SlideShare a Scribd company logo
Sofyan RH.
Zaid, Tasawuf,
Filsafat, dan
Puisi Pagar
EDISI
030
|
TAHUN
III
|
NOVEMBER—DESEMBER
2023
MAJALAH KITA
S
A
J
A
K
-
S
A
J
A
K
H
L
M
.
4
7
-
5
9
GURU MELEK TEKNOLOGI
Bertahan hingga edisi 030 di tahun III lumayan berat.
Majalah elipsis sampai di fase itu. Masih cukup muda
untuk sebuah media massa. Namun, majalah ini
semaksimal mungkin terbit, meski terkadang harus
bernegosiasi dengan kesibukan para tim redaksi.
Cadangan naskah yang masuk ke surel redaksi cukup
tersedia, bahkan berlebih. Kami menyampaikan terima
kasih kepada para penulis/kontributor di berbagai kota
di Indonesia bahkan negeri jiran yang telah mengirimkan
naskah terbaiknya untuk majalah ini. Seperti halnya media
lain, sistem kurasi berlaku di elipsis.
Naskah-naskah yang terbit di setiap edisi elipsis adalah
naskah yang telah melewati meja redaktur. Yang belum
terbit barangkali sedang duduk di daftar antrean. Jika
belum berpeluang terbit, 2-3 bulan kemudian Anda dapat
melakukan penarikan naskah.
Bukan berarti naskah yang ditolak tidak baik, barangkali
belum cukup tempat di elipsis, dan berkemungkinan
berpeluang terbit di media lain. Yang pasti, jangan
sungkan untuk mengirimkan naskah-naskah terbaru untuk
majalah elipsis.
Edisi kali ini elipsis disemarakkan dengan tulisan para
kontributor, baik opini, esai, cerpen, maupun puisi.
Transformasi pendidikan di era digital menjadi sorotan
elipsis. Sudah sewajarnya pendidik melek teknologi yang
terus berkembang dari waktu ke waktu.
Akhirnya, selamat membaca. Salam bahagia dari kami.
REDAKSI
SETUMPUK NASKAH
Salam Redaksi
Redaksi menerima tulisan berupa
esai, cerpen, puisi, resensi buku,
reportase kegiatan seni, sastra,
wisata, dan lain-lain. Naskah dikirim
ke surel: majalahelipsis@gmail.com.
ISSN 2797-2135
elipsis
Media Komunitas
Diterbitkan oleh Sekolah Menulis
elipsis bekerja sama dengan
Penerbit Egypt van Andalas
Padang Panjang, Sumatra Barat
Redaksi:
Jl. Soekarno-Hatta, No. 02
Kota Padang Panjang
Sumatera Barat
Penasihat Redaksi
Sulaiman Juned
Riri Satria
Bachtiar Adnan Kusuma
Dasman Djamaluddin
Pemimpin Umum
Muhammad Subhan
Pemimpin Redaksi
Ayu K. Ardi
Sekretaris Redaksi
Tiara Nursyita Syariza
Bendahara Redaksi
Asna Rofiqoh
Redaktur Bahasa
Anita Aisyah
Dian Sarmita
Redaktur
Dona Susanti
Fataty Maulidiyah
Husnul Khatimah
Maghdalena
Nurhayati
Neneng J.K.
Rilen Dicki Agustin
Sholikin
Zainal Arif
Tata Letak
Muhammad Ilham
6
SOROTAN
Guru Melek Teknologi di Era
Transformasi Digital
13
SOROTAN
Anugerah Tertinggi dari Raja Spanyol
untuk Pianis Ananda Sukarlan
18
JENDELA
Membaca Karya Prof. Firdaus Syam,
Sosok yang Gelisah, Memotret
Realitas Sosial dengan Pendekatan
Spiritualitas
21
SAMPUL
Sofyan RH. Zaid, Tasawuf, Filsafat,
dan Puisi Pagar
27
GELANGGANG
Kota yang Berubah Menjadi Anjing
31
GELANGGANG
Sahabat Tua di Hulu Mata Air
Daftar Isi
November—Desember 2023
elipsis edisi 030
Foto Sampul:
Sofyan RH. Zaid
Penyair, Pekerja Buku
Foto: Dokumentasi:
Syofyan RH. Zaid
Kontributor
Lukisan
Alkhair Aljohore
Hanum Rimahani Syakira
Nada Rahidatul Janah YN
Rezi Ilfi Rahmi
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 3
38
GELANGGANG
Ratih
47
SAJAK
60
APRESIASI
68
DESTINASI
Solok Selatan, Wisata Halal dan
Pesona Saribu Rumah Gadang
71
SENI
Tari Anak Generasi Alfa
74
KOLOM
Teater, Kematangan Identitas
Melahirkan Kualitas Artistik
76
BAHASA
Hati-Hati Menulis Judul
79
ESAI
Di Balik Tirai Paris Opera Balet
82
TEMPAYAN
Ada Keburukan
94
OTA LEPAU
Pramuka
Daftar Isi
November-Desember 2023
elipsis edisi 030
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 4
Judul :
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 5
K A N V A S
“Lawatari: Padang Panjang” adalah
program kolaborasi IDF dengan Ruang
Tumbuh Institute sebagai mitra
artistik dan produksi serta didukung
ISI Padang Panjang. Program ini juga
didukung penuh Kementerian
Pendidikan, Budaya, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Dana
Indonesiana, serta LPDP.
IDF Bawa Program Gelar Arsip,
Lokarya, Diskusi, dan Seni
Pertunjukan di ISI Padang Panjang
ke kantong-kantong seni pertunjukan
di Indonesia dan menjalin
keterhubungan melalui penampilan
karya juga program-program yang
mendukung perkembangan ekosistem
seni pertunjukan di Indonesia, baik di
depan maupun balik layar.
Lawatari, yang merupakan bagian
dari seri program Road to IDF 2024,
dirancang untuk hadir di tiga kota:
Makassar, Padang Panjang, dan
Yogyakarta (Januari 2024),” ujar Ratri
Anindyajati, Direktur IDF dalam
jumpa pers dengan awak media di ISI
Padang Panjang, Rabu, 6 Desember
2023 di Studio TV & Film ISI Padang
Panjang.
FOTO: MUHAMMAD SUBHAN | ELIPSIS
S O R O T A N
Tim IDF diwakili Nungki Kusumastuti dan Rektor ISI Padang Panjang
Febri Yulika mendandatangi MoU program Lawatari: Padang Panjang,
Rabu, 6 Desember 2023, di Studio TV & Film ISI Padang Panjang.
DUKUNG EKOSISTEM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA
elanjutkan pertunjukan
Lawatari di Makassar dalam
kolaborasi dengan Makassar
Biennalepada 15-16 September lalu,
Indonesian Dance Festival (IDF)
bertolak ke Padang Panjang
menampilkan pertunjukan karya dan
menginisiasi lokakarya, diskusi, juga
presentasi arsip.
“Lawatari: Padang Panjang”
berlangsung pada 6-7 Desember 2023
dalam kolaborasi dengan Ruang
Tumbuh Institute dan Institut Seni
Indonesia (ISI) Padang Panjang.
Nama Lawatari dibentuk dari
gabungan dua kata; lawat dan tari,
yang menyiratkan semangat melawat
M
OLEH MUHAMMAD SUBHAN
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 6
“Lawatari: Padang Panjang”
menggunakan beberapa area di
ISI Padang Panjang
menghadirkan rangkaian
program, di antaranya
pertunjukan karya “SILO” oleh
Hari Ghulur dan “Tanangan”
oleh Kurniadi Ilham di Gedung
Pertunjukan Hoerijah Adam ISI
Padang Panjang. Setiap
pertunjukan dilanjutkan
dengan Bincang Karya
bersama masing-masing
seniman, juga akademisi Dr.
Susas Rita Loravianti dan
Ahmad Oscar Ridho, seniman
Ali Sukri, dan kurator IDF Linda
Mayasari sebagai penanggap
dan moderator.
Selain itu, kedua
koreografer mengampu
Masterclass untuk memperkaya
kemampuan praktisi seni
pertunjukan.
Lokakarya Seni Tata Kelola:
Merakit Ruang untuk Tumbuh
Bersama yang difasilitasi Linda
Mayasari (kurator IDF) dan
Maria Renata Rosari (manajer
festival IDF) mengajak
produser dan pekerja
manajemen seni pertunjukan
untuk bertukar pikiran dan
merumuskan cara kerja tata
kelola seni yang efektif dalam
konteks lokal.
Kegiatan lainnya Bincang
Tari edisi Lawatari: Padang
Panjang berfokus pada tata
kelola produksi dalam diskusi
yang menghadirkan Ery Mefri
(Nan Jombang Dance
Company), Hartati (koreografer
seniordan ko-kurator IDF
2020), juga Ratri Anindyajati
(Direktur IDF) dan Linda
Mayasari (kurator IDF).
Sebelum memasuki gedung
pertunjukan, audiens diajak
menyimak Gelar Arsip Vasana
Tari IDF yang berjudul “Melipat
Jarak, Merajut Keterhubungan”
dan menyajikan jejak jalinan
hubungan panjang antara IDF
dengan komunitas tari di
Sumatra Barat.
Sementara dalam karya
“SILO” yang pertama kali
ditampilkan pada malam
pembukaan IDF 2022 di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, Hari
Ghulur berangkat dari tradisi
tahlil dalam Islam, menciptakan
gerakan repetitif sebagai
metode dialog dengan Yang
Maha. Dalam karya ini, gerak
tubuh dibatasi di bagian torso,
dan dimaksudkan untuk
mencapai puncak emosi dan
spiritual.
Karya ini lahir dari
pengalaman Ghulur sebagai
santri di tanah Madura,
kampung halamannya. Dalam
S O R O T A N
sesi masterclass, sang
koreografer akan menggali
keterbatasan fisik (limitation)
untuk mengeksplorasi tubuh
dalam konteks penciptaan tari.
Dari keterbatasan ini, ia
menantang peserta untuk
menemukan bentuk kebebasan
yang unik dalam diri masing-
masing.
Karya “Tanangan” berangkat
dari pengamatan Kurniadi
Ilham tentang rutinitas warga
di setapak pematang sawah.
Dalam proses eksplorasi karya,
ia menggunakan beberapa jenis
ilmu silat untuk mengeksplorasi
konsep pengendalian diri.
Karyati gababak ini mengajak
penonton turut mengalami
intensitas gerak di atas bambu
dalam relasinya dengan
keseimbangan yang
menyeluruh. Koreografer yang
akrab disapa Uda Ilham ini akan
mengampu masterclass tentang
melatih fokus dan kontrol
“Tanangan” karya koreografer Kurniadi Ilham akan ditampilkan sebagai bagian dari
program Lawatari: Padang Panjang yang akan diadakan pada 6-7 Desember 2023 di ISI
Padang Panjang.
FOTO: DOK. KURNIADI ILHAM | IDF
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 7
dalam tari.
Sebelum menyaksikan
pertunjukan, audiens disuguhi
gelar arsip Vasana Tari IDF
yang bertajuk “Melipat Jarak,
Merajut Keterhubungan.”
Presentasi yang diadakan di
selasar Gedung Pertunjukan
Hoerijah Adam ini
memperlihatkan berbagai karya
tari bernapas ragam budaya
Sumatra Barat yang turut
membentuk dinamika IDF sejak
edisi perdananya pada 1992.
Karya-karya tari yang pernah
ditampilkan tersebut memiliki
kemampuan untuk
memperlihatkan pergeseran
tradisi hingga respons terhadap
situasi sosial-politik dari masa
ke masa.
Direktur IDF Ratri
Anindyajati menyampaikan,
seni pertunjukan sangat
bergantung pada konteks lokal
tempat sebuah karya dibentuk,
juga cara tata kelola seni yang
dijalankan.
“Kami sangat gembira di
tahun 2023 dan 2024
mendatang, kami memiliki
kesempatan untuk
berkolaborasi dengan
komunitas-komunitas tari di
Makassar, Padang Panjang, dan
Yogyakarta,” katanya.
Upaya bertukar wawasan
seputar tata kelola seni
pertunjukan dengan pegiat
balik layar, kurator Linda
Mayasari dan Manajer Festival
IDF Maria Renata Rosari
memfasilitasi lokakarya dua
sesi. Dalam “Seni Tata Kelola:
Merakit Ruang untuk Tumbuh
Bersama”, kedua fasilitator
mengajak peserta dalam kelas
kecil untuk saling memantulkan
praktik keproduksian dalam
konteks seni pertunjukan di
Jakarta, Yogyakarta, dan
Padang Panjang.
Kurator IDF Linda Mayasari
mengatakan, pihaknya
S O R O T A N
menggagas lokakarya ini
sebagai upaya untuk saling
memahami praktik lapangan
yang berbeda antara
pengalamannya di Jakarta dan
Yogyakarta, dengan Padang
Panjang. Hal ini sejalan dengan
semangat Lawatari untuk
melihat bentuk kerja tata
kelola dalam beragam konteks
lokasi.”
Bincang karya “Merajut
Ragam Tata Kelola Produksi”
mengundang narasumber dari
berbagai latar belakang untuk
mendiskusikan cara-cara
efektif dalam mengelola
produksi seni pertunjukan.
Diskusi ini menghadirkan tiga
tokoh tari asal Sumatra Barat:
Ery Mefri (koreografer dan
penggagas Nan Jombang Dance
Company), Hartati (koreografer
yang menggagas Yayasan Seni
Tari Indonesia dan festival
MenTARI di Sumatra Barat),
serta Roza Muliati (akademisi,
ISI Padang Panjang). Dalam
diskusi ini, mereka bertukar
pikir dengan dua anggota tim
IDF: Direktur Ratri Anindyajati
dan kurator Linda Mayasari.
Sementara Rektor ISI
Padang Panjang Dr. Febri
Yulika, S.Ag., M.Hum. pada
kesempatan itu menyampaikan
terima kasih kepada IDF yang
telah membawa program
“Lawatari: Padang Panjang” ke
kampus ISI Padang Panjang
yang ia pimpin.
“Kami menyambut baik
program ini dan mudah-
mudahan bisa terus
berkelanjutan,” harap Febri.
(*/RLS/AAN/ELIPSIS)
“SILO” oleh Hari Ghulur akan ditampilkan di ISI Padang Panjang. Karya ini
pertama dihadirkan pada malam pembukaan IDF 2022.
FOTO: DOK. IDF
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 8
diperbarui secara terus-
menerus seiring dengan
hadirnya teknologi baru yang
bisa memudahkan pekerjaan
guru dalam proses
pembelajaran. Semakin aktif
guru dalam mengikuti dan
menerapkan teknologi
pembelajaran artinya semakin
banyak keterampilan yang
Guru Melek
Teknologi di Era
Transformasi Digital
dimilikinya.
Penggunaan teknologi
pembelajaran tidak hanya
bermanfaat dalam
mengembangkan dan
meningkatkan kualitas guru,
tetapi ia juga berfungsi untuk
memungkinkan keterlibatan
siswa. Mereka bisa
mendapatkan pengalaman
Era digital terus berkembang. Teknologi telah menjadi hal tak terpisahkan
dari kehidupan manusia, termasuk di dunia pendidikan. Guru menjadi
pelaksana kurikulum dan pendidik yang berinteraksi langsung dengan
peserta didik dan memiliki peranan sangat penting.
S O R O T A N
FOTO: DOK. MAJALAH ELIPSIS
Fitri Kumala Sari, S.Pd.Gr., guru SDN 10 Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang,
sedang menerangkan pelajarannya kepada murid menggunakan media infokus.
Perangkat digital sudah menjadi kebutuhan dalam proses belajar-mengajar.
OLEH FATATIK MAULIDIYAH | MUHAMMAD SUBHAN
elek teknologi
menjadi
keniscayaan bagi
guru untuk mendukung
efektivitas dan efisiensi pada
proses belajar-mengajar.
Urgensi melek teknologi
beserta keterampilan lainnya
yang harus dikuasai guru,
terutama di bidang IT.
Teknologi telah menjadi
pendukung pembelajaran.
Sejak pandemi Covid-19
lalu, tak bisa dimungkiri bahwa
telah terjadi revolusi di dunia
pendidikan. Pembelajaran
yang mulanya berlangsung di
ruang-ruang kelas beralih ke
ruang-ruang digital melalui
berbagai media, seperti Zoom,
G-Meet, Google Classroom,
WAG, dan lain sebagainya.
Guru dipaksa menguasai IT
meskipun tidak semuanya
harus diterapkan.
Perlu Terus Diperbarui
Melek teknologi di
kalangan guru perlu
M
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 9
Digital
Guru dapat menggunakan
perangkat digital seperti
komputer, tablet, dan
perangkat pintar lainnya
dalam proses pembelajaran.
Hal ini memungkinkan guru
untuk memperkenalkan materi
secara interaktif melalui
presentasi multimedia, akses
ke sumber daya daring, dan
berbagai alat pembelajaran.
b. Platform Pembelajaran
Daring
Guru dapat memanfaatkan
platform pembelajaran daring
(LMS) untuk mengatur materi
pembelajaran, tugas, dan
komunikasi dengan siswa. Hal
ini memberi siswa akses yang
mudah yang mudah pada
bahan pembelajaran dan
memungkinkan guru untuk
melacak kemajuan mereka.
c. Aplikasi Edukasi
Ada banyak aplikasi
pendidikan yang dirancang
khusus untuk membantu guru
dalam mengajar berbagai
bidang studi. Guru dapat
memilih aplikasi yang sesuai
dengan kurikulum yang
dibutuhkan siswa.
d. Pembelajaran Berbasis
Proyek
Guru dapat memanfaatkan
teknologi dalam rangka
mengorganisir proyek berbasis
teknologi di mana siswa
bekerja sama dalam mengatasi
masalah atau tugas tertentu.
Hal ini sangat membantu siswa
meningkatkan kemampuan
berkolaborasi dan
memecahkan masalah.
e. Kustomisasi Pembelajaran
Dengan teknologi, guru
dapat merancang
pembelajaran sesuai yang
dibutuhkan siswa secara
individual. Penerapan
kustomisasi pembelajaran ini
sangat relevan dengan
pembelajaran differensial.
Integrasi teknologi dalam
pendidikan oleh guru bukanlah
sekadar penggunaan
perangkat elektronik, tetapi
juga perubahan dalam cara
guru dalam mengajar dan
siswa belajar. Ini menciptakan
lingkungan pembelajaran yang
lebih dinamis, menarik, dan
relevan dengan kehidupan di
era digital. Dengan guru melek
teknologi, siswa memiliki
kesempatan yang lebih baik
untuk mengembangkan
keterampilan yang diperlukan
di era serba digital ini.
Kesiapan Empat Elemen
Utama
Pakar Teknologi Digital dan
Dosen Fakultas Ilmu
S O R O T A N
Murid-murid SDN 10 Padang Panjang Barat sedang memecahkan soal-soal pembelajaran
melalui perangkat digital Chromebook. Melek digital sudah harus diajarkan sedini mungkin
kepada siswa.
FOTO: DOK. HUMAS UPT PBBH
belajar yang menyenangkan,
lebih baik, lebih berkualitas,
interaktif, sekaligus menarik.
Guru bisa menggabungkan
elemen-elemen multimedia,
melakukan diskusi daring,
tugas proyek berbasis
teknologi. Hal ini dapat
membantu siswa memahami
lebih baik tentang materi dan
lebih mendalam serta relevan.
Integrasi Teknologi
Pendidikan
Integrasi teknologi dalam
pendidikan merupakan
pendekatan yang sangat
penting. Ia memiliki peran
dalam memperkaya
pengalaman belajar siswa dan
membantu serta mendukung
siswa siap menghadapi era
digital. Dalam hal ini guru
memiliki peran kunci dalam
mewujudkan integrasi
teknologi. Berikut ini beberapa
cara guru mengintegrasikan
teknologi dalam pendidikan.
a. Pemenfaatan Perangkat
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 10
Indonesia. Namun kesiapan
setiap negara berbeda-beda.
Bahkan kesiapan berbagai
wilayah dalam satu negara pun
berbeda-beda. Semua sangat
tergantung kepada kesiapan
empat elemen utama, yaitu
infrastruktur digital, strategi
pembelajaran dan kurikulum,
manusianya berupa guru dan
peserta belajar, serta kesiapan
kebijakan organisasi berupa
kesiapan semua perangkat
kebijakan dan peraturan
sekolah dalam
menyelenggarakan proses
belajar-mengajar dalam
bentuk STDP, DTSP, dan
DTDP. Infrastruktur digital
bisa dibeli, tetapi yang lainnya
harus dibentuk dan di situlah
letak tantangannya. Tantangan
terbesar terletak kepada
kesiapan manusia, yaitu
kesiapan guru dan peserta
belajar”, demikian Riri
melanjutkan penelasannya.
Bagaimanakah transformasi
digital dalam dunia
pendidikan?
Riri Satria menjelaskan,
tranformasi digital dalam
dunia pendidikan itu berarti
mengubah lingkungan belajar
atau learning environment
dari yang tradisional menjadi
lingkungan belajar berbasis
digital atau digital learning
environment. Ini berarti
kombinasi dari empat
pendekatanm yaitu
mengadopsi pendekatan baru
STDP, DTSP, dan DTDP, tanpa
meninggalkan yang sudah ada,
yaitu STSP.
Untuk melakukan
transformasi digital yang
sukses pada dunia pendidikan,
setidaknya ada enam
komponen yang
ditransformasi, yaitu strategi
pembelajaran atau learning
strategy, struktur dan proses
pembelajaran, teknologi digital
untuk pembelajaran atau
digital learning technology,
tata kelola atau governance
dari teknologi tersebut,
manajemen sumber daya
manusia dalam lingkungan
pembelajaran atau HR
management in learning
environment, serta tentu saja
budaya organisasi berupa
budaya pembelajaran digital
atau digital learning culture
yang ada di sekolah.
“Kesiapan kita tidak sama
di setiap wilayah di Indonesia,
terutama kesiapan
infrastruktur digital serta
guru-gurunya. Masyarakat di
Indonesia sangat beragam,
mulai dari masyarakat 1.0 yang
sangat tradisional sampai
dengan masyarakat 5.0 atau
smart society. Kesenjangan ini
juga menyebabkan terjadinya
gap yang besar dalam proses
belajar-mengajar selama
pandemi covid-19 melanda
S O R O T A N
Komputer Universitas
Indonesia, Riri Satria,
menjelaskan bahwa gagasan
mengenai transformasi digital
dalam proses pembelajaran
sudah dimulai sejak tahun
1988, ketika konsep time-
space matrix diperkenalkan.
Pada konsep ini, proses
belajar-mengajar dapat
berlangsung dalam empat
bentuk, yaitu (1) same time
same place (STSP) yang
dikenal dengan juga classroom
learning tradisional, (2) same
time different place (STDP)
yang dikenal dengan istilah
long distance synchronous
learning di mana proses
belajar mengajar berlangsung
pada waktu yang sama namun
guru dan peserta belajar bisa
berada pada lokasi yang
berbeda, kemudian (3)
different time same place
(DTSP) yang dikenal dengan
istilah guided asynchronous
learning di mana peserta
belajar berada dalam satu
tempat namun dapat
mengakses modul belajar
dalam waktu yang berbeda
sesuai kebutuhan, serta (4)
different time different place
(DTDP) yang dikenal dengan
istilah long distance
asynchronous learning atau
on-demand learning di mana
peserta belajar dapat belajar
kapan saja dan di mana saja
dengan mengakses model
pembelajaran.
“Kondisi pandemi Covid-19
yang melanda dunia memaksa
proses belajar mengajar
mengarah ke bentuk STDP,
DTSP, dan DTDP. Ini terjadi di
seluruh dunia, bukan hanya di
Riri Satria
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 11
mengoptimalkan jagat digital
atau cyberspace untuk
kepentingan belajar-mengajar.
“Pada era masyarakat
digital saat ini, digital literacy
atau literasi digital sudah
menjadi keharusan untuk
dikuasai oleh semua lapisan
masyarakat walaupun dalam
tingkatan yang berbeda-beda.
Tidak hanya profesi guru,
profesi dokter, juga mulai ada
keharusan memahami digital
health system atau sistem
kesehatan digital. Bahkan
asisten rumah tangga pun saat
ini sudah harus paham
berbagai peralatan digital di
rumah. Profesi sopir pun saat
membutuhkan literasi digital,
yaitu kemampuan
mengoperasikan
geopositioning systems atau
GPS seperti Google Maps. Jadi
ini adalah tuntutan
perkembangan zaman, dan ini
bukan lagi sesuatu yang
futuristik. Semua sudah sangat
dibutuhkan saat ini dan
mendesak di semua lapisan
masyarakat. Tentu saja semua
ini hanya dapat dilakukan
dengan membaca dan belajar,”
papar Riri.
Riri Satria juga berpesan,
jangan sampai guru kalah
dengan muridnya dalam hal
literasi digital ini. Secara
kemampuan adaptasi, generasi
yang lebih muda berupa
generasi milenia atau Gen Z
dan Gen Alfa memang lebih
cepat beradaptasi dengan
teknologi digital. Namun
apapun alasannya, sebagai
orang yang akan mendidik
generasi muda tersebut, para
guru tidak boleh kalah,
setidaknya maju selangkah
atau tinggi seranting. (*)
S O R O T A N
Indonesia, bahkan dunia,” ujar
Riri Satria.
Pentingnya Literasi Digital
Dengan demikian, literasi
digital untuk para guru dan
dosen menjadi sangat penting
atau titik kritis keberhasilan
transformasi digital dalam
dunia pendidikan. Ini adalah
kemampuan untuk
mengidentifikasi dan
menggunakan teknologi digital
dengan baik, kreatif, dan kritis
untuk berbagai macam hal,
antara lain: memahami dan
tahu cara menggunakan alat
teknologi digital, mencari
serta menggunakan informasi
secara kritis termasuk
memvalidasi sumber data dan
media, berkomunikasi dan
berkolaborasi dalam
lingkungan online atau siber,
serta mampu menjaga
keamanan dan privasi berupa
identitas dan data pribadi di
dunia online atau siber. Para
guru sudah harus mampu
mengoperasikan learning
management systems atau
LMS yang sudah mulai banyak
diterapkan di sekolah-sekolah,
di samping fasih
Digital Transformation in Learning Environment.
ILUSTRASI: DOK. RIRI SATRIA
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 12
angat membanggakan.
Pianis dan komposer
Indonesia Ananda
Sukarlan menerima ‘Royal
Order of Isabella the Catholic
(Real Orden de Isabel la
Católica)’, yang merupakan
penghargaan tertinggi yang
diberikan Kerayaan Spanyol
kepada individu sipil atau
lembaga sebagai pengakuan
atas jasa luar biasa terhadap
negara atau hubungan
internasional/kerja sama
dengan negara lain.
Anugerah Tertinggi
dari Raja Spanyol untuk
Pianis Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan
merupakan warga negara
Indonesia pertama yang
menerima anugerah dari Yang
Mulia Raja Felipe VI Spanyol
itu.
Penganugerahan
diserahkan Duta Besar Spanyol
untuk Indonesia, Mr.
Francisco Aguilera Aranda, di
Jakarta, Jumat (17/11/2023).
Seperti diketahui, ‘Orden
de Isabel de Catolica’
penghargaan bergengsi kelas
dunia yang diciptakan
S
Pianis dan komponis berkaliber internasional Ananda Sukarlan menerima
penghargaan tertinggi dari Raja Spanyol. Ananda satu-satunya seniman
asal Indonesia yang diberikan anugerah itu.
SOROTAN
PENGHARGAAN:
Duta Besar Spanyol untuk
Indonesia, Mr. Francisco
Aguilera Aranda (kanan),
menyerahkan piagam
penghargaan dari Raja
Felipe VI Kerajaan Spanyol
kepada pianis Ananda
Sukarlan, Jumat
(17/11/2023), di Jakarta.
FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 13
pertama kali pada tahun 1815
oleh Raja Ferdinand VII untuk
menghormati Ratu Isabella I.
Sebelumnya, Ananda
Sukarlan pernah dianugerahi
gelar ksatria ‘Cavaliere Ordine
della Stella d'Italia’ oleh
Presiden Sergio Mattarella
pada 2020.
Selain itu, Ananda Sukarlan
merupakan artis Indonesia
pertama yang diundang
Portugal tepat setelah
hubungan diplomatik
Indonesia dan Portugal pada
tahun 2000.
Di samping itu, Ananda
Sukarlan telah dianugerahi
banyak penghargaan non-
pemerintah, seperti Prix Nadia
Boulanger dari Orleans,
Prancis.
Baru-baru ini Ananda
Sukarlan juga masuk di 32
buku "Pahlawan di Antara
Kita", yang ditulis Dr. Amit
Nagpal yang diterbitkan di
India.
Ananda juga masuk sebagai
salah satu dari 100 "Orang Asia
Paling Berpengaruh" di dunia
seni tahun 2020 oleh Majalah
Tatler Asia.
Diplomasi Budaya
Sahabat Ananda Sukarlan
yang juga pengamat teknologi
digital, Riri Satria,
menyampaikan rasa syukur
dan bangganya atas prestasi
yang diraih Ananda Sukarlan.
“Ini suatu kebanggan,
sebagai sahabat saya sangat
bangga,” ujar Riri Satria kepada
majalahelipsis.com, Sabtu
(18/11/2023).
Menurut Riri, capaian
prestasi tersebut merupakan
hasil kerja keras Ananda
Sukarlan selama ini yang
memberikan kontribusi
terbaik bagi kedua negara dari
sisi kesenian dan kebudayaan.
“Ini sangat dibutuhkan
dalam persahabatan antar
negara dalam situasi global
saat ini,” kata Ketua
Komunitas Jagat Sastra
Milenia (JSM) itu.
Disebutkan Riri, Ananda
Sukarlan adalah musisi yang
sanggup tune in dengan
perkembangan peradaban. Dia
mengikuti perkembangan
teknologi seperti kecerdasan
buatan, blockchain, dan
sebagainya.
“Itu menunjukkan kapasitas
dirinya yang jauh melampaui
profesi sebagai musisi atau
seniman,” ungkap Riri Satria.
Selain itu, prestasi Ananda
Sukarlan juga sebuah
pengabdian yang terus-
menerus dan berkarya dengan
tulus sehingga mendapatkan
penghargaan yang setinggi-
tingginya.
“Saya juga bangga
beberapa puisi saya pernah
digubah Mas Ananda menjadi
musik klasik untuk piano.
