Dokumen tersebut membahas mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara ringkas, dibahas mengenai pengertian korupsi, tipologi korupsi yang terdiri atas korupsi yang merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Diberikan juga contoh pasal-pasal yang mengatur berbagai jenis tind
2. Pengertian Korupsi
• Secara etimologis, kata korupsi berasal dari bahasa Latin (yang
lebih tua) corrumpere corruptio atau corruptus;
• Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris corruption, corrupt, Bahasa Perancis corruption,
dan Bahasa Belanda corruptie (korruptie);
• Arti korupsi secara harfiah adalah Kejahatan, kebusukan, dapat
disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidak jujuran;
3. • Defenisi korupsi menurut Henry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai “an
act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and
the rights of others”, (terjemahan bebasnya : suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan
kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain);
• Menurut Andi Hamzah korupsi adalah suatu hal yang sangat buruk dengan
bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat, dan bangsa;
• Menurut Helbert Edelherz yang diistilahkan dengan kejahatan kerah putih (white
collar crime), Korupsi adalah suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang
bersifat ilegal dimana dilakukan secara fisik dengan akal bulus atau terselubung
untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran atau
pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis atau
keuntungan pribadi.
4. Tipologi Korupsi
• Korupsi diatur di dalam 13 Pasal UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (UU
Tipikor) dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi.
Ketigapuluh jenis tersebut disederhanakan ke dalam 7 kelompok tindak
pidana korupsi;
• Adapun 7 kelompok tindak pidana korupsi tersebut antara lain :
1. Korupsi Merugikan Keuangan Negara;
2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam Jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan Curang;
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan;
7. Gratifikasi
5. Adapun jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak
pidana korupsi yang dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang
Lain, atau Suatu Korporasi (Pasal 2);
2. Tindak pidana korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan,
Kesempatan, Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3);
3. Tindak pidana korupsi Suap dengan Memberikan atau
Menjanjikan Sesuatu (Pasal 5);
4. Tindak pidana korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6);
5. Korupsi dalam hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan
Bangunan dan Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan
TNI dan KNRI (Pasal 7)
6. 6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga
(Pasal 8);
7. Tindak pidana korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-
Daftar (Pasal 9);
8. Tindak pidana korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat,
atau Daftar (Pasal 10);
9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang
Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11);
10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan
Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa
Membayar, Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, Menggunakan
Tanah Negara, dan Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12);
7. 11.Tindak pidana korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima
Gratifikasi (Pasal 12B);
12.Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat
Kekuasaan Jabatan (Pasal 13);
13.Tindak Pidana yang Berhubungan dengan Hukum Acara
Pemberantasan Korupsi;
14.Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421,
429, dan 430 KUHP Lama (Pasal 23)
8. Konvensi Anti Korupsi
United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) Tahun 2003
yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts
Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003), ruang lingkup
korupsi lebih luas, yaitu :
1. Penyuapan pejabat publik nasional (bribery of national public);
2. Penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi
internasional publik (bribery of foreign public official and officials of
public international organization);
3. Penggelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan lain oleh
seorang pejabat publik (embezzlement, misappropriation or other
diversion of property by a public official)
9. 4. Memperdagangkan pengaruh (trading in influence);
5. Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of
functions);
6. Memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment);
7. Penyuapan pada sektor privat (bribery in the privat sector);
8. Penggelapan kekayaan di sektor privat (embezzlement of
property in the privat sector).
