1. MODUL
MODUL
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
TINGKAT EKSEKUTIF
TINGKAT EKSEKUTIF
Buku Pegangan Bagi Peserta
Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah
Tingkat Eksekutif
Edisi Tahun 2015
rta
n Daerah
M AC A RA DA N A R A KÇ A
4. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
ii
MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Pengarah
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah
Editor
Hefrizal Handra
Muhammad Shauqie Azar
Reviewer
Mariana Dyah Savitri
Moza Pandawa Sakti
Radies Kusprihanto Purbo
Suratman
Eko Arisyanto
Thia Jasmina
Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
Publikasi ini didukung oleh Program Transforming Administration – Strengthening Innovation
(TRANSFORMASI), suatu program kerjasama antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan
Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH yang ditugaskan oleh German
Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ)
Jakarta, 2015
5. iii
KATA PENGANTAR
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – Kemenkeu RI
Kapasitas sumber daya manusia yang andal di seluruh pemerintah
daerah merupakan salah satu kunci sukses agar pengelolaan keuangan
daerah dapat esien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka
meningkatkan kapasitas aparat pengelola keuangan daerah, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) - Kementerian Keuangan sejak
tahun 1981/1982 telah menyelenggarakan Kursus Keuangan Daerah
(KKD). Disamping KKD, mulai tahun 2007, DJPK juga menyelenggarakan
Kursus Keuangan Daerah Khusus Penatausahaan/Akuntansi Keuangan
Daerah (KKDK).
Untukmenjawabperkembangandandinamikadalampengelolaankeuangandaerah, penyelenggaraan
KKD-KKDK terus disempurnakan. Salah satu bentuk penyempurnaan KKD-KKDK adalah kerjasama
dengan pemerintah daerah untuk melaksanakan Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD).
Penyempurnaan format penyelenggaraan ini dimaksudkan agar Pelatihan Pengelolaan Keuangan
Daerah dapat menjangkau lebih banyak aparatur pengelola keuangan daerah dari tingkat teknis
sampai dengan pengambil kebijakan strategis. Dengan Pelatihan ini, diharapkan agar aparatur
pengelola keuangan daerah dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan dan mekanisme
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sesuai kewenangan
dan kapasitas pada masing-masing tingkat jabatan.
SebagaisalahsatubentukdukunganterhadapkegiatanPelatihanPengelolaanKeuanganDaerah,DJPK
telahmenyediakanbukupegangan(handbook)pelatihanuntukmemenuhikebutuhanmasing-masing
tingkat jabatan, yang terdiri atas tingkat basic, intermediate, advanced, dan executive. Buku pegangan
tingkat executive secara khusus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan top management dan
para pengambil kebijakan strategis, yaitu kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota
DPRD,serta pejabat eselon I dan pejabat eselon II.Diharapkan dengan memahami konsep pengelolaan
keuangan daerah secara menyeluruh, lebih banyak sumbangsih positif dan kontribusi yang dapat
diberikan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Selanjutnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para
penyusun/editor buku pegangan serta the Deutsche Gesselschaft fur Internationale Zusammenarbeit
(GIZ) yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan Buku Pegangan tingkat executive ini.
Semoga buku ini bermanfaat untuk kemajuan pengelolaan keuangan daerah ke depan.
