1. Mencari Titik-temu Antarperbedaan, Mungkinkah?
Oleh: Muhsin Hariyanto
Ketika bertadarus petang hari, tiba-tiba saya terdiam di saat membaca dua
ayat al-Quran. Yang pertama, QS al-Ahzâb/33: 21; kedua, QS al-Kâfirûn/109: 6.
Bacaan itu mengingatkan saya pada seorang laki-laki keturunan Tionghoa yang
bernama Koh Liem.
Koh Liem, salah seorang saudara sepupu kawan-muslim saya yang
beragama Kristen Protestan, adalah seorang yang sangat memahami arti perbedaan.
Tetapi, dia bisa menikmatinya sembari menegaskan bahwa berbeda tidak selalu harus
diikuti dengan ‘kebencian’. Dia masih tetap bisa mencintai dan menghargai diri dan
kawan saya yang tengah bersilaturahim, dan bahkan mampu berempati dalam urusan
sekecil apa pun, termasuk (dalam urusan) makan.
Beberapa tahun silam, saya bersama kawan saya pernah berkunjung di
rumahnya. Sebuah Ruko (Rumah-Toko) di pusat kota Wonosari, Gunung Kidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada saat kami mengetuk pintu rumahnya, dia bersama
keluarganya sedang makan bersama di sebuah meja makan yang tersedia di ruang
makan di samping tokonya. Dengan santun dia bersama anak-isterinya menyambut
kedatangan kami seraya mengucapkan ‘selamat datang’ dan memesilan kami untuk
duduk di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruang makannya.
Tidak banyak yang bisa kami dialogkan di ruang tamu itu, karena setelah
dia bersama isterinya menerima kehadiran kami, segera mengajak diri kami (berdua)
keluar menuju seberang rumah, ke sebuah rumah makan ‘Padang’, yang menyajikan
masakan ala Sumatera Barat.
Semula kami diam, ketika mereka mengajak diri kami ke rumah makan itu.
Tetapi, karena keduanya membuka dengan sebuah pernyataan: “maaf, kami harus
mengajak anda berdua ke rumah makan ini untuk melanjutkan bincang-bincang kita,
supaya semuanya menjadi ‘enak’, kami pun bertanya: “Kenapa anda mengajak kami
ke rumah makan ini?” Apakah kita tidak bisa berbincang-bincang sambil makan-minum
di rumah anda?
Mendengar pertanyaan kawan saya itu, Koh Liem pun menjawab: “Sekali
lagi saya mohon maaf. Tadi saya sedang makan bersama keluarga kami dengan menu
makanan yang tidak mungkin anda nikmati, karena sebagian lauk makan kami
terbuat dari daging babi, dan sebagai muslim anda berdua diharamkan untuk
1
2. mengonsumsinya. Oleh karena itu, demi kebersamaan kita, kita harus pindah-tempat
menuju rumah makan ini, yang menurut pertimbangan kami layak untuk kita datangi
dalam rangka menukmati makanan yang ‘halal’ bagi diri kita.
Tetegun mendengar jawaban Koh Liem itu, kawan saya pun diam sejenak,
kemudian mengucapkan ‘terima kasih’ seraya menyalami tangan kanan Koh Liem.
Dan Koh Liem pun tersenyum seraya berkata: “maaf kalau keputusan saya ini tidak
berkenan. Saya sekadar ingin tetap bisa bersama, tanpa harus saling mengusik.”
Pengalaman bersama Koh Liem itu itu merupakan pengalaman yang sangat
berharga untuk memahami konsep pluralitas, tanpa jebakan (ide) pluralisme yang –
ketika disalahpahami -- sering melahirkan gesekan antarumat beragama dalam
mengekspresikan keberagamaan mereka, bukan saja pada wilayah ibadah, tetapi –
bahkan – dalam wilayah mu’amalah. Koh Liem yang beragama Kristen Protestan
‘ternyata’ bisa berempati kepada diri kami (yang beragama Islam) dengan melahirkan
sebuah solusi yang sangat tepat ketika harus membangun kebersamaan. Sebuah
kebersamaan yang indah, karena kita bisa saling mengakui, menghargai dan
menghormati tanpa sekidit pun mencederai.
Berkaca pada ‘sikap bijak’ Koh Liem, kita pun bisa melacak sejarah
‘kearifan’ Rasulullah s.a.w. yang telah memberikan contoh kongkret, bagaimana
seharusnya ‘kita’ (umat Islam) bersikap toleran.
