SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Download to read offline
89
AFINITAS SPESIES PADA KOMUNITAS ENDOPSAMMON
DI ZONE INTERTIDAL
DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT
(Species Afinity on Endopsammon Community in Intertidal Zone in West Bali National Park)
Ida Bagus Jelantik Swasta1
, Dedi Soedharma2
,
Mennofatria Boer3
, dan Yusli Wardiatno4
ABSTRAK
Sebagai benthos hewani yang berukuran kecil dan menghuni ruang-ruang interstisial, endopsammon
memiliki peranan ekologis yang amat penting dalam ekosistem laut. Karena itu, mengkaji aspek ekologi en-
dopsammon sangat menarik. Afinitas spesies merupakan salah satu aspek ekologi yang amat penting untuk
dipelajari. Dua aspek afinitas spesies yang sangat penting untuk dikaji adalah tumpang tindih relung dan aso-
siasi spesies khususnya dalam kaitannya dengan tingkat kekerabatan spesies dalam komunitas endopsammon.
Dua tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui secara pasti apakah tumpang tindih
relung dan asosiasi spesies terjadi dalam komunitas endopsammon dan 2) untuk mengetahui secara pasti apa-
kah tingkat tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan di antara
spesies endopsammon. Beberapa lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pantai Teluk Terima,
pantai Labuhan Lalang, dan pantai Teluk Banyuwedang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bali
Barat. Di semua lokasi ini dibuat 25 stasiun penelitian, dan di setiap stasiun contoh substrat diambil pada tiga
tingkat kedalaman yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Contoh substrat diambil dengan menggunakan core,
sedangkan ekstraksi contoh dilakukan dengan metode Uhlig, metode pembasuhan dan metode pengapungan.
Spesimen yang didapat diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10 %, dan diwarnai dengan larutan
Rose Bengal. Pengamatan dan identifikasi specimen dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Data yang
didapat dianalisis dengan pendekatan statistik. Beberapa hasil dari penelitian ini adalah: 1) secara umum, di-
antara spesies endopsammon terjadi tumpang tindih relung dan asosiasi, dan 2) tingkat tumpang tindih relung
dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan diantara spesies endopsammon.
Kata kunci: endopsammon, tumpang tindih relung, asosiasi spesies.
ABSTRACT
As a small zoobenthos inhabiting interstitial spaces of the substrates, endopsammon play an important
ecological role in ecological marine ecosystem. Based on that reason, to study about ecological aspect of en-
dopsammon is very interesting. The species afinity is one ecological aspect which very important to be study.
Two parts of species afinity which important to be study are niche overlap and species association, especially
in related to taxonomic relation level between species in endopsammon community. Two objectives of this
study are: 1) to know the occurance of niche overlap and species association in endopsammon community;
and 2) to know whether niche overlap level and species association level is affected by taxonomic relation le-
vel between endopsammon species. Some places were chosed in Teluk Terima beach, Labuhan Lalang beach,
and Teluk Banyuwedang beach located in West Bali National Park area. In overall there were 25 stations of
which each station was sampled for substrate at three different depths 0-5 cm, 5-10 cm, 10-15 cm especialy.
Substrate was taken by core, whereas and the extraction of the substrate were using Uhlig method, elutriation
method, and floating method. Specimens collected was preserved by 10% formalin solution and stained by
Rose Bengal solution. Specimens were identified by microscope. After statistical test conducted, the results
1
Jurusan Biologi, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja,
Bali.
2
Bagian Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelaut-
an, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
3
Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Mana-
jemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke-
lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
4
Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
90 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
showed that 1) in general, there is niche overlap and species association in endopsammon, and 2) niche over-
lap and species association level have affected by taxonomic relation level between endopsammon species.
Key words: endopsammon, niche overlap, species association.
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari biota laut, endopsam-
mon merupakan zoobenthos berukuran kecil yang
berada dalam substrat pasir dan lumpur. Walau-
pun secara ekonomi tidak memberikan manfaat
langsung bagi manusia, namun secara ekologis
endopsammon memiliki peranan yang amat pen-
ting dalam ekosistem laut. Peranan penting yang
dimaksud adalah: 1) sebagai salah satu mata ran-
tai dalam rantai makanan pada ekosistem laut;
2) sebagai pelaku proses daur ulang dan remi-
neralisasi material organik di dasar perairan;
dan 3) sebagai rekanan interaktif biota benthos
lainnya (Giere, 1993; Lee dan Anderson, 1991).
Terkait dengan pentingnya peranan en-
dopsammon dalam berbagai proses ekologis di
dalam ekosistem laut, maka secara keilmuan su-
dah sepantasnya endopsammon ini mendapat per-
hatian yang layak seperti halnya biota-biota laut
lainnya. Secara keilmuan banyak hal yang dapat
dipelajari dari kehidupan endopsammon ini. Da-
ri berbagai aspek yang menyangkut kehidupan
endopsammon ini, aspek ekologis merupakan sa-
lah satu aspek yang menarik untuk dikaji. Pan-
dangan ini didasari tidak hanya oleh pemaham-
an tentang adanya peranan ekologis endopsam-
mon, tetapi juga oleh adanya fakta tentang per-
kembangan benthologi yang mengarahkan endo-
psammon untuk dijadikan bioindikator dalam
menilai kondisi lingkungan perairan laut. Ber-
bagai riset tentang toksikologi lingkungan telah
mulai menempatkan endopsammon, khususnya
aspek keragaman dan kelimpahannya sebagai
indikator ada tidaknya pencemaran dalam ling-
kungan perairan (Montagna et al, 2002).
Terkait aspek ekologis dari komunitas en-
dopsammon ini, salah satu aspek ekologis yang
menarik untuk dikaji adalah aspek afinitas spe-
sies. Dikatakan demikian karena aspek afinitas
spesies ini belum banyak mendapat perhatian
padahal dari aspek afinitas spesies dapat dipela-
jari sifat-sifat suatu spesies dalam kaitannya de-
ngan spesies lain dalam komunitas endopsam-
mon. Dalam mengkaji aspek afinitas spesies ko-
munitas endopsammon, permasalahan utama yang
perlu mendapat perhatian adalah tumpang tin-
dih relung dan asosiasi antar spesies endopsam-
mon dalam kaitannya dengan tingkat kekerabat-
an diantara spesies endopsammon. Ungkapan i-
ni didasari dugaan bahwa di dalam komunitas
endopsammon terjadi tumpang tindih relung
dan asosiasi diantara spesies-spesies penyusun
komunitas endopsammon itu. Di samping itu,
dugaan lain yang ikut mendasari bahwa tingkat
tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spe-
sies sangat dipengaruhi oleh tingkat kekerabat-
an diantara spesies endopsammon.
Berhubungan dengan dugaan bahwa ting-
kat kekerabatan diantara spesies dapat mempe-
ngaruhi tingkat tumpang tindih relung dan ting-
kat asosiasi spesies, sesungguhnya dugaan ini
didasari dua hal yaitu: 1) adanya pemahaman
tentang arti kekerabatan yang mencerminkan a-
danya kesamaan genetis yang dapat diekspresi-
kan dalam bentuk kesamaan struktur morpholo-
gi, kesamaan fisiologis dan kesamaan prilaku;
dan 2) adanya pemahaman bahwa kesamaan da-
lam hal struktur, fisiologi dan prilaku cende-
rung mengarahkan endopsammon untuk memi-
lih habitat dan sumber daya yang sama. Jadi de-
ngan menggabungkan kedua pemahaman di a-
tas, dapatlah dipahami bagaimana tingkat keke-
rabatan spesies dapat diduga mempengaruhi afi-
nitas spesies dalam komunitas endopsammon.
Berkaitan dengan pengkajian aspek tum-
pang tindih relung dan asosiasi spesies endo-
psammon, tujuan utama yang ingin dicapai ada-
lah: 1) terungkapnya kepastian ada tidaknya
tumpang tindih relung dan asosiasi spesies da-
lam komunitas endopsammon dan 2) terung-
kapnya kepastian pengaruh tingkat kekerabatan
spesies terhadap tingkat tumpang tindih relung
serta tingkat asosiasi spesies dalam komunitas
endopsammon. Hasil kajian diharapkan dapat
bermanfaat sebagai informasi ilmiah untuk pe-
ngembangan ilmu khususnya di bidang ekologi
endopsammon.
Dalam kajian aspek tumpang tindih re-
lung dan asosiasi spesies endopsammon, eko-
sistem pantai dalam kawasan Taman Nasional
Bali Barat sangat baik dipilih sebagai wahana
penelitian karena secara umum kondisinya ma-
sih alami dan corak habitatnya sangat beragam
bagi kehidupan endopsammon. Dengan memi-
Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 91
lih kawasan ini, secara tidak langsung dapat
membantu pihak Taman Nasional Bali Barat
dalam menginventaris sumber daya endopsam-
mon yang ada di dalam kawasannya.
BAHAN DAN METODE
Lokasi, Waktu dan Metode Pengambilan Data
Penelitian dilaksanakan di pantai Teluk
Terima, pantai Labuhan Lalang, dan pantai Te-
luk Banyuwedang yang semuanya terletak da-
lam kawasan Taman Nasional Bali Barat. Pene-
litian dilakukan antara Juli 2004 sampai De-
sember 2005. Pada penelitian ini ditentukan 25
stasiun pengambilan contoh yang mewakili 25
corak habitat. Pada setiap stasiun ditentukan se-
cara acak 3 titik pengambilan contoh dengan a-
rah sejajar garis pantai. Pada setiap titik contoh
diambil contoh substrat pada 3 tingkat kedalam-
an yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Peng-
ambilan contoh substrat dilakukan dengan meng-
gunakan core yang terbuat dari pipa paralon ber-
diameter 5 cm dan panjang 15 cm. Ekstraksi con-
toh dilakukan dengan metode Uhlig yang di-
kombinasikan dengan metode pembasuhan dan
metode pengapungan. Dalam metode Uhlig, con-
toh substrat diekstraksi dengan es air laut, sedang-
kan pada metode pembasuhan dan pengapungan
digunakan air laut yang telah disaring dengan
jaring plankton. Hasil ekstraksi yang ditampung
dalam botol diawetkan larutan formalin 10% dan
diwarnai larutan Rose Bengal. Pengamatan dan
identifikasi spesimen dilakukan dengan meng-
gunakan mikroskop. Berbagai peubah abiotik
yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, redoks
potensial, oksigen terlarut, ukuran butiran sub-
strat, kadar polutan minyak dan kadar zat orga-
