Tiga kalimat:
Studi ini mengkaji afinitas spesies pada komunitas endopsammon di tiga pantai di Taman Nasional Bali Barat dengan tujuan mengetahui adanya tumpang tindih relung dan asosiasi spesies serta pengaruh tingkat kekerabatan spesies. Sampel substrat diambil dari tiga kedalaman dan dianalisis menggunakan indeks Pianka dan Jaccard untuk mengukur tumpang tindih relung dan asosiasi. Hasilnya menunj
Struktur komunitas juvenil ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan perair...Mujiyanto -
Ekosistem lamun sangat berperan dalam kelangsungan hidup juvenil ikan, dimana padang lamun sebagai daerah asuhan (nursery ground) merupakan tempat yang tepat bagi biota-biota laut yang masih muda atau masih dalam tahap juvenil untuk bertahan hidup. Kelimpahan dan struktur komunitas juvenile ikan pada ekosistem lamun dapat berubah-ubah menurut waktu, dan dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas juvenil ikan di padang lamun pada kawasan perairan Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Penelitian dilakukan pada bulan Juni, September dan Desember 2012 (Musim Timur, Peralihan dan Barat). Pengambilan sampel juvenil ikan diambil dengan small beam trawl di lima stasiun penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling method. Selanjutnya pengambilan sampel lamun menggunakan metode transek kuadran 1x1 meter. Hasil penelitian menunjukan bahwa juvenil ikan di padang lamun dalam 3 kali sampling berhasil didapat 683 individu, terdiri dari 16 famili dengan 42 spesiesi. Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,25-4,74 dimana indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun Pulau Kembar sbesar 4,74 dengan 15 spesies. Hal ini juga didukung oleh persentase penutupan lamun tertinggi di stasiun Pulau Kembar sebesar 99,80 %.
Struktur komunitas polychaeta pada ekosistem padang lamun pulau parang karimu...Mujiyanto -
Taman Nasional Karimunjawa tersusun atas 3 komponen ekosistem utama, yaitu; ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiganya merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme, sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground), ataupun tempat memijah (spawning ground). Di antara ketiga ekosistem tersebut, padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup biota-biota laut. Cacing laut (kelas Polychaeta) merupakan salah satu biota yang berasosiasi dengan padang lamun. Polychaeta berperan penting sebagai makanan hewan perairan dasar seperti ikan dan udang, pemakan hasil dekomposisi serasah lamun, pemakan bangkai, atau sebagai pemakan bahan organik partikulat, dan sangat baik sebagai indikator perairan karena memiliki jenis dan cara hidup yang sangat beragam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2012 hingga Juni 2013 pada 3 lokasi di Pulau Parang (P. Kembar, Batu Merah, dan P. Kumbang). Metode yang digunakan dalam pengamatan lamun adalah metode visual menggunakan transek kuadran 1x1 m, sedangkan pengambilan sampel Polychaeta dilakukan menggunakan PVC corer (d = 6 cm, t = 50 cm). Sampel yang diperoleh disaring menggunakan saringan berukuran 0,5 mm kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi formalin (10%) yang dicampur dengan Rose Bengal (1 gram/20 liter) untuk memberikan warna pada sitoplasma sehingga memudahkan pemilahan di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 30 jenis Polychaeta dari 15 famili dan 967 individu. Indeks Keanekaragaman (H') termasuk dalam kategori sedang dengan kisaran 2.22 – 2.86. Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0.69 – 0.88,yang termasuk kategori sedang dan tinggi. Sedangkan Indeks Dominansi (C) berkisar antara 0.08 – 0.15 yang menunjukkan bahwa komunitas Polychaeta pada ekosistem padang lamun Pulau Parang cenderung stabil, dan tidak ada jenis yang mendominasi.
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Mujiyanto -
Gastropoda adalah salah satu kelas moluska yang sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove. Di ekosistem ini, gastropoda berperan dalam membantu proses dekomposisi serasah. Informasi tentang struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di Kawasan Desa Parang belum ada, sehingga perlu adanya kajian tentang struktur komunitas gastropoda di kawasan tersebut sebagai acuan untuk pengelolaan. Pada bulan Juni-Desember 2012 telah dilakukan penelitian tentang struktur komunitas gastropoda di Kawasan Desa Parang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang ditemukan 29 jenis dari 16 famili gastropoda. Kelimpahan rata-rata gastropoda berkisar antara 2,10–18,85 ind/m 2 . Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,35–1,45 yang termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Nilai Indeks Keseragaman masuk dalam kategori rendah sampai tinggi dengan nilai berkisar antara 0,12–0,62 dan kisaran Indeks Dominasi antara 0,50–0,84 masuk dalam kategori terdapat spesies yang mendominasi. Littoraria scabra adalah jenis gastropoda yang mendominasi di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang.
Struktur komunitas juvenil ikan pada ekosistem padang lamun di kawasan perair...Mujiyanto -
Ekosistem lamun sangat berperan dalam kelangsungan hidup juvenil ikan, dimana padang lamun sebagai daerah asuhan (nursery ground) merupakan tempat yang tepat bagi biota-biota laut yang masih muda atau masih dalam tahap juvenil untuk bertahan hidup. Kelimpahan dan struktur komunitas juvenile ikan pada ekosistem lamun dapat berubah-ubah menurut waktu, dan dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas juvenil ikan di padang lamun pada kawasan perairan Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Penelitian dilakukan pada bulan Juni, September dan Desember 2012 (Musim Timur, Peralihan dan Barat). Pengambilan sampel juvenil ikan diambil dengan small beam trawl di lima stasiun penelitian dengan menggunakan metode purposive sampling method. Selanjutnya pengambilan sampel lamun menggunakan metode transek kuadran 1x1 meter. Hasil penelitian menunjukan bahwa juvenil ikan di padang lamun dalam 3 kali sampling berhasil didapat 683 individu, terdiri dari 16 famili dengan 42 spesiesi. Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,25-4,74 dimana indeks keanekaragaman tertinggi pada stasiun Pulau Kembar sbesar 4,74 dengan 15 spesies. Hal ini juga didukung oleh persentase penutupan lamun tertinggi di stasiun Pulau Kembar sebesar 99,80 %.
Struktur komunitas polychaeta pada ekosistem padang lamun pulau parang karimu...Mujiyanto -
Taman Nasional Karimunjawa tersusun atas 3 komponen ekosistem utama, yaitu; ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove. Ketiganya merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme, sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground), ataupun tempat memijah (spawning ground). Di antara ketiga ekosistem tersebut, padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup biota-biota laut. Cacing laut (kelas Polychaeta) merupakan salah satu biota yang berasosiasi dengan padang lamun. Polychaeta berperan penting sebagai makanan hewan perairan dasar seperti ikan dan udang, pemakan hasil dekomposisi serasah lamun, pemakan bangkai, atau sebagai pemakan bahan organik partikulat, dan sangat baik sebagai indikator perairan karena memiliki jenis dan cara hidup yang sangat beragam. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Desember 2012 hingga Juni 2013 pada 3 lokasi di Pulau Parang (P. Kembar, Batu Merah, dan P. Kumbang). Metode yang digunakan dalam pengamatan lamun adalah metode visual menggunakan transek kuadran 1x1 m, sedangkan pengambilan sampel Polychaeta dilakukan menggunakan PVC corer (d = 6 cm, t = 50 cm). Sampel yang diperoleh disaring menggunakan saringan berukuran 0,5 mm kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi formalin (10%) yang dicampur dengan Rose Bengal (1 gram/20 liter) untuk memberikan warna pada sitoplasma sehingga memudahkan pemilahan di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 30 jenis Polychaeta dari 15 famili dan 967 individu. Indeks Keanekaragaman (H') termasuk dalam kategori sedang dengan kisaran 2.22 – 2.86. Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0.69 – 0.88,yang termasuk kategori sedang dan tinggi. Sedangkan Indeks Dominansi (C) berkisar antara 0.08 – 0.15 yang menunjukkan bahwa komunitas Polychaeta pada ekosistem padang lamun Pulau Parang cenderung stabil, dan tidak ada jenis yang mendominasi.
Struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di kawasan desa parang,...Mujiyanto -
Gastropoda adalah salah satu kelas moluska yang sangat mudah ditemukan di ekosistem mangrove. Di ekosistem ini, gastropoda berperan dalam membantu proses dekomposisi serasah. Informasi tentang struktur komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove di Kawasan Desa Parang belum ada, sehingga perlu adanya kajian tentang struktur komunitas gastropoda di kawasan tersebut sebagai acuan untuk pengelolaan. Pada bulan Juni-Desember 2012 telah dilakukan penelitian tentang struktur komunitas gastropoda di Kawasan Desa Parang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang ditemukan 29 jenis dari 16 famili gastropoda. Kelimpahan rata-rata gastropoda berkisar antara 2,10–18,85 ind/m 2 . Indeks keanekaragaman berkisar antara 0,35–1,45 yang termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Nilai Indeks Keseragaman masuk dalam kategori rendah sampai tinggi dengan nilai berkisar antara 0,12–0,62 dan kisaran Indeks Dominasi antara 0,50–0,84 masuk dalam kategori terdapat spesies yang mendominasi. Littoraria scabra adalah jenis gastropoda yang mendominasi di ekosistem mangrove Kawasan Desa Parang.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANGMustain Adinugroho
Abstrak: Teluk Semarang merupakan teluk yang terbentang dari Kabupaten Kendal, hingga Kabupaten Demak . Teluk Semarang merupakan teluk terbesar di pantai utara Jawa Tengah dan tercatat terdapat 29 aliran sungai bermuara ke teluk ini. Banyak aktifitas manusia seperti industri, pemukiman dan pelabuhan bermuara di teluk ini yag berpotensi menjadi tekanan ingkungan bagi organisme yang hidup di teluk ini. Plankton merupakan organisme yang hidup di perairan dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan merupakan sumber makanan alami bagi ikan dan organisme laut lainnya. Mengkaji kelimpahan dan indeks diversitas plankton menjadi tujuan dari penelitian ini. Penelitian dilakukan pada bulan SeptemberOktober 2014 pada 15 stasiun. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, dengan interval waktu 2 minggu. Hasil menunjukkan bahwa jenis fitoplankton terdiri dari 6 kelas dan 37 genera sedangkan zooplankton yang ditemukan terdiri dari 6 kelas dan 32 genera. Kelimpahan fitoplankton lebih banyak daripada zooplankton dan memiliki kecederungan hubungan yang berbanding terbalik. Indeks diversitas fitoplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat rendah hingga sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis tidak sama dan terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu. Indeks diversitas zooplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis sama dan tidak terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu
Kata Kunci: plankton, distribusi dan komposisi, teluk Semarang
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANGMustain Adinugroho
Abstract: Semarang bay is a bay that stretches from Kendal to Demak. This bay has some vital habitats such as estuaries and mangroves that very importance for nursery ground of aquatic organisms such as fish larvae. Fish larvae is dependent by the environment, especially their movement and migration. However human factors such as industrial activities, harbours, residential area, farms and ponds disembogue in this bay. Sampling was conducted between September and October 2014 at 15 stations. Sampling was carried out every two weeks using bongo net (mesh size of 0.2 mm) which was drawn by boat with average speeds of 0.5 m/s for 10 minutes. Identification of fish larvae carried out in Environmental dan Fisheries Resources Management Laboratory, Diponegoro University. 5890 fish larvaes from 22 family were caught and were dominated by Lactarius (36.01%), Stoleporus (28.30%), Atherinomorus (9.80%), Engraulis (7.22%) and Mugil (4.96 %). A small number of fish larvae caught (below 1%) were identified as Gobiopterus, Paramoncanthus, Tylosurus, Leiognathus, Strongylura and Dinematichthyini. Lactarius, Atherinomorus, Stolephorus, Engraulis and Mugil were found in almost every stations. An abundance of fish larvae was found in station E1, C1, D1 and A1, stations that were close to estuaries and mangrove vegetation. The type and number of fish larvae was quite varied, this is related to the migration of fish and having appropriate environmental conditions for growth. The existence of fish larvae are also influenced by the currents that distribute them. PCA analysis results indicate that the total variance explained was 63.56% with an abundance of fish larvae being related to depth, salinity, abundance of zooplankton and phytoplankton and current speed.
Keywords: pelagic fish larvae, composition, distribution, bay
Hal yang dipelajari oleh para ahli Ekologi
Konsep Ekologi
Prinsip-prinsip Ekologi
Jenis-jenis Ekologi
Ekologi Politik & Politik Ekologi
Ekonomi Ekologi
ANALISIS DAMPAK DAN SOLUSI HUJAN ASAM: PENGARUH PEMBAKARAN BAHAN BAKAR FOSIL ...d1051231079
Hujan asam merupakan kombinasi ringan dari asam sulfat dan asam nitrat. Hujan asam biasanya terjadi di daerah-daerah yang padat penduduk dan banyaknya aktivitas manusia dalam kegiatan transportasi. Emisi gas SO2 dan NO2 yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi merupakan penyebab terjadinya peristiwa hujan asam apabila emisi gas tersebut bereaksi dengan air hujan, dimana senyawa yang bersifat asam terbentuk. Emisi gas SO2 dan NO2 yang berasal dari aktivitas manusia dapat berubah menjadi nitrat (NO3 - ) dan sulfat (SO4 2-) melalui proses fisika dan kimia yang kompleks. Sulfat dan nitrat lebih banyak berbentuk asam yang terlarut dalam air hujan. Keasaman air hujan berhubungan erat dengan konsentrasi SO2 dan NO2 yang terlarut di dalam air hujan. Semakin tinggi konsentrasi SO2 dan NO2 , maka dapat mengakibatkan nilai keasaman air hujan semakin asam .Deposisi asam yang berasal dari emisi antropogenik SO2 dan NOx , memiliki pengaruh besar pada biogeokimia, dan menyebabkan pengasaman tanah dan air permukaan, eutrofikasi ekosistem darat dan air dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak wilayah.