Pertama, ketika (suatu saat) terjadi keributan antara kaum muslimin dan
Yahudi di Madinah, Rasulullah s.a.w. menawarkan sebuah solusi yang sangat bijak,
dengan menyusun sebuah piagam bersama, yang dikenal dengan sebutan “Piagam
Madinah”, yang dimaksudkan untuk mencari titik-temu, kedamaian dan ketenteraman
kehidupan di masyarakat. Seperti yang terdapat --- misalnya -- pada sebuah pasal
yang tertulis, “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas
pertolongan dan santunan, sepanjang (kaum mukminin) tidak terzalimi dan
ditentang.” Teks piagam itu menyiratkan sebuah sikap toleran yang dimaksudkan
untuk memberikan ‘keuntungan bagi kedua belah pihak’. Kaum muslimin dan Yahudi
merasa lega, karena dengan pijakan piagam itu mereka bisa melanjutkan
kebersamaan merana tanpa saling mengusik, dan bahkan saling menguntungkan.
Kedua, pada peristiwa penaklukkan Kota Makkah (Fathu Makkah),
Rasulullah s.a.w. juga menunjukkan sikap toleran yang sangat indah. Penduduk
Makkah yang selama ini memusuhinya ‘khawatir’ ketika umat Islam berhasil
menaklukkan Kota Makkah itu. Sebab, sebelum penaklukan itu, umat Islam sering
dizalimi oleh kaum kafir Quraisy Makkah. Dan bahkan mereka sering menghalang-
2
3. halangi dakwah Rasululllah s.a.w., bahkan pada suatu waktu mreka pernah memiliki
rencana untuk ‘membunuhnya’. Tetapi, setelah terjadi penaklukkan Kota Makkah itu,
Rasulullah s,a.w, menunjukkan sikap ‘hilm’-nya, memaafkan mereka tanpa
menyisakan kebencian sedikit pun, apalagi ‘dendam’. Sama sekali ‘tdak ada balas
dendam’. Kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, sama sekaki tidak
menjadikannya bersikap ‘arogan’ atau ‘sewenang-wenang’. Beliau bisa menunjukkan
‘betapa indahnya’ akhlak muslim terhadap non-muslim. Bahkan, ketika kaum Quraisy
menanti keputusan beliau, Rasul bersabda, “Saya hanya ingin mengatakan sebuah
perkataan kepada kalian, sebagaimana ucapan Nabi Yusuf a.s. kepada saudaranya-sauadaranya:
'Tiada celaan atas kalian pada hari ini'. Pergilah! kalian semua dengan
sebebas-bebasnya.” Sungguh jawaban Rasulullah s.a.w. itu seperti telah ‘memorak-porandakan’
semua benteng kesombongan mereka, dan sama sekali jauh dari asumsi
mereka. Kekhawatiran akan adanya ‘hari pembalasan’ terhadap semua kejahatan yang
telah mereka lakukan terhadap Rasulullah s.a.w. dan para pengikutnya ‘hilang-sirna’.
Mereka hanya melihat ‘al-Halîm’, kelembutan dan ketegasan yang terpadu dalam
sebuah pribadi yang tulus, dari seorang sosok manusia mulia yang pantas menjadi
teladan bagi siapa pun. Inilah bukti dari keagungan akhlak seorang Muhammad
(Rasulullah) s.a.w., yang setiap ucapan dan tindakannya selalu bisa bergetar,
menyeruak masuk ke relung hati mereka yang masih memiliki hati-nurani, menyinari
setiap sudutnya yang semula kelam, menjadi serba terang benderang. Itulah di antara
contoh kearifan Rasulullah s.a.w. yang mampu memahami pluralitas, tanpa jebakan
‘pluralisme tanpa batas’, yang seringkali menjadikan ‘para penganutnya’ lebur dalam
identitas yang semakin kabur, menjadi (sosok) pribadi mudzabdzab (ambigu), yang
oleh Imam as-Suyuthi disebut sebagai pribadi ‘munafik’ (Lihat: Ad-Durr al-Mantsûr,
V/83).
Saya tidak berkeinginan untuk membandingkan antara Koh Liem dan
Rasulullah s.a.w.. Tetapi saya semakin yakin terhadap ‘kebenaran’ firman Allah
dalam QS al-Ahzâb/33: 2, dan QS al-Kâfirûn/109: 6, yang ruh (spirit/semangat)-nya
telah dipraktikkan oleh Rasulullah s.a.w. dengan sangat sempurna. “Sangat pantaslah
bila beliau (Rasulullah s.a.w.) menjadi suri teladan bagi siapa pun mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, serta banyak mengingat Allah.” Dan
saya pun perlu mengucapkan terima kasih pada Koh Liem yang telah menggugah
kesadaran kami untuk berittiba’ pada Rasululllah s.a.w. dalam mengekspresikan sikap
tolerannya tanpa harus ‘melepas’ identitas keislamannya.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES
’Aisyiyah Yogyakarta
3