Selamat atas penganugerahan
ini dan Mas Ananda semakin
sukses berkarya ke depannya,
memadukan musik dan puisi,”
tambah Riri Satria yang juga
Pimpinan Umum Jurnal
Sastramedia.
Di sela-sela bincang-
bincang Riri Satria bersama
Ananda Sukarlan sesaat
sebelum acara, dedikasi
Ananda yang besar itu
S E J A R A H
FOTO: DOK. IST.| MAJALAH ELIPSIS
Riri Satria, Emi Suy, Ananda Sukarlan, berfoto bersama Duta Besar Spanyol untuk Indonesia, H. E.
Francisco Aguilera Aranda, di sela-sela acara Penganugerahan Royal Order of Isabella the Catholic
(Real Orden de Isabel la Católica), Jumat, 17 November 2023, di Jakarta.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 14
merupakan salah satu
diplomasi budaya antara
Indonesia dengan dunia
Internasional, khususnya
dengan Kerajaan Spanyol.
“Bahwa, ini menjadi bukti
musik (klasik) sebagai salah
satu media pemersatu bangsa.
Alat yang dapat dijadikan
sebagai jembatan hubungan
bilateral antar negara,” ujar
Riri.
Sang Maestro
Sementara itu, penyair
Perempuan Indonesia, Emi
Suy, secara terpisah
mengatakan, Ananda Sukarlan
bukan hanya seorang
komponis dan musisi biasa
namun dirinya adalah sang
maestro yang telah membawa
nama baik Indonesia harum di
mata dunia Internasional.
“Komponis dan musisi yang
bekerja tak hanya memuliakan
hidup dan kehidupan namun
juga memanusiakan manusia
dengan mengangkat sastra
khususnya puisi
menggubahnya menjadi musik
klasik, kemudian mengangkat
isu perdagangan manusia baik
pada masa lampau maupun
saat ini. Kepedulian yang
tinggi yang membuat banyak
orang respek, maka pantaslah
Ananda menerima
penghargaan yang tinggi itu,”
ujar Emi Suy yang turut hadir
pada malam pemberian
anugerah kepada Ananda
Sukarlan.
Ia menambahkan, Ananda
Sukarlan menemukan
dunianya sendiri setiap kali
berhubungan dengan musik.
Sejak usia lima tahun Ananda
Sukarlan sudah belajar piano,
yang dilakukan atas inisiatif
sendiri. Lama-kelamaan
kebiasaan itu menjadi
semacam kecanduan.
“Musik inilah yang
membantu Ananda Sukarlan
untuk bisa mengekspresikan
perasaan dan pikirannya,”
papar Emi.
Emi menambahkan,
dedikasi yang tinggi,
konsisten, kerja keras , dan
bersungguh-sungguh, serta
tulus berkarya dengan hati
yang penuh, rasa yang utuh,
pikiran dan jiwa yang tangguh
selain akan menuai hasil
maksimal juga pantas
mendapatkan penghargaan
setinggi-tingginya. Dan,
penghargaan itu layak
diberikan kepada Ananda
Sukarlan.
“Sebuah perjalanan panjang
yang akan membekas dalam
ingatan dan menjadi
kenangan yang pantas
mendapatkan tempat terindah
di hati semua orang. Selamat
buat Ananda Sukarlan,” ujar
Emi Suy.
Bonus dari Pengabdian
Ananda Sukarlan lulus dari
Sekolah Menengah Kolese
Canisius di Jakarta pada tahun
1986 dan kemudian
melanjutkan studi di Koninklijk
Conservatorium (Royal
Conservatory of Music) di Den
Haag, Belanda, di mana ia
kemudian lulus dengan
predikat Summa CumLaude.
“Saya seorang seniman,
dan saya hanya menjalankan
tugas saya untuk
menghadirkan keindahan dan
kedamaian melalui music,” ujar
Ananda Sukarlan.
Ananda Sukarlan dilahirkan
di Indonesia namun besar di
Spanyol, khususnya setelah ia
lulus pendidikan di Belanda.
S E J A R A H
FOTO: DOK. CHENDRA PANATAN DARI FACEBOOK
Ananda Sukarlan dengan para sahabat.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 15
“Saya berutang banyak pada
Indonesia dan Spanyol. Terima
kasih kepada negara-negara
ini. Kalau saya mendapat
pengakuan yang begitu besar,
ini bonus yang sangat saya
hormati,” ujar Ananda Sukarlan
saat memberikan pidato
penghormatan ketika ia
menerima penghargaan itu di
hadapan 150 undangan.
Ananda juga
menyampaikan ucapan terima
kasihnya kepada sejumlah
tokoh penting dalam
hidupnya, termasuk mantan
presiden Indonesia B.J.
Habibie dan Abdurrachman
Wahid (Gus Dur) yang pernah
bekerja sama dengannya di
masa lalu.
Dua proyek miliknya akan
diluncurkan pada akhir tahun
ini. Sony Classical merilis
musik terbarunya, "The
Springs of Vincent",
berdasarkan lukisan musim
semi Vincent Van Gogh, yang
dibawakan pemain flute
Eduard Sanchez.
Di Indonesia juga akan
diluncurkan film dokumenter
Rainha Boki Raja.
Soundtracknya dibuat Ananda
Sukarlan, dinarasikan aktris
terkemuka Christine Hakim
(yang juga, seperti Ananda
Sukarlan, penerima gelar
ksatria dari 2 negara: Orde
Matahari Terbit Jepang dan
Ordre des Arts et des Lettres
dari Prancis) pada narasinya
oleh Linda Christanty
berdasarkan buku karya Prof.
Dr. Toeti Heraty Roosseno.
(TIARA NURSYITA SARIZA |
MUHAMMAD SUBHAN)
S E J A R A H
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 16
engamat Transformasi
Digital, Ketua
Komunitas Jagat
Sastra Media (JSM) dan
Pemimpin Umum Sastramedia,
Riri Satria, menilai Guru Besar
Ilmu Politik dan Ketahanan
Nasional, Prof. Firdaus Syam,
sebagai sosok yang selalu
gelisah dan terusik dengan
berbagai kondisi kehidupan.
Sosok yang Gelisah, Memotret
Realitas Sosial dengan
Pendekatan Spiritualitas
“Kegelisahan itu ditangkap
dengan rasa, ditulis dalam
bentuk puisi, ungkapan, atau
reaksi emosi atas kegelisahan,
supaya pembaca maupun
pendengar tergugah, dalam
hal ini beliau sebagai penyair,”
ujar Riri Satria saat tampil
sebagai pembicara pada Bedah
Lima Buku dan Konser
Antologi Puisi Karya
P
Firdaus Syam seorang yang puitis dan menyukai musik. Tidak hanya itu, ia
juga akrab dengan buku, seorang pembaca, dan penulis andal selain
seorang yang trendi dalam penampilan.
J E N D E L A
Guru Besar Ilmu Politik, Prof. Firdaus Syam, saat memberikan sambutan acara bedah buku dan musikalisasi puisi dalam
rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023, di Gedung Auditorium UNAS, Jakarta.
MEMBACA KARYA PROF. FIRDAUS SYAM
FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 18
Prof. Firdaus Syam atau yang
akrab disapa Bang Firdaus,
Sabtu (28/10/2023), di
Auditorium Kampus
Universitas Nasional, Jakarta.
Kegiatan itu dalam rangka
memperingati Bulan Bahasa
dan Sumpah Pemuda dan
diselenggarakan Fakultas
Bahasa dan Sastra (FBS)
Universitas Nasional (Unas)
Jakarta.
Menurut Riri Satria yang
juga seorang penyair,
kegelisahan Firdaus Syam
ditangkap dengan pikiran
yang rasional, dianalisis, dan
menghasilkan berbagai
gagasan solusi, yang dalam hal
ini beliau sebagai ilmuwan.
“Puisi-puisi Bang Firdaus
ditulis dan tersampaikan ke
khalayak dengan pendekatan
spiritualitas,” papar Riri Satria.
Riri Satria memandang
sosok Firdaus Syam yang
terlihat secara artefak atau
kasat mata namun seorang
multitalenta. Ia seorang
ilmuwan, profesor/guru
besar, dan pemikir. Selain itu,
sosok yang religius dan punya
afiliasi dengan HMI dan MUI.
“Yang menarik, beliau
seorang yang puitis dan
menyukai musik. Tidak hanya
itu, beliau juga akrab dengan
buku, seorang pembaca dan
penulis andal selain seorang
yang trendi dalam
penampilan,” ungkap Riri
Satria.
Riri Satria menyampaikan
sosok Firdaus Syam terbaca
dari puisinya, yakni Heksagon
Kegelisahan Puitis Bang
Firdaus Syam.
“Ada enam, di antaranya,
pertama, ketuhanan, agama,
dan spiritualitas. Kedua,
nasionalisme dan kebangsaan
Indonesia. Ketiga, sosial,
kemanusiaan, dan kebudayaan.
Keempat, pembangunan dan
ekonomi. Kelima, keluarga dan
orang-orang dekat. Keenam,
alam sekitar dan lingkungan
hidup,” papar Riri Satria yang
juga Ketua Komunitas Jagat
Sastra Milenia (JSM) dan
Pimpinan Umum
Sastramedia.com.
Riri Satria, Prof. Firdaus Syam, dan Emi Suy, di sela-sela kegiatan bedah
buku dan musikalisasi puisi dalam rangka memperingati Bulan Bahasa
dan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023, di Gedung Auditorium UNAS,
Jakarta.
FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS
J E N D E L A
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 19
Riri Satria memotret sosok
Firdaus Syam dari puisi-
puisinya dengan menggunakan
berbagai pisau analisis.
Paparan Riri juga sangat
metodologis dan
menggunakan pendekatan
scientific inquiry, antara lain
mempelajari buku Firdaus
Syam, mempelajari jejak digital
di internet, serta wawancara
mendalam dengan sang
profesor itu.
Sementara itu, penyair
perempuan Indonesia Emi Suy
pada kesempatan itu
membacakan puisi “Jakarta
Polusi Melambai” karya
Firdaus Syam yang
menggambarkan kontradiksi
Jakarta pada waktu dulu dan
sekarang. Emi juga memiliki
penilaian tersendiri mengenai
sosok Firdaus Syam.
“Dulu Jakarta masih teratur
dan masih bersih, sekarang
pembangunan marak di mana-
mana, itu tentu saja bagus.
Namun, ada dampak
sosialnya,” ujar Emi Suy yang
juga salah seorang pendiri dan
pengurus Komunitas Jagat
Sastra Milenia (JSM) dan
sekretaris sekaligus anggota
dewan redaksi
Sastramedia.com.
Selanjutnya, perempuan
kelahiran Magetan, Jawa
Timur, 2 Februari 1979 ini
menerangkan, bahwa kesenian
memang masih ada, tapi musik
zaman sekarang membawa
manusia kepada perilaku
kebarat-baratan yang
kebablasan.
“Setidaknya itulah yang
disampaikan oleh Bang Firdaus
dalam puisi tersebut,” kata
Emi.
Menurut Emi, Jakarta
sekarang semakin banyak
berubah. Semakin banyak
gedung-gedung pencakar
langit.
“Jakarta pada zaman dulu
sungai masih bersih, tapi
sekarang sungai sangat kotor
dipenuhi sampah. Jakarta
polusi udaranya sangat tinggi.
Jakarta saat ini pertumbuhan
ekonomi dan tata kota yang
bagus, tapi ada dampaknya,
terkikisnya budaya Betawi,
akhir-akhir ini sudah semakin
tinggi polusi udaranya,“ papar
Emi, penerima Anugerah
Pustaka dari Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia
sebagai salah satu buku puisi
terbaik di Indonesia tahun
2019 ini.
Puisi-puisi karya Bang Firdaus Syam
juga dihadiri dan dibacakan sejumlah
tokoh dan penyair Indonesia.
FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS
Emi menilai bahwa puisi
“Jakarta Polusi Melambai”
karya Firdaus Syam adalah
puisi yang terang. Puisi yang
lugas, puisi yang sangat jelas
dalam menggambarkan
kesemrawutan Jakarta saat ini.
“Sebenarnya ini puisi kritik
sosial. Puisi yang bagus. Puisi
yang menyiratkan betapa
sangat memprihatinkan
pertumbuhan tata Kota
Jakarta yang bagus tapi banyak
dampak sosialnya yang
kontradiksi sekali,” sebut Emi.
Selain Riri Satria, buku
karya Firdaus Syam dikupas
para pakar lainnya secara
berturut-turut mulai dari buku
novel Cinta dan Tinta Taruna
di Padang Ilalang oleh Prof. Dr.
Mia Lauder (Guru Besar
Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universistas
Indonesia), buku antologi puisi
Penyintas Merah Putih Hijau
Hitam Prof. Dr. I Ketut
Surajaya (Guru Besar Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya
Universistas Indonesia), buku
antologi puisi Puisi dalam 7
Bahasa Prof. Dr. KH. Husnan
Bey Fenanie, M.A. (Duta Besar
Republik Indonesia untuk
Republik Ajerbaijan), buku
antologi puisi Sastra Politik Dr.
M. Alfan Alfian (Pengamat
Sosial dan Politik), serta buku
Dialog Sastra oleh Riri Satria
(Pengamat Ekonomi Digital
dan Penggiat Sastra). Setiap
narasumber juga membacakan
puisi di akhir ulasannya.
(AAN | ELIPSIS)
J E N D E L A
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 20
Oleh
TIM REDAKSI ELIPSIS
Sofyan RH. Zaid menekuni tasawuf
dan filsafat, juga sastra, tentu. Ia
jatuh cinta pada puisi. Meski ia
mengaku tidak begitu produktif
dalam berkarya, dengan alasan,
barangkali, karena dia setia pada
motto hidupnya: “Teguh pada prinsip,
setia pada proses, tidak tergesa-gesa,
tapi juga sadar untuk tidak
terlambat!” Dan, berbagai prestasi
yang ia raih di ranah kepenulisan
membuktikan bahwa ia benar-benar
tidak terlambat.
Tasawuf,
Filsafat,
danPuisi
Pagar
ofyan RH. Zaid, nama pena dari
Supyan. Lahir 8 Januari 1986 di
Desa Jenangger, Batang-batang,
Sumenep, Madura, Jawa Timur. Saat
dia duduk di kelas 4 SD Negeri
Jenangger, setiap hari suka mencuri
buku dari perpustakaan sekolah yang
tidak terawat. Bahkan sebagian koleksi
bukunya sudah hancur dimakan rayap
dan usia.
“Saat itu, saya mencuri buku
sebenarnya hanya butuh pada
kertasnya untuk dibuat menjadi
selongsong petasan momentum hari
lebaran,” akunya.
Sayangnya, sebelum buku-buku
tersebut berubah jadi selongsong
FOTO: DOK. SOFYAN RH. ZAID
SOFYAN RH. ZAID
S
S A M P U L
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 21
petasan, dia sakit sejenis cacar. Sakit
yang tak bisa turun dari tempat tidur.
Dia hanya tergeletak di atas dipan di
antara tumpukan buku hasil curiannya.
Berada di situasi dan kondisi yang tak
berdaya, dia gabut. Dia pun mulai
meraih buku, dibuka halaman demi
halaman. Melihat gambar dan
membaca teks sekadarnya. Sebagian
besar buku yang dia timang adalah
buku cerita bacaan anak-anak. Itulah
titik mula momentum Sofyan tertarik
dan jatuh cinta pada buku.
“Membaca buku cerita itu, memang
candu, apalagi bagi anak-anak seusia
waktu di mana belum ada gawai,”
ujarnya. Habislah semua buku dia baca
selama sakit tersebut.
Kebiasaannya itu terus berlanjut
hingga dia sembuh. Saat di sekolah, dia
banyak mendekam di perpustakaan
usang itu. Saat di luar sekolah, dia
seringkali ‘hilang’ dari rumah dan
tempat permainan. Dia memilih
mengungsi ke sebuah perdu di tengah
sawah dan asyik membaca buku cerita.
“Haha. Iya saat membaca buku saya
kadang menjauh dari rumah, agar tak
diganggu oleh orang tua, yang kadang
disuruh ini dan itu,” kenangnya.
Saat di kelas 6, buku koleksi
perpustakaan sekolah habis dia baca.
Dia mulai mencari buku di tempat lain,
yakni di rumah keluarganya. Saat itu,
Mas Aziz Munandar meminjami dia
buku berjudul Al-Hikam karya Ibnu
Athaillah dan Mutiara Ihya’ Ulumuddin
karya Imam Al-Ghazali. Keduanya
merupakan buku terjemahan perihal
tasawuf. Sebab dua buku itu, Sofyan
begitu tertarik pada dunia tasawuf
atau kesufian. Dia banyak ngobrol
dengan Mas Aziz tentang topik itu.
Berkenalan dengan Roman Picisan,
Tersesat ke Filsafat
Untungnya, saat dia melanjutkan
sekolah, tepatnya di MTs. Miftahul
Ulum, Batang-batang, ada banyak buku
yang tersedia di perpustakaan. Mulai
dari cerita sampai buku agama dengan
S A M P U L
FOTO:
DOK.
SOFYAN
RH.
ZAID
Sofyan RH. Zaid, salah seorang pemenang Lomba Esai Piala HB
Jassin dan hadiah diserahkan pada Malam Anugerah Piala HB Jassin
di PDS HB Jassin, Jakarta.
FOTO: DOK. SOFYAN RH. ZAID
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 22
beragam tema. Di sekolah itulah,
akhirnya dia ketemu seorang kawan
yang juga hobi membaca, khusus
membaca novel-novel picisan karya
Fredy S, Mira W, dan lainnya.
“Iya, namanya Fauzi, saya sering
meminjam novel begituan padanya
untuk dibaca, tapi di rumah. Buku yang
bagus untuk menguatkan imajinasi.
Haha,” tawanya.
Orientasi buku bacaan Sofyan
berubah, saat naik ke kalas II, dia
bertemu seorang guru anyar, namanya
Bapak Fathorrahman MD. Beliau baru
pulang dari Yogyakarta setelah
menyelesaikan kuliah S-1 Jurusan
Akidah Filsafat di IAN Sunan Kalijaga
(kini UIN).
“Dari Pak Ong itulah saya kenal
filsafat dan secara khusus belajar
darinya. Beliau telah meracuni saya
dengan filsafat,” ingatnya.
Selain itu, Sofyan juga banyak
meminjam buku filsafat untuk dibaca.
Buku pertama filsafat yang dia baca
adalah Filsafat Umum: Akal dan Hati
Sejak Thales Samapi James (1997) karya
Ahmad Tafsir.
Di kelas II itu juga dia mulai tertarik
pada karya sastra, sebab ketemu dua
orang guru yang juga sastrawan, yakni
Bapak Ibnu Rusdi (guru Bahasa
Indonesia), dan Bapak Sahmawi A.
Su’udi (Guru IPA). Mula-mula Sofyan
menulis cerpen dan dimuat di buletin
sekolah Uhkuwah. Kemudian dia baru
intens menulis puisi dan secara khusus
di bawah bimbingan Pak Sahmawi.
Kebetulan, Disparbud Sumenep
bekerja sama dengan PGRI
mengadakan Lomba Cipta Puisi
Tingkat SLTP. Dia pun ikut sebab
dipaksa oleh Pak Sahmawi. Puisinya
yang berjudul “Petani Langit” keluar
sebagai juara I lomba tersebut.
Sekolah pun memberi perhatian,
hingga suatu hari, Bapak Arifin (alm),
kepala madrasah, memanggilnya dan
menyodorkan sebuah majalah sebagai
hadiah. Ternyata majalah sastra
Horison. Majalah yang di dalamnya ada
sisipan rubrik Cermin, rubrik yang
memuat puisi-puisi para pelajar. Lagi-
lagi dengan paksaan Pak Sahmawi,
Sofyan pun mengirim puisi ke Horison
menggunakan mesin tik dan perangko.
Menginjak kelas 3, Sofyan kembali
dipanggil kepala sekolah, sebab ada
paket pos untuknya. Saat dibuka, itulah
majalah Horison, di mana dua puisinya
dimuat.
“Namun, hanya satu yang saya
ingat judulnya Tuhan Telah Mati,”
kenangnya. Sebab gara-gara puisi itu,
terjadi polemik di kalangan guru dan
Sofyan sempat dipanggil Pengasuh,
KH. Abdul Majid Ilyas. Puisi tersebut
dianggap menyimpang atau murtad.
Namun, Sofyan menjelaskan
maksudnya, sehingga dewan guru dan
pengasuh dapat memaklumi.
Annuqayah dan Paramadina
Setelah lulus, dia melanjutkan
belajar ke Pondok Pesantren
Annuqayah Lubangsa Raya, Guluk-
guluk, Sumenep. Keinginannya
tersebut lahir setelah dia mendengar
dari salah seorang santri, tetangganya,
S A M P U L
Sofyan RH. Zaid bersama tim Jagat Sastra Media (JSM) memberikan
materi literasi kepada pelajar di sebuah sekolah di Jakarta.
FOTO: DOK. JAGAT SASTRA MEDIA
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 23
kalau di Annuqayah banyak penyair
dan sanggar sastra. Di Annuqayah, dia
aktif menulis dan menjadi pembina di
sejumlah sanggar, bahkan sempat
mendirikan beberapa komunitas
menulis dengan teman-temannya. Di
pesantren itulah dia berproses kreatif
secara intens. Bertemu dan berguru
kepada Kiai M. Zammiel EL-Muttaqien,
Kiai M. Faizi, Ustaz Aryadi Mellas,
Ustaz Sattar Syam, dan lainnya.
Sofyan terus membaca, menulis
dan mengirimkan karya ke berbagai
media cetak melalui pos. Beberapa
karyanya muncul di majalah Kuntum,
Sahabat Pena, Radar Madura, Annida,
Horison, dan lain-lain. Selain itu, dia
juga sempat menjadi Juara II Lomba
Cipta Puisi se-Madura Tingkat Pelajar
(STAIN Pamekasan, 2003). Puncaknya,
Sofyan terpilih sebagai salah seorang
yang puisinya dimuat di majalah
Horison tahun 2006‘edisi penyair
muda Madura’, seperti Bernando J.
Sujibto, Hamidin, Juwairiyah Mawardi,
M. Faizi, M. Fauzi, M. Zamiel
El-Muttaqien, Mahwi Air Tawar, Moh.
Hamzah Arsa, Muchlis Zya Aufa, R.
Timur Budi Raja, dan Sofyan RH. Zaid.
Kecintaannya pada dunia sastra,
khususnya puisi kian besar setelah dia
hijrah ke Jakarta, melanjutkan studi di
Universitas Paramadina, Jurusan
Falsafah dan Agama. Sejumlah puisinya
banyak dimuat media massa, seperti
Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post,
Indopos, Padang Ekspres, Pikiran
Rakyat, Riau Pos, Seputar Indonesia,
Solopos, Merapi, Suara NTB,
Banjarmasin Post, Metro Jambi, Minggu
Pagi, Horison, Basabasi.co,
Bacapetra.co, dan sebagainya. Juga
tergabung dalam puluhan antologi
puisi bersama.
Puisi Pagar dan Lainnya
Setelah menyelesaikan studinya di
Paramadina, Sofyan pindah ke Bekasi.
Kemudian dia menerbitkan buku puisi
tunggal pertamanya Pagar Kenabian
(TareSI, 2015) yang mencoba
menawarkan ‘bentuk baru’ perpuisian
Indonesia yang bercorak nadham atau
yang dikenal dengan “puisi pagar”.
Buku tersebut masuk 15 nominasi
Anugerah Hari Puisi Indopos (2015).
Beragam respons muncul, baik pro
maupun kontra, melalui berbagai
tulisan tentang puisi pagar dan
bukunya tersebut di sejumlah media.
Puisi-puisinya telah diterjemahkan
ke berbagai bahasa asing, salah
satunya dimuat dalam buku Oikos
Poeti Per Il Futuro (Mimesis Classici
Contro, Milano, Italia, 2020). Dia
pernah menjadi salah seorang reviewer
Penilaian Karya Sastra Unggulan untuk
SMA sederajat yang digelar oleh BSNP
Kemdibud 2019. Kini Sofyan tinggal di
Bekasi, sehari-hari bekerja PNS
(Pencari Nafkah Serabutan), seperti
mengajar, editor, pemred dan redaktur
Sastramedia.com, serta CEO Taretan
S A M P U L
FOTO: DOK. JAGAT SASTRA MILENIA
Riri Satria, Sofyan RH. Zaid, dan Emi Suy, di sela-sela kegiatan Malam
Anugerah Piala HB Jassin 2023.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 24
Sedaya International Group. Dia juga
aktif menjadi pembicara di sejumlah
acara sastra, dan bergiat di komunitas
Jagat Sastra Milenia (JSM) sebagai
koordinator bidang publikasi dan
kompetensi.
Sofyan, bisa dibilang, tidak begitu
produktif dalam berkarya, barangkali
karena dia setia pada motto hidupnya:
“Teguh pada prinsip, setia pada proses,
tidak tergesa-gesa, tapi juga sadar
untuk tidak terlambat!”
Buku Sastra
Pagar Kenabian (Buku Puisi, 2015)
Kaidah Puisi dan Akidah
Kepenyairan (Buku Esai, 2021)
Penghargaan Sastra
Juara I Lomba Cipta Puisi se-
Sumenep Tingkat SLTP (Disparbud
Sumenep, 2000)
Juara II Lomba Cipta Puisi se-
Madura Tingkat Pelajar (STAIN
Pamekasan, 2003)
15 nominasi Buku Puisi Anugerah
Haripuisi Indopos (2015).
Juara II Cipta Puisi Nasional
(PCINU Maroko, 2017)
Juara II Lomba Cipta Esai Tingkat
Nasional Piala H.B. Jassin (PDS HB.
Jassin, 2023)
Narasumber Acara Sastra
Seminar dan Bedah Buku,
“Membongkar Mitos Kesusastraan
Indonesia”, FIB Universitas
Indonesia, Depok, 3 Mei 2018
Seminar Nasional Bahasa, Sastra
dan Pembelajarannya,
“Perkembangan Bahasa dan Sastra
dalam Kurikulum Merdeka”
Universitas Negeri Jember, Jember,
28 Oktober 2022
Bedah Buku Abdul Hadi WM,
“Sastra Timur dalam Persepktif
Sastra
Bandingan Melayu, Jawa, China,
India, dan Persia”, Universitas
Paramadina, Jakarta, 6 Oktober
2021
Workshop Kepenulisan,
“Mendobrak Mental & Motivasi
Kreativitas”, Universitas Pesantren
Tinggi Darul 'Ulum, Jombang, 17
Desember 2017
Diskusi Puisi, “Kaidah Puisi &
Akidah Kepenyairan”, Universitas
Uhamka, Jakarta, 23 November
2017
Bedah Buku & Workshop
Kepenulisan, Universitas Widya
Mandala, Madiun, 2 Juni 2015
Bedah Buku & Workshop
Kepenulisan, Universitas Tri Buana,
Malang, 4 Juni 2015
Dan lain-lain.
S A M P U L
BAK menerima penghargaan HUT Kemerdekaan RI,
17 Agus-tus 2023 dari Bupati Jeneponto, Drs.
H.Iksan Iskandar, M.Si.
FOTO: DOK. SYOFYAN RH. ZAID
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 25
Judul :
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 26
K A N V A S
Kota yang Berubah
Menjadi Anjing
Para lelaki itu, pada sebuah tengah malam,
pergi dengan amarah sekaligus ketakutan
menjadi anjing. Adapun perempuan itu
terduduk sendiri di sebuah sudut di tepi
pantai menghadap ke laut dan ketika
bangun besok pagi ia sudah berada di sebuah
rumah panggung yang menjadi
tempat menginapnya.
Oleh Mustafa Ismail
C E R P E N
oleh mereka. Orang-orang dari luar kota
menyebut mereka anjing, apalagi kalau
bukan perilaku mereka seperti anjing.
Akibatnya, kota itu menjadi terpencil. Pada
suatu massa, semua orang berbondong-
bondong meninggalkan kota itu.
Sesungguhnya kota itu—sebut saja
namanya Naparah—memang terpencil.
Tak banyak yang mengenal kota itu.
Letaknya di sebuah pulau yang
membutuhkan waktu satu hari satu malam
perjalanan dari kota besar memakai
perahu mesin. Penduduknya umumnya
bekerja sebagai nelayan, karena pulau itu
berada di tengah laut.
Sebelum sebuah gempa besar datang
pada 2015, kota itu dihuni oleh sekitar 100
kepala keluarga. Tapi gempa itu membuat
OTA itu hanya dihuni oleh lima
orang. Nama-nama mereka aneh.
Yang paling muda namanya Oir
dan Akid. Yang lebih tua bernama Yde,
Idan, dan Uyaj. Semua adalah laki-laki.
Tidak ada satu pun perempuan di kota itu.
Perempuan tidak bisa hidup di kota itu.
Sebab, kelima orang itu sangat buas.
Setiap perempuan yang datang ke kota itu
akan tinggal nama.
Mereka melihat perempuan seperti
anjing menemukan sepotong daging.
Sebagaimana anjing, mereka akan
mengoyak-koyak mereka, dan memakan
hingga habis tak tersisa. Akibatnya kota itu
menjadi menakutkan sekaligus orang
bergidik mendengar namanya. Maka itu,
tidak satu orang pun mau menyebut nama
kota itu.
Seolah-olah siapa pun yang menyebut
nama kota itu ia akan langsung diterkam
K
G E L A N G G A N G
ILUSTRATOR: BIC | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 27
Tapi kelima orang itu menghiba-hiba
minta untuk diberi kesempatan membaca
mantra. “Jika ayuk tidak mengikutkan
kami, kekacauan besar akan terjadi di kota
ini,” ujarnya. “Ayuk dan kawan-kawan
tidak akan selamat pulang ke kota.”
Perempuan itu tidak mengerti apa
yang dimaksud dengan kekacauan besar.
Hingga pada suatu malam perempuan itu
bermimpi orang-orang di pulau itu telah
menjadi anjing. Ia tidak tahu apa maksud
mimpinya.
Setelah berdiskusi dengan sejumlah
temannya, perempuan kota itu lalu
membolehkan mereka untuk terlibat
dalam pertunjukan mantra itu. Tapi
dengan syarat, mereka ikut membantu
perempuan itu untuk melancarkan
kegiatan itu dengan mendatangi satu
persatu tokoh masyarakat di sana untuk
bisa membantu. Mereka setuju. Lalu,
mulailah mereka bergerak.
Rupanya di situlah awal kekacauan.
Semua bantuan yang mereka dapatkan
mereka habiskan untuk minum-minum rib
—sejenis minuman memabukkan khas
pulau itu. Tak satu sen pun disetorkan
kepada perempuan yang membuat acara
pesta mantra. Justru perempuan itu
diancam akan dilempar ke laut. Sempat
terjadi ketegangan, namun perempuan itu
mengalah. Ia tidak ingin terjadi keributan
yang bisa membuat nama kota itu jadi
buruk.
“Uang lebih penting dari nama baik,”
kata perempuan itu kepada lima lelaki
tersebut. “Saya memilih membela nama
baik ketimbang uang. Makanlah uang itu
seperti anjing memakan daging busuk.
Saya doakan kalian akan menjadi anjing.”
Seketika perempuan itu ingat mimpinya
apakah ini adalah isyarat dari mimpinya
bahwa orang-orang di kota itu telah
menjadi anjing.
Para lelaki itu, pada sebuah tengah