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN TELUK SEMARANGMustain Adinugroho
Abstrak: Teluk Semarang merupakan teluk yang terbentang dari Kabupaten Kendal, hingga Kabupaten Demak . Teluk Semarang merupakan teluk terbesar di pantai utara Jawa Tengah dan tercatat terdapat 29 aliran sungai bermuara ke teluk ini. Banyak aktifitas manusia seperti industri, pemukiman dan pelabuhan bermuara di teluk ini yag berpotensi menjadi tekanan ingkungan bagi organisme yang hidup di teluk ini. Plankton merupakan organisme yang hidup di perairan dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan dan merupakan sumber makanan alami bagi ikan dan organisme laut lainnya. Mengkaji kelimpahan dan indeks diversitas plankton menjadi tujuan dari penelitian ini. Penelitian dilakukan pada bulan SeptemberOktober 2014 pada 15 stasiun. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, dengan interval waktu 2 minggu. Hasil menunjukkan bahwa jenis fitoplankton terdiri dari 6 kelas dan 37 genera sedangkan zooplankton yang ditemukan terdiri dari 6 kelas dan 32 genera. Kelimpahan fitoplankton lebih banyak daripada zooplankton dan memiliki kecederungan hubungan yang berbanding terbalik. Indeks diversitas fitoplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat rendah hingga sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis tidak sama dan terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu. Indeks diversitas zooplankton menunjukkan tingkat keragaman, kesetabilan komunitas dan tekanan lingkungan berada pada tingkat sedang, tingkat keseragaman jumlah tiap jenis sama dan tidak terdapat kecenderungan dominasi jenis tertentu
Kata Kunci: plankton, distribusi dan komposisi, teluk Semarang
KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI LARVA PELAGIS IKAN DI PERAIRAN TELUK SEMARANGMustain Adinugroho
Abstract: Semarang bay is a bay that stretches from Kendal to Demak. This bay has some vital habitats such as estuaries and mangroves that very importance for nursery ground of aquatic organisms such as fish larvae. Fish larvae is dependent by the environment, especially their movement and migration. However human factors such as industrial activities, harbours, residential area, farms and ponds disembogue in this bay. Sampling was conducted between September and October 2014 at 15 stations. Sampling was carried out every two weeks using bongo net (mesh size of 0.2 mm) which was drawn by boat with average speeds of 0.5 m/s for 10 minutes. Identification of fish larvae carried out in Environmental dan Fisheries Resources Management Laboratory, Diponegoro University. 5890 fish larvaes from 22 family were caught and were dominated by Lactarius (36.01%), Stoleporus (28.30%), Atherinomorus (9.80%), Engraulis (7.22%) and Mugil (4.96 %). A small number of fish larvae caught (below 1%) were identified as Gobiopterus, Paramoncanthus, Tylosurus, Leiognathus, Strongylura and Dinematichthyini. Lactarius, Atherinomorus, Stolephorus, Engraulis and Mugil were found in almost every stations. An abundance of fish larvae was found in station E1, C1, D1 and A1, stations that were close to estuaries and mangrove vegetation. The type and number of fish larvae was quite varied, this is related to the migration of fish and having appropriate environmental conditions for growth. The existence of fish larvae are also influenced by the currents that distribute them. PCA analysis results indicate that the total variance explained was 63.56% with an abundance of fish larvae being related to depth, salinity, abundance of zooplankton and phytoplankton and current speed.
Keywords: pelagic fish larvae, composition, distribution, bay
Hal yang dipelajari oleh para ahli Ekologi
Konsep Ekologi
Prinsip-prinsip Ekologi
Jenis-jenis Ekologi
Ekologi Politik & Politik Ekologi
Ekonomi Ekologi
ANALISIS DAMPAK DAN SOLUSI HUJAN ASAM: PENGARUH PEMBAKARAN BAHAN BAKAR FOSIL ...d1051231079
Hujan asam merupakan kombinasi ringan dari asam sulfat dan asam nitrat. Hujan asam biasanya terjadi di daerah-daerah yang padat penduduk dan banyaknya aktivitas manusia dalam kegiatan transportasi. Emisi gas SO2 dan NO2 yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi merupakan penyebab terjadinya peristiwa hujan asam apabila emisi gas tersebut bereaksi dengan air hujan, dimana senyawa yang bersifat asam terbentuk. Emisi gas SO2 dan NO2 yang berasal dari aktivitas manusia dapat berubah menjadi nitrat (NO3 - ) dan sulfat (SO4 2-) melalui proses fisika dan kimia yang kompleks. Sulfat dan nitrat lebih banyak berbentuk asam yang terlarut dalam air hujan. Keasaman air hujan berhubungan erat dengan konsentrasi SO2 dan NO2 yang terlarut di dalam air hujan. Semakin tinggi konsentrasi SO2 dan NO2 , maka dapat mengakibatkan nilai keasaman air hujan semakin asam .Deposisi asam yang berasal dari emisi antropogenik SO2 dan NOx , memiliki pengaruh besar pada biogeokimia, dan menyebabkan pengasaman tanah dan air permukaan, eutrofikasi ekosistem darat dan air dan penurunan keanekaragaman hayati di banyak wilayah.
Hasil dari #INC4 #TraktatPlastik, #plastictreaty masih saja banyak reaksi ketidak puasan, tetapi seluruh negara anggota PBB bertekad melanjutkan putaran negosiasi
berikutnya: #INC5 di bulan November 2024 di Busan Korea Selatan
Cerita sukses desa-desa di Pasuruan kelola sampah dan hasilkan PAD ratusan juta adalah info inspiratif bagi khalayak yang berdiam di perdesaan
.
#PartisipasiASN dalam #bebersihsampah nyata biarpun tidak banyak informasinya
DAMPAK PIRIT ANTARA MANFAAT DAN BAHAYA BAGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN.pdfd1051231033
Tanah merupakan bagian terpenting dalam bidang pertanian, peranan tanah juga sangat kompleks bagi media perakaran tanaman. Tanah mampu menopang dan menyediakan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Tanah tersusun dari bahan mineral, bahan organik, udara dan air. Bahan mineral tersusun dari hasil aktivitas pelapukan bebatuan, sedangkan bahan organik berasal dari pelapukan serasah tumbuhan akibat adanya aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Salah satu jenis tanah adalah tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam ini keberadaannya di daerah rawa pasang surut. Sering kali tanah sulfat masam dijumpai pada lahan gambut terdegradasi yang mengakibatkan tanah mengandung pirit (FeS2) naik kepermukaan. Tanah sulfat masam yang mengandung pirit ini juga mengganggu pertumbuhan tanaman. Terganggunya pertumbuhan tanaman menyebabkan lahan ini nantinya akan ditinggalkan petani bila tidak dilakukan usaha perbaikan atau menjadi lahan bongkor.
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...muhammadnoorhasby04
Gas rumah kaca memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim Bumi melalui mekanisme efek rumah kaca. Fenomena ini alami dan esensial untuk menjaga suhu Bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian intensif, telah memperkuat efek ini, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang signifikan.Pemanasan global membawa dampak luas pada berbagai aspek lingkungan, termasuk suhu rata-rata global, pola cuaca, kenaikan permukaan laut, serta frekuensi dan intensitas fenomena cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan. Dampak ini juga meluas ke ekosistem alami, menyebabkan gangguan pada habitat, distribusi spesies, dan interaksi ekologi, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh peningkatan gas rumah kaca dan perubahan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Langkah-langkah mitigasi meliputi transisi ke sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di sisi lain, langkah-langkah adaptasi mencakup pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir.Selain itu, mengurangi konsumsi daging, memanfaatkan metode kompos, dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak gas rumah kaca.Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme dan dampak dari efek rumah kaca, serta melalui kolaborasi global yang kuat dan langkah-langkah konkret yang efektif, kita dapat melindungi planet kita dan memastikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
Pengelolaan Lahan Gambut Sebagai Media Tanam Dan Implikasinya Terhadap Konser...d1051231053
Gambut merupakan tanah yang memiliki karakteristik unik. Lahan gambut yang begitu luas di beberapa pulau besar di Indonesia, menjadikan pengelolaan lahan gambut sering dilakukan, terutama dalam peralihan fungsi menjadi perkebunan, pertanian, hingga pemukiman. Pada studi kasus ini lebih berfokus pada degradasi lahan gambut menjadi media tanam, proses, dampak, serta upaya pemulihan dampak yang dihasilkan dari degradasi lahan gambut tersebut
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAN STRATEGI ...d1051231039
Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang unik dan penting secara global. Terbentuk dari endapan bahan organik yang terdekomposisi selama ribuan tahun, lahan gambut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, serta mengatur siklus air. Kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya habitat, degradasi lingkungan, dan penurunan kesuburan tanah. Kerusakan lahan gambut di Indonesia telah meningkat seiring waktu, dengan laju deforestasi dan degradasi lahan gambut yang signifikan. Menurut data, sekitar 70% dari lahan gambut di Indonesia telah rusak, dan angka tersebut terus meningkat. Kerusakan lahan gambut memiliki dampak yang luas dan serius, tidak hanya secara lokal tetapi juga global. Selain menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan yang khas bagi ekosistem gambut, kerusakan lahan gambut juga melepaskan jumlah karbon yang signifikan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global.Kerusakan lahan gambut memiliki dampak negatif yang luas pada masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Dalam jangka panjang, kerusakan lahan gambut dapat menyebabkan hilangnya sumber daya alam, penurunan kesuburan tanah, dan peningkatan risiko bencana alam.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistemd1051231041
Pirit merupakan zat di dalam tanah yang terbawa karena adanya arus pasang surut. Zat ini dapat membahayakan ekosistem sekitar apabila mengalami reaksi oksidasi dan penyebab utama mengapa tanah menjadi masam, karena mengandung senyawa besi dan belerang. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan, dampak, peran, pengaruh, hingga upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah ekosistem yang terjadi.