Jakarta, September 2015
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan,
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E
6. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
PENDAHULUAN x
1. Abstraksi 1
2. Latar Belakang 1
3. Tujuan Instruksional Umum 2
4. Metode Pembelajaran 2
BAB I HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH 4
1.1 Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintahan 5
1.2 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan 11
1.3 Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah 19
BAB II PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN 22
2.1 Konsep Perencanaan Pembangunan 24
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah 28
2.3 Indikator Kinerja 33
2.4 Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Serta Siklus Anggaran 49
2.5 Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) 62
2.6 Anggaran Berbasis Kinerja 66
2.7 Latihan 71
BAB III PENDAPATAN DAERAH 72
3.1 Pengertian dan Struktur Pendapatan Daerah 73
3.2 Pendapatan Asli Daerah 75
3.3 Dana Perimbangan 82
3.4 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 93
3.5 Latihan 98
BAB IV BELANJA DAERAH 100
4.1. Pengertian, Klasikasi, Struktur dan Perkembangan Belanja 103
4.2 Standar Pelayanan Minimal (SPM) 117
4.3 Analisis Standar Belanja 125
4.4 Value for Money 134
4.5 Latihan 136
7. v
DAFTAR ISI
BAB V PEMBIAYAAN DAERAH 138
5.1 Pengertian Pembiayaan Daerah 139
5.2 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) 140
5.3 Pinjaman dan Obligasi Daerah 144
5.4 Pengelolaan Desit 151
5.5 Penyertaan Modal Daerah dan Public Private 152
5.6 Kerjasama Antar Daerah (KAD) 157
5.7 Latihan 163
BAB VI PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH 164
6.1 Pengertian Barang Milik Daerah (BMD) 166
6.2 Perkembangan Regulasi Terkait Pengelolaan BMD 167
6.3 Paradigma Pengelolaan BMD 168
6.4 Organisasi dan Pejabat Pengelolaan BMD 169
6.5 Tahapan Pengelolaan BMD 173
6.6 Pengelolaan Barang Berupa Rumah Negara 183
6.7 Latihan 193
BAB VII AKUNTANSI DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH 194
7.1 Konsep dan Standar Akuntansi Pemerintahan 196
7.2 Siklus Akuntansi Keuangan Daerah 201
7.3 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah 203
7.4 Pengawasan Internal 208
7.5 Pemeriksaan Keuangan di Indonesia 211
7.6 Latihan 221
8. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah DOB Sebelum dan Sesudah Desentralisasi 8
Gambar 1.2 Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan 8
Gambar 1.3 Skema Pembagian Urusan Konkuren Antar Tingkatan Pemerintahan 9
Gambar 1.4 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan di Indonesia 12
Gambar 1.5 Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa 15
Gambar 1.6 Dana dari Kabupaten/Kota ke Desa 15
Gambar 1.7 Pengalokasian Dana Desa 16
Gambar 1.8 Perbedaan Postur Dana Transfer ke Daerah TA 2014 dan TA 2015 16
Gambar 2.1 Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat
dan Daerah 31
Gambar 2.2 Pola Penetapan Indikator Kinerja 35
Gambar 2.3 Alur Informasi Pengukuran Kinerja 37
Gambar 2.4 Kaitan Antara Perencanaan dan Indikator Kinerja 43
Gambar 2.5 Contoh Keselarasan Indikator Kinerja dan Program 44
Gambar 2.6 Contoh Keselarasan Penjabaran Indikator Kinerja 44
Gambar 2.7 Aspek, Fokus dan Indikator Kinerja Kunci Pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 48
Gambar 2.8 Keterkaitan Antara Perencanaan Dengan Penganggaran 55
Gambar 2.9 Alur Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran Daerah 56
Gambar 2.10 Siklus Anggaran Daerah 58
Gambar 2.11 Perkembangan Jumlah APBD Berdasarkan Waktu Penetapannya,
2010-2014 60
Gambar 3.1 Struktur Pendapatan Pemerintah Provinsi 2014 74
Gambar 3.2 Struktur Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota 2014 75
Gambar 3.3 Pendapatan Asli Daerah 76
Gambar 3.4 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Provinsi Tahun 2014 76
Gambar 3.5 Kontribusi Masing-masing Komponen PAD Kabupaten/Kota
Tahun 2014 77
Gambar 3.6 Hubungan Keuangan Pusat dan Kabupaten/Kota Terkait Dana Desa 96
Gambar 3.7 Hubungan Keuangan Kabupaten/Kota dan Desa 97