malam, pergi dengan amarah sekaligus
penduduk kota itu habis. Hanya tersisa
belasan orang saja. Belakangan, sebagian
belasan orang itu pun menemui ajalnya.
Bukan karena gempa, tapi karena tidak
ada makanan dan kondisi kesehatan yang
makin buruk pasca gempa.
Tak hanya rumah-rumah, gempa itu
merontokkan pasar dan menghabiskan
para pedagang. Seperti dalam kisah-kisah
dunia bar-bar: hanya yang kuat dan berani
untuk melakukan apa pun untuk
mempertahankan hidup itulah yang
bertahan. Akhirnya, hanya kelima orang
itu yang selamat. Mereka punya cara
untuk terus hidup, termasuk dengan
memakan bangkai.
***
SEKITAR sepuluh tahun sebelum
gempa besar, kota itu pernah menjadi
buah bibir. Orang-orang dari dalam dan
luar negeri pernah berbondong-bondong
datang ke kota di pulau itu. Meskipun
orang-orang di pulau itu menganggap
para tamu itu sebagai orang aneh. Betapa
tidak, ketika mereka di sana, kota yang
senyap mendadak ramai. Ramai sekali.
Di mana-mana terlihat orang-orang
membaca sesuatu seperti mantra.
Kadang seperti orang gila. Mereka
membaca mantra itu di pasar, pantai,
tengah kampung, hingga di tepi jalan.
Orang-orang kota itu menonton dengan
takjub, termasuk kelima orang itu. Bahkan,
kelima orang itu ikut-ikutan membaca
mantra, meski telah dilarang seorang
perempuan muda yang mengundang
orang-orang dari dalam dan luar negeri
itu ke sana.
Perempuan itu takut kelima orang itu
menjadi gila. “Jika kita tidak terbiasa,
mantra bisa bikin gila. Sebaiknya saudara-
saudara jadi penonton dan membantu
saja,” kata perempuan kota yang
leluhurnya berasal dari pulau itu.
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 28
anjing-anjing itu mengeluarkan api,
menyala, menyilaukan mata. Sekilas
mereka seperti terbakar. Mereka
mengaing-ngaing kesakitan.
Para tetua kampung saling bercerita
ketika bertemu di warung kopi. “Saya juga
bermimpi hal yang sama,” kata tetua
kampung satu kepada para tetua lain.
“Seperti akan ada bahaya besar yang
menimpa pulau ini,” ujar tetua lainnya.
“Pulau ini harus diruwat.”
“Saya setuju. Harus segera dijampi-
jampi.”
“Mungkin karena makin banyak
pengkhianat di sini.”
“Anak-anak muda pun meniru orang
yang lebih tua untuk menjadi
pengkhianat.”
“Hidup tidak lagi tulus dan saling
membantu.”
“Ini mungkin akhir zaman.”
“Para pengkhianat harus diusir dari
pulau ini.”
“Bukan hanya diusir, juga harus
membayar denda dengan memotong
sepuluh kerbau untuk dibagi-bagikan
kepada fakir miskin dan anak yatim.”
“Ya, pulau ini harus dikembalikan pada
kesederhanaan dan ketulusan.”
Kabar para tetua bermimpi tentang
anjing-anjing yang terbakar itu begitu
cepat menyebar dan menghebohkan
kampung. Para tetua kemudian membuat
rapat besar dengan mengundang seluruh
warga untuk membutukan diadakan
ruwatan terhadap kota itu. Para pejabat
kota setuju. Semua warga kota itu
mengangguk, kecuali lima orang tersebut
yakni Oir, Akid, Yde, Idan, dan Uyaj.
Justru mereka menuduh para tetua
sedang mencari nama dan keuntungan
untuk diri sendiri. Tapi suara lima orang
itu tidak pernah didengar oleh warga.
Kesepakatan telah bulat bahwa ruwatan
harus segera dilakukan agar kampung
kembali damai. “Tidak ada jalan lain selain
ruwat,” ujar pimpinan kota itu. “Kami
ketakutan menjadi anjing. Adapun
perempuan itu terduduk sendiri di sebuah
sudut di tepi pantai menghadap ke laut
dan ketika bangun besok pagi ia sudah
berada di sebuah rumah panggung yang
menjadi tempat menginapnya. “Ibu tadi
malam kami temukan pingsan di pantai,”
kata lelaki pemilik rumah itu.
Pesta mantra itu selesai dengan baik.
Tak terdengar keributan apa pun. Orang-
orang yang datang dari pelosok negeri
pulang dengan riang. Para tetua dan
pejabat kota itu pun senang kotanya
menjadi masyur ke seantero negeri. Kota
itu berhari-hari dibicarakan. Para pejabat
di pulau itu dipuji sebagai orang-orang
yang tahu adab dengan merawat budaya.
Tapi tidak dengan kelima lelaki itu.
Orang-orang tersebut tetap menebar
fitnah ke mana-mana. Tapi fitnah mereka
seperti angin lalu. Tak ada yang
mendengarnya. Tak ada yang
memperdulikannya. Termasuk para tetua
dan pejabat di kota itu yang justru
berterima kasih kepada perempuan muda
itu. Perempuan itu dianggap berjasa
menghidupkan kampung itu.
“Saya aslinya orang kampung.
Kampung saya di sini. Saya lahir di sini, di
tepi pantai ini. Maka saya ingin berbuat
sesuatu untuk kampung saya,” kata dia.
Tapi pelan-pelan, kota itu mulai senyap.
Orang-orang pun pelan-pelan
melupakannya. Perempuan itu pun
kembali ke kota. Adapun ke lima lelaki itu
mulai diasingkan oleh tetua-tetua
kampung. Mereka dianggap pengkhianat.
***
BEBERAPA hari sebelum gempa besar,
sejumlah tetua pulau itu bermimpi
puluhan anjing keluar dari sebuah benteng
yang ada di kota itu pada sebuah malam.
Anjing-anjing itu berlari ke arah pantai,
berjarak sekitar tiga ratus meter dari
benteng peninggalan Inggris itu. Tubuh
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 29
pengekspor anjing terbesar di kawasan
tersebut. Tentu saja, dalam pemikiran para
penguasa, ekspor itu akan mendatangkan
jumlah devisa tak terkira.
Selain itu, rencana itu dimaksudkan
untuk mengubah citra pulau itu sebagai
tempat menyeramkan karena ada orang
suka makan orang di sana. Celakanya, lima
orang itu sulit ditangkap karena mereka
sangat lihai untuk berkelit dan
bersembunyi. Mereka ada, namun tidak
tampak. Mereka baru menunjukkan
kebuasannya ketika ada perempuan yang
datang ke sana.
Tapi sejak tersebar banyak perempuan
hilang di pulau itu, tak satu pun lagi yang
berani ke sana. Hanya satu orang yang
sudah lama ingin ke sana namun belum
kesampaian karena berbagai
kesibukannya, yakni perempuan muda
yang dulu mengundang banyak orang dari
berbagai negeri untuk berpesta mantra. Ia
ingin berziarah ke makam leluhurnya.
Ia tidak perduli dengan kabar
menyeramkan yang selama ini serupa
teror di tengah malam. Ia akan datang
untuk memakan kelima lelaki itu. (*)
sebagai pimpinan kota dan seluruh jajaran
kota akan mendukung penuh.”
Rapat akbar itu juga bersepakat bahwa
para pengkhianat, dengan kadarnya
masing-masing, harus menjalani
hukuman, mulai dari denda, hingga diusir
dari kampung untuk waktu tertentu plus
membayar denda memotong sepuluh ekor
kerbau. Jika tidak bisa membayar denda
dengan memotong kerbau mereka harus
menjalahi hukuman tambahan yang akan
diputuskan kemudian.
Tapi belum sempat ruwatan itu
dilakukan, gempa besar menghantam
pulau itu dan kota itu pun hancur. Hancur
sehancur-hancurnya. Dan karena pulau
terpencil dan tidak ada jaringan
telekomunikasi, tidak ada yang tahu
gempa besar di sana. Kabar kota itu telah
habis baru diketahui berbulan-bulan
kemudian, ketika nelayan tersasar dibawa
angin ke sana.
Tapi tidak ada yang bisa diselematkan.
Kota itu tidak berpenghuni lagi dan hanya
lima orang yang tersisa dengan
penampilan mirip tarzan. Tampang
mereka buas. Seolah semua yang ada akan
dimakan. Tapi, mereka tidak suka laki-laki.
Mereka hanya memakan perempuan,
terutama perempuan muda. Mereka
melihat perempuan muda seperti anjing
menemukan sepotong daging segar yang
begitu sayang jika tak dihabiskan.
Begitulah, tak ada yang berani datang
ke kota itu. Kota mati, dengan sisa-sisa
reruntuhan masih teronggok di banyak
tempat, tulang-belulang berserak di
mana-mana. Orang-orang menganggap
kota itu adalah daerah paling menakutkan
di wilayah Republik Similikiti itu. Pernah
ada sebuah gagasan dari pejabat Ibu Kota
untuk mengirim anjing ke kota itu.
Pulau itu dianggap tepat sebagai
tempat peternakan anjing karena tidak
berpenghuni. Anjing-anjing itu bisa
diekspor ke luar negeri. Jika itu dilakukan,
Republik itu akan menjadi negara
G E L A N G G A N G
Mustafa Ismail
Lahir di Aceh pada 1971. Alumnus
Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
ini menulis puisi, cerpen, dan esai. Telah
menerbitkan beberapa buku puisi dan
cerpen. Ia menyiarkan sebagian puisinya di
Instagram dan Tiktok @moesismail serta
cerita mini di Tiktok @storimini. Kini tinggal
di Depok, Jawa Barat.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 30
Sahabat Tua di Hulu Mata Air
Yang lebih aneh lagi adalah ketika Yusri,
salah seorang pedagang garam lainnya,
datang secara khusus menemuinya hanya
untuk menceritakan hal yang sama. Saat itu
Yusri datang tanpa membawa barang
dagangan seperti biasa yang ia lakukan
sebagai mata pencaharian utamanya. Ia
dikenal sebagai pedagang yang sangat pelit
dan cermat menghitung laba rugi.
Oleh Salman Yoga S.
C E R P E N
masih gelap, udara dingin menyapu setiap
pori-pori. Usai salat Subuh yang khusuk,
perapian dipadamkan dengan semburan
air dari ruas-ruas bambu.
“Ingat, jangan ada jejak yang
tertinggal,” kata lelaki itu lagi sambil
berdiri membetulkan kain sarungnya yang
diselempangkan ke bahu. Matanya awas
menghitung satu demi satu para pengikut
setianya. Tak jarang ia juga memantikkan
kata-kata yang berbau mantra dalam
kunyahan sirih di mulutnya yang
memerah. Sesekali ia semburkan ke
hampir setiap sudut bekas tempat mereka
tidur semalaman.
Sebuah camp yang terbuat dari
tumbuhan hutan, mirip sebuah gubuk
yang berkamuflase dengan alam sekitar.
Atapnya dipenuhi dengan jalinan
dedaunan liar, sementara tiang-tiangnya
awa apa saja yang dapat dibawa.
Pedang, pisau, panci, belanga,
periuk atau apa pun itu. Jangan
lupa pang-pang yang punya mantera uris
dan kebal berada di barisan paling depan,
yang lain ikut di belakangku dan tunggu
perintah”, jelasnya entah kepada siapa.
Aba-aba dari lelaki tegap itu
menggelegar, membangkitkan semangat
puluhan tentara tak berseragam.
Tubuhnya kekar dengan otot-otot tangan
yang membiru. Sementara sekumpulan
makhluk mirip seperti manusia yang
diperintah itu terlihat bergegas
membenahi barang bawaan dan
perlengkapan. Seketika anjing-anjing pun
menggonggong seperti menyaksikan
sesuatu berkelebat di antara kegelapan
dari dedaunan pepohonan belantara.
Kabut mulai menguap beranjak ke udara
seiring asap tungku ditiup angin. Hari
B
G E L A N G G A N G
“
ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 31
berkumpul seperti menunggu sesuatu.
“Betul, Bang, mata kepalaku sendiri
yang melihat mereka membawa senjata.
Setiap pagi mereka berbaris di tanah
lapang dan berteriak één, twee, drie, een
saluutschoten beweging. Bahkan barang-
barang dagangan kami selalu diperiksa.
Jika ada yang membawa pedang atau
senjata lainnya. Ada yang ditangkap,” kata
Brahim suatu sore di teras meunasah
kampung. Ini tentu bukan cerita pertama
yang didengar oleh lelaki tegap itu.
Beberapa hari sebelumnya si Amat juga
pernah menyampaikan kesedihannya
karena sebagian dari hasil panen padinya
harus diserahkan kepada penjajah itu.
Katanya sebagai pajak.
“Hey elke keer dat u ons rijstoogst
belasting ja, anders kon je sterven schot,”
jelas Amat terbata-bata menirukan bahasa
tentara berkulit merah itu.
Yang menjadi pertanyaan bagi lelaki
tegap itu adalah kenapa setiap orang yang
mengetahui keberadaan dan jumlah
orang-orang berkulit merah itu terus
bertambah selalu diceritakan kepadanya,
tak terkecuali para pedagang yang sebulan
sekali datang dari pesisir. Kepala Kampung
pun kerap menjadi penerima berita kedua
setelahnya.
Yang lebih aneh lagi adalah ketika
Yusri, salah seorang pedagang garam
lainnya, datang secara khusus
menemuinya hanya untuk menceritakan
hal yang sama. Saat itu Yusri datang tanpa
membawa barang dagangan seperti biasa
yang ia lakukan sebagai mata pencaharian
utamanya. Ia dikenal sebagai pedagang
yang sangat pelit dan cermat menghitung
laba rugi. Bahkan untuk menangguhkan
pembayaran hingga musim panen tiba pun
ia tidak memberi izin. Kali ini ia justru
datang sendiri dan tanpa barang
dagangan.
“Saya sengaja datang, khusus untuk
menyampaikan berita yang sangat
penting,” kata Yusri dengan napas
setengah terengah ketika tiba di gardu
adalah potongan cabang dan ranting kayu
yang diikat dengan belahan rotan. Ada
lima camp yang dibuat berjajar mengapit
sebuah camp yang terlihat lebih tinggi dan
luas. Tetapi hanya satu camp saja yang
dihuni, selebihnya dibiarkan tak terisi
karena sebagian besar dari pengikutnya
tidur di antara perdu-perdu kayu.
Dari atas anak tangga camp besar lelaki
tegap itu memandang ke sekitar sambil
mengawasi sekelilingnya. Ada kecemasan
sekaligus tanggung jawab besar yang ia
emban, sebuah kondisi yang sama sekali
tidak pernah diinginkan oleh setiap anak
negeri. Jika bisa memilih, sesungguhnya
lelaki tegap itu lebih nyaman berada di
rumah bersama ayah ibu dan kelima adik-
adiknya yang mulai tumbuh remaja.
Mengolah tanah dan menanaminya
dengan sayur-mayur hijau, atau berlumur
lumpur di sawah menanam padi untuk
kelangsungan hidupnya sekeluarga.
Malam bercengkrama di sisi perapian
dengan gelak canda bocah-bocah lucu
melafal ejaan alif di atas baris a, ba di
bawah baris bi, ta baris depan tu, abitu
atau berselawat kepada Nabi Muhammad
dengan nada didong. Ketika sudah larut
malam, mendekap selimut seperti seorang
kekasih yang dendam.
Namun, sejak kabar kedatangan para
penjajah yang ingin menguasai tanahnya
terdengar mulai mendekat, ia tak dapat
tenang lagi berada di kampung. Terlebih
berita-berita yang ia terima dari sejumlah
pedagang garam dari pesisir, penjajah-
penjajah itu juga berencana akan
melakukan penyerangan ke daerahnya.
Seketika itu pula ia memanggil sahabat-
sahabatnya dengan perantaraan asap yang
disulut dari pembakaran daun kayu muda,
mengunyah sirih sambil berucap sesuatu
dan meniupkannya kearah angin
berhembus.
***
DI GARDU kampung, orang-orang
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 32
jawab Bedelah. Ia juga mulai penasaran
siapa sebenarnya pemuda yang dimaksud
pedagang garam dari pesisir itu, hingga
wajahnya demikian serius.
“Eee orangnya sering mengenakan kain
sarung yang dililitkan di lehernya, atau
menyilang di bahu.”
“Pak Yusri, Pak Yusri, pemuda di sini
semuanya melakukan hal yang sama.
Terutama ketika menjelang senja karena
udara akan semakin dingin,” sahut Bedelah
sambil setengah tertawa dengan
memotong pembicaraan Yusri.
“Begini saja, Pak Yusri tunggu saja di
teras meunasah itu. Menjelang Magrib
nanti satu-persatu pemuda kampung ini
pasti akan datang ke sana. Nah, kalau
orang yang Bapak maksud datang pasti
akan ketemu,” jelas Bedelah sambil berlalu
dan membuang lintingan daun nipahnya
ke parit. Yusri membenarkan pernyataan
itu dan mengangguk-angguk sambil
memperhatikan arah Bedelah berlalu.
***
SEPERTI senja-senja sebelumnya udara
menyapa Kampung Arias dengan gigilnya,
perlahan merayapi seluruh kaki bukit dan
hamparan persawahan yang mengitarinya.
Kecuali lampu-lampu sumbu serta tungku
perapian yang menyala menebar asap dari
beberapa sudut kampung, tak ada sumber
cahaya lain yang dapat menjadi suluh
gelap. Kunang-kunang adalah makhluk
lain yang mampu memberi tanda pada
ekornya selain bulan yang diselimuti awan
pada gulita malam. Bintang-bintang yang
bergantung di langit hanya menjadi
penunjuk musim bagi masyarakat, bahwa
tak lama lagi musim penghujan akan
menjelang beberapa pekan ke depan.
Seperti pada suasana yang sama pada
tahun-tahun sebelumnya, disetiap hulu
mata air yang ada di sepanjang bukit
barisan itu akan ada tertinggal jejak-jejak
yang menyerupai telapak kaki manusia.
ujung jalan kampung Arias. Keringatnya
meleleh ke ujung dagunya meski matahari
tak seterik musim kemarau.
“Apakah kau melihat lelaki tegap?”
tanyanya kepada Bedelah, salah seorang
pemuda Kampung Arias yang kerap
mangkal di sana dengan lintingan
tembakau nipahnya.
Tentu saja Bedelah menjawab dengan
gelengan kepala. Karena ia tidak tau siapa
yang dimaksud Yusri. Sebab di Kampung
Arias setidaknya ada tujuh pemuda yang
dikenal mempunyai postur tubuh yang
tegap-tegap, sementara yang bertanya
tidak menyebut nama dan ciri lainnya.
“Ah… kau masak tidak tahu lelaki yang
kumaksud. Kau orang kampung sini, kan?”
tanya Yusri kembali sambil mengibaskan
tangannya ke bahu Bedelah.
“Ya, tentu saja saya adalah warga
kampung ini. Saya anak Aman Hakim,
Gecik kampung ini. Tetapi lelaki tegap
yang Pak Yusri maksudkan siapa? Siapa
namanya?” Bedelah menjawab sambil
melakukan gerakan yang sama dengan
mengibaskan tangannya ke bahu Yusri.
Keduanya terlihat sangat akrab dan sudah
saling mengenal.
“O iya ya. Betul, betul!” sahut Yusri
kembali dengan logat pesisirnya yang
kental. Sementara Bedelah hanya
tersenyum mengamati gerak mulut Yusri
yang seolah-olah hendak menyebut
sebuah nama.
“Siapa?” tanya Bedelah lagi dengan
mendekatkan mukanya ke muka Yusri.
“Aaa begini, saya tidak tahu siapa nama
pemuda itu. Tetapi badannya tegap, tinggi,
dan setiap senja tiba ia suka duduk-duduk
di teras meunasah itu,” jelas Yusri sambil
berusaha mencari arah menasah dan
menunjuknya dengan tangan kanan.
“Pak Yusri, setiap menjelang senja di
teras meunasah itu selalu ada pemuda-
pemuda kampung sini yang duduk-duduk
saling bertukar cerita mengawal senja.
Lalu yang bapak cari pemuda yang mana?
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 33
duduk di sebuah batu besar yang
menyerupai bentangan tikar pandan.
Sejenak ia terlihat terdiam sambil
mengangguk-anggukkan kepala lalu turun
membasuh muka mengambil air wudu
untuk salat Magrib. Setelah itu ia kembali
ke tempat semula menunaikan
kewajibannya kepada Sang Khalik.
Beberapa bayangan berkelebat
menghampir, magrib kali ini Gecik
Kampung Arias tampaknya akan salat
berjamaah di telaga mata air itu.
Benar saja, Gecik Kampung Arias
melafal sani shalat magribnya dengan
jihar. Mulai dari iqamah, takbiratul ihram
hingga bacaan alfatekhahnya terdengar
hingga beberapa meter dari hamparan
batu itu. Namun, tiba pada lafal
waladdaalliiin justru yang mengamininya
adalah dirinya sendiri. Sesaat kemudian
ketika rukuk membias sejumlah bayangan
juga ikut rukuk dan bersujud. Demikian
bayangan itu bersama Gecik Kampung
Arias terlihat bersaf hingga pada tahyat
akhir.
Ia menyadari sepenuhnya, bahwa pada
setiap pergantian musim hulu mata air itu
akan dikunjungi oleh musafir-musafir.
Termasuk dirinya yang berjalan lima belas
kilo meter dari tempat tinggalnya yang
berada di tengah kampung. Dan para
musafir itu adalah pemilik-pemilik jejak
yang selama ini kerap hadir menjelang
malam di sumber mata air.
Tahyat akhir Gecik Kampung Arias
melafalkan salam ke arah kanan dan ke
kiri. Sementara di belakangnya membias
beberapa bayangan juga melakukan hal
yang sama. Demikian juga ketika Gecik
Kampung Arias itu menengadahkan
tangan ke udara untuk berdoa, memohon
kepada Yang Maha Mendengar dan Yang
Maha Penerima doa untuk mengijabah
setiap permohonannya.
Namun tanpa disadarinya sejumlah
bayangan tangan-tangan mungil lainnya
juga menengadah layaknya makmum
Jejak yang mengerubungi telaga-telaga air
jernih sebagai sumber penghidupan yang
setia pada setiap kemarau.
Gecik Kampung Arias sangat paham
jika jejak-jejak itu bukan bekas telapak kaki
masyarakatnya yang bertani di sekitar.
Tetapi jejak lain yang menyerupai manusia
yang bersahabat dengan hutan dan
dengan cinta. Ia juga tak pernah
menceritakan pengalaman hidupnya
bersama jejak-jejak itu kepada siapa pun,
termasuk kepada istri dan anak-anaknya.
Karena menurutnya pengalaman seperti
ini adalah bagian yang akan dilalui oleh
setiap lelaki sejati di Kampung Arias,
seperti para leluhur dan pendahulunya.
Justru karena itu ia membiarkan alam dan
dan jejak-jejak itu yang akan menemukan
diri mereka masing-masing dalam
kesahajaan hutan.
Setiap pergantian musim jejak-jejak itu
selalu hadir pada awal senja. Datang
secara diam-diam melalui tebing dan sela-
sela tetumbuhan belantara. Menyusuri
aliran anak sungai dengan perlahan hingga
tiba di hulu dengan penuh suka cita.
Senja itu, Gecik Kampung Arias
bermaksud memeriksa aliran air dari
sumber mata air yang mengairi
persawahan penduduk. Melangkah pasti di
antara pematang yang ditumbuhi padi
yang mulai berbunga. Meski telah berusia
lanjut dengan seluruh jenggot yang telah
memutih, mata dan telinganya masih
sangat awas menangkap segala kehidupan
flora dan fauna di sekitarnya. Tak ada yang
perlu ditakuti, karena semua yang hidup
mempunyai pencipta yang sama. Tak ada
yang perlu dikhawatirkan, karena segala
yang mencari penghidupan membutuhkan
kedamaian.
Hari mulai gelap, Gecik Kampung Arias
terus melangkah memastikan aliran air
akan bermuara pada petak-petak sawah
yang menghidupi seluruh masyarakat dan
keluarganya. Tiba di kaki gunung tempat
mata air memuncrat dari perut bumi, ia
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 35
atau ketika akan ada tanda terjadinya
bencana besar menimpa, atau hal lain
yang dapat merusak kehidupan manusia
dan alam sekitar ia selalu datang ke
tempat di mana sumber mata air itu
berada. Ia selalu datang sendiri, ia tidak
mau diantar atau ditemani oleh siapa pun,
termasuk oleh anaknya sendiri. Konon bila
ia datang dengan ditemani oleh orang lain,
makhluk-makhluk itu tidak akan bersedia
bertemu bahkan tidak akan menampakkan
diri walau sehidung. Terlebih makhluk-
mahkluk itu konon dapat mengenali dan
mengetahui niat seseorang ketika
melangkahkan kaki mereka ke tengah
hutan.
Dua hari sebelumnya ia telah
menerima pesan agar datang ke sumber
mata air tempat mereka biasa bertemu.
Pesan itu ia terima pada dini hari lewat
jendela ketika hujan lebat tengah
mengguyur. Seluruh masyarakat telah
lelap dengan penatnya seharian bekerja.
Sehingga kedatangan sang pembawa
pesan tak diketahui oleh siapa pun, tidak
ada anjing yang menggonggong, jalanan
lenggang dan bulan muncul di antara derai
hujan. Ketukan halus dari arah luar jendela
terdengar memanggil namanya. Suara itu
sangat khas hanya Gecik Kampung Arias
saja yang tau siapa gerangan.
Hal yang sama kerap terjadi ketika
ayah Gecik Kampung Arias masih hidup
dan menjadi pucuk pimpinan dan panutan.
Saat itu ia tidak terlalu
memperdulikannya, karena ayahnya
memang dikenal sebagai petua adat yang
mempunyai kelebihan supranatural serta
berpengetahuan luas. Amanah sang ayah
ketika menjelang ajal menjemput adalah
agar ia dapat melanjutkan silaturahminya
dengan “sahabat tua”.
Siapa sahabat tua itu? Ia tak bertanya,
karena malaikat maut telah lebih dulu
mengangkat ruh ayahnya. Menjelang tujuh
hari sang ayah di alam kubur, ia bertemu
dengan tiga makhluk pendek yang mirip
salat yang mengikuti setiap gerak imam
sebagai pemimpin salat. Tetapi tak
terdengar kata-kata “amin” dari mulut-
mulut pemilik bayangan itu ketika Gecik
Kampung Arias itu melafalkan doa-doa
dengan khusuknya.
Jamaah yang berada di belakang
seperti gagu dan bisu, hanya
mengangguk-anggukkan kepala saja ketika
bacaan doa Gecik Kampung Arias berhenti
pada setiap akhir ayat. Sesekali hanya
terdengar gesekan dedaunan jatuh
menimpa permukaan air. Kecipak katak
berenang atau kepakkan sayap kelelawar
menyambar nyamuk malam. Hening.
Udara di sekitar mata air itu
berhembus sayup. Tidak seperti pada
hari-hari sebelumnya. Biasanya angin
berhembus dan mengendap di sekitar
kubangan dan aliran air yang mengarah ke
perkampungan, lembab dan mengandung
kabut yang menutupi permukaan
tetumbuhan yang menyesaki sekitar mata
air jernih itu. Dengan kondisi demikian
jarak pandang setiap mata akan sangat
terbatas, terlebih ketika menjelang malam.
Tetapi tidak bagi Gecik Kampung Arias
serta sejumlah makhluk yang menjadi
makmumnya pada magrib kali ini. Suasana
demikian terang dan cerah. Meski itu
hanya melingkupi beberapa meter saja di
lokasi dibmana ia menunaikan salat
Magrib-nya bersama sejumlah bayang-
bayang jamaah lainnya. Dengan perlahan
dan penuh kegembiraan ia menoleh dan
membalikkan badannya ke arah belakang,
menghadap ke sejumlah makmumnya
seolah ingin menyapa mereka satu
persatu. Tangannya terlihat menyalami
beberapa tangan yang menjulurkan diri ke
arahnya sambil tersenyum
memperhatikan setiap mata yang
memandanginya dengan penuh
persahabatan.
Peristiwa seperti ini memang bukan
yang pertama bagi Gecik Kampung Arias.
ketika keadaan negeri mulai terancam,
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 35
sudah puluhan tahun tidak pernah
bertemu. Postur tubuhnya seperti anak
usia belasan tahun, tetapi raut wajahnya
seperti lelaki dewasa. Terlihat dari
rambut dan bulu-bulu yang menutupi
seluruh tubuhnya berwarna cokelat
keperak-perakkan dibias cahaya bulan.
Gecik Kampung Arias, lelaki tegap
dengan otot dan badan kekar, meski ia
sebagai kepala kampung yang disegani,
putra dari almarhum Peski Gecik Tue
Arias yang sangat dihormati, kali ini ia
tanpak bukan seperti kepala kampung
yang punya kharisma sebagai pemimpin
sejati. Dengan lutut yang terus bergetar
karena ketakutan ia lebih mirip sebagai
buronan terpidana atas kasus
pembunuhan yang tidak pernah ia
lakukan. Ketakutannya seperti kerbau
yang terikat di bawah rerimbunan perdu
bambu yang disambar petir, pucat
kehitam-hitaman dengan degub jantung
yang nyaris berhenti.
Meski demikian, ia sempat bertanya
dan berpikir jauh ke belakang. Ke masa
di mana ayahnya pernah
mengamanahkan sesuatu yang hingga hari
ini belum selesai ia pahami. Satu amanah
yang sebelumnya dianggap tidak begitu
penting dibanding dengan amanah yang
mengharuskan ia merawat ibunya yang
sudah sakit-sakitan, atau mengasuh kedua