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfBrigittaBelva
Berada dalam kerangka Mata Kuliah Riset Periklanan, tim peneliti menganalisis penggunaan pendekatan "fear appeal" atau memicu rasa takut dalam kampanye #TogetherPossible yang dilakukan oleh World Wide Fund (WWF) untuk mengedukasi masyarakat tentang isu lingkungan.
Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis konten media sosial WWF, observasi, dan analisis naratif. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memberikan strategi nyata untuk meningkatkan keterlibatan dan dampak kampanye serupa di masa depan.
“ANALISIS DINAMIKA DAN KONDISI ATMOSFER AKIBAT PENINGKATAN POLUTAN DAN EMISI...aisyrahadatul14
Pencemaran udara adalah pelepasan zat-zat berbahaya ke atmosfer, seperti polusi industri, kendaraan bermotor, dan pembakaran sampah. Dampaknya terhadap lingkungan sangat serius. Udara yang tercemar dapat merusak lapisan ozon, memicu perubahan iklim, dan mengurangi kualitas udara yang kita hirup setiap hari. Bagi makhluk hidup, pencemaran udara dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan, iritasi mata, dan bahkan kematian. Lingkungan juga terdampak dengan terganggunya ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati.
DAMPAK KEBAKARAN LAHAN GAMBUT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KESEHATAN MASYARAKAT.pdfd1051231031
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan seperti pepohonan maupun semak-semak, kemudian api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan (Ground fire), membakar bahan organicmelalui pori-pori gambut dan melalui akar semak belukar ataupun pohon yang bagian atasnya terbakar. Selanjutnya api menjalar secara vertical dan horizontal berbentuk seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang Nampak di atas permukaan, yang sering dikenal dengan kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan yang bersifat masiv. Oleh karena peristiwa kebakaran tersebut terjadi di bawah tanah dan tidak nampak di permukaanselain itu tanahnya merupakan tanah basah/gambut yang mengandung air maka proses kegiatan pemadamannya tentu akan menimbulkan kesulitan.
1. 89
AFINITAS SPESIES PADA KOMUNITAS ENDOPSAMMON
DI ZONE INTERTIDAL
DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT
(Species Afinity on Endopsammon Community in Intertidal Zone in West Bali National Park)
Ida Bagus Jelantik Swasta1
, Dedi Soedharma2
,
Mennofatria Boer3
, dan Yusli Wardiatno4
ABSTRAK
Sebagai benthos hewani yang berukuran kecil dan menghuni ruang-ruang interstisial, endopsammon
memiliki peranan ekologis yang amat penting dalam ekosistem laut. Karena itu, mengkaji aspek ekologi en-
dopsammon sangat menarik. Afinitas spesies merupakan salah satu aspek ekologi yang amat penting untuk
dipelajari. Dua aspek afinitas spesies yang sangat penting untuk dikaji adalah tumpang tindih relung dan aso-
siasi spesies khususnya dalam kaitannya dengan tingkat kekerabatan spesies dalam komunitas endopsammon.
Dua tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui secara pasti apakah tumpang tindih
relung dan asosiasi spesies terjadi dalam komunitas endopsammon dan 2) untuk mengetahui secara pasti apa-
kah tingkat tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan di antara
spesies endopsammon. Beberapa lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pantai Teluk Terima,
pantai Labuhan Lalang, dan pantai Teluk Banyuwedang yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bali
Barat. Di semua lokasi ini dibuat 25 stasiun penelitian, dan di setiap stasiun contoh substrat diambil pada tiga
tingkat kedalaman yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Contoh substrat diambil dengan menggunakan core,
sedangkan ekstraksi contoh dilakukan dengan metode Uhlig, metode pembasuhan dan metode pengapungan.
Spesimen yang didapat diawetkan dengan menggunakan larutan formalin 10 %, dan diwarnai dengan larutan
Rose Bengal. Pengamatan dan identifikasi specimen dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Data yang
didapat dianalisis dengan pendekatan statistik. Beberapa hasil dari penelitian ini adalah: 1) secara umum, di-
antara spesies endopsammon terjadi tumpang tindih relung dan asosiasi, dan 2) tingkat tumpang tindih relung
dan tingkat asosiasi spesies dipengaruhi oleh tingkat kekerabatan diantara spesies endopsammon.
Kata kunci: endopsammon, tumpang tindih relung, asosiasi spesies.
ABSTRACT
As a small zoobenthos inhabiting interstitial spaces of the substrates, endopsammon play an important
ecological role in ecological marine ecosystem. Based on that reason, to study about ecological aspect of en-
dopsammon is very interesting. The species afinity is one ecological aspect which very important to be study.
Two parts of species afinity which important to be study are niche overlap and species association, especially
in related to taxonomic relation level between species in endopsammon community. Two objectives of this
study are: 1) to know the occurance of niche overlap and species association in endopsammon community;
and 2) to know whether niche overlap level and species association level is affected by taxonomic relation le-
vel between endopsammon species. Some places were chosed in Teluk Terima beach, Labuhan Lalang beach,
and Teluk Banyuwedang beach located in West Bali National Park area. In overall there were 25 stations of
which each station was sampled for substrate at three different depths 0-5 cm, 5-10 cm, 10-15 cm especialy.
Substrate was taken by core, whereas and the extraction of the substrate were using Uhlig method, elutriation
method, and floating method. Specimens collected was preserved by 10% formalin solution and stained by
Rose Bengal solution. Specimens were identified by microscope. After statistical test conducted, the results
1
Jurusan Biologi, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja,
Bali.
2
Bagian Biologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelaut-
an, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
3
Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan, Departemen Mana-
jemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke-
lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
4
Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
2. 90 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
showed that 1) in general, there is niche overlap and species association in endopsammon, and 2) niche over-
lap and species association level have affected by taxonomic relation level between endopsammon species.
Key words: endopsammon, niche overlap, species association.
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari biota laut, endopsam-
mon merupakan zoobenthos berukuran kecil yang
berada dalam substrat pasir dan lumpur. Walau-
pun secara ekonomi tidak memberikan manfaat
langsung bagi manusia, namun secara ekologis
endopsammon memiliki peranan yang amat pen-
ting dalam ekosistem laut. Peranan penting yang
dimaksud adalah: 1) sebagai salah satu mata ran-
tai dalam rantai makanan pada ekosistem laut;
2) sebagai pelaku proses daur ulang dan remi-
neralisasi material organik di dasar perairan;
dan 3) sebagai rekanan interaktif biota benthos
lainnya (Giere, 1993; Lee dan Anderson, 1991).