nik. Peubah abiotik ini diukur baik pada air laut
maupun pada substrat. Gambar 1 menyajikan
denah lokasi penelitian.
Gambar 1. Denah Lokasi Penelitian dalam Kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Metode Analisis Data
Untuk menghitung tingkat tumpang tin-
dih relung antar dua spesies endopsammon di-
gunakan rumus indeks Pianka Overlap (PO) se-
bagai berikut (Krebs, 1989):
2 2
aj bj
ab
aj bj
p p
PO
p p
=
∑
∑ ∑
Untuk mengetahui indeks tumpang tindih
relung secara umum dalam komunitas endo-
psammon digunakan rumus general overlap GO
= eE
. Untuk mengkaji apakah terdapat tumpang
tindih relung sempurna antara spesies dalam
komunitas endopsammon perlu dihitung nilai
sebaran khi-kuadrat (V) pada derajat bebas (df)
(s-1)(r-1) dengan hubungan V = -2Tln(GO). Ji-
ka nilai V melebihi nilai kritis Khi-kuadrat pada
taraf nyata 5%, ini berarti ada tumpang tindih
relung di antara spesies dalam komunitas endo-
psammon. Bila nilai V lebih kecil atau sama de-
ngan nilai kritis khi-kuadrat pada taraf nyata
5%, ini berarti tidak ada tumpang tindih relung
antar spesies dalam komunitas endopsammon.
92 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
Pengukuran tingkat asosiasi antar dua spe-
sies endopsammon dilakukan dengan menghi-
tung indeks asosiasi Jaccard dengan hubungan
sebagai berikut (Ludwig dan Reynold, 1988).
XY
a
IJ
a b c
=
+ +
Untuk menguji ada tidaknya asosiasi pa-
da banyak spesies endopsammon, perlu dihitung
nilai sebaran khi-kuadrat (W) dengan hu-bung-
an W = NVR. Bila nilai W terletak pada batas
sebaran χ2
dengan kemungkinan 95% (χ2
0.025 N <
W < χ2
0.975 N ) ini berarti tidak ada asosiasi spe-
sies. Jika nilai W ada di luar batas sebaran χ2
dengan kemungkinan 95% (W<χ2
0.025N atau W
> χ2
0.975 N ), ini berarti ada asosiasi spesies.
Menentukan ada tidaknya pengaruh ting-
kat kekerabatan spesies terhadap tingkat tum-
pang tindih relung dan tingkat asosiasi antar
spesies digunakan Analisis Ragam satu arah pa-
da taraf nyata 5% (α = 0.05) ( Sokal dan Rohlf,
1987; Sudjana, 1989). Sebelum dianalisis de-
ngan Sidik Ragam, data indeks tumpang tindih
relung dan data indeks asosiasi dikelompokkan
menjadi 6 kelompok berdasarkan tingkat keke-
rabatan spesies. Ke enam kelompok yang di-
maksud adalah: 1) kelompok A adalah kelom-
pok indek pasangan yang berbeda spesies dalam
genus yang sama; 2) kelompok B adalah kelom-
pok indeks pasangan yang berbeda spesies dan
genus dalam famili yang sama; 3) kelompok C
adalah kelompok indeks pasangan yang berbeda
spesies, genus, dan famili dalam ordo yang sa-
ma; 4) kelompok D adalah kelompok indeks pa-
sangan yang berbeda spesies, genus, familia,
dan ordo dalam kelas yang sama; 5) kelompok
E adalah kelompok indeks pasangan yang ber-
beda spesies, genus, familia, ordo dan kelas da-
lam filum yang sama; dan 6) kelompok F ada-
lah kelompok indeks pasangan yang berbeda
spesies, genus, famili, ordo, kelas dan filum da-
lam kerajaan yang sama.
HASIL
Tumpang Tindih Relung
Dengan menggunakan rumus tumpang tin-
dih relung antar dua spesies dari Pianka, diper-
oleh 10 731 nilai indeks tumpang tindih relung
dari 10 731 kemungkinan pasangan spesies yang
saling tumpang tindih. Berdasarkan hasil anali-
sis terhadap data komposisi spesies dan kelim-
pahan endopsammon di setiap stasiun di selu-
ruh kedalaman, diperoleh nilai General Overlap
(GO) sebesar 0.4305 dan nilai T = 2 269. Ber-
dasarkan V = -2T ln GO, diperoleh nilai V (khi-
kuadrat hitung) 3 824.66 yang melebihi nilai χ2
(khi-kuadrat tabel). Dengan demikian, secara u-
mum terdapat tumpang tindih relung antara spe-
sies yang satu dengan spesies yang lainnya di
dalam komunitas endopsammon.
Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap
Tumpang Tindih Relung
Berdasarkan enam kelompok data indeks
tumpang tindih relung antar dua spesies endo-
psammon menurut tingkat kekerabatan spesies,
diperoleh profil pengelompokkan data indeks
tumpang tindih relung menurut tingkat kekera-
batan spesies yang disajikan pada Gambar 2.
a
b
c
d
e
f
0.0
0.5
1.0
Tingkat Kekerabatan
Indek
Pianka
Overlap
Gambar 2. Diagram Box Plot Enam Kelompok
Data Indeks Tumpang Tindih Re-
lung Berdasarkan Tingkat Kekera-
batan Spesies Endopsammon.
Berdasarkan analisis ragam terhadap e-
nam kelompok data indeks tumpang tindih re-
lung menurut tingkat kekerabatan, diperoleh sta-
tistik F sebesar 3.11 (p<0.05) yang berarti ting-
kat kekerabatan spesies endopsammon memi-
liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum-
pang tindih relung spesies endopsammon.
Asosiasi Spesies
Dengan menggunakan rumus asosiasi an-
tar dua spesies dari Jaccard, diperoleh 10 731
nilai indeks asosiasi (Indeks Jaccard) dari 10 731
kemungkinan pasangan spesies yang saling di-
perbandingkan. Berdasarkan hasil analisis ter-
hadap data komposisi spesies dan kelimpahan
endopsammon di setiap stasiun di seluruh keda-
laman, diperoleh nilai ST
2
= 110.72 dan nilai
σT
2
= 17.2096. Dengan hubungan VR=ST
2
/σT
2
,
Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 93
diperoleh VR = 6.4336. Oleh karena W (khi
kuadrat) = N x VR, dan N = 25, diperoleh W =
160.84 (p<0.05) yang berarti secara umum ada
asosiasi antar spesies endopsammon.
Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap
Asosiasi Spesies
Berdasarkan enam kelompok data indeks
asosiasi antar dua spesies endopsammon menu-
rut tingkat kekerabatan spesies diperoleh profil
pengelompokkan data Indeks Jaccard berdasar-
kan tingkat kekerabatan spesies seperti disaji-
kan pada Gambar 3.
f
e
d
c
b
a
1.0
0.5
0.0
Tingkat Kekerabatan
Indek
Jaccard
Gambar 3. Diagram Box Plot Enam Kelompok
Data Indeks Jaccard Berdasarkan
Tingkat Kekerabatan Spesies.
Berdasarkan hasil analisis ragam terha-
dap enam kelompok data Indeks Jaccard berda-
sarkan tingkat kekerabatan spesies, diperoleh
statistik F sebesar 5.72 (p < 0.05) yang berarti
bahwa tingkat kekerabatan spesies endopsam-
mon memiliki pengaruh yang nyata terhadap
tingkat asosiasi spesies endopsammon.
PEMBAHASAN
Dalam hubungannya dengan relung habi-
tat, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
umum terdapat tumpang tindih dalam hal re-
lung habitat di antara spesies-spesies endo-
psammon yang ada dalam kawasan Taman Na-
sional Bali Barat. Hal ini menyiratkan bahwa
ada bagian-bagian relung yang dipergunakan
bersama oleh beberapa spesies endopsammon
walaupun setiap spesies endopsammon memi-
liki pusat relung sendiri-sendiri. Kalau ditinjau
lebih jauh tentang penyebabnya, maka penye-
bab tumpang tindih relung ini adalah: 1) adanya
kesamaan atau kemiripan sifat biologis dan eko-
logis diantara spesies-spesies endopsammon; 2)
adanya keterikatan hubungan interaktif di anta-
ra spesies-spesies endopsammon yang mengikat
mereka harus hadir bersama dalam suatu habi-
tat; dan 3) luasnya kisaran berbagai variabel e-
kologis yang ada dalam satu corak habitat, se-
hingga memungkinkan berbagai spesies hadir
dalam satu corak habitat.
Adanya kesamaan atau kemiripan sifat
biologis dan ekologis di antara spesies endo-
psammon dapat menyebabkan adanya kesama-
an atau kemiripan dalam hal daya toleransi ter-
hadap kisaran berbagai faktor fisik dan kimia
lingkungan. Adanya kesamaan dalam hal daya
toleransi terhadap faktor fisik dan kimia ini me-
nyebabkan beberapa spesies memiliki posisi
yang sama atau berdekatan dalam relung habi-
tat. Perlu diketahui bahwa disamping dapat me-
nimbulkan kemiripan dalam hal kebutuhan hi-
dup, daya adaptasi dan daya toleransi terhadap
faktor lingkungan, kemiripan sifat biologis dan
sifat ekologis ini juga dapat menimbulkan ke-
miripan dalam hal sifat-sifat ekofisiologi, sifat
ethologi dan sifat-sifat sosiobiologi di antara
spesies-spesies endopsammon. Munculnya sifat
sosiobiologi sebagai akibat persamaan atau ke-
miripan sifat biologi dan ekologi ini adalah hal
yang biasa pada semua jenis organisma (Ken-
deigh, 1975). Dengan adanya kemiripan sifat-
sifat ini maka akan terjadi kompatibilitas di an-
tara spesies, sehingga intensitas hubungannya
menjadi semakin kuat.
Di samping itu kesamaan sifat biologis
juga dapat menyebabkan kesamaan atau kemi-
ripan dalam struktur dan fisiologi pencernaan
sehingga membawa konsekuensi pada adanya
kesaamaan atau kemiripan jenis makanan yang
dibutuhkan. Hal ini menyebabkan beberapa spe-
sies memiliki posisi yang sama atau berdekatan
dalam relung trophik. Kesamaan atau kemiripan
relung trophik kerap kali membuat beberapa spe-
sies ada dalam relung habitat yang sama.
Terkait dengan adanya keterikatan inter-
aktif di antara beberapa spesies endopsammon,
keterikatan interaktif ini dapat mengarahkan be-
berapa spesies endopsammon untuk saling me-
nerima relung habitat dari spesies lainnya (Giere,
1993; Higgins dan Thiel, 1988). Dengan demi-
kian beberapa spesies dapat memiliki posisi yang
sama dalam relung habitat. Keterikatan interak-
tif ini dapat berupa hubungan symbiosis mutu-
alistik hubungan protokooperasi, hubungan kom-
94 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
petisi, hubungan predasi dan hubungan komen-
salistik (Odum, 1971; Kendeigh, 1975).
Bertalian dengan kisaran peubah ekolo-
gis, luasnya kisaran berbagai peubah ekologis
suatu habitat cenderung membuat habitat itu da-
pat menampung dan mendukung keberadaan
banyak spesies endopsammon. Corak habitat yang
demikian pada dasarnya terdiri atas beberapa
mikrohabitat yang mana masing-masing mikro-
habitat ini dapat dipandang sebagai pusat relung
untuk suatu spesies tertentu (Odum, 1971; Ken-
deigh, 1975). Pandangan mengenai corak habi-
tat dalam kaitannya dengan relung sangatlah re-
latif tergantung pada ukuran, sifat biologis dan
sifat ekologis endopsammon yang dibicarakan
relungnya.
Terkait dengan hubungan antara tingkat
kekerabatan spesies dengan tingkat tumpang tin-
dih relung habitat, hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa tingkat kekerabatan spesies memi-
liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum-
pang tindih relung habitat dalam komunitas en-
dopsammon. Berkaitan dengan kenyataan ini,
hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan ge-
netika dan evolusi dalam kaitannya dengan fak-
tor determinan dalam preferensi habitat.
Dalam hubungannya dengan genetika,
tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam-
mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat
kesamaan genetis diantara spesies endopsam-
mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di
antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke-
kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar-
ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa-
maan genetis di antara mereka, maka semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis diantara mereka karena pada ha-
kekatnya gen inilah yang menjadi faktor deter-
minan terhadap tampilan sifat biologis dan sifat
ekologis semua organisma termasuk endopsam-
mon (Muller in Carlson, 1967). Dengan demiki-
an, semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis endopsammon.
Sebagai hal yang bersifat mendasar, sifat
biologis dan sifat ekologis suatu spesies endo-
psammon merupakan faktor determinan ketika
suatu spesies endopsammon melakukan prefe-
rensi terhadap habitat. Dikatakan demikian ka-
rena kedua sifat ini merupakan penentu daya to-
leransi endopsammon terhadap kisaran berbagai
peubah ekologis seperti suhu, salinitas, pH, re-
doks potensial, kandungan oksigen, kadar polu-
tan, kadar H2S, tingkat kekeringan, tingkat ke-
lembaban, dan kadar tannin. Disamping itu, si-
fat biologis ini juga merupakan penentu dalam
hal preferensi jenis sumber daya makanan bagi
setiap jenis endopsammon. Dengan demikian,
semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin ba-
nyak persamaan dalam hal daya toleransi terha-
dap kisaran berbagai peubah ekologis dan juga
dalam hal pilihan sumber daya makanan. Hal
ini berarti semakin dekat tingkat kekerabatan di
antara mereka, semakin besar bagian relung ha-
bitat yang mereka pergunakan bersama.
Berdasarkan prinsip koevolusi, dua spesi-
es yang saling berinteraksi dalam jangka waktu
yang lama secara bersama-sama dapat meng-
alami koevolusi sehingga di antara satu dengan
lainnya dapat saling menyesuaikan sifat-sifatnya,
terutama sifat-sifat yang mengendalikan bentuk
tanggapan interaktif antara mereka (Thompson,
1982; Futuyma dan Slatkin, 1983). Dengan ada-
nya penyesuaian sifat di antara sejumlah spe-
sies, di antara sejumlah spesies terjadi penyesu-
aian kebutuhan terhadap corak habitat dan sum-
berdaya, sehingga dapat terjadi tumpang tindih
dalam hal relung habitat maupun relung tro-
phik. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan
spesies terhadap tumpang tindih relung ini sa-
ngatlah dapat dipahami karena menurut Thomp-
son (1982), proses koevolusi merupakan proses
yang dikendalikan oleh kelompok gen yang
bertalian erat yang memiliki fungsi bersama di
dalam kromosom.
Bertalian dengan asosiasi antar spesies
endopsammon, hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum terdapat asosiasi antar spe-
sies di dalam komunitas endopsammon yang a-
da dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Dengan adanya asosiasi ini, dapat diartikan bah-
wa di antara spesies-spesies yang membentuk
komunitas endopsammon itu terdapat jalinan
fungsional yang dapat melahirkan keterikatan
interaktif di antara mereka. Keterikatan inter-
aktif ini merupakan daya gabung yang cukup e-
fektif yang dapat membuat beberapa spesies en-
dopsammon untuk hadir bersama dalam suatu
habitat. Beberapa bentuk keterikatan interaktif
yang mendorong adanya asosiasi ini adalah
symbiosis, protokooperasi, kompetisi, predasi,
dan komensalisme (Odum, 1971; Krebs, 1978;
Kendeigh, 1975)
Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 95
Kalau dikaji lebih jauh tentang penyebab-
nya, adanya asosiasi ini dapat disebabkan oleh
dua faktor yaitu: 1) faktor internal yang berasal
dari endopsammon itu sendiri dan 2) faktor eks-
ternal yang berasal dari habitat endopsammon.
Yang dimaksudkan faktor internal adalah sifat
biologis dan ekologis endopsammon, sedang-
kan yang dimaksudkan faktor eksternal adalah
tingkat kemampuan habitat dalam menyediakan
pilihan berbagai kondisi lingkungan dan sum-
berdaya yang menjadi kebutuhan bagi endo-
psammon. Sifat biologis dan sifat ekologis yang
bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spe-
sies endopsammon memilih cara dan kebutuhan
hidup yang sama sehingga mereka cenderung a-
da bersama-sama dalam suatu habitat. Peluang
asosiasi antar spesies endopsammon sangat di-
tentukan oleh luas atau sempitnya kisaran ber-
bagai peubah ekologis yang menjadi penentu
kehadiran spesies endopsammon dalam suatu
habitat. Semakin luas kisaran peubah ekologis,
peluang hadirnya banyak spesies dalam satu co-
rak habitat semakin besar, dan ini berarti pelu-
ang adanya asosiasi di antara beberapa spesies
endopsammon menjadi semakin besar pula.
Terkait dengan hubungan antara tingkat
kekerabatan spesies dengan tingkat asosiasi spe-
sies, hasil penelitian menunjukkan bahwa ting-
kat kekerabatan spesies memiliki pengaruh yang
nyata terhadap tingkat asosiasi spesies dalam
komunitas endopsammon. Terkait dengan ke-
nyataan ini, dapat dijelaskan melalui pendekat-
an genetika dan evolusi dalam kaitannya de-
ngan faktor determinan dalam penentuan ting-
kat asosiasi di antara spesies endopsammon.
Dalam kaitannya dengan genetika, maka
tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam-
mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat
kesamaan genetis diantara spesies endopsam-
mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di
antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke-
kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar-
ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa-
maan genetis di antara mereka, maka semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis diantara mereka karena pada ha-
kekatnya gen inilah yang menjadi faktor de-
terminan terhadap tampilan sifat biologis dan
sifat ekologis dari semua organisma termasuk
endopsammon (Muller in Carlson, 1967). De-
ngan semakin banyaknya persamaan sifat bio-
logis dan sifat ekologis diantara spesies endo-
psammon itu, maka kompatibilitas fungsional
diantara mereka semakin besar, terutama dalam
proses-proses ekologis di dalam ekosistem ben-
thik. Kompatibilitas fungsional yang ada di an-
tara spesies ditandai dengan terbentuknya aso-
siasi diantara spesies. Menurut Futuyma dan
Slatkin (1983), asosiasi yang sangat dipenga-
ruhi tingkat kekerabatan spesies merupakan tipe
asosiasi berdasarkan faktor keturunan, se-
dangkan asosiasi yang tidak ada hubungannya
dengan tingkat kekerabatan spesies merupakan
tipe asosiasi berdasarkan kolonisasi (pendu-
dukan).
Bertalian dengan evolusi, maka ada dan
berlanjutnya asosiasi di antara spesies endo-
psammon dalam waktu yang lama merupakan
fenomena yang melibatkan proses koevolusi di
antara spesies-spesies endopsammon tersebut.
Menurut prinsip koevolusi, dua spesies atau le-
bih yang saling mengadakan interaksi dalam
jangka waktu yang lama secara bersama-sama
dapat mengalami koevolusi sehingga di antara
satu dengan yang lainnya dapat saling menye-
suaikan sifat-sifatnya, terutama sifat-sifat yang
mengendalikan bentuk tanggapan interaktif di
antara mereka (Thompson, 1982; Futuyma dan
Slatkin, 1983). Dengan adanya penyesuaian si-
fat di antara mereka, maka kompatibilitas di an-
tara mereka semakin besar sehingga derajat in-
teraksi yang terjadi di antara mereka semakin
kuat. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan spe-
sies terhadap asosiasi ini sangatlah dapat dipa-
hami karena menurut Thompson (1982), proses
koevolusi merupakan proses yang dikendalikan
oleh kelompok gen yang bertalian erat yang
memiliki fungsi bersama di dalam kromosom.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata koevolusi
terjadi pada berbagai bentuk asosiasi seperti
simbiosis mutualisme, komensalisme, kompeti-
si, predasi, parasitisme, dan amensalisme (Thomp-
son, 1982; Futuyma dan Slatkin, 1983).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam
penelitian serta dengan memperhatikan uraian
pembahasannya, dapat diambil beberapa kesim-
pulan yaitu: 1) terdapat tumpang tindih relung
dan asosiasi spesies di antara spesies-spesies yang
menyusun komunitas endopsammon di zone in-
tertidal dalam kawasan Taman Nasional Bali
Barat; dan 2) tingkat kekerabatan di antara spe-
sies-spesies endopsammon memiliki pengaruh
96 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
yang nyata terhadap tingkat tumpang tindih re-
lung dan tingkat asosiasi di antara spesies-spe-
sies endopsammon tersebut.
PUSTAKA
Arnold, P. W. and R. A. Birtles. 1989. Soft Sedimen
Marine Invertebrates of Southeast Asia and Aus-
tralia, A Guide to Identification. Australian Institute
of Marine Science,Townsville Australia.
Barry, J. M. 1964. Molecular Biology, Genes and the
Chemical Controll of Living Cells. Prentice Hall Inc,
New Jersey.
Carlson, E. A. 1967. Gene Theory, Dickenson Publishing
Company, California.
De Troch, M., F. Fiers, and M. Vincx, 2002. Niche Segre-
gation and Habitat Specialisation of Harpacticoid
Copepods In A Tropical Seagrass Bed, Journal of
Marine Biology, 142: 345-355.
Giere, O. 1993. Meiobenthology, the Microscopic Fauna
in Aquatic Sedimen. Springer-Verlag, Berlin.
Gosner, K. L. 1971. Guide to Identification of Marine
and Estuarine Invertebrates. A Wiley Interscience
Publication, New Jersey.
Higgins, R. P. dan H. Thiel. 1988. Introduction to the
Study of Meiofauna. Smithsonian Institution Press,
Washington.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology With Special Reference
to Animal and Man. Prentice Hall New Delhi.
Krebs, C. J. 1978. Ecology, The Experimental Analysis
of Distribution and Abundance. Harper and Row
Publisher, New York.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology, Harper Col-
lins Publishers, New York.
Lee, J. dan O. R. Anderson. 1991. Biology of Foramini-
fera. Academic Press London.
Ludwig, J. A. dan J. F. Reynold, 1988. Statistical Eco-
logy, A Primer On Methods and Computing. John
Wiley and Sons, New York.
Montagna, P. A., S. C. Jarvis. dan M. C. Kenicutt. 2002.
Distinguishing Between Contaminant and Reef Ef-
fect on Meiofauna Near Offshore Hydrocarbon
Platform in the Gulf of Mexico. Canadian Journal of
Fish Science, 59: 1584-1592.
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders
College Publishing, Philadelphia.
Sokal, R. R. dan F. J. Rohlf, 1987. Introduction to Bio-
statistics. W. H. Freeman and Company, New York.
Sudjana, 1989. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Ban-
dung.
Futuyma, P. J. dan M. Slatkin, M. 1983. Coevolution,
Sinauer Associates, Inc., Massachussets.
Thompson, J. N. 1982. Interaction and Coevolution,
John Wiley and Sons, Inc. New York.

