Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang
1. DEGRADASI KEARIFAN LOKAL SISTEM PERTANIAN SUKU DAYAK DI
DESA BUDAYA ADAT PAMPANG, KALIMANTAN TIMUR
Oleh:
Agnes Rezkyta Herwang Dani, Bina Christyanti Panggabean, Fitri Handayani dan
Harly Prasetia Kristanto
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Mulawarman, Samarinda
ABSTRAK
Suku Dayak merupakan salah satu suku asli di Kalimantan Timur. Dalam
melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya suku Dayak tidak dapat dipisahkan
dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai
ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun-temurun
dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Persentuhan yang mendalam antara suku Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan
apa yang disebut sistem perladangan, yakni bentuk model kearifan tradisional dalam
pengelolaan hutan. Bahkan sistem perladangan itu telah menjadi salah satu ciri pokok
kebudayaan suku Dayak. Namun, kearifan lokal ini sendiri telah mengalami degradasi
yang disebabkan oleh masuknya sistem perladangan dari suku lain. Penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat suku Dayak mengadopsi
sistem pertanian masyarakat pendatang, mengetahui perbandingan sistem pertanian suku
Dayak dengan masyarakat pendatang di desa Pampang dan mengetahui perbandingan
sistem pertanian suku Dayak sebelum dan sesudah terjadinya modernisasi.
Metode penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara (interview) dan
kajian pustaka. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung sistem pertanian
yang digunakan suku Dayak di desa Pampang, wawancara dilakukan untuk mengetahui
perubahan sistem pertanian yang terjadi dalam masyarakat suku Dayak pada usia 35-45
tahun, >50 tahun dan masyarakat suku lain di desa Pampang selama bulan Oktober
hingga November. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data yang didapat
dengan literatur-literatur yang ada.
Hasil penelitian yang didapat adalah sistem pertanian suku Dayak telah
mengalami degradasi yang signifikan dimana hampir seluruh generasi muda sudah
mengadopsi sistem pertanian yang dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan
generasi tua masih mempertahankan sistem pertanian yang diwariskan oleh leluhurnya.
Kata kunci: Desa Pampang, Suku Dayak, Sistem Pertanian, Degradasi Kearifan
Lokal
ABSTRACT
Dayak tribe is one of the native tribes in East Kalimantan. In the create and
maintain his life Dayak tribe could not be separated by woods. The forest is an area that
blends in with them as an ecosystem. In addition the forest has become the hereditary and
their habitat from the forest they acquire basic life resources. Transmission between the
deep forest with Dayak tribe in turn gave birth to the so-called system fields, i.e. the form
of the model traditional wisdom in the management of the forest. Even fields that system
has become one of the principal characteristics of Dayak culture. However, local wisdom
itself has suffered degradation caused by the entry of the system fields from other tribes.
This research was conducted aiming to find out the extent of the Dayak community to
2. adopt farming systems community of immigrants, know of Dayak agriculture system
comparisons with communities of immigrants in Pampang village and know of Dayak
agriculture system comparisons before and after the onset of modernization.
This research was conducted with methods of observation, interview (interview)
and review of the literature. Observation done by direct observation of agricultural
systems that are used in Dayak villages Pampang, interviews conducted to know the
change of the agricultural system which occurred in Dayak society at the age of 35-45
years old, 50 years old and society > other tribes in the village of Pampang during
October and November. Data analysis is conducted by comparing the data obtained with
the existing literature-literature.
The research results obtained are of Dayak agriculture system has experienced a
significant degradation in which almost the entire younger generation already adopted the
agricultural system brought in by the community of immigrants while the older
generation still maintains agricultural system inherited by the parent.
Keywords: Pampang Village, Dayak tribe, Farming System, Degradation of Local
Wisdom
3. A. PENDAHULUAN
Sistem pendayagunaan sumber daya
hutan pada setiap daerah dan suku
mempunyai karakteristik yang khas.
Perbedaan ini pada akhirnya juga akan
mempengaruhi segala kegiatan atau
aktifitas manusia dalam hidupnya.
Dengan demikian tidak heran jika
dijumpai pola kehidupan maupun
perilaku yang berlainan di setiap suku.
