DPD memiliki peran untuk mewakili daerah-daerah dan mengusulkan rancangan undang-undang terkait otonomi daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai rancangan undang-undang tertentu. Namun, kewenangan DPD terbatas dibandingkan DPR sehingga peran DPD terkadang dianggap hanya sebagai pelengkap DPR.
1. KEBERADAAN DPD DALAM SISTEM PEMERINTAHAN
INDONESIA
Pembentukan DPD menurut ciri politik sebagaimana yang telah menjadi konsensus
politik bangsa kita, tetapi juga sesungguhnya dapat kita dalami dasar-dasar teoritis yang
mendukung keberadaan lembaga DPD tersebut. Secara teoritis keberadaan DPD untuk
membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga
legislatif itu sendiri, di samping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif).
Di samping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai
untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis,
sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat
ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh
daerah-daerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah
dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi,
pembangunan dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan. Keberadaan
DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat
seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD
karena Anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh rakyat, berbeda dari
pemilihan Anggota DPR yang dipilih oleh rakyat melalui partai politik.
Permasalahan Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana
kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan
diperjuangkan di tingkat nasional. Di samping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat
nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan
kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan
bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum
kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak
dipertentangkan. Namun menjadi pertanyaan selanjutnya bahwa: sejauh mana peran DPD dalam
Lembaga Perwakila.
Teori Perwakilan Dalam sistem pemerintahan demokrasi yang dilaksanakan dengan
sistem perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu keniscayaan
dalam penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan. Lembaga negara ini merupakan badan yang
2. berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal yang menentukan kebijakan umum
yang mengikat seluruh rakyat. Lahirnya lembaga perwakilan dimulai zaman yunani kuno,
dimana Rosseau menginginkan tetap berlangsungnya demokrasi, tetapi karena luasnya wilayah
suatu negara, bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah rumitnya masalah kenegaraan,
maka keinginan Rosseau tersebut tidak mungkin terealisir, maka muncullah sebagai gantinya
demokrasi tidak langsung melalui lembagalembaga perwakilan yang sebutan dan jenisnya tidak
sama disemua negara yang biasa disebut parlemen, atau kadang-kadang disebut dewan
perwakilan rakyat. Parlemen ini lahir bukan karena ide demokrasi itu, akan tetapi sebagai suatu
kelicikan dari suatu sistem feodal. Parlemen diciptakan dengan tujuan tertentu antara lain untuk
menghubungkan masyarakat luas dengan raja atau pimpinan pemerintahan. Selain itu di dalam
perwakilan terdapat teori klasik tentang akomodasi yang berkenaan dengan hubungan antara
wakil dan terwakil, dikenal dengan teori mandat. Di dalam teori ini pada dasarnya berasumsi
bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandate yang disampaikan oleh
orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakan, bahkan
termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa bersesuaian dengan kehendak dari
orang-orang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini,
berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara
seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. (Wahidin, 2007 : 40).
Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari : Mandat imperatif, berarti bahwa
hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan
oleh orang-orang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat
yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal
demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan
perwakilannya. Mandat bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang
wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang
diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada
seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan
demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya.
Mandat representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam
teori mandat representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang
mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas
3. dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan
secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu. Perkembangan
berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orang-orang yang diwakili ini berkembang Teori
Organ yang beranjak pada kualitas kelembagaan. Bahwa pemilihan organ perwakilan
menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri
khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk
mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili
dalam jumlah sangat banyak. Gambaran sederhana dari teori ini bahwa di dalam negara itu ada
berbagai organ yang harus berkinerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu organ
dimaksud adalah lembaga perwakilan yang keberadayaannya bersifat formalistik. Dalam arti
orang-orang yang duduk di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum. Keberadaan organ itu
memenuhi persyaratan formal dari eksistensi negara yang mengaruskan adanya lembaga
perwakilan. Jadi tidak dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang
diwakili, apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan subtansi yang diinginkan oleh yang
memberikan kewenangan. Di dalam perkembangan berikutnya tercatat para ahli yang melakukan
telaah tentang bagaimana hubungan antara wakil dan terwakil tersebut namun pendapat para ahli
dapat dipandang sebagai perkembangan teknis. misalnya gambaran hubungan wakil dan orang
yang diwakili dalam nilai sosiologis yang menggambarkan bahwa lembaga perwakilan pada
dasarnya adalah sebagai bangun sosial masyarakat. Jadi harus mewakili kepentingan masyarakat.