More Related Content

Similar to Afinitas-spesies-pada-komunitas-endopsam-87f999f2.pdf

Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
AzkiyaBanata
 
Laporan ekosistem darat, buatan, perairan
Laporan ekosistem darat, buatan, perairanLaporan ekosistem darat, buatan, perairan
Laporan ekosistem darat, buatan, perairan
Firlita Nurul Kharisma
 
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANGKOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
Mustain Adinugroho
 
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANGKOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
Mustain Adinugroho
 
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdfEkosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
Dian631634
 
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docxEkosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
Dian631634
 
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiaeKajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
Yuga Rahmat S
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
erikakurnia
 

Similar to Afinitas-spesies-pada-komunitas-endopsam-87f999f2.pdf (20)

494 981-1-sm
494 981-1-sm494 981-1-sm
494 981-1-sm
 
Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
Laporan Praktikum Lapangan "Biota Asosiasi Lamun Pulau Pramuka"
 
KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON PADA HUTAN MANGROVE DI DESA PULAU SEMBILAN ...
KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON PADA HUTAN MANGROVE DI DESA PULAU SEMBILAN ...KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON PADA HUTAN MANGROVE DI DESA PULAU SEMBILAN ...
KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON PADA HUTAN MANGROVE DI DESA PULAU SEMBILAN ...
 