Pemahaman pengetahuan masyarakat
lokal tentang tata ruang bertujuan untuk
mengetahui tingkat strategi adaptasi
masyarakat terhadap kondisi lingkungan
yang ada di sekitarnya. Selain itu
pemahaman
ini
juga
untuk
mengidentifikasi aktifitas masyarakat
dan menilai pengaruhnya terhadap
kondisi lingkungan. Selanjutnya kita
dapat
pula
melihat
bagaimana
masyarakat
mengelola
dan
memanfaatkan lingkungannya tersebut.
Karena sering ditemukan sistem
manajemen sumber daya tradisional
justru berjalan baik dan efektif dalam
penyelamatan lingkungan khususnya
pencegahan degradasi kawasan hutan
(Hendra, 2009).
Sistem perladangan tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan Suku Dayak
dan bahkan dapat dikatakan sistem
perladangan merupakan identitas kunci
yang dimiliki Suku Dayak Kalimantan
Timur. Sistem perladangan yang
dilaksanakan oleh Suku Dayak ternyata
mengandung nilai-nilai ritual dan religi
serta selaras dengan prinsip-prinsip
konservasi modern.
Namun, sayang dimasa sekarang ini
sistem pertanian suku Dayak mengalami
degradasi, kebanyakan masyarakat suku
Dayak mengadopsi sistem pertanian dari
masyarakat pendatang. Oleh karena itu
dilakukan
penelitian
ini
untuk
mengetahui sejauh mana masyarakat
suku Dayak mengadopsi sistem
pertanian masyarakat pendatang.
B. PENDAYAGUNAAN HUTAN
Pentingnya
peran
masyarakat
dibuktikan
melalui
perubahan
paradigma pengelolaan sumber daya
hutan di beberapa negara. Hal serupa
terjadi di Indonesia paska reformasi
dimana dalam sistem pengelolaan
sumber daya hutan yang baru
masyarakat lokal ditempatkan sebagai
pelaku
utama.
Berbagai
kajian
membuktikan
bahwa
komunitas
masyarakat lokal di Kalimantan melalui
kelembagaan adat yang dimilikinya
mampu mengelola dan memanfaatkan
sumber daya hutan secara berkelanjutan
(Anau, 2003; Devung, 1997; Sardjono,
2004). Di Kalimantan keseluruhan
sejarah
masyarakat
Dayak
menggantungkan nasibnya pada sumber
daya hutan. Sebagai masyarakat yang
hidup dalam hutan maka lingkungan
membentuk budaya dan kehidupan
mereka sehingga terjalin hubungan
dengan lingkungan di sekitarnya yang
menghasilkan suatu sistem yang
komplek dari aspek budaya. Hutanhutan di sekitar masyarakat lokal sering
dikelola dengan ketat dan produktif.
Kemampuan masyarakat tradisional
tersebut tidak terlepas dari sejumlah
kearifan-kearifan lokal yang tidak hanya
sekedar dimiliki, namun dengan teguh
dipertahankan oleh segenap anggota
masyarakatnya (Hendra, 2009).
Masyarakat Dayak dan kelompok
masyarakat lokal lainnya yang memiliki
pengetahuan
tradisional
dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan juga
mengalami
perubahan
budaya.
Bagaimanapun,
nilai
pengetahuan
tradisional dari budaya Dayak tetap
melekat
dalam
setiap
aspek
kehidupannya. Pengetahuan masyarakat
lokal ini menyediakan kesempatan yang
berharga bagi kita untuk memahami
aspek-aspek ekologi lanskap di sekitar
mereka. Misalnya sistem perladangan
yang
mereka
lakukan,
dapat
menyebabkan kerusakan hutan dan
lingkungan hidup di sekitarnya atau
dapat bersifat lestari. Mengingat adanya
4. pandangan yang tidak tepat mengenai
sistem perladangan berpindah yang
banyak dilakukan oleh masyarakat
Dayak ini. Lebih lanjut sejarah lanskap
dapat diketahui dengan baik dan dapat
diakses melalui informan-informan
lokal. Dimana informasi ini akan
membantu kita untuk memahami
perubahan lanskap masa lalu dan polapola vegetasi masa sekarang dan masa
yang akan dating (Hendra, 2009).