orang adik-adiknya yang masih kecil.
Belum lagi tanggung jawabnya lainnya
yang cukup berat dalam usianya yang
masih berusia 16 tahun.
Ia pun tidak pernah bertanya kepada
sang ibu atau para petua kampung lainnya
tentang makna “sahabat tua” yang
dimaksud almarhum ayahnya. Kalimat itu
demikian berat baginya selama dua puluh
tahunan lebih, hingga ibunya meninggal
dunia dan kedua adik-adiknya menikah.
Ketiga makhluk kerdil yang berada di
hadapan Gecik Kampung Arias itu juga
terlihat diam dan tak melakukan gerakan
apa pun. Ketiganya seolah sama herannya
dengan manusia di tikungan jalan menuju
meunasah. Awalnya ia mengira mereka
adalah anak-anak yang baru pulang dari
meunasah tempat mereka mengaji.
Tetapi tiga sosok makhluk aneh yang
mendekati Gecik Kampung Arias di
tikungan jalan itu bukanlah anak-anak
yang baru pulang mengaji. Tidak ada
tentengan kitab suci Al-Qur’an atau Juz
Amma di tangan kanan mereka atau peci
hitam miring yang menempel di kepala,
tidak juga menggunakan obor sebagai
penerang jalan. Tiga sosok itu sungguh
sangat berbeda, dan belum pernah
dilihatnya.
Bulu kuduknya sempat merinding, kaki
dan badannya kaku. Matanya tak berkedip
sama sekali menyaksikan tiga sosok
makhluk asing itu berdiri persis di
depannya. Gecik Kampung Arias sempat
terkencing dalam pakaiannya ketika sosok
yang ada di hadapannya itu mulai berucap
sesuatu. Dengus napasnya tak beraturan
dan seolah tak terhirup, meski angin
mendesir kencang mengibaskan lipatan
syal kain sarung yang melingkari lehernya.
“Puger, kami datang,” kata salah satu
dari makhluk setinggi pinggang Gecik
Kampung Arias itu menyapa.
Gemetar. Ia tak mampu menggerakkan
kakinya untuk menghindar apalagi
menjauh. Ketakutan dan keheranannya
semakin bertambah menyaksikan makhluk
yang tidak berpakaian layaknya manusia
itu melangkah mendekatinya. Seluruh
tubuh makhluk itu ditumbuhi bulu, seperti
akar pohon beringin tua yang bergantung
dari atas hingga ke bawah menutupi
seluruh batangnya. Bagian leher dan raut
mukanya saja sedikit lapang dari bulu-bulu
halus dan menampakkan warna kulit sawo
matang, selebihnya adalah rambut dan
bulu-bulu halus hingga ke mata kaki.
Mata salah satu dari sosok itu berbinar
menatap Gecik Kampung Arias yang
berdiri mematung, ada semacam
kegembiraan, seperti sahabat lama yang
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 36
“Dari mana makhluk ini tau namaku?”
tanya Gecik Kampung Arias dalam hati.
“Bukankah nama yang disebut itu
adalah nama pemberian ayah saat aku
masih kecil?” gumamnya lagi. Dan
makhluk-makhluk kecil yang beruban itu
telah menghapalnya berpuluh-puluh
tahun untuk sebuah kesetiaan. (*)
dengan Gecik Kampung Arias, sama-sama
berdiri kaku dengan pikiran masing-
masing. Sementara dalam ketakutan dan
gemetarnya ia terus berpikir dengan
keras, mengingat-ingat amanah ayahnya
dua puluh tahun silam di rumah panggung
beratap rumbia.
Saat itu sang ayah menggenggam
tangan sang anak dengan sangat erat.
Telapak tangan sang ayah terasa sangat
dingin dengan keriput kulit sepanjang siku
hingga bahunya yang bergelombang. Mata
sang ayah membelalak sayu menatap
langit-langit rumah, bibirnya yang
mengeriput bergerak pelan berucap
sepatah demi sepatah kata. Pada detik-
detik terakhir inilah Gecik Kampung Arias
mendengar ucapan yang terbata-bata.
“Kau yang paling sulung, lanjutkan apa
yang telah Ayah telah lakukan yang kau
anggap baik. Jangan pernah mengeluh
dengan tanggung jawab. Satu lagi. Sahabat
tua Ayah adalah juga sahabat tuamu juga.”
Kalimat amanat sang Ayah yang
membuat Gecik Kampung Arias berpikir
keras sepanjang tahun adalah kalimat
“Sahabat tua ayah adalah juga sahabat
tuamu juga”.
“Ini sungguh sebuah teka-teki yang
sulit dipecahkan,” gumamnya dalam hati.
***
DI DEPAN tiga makhluk aneh yang
berada di hadapan Gecik Kampung Arias
ingatan atas dua kata itu muncul kembali.
Ketakutan dan keheranannya terhadap
makhluk asing itu berangsur memudar.
Terlebih namanya disebut bukan sebagai
kepala kampung Arias, tetapi sebagai lelaki
dewasa putra Peski Gecik Tue Kampung
Arias. Pikiran dan ingatannya kembali
pada amanah sang ayah. Dua kalimat yang
selama ini menjadi teka-teki baginya
perlahan terjawab dengan kehadiran
makhluk-makhluk aneh itu di hadapannya.
G E L A N G G A N G
Salman Yoga S.
Lahir dan besar di Takengon, aktif di
sejumlah organisasi sosial, profesi, seni
dan gerakan kebudayaan, mengeditori
sejumlah buku juga bertani kopi Gayo.
Buku tunggalnya yang telah terbit adalah
Sajak-Sajak Rindu (1995), album Mencintai
Aceh Dengan Asap Ganja’ (1999), Cicinpala
Putih (2005), Tungku (2006), White Orchids
Gayo Soil (2016), Satu Cerita 14 Bahasa
(2018), Pungi den Pakan Laya (2020), Likes
(2021), Belbuk (2022), Surak (2023), Klising 7
Naskah Drama (2023). Juga terangkum
dalam puluhan buku yang sebahagiannya
telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris,
Rusia, Arab, Jerman, Spanyol, serta 40
bahasa Nusantara. Mengajar di UIN Ar-
Raniry Banda Aceh, Institut Seni Budaya
Indonesia (ISBI) Aceh dan di sejumlah
Perguruan tinggi lainnya. Menakhodai
sejumlah komunitas seni dan budaya.
Tinggal dan menetap di Kampung Asir-Asir
Atas No.70 Takengon-Aceh Tengah. Email:
salmanyoga@yahoo.co.id.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 37
Ratih
Ratih, begitu Bapak menamaiku saat
pertama kali aku menangis di dunia ini.
Enam belas tahun kemudian
sebagaimana usiaku saat ini, semua
orang di kampung memberi panggilan
yang sama dengan panggilan Bapakku:
Tih. Sependek itu. Entah apa artinya.
Aku masih mengingat panggilan
terakhir Bapakku. Suara Bapak yang
lemah hampir tidak terdengar, padahal
aku duduk di samping kepalanya. Aku
menyodokkan telingaku untuk
mendengar suara terakhirnya. “Jaga
dirimu baik-baik, Tih,” katanya lirih.
Oleh Ade Mulyono
C E R P E N
pakaian, tidak hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi juga anak gadisnya: aku—yang
sudah remaja.
Kami tinggal di sebuah rumah yang
lebih tepat disebut gubuk. Mengingat
lantainya masih beralas tanah, dindingnya
sebagian masih menggunakan anyaman
bambu. Sedangkan dapur dan kamar
mandi yang beriringan hanya dibatasi kain
yang menjuntai. Jika penghuni rumah
mandi bayangan tubuhnya begitu jelas
ditangkap mata bagi siapa saja yang
melihatnya.
Tidak ada barang berharga di rumah
kecil yang hanya mempunyai dua kamar.
Barang berharga yang menjadi hiburan
hanyalah televisi tabung hitam putih.
Sialnya hanya menangkap tayangan dari
stasiun pemerintah, sisanya hanya suara
yang terdengar tak karuan. Itulah rumah
anya sepotong kalimat pendek itu
yang aku dengar dari bibirnya
yang kering seperti sawah di
musim kemarau. Setelahnya Bapak
memejamkan matanya dan aku menangis
tersedu-sedu mengiringi kepergiannya.
Itu terjadi saat aku masih duduk di bangku
kelas lima SD. Satu tahun setelah lulus
sekolah, Emak kawin lagi dengan seorang
duda beranak tiga. Waktu itu Emak
menikah lagi dengan harapan akan ada
seseorang yang memberinya jatah makan
setiap perutnya lapar, memberinya
H
G E L A N G G A N G
ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 38
peninggalan almarhum
Bapak yang diwariskan pada
istrinya yang sudah dua
tahun ini mulai sakit-sakitan.
Di rumah itulah aku, Emak,
Bapak, dan tiga saudara
tiriku tinggal.
Suami baru Emak yang
juga menjadi Bapak
sambungku setiap hari
menghabiskan waktunya di
pasar bekerja sebagai tukang
becak. Usianya tidak lagi
muda, rambutnya
seluruhnya berwarna putih
kusam. Perawakannya kurus
hingga tulang-tulang di
dadanya menonjol keluar.
Sudah beberapa hari ini ia
kerap marah setiap pulang
ke rumah. Terlebih jika tidak
ada makanan di dapur untuk
mengganjal perutnya, lengan
tangannya yang kekar tak
sungkan membanting apa
saja yang bisa diraihnya.
Emak di kamar tak menyeru
kecuali air matanya yang
keluar. Tidak ada yang bisa
dilakukan Emak selain
berbaring. Badannya tak
kalah kurusnya dengan
suami barunya. Barangkali
tinggal dibungkus tulang dan
kulitnya saja yang kering,
sebagai tanda hidupnya yang
serba susah. Setiap hari aku
yang mengurusnya dengan
sabar. Entah sakit apa yang
dideritanya, tidak ada uang
untuk membawanya ke
dokter. Seorang tetangga
pernah menyarankan
memakai BPJS, tetapi setelah
mendengarkannya Emak
geleng-geleng kepala sambil
berujar pasrah: “Ribet betul.”
G E L A N G G A N G
Sejak saat itu aku hanya
membelikan obat warung ala
kadarnya. Malahan Emak
melarang jika aku hendak
membelikan obat. Katanya,
lebih baik dibelikan beras
dan kerupuk untuk makan.
Sungguh aku begitu sedih
mendengar Emak berujar
seperti itu. Sedangkan tiga
kakak tiriku yang semuanya
laki-laki mempunyai watak
yang sama dengan Bapaknya:
gemar marah-marah.
Ketiganya bekerja serabutan.
Ada yang jadi juru parkir di
toko Emas Cina, ada yang
menjadi kuli bangunan,
sedangkan yang paling muda
tidak jelas kesibukannya. Ia
jarang di rumah kecuali jika
membutuhkanku. Seperti
yang ia perbuat sore tadi
sebelum pergi.
Malam ini untuk yang ke
sekian kalinya aku
membasahi bantalku dengan
tangis. Sudah beberapa
bulan ini tubuhku remuk
redam disiksa luar dalam. Di
sampingku terbujur tubuh
Bapak sambungku yang
sedang mendengkur.
Napasnya naik turun, suara
dengkurnya tak kalah
nyaring dengan suara kodok,
burung, dan suara tikus yang
berdecit di kolong ambin
yang setiap malam berderit.
Ia tidur dengan pulasnya
setelah melampiaskan nafsu
binatangnya kepadaku. Aku
masih mencium bau bako di
tubuhnya yang tidak pernah
kena sabun mandi. Biasanya
ia baru terbangun setelah
cahaya matahari masuk
ke kamar melalui genteng
atap yang berlubang. Jika ia
tak mendapati tubuhku di
sampingnya, maka ia akan
mengamuk: memukuliku.
Tidak sekali, tetapi berkali-
kali aku kena pukul hingga
mataku bengkak. Sebelum
meninggalkan rumah ia
minta sarapan batin. Karena
takut aku pasrah saat ia
melucuti pakaianku.
Entah sudah malam yang
ke berapa lelaki tua yang
kupanggil Bapak ini masuk
ke kamarku. Aku tidak
menghitungnya, terlalu
pedih jika kuingat. Malam ini
ia menghampiriku setelah
menghabiskan kopi dan
rokok bako yang sudah
dililitnya dengan daun
jagung kering. Anehnya, ia
tidak peduli saat kedua
anaknya secara bergiliran
menelanjangiku,
melampiaskan nafsunya
pada tubuhku. Tidak sekali,
tetapi berkali-kali. Barulah
setelah kedua anaknya pergi,
giliran Bapaknya menjilati
tubuhku setelah
mencekokiku dengan pil KB
yang baru dibelinya di
apotek siang tadi.
Aku sudah hampir gila
dengan penderitaan yang
kualami ini. Pernah Emak
menyuruhku pergi dari
rumah setelah mendengar
ceritaku. Namun, siapa yang
akan mengurus Emak jika
aku menuruti perintahnya.
Terlebih Bapak sambungku
sudah mengancamku jika
berani melapor, ia akan
menyiksa Emak. Betapa
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 39
bajingan lelaki yang
menikahi perempuan hanya
untuk memuaskan
kelaminnya. Bukankah
begitu tujuan pernikahan?
Semua itu bermula sejak
Emak sakit dua tahun
lamanya. Bapak sambungku
sudah tidak tahan
menghadapinya. Aku
mengerti tidak mungkin
orang sakit melayani
suaminya. Atas alasan itu,
aku menjadi korban nafsu
kebinatangannya. Sialnya,
ketiga anaknya mengikuti
kebinatangan bapaknya. Kini
aku harus melayani berahi
empat orang lelaki yang
seharusnya melindungiku.
Malam itu seperti biasa
usai azan Isya
berkumandang di langgar,
Bapak duduk bersila
memelototi televisi dan asap
rokok keluar dari mulutnya
yang lebar. Sedangkan aku
baru saja selesai menyuapi
Emak. Saat aku sedang
mencuci piring di dapur, aku
mendengar suara Emak yang
menolak ajakan Bapak yang
minta dilayani. Dengan
jengkel Bapak keluar dari
kamar Emak sambil
menggerutu.
“Sudah dua tahun aku
seperti anak bujangan. Buat
apa punya istri jika tidak
berguna. Lebih baik kau mati
saja.”
Tiba-tiba hujan turun
dengan lebatnya saat aku
melihat Bapak berdiri
memandangiku dari
belakang sambil meremas-
remas selangkangannya
G E L A N G G A N G
di balik sarungnya. Tatapan
matanya menyeramkan
seperti hendak menelanku.
Ia mulai mengendus wajahku
seperti kucing mengendus
daging sebelum
memakannya. Belum juga
aku beranjak, Bapak sudah
menyeretku ke kamar. Aku
meronta, berontak. Sial
bagiku tenaganya yang besar
berhasil menguasai tubuhku.
Kemudian ia membantingku
di atas kasur. Aku hanya
menangis di bawah kuasanya
setelah diancam dengan
seribu kengerian.
Dari kamar Emak aku
mendengar suaranya yang
lemah, “Jangan, Pak. Ratih
anak kita.”
Hanya itu yang aku
dengar dibarengi
tangisannya. Setelah itu
Bapak keluar dan
langsung membentak
Emak.
“Diam. Jika berani
macam-macam akan
kutinggal, akan kuceraikan.
Jika kamu berani bercerita,
kamu menyebarkan aibmu
sendiri. Apa perlu aku bunuh
anak gadismu ini?”
Sesudahnya aku hanya
menangis. Sungguh aku
hampir tak percaya apa yang
baru saja aku alami. Belum
kering air mata di pipiku,
kakak tiriku yang nomor dua
masuk ke dalam kamar.
Tentu saja ia mengetahui
apa yang dilakukan bapaknya
kepadaku. Ia mulai menarik
selimutku dan melampiaskan
birahinya. Hingga tengah
malam, muncul kakak tiriku
yang paling tua dan
melakukan hal yang sama.
Barulah setelah melepaskan
hasratnya ia terkapar di
sampingku dengan napas
bau ciu. Begitulah aku
melewati malam yang
panjang diperkosa Bapak dan
kedua anaknya.
Kejadian itu terus
berulang, hingga si bungsu
melakukan hal yang sama
dengan Bapak dan kedua
kakaknya. Tidak seperti
kedua kakaknya, ia
melakukannya di siang hari.
Seperti yang ia lakukan
dengan beringasnya sore
tadi saat aku sedang mandi
di kamar mandi. Sebenarnya
aku sudah tidak tahan
dengan semua cobaan ini.
Berbulan-bulan aku
menahan derita, menyimpan
rapi rasa sakit yang aku
alami. Aku malu jika ingin
bercerita kepada tetangga
atau sahabatku. Dengan
terpaksa aku kubur rapat-
rapat aib keluargaku. Aku
juga takut kena tinju jika
Bapak dan saudara tiriku
tahu. Seperti yang ia lakukan
dua minggu yang lalu.
Sejak kejadian itu pula
entah sudah berapa banyak
pil KB yang aku minum di
bawah ancaman Bapak
sambungku. Katanya supaya
tidak hamil. Tentu saja
supaya leluasa
melampiaskan nafsunya.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 40
Betapa diriku telah menjadi
budak kelamin laki-laki. Yang
bisa kulakukan untuk
mengurangi deritaku ialah
bersimpuh di makam Bapak.
Di nisannya aku menangis
sepuas-puasnya.
Kini badanku semakin
kurus juga tidak lagi
terurus. Dan malam
yang menyedihkan ini
kelewat panjang untuk
aku seberangi.
Rembulan di atas awan
sepertinya enggan berlayar
mengarungi samudera
malam. Meski sudah tua usia
malam, tetapi mataku masih
menyala setelah diperas air
mata. Aku sudah putus asa.
Masih adakah masa depan
untuk perempuan yang
setiap hari diperkosa?
Mungkin sudah begini garis
hidupku sejak lahir selalu
dikepung derita. Tidak
mencium wangi baju sekolah
tinggi seperti teman-
temanku yang lain. Ah,
jangan sekolah untuk makan
saja susah. Kepada siapa aku
berharap. Bapak dan saudara
tiriku? Mereka hanya
memikirkan kelamin dan
perutnya sendiri.
Tidak ada yang
diharapkan dari mereka.
Sebagaimana diriku mereka
juga hanya lulusan sekolah
dasar, itu pun hanya si
G E L A N G G A N G
bungsu. Sementara kedua
kakaknya bahkan terbata-
bata saat membaca judul
video porno di handpone-
nya sebelum aku menjadi
korban pelampiasan nafsu
liarnya. Betapa malang hidup
menjadi seorang perempuan
yang miskin, lemah, dan
bodoh seperti diriku ini.
Angin malam yang dingin
mulai masuk ke kamar
melalui celah-celah anyaman
yang sudah banyak
berlubang. Itu pertanda
subuh sebentar lagi tiba.
Setelah mengumpulkan
tenaga dengan rasa
keputusasaan aku bangkit
dari ranjang. Aku melangkah
pelan meninggalkan lelaki
tua yang sedang
mendengkur. Kemudian aku
menyelinap masuk ke kamar
Emak. Aku mencium
keningnya dan kutatap
sembab matanya untuk yang
terakhir kalinya.
Segera aku bergegas
menuju ke dapur dan
langsung berdiri di depan
sumur. Aku diam sejenak
untuk menghabiskan sisa air
mataku yang kembali
tumpah menyeberangi pipi
dan bibirku saat berujar lirih,
“Mak, Bapak, maafkan
anakmu.”
Dengan rasa putus asa
aku meraih tali sumur dan
langsung mengalungkannya
ke leherku. Sambil
memejamkan mata aku
melompat masuk ke sumur
yang dalam. Mendadak
semuanya menjadi gelap tak
terlihat. Dalam kegelapan itu
aku teringat masa kecil dulu.
Aku teringat Bapak saat
menggendongku sambil
bernyanyi, “Ning-nang,
ning-nang neng-nong.” (*)
Ade Mulyono
Lahir di Tegal. Prosais dan
esais, lulusan S-1 Bahasa dan
Sastra Universitas Pamulang.
Tulisannya dimuat di
sejumlah media, seperti
Kompas, Media Indonesia,
Suara Merdeka, Harian
Sultra, dan majalah Harmoni.
Novel terbarunya Jingga
terbit tahun 2023. Saat ini
berdomisili di Jalan
Peninggaran Barat 3 RT 13
No. 57 Kebayoran Lama,
Jakarta Selatan.
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 41
Kemaluan yang Bersinar
Kemaluan itu bersinar, tampak begitu
indah, bersih, begitu mempesona,
begitu menggairahkan. Tanpa kata-kata
kau langsung menubruk perempuan
yang tidak jelas siapa itu. Ya, kau
menubruknya sebab gejolak yang
sudah tidak bisa dikendalikan.
Oleh Risen Dhawuh Abdullah
C E R P E N
Wajahmu beradu dengan wajahnya,
tapi kau masih tidak mengenali siapa
perempuan itu. Hingga kau disuruh untuk
jongkok olehnya. Kau pun kembali
menurut. Tiba-tiba perempuan itu
menyingkap kain yang menutupi kakinya.
Singkapan itu mengakibatkan
kemaluannya terlihat.
Kemaluan itu bersinar, tampak begitu
indah, bersih, begitu mempesona, begitu
menggairahkan. Tanpa kata-kata kau
langsung menubruk perempuan yang
tidak jelas siapa itu. Ya, kau menubruknya
sebab gejolak yang sudah tidak bisa
dikendalikan.
Belum sampai kau tuntaskan gejolak,
perempuan itu menghilang dan kau
terbangun. Kau menoleh sekeliling seperti
mencari perempuan itu dan memang tidak
ada. Itu hanyalah bunga tidur yang baru
au nekat pergi ke seorang empu
yang disarankan oleh Bango
Samparan setelah kau
menceritakan mimpimu. Ya, mimpi.
Malam itu kau bermimpi. Dalam mimpimu,
kau digambarkan sedang berada di atas
awan. Awalnya kau tidak melihat siapa-
siapa di sekelilingmu. Kau berjalan
berpuluh-puluh langkah, hingga kau
melihat seseorang membelakangimu.
Dari bentuk tubuhnya bisa diketahui
kalau orang itu adalah perempuan. Ia
kemudian berbalik badan. Namun, kau
tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas
karena dari wajahnya memancarkan sinar
—tapi sinar itu tidak membuat matamu
silau. Terkadang bagian-bagian tertentu
dari wajahnya tampak, tapi tidak cukup
untuk mengetahui siapa perempuan itu.
Ia menyuruhmu untuk mendekat dan
kau menurut saja tanpa respons kata-kata.
K
G E L A N G G A N G
ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 42
bersinar itu sudah sering bopo dengar.”
Bopomu menatapmu dengan serius.
“Jadi ada juga orang bermimpi sama
dengan yang saya impikan, Bopo?” Kau
semakin penasaran.
“Ya. Tapi orang yang bermimpi
demikian sangat langka. Biasanya hanya
dialami oleh calon raja atau orang besar…”
Bopomu berhenti berbicara karena
terbatuk.
Kau menunggu dengan perasaan tidak
sabar.
“Menurut cerita nenek moyang, orang
yang bermimpi bertemu dengan seorang
perempuan dan melihat kemaluannya
bersinar, kemudian di dunia nyata juga
bertemu, maka dialah jodohnya dan akan
menurunkan orang-orang besar. Masih
dari cerita yang beredar, mimpi ini
biasanya hanya dialami oleh mereka yang
masih bujang,” jelas Bopomu.
“Benarkah demikian?”
“Itu hanya menurut cerita. Kalau
kenyataan, Bopo belum pernah melihatnya
sendiri.”
Walau Bopomu sudah menegaskan
kalau itu hanyalah menurut cerita yang
beredar, nyatanya justru membuat
ingatanmu semakin merawat mimpi itu.
Kau tidak mempedulikan ucapan Bopomu,
kalau mimpi itu hanya dialami oleh calon
raja atau orang besar. Kau seperti tidak
sadar kalau wajah perempuan yang ada di
mimpimu itu tidak jelas, jadi bagaimana
mungkin kau bisa menemukannya di dunia
nyata?
Kala kau datang kepada Kebo Ijo,
rekanmu sesama punggawa yang
mengabdi untuk Tunggul Ametung, malah
menertawakanmu keras-keras usai kau
menceritakan mimpimu dan ucapan
Bopomu.
“Itu hanya mimpi, sementara kau terus
mengingat-ingat. Coba ingat, kau ini
siapa? Kau hanya dari kasta Sudra. Mana
saja kau nikmati. Gejolak itu kau rasakan
juga sampai dunia nyata.
Mimpi itu benar-benar mengganggu
pikiranmu hingga sore menyapa.
“Aku ingin mengulangi mimpi itu, baru
kali ini aku melihat kemaluan seorang
perempuan yang begitu mempesona.
Begitu menggairahkan. Laki-laki mana
yang bisa menahan gejolak dalam dirinya
setelah melihat kemaluan yang seperti itu?
Sungguh kemaluan yang indah!” bisikmu.
Kau geleng-geleng kepala setelah
membayangkan mimpimu menjadi
kenyataan. Tentu jika itu menjadi
kenyataan, merupakan anugerah yang luar
biasa dari Dewata. Mimpi itu semakin
betah dalam ingatanmu. Kau tidak dapat
menghilangkannya. Malah semakin lekat.
Mimpi yang terus membuatmu
kepikiran itu kemudian menimbulkan
pikiran yang melenceng ke mana-mana.
Meskipun ini terkesan ngawur, kini kau
menganggap mimpi itu adalah petunjuk
dari Dewata.
“Ini bukan mimpi biasa, sebab hingga
berhari-hari lamanya, mimpi itu masih saja
terus menggelayut di tempurung
kepalaku. Namun petunjuk apa?” katamu
berbicara sendiri pada sebuah hari.
Karena semakin nikmat, tapi
terganggu, kau memutuskan untuk
menghadap pada bopo angkatmu di
Karuman. Kau berharap memperoleh jalan
keluar. Kau sudah tidak betah dengan
bayangan yang terus menghantuimu. Kau
ceritakan kronologinya hingga berakhir
pada pertanyaan, kira-kira apa maksud
dari mimpi saya?
“Itu bukan mimpi biasa, Ngger,” ucap
Bopomu.
“Bukan mimpi biasa, Bopo?” Dadamu
sontak bergemuruh, setelah menangkap
ucapan itu.
“Sebelum kau bercerita, mimpi soal
melihat kemaluan perempuan yang
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 43
Ia memanggilmu, menyuruhmu untuk
mendekat. Memang bukan kali ini saja Ken
Dedes memanggilmu. Ia kerap meminta
bantuanmu saat ia sedang mengalami
kesulitan. Sebagaimana biasanya, kau tidak
kuasa menatap dengan sepenuhnya wajah
itu. Ken Dedes mengundangmu di ruang
pertemuan esok hari. Katanya ada hal
penting yang ingin dia bicarakan dan
pembicaraan itu tidak boleh siapa pun
tahu.
Tentu hal itu menjadi sebuah
kebanggaan tersendiri bagimu. Namun,
kau tidak pernah menganggap dirimu
istimewa. Permintaan Ken Dedes tentu
kau penuhi. Keesokan harinya kau
menghadap padanya. Tidak ada Tunggul
Ametung ketika kau menghadap.
Di ruang pertemuan Ken Dedes
mengatakan kalau ia tidak sreg dengan
apa yang suaminya rencanakan. Akan
melakukan pemberontak terhadap Kediri.
Ia menyampaikan kesedihannya. Dalam
lubuk hatinya paling dalam, ia sama sekali
tidak ingin peperangan terjadi. Ken Dedes
juga berucap kepadamu kalau kerugian
yang ditanggung akan begitu besar. Belum
lagi nyawa yang melayang. Hanya demi
kekuasaan!
Kau pun tidak dapat memberikan kata-
kata kepadanya. Ken Dedes tidak
memperlihatkan kecewa. Justru ia nampak
begitu lega. Wajahnya tidak penuh dengan
beban seperti saat ia memanggilmu.
Diam-diam kau memperhatikan sepasang
matanya. Sudah lama kau amati mata itu.
Dibanding sebelum-sebelumnya, kau
merasa kalau mata itu tidak seindah saat
ini.
“Apa aku tidak pernah melihatnya
dalam jarak yang begitu dekat seperti ini?”
tanyamu kepada dirimu sendiri.
Pertemuan itu ditutup ucapan terima
kasih Ken Dedes sebab kau telah
menyempatkan diri. Dengan langkah
perlahan kau bersama Ken Dedes
mungkin menurunkan raja-raja, kalau
menjadi raja saja tidak mungkin!” ujar Kebo
Ijo sembari menghabiskan tawanya.
“Tidak ada yang tidak mungkin bagi
Dewata. Jika Dewata sudah berkehendak,
siapa yang bisa menghalangi? Mereka
yang menjadi raja tidak akan menjadi raja
tanpa restu dari Dewata. Jadi apa salah,
jika kemudian aku mempunyai cita-cita
seperti itu?”
Memang kenyataan tidak bisa
dibohongi. Kau hanya orang yang berasal
dari kasta Sudra, kasta yang paling rendah,
bahkan dianggap paling hina. Kau
mempunyai masa lalu yang kelam. Kau
pernah menjadi berandalan, pencuri, serta
berjudi. Dan sekarang kau bermimpi
menjadi seorang raja. Tapi lagi-lagi, kau
tidak goyah dengan masa lalumu. Kau
tancapkan keyakinan dalam-dalam pada
hatimu, kalau segalanya bisa terjadi.
Suatu ketika para punggawa penting
Tumapel dipanggil oleh Tunggul Ametung,
termasuk dirimu. Tunggul Ametung
menggelar pertemuan. Dalam pertemuan
itu, Tunggul Ametung menceritakan
gejolak pemerintah Kertajaya, yang mana
mulai tidak disukai oleh rakyat. Banyak
orang yang tidak suka dengan kebijakan
yang telah Kertajaya tetapkan.
Namun, kau tidak percaya dengan
omongan yang Tunggul Ametung
ucapkan. Ketidakpuasaan hanya
ditunjukkan oleh rakyat Tumapel—itu pun
tidak semuanya—di luar itu kau tidak
pernah mendapatinya. Setelah kau
mengikuti alur pertemuan itu, apa yang
menjadi tebakanmu bermuara pada
kebenaran. Tunggul Ametung
menghendaki melakukan pemberontakan.
Mau tidak mau kau tunduk dengan apa
yang menjadi keputusannya. Pagi ini saat
kau melatih prajurit yang dipersiapkan
untuk memberontak, kau melihat Ken
Dedes berjalan di depan istana. Kemudian
langkah kakinya mengarah kepadamu.
G E L A N G G A N G
elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 44
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf
Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf

More Related Content

Similar to Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf

Kerja kursus kesusasteraan melayu
Kerja kursus kesusasteraan melayuKerja kursus kesusasteraan melayu
Kerja kursus kesusasteraan melayuMazliza Suleiman
 
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporerCover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
Lydia Nurkumalawati
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
Irmayani Amang
 
Buletin aps warna bil 1 edisi digital
Buletin aps warna bil 1 edisi digitalBuletin aps warna bil 1 edisi digital
Buletin aps warna bil 1 edisi digital
HASSAN MOHD GHAZALI
 
Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2
romi firdaus
 
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
Kris Adji AW
 
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Saylow Alrite
 
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Vanny Andriani Huang
 
Materi teori sastra
Materi teori sastraMateri teori sastra
Materi teori sastra
SMK Negeri 2 Denpasar, Bali
 
Kemah Literasi Bumi Anoa
Kemah Literasi Bumi AnoaKemah Literasi Bumi Anoa
Kemah Literasi Bumi Anoa
RAHMATADIANTO
 
Sastera
SasteraSastera
sekilas sejarah seni
sekilas sejarah senisekilas sejarah seni
sekilas sejarah seni
Usman Apriadi
 
Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.
AbuTasmin
 
Perkembangan Sastra Indonesia
Perkembangan Sastra IndonesiaPerkembangan Sastra Indonesia
Perkembangan Sastra Indonesia
Wulan Sobichin
 
pandangan seni dalam islam
pandangan seni dalam islampandangan seni dalam islam
pandangan seni dalam islam
IAIN Sunan Ampel Surabaya
 
Makalah Wayang Golek
Makalah Wayang Golek Makalah Wayang Golek
Makalah Wayang Golek
NovaLustiana
 
Kata pangante1
Kata pangante1Kata pangante1
Kata pangante1
NovaLustiana
 
Seni budaya lokal islam indonesia
Seni budaya lokal islam indonesiaSeni budaya lokal islam indonesia
Seni budaya lokal islam indonesia
Ahmad Masharul Ishaq
 
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
primagraphology consulting
 

Similar to Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf (20)

Kerja kursus kesusasteraan melayu
Kerja kursus kesusasteraan melayuKerja kursus kesusasteraan melayu
Kerja kursus kesusasteraan melayu
 
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporerCover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
Cover + kata pengantar + pendahuluan Makalah musik kontemporer
 
Kata pengantar
Kata pengantarKata pengantar
Kata pengantar
 
Buletin aps warna bil 1 edisi digital
Buletin aps warna bil 1 edisi digitalBuletin aps warna bil 1 edisi digital
Buletin aps warna bil 1 edisi digital
 
Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2
 
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
Curriculum Vitae Kris Adji AW terbaru 2014
 
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
Bali Emerging Writers Festival 25 - 27 May 2012
 
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
 
Materi teori sastra
Materi teori sastraMateri teori sastra
Materi teori sastra
 
Kemah Literasi Bumi Anoa
Kemah Literasi Bumi AnoaKemah Literasi Bumi Anoa
Kemah Literasi Bumi Anoa
 
Sastera
SasteraSastera
Sastera
 
sekilas sejarah seni
sekilas sejarah senisekilas sejarah seni
sekilas sejarah seni
 
Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.Proposal Pameran lost.
Proposal Pameran lost.
 
Perkembangan Sastra Indonesia
Perkembangan Sastra IndonesiaPerkembangan Sastra Indonesia
Perkembangan Sastra Indonesia
 
pandangan seni dalam islam
pandangan seni dalam islampandangan seni dalam islam
pandangan seni dalam islam
 
Makalah Wayang Golek
Makalah Wayang Golek Makalah Wayang Golek
Makalah Wayang Golek
 
Kata pangante1
Kata pangante1Kata pangante1
Kata pangante1
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
Seni budaya lokal islam indonesia
Seni budaya lokal islam indonesiaSeni budaya lokal islam indonesia
Seni budaya lokal islam indonesia
 
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SAST...
 