Terkait dengan pentingnya peranan en-
dopsammon dalam berbagai proses ekologis di
dalam ekosistem laut, maka secara keilmuan su-
dah sepantasnya endopsammon ini mendapat per-
hatian yang layak seperti halnya biota-biota laut
lainnya. Secara keilmuan banyak hal yang dapat
dipelajari dari kehidupan endopsammon ini. Da-
ri berbagai aspek yang menyangkut kehidupan
endopsammon ini, aspek ekologis merupakan sa-
lah satu aspek yang menarik untuk dikaji. Pan-
dangan ini didasari tidak hanya oleh pemaham-
an tentang adanya peranan ekologis endopsam-
mon, tetapi juga oleh adanya fakta tentang per-
kembangan benthologi yang mengarahkan endo-
psammon untuk dijadikan bioindikator dalam
menilai kondisi lingkungan perairan laut. Ber-
bagai riset tentang toksikologi lingkungan telah
mulai menempatkan endopsammon, khususnya
aspek keragaman dan kelimpahannya sebagai
indikator ada tidaknya pencemaran dalam ling-
kungan perairan (Montagna et al, 2002).
Terkait aspek ekologis dari komunitas en-
dopsammon ini, salah satu aspek ekologis yang
menarik untuk dikaji adalah aspek afinitas spe-
sies. Dikatakan demikian karena aspek afinitas
spesies ini belum banyak mendapat perhatian
padahal dari aspek afinitas spesies dapat dipela-
jari sifat-sifat suatu spesies dalam kaitannya de-
ngan spesies lain dalam komunitas endopsam-
mon. Dalam mengkaji aspek afinitas spesies ko-
munitas endopsammon, permasalahan utama yang
perlu mendapat perhatian adalah tumpang tin-
dih relung dan asosiasi antar spesies endopsam-
mon dalam kaitannya dengan tingkat kekerabat-
an diantara spesies endopsammon. Ungkapan i-
ni didasari dugaan bahwa di dalam komunitas
endopsammon terjadi tumpang tindih relung
dan asosiasi diantara spesies-spesies penyusun
komunitas endopsammon itu. Di samping itu,
dugaan lain yang ikut mendasari bahwa tingkat
tumpang tindih relung dan tingkat asosiasi spe-
sies sangat dipengaruhi oleh tingkat kekerabat-
an diantara spesies endopsammon.
Berhubungan dengan dugaan bahwa ting-
kat kekerabatan diantara spesies dapat mempe-
ngaruhi tingkat tumpang tindih relung dan ting-
kat asosiasi spesies, sesungguhnya dugaan ini
didasari dua hal yaitu: 1) adanya pemahaman
tentang arti kekerabatan yang mencerminkan a-
danya kesamaan genetis yang dapat diekspresi-
kan dalam bentuk kesamaan struktur morpholo-
gi, kesamaan fisiologis dan kesamaan prilaku;
dan 2) adanya pemahaman bahwa kesamaan da-
lam hal struktur, fisiologi dan prilaku cende-
rung mengarahkan endopsammon untuk memi-
lih habitat dan sumber daya yang sama. Jadi de-
ngan menggabungkan kedua pemahaman di a-
tas, dapatlah dipahami bagaimana tingkat keke-
rabatan spesies dapat diduga mempengaruhi afi-
nitas spesies dalam komunitas endopsammon.
Berkaitan dengan pengkajian aspek tum-
pang tindih relung dan asosiasi spesies endo-
psammon, tujuan utama yang ingin dicapai ada-
lah: 1) terungkapnya kepastian ada tidaknya
tumpang tindih relung dan asosiasi spesies da-
lam komunitas endopsammon dan 2) terung-
kapnya kepastian pengaruh tingkat kekerabatan
spesies terhadap tingkat tumpang tindih relung
serta tingkat asosiasi spesies dalam komunitas
endopsammon. Hasil kajian diharapkan dapat
bermanfaat sebagai informasi ilmiah untuk pe-
ngembangan ilmu khususnya di bidang ekologi
endopsammon.
Dalam kajian aspek tumpang tindih re-
lung dan asosiasi spesies endopsammon, eko-
sistem pantai dalam kawasan Taman Nasional
Bali Barat sangat baik dipilih sebagai wahana
penelitian karena secara umum kondisinya ma-
sih alami dan corak habitatnya sangat beragam
bagi kehidupan endopsammon. Dengan memi-
3. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 91
lih kawasan ini, secara tidak langsung dapat
membantu pihak Taman Nasional Bali Barat
dalam menginventaris sumber daya endopsam-
mon yang ada di dalam kawasannya.
BAHAN DAN METODE
Lokasi, Waktu dan Metode Pengambilan Data
Penelitian dilaksanakan di pantai Teluk
Terima, pantai Labuhan Lalang, dan pantai Te-
luk Banyuwedang yang semuanya terletak da-
lam kawasan Taman Nasional Bali Barat. Pene-
litian dilakukan antara Juli 2004 sampai De-
sember 2005. Pada penelitian ini ditentukan 25
stasiun pengambilan contoh yang mewakili 25
corak habitat. Pada setiap stasiun ditentukan se-
cara acak 3 titik pengambilan contoh dengan a-
rah sejajar garis pantai. Pada setiap titik contoh
diambil contoh substrat pada 3 tingkat kedalam-
an yaitu 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Peng-
ambilan contoh substrat dilakukan dengan meng-
gunakan core yang terbuat dari pipa paralon ber-
diameter 5 cm dan panjang 15 cm. Ekstraksi con-
toh dilakukan dengan metode Uhlig yang di-
kombinasikan dengan metode pembasuhan dan
metode pengapungan. Dalam metode Uhlig, con-
toh substrat diekstraksi dengan es air laut, sedang-
kan pada metode pembasuhan dan pengapungan
digunakan air laut yang telah disaring dengan
jaring plankton. Hasil ekstraksi yang ditampung
dalam botol diawetkan larutan formalin 10% dan
diwarnai larutan Rose Bengal. Pengamatan dan
identifikasi spesimen dilakukan dengan meng-
gunakan mikroskop. Berbagai peubah abiotik
yang diukur adalah suhu, salinitas, pH, redoks
potensial, oksigen terlarut, ukuran butiran sub-
strat, kadar polutan minyak dan kadar zat orga-
nik. Peubah abiotik ini diukur baik pada air laut
maupun pada substrat. Gambar 1 menyajikan
denah lokasi penelitian.
Gambar 1. Denah Lokasi Penelitian dalam Kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Metode Analisis Data
Untuk menghitung tingkat tumpang tin-
dih relung antar dua spesies endopsammon di-
gunakan rumus indeks Pianka Overlap (PO) se-
bagai berikut (Krebs, 1989):
2 2
aj bj
ab
aj bj
p p
PO
p p
=
∑
∑ ∑
Untuk mengetahui indeks tumpang tindih
relung secara umum dalam komunitas endo-
psammon digunakan rumus general overlap GO
= eE
. Untuk mengkaji apakah terdapat tumpang
tindih relung sempurna antara spesies dalam
komunitas endopsammon perlu dihitung nilai
sebaran khi-kuadrat (V) pada derajat bebas (df)
(s-1)(r-1) dengan hubungan V = -2Tln(GO). Ji-
ka nilai V melebihi nilai kritis Khi-kuadrat pada
taraf nyata 5%, ini berarti ada tumpang tindih
relung di antara spesies dalam komunitas endo-
psammon. Bila nilai V lebih kecil atau sama de-
ngan nilai kritis khi-kuadrat pada taraf nyata
5%, ini berarti tidak ada tumpang tindih relung
antar spesies dalam komunitas endopsammon.