C. SISTEM PERLADANGAN
Sistem Perladangan merupakan bukti
kearifan tradisional orang Dayak dalam
mengelola
sumber
daya
hutan
Ukur
(dalam
Widjono,1995:34),
menjelaskan bahwa sistem perladangan
merupakan salah satu ciri pokok
kebudayaan Dayak. Atas dasar inilah
Widjono (1998:77) secara tegas
menyatakan bahwa orang Dayak yang
tidak bisa berladang boleh diragukan
kedayakannya, karena mereka telah
tercabut
dari
akar
kebudayaan
leluhurnya.
Ave dan King (dalam Arman,1994:129),
mengemukakan bahwa tradisi berladang
(siffting cultivation atau swidden) orang
Dayak sudah dilakukan sejak zaman
nenek moyang mereka yang merupakan
sebagai mata pencaharian utama. Sellato
(1989) dalam Soedjito (1999:115),
memperkirakan sistem perladangan
yang dilakukan orang Dayak sudah
dimulai dua abad yang lalu. Bahkan
Mering Ngo (1990), menyebutkan cara
hidup berladang di berbagai daerah di
Kalimantan telah dikenal 6000 tahun
Sebelum Masehi.
Dalam kontek pengelolaan sumber
daya hutan berwawasan kearifan
tradisional, pada dasarnya dikalangan
orang Dayak memiliki cara-cara tertentu
dalam memperlakukan kawasan hutan.
Menurut Bamba (1996:14), orang dayak
memandang alam tidak sebagai asset
atau kekayaan melain sebagai rumah
bersama. Konsep rumah bersama ini
terlihat dalam setiap upacara yang
mendahului kegiatan tertentu yang
berkaitan dengan meman-faatkan hutan,
dimana selalu terdapat unsur permisi
atau minta izin dari penghuni hutan yang
akan digarap. Suara burung atau
binatang tertentu menjadi sarana
komunikasi antara manusia dengan
penghuni alam.
Menurut kepercayaan orang Dayak,
bilamana dalam aktivitas berladang
terutama dalam memilih lakosi yang
akan digarap, bilamana menjumpai
berbagai macam tanda-tanda, seperti
suara burung dan binatang tertentu,
maka perlu dilakukan upacara dengan
mempersembah sesajen dengan maksud
agar roh-roh halus yang memiliki
kekuatan gaib tidak mengganggu
kehidupan mereka baik secara individu
ataupun kelompok dalam melakukan.
Berbagai kepercayaan sebagaimana
yang digambarkan tersebut, menandakan
bahwa
orang
Dayak
memiliki
persentuhan yang mendalam terhadap
mitos, yakni suatu kejadian yang
dipandang suci, atau peristiwa yang
dialami langsung oleh para leluhur,
meskipun waktu terjadinya peristiwa itu
tidak dapat dipastikan secara historis,
namun sejarah kejadian itu bagi orang
Dayak berfungsi sebagai norma
kehidupan. Pemikiran seperti itu
melahirkan suatu persepsi mereka
tentang kearifan pengelolaan sumber
daya hutan (Widjono, 1995).
Dalam berladang pada suku Dayak
umumnya yang menjadi prioritas utama
bukan produktivitas tetapi adanya
keanekaragaman tanaman yang ditanam.
Hal ini dapat dipahami karena suku
dayak
bersifat
subsisten.
Keanekaragaman
ini
diperlakukan
dalam semua jenis usaha pertanian
termasuk juga dalam usaha kebun karet.
Dalam kegiatan berladang yang ditanam
tidak hanya tanaman padi, tetapi juga
ditanam berbagai jenis sayur-mayur
yang
umurnya
relatif
pendek
dibandingkan dengan umur padi.
5. Kearifan
tradisional
melalui
penanaman kembali berbagai jenis
pohon buah-buahan yang bermanfaat
serta berbagai jenis tanaman keras pada
bekas ladang ini, menurut Widjono
(1998) telah mematahkan mitos tentang
peranan orang Dayak dalam merusak
lingkungan. Menurut Dove (1988);
Mubyarto
(1991)
dan
Widjono
(1996:107), ada tiga mitos yang
mendasari pikiran para ahli tentang para
peladang Dayak ini: pertama para
peladang memiliki tanah secara komunal
dan mengkonsumsi hasilnya secara
komunal pula dan tidak memiliki
motivasi untuk melestarikannya, kedua
mitos yang selalu menganggap bahwa
perladangan merusak hutan dan
memboroskan nilai ekonomi hutan,
ketiga mitos yang menganggap bahwa
sistem ekonomi mereka bersifat
subsisten dan terlepas dari ekonomi
pasar.