Elipsis Digital_Edisi 030_Tahun III_November-Desember 2023_100 halaman_FIX.pdf

  • 1. Sofyan RH. Zaid, Tasawuf, Filsafat, dan Puisi Pagar EDISI 030 | TAHUN III | NOVEMBER—DESEMBER 2023 MAJALAH KITA S A J A K - S A J A K H L M . 4 7 - 5 9 GURU MELEK TEKNOLOGI
  • 2. Bertahan hingga edisi 030 di tahun III lumayan berat. Majalah elipsis sampai di fase itu. Masih cukup muda untuk sebuah media massa. Namun, majalah ini semaksimal mungkin terbit, meski terkadang harus bernegosiasi dengan kesibukan para tim redaksi. Cadangan naskah yang masuk ke surel redaksi cukup tersedia, bahkan berlebih. Kami menyampaikan terima kasih kepada para penulis/kontributor di berbagai kota di Indonesia bahkan negeri jiran yang telah mengirimkan naskah terbaiknya untuk majalah ini. Seperti halnya media lain, sistem kurasi berlaku di elipsis. Naskah-naskah yang terbit di setiap edisi elipsis adalah naskah yang telah melewati meja redaktur. Yang belum terbit barangkali sedang duduk di daftar antrean. Jika belum berpeluang terbit, 2-3 bulan kemudian Anda dapat melakukan penarikan naskah. Bukan berarti naskah yang ditolak tidak baik, barangkali belum cukup tempat di elipsis, dan berkemungkinan berpeluang terbit di media lain. Yang pasti, jangan sungkan untuk mengirimkan naskah-naskah terbaru untuk majalah elipsis. Edisi kali ini elipsis disemarakkan dengan tulisan para kontributor, baik opini, esai, cerpen, maupun puisi. Transformasi pendidikan di era digital menjadi sorotan elipsis. Sudah sewajarnya pendidik melek teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Akhirnya, selamat membaca. Salam bahagia dari kami. REDAKSI SETUMPUK NASKAH Salam Redaksi Redaksi menerima tulisan berupa esai, cerpen, puisi, resensi buku, reportase kegiatan seni, sastra, wisata, dan lain-lain. Naskah dikirim ke surel: majalahelipsis@gmail.com. ISSN 2797-2135 elipsis Media Komunitas Diterbitkan oleh Sekolah Menulis elipsis bekerja sama dengan Penerbit Egypt van Andalas Padang Panjang, Sumatra Barat Redaksi: Jl. Soekarno-Hatta, No. 02 Kota Padang Panjang Sumatera Barat Penasihat Redaksi Sulaiman Juned Riri Satria Bachtiar Adnan Kusuma Dasman Djamaluddin Pemimpin Umum Muhammad Subhan Pemimpin Redaksi Ayu K. Ardi Sekretaris Redaksi Tiara Nursyita Syariza Bendahara Redaksi Asna Rofiqoh Redaktur Bahasa Anita Aisyah Dian Sarmita Redaktur Dona Susanti Fataty Maulidiyah Husnul Khatimah Maghdalena Nurhayati Neneng J.K. Rilen Dicki Agustin Sholikin Zainal Arif Tata Letak Muhammad Ilham
  • 3. 6 SOROTAN Guru Melek Teknologi di Era Transformasi Digital 13 SOROTAN Anugerah Tertinggi dari Raja Spanyol untuk Pianis Ananda Sukarlan 18 JENDELA Membaca Karya Prof. Firdaus Syam, Sosok yang Gelisah, Memotret Realitas Sosial dengan Pendekatan Spiritualitas 21 SAMPUL Sofyan RH. Zaid, Tasawuf, Filsafat, dan Puisi Pagar 27 GELANGGANG Kota yang Berubah Menjadi Anjing 31 GELANGGANG Sahabat Tua di Hulu Mata Air Daftar Isi November—Desember 2023 elipsis edisi 030 Foto Sampul: Sofyan RH. Zaid Penyair, Pekerja Buku Foto: Dokumentasi: Syofyan RH. Zaid Kontributor Lukisan Alkhair Aljohore Hanum Rimahani Syakira Nada Rahidatul Janah YN Rezi Ilfi Rahmi elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 3
  • 4. 38 GELANGGANG Ratih 47 SAJAK 60 APRESIASI 68 DESTINASI Solok Selatan, Wisata Halal dan Pesona Saribu Rumah Gadang 71 SENI Tari Anak Generasi Alfa 74 KOLOM Teater, Kematangan Identitas Melahirkan Kualitas Artistik 76 BAHASA Hati-Hati Menulis Judul 79 ESAI Di Balik Tirai Paris Opera Balet 82 TEMPAYAN Ada Keburukan 94 OTA LEPAU Pramuka Daftar Isi November-Desember 2023 elipsis edisi 030 elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 4
  • 5. Judul : elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 5 K A N V A S
  • 6. “Lawatari: Padang Panjang” adalah program kolaborasi IDF dengan Ruang Tumbuh Institute sebagai mitra artistik dan produksi serta didukung ISI Padang Panjang. Program ini juga didukung penuh Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Dana Indonesiana, serta LPDP. IDF Bawa Program Gelar Arsip, Lokarya, Diskusi, dan Seni Pertunjukan di ISI Padang Panjang ke kantong-kantong seni pertunjukan di Indonesia dan menjalin keterhubungan melalui penampilan karya juga program-program yang mendukung perkembangan ekosistem seni pertunjukan di Indonesia, baik di depan maupun balik layar. Lawatari, yang merupakan bagian dari seri program Road to IDF 2024, dirancang untuk hadir di tiga kota: Makassar, Padang Panjang, dan Yogyakarta (Januari 2024),” ujar Ratri Anindyajati, Direktur IDF dalam jumpa pers dengan awak media di ISI Padang Panjang, Rabu, 6 Desember 2023 di Studio TV & Film ISI Padang Panjang. FOTO: MUHAMMAD SUBHAN | ELIPSIS S O R O T A N Tim IDF diwakili Nungki Kusumastuti dan Rektor ISI Padang Panjang Febri Yulika mendandatangi MoU program Lawatari: Padang Panjang, Rabu, 6 Desember 2023, di Studio TV & Film ISI Padang Panjang. DUKUNG EKOSISTEM SENI PERTUNJUKAN DI INDONESIA elanjutkan pertunjukan Lawatari di Makassar dalam kolaborasi dengan Makassar Biennalepada 15-16 September lalu, Indonesian Dance Festival (IDF) bertolak ke Padang Panjang menampilkan pertunjukan karya dan menginisiasi lokakarya, diskusi, juga presentasi arsip. “Lawatari: Padang Panjang” berlangsung pada 6-7 Desember 2023 dalam kolaborasi dengan Ruang Tumbuh Institute dan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Nama Lawatari dibentuk dari gabungan dua kata; lawat dan tari, yang menyiratkan semangat melawat M OLEH MUHAMMAD SUBHAN elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 6
  • 7. “Lawatari: Padang Panjang” menggunakan beberapa area di ISI Padang Panjang menghadirkan rangkaian program, di antaranya pertunjukan karya “SILO” oleh Hari Ghulur dan “Tanangan” oleh Kurniadi Ilham di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padang Panjang. Setiap pertunjukan dilanjutkan dengan Bincang Karya bersama masing-masing seniman, juga akademisi Dr. Susas Rita Loravianti dan Ahmad Oscar Ridho, seniman Ali Sukri, dan kurator IDF Linda Mayasari sebagai penanggap dan moderator. Selain itu, kedua koreografer mengampu Masterclass untuk memperkaya kemampuan praktisi seni pertunjukan. Lokakarya Seni Tata Kelola: Merakit Ruang untuk Tumbuh Bersama yang difasilitasi Linda Mayasari (kurator IDF) dan Maria Renata Rosari (manajer festival IDF) mengajak produser dan pekerja manajemen seni pertunjukan untuk bertukar pikiran dan merumuskan cara kerja tata kelola seni yang efektif dalam konteks lokal. Kegiatan lainnya Bincang Tari edisi Lawatari: Padang Panjang berfokus pada tata kelola produksi dalam diskusi yang menghadirkan Ery Mefri (Nan Jombang Dance Company), Hartati (koreografer seniordan ko-kurator IDF 2020), juga Ratri Anindyajati (Direktur IDF) dan Linda Mayasari (kurator IDF). Sebelum memasuki gedung pertunjukan, audiens diajak menyimak Gelar Arsip Vasana Tari IDF yang berjudul “Melipat Jarak, Merajut Keterhubungan” dan menyajikan jejak jalinan hubungan panjang antara IDF dengan komunitas tari di Sumatra Barat. Sementara dalam karya “SILO” yang pertama kali ditampilkan pada malam pembukaan IDF 2022 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Hari Ghulur berangkat dari tradisi tahlil dalam Islam, menciptakan gerakan repetitif sebagai metode dialog dengan Yang Maha. Dalam karya ini, gerak tubuh dibatasi di bagian torso, dan dimaksudkan untuk mencapai puncak emosi dan spiritual. Karya ini lahir dari pengalaman Ghulur sebagai santri di tanah Madura, kampung halamannya. Dalam S O R O T A N sesi masterclass, sang koreografer akan menggali keterbatasan fisik (limitation) untuk mengeksplorasi tubuh dalam konteks penciptaan tari. Dari keterbatasan ini, ia menantang peserta untuk menemukan bentuk kebebasan yang unik dalam diri masing- masing. Karya “Tanangan” berangkat dari pengamatan Kurniadi Ilham tentang rutinitas warga di setapak pematang sawah. Dalam proses eksplorasi karya, ia menggunakan beberapa jenis ilmu silat untuk mengeksplorasi konsep pengendalian diri. Karyati gababak ini mengajak penonton turut mengalami intensitas gerak di atas bambu dalam relasinya dengan keseimbangan yang menyeluruh. Koreografer yang akrab disapa Uda Ilham ini akan mengampu masterclass tentang melatih fokus dan kontrol “Tanangan” karya koreografer Kurniadi Ilham akan ditampilkan sebagai bagian dari program Lawatari: Padang Panjang yang akan diadakan pada 6-7 Desember 2023 di ISI Padang Panjang. FOTO: DOK. KURNIADI ILHAM | IDF elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 7
  • 8. dalam tari. Sebelum menyaksikan pertunjukan, audiens disuguhi gelar arsip Vasana Tari IDF yang bertajuk “Melipat Jarak, Merajut Keterhubungan.” Presentasi yang diadakan di selasar Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ini memperlihatkan berbagai karya tari bernapas ragam budaya Sumatra Barat yang turut membentuk dinamika IDF sejak edisi perdananya pada 1992. Karya-karya tari yang pernah ditampilkan tersebut memiliki kemampuan untuk memperlihatkan pergeseran tradisi hingga respons terhadap situasi sosial-politik dari masa ke masa. Direktur IDF Ratri Anindyajati menyampaikan, seni pertunjukan sangat bergantung pada konteks lokal tempat sebuah karya dibentuk, juga cara tata kelola seni yang dijalankan. “Kami sangat gembira di tahun 2023 dan 2024 mendatang, kami memiliki kesempatan untuk berkolaborasi dengan komunitas-komunitas tari di Makassar, Padang Panjang, dan Yogyakarta,” katanya. Upaya bertukar wawasan seputar tata kelola seni pertunjukan dengan pegiat balik layar, kurator Linda Mayasari dan Manajer Festival IDF Maria Renata Rosari memfasilitasi lokakarya dua sesi. Dalam “Seni Tata Kelola: Merakit Ruang untuk Tumbuh Bersama”, kedua fasilitator mengajak peserta dalam kelas kecil untuk saling memantulkan praktik keproduksian dalam konteks seni pertunjukan di Jakarta, Yogyakarta, dan Padang Panjang. Kurator IDF Linda Mayasari mengatakan, pihaknya S O R O T A N menggagas lokakarya ini sebagai upaya untuk saling memahami praktik lapangan yang berbeda antara pengalamannya di Jakarta dan Yogyakarta, dengan Padang Panjang. Hal ini sejalan dengan semangat Lawatari untuk melihat bentuk kerja tata kelola dalam beragam konteks lokasi.” Bincang karya “Merajut Ragam Tata Kelola Produksi” mengundang narasumber dari berbagai latar belakang untuk mendiskusikan cara-cara efektif dalam mengelola produksi seni pertunjukan. Diskusi ini menghadirkan tiga tokoh tari asal Sumatra Barat: Ery Mefri (koreografer dan penggagas Nan Jombang Dance Company), Hartati (koreografer yang menggagas Yayasan Seni Tari Indonesia dan festival MenTARI di Sumatra Barat), serta Roza Muliati (akademisi, ISI Padang Panjang). Dalam diskusi ini, mereka bertukar pikir dengan dua anggota tim IDF: Direktur Ratri Anindyajati dan kurator Linda Mayasari. Sementara Rektor ISI Padang Panjang Dr. Febri Yulika, S.Ag., M.Hum. pada kesempatan itu menyampaikan terima kasih kepada IDF yang telah membawa program “Lawatari: Padang Panjang” ke kampus ISI Padang Panjang yang ia pimpin. “Kami menyambut baik program ini dan mudah- mudahan bisa terus berkelanjutan,” harap Febri. (*/RLS/AAN/ELIPSIS) “SILO” oleh Hari Ghulur akan ditampilkan di ISI Padang Panjang. Karya ini pertama dihadirkan pada malam pembukaan IDF 2022. FOTO: DOK. IDF elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 8
  • 9. diperbarui secara terus- menerus seiring dengan hadirnya teknologi baru yang bisa memudahkan pekerjaan guru dalam proses pembelajaran. Semakin aktif guru dalam mengikuti dan menerapkan teknologi pembelajaran artinya semakin banyak keterampilan yang Guru Melek Teknologi di Era Transformasi Digital dimilikinya. Penggunaan teknologi pembelajaran tidak hanya bermanfaat dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas guru, tetapi ia juga berfungsi untuk memungkinkan keterlibatan siswa. Mereka bisa mendapatkan pengalaman Era digital terus berkembang. Teknologi telah menjadi hal tak terpisahkan dari kehidupan manusia, termasuk di dunia pendidikan. Guru menjadi pelaksana kurikulum dan pendidik yang berinteraksi langsung dengan peserta didik dan memiliki peranan sangat penting. S O R O T A N FOTO: DOK. MAJALAH ELIPSIS Fitri Kumala Sari, S.Pd.Gr., guru SDN 10 Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang, sedang menerangkan pelajarannya kepada murid menggunakan media infokus. Perangkat digital sudah menjadi kebutuhan dalam proses belajar-mengajar. OLEH FATATIK MAULIDIYAH | MUHAMMAD SUBHAN elek teknologi menjadi keniscayaan bagi guru untuk mendukung efektivitas dan efisiensi pada proses belajar-mengajar. Urgensi melek teknologi beserta keterampilan lainnya yang harus dikuasai guru, terutama di bidang IT. Teknologi telah menjadi pendukung pembelajaran. Sejak pandemi Covid-19 lalu, tak bisa dimungkiri bahwa telah terjadi revolusi di dunia pendidikan. Pembelajaran yang mulanya berlangsung di ruang-ruang kelas beralih ke ruang-ruang digital melalui berbagai media, seperti Zoom, G-Meet, Google Classroom, WAG, dan lain sebagainya. Guru dipaksa menguasai IT meskipun tidak semuanya harus diterapkan. Perlu Terus Diperbarui Melek teknologi di kalangan guru perlu M elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 9
  • 10. Digital Guru dapat menggunakan perangkat digital seperti komputer, tablet, dan perangkat pintar lainnya dalam proses pembelajaran. Hal ini memungkinkan guru untuk memperkenalkan materi secara interaktif melalui presentasi multimedia, akses ke sumber daya daring, dan berbagai alat pembelajaran. b. Platform Pembelajaran Daring Guru dapat memanfaatkan platform pembelajaran daring (LMS) untuk mengatur materi pembelajaran, tugas, dan komunikasi dengan siswa. Hal ini memberi siswa akses yang mudah yang mudah pada bahan pembelajaran dan memungkinkan guru untuk melacak kemajuan mereka. c. Aplikasi Edukasi Ada banyak aplikasi pendidikan yang dirancang khusus untuk membantu guru dalam mengajar berbagai bidang studi. Guru dapat memilih aplikasi yang sesuai dengan kurikulum yang dibutuhkan siswa. d. Pembelajaran Berbasis Proyek Guru dapat memanfaatkan teknologi dalam rangka mengorganisir proyek berbasis teknologi di mana siswa bekerja sama dalam mengatasi masalah atau tugas tertentu. Hal ini sangat membantu siswa meningkatkan kemampuan berkolaborasi dan memecahkan masalah. e. Kustomisasi Pembelajaran Dengan teknologi, guru dapat merancang pembelajaran sesuai yang dibutuhkan siswa secara individual. Penerapan kustomisasi pembelajaran ini sangat relevan dengan pembelajaran differensial. Integrasi teknologi dalam pendidikan oleh guru bukanlah sekadar penggunaan perangkat elektronik, tetapi juga perubahan dalam cara guru dalam mengajar dan siswa belajar. Ini menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih dinamis, menarik, dan relevan dengan kehidupan di era digital. Dengan guru melek teknologi, siswa memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan di era serba digital ini. Kesiapan Empat Elemen Utama Pakar Teknologi Digital dan Dosen Fakultas Ilmu S O R O T A N Murid-murid SDN 10 Padang Panjang Barat sedang memecahkan soal-soal pembelajaran melalui perangkat digital Chromebook. Melek digital sudah harus diajarkan sedini mungkin kepada siswa. FOTO: DOK. HUMAS UPT PBBH belajar yang menyenangkan, lebih baik, lebih berkualitas, interaktif, sekaligus menarik. Guru bisa menggabungkan elemen-elemen multimedia, melakukan diskusi daring, tugas proyek berbasis teknologi. Hal ini dapat membantu siswa memahami lebih baik tentang materi dan lebih mendalam serta relevan. Integrasi Teknologi Pendidikan Integrasi teknologi dalam pendidikan merupakan pendekatan yang sangat penting. Ia memiliki peran dalam memperkaya pengalaman belajar siswa dan membantu serta mendukung siswa siap menghadapi era digital. Dalam hal ini guru memiliki peran kunci dalam mewujudkan integrasi teknologi. Berikut ini beberapa cara guru mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan. a. Pemenfaatan Perangkat elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 10
  • 11. Indonesia. Namun kesiapan setiap negara berbeda-beda. Bahkan kesiapan berbagai wilayah dalam satu negara pun berbeda-beda. Semua sangat tergantung kepada kesiapan empat elemen utama, yaitu infrastruktur digital, strategi pembelajaran dan kurikulum, manusianya berupa guru dan peserta belajar, serta kesiapan kebijakan organisasi berupa kesiapan semua perangkat kebijakan dan peraturan sekolah dalam menyelenggarakan proses belajar-mengajar dalam bentuk STDP, DTSP, dan DTDP. Infrastruktur digital bisa dibeli, tetapi yang lainnya harus dibentuk dan di situlah letak tantangannya. Tantangan terbesar terletak kepada kesiapan manusia, yaitu kesiapan guru dan peserta belajar”, demikian Riri melanjutkan penelasannya. Bagaimanakah transformasi digital dalam dunia pendidikan? Riri Satria menjelaskan, tranformasi digital dalam dunia pendidikan itu berarti mengubah lingkungan belajar atau learning environment dari yang tradisional menjadi lingkungan belajar berbasis digital atau digital learning environment. Ini berarti kombinasi dari empat pendekatanm yaitu mengadopsi pendekatan baru STDP, DTSP, dan DTDP, tanpa meninggalkan yang sudah ada, yaitu STSP. Untuk melakukan transformasi digital yang sukses pada dunia pendidikan, setidaknya ada enam komponen yang ditransformasi, yaitu strategi pembelajaran atau learning strategy, struktur dan proses pembelajaran, teknologi digital untuk pembelajaran atau digital learning technology, tata kelola atau governance dari teknologi tersebut, manajemen sumber daya manusia dalam lingkungan pembelajaran atau HR management in learning environment, serta tentu saja budaya organisasi berupa budaya pembelajaran digital atau digital learning culture yang ada di sekolah. “Kesiapan kita tidak sama di setiap wilayah di Indonesia, terutama kesiapan infrastruktur digital serta guru-gurunya. Masyarakat di Indonesia sangat beragam, mulai dari masyarakat 1.0 yang sangat tradisional sampai dengan masyarakat 5.0 atau smart society. Kesenjangan ini juga menyebabkan terjadinya gap yang besar dalam proses belajar-mengajar selama pandemi covid-19 melanda S O R O T A N Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria, menjelaskan bahwa gagasan mengenai transformasi digital dalam proses pembelajaran sudah dimulai sejak tahun 1988, ketika konsep time- space matrix diperkenalkan. Pada konsep ini, proses belajar-mengajar dapat berlangsung dalam empat bentuk, yaitu (1) same time same place (STSP) yang dikenal dengan juga classroom learning tradisional, (2) same time different place (STDP) yang dikenal dengan istilah long distance synchronous learning di mana proses belajar mengajar berlangsung pada waktu yang sama namun guru dan peserta belajar bisa berada pada lokasi yang berbeda, kemudian (3) different time same place (DTSP) yang dikenal dengan istilah guided asynchronous learning di mana peserta belajar berada dalam satu tempat namun dapat mengakses modul belajar dalam waktu yang berbeda sesuai kebutuhan, serta (4) different time different place (DTDP) yang dikenal dengan istilah long distance asynchronous learning atau on-demand learning di mana peserta belajar dapat belajar kapan saja dan di mana saja dengan mengakses model pembelajaran. “Kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia memaksa proses belajar mengajar mengarah ke bentuk STDP, DTSP, dan DTDP. Ini terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Riri Satria elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 11
  • 12. mengoptimalkan jagat digital atau cyberspace untuk kepentingan belajar-mengajar. “Pada era masyarakat digital saat ini, digital literacy atau literasi digital sudah menjadi keharusan untuk dikuasai oleh semua lapisan masyarakat walaupun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Tidak hanya profesi guru, profesi dokter, juga mulai ada keharusan memahami digital health system atau sistem kesehatan digital. Bahkan asisten rumah tangga pun saat ini sudah harus paham berbagai peralatan digital di rumah. Profesi sopir pun saat membutuhkan literasi digital, yaitu kemampuan mengoperasikan geopositioning systems atau GPS seperti Google Maps. Jadi ini adalah tuntutan perkembangan zaman, dan ini bukan lagi sesuatu yang futuristik. Semua sudah sangat dibutuhkan saat ini dan mendesak di semua lapisan masyarakat. Tentu saja semua ini hanya dapat dilakukan dengan membaca dan belajar,” papar Riri. Riri Satria juga berpesan, jangan sampai guru kalah dengan muridnya dalam hal literasi digital ini. Secara kemampuan adaptasi, generasi yang lebih muda berupa generasi milenia atau Gen Z dan Gen Alfa memang lebih cepat beradaptasi dengan teknologi digital. Namun apapun alasannya, sebagai orang yang akan mendidik generasi muda tersebut, para guru tidak boleh kalah, setidaknya maju selangkah atau tinggi seranting. (*) S O R O T A N Indonesia, bahkan dunia,” ujar Riri Satria. Pentingnya Literasi Digital Dengan demikian, literasi digital untuk para guru dan dosen menjadi sangat penting atau titik kritis keberhasilan transformasi digital dalam dunia pendidikan. Ini adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan menggunakan teknologi digital dengan baik, kreatif, dan kritis untuk berbagai macam hal, antara lain: memahami dan tahu cara menggunakan alat teknologi digital, mencari serta menggunakan informasi secara kritis termasuk memvalidasi sumber data dan media, berkomunikasi dan berkolaborasi dalam lingkungan online atau siber, serta mampu menjaga keamanan dan privasi berupa identitas dan data pribadi di dunia online atau siber. Para guru sudah harus mampu mengoperasikan learning management systems atau LMS yang sudah mulai banyak diterapkan di sekolah-sekolah, di samping fasih Digital Transformation in Learning Environment. ILUSTRASI: DOK. RIRI SATRIA elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 12
  • 13. angat membanggakan. Pianis dan komposer Indonesia Ananda Sukarlan menerima ‘Royal Order of Isabella the Catholic (Real Orden de Isabel la Católica)’, yang merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan Kerayaan Spanyol kepada individu sipil atau lembaga sebagai pengakuan atas jasa luar biasa terhadap negara atau hubungan internasional/kerja sama dengan negara lain. Anugerah Tertinggi dari Raja Spanyol untuk Pianis Ananda Sukarlan Ananda Sukarlan merupakan warga negara Indonesia pertama yang menerima anugerah dari Yang Mulia Raja Felipe VI Spanyol itu. Penganugerahan diserahkan Duta Besar Spanyol untuk Indonesia, Mr. Francisco Aguilera Aranda, di Jakarta, Jumat (17/11/2023). Seperti diketahui, ‘Orden de Isabel de Catolica’ penghargaan bergengsi kelas dunia yang diciptakan S Pianis dan komponis berkaliber internasional Ananda Sukarlan menerima penghargaan tertinggi dari Raja Spanyol. Ananda satu-satunya seniman asal Indonesia yang diberikan anugerah itu. SOROTAN PENGHARGAAN: Duta Besar Spanyol untuk Indonesia, Mr. Francisco Aguilera Aranda (kanan), menyerahkan piagam penghargaan dari Raja Felipe VI Kerajaan Spanyol kepada pianis Ananda Sukarlan, Jumat (17/11/2023), di Jakarta. FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 13
  • 14. pertama kali pada tahun 1815 oleh Raja Ferdinand VII untuk menghormati Ratu Isabella I. Sebelumnya, Ananda Sukarlan pernah dianugerahi gelar ksatria ‘Cavaliere Ordine della Stella d'Italia’ oleh Presiden Sergio Mattarella pada 2020. Selain itu, Ananda Sukarlan merupakan artis Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia dan Portugal pada tahun 2000. Di samping itu, Ananda Sukarlan telah dianugerahi banyak penghargaan non- pemerintah, seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Prancis. Baru-baru ini Ananda Sukarlan juga masuk di 32 buku "Pahlawan di Antara Kita", yang ditulis Dr. Amit Nagpal yang diterbitkan di India. Ananda juga masuk sebagai salah satu dari 100 "Orang Asia Paling Berpengaruh" di dunia seni tahun 2020 oleh Majalah Tatler Asia. Diplomasi Budaya Sahabat Ananda Sukarlan yang juga pengamat teknologi digital, Riri Satria, menyampaikan rasa syukur dan bangganya atas prestasi yang diraih Ananda Sukarlan. “Ini suatu kebanggan, sebagai sahabat saya sangat bangga,” ujar Riri Satria kepada majalahelipsis.com, Sabtu (18/11/2023). Menurut Riri, capaian prestasi tersebut merupakan hasil kerja keras Ananda Sukarlan selama ini yang memberikan kontribusi terbaik bagi kedua negara dari sisi kesenian dan kebudayaan. “Ini sangat dibutuhkan dalam persahabatan antar negara dalam situasi global saat ini,” kata Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) itu. Disebutkan Riri, Ananda Sukarlan adalah musisi yang sanggup tune in dengan perkembangan peradaban. Dia mengikuti perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan, blockchain, dan sebagainya. “Itu menunjukkan kapasitas dirinya yang jauh melampaui profesi sebagai musisi atau seniman,” ungkap Riri Satria. Selain itu, prestasi Ananda Sukarlan juga sebuah pengabdian yang terus- menerus dan berkarya dengan tulus sehingga mendapatkan penghargaan yang setinggi- tingginya. “Saya juga bangga beberapa puisi saya pernah digubah Mas Ananda menjadi musik klasik untuk piano. Selamat atas penganugerahan ini dan Mas Ananda semakin sukses berkarya ke depannya, memadukan musik dan puisi,” tambah Riri Satria yang juga Pimpinan Umum Jurnal Sastramedia. Di sela-sela bincang- bincang Riri Satria bersama Ananda Sukarlan sesaat sebelum acara, dedikasi Ananda yang besar itu S E J A R A H FOTO: DOK. IST.| MAJALAH ELIPSIS Riri Satria, Emi Suy, Ananda Sukarlan, berfoto bersama Duta Besar Spanyol untuk Indonesia, H. E. Francisco Aguilera Aranda, di sela-sela acara Penganugerahan Royal Order of Isabella the Catholic (Real Orden de Isabel la Católica), Jumat, 17 November 2023, di Jakarta. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 14
  • 15. merupakan salah satu diplomasi budaya antara Indonesia dengan dunia Internasional, khususnya dengan Kerajaan Spanyol. “Bahwa, ini menjadi bukti musik (klasik) sebagai salah satu media pemersatu bangsa. Alat yang dapat dijadikan sebagai jembatan hubungan bilateral antar negara,” ujar Riri. Sang Maestro Sementara itu, penyair Perempuan Indonesia, Emi Suy, secara terpisah mengatakan, Ananda Sukarlan bukan hanya seorang komponis dan musisi biasa namun dirinya adalah sang maestro yang telah membawa nama baik Indonesia harum di mata dunia Internasional. “Komponis dan musisi yang bekerja tak hanya memuliakan hidup dan kehidupan namun juga memanusiakan manusia dengan mengangkat sastra khususnya puisi menggubahnya menjadi musik klasik, kemudian mengangkat isu perdagangan manusia baik pada masa lampau maupun saat ini. Kepedulian yang tinggi yang membuat banyak orang respek, maka pantaslah Ananda menerima penghargaan yang tinggi itu,” ujar Emi Suy yang turut hadir pada malam pemberian anugerah kepada Ananda Sukarlan. Ia menambahkan, Ananda Sukarlan menemukan dunianya sendiri setiap kali berhubungan dengan musik. Sejak usia lima tahun Ananda Sukarlan sudah belajar piano, yang dilakukan atas inisiatif sendiri. Lama-kelamaan kebiasaan itu menjadi semacam kecanduan. “Musik inilah yang membantu Ananda Sukarlan untuk bisa mengekspresikan perasaan dan pikirannya,” papar Emi. Emi menambahkan, dedikasi yang tinggi, konsisten, kerja keras , dan bersungguh-sungguh, serta tulus berkarya dengan hati yang penuh, rasa yang utuh, pikiran dan jiwa yang tangguh selain akan menuai hasil maksimal juga pantas mendapatkan penghargaan setinggi-tingginya. Dan, penghargaan itu layak diberikan kepada Ananda Sukarlan. “Sebuah perjalanan panjang yang akan membekas dalam ingatan dan menjadi kenangan yang pantas mendapatkan tempat terindah di hati semua orang. Selamat buat Ananda Sukarlan,” ujar Emi Suy. Bonus dari Pengabdian Ananda Sukarlan lulus dari Sekolah Menengah Kolese Canisius di Jakarta pada tahun 1986 dan kemudian melanjutkan studi di Koninklijk Conservatorium (Royal Conservatory of Music) di Den Haag, Belanda, di mana ia kemudian lulus dengan predikat Summa CumLaude. “Saya seorang seniman, dan saya hanya menjalankan tugas saya untuk menghadirkan keindahan dan kedamaian melalui music,” ujar Ananda Sukarlan. Ananda Sukarlan dilahirkan di Indonesia namun besar di Spanyol, khususnya setelah ia lulus pendidikan di Belanda. S E J A R A H FOTO: DOK. CHENDRA PANATAN DARI FACEBOOK Ananda Sukarlan dengan para sahabat. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 15
  • 16. “Saya berutang banyak pada Indonesia dan Spanyol. Terima kasih kepada negara-negara ini. Kalau saya mendapat pengakuan yang begitu besar, ini bonus yang sangat saya hormati,” ujar Ananda Sukarlan saat memberikan pidato penghormatan ketika ia menerima penghargaan itu di hadapan 150 undangan. Ananda juga menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada sejumlah tokoh penting dalam hidupnya, termasuk mantan presiden Indonesia B.J. Habibie dan Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang pernah bekerja sama dengannya di masa lalu. Dua proyek miliknya akan diluncurkan pada akhir tahun ini. Sony Classical merilis musik terbarunya, "The Springs of Vincent", berdasarkan lukisan musim semi Vincent Van Gogh, yang dibawakan pemain flute Eduard Sanchez. Di Indonesia juga akan diluncurkan film dokumenter Rainha Boki Raja. Soundtracknya dibuat Ananda Sukarlan, dinarasikan aktris terkemuka Christine Hakim (yang juga, seperti Ananda Sukarlan, penerima gelar ksatria dari 2 negara: Orde Matahari Terbit Jepang dan Ordre des Arts et des Lettres dari Prancis) pada narasinya oleh Linda Christanty berdasarkan buku karya Prof. Dr. Toeti Heraty Roosseno. (TIARA NURSYITA SARIZA | MUHAMMAD SUBHAN) S E J A R A H elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 16
  • 17.
  • 18. engamat Transformasi Digital, Ketua Komunitas Jagat Sastra Media (JSM) dan Pemimpin Umum Sastramedia, Riri Satria, menilai Guru Besar Ilmu Politik dan Ketahanan Nasional, Prof. Firdaus Syam, sebagai sosok yang selalu gelisah dan terusik dengan berbagai kondisi kehidupan. Sosok yang Gelisah, Memotret Realitas Sosial dengan Pendekatan Spiritualitas “Kegelisahan itu ditangkap dengan rasa, ditulis dalam bentuk puisi, ungkapan, atau reaksi emosi atas kegelisahan, supaya pembaca maupun pendengar tergugah, dalam hal ini beliau sebagai penyair,” ujar Riri Satria saat tampil sebagai pembicara pada Bedah Lima Buku dan Konser Antologi Puisi Karya P Firdaus Syam seorang yang puitis dan menyukai musik. Tidak hanya itu, ia juga akrab dengan buku, seorang pembaca, dan penulis andal selain seorang yang trendi dalam penampilan. J E N D E L A Guru Besar Ilmu Politik, Prof. Firdaus Syam, saat memberikan sambutan acara bedah buku dan musikalisasi puisi dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023, di Gedung Auditorium UNAS, Jakarta. MEMBACA KARYA PROF. FIRDAUS SYAM FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 18
  • 19. Prof. Firdaus Syam atau yang akrab disapa Bang Firdaus, Sabtu (28/10/2023), di Auditorium Kampus Universitas Nasional, Jakarta. Kegiatan itu dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda dan diselenggarakan Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Menurut Riri Satria yang juga seorang penyair, kegelisahan Firdaus Syam ditangkap dengan pikiran yang rasional, dianalisis, dan menghasilkan berbagai gagasan solusi, yang dalam hal ini beliau sebagai ilmuwan. “Puisi-puisi Bang Firdaus ditulis dan tersampaikan ke khalayak dengan pendekatan spiritualitas,” papar Riri Satria. Riri Satria memandang sosok Firdaus Syam yang terlihat secara artefak atau kasat mata namun seorang multitalenta. Ia seorang ilmuwan, profesor/guru besar, dan pemikir. Selain itu, sosok yang religius dan punya afiliasi dengan HMI dan MUI. “Yang menarik, beliau seorang yang puitis dan menyukai musik. Tidak hanya itu, beliau juga akrab dengan buku, seorang pembaca dan penulis andal selain seorang yang trendi dalam penampilan,” ungkap Riri Satria. Riri Satria menyampaikan sosok Firdaus Syam terbaca dari puisinya, yakni Heksagon Kegelisahan Puitis Bang Firdaus Syam. “Ada enam, di antaranya, pertama, ketuhanan, agama, dan spiritualitas. Kedua, nasionalisme dan kebangsaan Indonesia. Ketiga, sosial, kemanusiaan, dan kebudayaan. Keempat, pembangunan dan ekonomi. Kelima, keluarga dan orang-orang dekat. Keenam, alam sekitar dan lingkungan hidup,” papar Riri Satria yang juga Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan Pimpinan Umum Sastramedia.com. Riri Satria, Prof. Firdaus Syam, dan Emi Suy, di sela-sela kegiatan bedah buku dan musikalisasi puisi dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2023, di Gedung Auditorium UNAS, Jakarta. FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS J E N D E L A elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 19