Laporan ekosistem darat, buatan, perairan
Laporan ekosistem darat, buatan, perairanLaporan ekosistem darat, buatan, perairan
Laporan ekosistem darat, buatan, perairan
 
Laporan estimasi populasi gastropoda dan makrobentos
Laporan estimasi populasi gastropoda dan makrobentosLaporan estimasi populasi gastropoda dan makrobentos
Laporan estimasi populasi gastropoda dan makrobentos
 
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANGKOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
 
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANGKOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANG
 
LingBis-Pertemuan-9-Ekologi & Bisnis.pptx
LingBis-Pertemuan-9-Ekologi & Bisnis.pptxLingBis-Pertemuan-9-Ekologi & Bisnis.pptx
LingBis-Pertemuan-9-Ekologi & Bisnis.pptx
 
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdfEkosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili.pdf
 
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDABIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
BIO-ECOLOGI KERANG LAMIS (Meretrix meretrix) DI PERAIRAN MARUNDA
 
MAKALAH PRODUKTIVITAS.docx
MAKALAH PRODUKTIVITAS.docxMAKALAH PRODUKTIVITAS.docx
MAKALAH PRODUKTIVITAS.docx
 
EKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUTEKOLOGI LAUT
EKOLOGI LAUT
 
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docxEkosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
Ekosistem_padang_lamun_Manfaat_Fungsi_dan_Rehabili-converted (3).docx
 
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiaeKajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
Kajian bioaktif-spons-laut-forifera-demospongiae
 
Ekosistem
EkosistemEkosistem
Ekosistem
 
Pikp modul04 sub sistem perairan tawar
Pikp modul04 sub sistem perairan tawarPikp modul04 sub sistem perairan tawar
Pikp modul04 sub sistem perairan tawar
 
Ekologi, Lingkungan, dan Ilmu Lingkungan
Ekologi, Lingkungan, dan Ilmu LingkunganEkologi, Lingkungan, dan Ilmu Lingkungan
Ekologi, Lingkungan, dan Ilmu Lingkungan
 
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaestimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
 
2 bl00848
2 bl008482 bl00848
2 bl00848
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
 