Secara tradisional sistem dan pola
pengelolaan sumber daya hutan di
Kalimantan masih dapat kita temukan,
dimana
masing-masing
memiliki
karakteristik yang belum tentu dapat
diduplikasi di tempat lain, misalnya di
Kalimantan Barat kita kenal adanya
sistem pengelolaan sumber daya hutan
yang disebut dengan istilah tembawang,
sedangkan di Kalimantan Timur dikenal
dengan istilah Simpukng Munan dan
ragam simpukng lainnya. Sistem
pengelolaan sumber daya hutan oleh
orang Dayak tersebut secara ekonomis
terbukti mampu memberikan kontribusi
untuk pendapatan keluarga sekaligus
melestarikan sumber daya hutan.
Berbagai tuduhan yang dialamatkan
terhadap mereka sebagai perusak hutan
tidaklah beralasan, hal ini karena dalam
memanfaatkan hutan sebagai areal
ladang peralatan yang digunakan
hanyalah mengandalkan kapak dan
parang. Berbeda dengan para pemegang
HPH yang memobilisasi banyak pekerja
dan memanfaatkan teknologi tinggi.
Pengelolaan
hutan
dengan
memanfaatkan
teknologi
tinggi
membuat konsep berladang sebagai
salah satu model kearifan suku Dayak
semakin tergusur dan nampaknya hal ini
hanya akan tinggal menjadi cerita
sejarah orang Dayak dalam mengelola
sumber daya alam.
D. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua
tahap, yaitu pengumpulan data dan
analisis data. Pengumpulan data
dilakukan dengan dua cara, yaitu
observasi langsung dan wawancara.
Observasi,
melalui
metode
ini,
dilakukan observasi langsung di Desa
Pampang, observasi dilakukan guna
melihat langsung sistem pertanian yang
digunakan oleh suku Dayak dan sukusuku lain yang bermukim di Desa
Pampang.
Wawancara
dilakukan
untuk
mengetahui perubahan sistem pertanian
yang terjadi dalam masyarakat suku
Dayak
yang
dipengaruhi
oleh
masyarakat
pendatang.
Kualifikasi
narasumber ada-lah masyarakat suku
Dayak usia 35-45 tahun, masyarakat
suku Dayak usia > 50 tahun dan
masyarakat pendatang di Desa Pampang
yang berprofesi sebagai petani. Dari
setiap kategori akan dipilih lima orang
secara acak untuk diwawancarai.
Setelah melakukan observasi dan
wawancara, maka akan dilanjutkan
dengan analisis data. Analisis data
dilakukan dengan mendeskripsikan
aktifitas suku Dayak di desa Pampang
dalam memanfaatkan lahan dan
perbandingan sistem perladangan yang
diterapkan saat ini dengan sistem
perladangan masa lalu serta pengaruh
yang ditimbulkan akibat masuknya
masyarakat pendatang di desa Pampang.
Hasil analisis data akan dikorelasikan
dengan literatur-literatur yang telah ada
dan ditarik kesimpulan. Pengumpulan
dan analisis data ini dilakukan selama
bulan Oktober hinggga November 2013.
6. E. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem pertanian yang asli yang
sudah menyatukan dengan kehidupan
masyarakat Dayak di Kalimantan telah
diabaikan dengan menggantikannya
dengan sistem yang lain yang masih
dianggap asing. Pemerintah memandang
bahwa sistem perladangan hanyalah
merupakan
suatu
usaha
yang
membuang-buang tenaga saja di dalam
suatu sistem yang tidak menjanjikan
apapun. Walaupun ada anggapan yang
demikian, namun terhadap kebiasaan
yang
sudah
membudaya
dalam
kehidupan masyarakat Dayak yang ada
di
Kalimantan
terutama
dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya yang
sangat tergantung dari hasil hutan sulit
untuk ditinggalkan. Bahkan suku Dayak
di Kalimantan menganggap hutan
merupakan milik mereka yang paling
berharga. Antara mereka dengan hutan
telah terintegral secara menyejarah.
Maka tak pelak, segala kepercayaan,
budaya dan perilaku mereka senantiasa
bersentuhan dengan aspek kelestarian
belantara (Arkanudin, 2001).