10. Korupsi Terkait Kerugian Keuangan
Negara
Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan
MK No. 25/PUU-XIV/2016
Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan
MK No. 25/PUU-XIV/2016
•Setiap orang;
•Memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi;
•Dengan cara melawan hukum;
•Merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
•Setiap orang;
•Dengan
tujuan menguntungkandiri
sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
•Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana;
•Yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan;
•Merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara
• Perbedaan Pasal 2 dan Pasal
3 UU Tipikor Pasal 3 (Unsur
Subjektifnya adalah orang
yang mempunyai jabatan atau
kedudukan; sementara Pasal 2
lebih luas cakupannya);
• Putusan MK Nomor 25/PUU-
XIV/2016 mencabut frasa
“dapat” dalam Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor
Putusan MK ini menafsirkan
bahwa frasa “dapat merugikan
keuangan negara atau
perekonomian negara” dalam
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU Tipikor harus dibuktikan
dengan kerugian keuangan
negara yang nyata (actual
loss) bukan potensi atau
perkiraan kerugian keuangan
negara (potential loss).
11. Korupsi Terkait Suap-Menyuap
• Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara
aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau
melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi
atau kesepakatan antara kedua belah pihak;
• Suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan
dapat dilakukan antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap
antar pegawai dilakukan guna memudahkan kenaikan pangkat atau
jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan ketika pihak swasta
memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam
proses tender;
• Dasar hukum korupsi terkait suap-menyuap yakni Pasal 5 UU 20/2001;
Pasal 6 UU 20/2001; Pasal 11 UU 20/2001; Pasal 12 huruf a, b, c, dan d
UU 20/2021; Pasal 13 UU 31/1999
12. Delik Suap-Menyuap dalam UU Tipikor
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU 20/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf b UU 20/2001 Pasal 13 UU 31/1999
•Setiap orang;
•Memberi sesuatu atau menjanjikan
sesuatu;
•Kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
•Dengan maksud supaya berbuat atau
tidak berbuatsesuatu dalam
jabatannyasehingga bertentangan
dengan kewajibannya.
•Setiap orang;
•Memberi sesuatu;
•Kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
•Karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya
•Setiap orang;
•Memberi hadiah atau janji;
•Kepada pegawai negeri;
•Dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya atau oleh pemberi
hadiah/janji dianggap, melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut.
13. Korupsi Terkait Penggelapan dalam
Jabatan
• Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang
atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti
suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain;
• Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU
20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001;
• Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 memiliki
unsur-unsur sebagai berikut “:
a. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu;
b. Dengan sengaja;
c. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang
lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
d. Uang atau surat berharga;
e. Yang disimpan karena jabatannya.
14. Korupsi Terkait Pemerasan
Pasal 12 huruf e UU
20/2001
Pasal 12 huruf f UU
20/2001
Pasal 12 huruf g UU
20/2001
•Pegawai negeri atau
penyelenggara negara
•Dengan maksud
menguntungkan diri sendiri
atau orang lain;
•Secara melawan hukum;
•Memaksa seseorang
memberikan sesuatu,
membaya, atau menerima
pembayaran dengan
potongan, atau untuk
mengerjakan sesuai bagi
dirinya;
•Menyalahgunakan
kekuasaan.
•Pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
•Pada waktu menjalankan
tugas;
•Meminta atau menerima
pekerjaan, atau penyerahan
barang;
•Seolah-olah merupakan
utang kepada dirinya;
•Diketahuinya bahwa hal
tersebut bukan merupakan
utang.
•Pegawai negeri atau
penyelenggara negara;
•Pada waktu menjalankan
tugas;
•Meminta, menerima, atau
memotong pembayaran;
•Kepada pegawai
negeri/penyelenggara
negara yang lain atau
kepada kas umum;
•Seolah-olah pegawai
negeri/penyelenggara
negara yang lain atau
kepada kas umum
mempunyai utang
kepadanya;
•Diketahuinya bahwa hal
tersebut bukan merupakan
utang.
• Pemerasan adalah
perbuatan dimana petugas
layanan yang secara aktif
menawarkan jasa atau
meminta imbalan kepada
pengguna jasa untuk
mempercepat layanannya,
walau melanggar prosedur.