4. 92 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
Pengukuran tingkat asosiasi antar dua spe-
sies endopsammon dilakukan dengan menghi-
tung indeks asosiasi Jaccard dengan hubungan
sebagai berikut (Ludwig dan Reynold, 1988).
XY
a
IJ
a b c
=
+ +
Untuk menguji ada tidaknya asosiasi pa-
da banyak spesies endopsammon, perlu dihitung
nilai sebaran khi-kuadrat (W) dengan hu-bung-
an W = NVR. Bila nilai W terletak pada batas
sebaran χ2
dengan kemungkinan 95% (χ2
0.025 N <
W < χ2
0.975 N ) ini berarti tidak ada asosiasi spe-
sies. Jika nilai W ada di luar batas sebaran χ2
dengan kemungkinan 95% (W<χ2
0.025N atau W
> χ2
0.975 N ), ini berarti ada asosiasi spesies.
Menentukan ada tidaknya pengaruh ting-
kat kekerabatan spesies terhadap tingkat tum-
pang tindih relung dan tingkat asosiasi antar
spesies digunakan Analisis Ragam satu arah pa-
da taraf nyata 5% (α = 0.05) ( Sokal dan Rohlf,
1987; Sudjana, 1989). Sebelum dianalisis de-
ngan Sidik Ragam, data indeks tumpang tindih
relung dan data indeks asosiasi dikelompokkan
menjadi 6 kelompok berdasarkan tingkat keke-
rabatan spesies. Ke enam kelompok yang di-
maksud adalah: 1) kelompok A adalah kelom-
pok indek pasangan yang berbeda spesies dalam
genus yang sama; 2) kelompok B adalah kelom-
pok indeks pasangan yang berbeda spesies dan
genus dalam famili yang sama; 3) kelompok C
adalah kelompok indeks pasangan yang berbeda
spesies, genus, dan famili dalam ordo yang sa-
ma; 4) kelompok D adalah kelompok indeks pa-
sangan yang berbeda spesies, genus, familia,
dan ordo dalam kelas yang sama; 5) kelompok
E adalah kelompok indeks pasangan yang ber-
beda spesies, genus, familia, ordo dan kelas da-
lam filum yang sama; dan 6) kelompok F ada-
lah kelompok indeks pasangan yang berbeda
spesies, genus, famili, ordo, kelas dan filum da-
lam kerajaan yang sama.
HASIL
Tumpang Tindih Relung
Dengan menggunakan rumus tumpang tin-
dih relung antar dua spesies dari Pianka, diper-
oleh 10 731 nilai indeks tumpang tindih relung
dari 10 731 kemungkinan pasangan spesies yang
saling tumpang tindih. Berdasarkan hasil anali-
sis terhadap data komposisi spesies dan kelim-
pahan endopsammon di setiap stasiun di selu-
ruh kedalaman, diperoleh nilai General Overlap
(GO) sebesar 0.4305 dan nilai T = 2 269. Ber-
dasarkan V = -2T ln GO, diperoleh nilai V (khi-
kuadrat hitung) 3 824.66 yang melebihi nilai χ2
(khi-kuadrat tabel). Dengan demikian, secara u-
mum terdapat tumpang tindih relung antara spe-
sies yang satu dengan spesies yang lainnya di
dalam komunitas endopsammon.
Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap
Tumpang Tindih Relung
Berdasarkan enam kelompok data indeks
tumpang tindih relung antar dua spesies endo-
psammon menurut tingkat kekerabatan spesies,
diperoleh profil pengelompokkan data indeks
tumpang tindih relung menurut tingkat kekera-
batan spesies yang disajikan pada Gambar 2.
a
b
c
d
e
f
0.0
0.5
1.0
Tingkat Kekerabatan
Indek
Pianka
Overlap
Gambar 2. Diagram Box Plot Enam Kelompok
Data Indeks Tumpang Tindih Re-
lung Berdasarkan Tingkat Kekera-
batan Spesies Endopsammon.
Berdasarkan analisis ragam terhadap e-
nam kelompok data indeks tumpang tindih re-
lung menurut tingkat kekerabatan, diperoleh sta-
tistik F sebesar 3.11 (p<0.05) yang berarti ting-
kat kekerabatan spesies endopsammon memi-
liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum-
pang tindih relung spesies endopsammon.
Asosiasi Spesies
Dengan menggunakan rumus asosiasi an-
tar dua spesies dari Jaccard, diperoleh 10 731
nilai indeks asosiasi (Indeks Jaccard) dari 10 731
kemungkinan pasangan spesies yang saling di-
perbandingkan. Berdasarkan hasil analisis ter-
hadap data komposisi spesies dan kelimpahan
endopsammon di setiap stasiun di seluruh keda-
laman, diperoleh nilai ST
2
= 110.72 dan nilai
σT
2
= 17.2096. Dengan hubungan VR=ST
2
/σT
2
,
5. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 93
diperoleh VR = 6.4336. Oleh karena W (khi
kuadrat) = N x VR, dan N = 25, diperoleh W =
160.84 (p<0.05) yang berarti secara umum ada
asosiasi antar spesies endopsammon.
Pengaruh Kekerabatan Spesies Terhadap
Asosiasi Spesies
Berdasarkan enam kelompok data indeks
asosiasi antar dua spesies endopsammon menu-
rut tingkat kekerabatan spesies diperoleh profil
pengelompokkan data Indeks Jaccard berdasar-
kan tingkat kekerabatan spesies seperti disaji-
kan pada Gambar 3.
f
e
d
c
b
a
1.0
0.5
0.0
Tingkat Kekerabatan
Indek
Jaccard
Gambar 3. Diagram Box Plot Enam Kelompok
Data Indeks Jaccard Berdasarkan
Tingkat Kekerabatan Spesies.
Berdasarkan hasil analisis ragam terha-
dap enam kelompok data Indeks Jaccard berda-
sarkan tingkat kekerabatan spesies, diperoleh
statistik F sebesar 5.72 (p < 0.05) yang berarti
bahwa tingkat kekerabatan spesies endopsam-
mon memiliki pengaruh yang nyata terhadap
tingkat asosiasi spesies endopsammon.
PEMBAHASAN
Dalam hubungannya dengan relung habi-
tat, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
umum terdapat tumpang tindih dalam hal re-
lung habitat di antara spesies-spesies endo-
psammon yang ada dalam kawasan Taman Na-
sional Bali Barat. Hal ini menyiratkan bahwa
ada bagian-bagian relung yang dipergunakan
bersama oleh beberapa spesies endopsammon
walaupun setiap spesies endopsammon memi-
liki pusat relung sendiri-sendiri. Kalau ditinjau
lebih jauh tentang penyebabnya, maka penye-
bab tumpang tindih relung ini adalah: 1) adanya
kesamaan atau kemiripan sifat biologis dan eko-
logis diantara spesies-spesies endopsammon; 2)
adanya keterikatan hubungan interaktif di anta-
ra spesies-spesies endopsammon yang mengikat
mereka harus hadir bersama dalam suatu habi-
tat; dan 3) luasnya kisaran berbagai variabel e-
kologis yang ada dalam satu corak habitat, se-
hingga memungkinkan berbagai spesies hadir
dalam satu corak habitat.