Sistem pertanian yang diterapkan
oleh masyarakat pendatang di desa
Pampang adalah sistem pertanian yang
dibawa dari daerah asalnya. Sistem
pertanian yang umumnya diterapkan
adalah sistem tumpang sari dan
monokultur. Namun, yang paling
mendominasi sistem pertanian mereka
adalah sistem pertanian monokultur.
Letak
sistem
pertanian
yang
digunakan oleh masyarakat pendatang
terpisah jauh dengan sistem pertanian
yang digunakan oleh suku Dayak.
Mereka lebih memilih melakukan
pertanian didaerah bukit. Tanaman yang
biasa mereka tanam adalah jagung,
karet,
sawit,
rambutan,
kacangkacangan, terung, pepaya, singkong,
cabai dan salak.
Dari observasi langsung yang
dilakukan di lahan pertanian masyarakat
pendatang dan wawancara terhadap
petani suku Bugis dan Jawa di Desa
Pampang, di dapatkan bahwa sistem
pertanian yang diterapkan sangat
berbeda dengan sistem pertanian suku
Dayak.
Masyarakat
pendatang
menerapkan cara bercocok tanam dari
daerah asalnya, misalnya sistem
tumpang sari dan monokutur. Sistem
pertanian ini lebih menitikberatkan pada
produktifitas lahan sehinga taraf
perekonomian masyarakat pendatang
pun lebih baik.
Sistem pertanian yang diterapkan
suku Dayak asli adalah sistem pertanian
ladang bergilir. Menurut Arkanudin
(2001) salah satu contoh model kearifan
tradisional dalam pengelolaan hutan
adalah kegiatan sistem perladangan
berpindah yang dilakukan oleh orang
Dayak di Kalimantan. Menurut Dove
(1994)
kebudayaan
Dayak
di
Kalimantan memberikan sebuah contoh
terbaik di dunia tentang hubungan antara
kebudayaan
dengan
alam,
yang
tampaknya melestarikan kedua belah
pihak. Seperti pada sistem mereka dalam
bercocok tanam dengan sistem rotasi
dan masa bero panjang. Walaupun
sudah seabad usaha dengan ilmu
pengetahuan modern khususnya dalam
sistem penanaman pangan di dalam
proyek-proyek
transmigrasi
yang
ternyata gagal dan tidak ada sistem
bercocok tanam yang telah ditemukan
yang seberhasil sistem perladangan
dalam penyediaan pangan kepada
penduduknya
serta
pelestarian
lingkungan hutan tropika.
Sistem ini jugalah yang diterapkan
oleh suku Dayak di Desa Pampang.
Menurut wawancara yang dilakukan
pada masyarakat Dayak usia > 50 tahun,
disamping menanam berbagai jenis
sayur mayur ditengah ladang, juga
mereka menyempatkan diri untuk
menanam berbagai jenis pohon buahbuahan di sekitar pondok. Kalau diamati
jenis tanaman yang ditanami antara lain
timun, gambas, labu, cangkok, sengka,
rambutan, karet, pisang dan lain-lain.
Pohon-pohon itu juga merupakan
7. sebagai pratanda bahwa hutan tersebut
sudah ada yang mengolahnya dan jika
orang lain ingin membuka ladang
ditempat itu, haruslah minta izin kepada
yang pertama kali membuka hutan itu.
Kemudian setelah seluruh pentahapan
dalam kegiatan berladang itu dilakukan
hingga selesai panen, bekas ladang itu
sebagiannya mereka tanam kembali
dengan pohon karet. Sedangkan bagian
lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan
kembali dengan maksud, suatu saat
dapat dibuka kembali menjadi ladang.
Pergiliran lahan perladangan suku
dayak terjadi setiap 8-15 tahun. Setelah
satu periode perladangan dan lahan
bekas ladang telah ditanami berbagai
jenis pohon, lahan tersebut akan
ditinggalkan dan dibiarkan menjadi
hutan kembali. Apabila lahan tersebut
dianggap sudah bisa dimanfaatkan lagi,
maka lahan tersebut akan dibuka
kembali.
Suku Dayak generasi tua masih
mempertahankan sistem perladangan ini,
karena sistem ini merupakan warisan
leluhur yang turun temurun dari generasi
ke generasi. Disamping itu, sistem ini
memiliki nilai-nilai spiritual dan sudah
menjadi tradisi, serta menjadi bagian
dalam kehidupan masyarakat suku
Dayak.
