1. LAPORAN AKHIR KEGIATAN
FOGGING DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEJADIAAN LUAR
BIASA PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
TAHUN 2012
BAB. I
A. PENDAHULUAN
Pembangunan Kesehatan di Indonesia dihadapkan pada masalah dan
tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan
perubahan lingkungan strategis, baik secara nasional maupun global.
Penerapan desentralisasi di bidang kesehatan dan pencapaian Sasaran Millenium
Development Goals (MDGS) merupakan contoh masalah dan tantangan yang perlu
menjadi perhatian seluruh Stakeholder bidang kesehatan, khususnya para pengelola
program dalam menyusun kejadian dan stategi agar pelaksanaannya menjadi lebih
efisien dan efektif.
Salah satu masalah yang menjadi perhatian Indonesia dan tercantum dalam
PERPRES No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Nasional
(RP JMN) 2004 – 2009 adalah perkembangan emerging diseases seperti Demam
Berdarah Dengue yang jumlah kasusnya cenderung meningkat serta penyebarannya
semakin luas. Hal ini ditunjang dengan PERMENKES No. 331 tahun 2005 tentang
Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Kesehatan 2005 – 2009 dan KEPMENKES 1457
tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menguatkan pentingnya upaya
pengendalian penyakit DBD di Indonesia hingga ke tingkat Kabupaten / Kota bahkan
sampai ke desa. Melalui pelaksanaan program pengendalian penyakit DBD diharapkan
dapat berkontribusi menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat
penyakit menular di Indonesia.
DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu
pengendalian vektornya tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan peran
serta masyarakat termasuk lintas sektor, lintas program, LSM, tokoh masyarakat dan
penyandang dana. Pengendalian vektor penyakit tular vektor termasuk DBD harus
berdasarkan pada data dan informasi tentang bioekologi vektor, situasi daerah
termasuk sosial budayanya. Adapun pengendalian DBD yang tepat sampai saat ini
adalah dengan memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya,
karena vaksin dan obatnya masih dalam proses penelitian. Penyebaran vektor DBD
sudah sangat luas di seluruh wilayah Indonesia, hal ini disebabkan keadaan iklim
global dan infrastruktur penyediaan air bersih yang kondusif untuk perkembangan
vektor DBD, serta prilaku masyarakat yang belum mendukung upaya pengendalian.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Melawi merupakan wilayah perbukitan
dengan luas sekitar 8.818,70 km² atau 82,85 % dari luas Kabupaten Melawi. Keadaan
tanah terdiri dari tanah dataran rendah, landai, bergelombang, tanah berbukit dan
tanah bergunung (dataran tinggi). Kabupaten Melawi cukup dikenal sebagai daerah
penghujan dengan intensitas yang tinggi. Secara umum mempunyai curah hujan
2. tahunan diatas 3.600 milimeter. Intensitas hujan yang tinggi biasanya saling
mempengaruhi keselamatan penerbangan dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Kabupaten Melawi beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau
yang biasanya berlangsung pada Bulan Mei – Oktober dan musim penghujan yang
biasanya berlangsung pada bulan November – April. Akhir-akhir ini dibeberapa daerah
di Kabupaten Melawi pada musim kemarau terjadi kebakaran hutan, menimbulkan
kabut asap tebal, berakibat polusi udara. Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit
batuk dan sesak napas, selain itu musim kemarau juga berakibat sulitnya untuk
memperoleh sumber air bersih, karena surutnya air pada aliran sungai, menyebabkan
penyakit diare dan penyakit kulit meningkat. Musim penghujan sangat menguntungkan
masyarakat karena menyuburkan tanah dan tercukupinya kebutuhan sumber air
bersih. Tetapi pada tahun 2012curah hujan di Kabupaten Melawi berlebihan yang
mengakibatkan beberapa kecamatan terjadi banjir atau air pasang. Di sisi lain musim
hujan juga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat khususnya di segi kesehatan
yang menimbulkan semakin meningkatnya kasus penyakit Chikungunya, Malaria, Diare
dan DBD akan cepat berkembangbiak di tempat-tempat penampungan air hujan, vas
bunga, kaleng-kaleng bekas, bak kamar mandi, sarang burung.
Adapun faktor yang mempengaruhi tinggi / rendahnya kasus DBD adalah
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dari masyarakat itu sendiri. Semakin baik perilaku
masyarakatnya maka semakin sedikit pula ditemukannya kasus DBD di lingkungan
masyarakat tersebut bahkan tidak ditemukannya kasus DBD, dan sebaliknya apabila
perilaku masyarakatmya tidak baik maka kasus DBD akan mudah ditemukan. Oleh
Karena itu untuk mencegah kasus tersebut maka Instansi Dinas Kesehatan Kabupaten
Melawi secepatnya melakukan pencegahan kasus DBD tersebut dengan dibuatnya ”
Surat Perintah Tugas ”(terlampir) di lingkungan Kabupaten Melawi tahun 2010 yang
berisi tentang Penanganan DBD dengan cara Pengasapan dan Abatesasi.
B. TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan dan sasaran dilakukannya Penanganan DBD dengan cara Pengasapan
dan Abatesasi ini adalah mengendalikan populasi nyamuk pada tempat – tempat yang
memungkinkan berkembangbiaknya Nyamuk Aedes Aegypty khususnya pada tempat –
tempat ditemukannya kasus DBD.
BAB II
RUANG LINGKUP
1. PENGERTIAN DBD
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypty, yang
ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas,
lemah / Lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik
3. perdarahan (petechiae), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang – kadang
mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock).
Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis diseluruh Kota / Kabupaten di Indonesia. Sejak tahun 1968
hingga saat ini terjadi peningkatan kasus dan meluasnya penyebaran penyakit serta
angka kematian DBD yang masih relatif tinggi dan berpotensi terjadi KLB.
Peningkatan kasus dan KLB DBD dipengaruhi oleh mobilitas penduduk dan
arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya peran serta masyarakat dalam
pengendalian DBD, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di
setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan
lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistem pelaporan dan penanggulangan DBD
yang terlambat dan tidak sesuai dengan SOP, perubahan iklim yang memadai, serta
letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vektor dan
pertumbuhan virus.
Seluruh wilayah Indonesia, mempunyai risiko untuk kejangkitan penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) karena virus penyebab dan nyamuk penularnya (Aedes
Aegypty) tersebar luas, baik dirumah-rumah maupun di tempat umum, kecuali yang
ketinggiannya lebih dari 1000 m di atas permukaan laut.
2. EPIDEMIOLOGI DBD
Epidemiologi berasal dari kata Epi, demos dan logos. Epi = atas, demos =
masyarakat, logos = ilmu. Sehingga Epidemiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari tentang kejadian di masyarakat. Epidemiologi penyakit Dengue adalah
ilmu yang mempelajari tentang kejadian dan distribusi dan frekuensi penyakit Dengue
menurut variabel epidemiologi (orang, tempat dan waktu ) dan berupaya menentukan
faktor penyebab terjadinya kejadian itu di kelompok populasi.
3. SURVEILANS KASUS DBD
Surveilans ( Menurut WHO ) adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis,
dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan
pihak/instansi terkait secara sistematis dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Surveilans ( Menurut KEPMEN 1116 / 2003 ) adalah kegiatan analisis secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah –masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah – masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efisien dan efektif melalui proses pengumpulan data,
pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program
kesehatan.
Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses pengumpulan,
pengolahan analisis, dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program, instansi dan pihak terkait secara sistematis dan terus
menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan
dan penularan penyakit tersebut, agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara
efisien dan efektif.
4. Surveilans epidemiologi DBD meliputi kegiatan pengumpulan dan pencatatan data
tersangka DBD untuk melakukan PE. Pengolahan dan penyajian data penderita DBD
untuk pemantauan KLB berdasarkan laporan mingguan KLB ( W2 DBD), laporan
bulanan kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD), data dasar
perorangan pendrita DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas)
desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan, dan
kecendrungan DBD.
4. SURVEILANS VEKTOR DBD
Surveilans Vektor DBD adalah keseluruhan dari suatu proses yang meliputi
pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data vektor serta
penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak instansi terkait secara
sistematis dan terus – menerus.
Demam Berdarah Dengue ditularkan terutama oleh nyamuk Aedes Aegypty.
Meskipun nyamuk Aedes Albopictus dapat menularkan DBD tetapi peranannya dalam
penyebaran penyakit sangat kecil, karena biasanya hidup dikebun-kebun.
Nyamuk Aedes Aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu ; telur – jentik
– kepompong – nyamuk. Staium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Pada
umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur
terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6 – 8 hari, dan stadium kepompong
(Pupa) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa
selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 – 3 bulan. Tempat
perkembangbiakan utama ialah tempat – tempat penampungan air berupa genangan
air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau
tempat – tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 m dari rumah. Nyamuk ini
biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan
dengan tanah.
5. PENGENDALIAN VEKTOR DBD
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh
vektor dengan meminimalkan habitat potensial perkembangbiakan vektor,
menurunkan kepadatan dan umur vektor untuk mengurangi kontak vektor dengan
manusia atau memutus rantai penularan penyakit.