Adanya kesamaan atau kemiripan sifat
biologis dan ekologis di antara spesies endo-
psammon dapat menyebabkan adanya kesama-
an atau kemiripan dalam hal daya toleransi ter-
hadap kisaran berbagai faktor fisik dan kimia
lingkungan. Adanya kesamaan dalam hal daya
toleransi terhadap faktor fisik dan kimia ini me-
nyebabkan beberapa spesies memiliki posisi
yang sama atau berdekatan dalam relung habi-
tat. Perlu diketahui bahwa disamping dapat me-
nimbulkan kemiripan dalam hal kebutuhan hi-
dup, daya adaptasi dan daya toleransi terhadap
faktor lingkungan, kemiripan sifat biologis dan
sifat ekologis ini juga dapat menimbulkan ke-
miripan dalam hal sifat-sifat ekofisiologi, sifat
ethologi dan sifat-sifat sosiobiologi di antara
spesies-spesies endopsammon. Munculnya sifat
sosiobiologi sebagai akibat persamaan atau ke-
miripan sifat biologi dan ekologi ini adalah hal
yang biasa pada semua jenis organisma (Ken-
deigh, 1975). Dengan adanya kemiripan sifat-
sifat ini maka akan terjadi kompatibilitas di an-
tara spesies, sehingga intensitas hubungannya
menjadi semakin kuat.
Di samping itu kesamaan sifat biologis
juga dapat menyebabkan kesamaan atau kemi-
ripan dalam struktur dan fisiologi pencernaan
sehingga membawa konsekuensi pada adanya
kesaamaan atau kemiripan jenis makanan yang
dibutuhkan. Hal ini menyebabkan beberapa spe-
sies memiliki posisi yang sama atau berdekatan
dalam relung trophik. Kesamaan atau kemiripan
relung trophik kerap kali membuat beberapa spe-
sies ada dalam relung habitat yang sama.
Terkait dengan adanya keterikatan inter-
aktif di antara beberapa spesies endopsammon,
keterikatan interaktif ini dapat mengarahkan be-
berapa spesies endopsammon untuk saling me-
nerima relung habitat dari spesies lainnya (Giere,
1993; Higgins dan Thiel, 1988). Dengan demi-
kian beberapa spesies dapat memiliki posisi yang
sama dalam relung habitat. Keterikatan interak-
tif ini dapat berupa hubungan symbiosis mutu-
alistik hubungan protokooperasi, hubungan kom-
6. 94 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
petisi, hubungan predasi dan hubungan komen-
salistik (Odum, 1971; Kendeigh, 1975).
Bertalian dengan kisaran peubah ekolo-
gis, luasnya kisaran berbagai peubah ekologis
suatu habitat cenderung membuat habitat itu da-
pat menampung dan mendukung keberadaan
banyak spesies endopsammon. Corak habitat yang
demikian pada dasarnya terdiri atas beberapa
mikrohabitat yang mana masing-masing mikro-
habitat ini dapat dipandang sebagai pusat relung
untuk suatu spesies tertentu (Odum, 1971; Ken-
deigh, 1975). Pandangan mengenai corak habi-
tat dalam kaitannya dengan relung sangatlah re-
latif tergantung pada ukuran, sifat biologis dan
sifat ekologis endopsammon yang dibicarakan
relungnya.
Terkait dengan hubungan antara tingkat
kekerabatan spesies dengan tingkat tumpang tin-
dih relung habitat, hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa tingkat kekerabatan spesies memi-
liki pengaruh yang nyata terhadap tingkat tum-
pang tindih relung habitat dalam komunitas en-
dopsammon. Berkaitan dengan kenyataan ini,
hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan ge-
netika dan evolusi dalam kaitannya dengan fak-
tor determinan dalam preferensi habitat.
Dalam hubungannya dengan genetika,
tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam-
mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat
kesamaan genetis diantara spesies endopsam-
mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di
antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke-
kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar-
ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa-
maan genetis di antara mereka, maka semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis diantara mereka karena pada ha-
kekatnya gen inilah yang menjadi faktor deter-
minan terhadap tampilan sifat biologis dan sifat
ekologis semua organisma termasuk endopsam-
mon (Muller in Carlson, 1967). Dengan demiki-
an, semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis endopsammon.
Sebagai hal yang bersifat mendasar, sifat
biologis dan sifat ekologis suatu spesies endo-
psammon merupakan faktor determinan ketika
suatu spesies endopsammon melakukan prefe-
rensi terhadap habitat. Dikatakan demikian ka-
rena kedua sifat ini merupakan penentu daya to-
leransi endopsammon terhadap kisaran berbagai
peubah ekologis seperti suhu, salinitas, pH, re-
doks potensial, kandungan oksigen, kadar polu-
tan, kadar H2S, tingkat kekeringan, tingkat ke-
lembaban, dan kadar tannin. Disamping itu, si-
fat biologis ini juga merupakan penentu dalam
hal preferensi jenis sumber daya makanan bagi
setiap jenis endopsammon. Dengan demikian,
semakin dekat tingkat kekerabatan, semakin ba-
nyak persamaan dalam hal daya toleransi terha-
dap kisaran berbagai peubah ekologis dan juga
dalam hal pilihan sumber daya makanan. Hal
ini berarti semakin dekat tingkat kekerabatan di
antara mereka, semakin besar bagian relung ha-
bitat yang mereka pergunakan bersama.
Berdasarkan prinsip koevolusi, dua spesi-
es yang saling berinteraksi dalam jangka waktu
yang lama secara bersama-sama dapat meng-
alami koevolusi sehingga di antara satu dengan
lainnya dapat saling menyesuaikan sifat-sifatnya,
terutama sifat-sifat yang mengendalikan bentuk
tanggapan interaktif antara mereka (Thompson,
1982; Futuyma dan Slatkin, 1983). Dengan ada-
nya penyesuaian sifat di antara sejumlah spe-
sies, di antara sejumlah spesies terjadi penyesu-
aian kebutuhan terhadap corak habitat dan sum-
berdaya, sehingga dapat terjadi tumpang tindih
dalam hal relung habitat maupun relung tro-
phik. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan
spesies terhadap tumpang tindih relung ini sa-
ngatlah dapat dipahami karena menurut Thomp-
son (1982), proses koevolusi merupakan proses
yang dikendalikan oleh kelompok gen yang
bertalian erat yang memiliki fungsi bersama di
dalam kromosom.
Bertalian dengan asosiasi antar spesies
endopsammon, hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara umum terdapat asosiasi antar spe-
sies di dalam komunitas endopsammon yang a-
da dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Dengan adanya asosiasi ini, dapat diartikan bah-
wa di antara spesies-spesies yang membentuk
komunitas endopsammon itu terdapat jalinan
fungsional yang dapat melahirkan keterikatan
interaktif di antara mereka. Keterikatan inter-
aktif ini merupakan daya gabung yang cukup e-
fektif yang dapat membuat beberapa spesies en-
dopsammon untuk hadir bersama dalam suatu
habitat. Beberapa bentuk keterikatan interaktif
yang mendorong adanya asosiasi ini adalah
symbiosis, protokooperasi, kompetisi, predasi,
dan komensalisme (Odum, 1971; Krebs, 1978;
Kendeigh, 1975)
7. Swasta, I. B. J., D. Soedharma, M. Boer dan Y. Wardiatno, Studi Tentang Afinitas Spesies ... 95
Kalau dikaji lebih jauh tentang penyebab-
nya, adanya asosiasi ini dapat disebabkan oleh
dua faktor yaitu: 1) faktor internal yang berasal
dari endopsammon itu sendiri dan 2) faktor eks-
ternal yang berasal dari habitat endopsammon.