Gambar 4.1 Konversi Jenis Belanja di Penganggaran dan Pelaporan (LRA) 112
9. vii
DAFTAR ISI
Gambar 4.2 Komposisi Belanja Provinsi 113
Gambar 4.3 Komposisi Belanja Kabupaten 113
Gambar 4.4 Komposisi Belanja Kota 114
Gambar 4.5 Tren Belanja Provinsi 114
Gambar 4.6 Tren Belanja Kabupaten 115
Gambar 4.7 Tren Belanja Kota 116
Gambar 4.8 Kedudukan SPM dalam Urusan Pemerintahan 119
Gambar 4.9 Muatan Rencana Pencapaian SPM 120
Gambar 4.10 Hubungan Rencana Pencapaian SPM di Daerah dan Dokumen
Perencanaan dan Penganggaran 123
Gambar 4.11 ASB Dalam Skema Keterkaitan Instrumen-instrumen Sistem ABK 127
Gambar 4.12 Posisi ASB Dalam Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah 127
Gambar 4.13 Kaitan Ekonomis, Esiensi, dan Keefektifan dalam Value for Money 135
Gambar 5.1 Struktur Pembiayaan Daerah 140
Gambar 5.2 Perbandingan Realisasi APBD 2011-2014 (I) 141
Gambar 5.3 Pergerakan Simpanan Dana Pemda di Perbankan Per Bulan 142
Gambar 5.4 Pergerakan SiLPA Pemda Tahun 2008 – 2012 143
Gambar 5.5 Tipologi Pinjaman Daerah 146
Gambar 5.6 Prosedur Pinjaman ke PIP 150
Gambar 5.7 Prosedur Pinjaman ke Perbankan 151
Gambar 6.1 Perbedaan Barang Swasta dan Barang Milik Daerah
(Pemerintah Daerah) 166
Gambar 6.2 Contoh Perbedaan Situasi BMD Dengan Menggunakan
Paradigma Lama dan Paradigma Baru 168
Gambar 6.3 Struktur Kelembagaan Pengelola Barang Milik Daerah 169
Gambar 6.4 Siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah 174
Gambar 6.5 Penganggaran Kebutuhan BMD 176
Gambar 6.6 Skema Penghapusan BMD 181
Gambar 7.1 Alur Penyusunan Laporan Keuangan 203
Gambar 7.2 Keterkaitan Antar Laporan Keuangan 206
10. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014 12
Tabel 1.2 Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB
Tahun 2001-2014 13
Tabel 2.1 Hirarki Sasaran Jenis Indikator Kinerja Dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah 40
Tabel 2.2 Contoh Indikator Kinerja Makro 41
Tabel 2.3 Contoh Indikator Kinerja Mikro 42
Tabel 2.4 Siklus Anggaran Daerah 59
Tabel 2.5 Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Tahun 2013-2015 65
Tabel 3.1 Struktur Pendapatan Daerah 74
Tabel 3.2 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2008-2010 75
Tabel 3.3 Pengelompokan Jenis Pajak Daerah 77
Tabel 3.4 Retribusi Daerah dan Penggolongannya 78
Tabel 3.5 Kekuatan dan Kelemahan Penetapan Kedua Metode
Penetapan Target 81
Tabel 3.6 Porsi Bagi Hasil Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Berdasarkan
Jenis DBH dan Peraturan Terkait 84
Tabel 3.7 Daftar Jenis, Waktu, dan Penyedia Data Dasar DAU 89
Tabel 3.8 Contoh Bobot Variabel 89
Tabel 3.9 Alur Pengalokasian Dana Desa 96
Tabel 3.10 Pendapatan Pajak Provinsi yang Dibagihasilkan Kepada
Kabupaten/Kota 97
Tabel 4.1 Lingkup Utama, Tahapan dan Langkah-langkah Penyusunan SPM 124
Tabel 6.1 Perbandingan Tahapan Pengelolaan BMD Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 173
Tabel 7.1 Persamaan Dasar Akuntansi 201
Tabel 7.2 Contoh Neraca 201
Tabel 7.3 Aturan Debit Kredit 202
Tabel 7.4 Saldo Normal Akun-akun Neraca 202
Tabel 7.5 Format LPSAL 204
Tabel 7.6 Format LPE 205
11. ix
DAFTAR ISI
DAFTAR KOTAK
Kotak 1.1 Kekhawatiran terhadap Implementasi Anggaran Dana Desa 17
Kotak 1.2 BAPPENAS: Tahun Depan Transfer Daerah Naik 20% 18
Kotak 2.1 Buruknya Perencanaan dari Berita Media Indonesia 28
Kotak 2.2 Branding Efektif Membangun Daya Saing Daerah dan Pemimpin 32
Kotak 2.3 Indikator Makroekonomi: Tujuh Provinsi Raih Pertumbuhan
Ekonomi yang Minim 41
Kotak 2.4 Indikator Makroekonomi: Pemerintah Daerah Diminta Fokus
Kendalikan Inasi 42
Kotak 2.5 Indikator Indeks Pembangunan Manusia Belum Merata di Kabupaten/
Kota di Indonesia, 2010 48
Kotak 2.6 APBD Tekor Akibat Buruknya Perencanaan 54
Kotak 2.7 Kemendagri: Tarik-menarik Kepentingan Picu APBD DKI Selalu Telat 61
Kotak 3.1 Potensi PAD Banyak Tidak Tergarap 82
Kotak 4.1 Stuktur Belanja APBD yang Kurang Optimal 116
Kotak 4.2 Status Penyusunan dan Penentapan SPM untuk 15 Bidang 121
Kotak 5.1 Setelah Berhemat Pemda Tasikmalaya Memiliki Sisa
Anggaran Rp 3,8 Miliar 143
Kotak 5.2 Ini Penyebab Banyaknya Proyek Infrastruktur KPS Tak Tuntas 156