Afinitas-spesies-pada-komunitas-endopsam-87f999f2.pdf

  • 1. 89 AFINITAS SPESIES PADA KOMUNITAS ENDOPSAMMON DI ZONE INTERTIDAL DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT (Species Afinity on Endopsammon Community in Intertidal Zone in West Bali National Park) Ida Bagus Jelantik Swasta1 , Dedi Soedharma2 , Mennofatria Boer3 , dan Yusli Wardiatno4 ABSTRAK Sebagai benthos hewani yang berukuran kecil dan menghuni ruang-ruang interstisial, endopsammon memiliki peranan ekologis yang amat penting dalam ekosistem laut. Karena itu, mengkaji aspek ekologi en- dopsammon sangat menarik. Afinitas spesies merupakan salah satu aspek ekologi yang amat penting untuk dipelajari. Dua aspek afinitas spesies yang sangat penting untuk dikaji adalah tumpang tindih relung dan aso- siasi spesies khususnya dalam kaitannya dengan tingkat kekerabatan spesies dalam komunitas endopsammon. Dua tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui secara pasti apakah tumpang tindih relung dan asosiasi spesies terjadi dalam komunitas endopsammon dan 2) untuk mengetahui secara pasti apa- kah tingkat tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan di antara spesies endopsammon. Beberapa lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pantai Teluk Terima, pantai Labuhan Lalang, dan pantai Teluk Banyuwedang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat. Di semua lokasi ini dibuat 25 stasiun penelitian, dan di setiap stasiun contoh substrat diambil pada tiga tingkat kedalaman yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Contoh substrat diambil dengan menggunakan core, sedangkan ekstraksi contoh dilakukan dengan metode Uhlig, metode pembasuhan dan metode pengapungan. Spesimen yang didapat diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10 %, dan diwarnai dengan larutan Rose Bengal. Pengamatan dan identifikasi specimen dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Data yang didapat dianalisis dengan pendekatan statistik. Beberapa hasil dari penelitian ini adalah: 1) secara umum, di- antara spesies endopsammon terjadi tumpang tindih relung dan asosiasi, dan 2) tingkat tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan diantara spesies endopsammon. Kata kunci: endopsammon, tumpang tindih relung, asosiasi spesies. ABSTRACT As a small zoobenthos inhabiting interstitial spaces of the substrates, endopsammon play an important ecological role in ecological marine ecosystem. Based on that reason, to study about ecological aspect of en- dopsammon is very interesting. The species afinity is one ecological aspect which very important to be study. Two parts of species afinity which important to be study are niche overlap and species association, especially in related to taxonomic relation level between species in endopsammon community. Two objectives of this study are: 1) to know the occurance of niche overlap and species association in endopsammon community; and 2) to know whether niche overlap level and species association level is affected by taxonomic relation le- vel between endopsammon species. Some places were chosed in Teluk Terima beach, Labuhan Lalang beach, and Teluk Banyuwedang beach located in West Bali National Park area. In overall there were 25 stations of which each station was sampled for substrate at three different depths 0-5 cm, 5-10 cm, 10-15 cm especialy. Substrate was taken by core, whereas and the extraction of the substrate were using Uhlig method, elutriation method, and floating method. Specimens collected was preserved by 10% formalin solution and stained by Rose Bengal solution. Specimens were identified by microscope. After statistical test conducted, the results 1 Jurusan Biologi, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. 2 Bagian Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelaut- an, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 3 Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Mana- jemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke- lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 4 Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
  • 2. 90 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96 showed that 1) in general, there is niche overlap and species association in endopsammon, and 2) niche over- lap and species association level have affected by taxonomic relation level between endopsammon species. Key words: endopsammon, niche overlap, species association. PENDAHULUAN Sebagai bagian dari biota laut, endopsam- mon merupakan zoobenthos berukuran kecil yang berada dalam substrat pasir dan lumpur. Walau- pun secara ekonomi tidak memberikan manfaat langsung bagi manusia, namun secara ekologis endopsammon memiliki peranan yang amat pen- ting dalam ekosistem laut. Peranan penting yang dimaksud adalah: 1) sebagai salah satu mata ran- tai dalam rantai makanan pada ekosistem laut; 2) sebagai pelaku proses daur ulang dan remi- neralisasi material organik di dasar perairan; dan 3) sebagai rekanan interaktif biota benthos lainnya (Giere, 1993; Lee dan Anderson, 1991). Terkait dengan pentingnya peranan en- dopsammon dalam berbagai proses ekologis di dalam ekosistem laut, maka secara keilmuan su- dah sepantasnya endopsammon ini mendapat per- hatian yang layak seperti halnya biota-biota laut lainnya. Secara keilmuan banyak hal yang dapat dipelajari dari kehidupan endopsammon ini. Da- ri berbagai aspek yang menyangkut kehidupan endopsammon ini, aspek ekologis merupakan sa- lah satu aspek yang menarik untuk dikaji. Pan- dangan ini didasari tidak hanya oleh pemaham- an tentang adanya peranan ekologis endopsam- mon, tetapi juga oleh adanya fakta tentang per- kembangan benthologi yang mengarahkan endo- psammon untuk dijadikan bioindikator dalam menilai kondisi lingkungan perairan laut. Ber- bagai riset tentang toksikologi lingkungan telah mulai menempatkan endopsammon, khususnya aspek keragaman dan kelimpahannya sebagai indikator ada tidaknya pencemaran dalam ling- kungan perairan (Montagna et al, 2002). Terkait aspek ekologis dari komunitas en- dopsammon ini, salah satu aspek ekologis yang menarik untuk dikaji adalah aspek afinitas spe- sies. Dikatakan demikian karena aspek afinitas spesies ini belum banyak mendapat perhatian padahal dari aspek afinitas spesies dapat dipela- jari sifat-sifat suatu spesies dalam kaitannya de- ngan spesies lain dalam komunitas endopsam- mon. Dalam mengkaji aspek afinitas spesies ko- munitas endopsammon, permasalahan utama yang perlu mendapat perhatian adalah tumpang tin- dih relung dan asosiasi antar spesies endopsam- mon dalam kaitannya dengan tingkat kekerabat- an diantara spesies endopsammon. Ungkapan i- ni didasari dugaan bahwa di dalam komunitas endopsammon terjadi tumpang tindih relung dan asosiasi diantara spesies-spesies penyusun komunitas endopsammon itu. Di samping itu, dugaan lain yang ikut mendasari bahwa tingkat tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spe- sies sangat dipengaruhi oleh tingkat kekerabat- an diantara spesies endopsammon. Berhubungan dengan dugaan bahwa ting- kat kekerabatan diantara spesies dapat mempe- ngaruhi tingkat tumpang tindih relung dan ting- kat asosiasi spesies, sesungguhnya dugaan ini didasari dua hal yaitu: 1) adanya pemahaman tentang arti kekerabatan yang mencerminkan a- danya kesamaan genetis yang dapat diekspresi- kan dalam bentuk kesamaan struktur morpholo- gi, kesamaan fisiologis dan kesamaan prilaku; dan 2) adanya pemahaman bahwa kesamaan da- lam hal struktur, fisiologi dan prilaku cende- rung mengarahkan endopsammon untuk memi- lih habitat dan sumber daya yang sama. Jadi de- ngan menggabungkan kedua pemahaman di a- tas, dapatlah dipahami bagaimana tingkat keke- rabatan spesies dapat diduga mempengaruhi afi- nitas spesies dalam komunitas endopsammon. Berkaitan dengan pengkajian aspek tum- pang tindih relung dan asosiasi spesies endo- psammon, tujuan utama yang ingin dicapai ada- lah: 1) terungkapnya kepastian ada tidaknya tumpang tindih relung dan asosiasi spesies da- lam komunitas endopsammon dan 2) terung- kapnya kepastian pengaruh tingkat kekerabatan spesies terhadap tingkat tumpang tindih relung serta tingkat asosiasi spesies dalam komunitas endopsammon. Hasil kajian diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi ilmiah untuk pe- ngembangan ilmu khususnya di bidang ekologi endopsammon. Dalam kajian aspek tumpang tindih re- lung dan asosiasi spesies endopsammon, eko- sistem pantai dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat sangat baik dipilih sebagai wahana penelitian karena secara umum kondisinya ma- sih alami dan corak habitatnya sangat beragam bagi kehidupan endopsammon. Dengan memi-
  • 3. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 91 lih kawasan ini, secara tidak langsung dapat membantu pihak Taman Nasional Bali Barat dalam menginventaris sumber daya endopsam- mon yang ada di dalam kawasannya. BAHAN DAN METODE Lokasi, Waktu dan Metode Pengambilan Data Penelitian dilaksanakan di pantai Teluk Terima, pantai Labuhan Lalang, dan pantai Te- luk Banyuwedang yang semuanya terletak da- lam kawasan Taman Nasional Bali Barat. Pene- litian dilakukan antara Juli 2004 sampai De- sember 2005. Pada penelitian ini ditentukan 25 stasiun pengambilan contoh yang mewakili 25 corak habitat. Pada setiap stasiun ditentukan se- cara acak 3 titik pengambilan contoh dengan a- rah sejajar garis pantai. Pada setiap titik contoh diambil contoh substrat pada 3 tingkat kedalam- an yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Peng- ambilan contoh substrat dilakukan dengan meng- gunakan core yang terbuat dari pipa paralon ber- diameter 5 cm dan panjang 15 cm. Ekstraksi con- toh dilakukan dengan metode Uhlig yang di- kombinasikan dengan metode pembasuhan dan metode pengapungan. Dalam metode Uhlig, con- toh substrat diekstraksi dengan es air laut, sedang- kan pada metode pembasuhan dan pengapungan digunakan air laut yang telah disaring dengan jaring plankton. Hasil ekstraksi yang ditampung dalam botol diawetkan larutan formalin 10% dan diwarnai larutan Rose Bengal. Pengamatan dan identifikasi spesimen dilakukan dengan meng- gunakan mikroskop. Berbagai peubah abiotik yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, redoks potensial, oksigen terlarut, ukuran butiran sub- strat, kadar polutan minyak dan kadar zat orga- nik. Peubah abiotik ini diukur baik pada air laut maupun pada substrat. Gambar 1 menyajikan denah lokasi penelitian. Gambar 1. Denah Lokasi Penelitian dalam Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Metode Analisis Data Untuk menghitung tingkat tumpang tin- dih relung antar dua spesies endopsammon di- gunakan rumus indeks Pianka Overlap (PO) se- bagai berikut (Krebs, 1989): 2 2 aj bj ab aj bj p p PO p p = ∑ ∑ ∑ Untuk mengetahui indeks tumpang tindih relung secara umum dalam komunitas endo- psammon digunakan rumus general overlap GO = eE . Untuk mengkaji apakah terdapat tumpang tindih relung sempurna antara spesies dalam komunitas endopsammon perlu dihitung nilai sebaran khi-kuadrat (V) pada derajat bebas (df) (s-1)(r-1) dengan hubungan V = -2Tln(GO). Ji- ka nilai V melebihi nilai kritis Khi-kuadrat pada taraf nyata 5%, ini berarti ada tumpang tindih relung di antara spesies dalam komunitas endo- psammon. Bila nilai V lebih kecil atau sama de- ngan nilai kritis khi-kuadrat pada taraf nyata 5%, ini berarti tidak ada tumpang tindih relung antar spesies dalam komunitas endopsammon.