Pemerasan memiliki unsur
janji atau bertujuan
menginginkan sesuatu dari
pemberian tersebut
15. Korupsi Terkait Perbuatan Curang
• Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat
membahayakan orang lain;
• Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang melakukan perbuatan
curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta;
Adapun contoh perbuatan curang:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan
atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
16. Korupsi Terkait Benturan Kepentingan
dalam Pengadaan
• Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12
huruf (i) UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara
negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan
untuk mengurus atau mengawasinya.
KORUPSI TERKAIT GRATIFIKASI
• Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan:
Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
17. Dualisme Aturan Korupsi dalam UU Tipikor
dan KUHP (1/23)
• Aturan delik Korupsi dalam KUHP (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) yakni :
• Pasal 603
“Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.”
• Pasal 604
“Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau
Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak
kategori VI,”
18. • Perbedaan aturan minimum antara delik korupsi dalam KUHP
menimbulkan ketidakpastian hukum pemberantasan tindak
pidana korupsi;
• KUHP memuat aturan minimum lebih rendah daripada
ketentuan UU Tipikor (Pasal 2 dan 3 yang mempunyai klausul
‘mirip’ dengan Pasal 603 dan 604 KUHP baru)
• Seharusnya suatu bentuk aturan khusus telah
mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi
Generali) lantas aturan mana yang menjadi acuan dalam
penegakan hukum?
19. Catatan Untuk Aturan Tipikor (terkait korupsi
kerugian keuangan negara)
• Frasa “dapat” yang harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara yang riil (actual loss) bisa memperlambat jalannya penegakan hukum. Apalagi
kewenangan lembaga negara yang bisa membuktikan kerugian keuangan negara yang riil ini
pun masih tumpang tindih. Mengenai hal ini sudah diputus oleh MK dalam Putusan Nomor
31/PUU-X/2012;
• MK menegaskan bahwa penyidik korupsi berhak melakukan koordinasi dengan lembaga apa
pun, termasuk BPK dan BPKP, atau lembaga lain yang punya kemampuan menentukan
kerugian negara. Sehingga memunculkan ketidakpastian hukum dalam law in context atau
dalam tataran hukum acaranya. Apakah yang dimaksud itu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat di
masing-masing lembaga atau akuntan publik? Bagaimana jika kerugian negara yang didakwa
oleh KPK atau Jaksa Penuntut Umum ternyata berbeda dengan hasil audit dari lembaga yang
disebutkan di atas tadi? Bagaimana jika perbedaan hasil kerugian keuangan negara itu
dijadikan alasan pembenar bagi terdakwa supaya lolos dari jeratan hukum karena dianggap
melanggar hak konstitusional? Belum lagi jika audit yang dilakukan memakan waktu yang
lama, justru akan memperlambat proses hukum yang dilakukan oleh KPK, Kepolisian ataupun
Jaksa Penuntut Umum. Implikasinya, hal ini memberikan ketidakpastian hukum dan
ketidaksinkronan hukum nasional antara law in text dengan law in context;
20. Jawaban Permasalahan Disparitas
Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi
• Diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020 tentang
Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor;
• Pasal 5 ayat (1) Dalam menentukan berat ringannya pidana, Hakim harus
mempertimbangkan secara berurutan tahapan sebagai berikut:
a. kategori kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
b. tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan;
c. rentang penjatuhan pidana;
d. keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan;
e. penjatuhan pidana;
f. ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.