Kotak 5.3 Masalah Perkotaan Butuh Penanganan Terpadu 161
Kotak 6.1 Ini Langkah Pemkab Bandung Cegah Disclaimer BPK 172
Kotak 6.2 Polda Usut Penjualan Aset Negara 191
Kotak 6.3 “Tangkap” Indikasi Penyimpangan Pengadaan 2012 Sudin
Dikmen Jakarta Timur 192
Kotak 6.4 Sekitar 10 Persen Terminal Bus Di Indonesia Tidak Efektif 193
Kotak 7.1 60 Persen Laporan BPK Diproses KPK - BPK:
70 Persen Pemda Bermasalah 219
Kotak 7.2 Terbanyak Sepanjang Sejarah, 116 Pemda dan 69 K/L Raih
Opini WTP 220
12. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
x
PENDAHULUAN
13. 1
PENDAHULUAN
1. Abstraksi
Secara keseluruhan, modul ini membahas mengenai konsep dan regulasi di bidang pengelolaan
keuangan daerah, mulai dari hubungan pusat dan daerah, perencanaan dan pengganggaran,
pendapatan daerah, belanja daerah, pembiyaan daerah, pengelolaan barang milik daerah dan
akuntansi keuangan daerah. Modul ini terdiri dari 7 bab dan pada setiap bab terdapat pedoman untuk
mempelajarinya. Pada bagian akhir masing-masing bab terdapat soal-soal latihan yang ditujukan
untuk mengetahui tingkat penyerapan dan pemahaman peserta terhadap materi pelatihan, sebagai
feedback untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya.
Modul dimulai dengan pendahuluanyang berisi abstraksi,latar belakang,tujuan instruksional umum,
serta metode pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihan, yang dimaksudkan sebagai pengantar
menuju pembelajaran materi modul selengkapnya. Pengertian-pengertian dasar berkaitan dengan
pengelolaan keuangan daerah dibahas di setiap topik sebagai bekal untuk memahami dengan lebih
baik materi pelatihan pada bab-bab selanjutnya.
Bab I membahas tentang Hubungan Pusat dan Daerah;
Bab II membahas tentang Perencanaan dan Penganggaran;
Bab III membahas tentang Pendapatan Daerah;
BAB IV membahas tentang Belanja Daerah;
Bab V membahas tentang Pembiayaan Daerah;
Bab VI membahas tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah;
Bab VII membahas tentang Akuntansi Keuangan Daerah.
2. Latar Belakang
Desentralisasi, termasuk desentralisasi skal di Indonesia dimulai tahun 2001 mengikuti gerakan
reformasi pada pertengahan tahun 1998 dengan diberlakukannya UU 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah. Dalam 14 tahun perjalanan desentralisasi, telah terjadi dua kali perubahan
perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan UU 32 Tahun 2004 dan terakhir
dengan UU 23 Tahun 2014. Sementara itu, terkait hubungan keuangan pusat dan daerah, baru terjadi
satu kali perubahan dengan UU 33 Tahun 2004.
Sejak Tahun 2001 pemberian kewenangan yang luas kepada daerah tetap tidak berubah hingga saat
ini. Daerah memiliki kewenangan yang besar dalam pengelolaan sumber pendanaan yang ditransfer
oleh Pusat, apalagi sumber pendanaan sendiri. Kewenangan yang luas tersebut menuntut pelayanan
publik yang lebih berkualitas dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Tuntutan terhadap peningkatan kemampuan pendanaan daerah khususnya melalui peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin mengemuka. Masyarakat juga menuntut terwujudnya good
governance yang bertumpu pada kualitas, integritas, dan kompetensi aparatur pemerintah daerah.
Namun tuntutan masyarakat tersebut belum seiring dengan kesiapan pemerintah daerah termasuk
aparatur daerah untuk melaksanakannya secara optimal. Aparatur pemerintah daerah yang selama
masa sentralisasi lebih berperan sebagai pembelanja sehingga relatif pasif dan lebih berfungsi sebagai
spesialis, setelah diberlakukannya desentralisasi dituntut untuk berperan sebagai aktor penting
yang harus aktif dan lebih berfungsi sebagai generalis. Peningkatan pengetahuan, pemahaman, dan
penguasaan konsep serta aspek teknis maupun yuridis berkaitan dengan pengelolaan keuangan
14. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2
daerah, menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) sekaligus syarat yang mencukupi
(sufcient condition) agar aparatur pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi baru tersebut
dengan sebaik-baiknya.