Demikian pula pendapat dari Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis
tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan
wakil dan orang yang diwakil, tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme
perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang
diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat
objektif. Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan
pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai akibat dari
mekanisme perwakilan. Namun pada intinya tetap pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang
wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung
dan tentu saja yang lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang
yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil. Atas dasar-dasar mekanisme
perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang
4. wakil, dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan
yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan
seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang
diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang
yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil
dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus
dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan mandatnya.
Tugas dan Fungsi DPD Tugas dan Wewenang DPD adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah,hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2. Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
3. Ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan
oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
4. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang
APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama;
5. Dapat melakukan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
6. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya,pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada
DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
5. 7. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai bahan membuat
pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
APBN;
8. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK;
9. Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Fungsi yang dilaksanakan oleh DPD adalah sebagai berikut :
1. Mengajukan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
2. Ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah;
3. Pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
4. Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama.
Hambatan Pelaksanaan Tugas DPD Dari pembahasan mengenai fungsi, tugas dan
kewenangan DPD tersebut diatas kita bisa melihat adanya perbedaan tugas dan kewenangan
yang dimiliki oleh DPD dibandingkan dengan DPR yang sama-sama sebagai lembaga
perwakilan. DPD seakan-akan hanya pelengkap dari keberadaan DPR karena kewenangan yang
diberikan DPD yang tidak sebesar yang dimiliki DPR. Jika DPR mempunyai tugas dan
wewenang untuk membentuk UU yang dibahas dengan presiden, maka DPD hanya berwenang
untuk mengusulkan rancangan UU untuk diajukan kepada DPR (Pasal 42 ayat (1) UU No 22
6. Tahun 2003). Kewenangan pengajuan usul RUU itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sedangkan dalam hal RUU
tentang APBN dan hal-hal yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama berdasarkan
Pasal 44 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003 DPD hanya diberi kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada DPR, yang dari hasil pertimbangan tersebut DPR melakukan pembahasan
dengan pemerintah (ayat (3)). Selain mengajukan RUU kepada DPR, DPD juga mempunyai
kewenangan untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hal-hal sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003. DPR akan mengundang DPD untuk membahas
RUU bersama pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan tata tertib DPR. Hasil
dari pandangan, pendapat, dan tanggapan masing-masing lembaga tersebut dijadikan masukan
untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah. Di sini sekali lagi kita melihat betapa
kecilnya kewenangan yang dimiliki oelh DPD dibandingkan sengan DPR bahkan dengan
pemerintah. Seolah-oleh DPD hampir mirip dengan staf ahli di kedua lembaga tersebut. DPD
tidak mempunyai peran dalam proses menentukan keputusan. Untuk kewenangan DPD dalam
hal pengawasan terhadap pelaksanaan UU juga terbatas pada masalah-masalah tertentu dan hasil
dari pengawasan tersebut sekali lagi disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. DPD tak ubahnya seperti warga masyarakat biasa yang memang berhak
untuk memberikan masukan dan menyampaikan aspirasinya kepada DPR sebagai wakil rakyat.
Demikian juga dalam hal pemilihan anggota BPK, DPD hanya berwenang memberikan
pertimbangan kepada DPR secara tertulis. Selain kewenangan DPD tidak sebesar yang dimiliki
oleh DPR, DPD juga tidak mempunyai beberapa kewenangan seperti yang dimiliki oleh DPR
seperti membahas dan memberikan persetujuan Perpu, melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan UU, APBN, dan kebijakan pemerintah, memberikan persetujuan kepada presiden
atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial, memberikan persetujuan calon
hakim agung untuk ditetapkan sebagai hakim agung, memilih tiga calon anggota hakim
konstitusi, memberikan pertimbagan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima
penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan
abolisi, memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.