  • 20. Riri Satria memotret sosok Firdaus Syam dari puisi- puisinya dengan menggunakan berbagai pisau analisis. Paparan Riri juga sangat metodologis dan menggunakan pendekatan scientific inquiry, antara lain mempelajari buku Firdaus Syam, mempelajari jejak digital di internet, serta wawancara mendalam dengan sang profesor itu. Sementara itu, penyair perempuan Indonesia Emi Suy pada kesempatan itu membacakan puisi “Jakarta Polusi Melambai” karya Firdaus Syam yang menggambarkan kontradiksi Jakarta pada waktu dulu dan sekarang. Emi juga memiliki penilaian tersendiri mengenai sosok Firdaus Syam. “Dulu Jakarta masih teratur dan masih bersih, sekarang pembangunan marak di mana- mana, itu tentu saja bagus. Namun, ada dampak sosialnya,” ujar Emi Suy yang juga salah seorang pendiri dan pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan sekretaris sekaligus anggota dewan redaksi Sastramedia.com. Selanjutnya, perempuan kelahiran Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979 ini menerangkan, bahwa kesenian memang masih ada, tapi musik zaman sekarang membawa manusia kepada perilaku kebarat-baratan yang kebablasan. “Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Bang Firdaus dalam puisi tersebut,” kata Emi. Menurut Emi, Jakarta sekarang semakin banyak berubah. Semakin banyak gedung-gedung pencakar langit. “Jakarta pada zaman dulu sungai masih bersih, tapi sekarang sungai sangat kotor dipenuhi sampah. Jakarta polusi udaranya sangat tinggi. Jakarta saat ini pertumbuhan ekonomi dan tata kota yang bagus, tapi ada dampaknya, terkikisnya budaya Betawi, akhir-akhir ini sudah semakin tinggi polusi udaranya,“ papar Emi, penerima Anugerah Pustaka dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai salah satu buku puisi terbaik di Indonesia tahun 2019 ini. Puisi-puisi karya Bang Firdaus Syam juga dihadiri dan dibacakan sejumlah tokoh dan penyair Indonesia. FOTO: DOK. IST. | MAJALAH ELIPSIS Emi menilai bahwa puisi “Jakarta Polusi Melambai” karya Firdaus Syam adalah puisi yang terang. Puisi yang lugas, puisi yang sangat jelas dalam menggambarkan kesemrawutan Jakarta saat ini. “Sebenarnya ini puisi kritik sosial. Puisi yang bagus. Puisi yang menyiratkan betapa sangat memprihatinkan pertumbuhan tata Kota Jakarta yang bagus tapi banyak dampak sosialnya yang kontradiksi sekali,” sebut Emi. Selain Riri Satria, buku karya Firdaus Syam dikupas para pakar lainnya secara berturut-turut mulai dari buku novel Cinta dan Tinta Taruna di Padang Ilalang oleh Prof. Dr. Mia Lauder (Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universistas Indonesia), buku antologi puisi Penyintas Merah Putih Hijau Hitam Prof. Dr. I Ketut Surajaya (Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universistas Indonesia), buku antologi puisi Puisi dalam 7 Bahasa Prof. Dr. KH. Husnan Bey Fenanie, M.A. (Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ajerbaijan), buku antologi puisi Sastra Politik Dr. M. Alfan Alfian (Pengamat Sosial dan Politik), serta buku Dialog Sastra oleh Riri Satria (Pengamat Ekonomi Digital dan Penggiat Sastra). Setiap narasumber juga membacakan puisi di akhir ulasannya. (AAN | ELIPSIS) J E N D E L A elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 20
  • 21. Oleh TIM REDAKSI ELIPSIS Sofyan RH. Zaid menekuni tasawuf dan filsafat, juga sastra, tentu. Ia jatuh cinta pada puisi. Meski ia mengaku tidak begitu produktif dalam berkarya, dengan alasan, barangkali, karena dia setia pada motto hidupnya: “Teguh pada prinsip, setia pada proses, tidak tergesa-gesa, tapi juga sadar untuk tidak terlambat!” Dan, berbagai prestasi yang ia raih di ranah kepenulisan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak terlambat. Tasawuf, Filsafat, danPuisi Pagar ofyan RH. Zaid, nama pena dari Supyan. Lahir 8 Januari 1986 di Desa Jenangger, Batang-batang, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Saat dia duduk di kelas 4 SD Negeri Jenangger, setiap hari suka mencuri buku dari perpustakaan sekolah yang tidak terawat. Bahkan sebagian koleksi bukunya sudah hancur dimakan rayap dan usia. “Saat itu, saya mencuri buku sebenarnya hanya butuh pada kertasnya untuk dibuat menjadi selongsong petasan momentum hari lebaran,” akunya. Sayangnya, sebelum buku-buku tersebut berubah jadi selongsong FOTO: DOK. SOFYAN RH. ZAID SOFYAN RH. ZAID S S A M P U L elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 21
  • 22. petasan, dia sakit sejenis cacar. Sakit yang tak bisa turun dari tempat tidur. Dia hanya tergeletak di atas dipan di antara tumpukan buku hasil curiannya. Berada di situasi dan kondisi yang tak berdaya, dia gabut. Dia pun mulai meraih buku, dibuka halaman demi halaman. Melihat gambar dan membaca teks sekadarnya. Sebagian besar buku yang dia timang adalah buku cerita bacaan anak-anak. Itulah titik mula momentum Sofyan tertarik dan jatuh cinta pada buku. “Membaca buku cerita itu, memang candu, apalagi bagi anak-anak seusia waktu di mana belum ada gawai,” ujarnya. Habislah semua buku dia baca selama sakit tersebut. Kebiasaannya itu terus berlanjut hingga dia sembuh. Saat di sekolah, dia banyak mendekam di perpustakaan usang itu. Saat di luar sekolah, dia seringkali ‘hilang’ dari rumah dan tempat permainan. Dia memilih mengungsi ke sebuah perdu di tengah sawah dan asyik membaca buku cerita. “Haha. Iya saat membaca buku saya kadang menjauh dari rumah, agar tak diganggu oleh orang tua, yang kadang disuruh ini dan itu,” kenangnya. Saat di kelas 6, buku koleksi perpustakaan sekolah habis dia baca. Dia mulai mencari buku di tempat lain, yakni di rumah keluarganya. Saat itu, Mas Aziz Munandar meminjami dia buku berjudul Al-Hikam karya Ibnu Athaillah dan Mutiara Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Keduanya merupakan buku terjemahan perihal tasawuf. Sebab dua buku itu, Sofyan begitu tertarik pada dunia tasawuf atau kesufian. Dia banyak ngobrol dengan Mas Aziz tentang topik itu. Berkenalan dengan Roman Picisan, Tersesat ke Filsafat Untungnya, saat dia melanjutkan sekolah, tepatnya di MTs. Miftahul Ulum, Batang-batang, ada banyak buku yang tersedia di perpustakaan. Mulai dari cerita sampai buku agama dengan S A M P U L FOTO: DOK. SOFYAN RH. ZAID Sofyan RH. Zaid, salah seorang pemenang Lomba Esai Piala HB Jassin dan hadiah diserahkan pada Malam Anugerah Piala HB Jassin di PDS HB Jassin, Jakarta. FOTO: DOK. SOFYAN RH. ZAID elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 22
  • 23. beragam tema. Di sekolah itulah, akhirnya dia ketemu seorang kawan yang juga hobi membaca, khusus membaca novel-novel picisan karya Fredy S, Mira W, dan lainnya. “Iya, namanya Fauzi, saya sering meminjam novel begituan padanya untuk dibaca, tapi di rumah. Buku yang bagus untuk menguatkan imajinasi. Haha,” tawanya. Orientasi buku bacaan Sofyan berubah, saat naik ke kalas II, dia bertemu seorang guru anyar, namanya Bapak Fathorrahman MD. Beliau baru pulang dari Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah S-1 Jurusan Akidah Filsafat di IAN Sunan Kalijaga (kini UIN). “Dari Pak Ong itulah saya kenal filsafat dan secara khusus belajar darinya. Beliau telah meracuni saya dengan filsafat,” ingatnya. Selain itu, Sofyan juga banyak meminjam buku filsafat untuk dibaca. Buku pertama filsafat yang dia baca adalah Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Samapi James (1997) karya Ahmad Tafsir. Di kelas II itu juga dia mulai tertarik pada karya sastra, sebab ketemu dua orang guru yang juga sastrawan, yakni Bapak Ibnu Rusdi (guru Bahasa Indonesia), dan Bapak Sahmawi A. Su’udi (Guru IPA). Mula-mula Sofyan menulis cerpen dan dimuat di buletin sekolah Uhkuwah. Kemudian dia baru intens menulis puisi dan secara khusus di bawah bimbingan Pak Sahmawi. Kebetulan, Disparbud Sumenep bekerja sama dengan PGRI mengadakan Lomba Cipta Puisi Tingkat SLTP. Dia pun ikut sebab dipaksa oleh Pak Sahmawi. Puisinya yang berjudul “Petani Langit” keluar sebagai juara I lomba tersebut. Sekolah pun memberi perhatian, hingga suatu hari, Bapak Arifin (alm), kepala madrasah, memanggilnya dan menyodorkan sebuah majalah sebagai hadiah. Ternyata majalah sastra Horison. Majalah yang di dalamnya ada sisipan rubrik Cermin, rubrik yang memuat puisi-puisi para pelajar. Lagi- lagi dengan paksaan Pak Sahmawi, Sofyan pun mengirim puisi ke Horison menggunakan mesin tik dan perangko. Menginjak kelas 3, Sofyan kembali dipanggil kepala sekolah, sebab ada paket pos untuknya. Saat dibuka, itulah majalah Horison, di mana dua puisinya dimuat. “Namun, hanya satu yang saya ingat judulnya Tuhan Telah Mati,” kenangnya. Sebab gara-gara puisi itu, terjadi polemik di kalangan guru dan Sofyan sempat dipanggil Pengasuh, KH. Abdul Majid Ilyas. Puisi tersebut dianggap menyimpang atau murtad. Namun, Sofyan menjelaskan maksudnya, sehingga dewan guru dan pengasuh dapat memaklumi. Annuqayah dan Paramadina Setelah lulus, dia melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Raya, Guluk- guluk, Sumenep. Keinginannya tersebut lahir setelah dia mendengar dari salah seorang santri, tetangganya, S A M P U L Sofyan RH. Zaid bersama tim Jagat Sastra Media (JSM) memberikan materi literasi kepada pelajar di sebuah sekolah di Jakarta. FOTO: DOK. JAGAT SASTRA MEDIA elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 23
  • 24. kalau di Annuqayah banyak penyair dan sanggar sastra. Di Annuqayah, dia aktif menulis dan menjadi pembina di sejumlah sanggar, bahkan sempat mendirikan beberapa komunitas menulis dengan teman-temannya. Di pesantren itulah dia berproses kreatif secara intens. Bertemu dan berguru kepada Kiai M. Zammiel EL-Muttaqien, Kiai M. Faizi, Ustaz Aryadi Mellas, Ustaz Sattar Syam, dan lainnya. Sofyan terus membaca, menulis dan mengirimkan karya ke berbagai media cetak melalui pos. Beberapa karyanya muncul di majalah Kuntum, Sahabat Pena, Radar Madura, Annida, Horison, dan lain-lain. Selain itu, dia juga sempat menjadi Juara II Lomba Cipta Puisi se-Madura Tingkat Pelajar (STAIN Pamekasan, 2003). Puncaknya, Sofyan terpilih sebagai salah seorang yang puisinya dimuat di majalah Horison tahun 2006‘edisi penyair muda Madura’, seperti Bernando J. Sujibto, Hamidin, Juwairiyah Mawardi, M. Faizi, M. Fauzi, M. Zamiel El-Muttaqien, Mahwi Air Tawar, Moh. Hamzah Arsa, Muchlis Zya Aufa, R. Timur Budi Raja, dan Sofyan RH. Zaid. Kecintaannya pada dunia sastra, khususnya puisi kian besar setelah dia hijrah ke Jakarta, melanjutkan studi di Universitas Paramadina, Jurusan Falsafah dan Agama. Sejumlah puisinya banyak dimuat media massa, seperti Media Indonesia, Jawa Pos, Bali Post, Indopos, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Seputar Indonesia, Solopos, Merapi, Suara NTB, Banjarmasin Post, Metro Jambi, Minggu Pagi, Horison, Basabasi.co, Bacapetra.co, dan sebagainya. Juga tergabung dalam puluhan antologi puisi bersama. Puisi Pagar dan Lainnya Setelah menyelesaikan studinya di Paramadina, Sofyan pindah ke Bekasi. Kemudian dia menerbitkan buku puisi tunggal pertamanya Pagar Kenabian (TareSI, 2015) yang mencoba menawarkan ‘bentuk baru’ perpuisian Indonesia yang bercorak nadham atau yang dikenal dengan “puisi pagar”. Buku tersebut masuk 15 nominasi Anugerah Hari Puisi Indopos (2015). Beragam respons muncul, baik pro maupun kontra, melalui berbagai tulisan tentang puisi pagar dan bukunya tersebut di sejumlah media. Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, salah satunya dimuat dalam buku Oikos Poeti Per Il Futuro (Mimesis Classici Contro, Milano, Italia, 2020). Dia pernah menjadi salah seorang reviewer Penilaian Karya Sastra Unggulan untuk SMA sederajat yang digelar oleh BSNP Kemdibud 2019. Kini Sofyan tinggal di Bekasi, sehari-hari bekerja PNS (Pencari Nafkah Serabutan), seperti mengajar, editor, pemred dan redaktur Sastramedia.com, serta CEO Taretan S A M P U L FOTO: DOK. JAGAT SASTRA MILENIA Riri Satria, Sofyan RH. Zaid, dan Emi Suy, di sela-sela kegiatan Malam Anugerah Piala HB Jassin 2023. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 24
  • 25. Sedaya International Group. Dia juga aktif menjadi pembicara di sejumlah acara sastra, dan bergiat di komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) sebagai koordinator bidang publikasi dan kompetensi. Sofyan, bisa dibilang, tidak begitu produktif dalam berkarya, barangkali karena dia setia pada motto hidupnya: “Teguh pada prinsip, setia pada proses, tidak tergesa-gesa, tapi juga sadar untuk tidak terlambat!” Buku Sastra Pagar Kenabian (Buku Puisi, 2015) Kaidah Puisi dan Akidah Kepenyairan (Buku Esai, 2021) Penghargaan Sastra Juara I Lomba Cipta Puisi se- Sumenep Tingkat SLTP (Disparbud Sumenep, 2000) Juara II Lomba Cipta Puisi se- Madura Tingkat Pelajar (STAIN Pamekasan, 2003) 15 nominasi Buku Puisi Anugerah Haripuisi Indopos (2015). Juara II Cipta Puisi Nasional (PCINU Maroko, 2017) Juara II Lomba Cipta Esai Tingkat Nasional Piala H.B. Jassin (PDS HB. Jassin, 2023) Narasumber Acara Sastra Seminar dan Bedah Buku, “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”, FIB Universitas Indonesia, Depok, 3 Mei 2018 Seminar Nasional Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya, “Perkembangan Bahasa dan Sastra dalam Kurikulum Merdeka” Universitas Negeri Jember, Jember, 28 Oktober 2022 Bedah Buku Abdul Hadi WM, “Sastra Timur dalam Persepktif Sastra Bandingan Melayu, Jawa, China, India, dan Persia”, Universitas Paramadina, Jakarta, 6 Oktober 2021 Workshop Kepenulisan, “Mendobrak Mental & Motivasi Kreativitas”, Universitas Pesantren Tinggi Darul 'Ulum, Jombang, 17 Desember 2017 Diskusi Puisi, “Kaidah Puisi & Akidah Kepenyairan”, Universitas Uhamka, Jakarta, 23 November 2017 Bedah Buku & Workshop Kepenulisan, Universitas Widya Mandala, Madiun, 2 Juni 2015 Bedah Buku & Workshop Kepenulisan, Universitas Tri Buana, Malang, 4 Juni 2015 Dan lain-lain. S A M P U L BAK menerima penghargaan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agus-tus 2023 dari Bupati Jeneponto, Drs. H.Iksan Iskandar, M.Si. FOTO: DOK. SYOFYAN RH. ZAID elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 25
  • 26. Judul : elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 26 K A N V A S
  • 27. Kota yang Berubah Menjadi Anjing Para lelaki itu, pada sebuah tengah malam, pergi dengan amarah sekaligus ketakutan menjadi anjing. Adapun perempuan itu terduduk sendiri di sebuah sudut di tepi pantai menghadap ke laut dan ketika bangun besok pagi ia sudah berada di sebuah rumah panggung yang menjadi tempat menginapnya. Oleh Mustafa Ismail C E R P E N oleh mereka. Orang-orang dari luar kota menyebut mereka anjing, apalagi kalau bukan perilaku mereka seperti anjing. Akibatnya, kota itu menjadi terpencil. Pada suatu massa, semua orang berbondong- bondong meninggalkan kota itu. Sesungguhnya kota itu—sebut saja namanya Naparah—memang terpencil. Tak banyak yang mengenal kota itu. Letaknya di sebuah pulau yang membutuhkan waktu satu hari satu malam perjalanan dari kota besar memakai perahu mesin. Penduduknya umumnya bekerja sebagai nelayan, karena pulau itu berada di tengah laut. Sebelum sebuah gempa besar datang pada 2015, kota itu dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga. Tapi gempa itu membuat OTA itu hanya dihuni oleh lima orang. Nama-nama mereka aneh. Yang paling muda namanya Oir dan Akid. Yang lebih tua bernama Yde, Idan, dan Uyaj. Semua adalah laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan di kota itu. Perempuan tidak bisa hidup di kota itu. Sebab, kelima orang itu sangat buas. Setiap perempuan yang datang ke kota itu akan tinggal nama. Mereka melihat perempuan seperti anjing menemukan sepotong daging. Sebagaimana anjing, mereka akan mengoyak-koyak mereka, dan memakan hingga habis tak tersisa. Akibatnya kota itu menjadi menakutkan sekaligus orang bergidik mendengar namanya. Maka itu, tidak satu orang pun mau menyebut nama kota itu. Seolah-olah siapa pun yang menyebut nama kota itu ia akan langsung diterkam K G E L A N G G A N G ILUSTRATOR: BIC | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 27
  • 28. Tapi kelima orang itu menghiba-hiba minta untuk diberi kesempatan membaca mantra. “Jika ayuk tidak mengikutkan kami, kekacauan besar akan terjadi di kota ini,” ujarnya. “Ayuk dan kawan-kawan tidak akan selamat pulang ke kota.” Perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kekacauan besar. Hingga pada suatu malam perempuan itu bermimpi orang-orang di pulau itu telah menjadi anjing. Ia tidak tahu apa maksud mimpinya. Setelah berdiskusi dengan sejumlah temannya, perempuan kota itu lalu membolehkan mereka untuk terlibat dalam pertunjukan mantra itu. Tapi dengan syarat, mereka ikut membantu perempuan itu untuk melancarkan kegiatan itu dengan mendatangi satu persatu tokoh masyarakat di sana untuk bisa membantu. Mereka setuju. Lalu, mulailah mereka bergerak. Rupanya di situlah awal kekacauan. Semua bantuan yang mereka dapatkan mereka habiskan untuk minum-minum rib —sejenis minuman memabukkan khas pulau itu. Tak satu sen pun disetorkan kepada perempuan yang membuat acara pesta mantra. Justru perempuan itu diancam akan dilempar ke laut. Sempat terjadi ketegangan, namun perempuan itu mengalah. Ia tidak ingin terjadi keributan yang bisa membuat nama kota itu jadi buruk. “Uang lebih penting dari nama baik,” kata perempuan itu kepada lima lelaki tersebut. “Saya memilih membela nama baik ketimbang uang. Makanlah uang itu seperti anjing memakan daging busuk. Saya doakan kalian akan menjadi anjing.” Seketika perempuan itu ingat mimpinya apakah ini adalah isyarat dari mimpinya bahwa orang-orang di kota itu telah menjadi anjing. Para lelaki itu, pada sebuah tengah malam, pergi dengan amarah sekaligus penduduk kota itu habis. Hanya tersisa belasan orang saja. Belakangan, sebagian belasan orang itu pun menemui ajalnya. Bukan karena gempa, tapi karena tidak ada makanan dan kondisi kesehatan yang makin buruk pasca gempa. Tak hanya rumah-rumah, gempa itu merontokkan pasar dan menghabiskan para pedagang. Seperti dalam kisah-kisah dunia bar-bar: hanya yang kuat dan berani untuk melakukan apa pun untuk mempertahankan hidup itulah yang bertahan. Akhirnya, hanya kelima orang itu yang selamat. Mereka punya cara untuk terus hidup, termasuk dengan memakan bangkai. *** SEKITAR sepuluh tahun sebelum gempa besar, kota itu pernah menjadi buah bibir. Orang-orang dari dalam dan luar negeri pernah berbondong-bondong datang ke kota di pulau itu. Meskipun orang-orang di pulau itu menganggap para tamu itu sebagai orang aneh. Betapa tidak, ketika mereka di sana, kota yang senyap mendadak ramai. Ramai sekali. Di mana-mana terlihat orang-orang membaca sesuatu seperti mantra. Kadang seperti orang gila. Mereka membaca mantra itu di pasar, pantai, tengah kampung, hingga di tepi jalan. Orang-orang kota itu menonton dengan takjub, termasuk kelima orang itu. Bahkan, kelima orang itu ikut-ikutan membaca mantra, meski telah dilarang seorang perempuan muda yang mengundang orang-orang dari dalam dan luar negeri itu ke sana. Perempuan itu takut kelima orang itu menjadi gila. “Jika kita tidak terbiasa, mantra bisa bikin gila. Sebaiknya saudara- saudara jadi penonton dan membantu saja,” kata perempuan kota yang leluhurnya berasal dari pulau itu. G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 28
  • 29. anjing-anjing itu mengeluarkan api, menyala, menyilaukan mata. Sekilas mereka seperti terbakar. Mereka mengaing-ngaing kesakitan. Para tetua kampung saling bercerita ketika bertemu di warung kopi. “Saya juga bermimpi hal yang sama,” kata tetua kampung satu kepada para tetua lain. “Seperti akan ada bahaya besar yang menimpa pulau ini,” ujar tetua lainnya. “Pulau ini harus diruwat.” “Saya setuju. Harus segera dijampi- jampi.” “Mungkin karena makin banyak pengkhianat di sini.” “Anak-anak muda pun meniru orang yang lebih tua untuk menjadi pengkhianat.” “Hidup tidak lagi tulus dan saling membantu.” “Ini mungkin akhir zaman.” “Para pengkhianat harus diusir dari pulau ini.” “Bukan hanya diusir, juga harus membayar denda dengan memotong sepuluh kerbau untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan anak yatim.” “Ya, pulau ini harus dikembalikan pada kesederhanaan dan ketulusan.” Kabar para tetua bermimpi tentang anjing-anjing yang terbakar itu begitu cepat menyebar dan menghebohkan kampung. Para tetua kemudian membuat rapat besar dengan mengundang seluruh warga untuk membutukan diadakan ruwatan terhadap kota itu. Para pejabat kota setuju. Semua warga kota itu mengangguk, kecuali lima orang tersebut yakni Oir, Akid, Yde, Idan, dan Uyaj. Justru mereka menuduh para tetua sedang mencari nama dan keuntungan untuk diri sendiri. Tapi suara lima orang itu tidak pernah didengar oleh warga. Kesepakatan telah bulat bahwa ruwatan harus segera dilakukan agar kampung kembali damai. “Tidak ada jalan lain selain ruwat,” ujar pimpinan kota itu. “Kami ketakutan menjadi anjing. Adapun perempuan itu terduduk sendiri di sebuah sudut di tepi pantai menghadap ke laut dan ketika bangun besok pagi ia sudah berada di sebuah rumah panggung yang menjadi tempat menginapnya. “Ibu tadi malam kami temukan pingsan di pantai,” kata lelaki pemilik rumah itu. Pesta mantra itu selesai dengan baik. Tak terdengar keributan apa pun. Orang- orang yang datang dari pelosok negeri pulang dengan riang. Para tetua dan pejabat kota itu pun senang kotanya menjadi masyur ke seantero negeri. Kota itu berhari-hari dibicarakan. Para pejabat di pulau itu dipuji sebagai orang-orang yang tahu adab dengan merawat budaya. Tapi tidak dengan kelima lelaki itu. Orang-orang tersebut tetap menebar fitnah ke mana-mana. Tapi fitnah mereka seperti angin lalu. Tak ada yang mendengarnya. Tak ada yang memperdulikannya. Termasuk para tetua dan pejabat di kota itu yang justru berterima kasih kepada perempuan muda itu. Perempuan itu dianggap berjasa menghidupkan kampung itu. “Saya aslinya orang kampung. Kampung saya di sini. Saya lahir di sini, di tepi pantai ini. Maka saya ingin berbuat sesuatu untuk kampung saya,” kata dia. Tapi pelan-pelan, kota itu mulai senyap. Orang-orang pun pelan-pelan melupakannya. Perempuan itu pun kembali ke kota. Adapun ke lima lelaki itu mulai diasingkan oleh tetua-tetua kampung. Mereka dianggap pengkhianat. *** BEBERAPA hari sebelum gempa besar, sejumlah tetua pulau itu bermimpi puluhan anjing keluar dari sebuah benteng yang ada di kota itu pada sebuah malam. Anjing-anjing itu berlari ke arah pantai, berjarak sekitar tiga ratus meter dari benteng peninggalan Inggris itu. Tubuh G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 29
  • 30. pengekspor anjing terbesar di kawasan tersebut. Tentu saja, dalam pemikiran para penguasa, ekspor itu akan mendatangkan jumlah devisa tak terkira. Selain itu, rencana itu dimaksudkan untuk mengubah citra pulau itu sebagai tempat menyeramkan karena ada orang suka makan orang di sana. Celakanya, lima orang itu sulit ditangkap karena mereka sangat lihai untuk berkelit dan bersembunyi. Mereka ada, namun tidak tampak. Mereka baru menunjukkan kebuasannya ketika ada perempuan yang datang ke sana. Tapi sejak tersebar banyak perempuan hilang di pulau itu, tak satu pun lagi yang berani ke sana. Hanya satu orang yang sudah lama ingin ke sana namun belum kesampaian karena berbagai kesibukannya, yakni perempuan muda yang dulu mengundang banyak orang dari berbagai negeri untuk berpesta mantra. Ia ingin berziarah ke makam leluhurnya. Ia tidak perduli dengan kabar menyeramkan yang selama ini serupa teror di tengah malam. Ia akan datang untuk memakan kelima lelaki itu. (*) sebagai pimpinan kota dan seluruh jajaran kota akan mendukung penuh.” Rapat akbar itu juga bersepakat bahwa para pengkhianat, dengan kadarnya masing-masing, harus menjalani hukuman, mulai dari denda, hingga diusir dari kampung untuk waktu tertentu plus membayar denda memotong sepuluh ekor kerbau. Jika tidak bisa membayar denda dengan memotong kerbau mereka harus menjalahi hukuman tambahan yang akan diputuskan kemudian. Tapi belum sempat ruwatan itu dilakukan, gempa besar menghantam pulau itu dan kota itu pun hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Dan karena pulau terpencil dan tidak ada jaringan telekomunikasi, tidak ada yang tahu gempa besar di sana. Kabar kota itu telah habis baru diketahui berbulan-bulan kemudian, ketika nelayan tersasar dibawa angin ke sana. Tapi tidak ada yang bisa diselematkan. Kota itu tidak berpenghuni lagi dan hanya lima orang yang tersisa dengan penampilan mirip tarzan. Tampang mereka buas. Seolah semua yang ada akan dimakan. Tapi, mereka tidak suka laki-laki. Mereka hanya memakan perempuan, terutama perempuan muda. Mereka melihat perempuan muda seperti anjing menemukan sepotong daging segar yang begitu sayang jika tak dihabiskan. Begitulah, tak ada yang berani datang ke kota itu. Kota mati, dengan sisa-sisa reruntuhan masih teronggok di banyak tempat, tulang-belulang berserak di mana-mana. Orang-orang menganggap kota itu adalah daerah paling menakutkan di wilayah Republik Similikiti itu. Pernah ada sebuah gagasan dari pejabat Ibu Kota untuk mengirim anjing ke kota itu. Pulau itu dianggap tepat sebagai tempat peternakan anjing karena tidak berpenghuni. Anjing-anjing itu bisa diekspor ke luar negeri. Jika itu dilakukan, Republik itu akan menjadi negara G E L A N G G A N G Mustafa Ismail Lahir di Aceh pada 1971. Alumnus Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini menulis puisi, cerpen, dan esai. Telah menerbitkan beberapa buku puisi dan cerpen. Ia menyiarkan sebagian puisinya di Instagram dan Tiktok @moesismail serta cerita mini di Tiktok @storimini. Kini tinggal di Depok, Jawa Barat. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 30
  • 31. Sahabat Tua di Hulu Mata Air Yang lebih aneh lagi adalah ketika Yusri, salah seorang pedagang garam lainnya, datang secara khusus menemuinya hanya untuk menceritakan hal yang sama. Saat itu Yusri datang tanpa membawa barang dagangan seperti biasa yang ia lakukan sebagai mata pencaharian utamanya. Ia dikenal sebagai pedagang yang sangat pelit dan cermat menghitung laba rugi. Oleh Salman Yoga S. C E R P E N masih gelap, udara dingin menyapu setiap pori-pori. Usai salat Subuh yang khusuk, perapian dipadamkan dengan semburan air dari ruas-ruas bambu. “Ingat, jangan ada jejak yang tertinggal,” kata lelaki itu lagi sambil berdiri membetulkan kain sarungnya yang diselempangkan ke bahu. Matanya awas menghitung satu demi satu para pengikut setianya. Tak jarang ia juga memantikkan kata-kata yang berbau mantra dalam kunyahan sirih di mulutnya yang memerah. Sesekali ia semburkan ke hampir setiap sudut bekas tempat mereka tidur semalaman. Sebuah camp yang terbuat dari tumbuhan hutan, mirip sebuah gubuk yang berkamuflase dengan alam sekitar. Atapnya dipenuhi dengan jalinan dedaunan liar, sementara tiang-tiangnya awa apa saja yang dapat dibawa. Pedang, pisau, panci, belanga, periuk atau apa pun itu. Jangan lupa pang-pang yang punya mantera uris dan kebal berada di barisan paling depan, yang lain ikut di belakangku dan tunggu perintah”, jelasnya entah kepada siapa. Aba-aba dari lelaki tegap itu menggelegar, membangkitkan semangat puluhan tentara tak berseragam. Tubuhnya kekar dengan otot-otot tangan yang membiru. Sementara sekumpulan makhluk mirip seperti manusia yang diperintah itu terlihat bergegas membenahi barang bawaan dan perlengkapan. Seketika anjing-anjing pun menggonggong seperti menyaksikan sesuatu berkelebat di antara kegelapan dari dedaunan pepohonan belantara. Kabut mulai menguap beranjak ke udara seiring asap tungku ditiup angin. Hari B G E L A N G G A N G “ ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 31
  • 32. berkumpul seperti menunggu sesuatu. “Betul, Bang, mata kepalaku sendiri yang melihat mereka membawa senjata. Setiap pagi mereka berbaris di tanah lapang dan berteriak één, twee, drie, een saluutschoten beweging. Bahkan barang- barang dagangan kami selalu diperiksa. Jika ada yang membawa pedang atau senjata lainnya. Ada yang ditangkap,” kata Brahim suatu sore di teras meunasah kampung. Ini tentu bukan cerita pertama yang didengar oleh lelaki tegap itu. Beberapa hari sebelumnya si Amat juga pernah menyampaikan kesedihannya karena sebagian dari hasil panen padinya harus diserahkan kepada penjajah itu. Katanya sebagai pajak. “Hey elke keer dat u ons rijstoogst belasting ja, anders kon je sterven schot,” jelas Amat terbata-bata menirukan bahasa tentara berkulit merah itu. Yang menjadi pertanyaan bagi lelaki tegap itu adalah kenapa setiap orang yang mengetahui keberadaan dan jumlah orang-orang berkulit merah itu terus bertambah selalu diceritakan kepadanya, tak terkecuali para pedagang yang sebulan sekali datang dari pesisir. Kepala Kampung pun kerap menjadi penerima berita kedua setelahnya. Yang lebih aneh lagi adalah ketika Yusri, salah seorang pedagang garam lainnya, datang secara khusus menemuinya hanya untuk menceritakan hal yang sama. Saat itu Yusri datang tanpa membawa barang dagangan seperti biasa yang ia lakukan sebagai mata pencaharian utamanya. Ia dikenal sebagai pedagang yang sangat pelit dan cermat menghitung laba rugi. Bahkan untuk menangguhkan pembayaran hingga musim panen tiba pun ia tidak memberi izin. Kali ini ia justru datang sendiri dan tanpa barang dagangan. “Saya sengaja datang, khusus untuk menyampaikan berita yang sangat penting,” kata Yusri dengan napas setengah terengah ketika tiba di gardu adalah potongan cabang dan ranting kayu yang diikat dengan belahan rotan. Ada lima camp yang dibuat berjajar mengapit sebuah camp yang terlihat lebih tinggi dan luas. Tetapi hanya satu camp saja yang dihuni, selebihnya dibiarkan tak terisi karena sebagian besar dari pengikutnya tidur di antara perdu-perdu kayu. Dari atas anak tangga camp besar lelaki tegap itu memandang ke sekitar sambil mengawasi sekelilingnya. Ada kecemasan sekaligus tanggung jawab besar yang ia emban, sebuah kondisi yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh setiap anak negeri. Jika bisa memilih, sesungguhnya lelaki tegap itu lebih nyaman berada di rumah bersama ayah ibu dan kelima adik- adiknya yang mulai tumbuh remaja. Mengolah tanah dan menanaminya dengan sayur-mayur hijau, atau berlumur lumpur di sawah menanam padi untuk kelangsungan hidupnya sekeluarga. Malam bercengkrama di sisi perapian dengan gelak canda bocah-bocah lucu melafal ejaan alif di atas baris a, ba di bawah baris bi, ta baris depan tu, abitu atau berselawat kepada Nabi Muhammad dengan nada didong. Ketika sudah larut malam, mendekap selimut seperti seorang kekasih yang dendam. Namun, sejak kabar kedatangan para penjajah yang ingin menguasai tanahnya terdengar mulai mendekat, ia tak dapat tenang lagi berada di kampung. Terlebih berita-berita yang ia terima dari sejumlah pedagang garam dari pesisir, penjajah- penjajah itu juga berencana akan melakukan penyerangan ke daerahnya. Seketika itu pula ia memanggil sahabat- sahabatnya dengan perantaraan asap yang disulut dari pembakaran daun kayu muda, mengunyah sirih sambil berucap sesuatu dan meniupkannya kearah angin berhembus. *** DI GARDU kampung, orang-orang G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 32
  • 33. jawab Bedelah. Ia juga mulai penasaran siapa sebenarnya pemuda yang dimaksud pedagang garam dari pesisir itu, hingga wajahnya demikian serius. “Eee orangnya sering mengenakan kain sarung yang dililitkan di lehernya, atau menyilang di bahu.” “Pak Yusri, Pak Yusri, pemuda di sini semuanya melakukan hal yang sama. Terutama ketika menjelang senja karena udara akan semakin dingin,” sahut Bedelah sambil setengah tertawa dengan memotong pembicaraan Yusri. “Begini saja, Pak Yusri tunggu saja di teras meunasah itu. Menjelang Magrib nanti satu-persatu pemuda kampung ini pasti akan datang ke sana. Nah, kalau orang yang Bapak maksud datang pasti akan ketemu,” jelas Bedelah sambil berlalu dan membuang lintingan daun nipahnya ke parit. Yusri membenarkan pernyataan itu dan mengangguk-angguk sambil memperhatikan arah Bedelah berlalu. *** SEPERTI senja-senja sebelumnya udara menyapa Kampung Arias dengan gigilnya, perlahan merayapi seluruh kaki bukit dan hamparan persawahan yang mengitarinya. Kecuali lampu-lampu sumbu serta tungku perapian yang menyala menebar asap dari beberapa sudut kampung, tak ada sumber cahaya lain yang dapat menjadi suluh gelap. Kunang-kunang adalah makhluk lain yang mampu memberi tanda pada ekornya selain bulan yang diselimuti awan pada gulita malam. Bintang-bintang yang bergantung di langit hanya menjadi penunjuk musim bagi masyarakat, bahwa tak lama lagi musim penghujan akan menjelang beberapa pekan ke depan. Seperti pada suasana yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, disetiap hulu mata air yang ada di sepanjang bukit barisan itu akan ada tertinggal jejak-jejak yang menyerupai telapak kaki manusia. ujung jalan kampung Arias. Keringatnya meleleh ke ujung dagunya meski matahari tak seterik musim kemarau. “Apakah kau melihat lelaki tegap?” tanyanya kepada Bedelah, salah seorang pemuda Kampung Arias yang kerap mangkal di sana dengan lintingan tembakau nipahnya. Tentu saja Bedelah menjawab dengan gelengan kepala. Karena ia tidak tau siapa yang dimaksud Yusri. Sebab di Kampung Arias setidaknya ada tujuh pemuda yang dikenal mempunyai postur tubuh yang tegap-tegap, sementara yang bertanya tidak menyebut nama dan ciri lainnya. “Ah… kau masak tidak tahu lelaki yang kumaksud. Kau orang kampung sini, kan?” tanya Yusri kembali sambil mengibaskan tangannya ke bahu Bedelah. “Ya, tentu saja saya adalah warga kampung ini. Saya anak Aman Hakim, Gecik kampung ini. Tetapi lelaki tegap yang Pak Yusri maksudkan siapa? Siapa namanya?” Bedelah menjawab sambil melakukan gerakan yang sama dengan mengibaskan tangannya ke bahu Yusri. Keduanya terlihat sangat akrab dan sudah saling mengenal. “O iya ya. Betul, betul!” sahut Yusri kembali dengan logat pesisirnya yang kental. Sementara Bedelah hanya tersenyum mengamati gerak mulut Yusri yang seolah-olah hendak menyebut sebuah nama. “Siapa?” tanya Bedelah lagi dengan mendekatkan mukanya ke muka Yusri. “Aaa begini, saya tidak tahu siapa nama pemuda itu. Tetapi badannya tegap, tinggi, dan setiap senja tiba ia suka duduk-duduk di teras meunasah itu,” jelas Yusri sambil berusaha mencari arah menasah dan menunjuknya dengan tangan kanan. “Pak Yusri, setiap menjelang senja di teras meunasah itu selalu ada pemuda- pemuda kampung sini yang duduk-duduk saling bertukar cerita mengawal senja. Lalu yang bapak cari pemuda yang mana? G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 33