Sedangkan masyarakat suku Dayak
yang berusia 35-45 tahun menerapkan
sistem pertanian yang jauh berbeda dari
sistem
pertanian
suku
Dayak
sebelumnya dimana setelah melakukan
satu periode perladangan lahan tersebut
dijadikan lahan pertanian monokultur.
Adapun komoditi yang ditanam
diantaranya padi, karet, sawit, rambutan,
ubi (singkong), bayam dan durian.
Generasi muda ini mengadopsi
sistem pertanian dari suku lain karena
dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Sistem
pertanian
masyarakat
pendatang
dipandang
lebih
menjamin
dan
meningkatkan
taraf
perekonomian
masyarakat suku Dayak. Hal ini terbukti
dengan adanya perbaikan tingkat
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
suku Dayak. Sistem pertanian yang
dibawa oleh masyarakat pendatang lebih
menitikberatkan pada produktivitas
lahan pertanian. Namun, tidak memiliki
nilai-nilai budaya dan tidak ramah
lingkungan jika dibandingkan dengan
sistem pertanian tradisional suku Dayak
yang berbasis konservasi modern.
F. KESIMPULAN
Sistem pertanian suku Dayak masa
kini mulai menyerupai sistem pertanian
masyarakat pendatang karena sistem
pertanian suku Dayak sendiri telah
dipengaruhi oleh modernisasi. Pada
sistem pertanian suku Dayak masa
lampau memiliki perbedaan mendasar
dengan sistem pertanian masayarakat
pendatang.
Sistem pertanian suku Dayak telah
mengalami degradasi yang signifikan
dimana hampir seluruh generasi muda
sudah mengadopsi sistem pertanian yang
dibawa oleh masyarakat pendatang
sedangkan
generasi
tua
masih
mempertahankan sistem pertanian yang
diwariskan oleh leluhurnya.
Dengan
terdegradasinya
sistem
pertanian tradisional suku dayak ini,
tradisi leluhur dan nilai-nilai budaya dan
spiritual suku Dayak pun akan luntur.
Oleh karena itu, perlu dilestarikan dan
dikembangkan kembali sistem pertanian
asli suku Dayak agar di era modernisasi
ini nilai adat istiadat tetap terpelihara.
Selain itu, sistem pertanian ini
merupakan sistem pertanian yang paling
cocok diterapkan di wilayah hutan subtropis.
DAFTAR PUSTAKA
Arkanudin. 2001. Sistem Perladangan
dan Kearifan Tradisional Orang
Dayak
Dalam
Mengelola
Sumber Daya Hutan.
8. Arman,
S.
1989.
Perladangan
Berpindah Dan Kedudukannya
Dalam Kebudayaan Suku-Suku
Dayak Di Kalimantan Barat,
Pontianak:
Makalah
di
Sampaikan Dalam Dies Natalis
XXX
Dan
Lustrum
VI
Universitas Tanjungpura.
Bamba, J. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Alam: Menurut Budaya
Dayak Dan Tantangan Yang Di
Hadapi, Dalam Kalimantan
Review, Nomor 15 Tahun V,
Maret-April 1996, Pontianak.
Dove, M. R. 1988. Sistem Perladangan
Di Indonesia: Studi kasus Di
Kalimantan Barat, Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Hendra, M. 2009. Etnoekologi Perladangan dan Kearifan Botani
Lokal
Masyarakat
Dayak
Benuaq di Kabupaten Kutai
Barat,
Kalimantan
Timur.
Bogor: Tesis Program Magister
Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Mering, N. 1990. Inilah Peladang,
dalam: Prospek No 3 Tahun 1,
13 Oktober 1990.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan
Ekologi Peladang Berpindah,
Pontianak:Dalam
Suara
Almamater
Universitas
Tanjungpura, No II Tahun V
Nopember 1990.
Ukur, P. 1994. Makna Religi Dar Alam
Sekitar Dalam Kebudayaan
Dayak, Dalam Paulus Florus
(editor), Kebudayaan Dayak,
Aktualisasi dan Transfortasi,
Jakarta: LP3S-IDRD dengan
Gramedia
Widiasarana
Indonesia.
Widjono, R. H. 1998. Masyarakat
Dayak Menatap Hari Esok,
Jakarta: Gramedia.