Pengendalian DBD yang tepat sampai saat ini adalah dengan memutus rantai
penularan yaitu dengan pengendalian vektornya, karena vaksin dan obatnya masih
dalam proses penelitian. Penyebaran vektor DBD sudah sangat luas di seluruh wilayah
Indonesia, hal ini disebabkan oleh keadaan iklim, kemajuan teknologi transportasi,
mobilitas penduduk, urbanisasi, perubahan iklim global dan infrastuktur penyediaan
air bersih yang kondusif untuk perkembangan vektor DBD, serta perilaku masyarakat
yang belum mendukung upaya pengendalian.
DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, oleh karena itu
pengendalian vektornya tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan peran
serta masyarakat termasuk lintas sektor, lintas program, LSM, tokoh masyarakat dan
penyandang dana. Pengendalian vektor penyakit tular vektor termasuk DBD harus
berdasarkan pada data dan informasi tentang bioekologi vektor, situasi daerah
termasuk sosial budayanya.
5. Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan fisik (cuaca / iklim, pemukiman, habitat
perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Prilaku) dan
aspek vektor.
Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan
melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian
vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai
penularan.
BAB III
METODOLOGI
Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan fisik (cuaca / iklim, pemukiman, habitat
perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Prilaku) dan
aspek vektor.
Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan
melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian
vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai
penularan.
Berbagai metode Pengendalian Vektor (PV) DBD, yaitu :
a. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah
satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lain.Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena
insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak
terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Di samping itu
penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang
penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida
yang berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran.
b. Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti : predator/pemangsa,
parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD.
Jenis predator yang digunakan adalah ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus,
guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxoryncites, Mesocyclops dapat juga berperan
sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk pengendalian vektor
DBD.
c. Manajemen Lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi
dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan
pertumbuhan vektor DBD. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan
6. lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal
sebagaisource reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan mengubur, dan
plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida, dll) dan
menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah,
mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah, dll).
d. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN – DBD
Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus
rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaan di masyarakat dilakukan
melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN – DBD)
dalam bentuk kegiatan 3M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan
3M plus ini harus dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus /
berkesinambungan. Untuk melakukan kegiatan itu secara rutin di lingkungan
masyarakat adalah melalui kegiatan promosi kesehatan, penyuluhan.
Pelaksanaan Pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD)
pada tahun 2010 dilakukan dengan metode Kimiawi yaitu Pengasapan dan Abatesasi,
ini dimaksudkan untuk memberantas larva nyamuk dan nyamuk dewasa.
BAB IV
HASIL PELAKSANAAN
A. PELAKSANAAN KEGIATAN
Adapun pelaksanaan kegiatan fooging (pengasapan) dan Abatesasi ini
dilaksanakan mulai Juli – Agustus tahun 2010, dikarenakan jumlah kasus yang masuk
sudah meningkat. Pengasapan (Fooging) dilaksanakan di 4 Kecamatan yaitu ; Kec.
Nanga Pinoh, Kec. Pinoh Utara, Kec. Belimbing, Kec. Ella Hilir.. Yang mana pelaksana
fooging (pengasapan) tersebut diaksanakan oleh Staf Dinas Kesehatan Kabupaten
Melawi bersama dengan Kepala Puskesmas dan Stafnya berdasarkan Surat Perintah
Tugas dan Jadwal (terlampir) yang telah dibuat oleh Staf Administrasi Tim Fooging
Tahun 2010 dan diketahui oleh Kepala Bidang P2PL Dinas Kesehatan Kabupaten
Melawi. Sedangkan pelaksanaan Abatesasi dilakukan oleh masing-masing Kader Desa
dan Staf Puskesmas.
B. ANALISA KENDALA KEGIATAN
Dari pelaksanaan kegiatan Fooging dan Abatesasi ini ditemukan berbagai
kendala sebagai berikut :
1. Dana yang diberikan untuk kegiatan Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Demam Berdarah Dengue (DBD) ini tidak sesuai dengan pengajuan Dana yang
diusulkan.
7. 2. Jarak lokasi fooging (pengasapan) yang ditempuh agak sulit ditempuh.
3. Upah distribusi abate / abatesasi ke rumah – rumah yang dilakukan oleh Kader
Desa masing-masing hanya bisa dibayarkan untuk 11 Kecamatan tapi hanya di
beberapa Desa. Hal ini dikarenakan keterbatasan dana.
4. Mesin fooging (Swinfoog) yang digunakan hanya ada 4, sehingga pelaksanaan
fooging agak lama terselesaikan.