  • 4. 92 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96 Pengukuran tingkat asosiasi antar dua spe- sies endopsammon dilakukan dengan menghi- tung indeks asosiasi Jaccard dengan hubungan sebagai berikut (Ludwig dan Reynold, 1988). XY a IJ a b c = + + Untuk menguji ada tidaknya asosiasi pa- da banyak spesies endopsammon, perlu dihitung nilai sebaran khi-kuadrat (W) dengan hu-bung- an W = NVR. Bila nilai W terletak pada batas sebaran χ2 dengan kemungkinan 95% (χ2 0.025 N < W < χ2 0.975 N ) ini berarti tidak ada asosiasi spe- sies. Jika nilai W ada di luar batas sebaran χ2 dengan kemungkinan 95% (W<χ2 0.025N atau W > χ2 0.975 N ), ini berarti ada asosiasi spesies. Menentukan ada tidaknya pengaruh ting- kat kekerabatan spesies terhadap tingkat tum- pang tindih relung dan tingkat asosiasi antar spesies digunakan Analisis Ragam satu arah pa- da taraf nyata 5% (α = 0.05) ( Sokal dan Rohlf, 1987; Sudjana, 1989). Sebelum dianalisis de- ngan Sidik Ragam, data indeks tumpang tindih relung dan data indeks asosiasi dikelompokkan menjadi 6 kelompok berdasarkan tingkat keke- rabatan spesies. Ke enam kelompok yang di- maksud adalah: 1) kelompok A adalah kelom- pok indek pasangan yang berbeda spesies dalam genus yang sama; 2) kelompok B adalah kelom- pok indeks pasangan yang berbeda spesies dan genus dalam famili yang sama; 3) kelompok C adalah kelompok indeks pasangan yang berbeda spesies, genus, dan famili dalam ordo yang sa- ma; 4) kelompok D adalah kelompok indeks pa- sangan yang berbeda spesies, genus, familia, dan ordo dalam kelas yang sama; 5) kelompok E adalah kelompok indeks pasangan yang ber- beda spesies, genus, familia, ordo dan kelas da- lam filum yang sama; dan 6) kelompok F ada- lah kelompok indeks pasangan yang berbeda spesies, genus, famili, ordo, kelas dan filum da- lam kerajaan yang sama. HASIL Tumpang Tindih Relung Dengan menggunakan rumus tumpang tin- dih relung antar dua spesies dari Pianka, diper- oleh 10 731 nilai indeks tumpang tindih relung dari 10 731 kemungkinan pasangan spesies yang saling tumpang tindih. Berdasarkan hasil anali- sis terhadap data komposisi spesies dan kelim- pahan endopsammon di setiap stasiun di selu- ruh kedalaman, diperoleh nilai General Overlap (GO) sebesar 0.4305 dan nilai T = 2 269. Ber- dasarkan V = -2T ln GO, diperoleh nilai V (khi- kuadrat hitung) 3 824.66 yang melebihi nilai χ2 (khi-kuadrat tabel). Dengan demikian, secara u- mum terdapat tumpang tindih relung antara spe- sies yang satu dengan spesies yang lainnya di dalam komunitas endopsammon. Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap Tumpang Tindih Relung Berdasarkan enam kelompok data indeks tumpang tindih relung antar dua spesies endo- psammon menurut tingkat kekerabatan spesies, diperoleh profil pengelompokkan data indeks tumpang tindih relung menurut tingkat kekera- batan spesies yang disajikan pada Gambar 2. a b c d e f 0.0 0.5 1.0 Tingkat Kekerabatan Indek Pianka Overlap Gambar 2. Diagram Box Plot Enam Kelompok Data Indeks Tumpang Tindih Re- lung Berdasarkan Tingkat Kekera- batan Spesies Endopsammon. Berdasarkan analisis ragam terhadap e- nam kelompok data indeks tumpang tindih re- lung menurut tingkat kekerabatan, diperoleh sta- tistik F sebesar 3.11 (p<0.05) yang berarti ting- kat kekerabatan spesies endopsammon memi- liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum- pang tindih relung spesies endopsammon. Asosiasi Spesies Dengan menggunakan rumus asosiasi an- tar dua spesies dari Jaccard, diperoleh 10 731 nilai indeks asosiasi (Indeks Jaccard) dari 10 731 kemungkinan pasangan spesies yang saling di- perbandingkan. Berdasarkan hasil analisis ter- hadap data komposisi spesies dan kelimpahan endopsammon di setiap stasiun di seluruh keda- laman, diperoleh nilai ST 2 = 110.72 dan nilai σT 2 = 17.2096. Dengan hubungan VR=ST 2 /σT 2 ,
  • 5. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 93 diperoleh VR = 6.4336. Oleh karena W (khi kuadrat) = N x VR, dan N = 25, diperoleh W = 160.84 (p<0.05) yang berarti secara umum ada asosiasi antar spesies endopsammon. Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap Asosiasi Spesies Berdasarkan enam kelompok data indeks asosiasi antar dua spesies endopsammon menu- rut tingkat kekerabatan spesies diperoleh profil pengelompokkan data Indeks Jaccard berdasar- kan tingkat kekerabatan spesies seperti disaji- kan pada Gambar 3. f e d c b a 1.0 0.5 0.0 Tingkat Kekerabatan Indek Jaccard Gambar 3. Diagram Box Plot Enam Kelompok Data Indeks Jaccard Berdasarkan Tingkat Kekerabatan Spesies. Berdasarkan hasil analisis ragam terha- dap enam kelompok data Indeks Jaccard berda- sarkan tingkat kekerabatan spesies, diperoleh statistik F sebesar 5.72 (p < 0.05) yang berarti bahwa tingkat kekerabatan spesies endopsam- mon memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat asosiasi spesies endopsammon. PEMBAHASAN Dalam hubungannya dengan relung habi- tat, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tumpang tindih dalam hal re- lung habitat di antara spesies-spesies endo- psammon yang ada dalam kawasan Taman Na- sional Bali Barat. Hal ini menyiratkan bahwa ada bagian-bagian relung yang dipergunakan bersama oleh beberapa spesies endopsammon walaupun setiap spesies endopsammon memi- liki pusat relung sendiri-sendiri. Kalau ditinjau lebih jauh tentang penyebabnya, maka penye- bab tumpang tindih relung ini adalah: 1) adanya kesamaan atau kemiripan sifat biologis dan eko- logis diantara spesies-spesies endopsammon; 2) adanya keterikatan hubungan interaktif di anta- ra spesies-spesies endopsammon yang mengikat mereka harus hadir bersama dalam suatu habi- tat; dan 3) luasnya kisaran berbagai variabel e- kologis yang ada dalam satu corak habitat, se- hingga memungkinkan berbagai spesies hadir dalam satu corak habitat. Adanya kesamaan atau kemiripan sifat biologis dan ekologis di antara spesies endo- psammon dapat menyebabkan adanya kesama- an atau kemiripan dalam hal daya toleransi ter- hadap kisaran berbagai faktor fisik dan kimia lingkungan. Adanya kesamaan dalam hal daya toleransi terhadap faktor fisik dan kimia ini me- nyebabkan beberapa spesies memiliki posisi yang sama atau berdekatan dalam relung habi- tat. Perlu diketahui bahwa disamping dapat me- nimbulkan kemiripan dalam hal kebutuhan hi- dup, daya adaptasi dan daya toleransi terhadap faktor lingkungan, kemiripan sifat biologis dan sifat ekologis ini juga dapat menimbulkan ke- miripan dalam hal sifat-sifat ekofisiologi, sifat ethologi dan sifat-sifat sosiobiologi di antara spesies-spesies endopsammon. Munculnya sifat sosiobiologi sebagai akibat persamaan atau ke- miripan sifat biologi dan ekologi ini adalah hal yang biasa pada semua jenis organisma (Ken- deigh, 1975). Dengan adanya kemiripan sifat- sifat ini maka akan terjadi kompatibilitas di an- tara spesies, sehingga intensitas hubungannya menjadi semakin kuat. Di samping itu kesamaan sifat biologis juga dapat menyebabkan kesamaan atau kemi- ripan dalam struktur dan fisiologi pencernaan sehingga membawa konsekuensi pada adanya kesaamaan atau kemiripan jenis makanan yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan beberapa spe- sies memiliki posisi yang sama atau berdekatan dalam relung trophik. Kesamaan atau kemiripan relung trophik kerap kali membuat beberapa spe- sies ada dalam relung habitat yang sama. Terkait dengan adanya keterikatan inter- aktif di antara beberapa spesies endopsammon, keterikatan interaktif ini dapat mengarahkan be- berapa spesies endopsammon untuk saling me- nerima relung habitat dari spesies lainnya (Giere, 1993; Higgins dan Thiel, 1988). Dengan demi- kian beberapa spesies dapat memiliki posisi yang sama dalam relung habitat. Keterikatan interak- tif ini dapat berupa hubungan symbiosis mutu- alistik hubungan protokooperasi, hubungan kom-