Yang dimaksudkan faktor internal adalah sifat
biologis dan ekologis endopsammon, sedang-
kan yang dimaksudkan faktor eksternal adalah
tingkat kemampuan habitat dalam menyediakan
pilihan berbagai kondisi lingkungan dan sum-
berdaya yang menjadi kebutuhan bagi endo-
psammon. Sifat biologis dan sifat ekologis yang
bersesuaian dapat menyebabkan beberapa spe-
sies endopsammon memilih cara dan kebutuhan
hidup yang sama sehingga mereka cenderung a-
da bersama-sama dalam suatu habitat. Peluang
asosiasi antar spesies endopsammon sangat di-
tentukan oleh luas atau sempitnya kisaran ber-
bagai peubah ekologis yang menjadi penentu
kehadiran spesies endopsammon dalam suatu
habitat. Semakin luas kisaran peubah ekologis,
peluang hadirnya banyak spesies dalam satu co-
rak habitat semakin besar, dan ini berarti pelu-
ang adanya asosiasi di antara beberapa spesies
endopsammon menjadi semakin besar pula.
Terkait dengan hubungan antara tingkat
kekerabatan spesies dengan tingkat asosiasi spe-
sies, hasil penelitian menunjukkan bahwa ting-
kat kekerabatan spesies memiliki pengaruh yang
nyata terhadap tingkat asosiasi spesies dalam
komunitas endopsammon. Terkait dengan ke-
nyataan ini, dapat dijelaskan melalui pendekat-
an genetika dan evolusi dalam kaitannya de-
ngan faktor determinan dalam penentuan ting-
kat asosiasi di antara spesies endopsammon.
Dalam kaitannya dengan genetika, maka
tingkat kekerabatan di antara spesies endopsam-
mon pada hakekatnya dapat dilihat dari tingkat
kesamaan genetis diantara spesies endopsam-
mon itu. Semakin banyak persamaan genetis di
antara mereka, maka dapat diartikan bahwa ke-
kerabatan di antara mereka semakin dekat (Bar-
ry, 1964). Dengan semakin banyaknya persa-
maan genetis di antara mereka, maka semakin
banyak persamaan dalam hal sifat biologis dan
sifat ekologis diantara mereka karena pada ha-
kekatnya gen inilah yang menjadi faktor de-
terminan terhadap tampilan sifat biologis dan
sifat ekologis dari semua organisma termasuk
endopsammon (Muller in Carlson, 1967). De-
ngan semakin banyaknya persamaan sifat bio-
logis dan sifat ekologis diantara spesies endo-
psammon itu, maka kompatibilitas fungsional
diantara mereka semakin besar, terutama dalam
proses-proses ekologis di dalam ekosistem ben-
thik. Kompatibilitas fungsional yang ada di an-
tara spesies ditandai dengan terbentuknya aso-
siasi diantara spesies. Menurut Futuyma dan
Slatkin (1983), asosiasi yang sangat dipenga-
ruhi tingkat kekerabatan spesies merupakan tipe
asosiasi berdasarkan faktor keturunan, se-
dangkan asosiasi yang tidak ada hubungannya
dengan tingkat kekerabatan spesies merupakan
tipe asosiasi berdasarkan kolonisasi (pendu-
dukan).
Bertalian dengan evolusi, maka ada dan
berlanjutnya asosiasi di antara spesies endo-
psammon dalam waktu yang lama merupakan
fenomena yang melibatkan proses koevolusi di
antara spesies-spesies endopsammon tersebut.
Menurut prinsip koevolusi, dua spesies atau le-
bih yang saling mengadakan interaksi dalam
jangka waktu yang lama secara bersama-sama
dapat mengalami koevolusi sehingga di antara
satu dengan yang lainnya dapat saling menye-
suaikan sifat-sifatnya, terutama sifat-sifat yang
mengendalikan bentuk tanggapan interaktif di
antara mereka (Thompson, 1982; Futuyma dan
Slatkin, 1983). Dengan adanya penyesuaian si-
fat di antara mereka, maka kompatibilitas di an-
tara mereka semakin besar sehingga derajat in-
teraksi yang terjadi di antara mereka semakin
kuat. Adanya pengaruh tingkat kekerabatan spe-
sies terhadap asosiasi ini sangatlah dapat dipa-
hami karena menurut Thompson (1982), proses
koevolusi merupakan proses yang dikendalikan
oleh kelompok gen yang bertalian erat yang
memiliki fungsi bersama di dalam kromosom.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata koevolusi
terjadi pada berbagai bentuk asosiasi seperti
simbiosis mutualisme, komensalisme, kompeti-
si, predasi, parasitisme, dan amensalisme (Thomp-
son, 1982; Futuyma dan Slatkin, 1983).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam
penelitian serta dengan memperhatikan uraian
pembahasannya, dapat diambil beberapa kesim-
pulan yaitu: 1) terdapat tumpang tindih relung
dan asosiasi spesies di antara spesies-spesies yang
menyusun komunitas endopsammon di zone in-
tertidal dalam kawasan Taman Nasional Bali
Barat; dan 2) tingkat kekerabatan di antara spe-
sies-spesies endopsammon memiliki pengaruh
8. 96 Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2006, Jilid 13, Nomor 2: 89-96
yang nyata terhadap tingkat tumpang tindih re-
lung dan tingkat asosiasi di antara spesies-spe-
sies endopsammon tersebut.
PUSTAKA
Arnold, P. W. and R. A. Birtles. 1989. Soft Sedimen
Marine Invertebrates of Southeast Asia and Aus-
tralia, A Guide to Identification. Australian Institute
of Marine Science,Townsville Australia.
Barry, J. M. 1964. Molecular Biology, Genes and the
Chemical Controll of Living Cells. Prentice Hall Inc,
New Jersey.
Carlson, E. A. 1967. Gene Theory, Dickenson Publishing
Company, California.
De Troch, M., F. Fiers, and M. Vincx, 2002. Niche Segre-
gation and Habitat Specialisation of Harpacticoid
Copepods In A Tropical Seagrass Bed, Journal of
Marine Biology, 142: 345-355.
Giere, O. 1993. Meiobenthology, the Microscopic Fauna
in Aquatic Sedimen. Springer-Verlag, Berlin.
Gosner, K. L. 1971. Guide to Identification of Marine
and Estuarine Invertebrates. A Wiley Interscience
Publication, New Jersey.
Higgins, R. P. dan H. Thiel. 1988. Introduction to the
Study of Meiofauna. Smithsonian Institution Press,
Washington.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology With Special Reference
to Animal and Man. Prentice Hall New Delhi.
Krebs, C. J. 1978. Ecology, The Experimental Analysis
of Distribution and Abundance. Harper and Row
Publisher, New York.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology, Harper Col-
lins Publishers, New York.
Lee, J. dan O. R. Anderson. 1991. Biology of Foramini-
fera. Academic Press London.
Ludwig, J. A. dan J. F. Reynold, 1988. Statistical Eco-
logy, A Primer On Methods and Computing. John
Wiley and Sons, New York.
Montagna, P. A., S. C. Jarvis. dan M. C. Kenicutt. 2002.
Distinguishing Between Contaminant and Reef Ef-
fect on Meiofauna Near Offshore Hydrocarbon
Platform in the Gulf of Mexico. Canadian Journal of
Fish Science, 59: 1584-1592.
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders
College Publishing, Philadelphia.
Sokal, R. R. dan F. J. Rohlf, 1987. Introduction to Bio-
statistics. W. H. Freeman and Company, New York.
Sudjana, 1989. Metoda Statistika. Penerbit Tarsito, Ban-
dung.
Futuyma, P. J. dan M. Slatkin, M. 1983. Coevolution,
Sinauer Associates, Inc., Massachussets.
Thompson, J. N. 1982. Interaction and Coevolution,
John Wiley and Sons, Inc. New York.