21. Kategori Kerugian Negara/Perekonomian
Negara (Pasal 2 Tipikor)
• kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah);
• kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah);
• kategori sedang, lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
sampai dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
• kategori ringan, lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
22. Kategori Kerugian Negara/Perekonomian
Negara (Pasal 3 Tipikor)
• kategori paling berat, lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah);
• kategori berat, lebih dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
• kategori sedang, lebih dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) sampai
dengan Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);
• kategori ringan, lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
sampai dengan Rpl.OOO.OOO.OOO,OO(satu miliar rupiah); dan
• kategori paling ringan, sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan terbagi ke dalam 3 (tiga)
kategori sebagai berikut: a. tinggi; sedang; rendah
23. Aspek Kesalahan Tinggi
1. terdakwa memiliki peran yang paling signifikan dalam
terjadinya tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri
maupun bersama-sama;
2. terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau yang
menyuruhlakukan terjadinya tindak pidana korupsi;
3. terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan
modus operandi atau sarana/ teknologi canggih; dan/ atau
4. terdakwa melakukan perbuatannya dalam keadaan bencana
atau krisis ekonomi dalam skala nasional;
24. Aspek Dampak Tinggi
1. perbuatan terdakwa mengakibatkan dampak atau kerugian
dalam skala nasional;
2. perbuatan terdakwa mengakibatkan hasil pekerjaan atau
pengadaan barang darr/ atau jasa sarna sekali tidak dapat
dimanfaatkan; dan/ atau
3. perbuatan terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi
kelompok masyarakat yang rentan, diantaranya orang lanjut
usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil, dan
penyandang disabilitas;
25. Aspek Keuntungan Terdakwa Tinggi
1. nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana
korupsi besarnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam
perkara yang bersangkutan; dan atau
2. nilai pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan
terdakwa besarnya kurang dari 10% (sepuluh persen) dari
nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dalam perkara
yang bersangkutan.
26. Aspek Kesalahan Sedang
1. terdakwa memiliki peran yang signifikan dalam terjadinya
tindak pidana korupsi, baik dilakukan sendiri maupun
bersama-sama;
2. terdakwa merupakan orang yang turut serta melakukan tindak
pidana korupsi;
3. terdakwa melakukan perbuatannya dengan disertai atau
didahului perencanaan tanpa modus operandi atau sarana/
teknologi canggih; dan / atau 4. terdakwa melakukan
perbuatannya dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi
dalam skala daerab /Iokal;
27. Aspek Dampak Sedang
1. perbuatan terdakwa mengakibatkan dampak atau kerugian
dalam skala provinsi; dan/ atau
2. perbuatan terdakwa mengakibatkan hasil pekerjaan atau
pengadaan barang dan/ atau jasa tidak dapat dimanfaatkan
secara sempurna sehingga membutuhkan penambahan
anggaran negara untuk perbaikan atau penyelesaian
28. Aspek Keuntungan Terdakwa Sedang
1. nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana
korupsi besarnya 10% (sepuluh persen) sampai dengan 50%
(limapuluh persen) dari kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara dalam perkara yang bersangkutan;
dan/ atau;
2. nilai pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan
terdakwa besarnya 10% (sepuluh persen) sampai dengan
50% (lima puluh persen) dari nilai harta benda yang diperoleh
terdakwa dalam perkara yang bersangkutan.
29. Aspek Kesalahan Rendah
1. terdakwa memiliki peran yang tidak signifikan dalam
terjadinya tindak pidana korupsi;
2. terdakwa merupakan orang yang membantu dalam
pelaksanaan tindak pidana korupsi;
3. terdakwa melakukan perbuatannya karena kurang
pemahaman mengenai dampak dari perbuatannya; dany atau
4. terdakwa melakukan perbuatannya tidak dalam keadaan
bencana atau krisis ekonomi;
30. Aspek Dampak Rendah
1. perbuatan terdakwa mengakibatkan dampak atau kerugian
dalam skala kabupaten/kota atau satuan wilayah di bawah
kabupaten/kota; dan atau
2. perbuatan terdakwa mengakibatkan hasil pekerjaan atau
pengadaan barang dan / atau jasa tidak sesuai spesifikasi
tanpa pertanggungjawaban yang jelas namun masih dapat
dimanfaatkan;
31. Aspek Keuntungan Terdakwa Rendah
1. nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana
korupsi besarnya kurang dari 10% (sepuluh persen) dari
kerugian negara atau perekonomian negara dalam perkara
yang bersangkutan dan/atau
2. nilai pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan
terdakwa besarnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
nilai harta benda yang diperoleh terdakwa dalam perkara
yang bersangkutan.