  • 6. 94 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96 petisi, hubungan predasi dan hubungan komen- salistik (Odum, 1971; Kendeigh, 1975). Bertalian dengan kisaran peubah ekolo- gis, luasnya kisaran berbagai peubah ekologis suatu habitat cenderung membuat habitat itu da- pat menampung dan mendukung keberadaan banyak spesies endopsammon. Corak habitat yang demikian pada dasarnya terdiri atas beberapa mikrohabitat yang mana masing-masing mikro- habitat ini dapat dipandang sebagai pusat relung untuk suatu spesies tertentu (Odum, 1971; Ken- deigh, 1975). Pandangan mengenai corak habi- tat dalam kaitannya dengan relung sangatlah re- latif tergantung pada ukuran, sifat biologis dan sifat ekologis endopsammon yang dibicarakan relungnya. Terkait dengan hubungan antara tingkat kekerabatan spesies dengan tingkat tumpang tin- dih relung habitat, hasil penelitian menunjuk- kan bahwa tingkat kekerabatan spesies memi- liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum- pang tindih relung habitat dalam komunitas en- dopsammon. Berkaitan dengan kenyataan ini, hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan ge- netika dan evolusi dalam kaitannya dengan fak- tor determinan dalam preferensi habitat. Dalam hubungannya dengan genetika, tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam- mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat kesamaan genetis diantara spesies endopsam- mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke- kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar- ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa- maan genetis di antara mereka, maka semakin banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan sifat ekologis diantara mereka karena pada ha- kekatnya gen inilah yang menjadi faktor deter- minan terhadap tampilan sifat biologis dan sifat ekologis semua organisma termasuk endopsam- mon (Muller in Carlson, 1967). Dengan demiki- an, semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan sifat ekologis endopsammon. Sebagai hal yang bersifat mendasar, sifat biologis dan sifat ekologis suatu spesies endo- psammon merupakan faktor determinan ketika suatu spesies endopsammon melakukan prefe- rensi terhadap habitat. Dikatakan demikian ka- rena kedua sifat ini merupakan penentu daya to- leransi endopsammon terhadap kisaran berbagai peubah ekologis seperti suhu, salinitas, pH, re- doks potensial, kandungan oksigen, kadar polu- tan, kadar H2S, tingkat kekeringan, tingkat ke- lembaban, dan kadar tannin. Disamping itu, si- fat biologis ini juga merupakan penentu dalam hal preferensi jenis sumber daya makanan bagi setiap jenis endopsammon. Dengan demikian, semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin ba- nyak persamaan dalam hal daya toleransi terha- dap kisaran berbagai peubah ekologis dan juga dalam hal pilihan sumber daya makanan. Hal ini berarti semakin dekat tingkat kekerabatan di antara mereka, semakin besar bagian relung ha- bitat yang mereka pergunakan bersama. Berdasarkan prinsip koevolusi, dua spesi- es yang saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama secara bersama-sama dapat meng- alami koevolusi sehingga di antara satu dengan lainnya dapat saling menyesuaikan sifat-sifatnya, terutama sifat-sifat yang mengendalikan bentuk tanggapan interaktif antara mereka (Thompson, 1982; Futuyma dan Slatkin, 1983). Dengan ada- nya penyesuaian sifat di antara sejumlah spe- sies, di antara sejumlah spesies terjadi penyesu- aian kebutuhan terhadap corak habitat dan sum- berdaya, sehingga dapat terjadi tumpang tindih dalam hal relung habitat maupun relung tro- phik. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan spesies terhadap tumpang tindih relung ini sa- ngatlah dapat dipahami karena menurut Thomp- son (1982), proses koevolusi merupakan proses yang dikendalikan oleh kelompok gen yang bertalian erat yang memiliki fungsi bersama di dalam kromosom. Bertalian dengan asosiasi antar spesies endopsammon, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat asosiasi antar spe- sies di dalam komunitas endopsammon yang a- da dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat. Dengan adanya asosiasi ini, dapat diartikan bah- wa di antara spesies-spesies yang membentuk komunitas endopsammon itu terdapat jalinan fungsional yang dapat melahirkan keterikatan interaktif di antara mereka. Keterikatan inter- aktif ini merupakan daya gabung yang cukup e- fektif yang dapat membuat beberapa spesies en- dopsammon untuk hadir bersama dalam suatu habitat. Beberapa bentuk keterikatan interaktif yang mendorong adanya asosiasi ini adalah symbiosis, protokooperasi, kompetisi, predasi, dan komensalisme (Odum, 1971; Krebs, 1978; Kendeigh, 1975)
  • 7. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 95 Kalau dikaji lebih jauh tentang penyebab- nya, adanya asosiasi ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: 1) faktor internal yang berasal dari endopsammon itu sendiri dan 2) faktor eks- ternal yang berasal dari habitat endopsammon. Yang dimaksudkan faktor internal adalah sifat biologis dan ekologis endopsammon, sedang- kan yang dimaksudkan faktor eksternal adalah tingkat kemampuan habitat dalam menyediakan pilihan berbagai kondisi lingkungan dan sum- berdaya yang menjadi kebutuhan bagi endo- psammon. Sifat biologis dan sifat ekologis yang bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spe- sies endopsammon memilih cara dan kebutuhan hidup yang sama sehingga mereka cenderung a- da bersama-sama dalam suatu habitat. Peluang asosiasi antar spesies endopsammon sangat di- tentukan oleh luas atau sempitnya kisaran ber- bagai peubah ekologis yang menjadi penentu kehadiran spesies endopsammon dalam suatu habitat. Semakin luas kisaran peubah ekologis, peluang hadirnya banyak spesies dalam satu co- rak habitat semakin besar, dan ini berarti pelu- ang adanya asosiasi di antara beberapa spesies endopsammon menjadi semakin besar pula. Terkait dengan hubungan antara tingkat kekerabatan spesies dengan tingkat asosiasi spe- sies, hasil penelitian menunjukkan bahwa ting- kat kekerabatan spesies memiliki pengaruh yang nyata terhadap tingkat asosiasi spesies dalam komunitas endopsammon. Terkait dengan ke- nyataan ini, dapat dijelaskan melalui pendekat- an genetika dan evolusi dalam kaitannya de- ngan faktor determinan dalam penentuan ting- kat asosiasi di antara spesies endopsammon. Dalam kaitannya dengan genetika, maka tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam- mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat kesamaan genetis diantara spesies endopsam- mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke- kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar- ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa- maan genetis di antara mereka, maka semakin banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan sifat ekologis diantara mereka karena pada ha- kekatnya gen inilah yang menjadi faktor de- terminan terhadap tampilan sifat biologis dan sifat ekologis dari semua organisma termasuk endopsammon (Muller in Carlson, 1967). De- ngan semakin banyaknya persamaan sifat bio- logis dan sifat ekologis diantara spesies endo- psammon itu, maka kompatibilitas fungsional diantara mereka semakin besar, terutama dalam proses-proses ekologis di dalam ekosistem ben- thik. Kompatibilitas fungsional yang ada di an- tara spesies ditandai dengan terbentuknya aso- siasi diantara spesies. Menurut Futuyma dan Slatkin (1983), asosiasi yang sangat dipenga- ruhi tingkat kekerabatan spesies merupakan tipe asosiasi berdasarkan faktor keturunan, se- dangkan asosiasi yang tidak ada hubungannya dengan tingkat kekerabatan spesies merupakan tipe asosiasi berdasarkan kolonisasi (pendu- dukan). Bertalian dengan evolusi, maka ada dan berlanjutnya asosiasi di antara spesies endo- psammon dalam waktu yang lama merupakan fenomena yang melibatkan proses koevolusi di antara spesies-spesies endopsammon tersebut. Menurut prinsip koevolusi, dua spesies atau le- bih yang saling mengadakan interaksi dalam jangka waktu yang lama secara bersama-sama dapat mengalami koevolusi sehingga di antara satu dengan yang lainnya dapat saling menye- suaikan sifat-sifatnya, terutama sifat-sifat yang mengendalikan bentuk tanggapan interaktif di antara mereka (Thompson, 1982; Futuyma dan Slatkin, 1983). Dengan adanya penyesuaian si- fat di antara mereka, maka kompatibilitas di an- tara mereka semakin besar sehingga derajat in- teraksi yang terjadi di antara mereka semakin kuat. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan spe- sies terhadap asosiasi ini sangatlah dapat dipa- hami karena menurut Thompson (1982), proses koevolusi merupakan proses yang dikendalikan oleh kelompok gen yang bertalian erat yang memiliki fungsi bersama di dalam kromosom. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata koevolusi terjadi pada berbagai bentuk asosiasi seperti simbiosis mutualisme, komensalisme, kompeti- si, predasi, parasitisme, dan amensalisme (Thomp- son, 1982; Futuyma dan Slatkin, 1983). KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian serta dengan memperhatikan uraian pembahasannya, dapat diambil beberapa kesim- pulan yaitu: 1) terdapat tumpang tindih relung dan asosiasi spesies di antara spesies-spesies yang menyusun komunitas endopsammon di zone in- tertidal dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat; dan 2) tingkat kekerabatan di antara spe- sies-spesies endopsammon memiliki pengaruh
  • 8. 96 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96 yang nyata terhadap tingkat tumpang tindih re- lung dan tingkat asosiasi di antara spesies-spe- sies endopsammon tersebut. PUSTAKA Arnold, P. W. and R. A. Birtles. 1989. Soft Sedimen Marine Invertebrates of Southeast Asia and Aus- tralia, A Guide to Identification. Australian Institute of Marine Science,Townsville Australia. Barry, J. M. 1964. Molecular Biology, Genes and the Chemical Controll of Living Cells. Prentice Hall Inc, New Jersey. Carlson, E. A. 1967. Gene Theory, Dickenson Publishing Company, California. De Troch, M., F. Fiers, and M. Vincx, 2002. Niche Segre- gation and Habitat Specialisation of Harpacticoid Copepods In A Tropical Seagrass Bed, Journal of Marine Biology, 142: 345-355. Giere, O. 1993. Meiobenthology, the Microscopic Fauna in Aquatic Sedimen. Springer-Verlag, Berlin. Gosner, K. L. 1971. Guide to Identification of Marine and Estuarine Invertebrates. A Wiley Interscience Publication, New Jersey. Higgins, R. P. dan H. Thiel. 1988. Introduction to the Study of Meiofauna. Smithsonian Institution Press, Washington. Kendeigh, S. C. 1980. Ecology With Special Reference to Animal and Man. Prentice Hall New Delhi. Krebs, C. J. 1978. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row Publisher, New York. Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology, Harper Col- lins Publishers, New York. Lee, J. dan O. R. Anderson. 1991. Biology of Foramini- fera. Academic Press London. Ludwig, J. A. dan J. F. Reynold, 1988. Statistical Eco- logy, A Primer On Methods and Computing. John Wiley and Sons, New York. Montagna, P. A., S. C. Jarvis. dan M. C. Kenicutt. 2002. Distinguishing Between Contaminant and Reef Ef- fect on Meiofauna Near Offshore Hydrocarbon Platform in the Gulf of Mexico. Canadian Journal of Fish Science, 59: 1584-1592. Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders College Publishing, Philadelphia. Sokal, R. R. dan F. J. Rohlf, 1987. Introduction to Bio- statistics. W. H. Freeman and Company, New York. Sudjana, 1989. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Ban- dung. Futuyma, P. J. dan M. Slatkin, M. 1983. Coevolution, Sinauer Associates, Inc., Massachussets. Thompson, J. N. 1982. Interaction and Coevolution, John Wiley and Sons, Inc. New York.