  • 34. duduk di sebuah batu besar yang menyerupai bentangan tikar pandan. Sejenak ia terlihat terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala lalu turun membasuh muka mengambil air wudu untuk salat Magrib. Setelah itu ia kembali ke tempat semula menunaikan kewajibannya kepada Sang Khalik. Beberapa bayangan berkelebat menghampir, magrib kali ini Gecik Kampung Arias tampaknya akan salat berjamaah di telaga mata air itu. Benar saja, Gecik Kampung Arias melafal sani shalat magribnya dengan jihar. Mulai dari iqamah, takbiratul ihram hingga bacaan alfatekhahnya terdengar hingga beberapa meter dari hamparan batu itu. Namun, tiba pada lafal waladdaalliiin justru yang mengamininya adalah dirinya sendiri. Sesaat kemudian ketika rukuk membias sejumlah bayangan juga ikut rukuk dan bersujud. Demikian bayangan itu bersama Gecik Kampung Arias terlihat bersaf hingga pada tahyat akhir. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa pada setiap pergantian musim hulu mata air itu akan dikunjungi oleh musafir-musafir. Termasuk dirinya yang berjalan lima belas kilo meter dari tempat tinggalnya yang berada di tengah kampung. Dan para musafir itu adalah pemilik-pemilik jejak yang selama ini kerap hadir menjelang malam di sumber mata air. Tahyat akhir Gecik Kampung Arias melafalkan salam ke arah kanan dan ke kiri. Sementara di belakangnya membias beberapa bayangan juga melakukan hal yang sama. Demikian juga ketika Gecik Kampung Arias itu menengadahkan tangan ke udara untuk berdoa, memohon kepada Yang Maha Mendengar dan Yang Maha Penerima doa untuk mengijabah setiap permohonannya. Namun tanpa disadarinya sejumlah bayangan tangan-tangan mungil lainnya juga menengadah layaknya makmum Jejak yang mengerubungi telaga-telaga air jernih sebagai sumber penghidupan yang setia pada setiap kemarau. Gecik Kampung Arias sangat paham jika jejak-jejak itu bukan bekas telapak kaki masyarakatnya yang bertani di sekitar. Tetapi jejak lain yang menyerupai manusia yang bersahabat dengan hutan dan dengan cinta. Ia juga tak pernah menceritakan pengalaman hidupnya bersama jejak-jejak itu kepada siapa pun, termasuk kepada istri dan anak-anaknya. Karena menurutnya pengalaman seperti ini adalah bagian yang akan dilalui oleh setiap lelaki sejati di Kampung Arias, seperti para leluhur dan pendahulunya. Justru karena itu ia membiarkan alam dan dan jejak-jejak itu yang akan menemukan diri mereka masing-masing dalam kesahajaan hutan. Setiap pergantian musim jejak-jejak itu selalu hadir pada awal senja. Datang secara diam-diam melalui tebing dan sela- sela tetumbuhan belantara. Menyusuri aliran anak sungai dengan perlahan hingga tiba di hulu dengan penuh suka cita. Senja itu, Gecik Kampung Arias bermaksud memeriksa aliran air dari sumber mata air yang mengairi persawahan penduduk. Melangkah pasti di antara pematang yang ditumbuhi padi yang mulai berbunga. Meski telah berusia lanjut dengan seluruh jenggot yang telah memutih, mata dan telinganya masih sangat awas menangkap segala kehidupan flora dan fauna di sekitarnya. Tak ada yang perlu ditakuti, karena semua yang hidup mempunyai pencipta yang sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena segala yang mencari penghidupan membutuhkan kedamaian. Hari mulai gelap, Gecik Kampung Arias terus melangkah memastikan aliran air akan bermuara pada petak-petak sawah yang menghidupi seluruh masyarakat dan keluarganya. Tiba di kaki gunung tempat mata air memuncrat dari perut bumi, ia G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 35
  • 35. atau ketika akan ada tanda terjadinya bencana besar menimpa, atau hal lain yang dapat merusak kehidupan manusia dan alam sekitar ia selalu datang ke tempat di mana sumber mata air itu berada. Ia selalu datang sendiri, ia tidak mau diantar atau ditemani oleh siapa pun, termasuk oleh anaknya sendiri. Konon bila ia datang dengan ditemani oleh orang lain, makhluk-makhluk itu tidak akan bersedia bertemu bahkan tidak akan menampakkan diri walau sehidung. Terlebih makhluk- mahkluk itu konon dapat mengenali dan mengetahui niat seseorang ketika melangkahkan kaki mereka ke tengah hutan. Dua hari sebelumnya ia telah menerima pesan agar datang ke sumber mata air tempat mereka biasa bertemu. Pesan itu ia terima pada dini hari lewat jendela ketika hujan lebat tengah mengguyur. Seluruh masyarakat telah lelap dengan penatnya seharian bekerja. Sehingga kedatangan sang pembawa pesan tak diketahui oleh siapa pun, tidak ada anjing yang menggonggong, jalanan lenggang dan bulan muncul di antara derai hujan. Ketukan halus dari arah luar jendela terdengar memanggil namanya. Suara itu sangat khas hanya Gecik Kampung Arias saja yang tau siapa gerangan. Hal yang sama kerap terjadi ketika ayah Gecik Kampung Arias masih hidup dan menjadi pucuk pimpinan dan panutan. Saat itu ia tidak terlalu memperdulikannya, karena ayahnya memang dikenal sebagai petua adat yang mempunyai kelebihan supranatural serta berpengetahuan luas. Amanah sang ayah ketika menjelang ajal menjemput adalah agar ia dapat melanjutkan silaturahminya dengan “sahabat tua”. Siapa sahabat tua itu? Ia tak bertanya, karena malaikat maut telah lebih dulu mengangkat ruh ayahnya. Menjelang tujuh hari sang ayah di alam kubur, ia bertemu dengan tiga makhluk pendek yang mirip salat yang mengikuti setiap gerak imam sebagai pemimpin salat. Tetapi tak terdengar kata-kata “amin” dari mulut- mulut pemilik bayangan itu ketika Gecik Kampung Arias itu melafalkan doa-doa dengan khusuknya. Jamaah yang berada di belakang seperti gagu dan bisu, hanya mengangguk-anggukkan kepala saja ketika bacaan doa Gecik Kampung Arias berhenti pada setiap akhir ayat. Sesekali hanya terdengar gesekan dedaunan jatuh menimpa permukaan air. Kecipak katak berenang atau kepakkan sayap kelelawar menyambar nyamuk malam. Hening. Udara di sekitar mata air itu berhembus sayup. Tidak seperti pada hari-hari sebelumnya. Biasanya angin berhembus dan mengendap di sekitar kubangan dan aliran air yang mengarah ke perkampungan, lembab dan mengandung kabut yang menutupi permukaan tetumbuhan yang menyesaki sekitar mata air jernih itu. Dengan kondisi demikian jarak pandang setiap mata akan sangat terbatas, terlebih ketika menjelang malam. Tetapi tidak bagi Gecik Kampung Arias serta sejumlah makhluk yang menjadi makmumnya pada magrib kali ini. Suasana demikian terang dan cerah. Meski itu hanya melingkupi beberapa meter saja di lokasi dibmana ia menunaikan salat Magrib-nya bersama sejumlah bayang- bayang jamaah lainnya. Dengan perlahan dan penuh kegembiraan ia menoleh dan membalikkan badannya ke arah belakang, menghadap ke sejumlah makmumnya seolah ingin menyapa mereka satu persatu. Tangannya terlihat menyalami beberapa tangan yang menjulurkan diri ke arahnya sambil tersenyum memperhatikan setiap mata yang memandanginya dengan penuh persahabatan. Peristiwa seperti ini memang bukan yang pertama bagi Gecik Kampung Arias. ketika keadaan negeri mulai terancam, G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 35
  • 36. sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu. Postur tubuhnya seperti anak usia belasan tahun, tetapi raut wajahnya seperti lelaki dewasa. Terlihat dari rambut dan bulu-bulu yang menutupi seluruh tubuhnya berwarna cokelat keperak-perakkan dibias cahaya bulan. Gecik Kampung Arias, lelaki tegap dengan otot dan badan kekar, meski ia sebagai kepala kampung yang disegani, putra dari almarhum Peski Gecik Tue Arias yang sangat dihormati, kali ini ia tanpak bukan seperti kepala kampung yang punya kharisma sebagai pemimpin sejati. Dengan lutut yang terus bergetar karena ketakutan ia lebih mirip sebagai buronan terpidana atas kasus pembunuhan yang tidak pernah ia lakukan. Ketakutannya seperti kerbau yang terikat di bawah rerimbunan perdu bambu yang disambar petir, pucat kehitam-hitaman dengan degub jantung yang nyaris berhenti. Meski demikian, ia sempat bertanya dan berpikir jauh ke belakang. Ke masa di mana ayahnya pernah mengamanahkan sesuatu yang hingga hari ini belum selesai ia pahami. Satu amanah yang sebelumnya dianggap tidak begitu penting dibanding dengan amanah yang mengharuskan ia merawat ibunya yang sudah sakit-sakitan, atau mengasuh kedua orang adik-adiknya yang masih kecil. Belum lagi tanggung jawabnya lainnya yang cukup berat dalam usianya yang masih berusia 16 tahun. Ia pun tidak pernah bertanya kepada sang ibu atau para petua kampung lainnya tentang makna “sahabat tua” yang dimaksud almarhum ayahnya. Kalimat itu demikian berat baginya selama dua puluh tahunan lebih, hingga ibunya meninggal dunia dan kedua adik-adiknya menikah. Ketiga makhluk kerdil yang berada di hadapan Gecik Kampung Arias itu juga terlihat diam dan tak melakukan gerakan apa pun. Ketiganya seolah sama herannya dengan manusia di tikungan jalan menuju meunasah. Awalnya ia mengira mereka adalah anak-anak yang baru pulang dari meunasah tempat mereka mengaji. Tetapi tiga sosok makhluk aneh yang mendekati Gecik Kampung Arias di tikungan jalan itu bukanlah anak-anak yang baru pulang mengaji. Tidak ada tentengan kitab suci Al-Qur’an atau Juz Amma di tangan kanan mereka atau peci hitam miring yang menempel di kepala, tidak juga menggunakan obor sebagai penerang jalan. Tiga sosok itu sungguh sangat berbeda, dan belum pernah dilihatnya. Bulu kuduknya sempat merinding, kaki dan badannya kaku. Matanya tak berkedip sama sekali menyaksikan tiga sosok makhluk asing itu berdiri persis di depannya. Gecik Kampung Arias sempat terkencing dalam pakaiannya ketika sosok yang ada di hadapannya itu mulai berucap sesuatu. Dengus napasnya tak beraturan dan seolah tak terhirup, meski angin mendesir kencang mengibaskan lipatan syal kain sarung yang melingkari lehernya. “Puger, kami datang,” kata salah satu dari makhluk setinggi pinggang Gecik Kampung Arias itu menyapa. Gemetar. Ia tak mampu menggerakkan kakinya untuk menghindar apalagi menjauh. Ketakutan dan keheranannya semakin bertambah menyaksikan makhluk yang tidak berpakaian layaknya manusia itu melangkah mendekatinya. Seluruh tubuh makhluk itu ditumbuhi bulu, seperti akar pohon beringin tua yang bergantung dari atas hingga ke bawah menutupi seluruh batangnya. Bagian leher dan raut mukanya saja sedikit lapang dari bulu-bulu halus dan menampakkan warna kulit sawo matang, selebihnya adalah rambut dan bulu-bulu halus hingga ke mata kaki. Mata salah satu dari sosok itu berbinar menatap Gecik Kampung Arias yang berdiri mematung, ada semacam kegembiraan, seperti sahabat lama yang G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 36
  • 37. “Dari mana makhluk ini tau namaku?” tanya Gecik Kampung Arias dalam hati. “Bukankah nama yang disebut itu adalah nama pemberian ayah saat aku masih kecil?” gumamnya lagi. Dan makhluk-makhluk kecil yang beruban itu telah menghapalnya berpuluh-puluh tahun untuk sebuah kesetiaan. (*) dengan Gecik Kampung Arias, sama-sama berdiri kaku dengan pikiran masing- masing. Sementara dalam ketakutan dan gemetarnya ia terus berpikir dengan keras, mengingat-ingat amanah ayahnya dua puluh tahun silam di rumah panggung beratap rumbia. Saat itu sang ayah menggenggam tangan sang anak dengan sangat erat. Telapak tangan sang ayah terasa sangat dingin dengan keriput kulit sepanjang siku hingga bahunya yang bergelombang. Mata sang ayah membelalak sayu menatap langit-langit rumah, bibirnya yang mengeriput bergerak pelan berucap sepatah demi sepatah kata. Pada detik- detik terakhir inilah Gecik Kampung Arias mendengar ucapan yang terbata-bata. “Kau yang paling sulung, lanjutkan apa yang telah Ayah telah lakukan yang kau anggap baik. Jangan pernah mengeluh dengan tanggung jawab. Satu lagi. Sahabat tua Ayah adalah juga sahabat tuamu juga.” Kalimat amanat sang Ayah yang membuat Gecik Kampung Arias berpikir keras sepanjang tahun adalah kalimat “Sahabat tua ayah adalah juga sahabat tuamu juga”. “Ini sungguh sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan,” gumamnya dalam hati. *** DI DEPAN tiga makhluk aneh yang berada di hadapan Gecik Kampung Arias ingatan atas dua kata itu muncul kembali. Ketakutan dan keheranannya terhadap makhluk asing itu berangsur memudar. Terlebih namanya disebut bukan sebagai kepala kampung Arias, tetapi sebagai lelaki dewasa putra Peski Gecik Tue Kampung Arias. Pikiran dan ingatannya kembali pada amanah sang ayah. Dua kalimat yang selama ini menjadi teka-teki baginya perlahan terjawab dengan kehadiran makhluk-makhluk aneh itu di hadapannya. G E L A N G G A N G Salman Yoga S. Lahir dan besar di Takengon, aktif di sejumlah organisasi sosial, profesi, seni dan gerakan kebudayaan, mengeditori sejumlah buku juga bertani kopi Gayo. Buku tunggalnya yang telah terbit adalah Sajak-Sajak Rindu (1995), album Mencintai Aceh Dengan Asap Ganja’ (1999), Cicinpala Putih (2005), Tungku (2006), White Orchids Gayo Soil (2016), Satu Cerita 14 Bahasa (2018), Pungi den Pakan Laya (2020), Likes (2021), Belbuk (2022), Surak (2023), Klising 7 Naskah Drama (2023). Juga terangkum dalam puluhan buku yang sebahagiannya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Rusia, Arab, Jerman, Spanyol, serta 40 bahasa Nusantara. Mengajar di UIN Ar- Raniry Banda Aceh, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dan di sejumlah Perguruan tinggi lainnya. Menakhodai sejumlah komunitas seni dan budaya. Tinggal dan menetap di Kampung Asir-Asir Atas No.70 Takengon-Aceh Tengah. Email: salmanyoga@yahoo.co.id. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 37
  • 38. Ratih Ratih, begitu Bapak menamaiku saat pertama kali aku menangis di dunia ini. Enam belas tahun kemudian sebagaimana usiaku saat ini, semua orang di kampung memberi panggilan yang sama dengan panggilan Bapakku: Tih. Sependek itu. Entah apa artinya. Aku masih mengingat panggilan terakhir Bapakku. Suara Bapak yang lemah hampir tidak terdengar, padahal aku duduk di samping kepalanya. Aku menyodokkan telingaku untuk mendengar suara terakhirnya. “Jaga dirimu baik-baik, Tih,” katanya lirih. Oleh Ade Mulyono C E R P E N pakaian, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga anak gadisnya: aku—yang sudah remaja. Kami tinggal di sebuah rumah yang lebih tepat disebut gubuk. Mengingat lantainya masih beralas tanah, dindingnya sebagian masih menggunakan anyaman bambu. Sedangkan dapur dan kamar mandi yang beriringan hanya dibatasi kain yang menjuntai. Jika penghuni rumah mandi bayangan tubuhnya begitu jelas ditangkap mata bagi siapa saja yang melihatnya. Tidak ada barang berharga di rumah kecil yang hanya mempunyai dua kamar. Barang berharga yang menjadi hiburan hanyalah televisi tabung hitam putih. Sialnya hanya menangkap tayangan dari stasiun pemerintah, sisanya hanya suara yang terdengar tak karuan. Itulah rumah anya sepotong kalimat pendek itu yang aku dengar dari bibirnya yang kering seperti sawah di musim kemarau. Setelahnya Bapak memejamkan matanya dan aku menangis tersedu-sedu mengiringi kepergiannya. Itu terjadi saat aku masih duduk di bangku kelas lima SD. Satu tahun setelah lulus sekolah, Emak kawin lagi dengan seorang duda beranak tiga. Waktu itu Emak menikah lagi dengan harapan akan ada seseorang yang memberinya jatah makan setiap perutnya lapar, memberinya H G E L A N G G A N G ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 38
  • 39. peninggalan almarhum Bapak yang diwariskan pada istrinya yang sudah dua tahun ini mulai sakit-sakitan. Di rumah itulah aku, Emak, Bapak, dan tiga saudara tiriku tinggal. Suami baru Emak yang juga menjadi Bapak sambungku setiap hari menghabiskan waktunya di pasar bekerja sebagai tukang becak. Usianya tidak lagi muda, rambutnya seluruhnya berwarna putih kusam. Perawakannya kurus hingga tulang-tulang di dadanya menonjol keluar. Sudah beberapa hari ini ia kerap marah setiap pulang ke rumah. Terlebih jika tidak ada makanan di dapur untuk mengganjal perutnya, lengan tangannya yang kekar tak sungkan membanting apa saja yang bisa diraihnya. Emak di kamar tak menyeru kecuali air matanya yang keluar. Tidak ada yang bisa dilakukan Emak selain berbaring. Badannya tak kalah kurusnya dengan suami barunya. Barangkali tinggal dibungkus tulang dan kulitnya saja yang kering, sebagai tanda hidupnya yang serba susah. Setiap hari aku yang mengurusnya dengan sabar. Entah sakit apa yang dideritanya, tidak ada uang untuk membawanya ke dokter. Seorang tetangga pernah menyarankan memakai BPJS, tetapi setelah mendengarkannya Emak geleng-geleng kepala sambil berujar pasrah: “Ribet betul.” G E L A N G G A N G Sejak saat itu aku hanya membelikan obat warung ala kadarnya. Malahan Emak melarang jika aku hendak membelikan obat. Katanya, lebih baik dibelikan beras dan kerupuk untuk makan. Sungguh aku begitu sedih mendengar Emak berujar seperti itu. Sedangkan tiga kakak tiriku yang semuanya laki-laki mempunyai watak yang sama dengan Bapaknya: gemar marah-marah. Ketiganya bekerja serabutan. Ada yang jadi juru parkir di toko Emas Cina, ada yang menjadi kuli bangunan, sedangkan yang paling muda tidak jelas kesibukannya. Ia jarang di rumah kecuali jika membutuhkanku. Seperti yang ia perbuat sore tadi sebelum pergi. Malam ini untuk yang ke sekian kalinya aku membasahi bantalku dengan tangis. Sudah beberapa bulan ini tubuhku remuk redam disiksa luar dalam. Di sampingku terbujur tubuh Bapak sambungku yang sedang mendengkur. Napasnya naik turun, suara dengkurnya tak kalah nyaring dengan suara kodok, burung, dan suara tikus yang berdecit di kolong ambin yang setiap malam berderit. Ia tidur dengan pulasnya setelah melampiaskan nafsu binatangnya kepadaku. Aku masih mencium bau bako di tubuhnya yang tidak pernah kena sabun mandi. Biasanya ia baru terbangun setelah cahaya matahari masuk ke kamar melalui genteng atap yang berlubang. Jika ia tak mendapati tubuhku di sampingnya, maka ia akan mengamuk: memukuliku. Tidak sekali, tetapi berkali- kali aku kena pukul hingga mataku bengkak. Sebelum meninggalkan rumah ia minta sarapan batin. Karena takut aku pasrah saat ia melucuti pakaianku. Entah sudah malam yang ke berapa lelaki tua yang kupanggil Bapak ini masuk ke kamarku. Aku tidak menghitungnya, terlalu pedih jika kuingat. Malam ini ia menghampiriku setelah menghabiskan kopi dan rokok bako yang sudah dililitnya dengan daun jagung kering. Anehnya, ia tidak peduli saat kedua anaknya secara bergiliran menelanjangiku, melampiaskan nafsunya pada tubuhku. Tidak sekali, tetapi berkali-kali. Barulah setelah kedua anaknya pergi, giliran Bapaknya menjilati tubuhku setelah mencekokiku dengan pil KB yang baru dibelinya di apotek siang tadi. Aku sudah hampir gila dengan penderitaan yang kualami ini. Pernah Emak menyuruhku pergi dari rumah setelah mendengar ceritaku. Namun, siapa yang akan mengurus Emak jika aku menuruti perintahnya. Terlebih Bapak sambungku sudah mengancamku jika berani melapor, ia akan menyiksa Emak. Betapa elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 39
  • 40. bajingan lelaki yang menikahi perempuan hanya untuk memuaskan kelaminnya. Bukankah begitu tujuan pernikahan? Semua itu bermula sejak Emak sakit dua tahun lamanya. Bapak sambungku sudah tidak tahan menghadapinya. Aku mengerti tidak mungkin orang sakit melayani suaminya. Atas alasan itu, aku menjadi korban nafsu kebinatangannya. Sialnya, ketiga anaknya mengikuti kebinatangan bapaknya. Kini aku harus melayani berahi empat orang lelaki yang seharusnya melindungiku. Malam itu seperti biasa usai azan Isya berkumandang di langgar, Bapak duduk bersila memelototi televisi dan asap rokok keluar dari mulutnya yang lebar. Sedangkan aku baru saja selesai menyuapi Emak. Saat aku sedang mencuci piring di dapur, aku mendengar suara Emak yang menolak ajakan Bapak yang minta dilayani. Dengan jengkel Bapak keluar dari kamar Emak sambil menggerutu. “Sudah dua tahun aku seperti anak bujangan. Buat apa punya istri jika tidak berguna. Lebih baik kau mati saja.” Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya saat aku melihat Bapak berdiri memandangiku dari belakang sambil meremas- remas selangkangannya G E L A N G G A N G di balik sarungnya. Tatapan matanya menyeramkan seperti hendak menelanku. Ia mulai mengendus wajahku seperti kucing mengendus daging sebelum memakannya. Belum juga aku beranjak, Bapak sudah menyeretku ke kamar. Aku meronta, berontak. Sial bagiku tenaganya yang besar berhasil menguasai tubuhku. Kemudian ia membantingku di atas kasur. Aku hanya menangis di bawah kuasanya setelah diancam dengan seribu kengerian. Dari kamar Emak aku mendengar suaranya yang lemah, “Jangan, Pak. Ratih anak kita.” Hanya itu yang aku dengar dibarengi tangisannya. Setelah itu Bapak keluar dan langsung membentak Emak. “Diam. Jika berani macam-macam akan kutinggal, akan kuceraikan. Jika kamu berani bercerita, kamu menyebarkan aibmu sendiri. Apa perlu aku bunuh anak gadismu ini?” Sesudahnya aku hanya menangis. Sungguh aku hampir tak percaya apa yang baru saja aku alami. Belum kering air mata di pipiku, kakak tiriku yang nomor dua masuk ke dalam kamar. Tentu saja ia mengetahui apa yang dilakukan bapaknya kepadaku. Ia mulai menarik selimutku dan melampiaskan birahinya. Hingga tengah malam, muncul kakak tiriku yang paling tua dan melakukan hal yang sama. Barulah setelah melepaskan hasratnya ia terkapar di sampingku dengan napas bau ciu. Begitulah aku melewati malam yang panjang diperkosa Bapak dan kedua anaknya. Kejadian itu terus berulang, hingga si bungsu melakukan hal yang sama dengan Bapak dan kedua kakaknya. Tidak seperti kedua kakaknya, ia melakukannya di siang hari. Seperti yang ia lakukan dengan beringasnya sore tadi saat aku sedang mandi di kamar mandi. Sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan semua cobaan ini. Berbulan-bulan aku menahan derita, menyimpan rapi rasa sakit yang aku alami. Aku malu jika ingin bercerita kepada tetangga atau sahabatku. Dengan terpaksa aku kubur rapat- rapat aib keluargaku. Aku juga takut kena tinju jika Bapak dan saudara tiriku tahu. Seperti yang ia lakukan dua minggu yang lalu. Sejak kejadian itu pula entah sudah berapa banyak pil KB yang aku minum di bawah ancaman Bapak sambungku. Katanya supaya tidak hamil. Tentu saja supaya leluasa melampiaskan nafsunya. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 40
  • 41. Betapa diriku telah menjadi budak kelamin laki-laki. Yang bisa kulakukan untuk mengurangi deritaku ialah bersimpuh di makam Bapak. Di nisannya aku menangis sepuas-puasnya. Kini badanku semakin kurus juga tidak lagi terurus. Dan malam yang menyedihkan ini kelewat panjang untuk aku seberangi. Rembulan di atas awan sepertinya enggan berlayar mengarungi samudera malam. Meski sudah tua usia malam, tetapi mataku masih menyala setelah diperas air mata. Aku sudah putus asa. Masih adakah masa depan untuk perempuan yang setiap hari diperkosa? Mungkin sudah begini garis hidupku sejak lahir selalu dikepung derita. Tidak mencium wangi baju sekolah tinggi seperti teman- temanku yang lain. Ah, jangan sekolah untuk makan saja susah. Kepada siapa aku berharap. Bapak dan saudara tiriku? Mereka hanya memikirkan kelamin dan perutnya sendiri. Tidak ada yang diharapkan dari mereka. Sebagaimana diriku mereka juga hanya lulusan sekolah dasar, itu pun hanya si G E L A N G G A N G bungsu. Sementara kedua kakaknya bahkan terbata- bata saat membaca judul video porno di handpone- nya sebelum aku menjadi korban pelampiasan nafsu liarnya. Betapa malang hidup menjadi seorang perempuan yang miskin, lemah, dan bodoh seperti diriku ini. Angin malam yang dingin mulai masuk ke kamar melalui celah-celah anyaman yang sudah banyak berlubang. Itu pertanda subuh sebentar lagi tiba. Setelah mengumpulkan tenaga dengan rasa keputusasaan aku bangkit dari ranjang. Aku melangkah pelan meninggalkan lelaki tua yang sedang mendengkur. Kemudian aku menyelinap masuk ke kamar Emak. Aku mencium keningnya dan kutatap sembab matanya untuk yang terakhir kalinya. Segera aku bergegas menuju ke dapur dan langsung berdiri di depan sumur. Aku diam sejenak untuk menghabiskan sisa air mataku yang kembali tumpah menyeberangi pipi dan bibirku saat berujar lirih, “Mak, Bapak, maafkan anakmu.” Dengan rasa putus asa aku meraih tali sumur dan langsung mengalungkannya ke leherku. Sambil memejamkan mata aku melompat masuk ke sumur yang dalam. Mendadak semuanya menjadi gelap tak terlihat. Dalam kegelapan itu aku teringat masa kecil dulu. Aku teringat Bapak saat menggendongku sambil bernyanyi, “Ning-nang, ning-nang neng-nong.” (*) Ade Mulyono Lahir di Tegal. Prosais dan esais, lulusan S-1 Bahasa dan Sastra Universitas Pamulang. Tulisannya dimuat di sejumlah media, seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Merdeka, Harian Sultra, dan majalah Harmoni. Novel terbarunya Jingga terbit tahun 2023. Saat ini berdomisili di Jalan Peninggaran Barat 3 RT 13 No. 57 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 41
  • 42. Kemaluan yang Bersinar Kemaluan itu bersinar, tampak begitu indah, bersih, begitu mempesona, begitu menggairahkan. Tanpa kata-kata kau langsung menubruk perempuan yang tidak jelas siapa itu. Ya, kau menubruknya sebab gejolak yang sudah tidak bisa dikendalikan. Oleh Risen Dhawuh Abdullah C E R P E N Wajahmu beradu dengan wajahnya, tapi kau masih tidak mengenali siapa perempuan itu. Hingga kau disuruh untuk jongkok olehnya. Kau pun kembali menurut. Tiba-tiba perempuan itu menyingkap kain yang menutupi kakinya. Singkapan itu mengakibatkan kemaluannya terlihat. Kemaluan itu bersinar, tampak begitu indah, bersih, begitu mempesona, begitu menggairahkan. Tanpa kata-kata kau langsung menubruk perempuan yang tidak jelas siapa itu. Ya, kau menubruknya sebab gejolak yang sudah tidak bisa dikendalikan. Belum sampai kau tuntaskan gejolak, perempuan itu menghilang dan kau terbangun. Kau menoleh sekeliling seperti mencari perempuan itu dan memang tidak ada. Itu hanyalah bunga tidur yang baru au nekat pergi ke seorang empu yang disarankan oleh Bango Samparan setelah kau menceritakan mimpimu. Ya, mimpi. Malam itu kau bermimpi. Dalam mimpimu, kau digambarkan sedang berada di atas awan. Awalnya kau tidak melihat siapa- siapa di sekelilingmu. Kau berjalan berpuluh-puluh langkah, hingga kau melihat seseorang membelakangimu. Dari bentuk tubuhnya bisa diketahui kalau orang itu adalah perempuan. Ia kemudian berbalik badan. Namun, kau tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dari wajahnya memancarkan sinar —tapi sinar itu tidak membuat matamu silau. Terkadang bagian-bagian tertentu dari wajahnya tampak, tapi tidak cukup untuk mengetahui siapa perempuan itu. Ia menyuruhmu untuk mendekat dan kau menurut saja tanpa respons kata-kata. K G E L A N G G A N G ILUSTRASI: BIC | MAJALAH ELIPSIS elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 42
  • 43. bersinar itu sudah sering bopo dengar.” Bopomu menatapmu dengan serius. “Jadi ada juga orang bermimpi sama dengan yang saya impikan, Bopo?” Kau semakin penasaran. “Ya. Tapi orang yang bermimpi demikian sangat langka. Biasanya hanya dialami oleh calon raja atau orang besar…” Bopomu berhenti berbicara karena terbatuk. Kau menunggu dengan perasaan tidak sabar. “Menurut cerita nenek moyang, orang yang bermimpi bertemu dengan seorang perempuan dan melihat kemaluannya bersinar, kemudian di dunia nyata juga bertemu, maka dialah jodohnya dan akan menurunkan orang-orang besar. Masih dari cerita yang beredar, mimpi ini biasanya hanya dialami oleh mereka yang masih bujang,” jelas Bopomu. “Benarkah demikian?” “Itu hanya menurut cerita. Kalau kenyataan, Bopo belum pernah melihatnya sendiri.” Walau Bopomu sudah menegaskan kalau itu hanyalah menurut cerita yang beredar, nyatanya justru membuat ingatanmu semakin merawat mimpi itu. Kau tidak mempedulikan ucapan Bopomu, kalau mimpi itu hanya dialami oleh calon raja atau orang besar. Kau seperti tidak sadar kalau wajah perempuan yang ada di mimpimu itu tidak jelas, jadi bagaimana mungkin kau bisa menemukannya di dunia nyata? Kala kau datang kepada Kebo Ijo, rekanmu sesama punggawa yang mengabdi untuk Tunggul Ametung, malah menertawakanmu keras-keras usai kau menceritakan mimpimu dan ucapan Bopomu. “Itu hanya mimpi, sementara kau terus mengingat-ingat. Coba ingat, kau ini siapa? Kau hanya dari kasta Sudra. Mana saja kau nikmati. Gejolak itu kau rasakan juga sampai dunia nyata. Mimpi itu benar-benar mengganggu pikiranmu hingga sore menyapa. “Aku ingin mengulangi mimpi itu, baru kali ini aku melihat kemaluan seorang perempuan yang begitu mempesona. Begitu menggairahkan. Laki-laki mana yang bisa menahan gejolak dalam dirinya setelah melihat kemaluan yang seperti itu? Sungguh kemaluan yang indah!” bisikmu. Kau geleng-geleng kepala setelah membayangkan mimpimu menjadi kenyataan. Tentu jika itu menjadi kenyataan, merupakan anugerah yang luar biasa dari Dewata. Mimpi itu semakin betah dalam ingatanmu. Kau tidak dapat menghilangkannya. Malah semakin lekat. Mimpi yang terus membuatmu kepikiran itu kemudian menimbulkan pikiran yang melenceng ke mana-mana. Meskipun ini terkesan ngawur, kini kau menganggap mimpi itu adalah petunjuk dari Dewata. “Ini bukan mimpi biasa, sebab hingga berhari-hari lamanya, mimpi itu masih saja terus menggelayut di tempurung kepalaku. Namun petunjuk apa?” katamu berbicara sendiri pada sebuah hari. Karena semakin nikmat, tapi terganggu, kau memutuskan untuk menghadap pada bopo angkatmu di Karuman. Kau berharap memperoleh jalan keluar. Kau sudah tidak betah dengan bayangan yang terus menghantuimu. Kau ceritakan kronologinya hingga berakhir pada pertanyaan, kira-kira apa maksud dari mimpi saya? “Itu bukan mimpi biasa, Ngger,” ucap Bopomu. “Bukan mimpi biasa, Bopo?” Dadamu sontak bergemuruh, setelah menangkap ucapan itu. “Sebelum kau bercerita, mimpi soal melihat kemaluan perempuan yang G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 43
  • 44. Ia memanggilmu, menyuruhmu untuk mendekat. Memang bukan kali ini saja Ken Dedes memanggilmu. Ia kerap meminta bantuanmu saat ia sedang mengalami kesulitan. Sebagaimana biasanya, kau tidak kuasa menatap dengan sepenuhnya wajah itu. Ken Dedes mengundangmu di ruang pertemuan esok hari. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan dan pembicaraan itu tidak boleh siapa pun tahu. Tentu hal itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagimu. Namun, kau tidak pernah menganggap dirimu istimewa. Permintaan Ken Dedes tentu kau penuhi. Keesokan harinya kau menghadap padanya. Tidak ada Tunggul Ametung ketika kau menghadap. Di ruang pertemuan Ken Dedes mengatakan kalau ia tidak sreg dengan apa yang suaminya rencanakan. Akan melakukan pemberontak terhadap Kediri. Ia menyampaikan kesedihannya. Dalam lubuk hatinya paling dalam, ia sama sekali tidak ingin peperangan terjadi. Ken Dedes juga berucap kepadamu kalau kerugian yang ditanggung akan begitu besar. Belum lagi nyawa yang melayang. Hanya demi kekuasaan! Kau pun tidak dapat memberikan kata- kata kepadanya. Ken Dedes tidak memperlihatkan kecewa. Justru ia nampak begitu lega. Wajahnya tidak penuh dengan beban seperti saat ia memanggilmu. Diam-diam kau memperhatikan sepasang matanya. Sudah lama kau amati mata itu. Dibanding sebelum-sebelumnya, kau merasa kalau mata itu tidak seindah saat ini. “Apa aku tidak pernah melihatnya dalam jarak yang begitu dekat seperti ini?” tanyamu kepada dirimu sendiri. Pertemuan itu ditutup ucapan terima kasih Ken Dedes sebab kau telah menyempatkan diri. Dengan langkah perlahan kau bersama Ken Dedes mungkin menurunkan raja-raja, kalau menjadi raja saja tidak mungkin!” ujar Kebo Ijo sembari menghabiskan tawanya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Dewata. Jika Dewata sudah berkehendak, siapa yang bisa menghalangi? Mereka yang menjadi raja tidak akan menjadi raja tanpa restu dari Dewata. Jadi apa salah, jika kemudian aku mempunyai cita-cita seperti itu?” Memang kenyataan tidak bisa dibohongi. Kau hanya orang yang berasal dari kasta Sudra, kasta yang paling rendah, bahkan dianggap paling hina. Kau mempunyai masa lalu yang kelam. Kau pernah menjadi berandalan, pencuri, serta berjudi. Dan sekarang kau bermimpi menjadi seorang raja. Tapi lagi-lagi, kau tidak goyah dengan masa lalumu. Kau tancapkan keyakinan dalam-dalam pada hatimu, kalau segalanya bisa terjadi. Suatu ketika para punggawa penting Tumapel dipanggil oleh Tunggul Ametung, termasuk dirimu. Tunggul Ametung menggelar pertemuan. Dalam pertemuan itu, Tunggul Ametung menceritakan gejolak pemerintah Kertajaya, yang mana mulai tidak disukai oleh rakyat. Banyak orang yang tidak suka dengan kebijakan yang telah Kertajaya tetapkan. Namun, kau tidak percaya dengan omongan yang Tunggul Ametung ucapkan. Ketidakpuasaan hanya ditunjukkan oleh rakyat Tumapel—itu pun tidak semuanya—di luar itu kau tidak pernah mendapatinya. Setelah kau mengikuti alur pertemuan itu, apa yang menjadi tebakanmu bermuara pada kebenaran. Tunggul Ametung menghendaki melakukan pemberontakan. Mau tidak mau kau tunduk dengan apa yang menjadi keputusannya. Pagi ini saat kau melatih prajurit yang dipersiapkan untuk memberontak, kau melihat Ken Dedes berjalan di depan istana. Kemudian langkah kakinya mengarah kepadamu. G E L A N G G A N G elipsis | Edisi 030/ Tahun III / November—Desember 2023 | 44