan mutunya lebih rendah daripada di Dieng (in situ). Diperkirakan dengan meningkatkan kesuburan tanah Gunung Putri melalui pemberian pupuk yang optimal dengan diimbangi pemberian pupuk oganik yang tinggi maka dapat meningkatkan produksi dan mutu simplisia. KESIMPULAN 1. Purwoceng dapat dibudidayakan di Gunung Putri (ex situ), namun produksi dan mutunya lebih rendah dari pada di Dieng (in situ). 2. Total produksi simplisia purwoceng kering di Dieng lebih tinggi dari pada di Gunung Putri, perbedaannya berturut-turut 15,30 g (63,48%), 68,55 g (206,16%) dan 95,25 g (162,12%) pada umur 3, 6 dan 9 bulan. 3. Total produksi simplisia kering masih sangat sedikit pada tanaman umur 3 bulan, yaitu 39,40 g/10 tanaman, menjadi 2,58 kali pada umur 6 bulan dan 3,91 kali pada umur 9 bulan di Dieng dan di Gunung Putri umur 3 bulan hanya mencapai 24,10 g/10 tanaman, menjadi 1,38 kali pada umur 6 bulan dan 2,44 kali pada umur 9 bulan. 4. Kandungan bergapten dan vitamin E pada jaringan tajuk lebih tinggi di Dieng, namun kandungan stigma sterol pada jaringan tajuk tidak berbeda antara hasil di Dieng dan di Gunung Putri. 5. Kandungan stigma sterol pada jaringan akar purwoceng lebih tinggi di Dieng dari pada di Gunung Putri dan sitosterol hanya terdapat pada jaringan akar tanamn di Dieng. Stigma sterol dan vitamin E ditemukan pada jaringan tajuk tanaman pada ketiga umur panen baik di Dieng maupun di Gunung Putri. 6. Akar purwoceng mengandung stigma sterol pada ketiga umur panen baik di Dieng maupun di Gunung Putri. DAFTAR RUJUKAN 1. Rahardjo, M. 2005. Purwoceng, budidaya dan pemanfaatan untuk obat perkasa pria. Buku Tanaman Obat G LXXIV/1032/2005. Penebar Swadaya. 59 hal. 2. Taufiqurrachman and S. Wobowo. 2005. Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) experimental study in male rats sprague dawley. Makalah disamnpaikan pada Seminar Nasional
  • 7. Produksi dan Mutu … (Mono Rahardjo dkk.) 316 Tumbuhan Obat Indonesia POKJANAS TOI ke XXVIII, tanggal 15-16 September 2005 di Bogor. 8 hal. 3. Rahardjo, M. 2003. Purwoceng tanaman obat afrodisiak yang langka, Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Puslitbang- bun 9(2):4-7. 4. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Buku III). Dept. Kehutanan, Jakarta. 1550 hal. 5. Herbert, R.B. 1998. The biosynthesis of secondary metabolites. Second Edition, Chapman and Hall, London, New York, 23 hal. 6. Santoso, D., J.S. Adiningsih, and Heryadi. 1989. N, S, P and K status of soils in Islanda outside Java. Sulfur fertilizer polecy for lowland and upland rice cropping systems in Indonesia, Aciar Proceedings : 77-82. 7. Karama, A.S., A.R. Marzuki dan I. Manwan. 1990. Penggunaan pupuk oragaik pada tanaman pangan. Proseeding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 Nopember 1990, Puslittanak : 395-425. 8. Hartmann, M.A. and L. Wentzinger. 2006. Tobaco BY-2 cells as an useful experimental, system for investigating regulation of the sterol pathway. http://www.mete.mtesz.hu/pls/pro- ceedings/eloadasok-pdf/0-1-2 hartmann pdf, Januari 2006. 9. Moreao, R.A., B.D. Whitaker, K.B. Hicks. 2002. Phytosteros, phytostanols, and their conjugates in food : structursl diversity, quantitative analisys, and health-promoting uses. Progres in Lipid Research 41: 457-500. 10. Taiz, L. and E. Zeiger. 2002. Plant physiology. Sinauer associate, Inc. Publishers, Massechusetts. 689 hal. 11. Dalimoenthe, S.L. 1987. Kultur jaringan sebagai sarana untuk menghasilkan metabolit sekunder. Seminar Nasional Metabolit Sekunder, Yogyakarta : 157-161. 12. Rahardjo, M., Rosita SMD dan I. Darwati. 2005a. Pengaruh pemupukan terhadap produksi dan mutu simplisia purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional POKJANAS TOI ke XXVIII, tanggal 15 – 16 September di Bogor. 14 hal. 13. Rahardjo, M., S. Wahyuni, O. Trisilawati, dan E. Djauhariya. 2005b. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional POKJANAS TOI ke XXVIII, tanggal 15 – 16 September 2005 di Bogor. 11 hal.