Salah satu aspek yang amat penting – jika tidak boleh dikatakan dominan – adalah pengetahuan,
pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis pengelolaan keuangan daerah. Untuk itu
pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk para pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif
menjadi sangat penting. Pelatihan termaksud merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan
kapabilitas aparatur pemerintah agar mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang
keuangan daerah secara optimal.
3. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti dengan aktif dan lulus dari pelatihan ini, peserta dapat mengetahui, memahami,
dan menguasai konsep, struktur, regulasi, dan berbagai isu kebijakan pengelolaan keuangan daerah.
4. Metode Pembelajaran
Setidaknya ada 5 metode pembelajaran utama yang dapat digunakan dalam penyampaian materi
pendapatan daerah dalam latihan ini, yakni:
1. Ceramah, yaitu penyampaian materi latihan secara oral oleh Pelatih atau instruktur, digunakan
terutama untuk konsep, teori, atau pengertian yang umumnya diberikan secara satu arah. Alat
bantu yang sering digunakan dalam ceramah adalah slide atau power point yang berisi pokok-
pokok materi ajar.
2. Metode atau pendekatan partisipatif (participatory method atau participative approach), yaitu
mengajak peserta pelatihan untuk terlibat aktif memberikan kontribusi dalam kegiatan pelatihan
baiksecaraindividumaupunberkelompok.Digunakanterutamauntukcurahpendapat,investigasi
pengetahuan dasar, berbagi pengalaman praktis (best practice sharing), koleksi isu-isu terkini, dan
tanya-jawab.
3. Diskusi, yaitu pembahasan atau pencarian solusi bersama secara terpandu terhadap suatu bagian
materi, isu, atau kasus, dengan penekanan kepada pendapat dan argumentasi.
4. Presentasi, yaitu penyampaian secara visual dan oral hasil diskusi, penugasan, atau kerja
kelompok. Dalam kegiatan presentasi, diberikan kepada kelas kesempatan untuk menyampaikan
tambahan informasi, saran, kritik, mapun sanggahan, sebagai pelengkap, pengkaya, dan peningkat
penguasaan materi.
5. Latihan atau praktek, yaitu kegiatan untuk meningkatkan penguasaan aspek teknis materi
pelatihan dengan menggunakan instrumen yang sesuai. Termasuk dalam teknik pembelajaran ini
adalah observasi dan koleksi data pada obyek tertentu yang relevan dengan materi pelatihan.
16. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
17. 5
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Deskripsi:
Bab ini menjelaskan tentang hubungan antar tingkatan pemerintahan, hubungan keuangan antar
level pemerintahan, serta hubungan antara APBN dan APBD.
Sub Bab Kata Kunci
1. Hubungan Kewenangan Antar
Tingkatan Pemerintah.
Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan.
2. Hubungan Keuangan Antar
Tingkatan Pemerintah.
Pendelegasian Kewenangan Pendapatan, Kesenjangan
Vertikal dan Horizontal, Bagan Hubungan Keuangan
Pusat dan Daerah.
3. Kerangka Hukum Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Bahan Bacaan:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Rondinelli, Denis, ‘What is Decentralization?”, Decentralization Brieng Notes, World Bank
Institute, available in http:/www.worldbank.org;
6. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari http://
www.djpk.depkeu.go.id/.
1.1 Hubungan Kewenangan Antar Tingkatan
Pemerintahan
Dalam suatu negara, hubungan kewenangan antar tingkatan pemerintahan sangatlah penting.
Hubungan tersebut menentukan oleh siapa dan bagaimana pengaturan kehidupan serta upaya-
upaya pemenuhan kewajiban maupun hak masyarakat di negara bersangkutan diselenggarakan.
Pengaturan kewenangan yang jelas, akan menghindarkan tumpang tindih hak dan tanggung jawab,
serta menghindarkan terabaikannya suatu urusan. Kejelasan pengaturan kewenangan, juga akan
mengesienkan biaya penyelenggaraan kehidupan bernegara.
1.1.1 Bentuk Negara dan Kewenangan Antar Tingkatan Pemerintah
Bentuk negara akan menentukan bagaimana kewenangan antar tingkatan pemerintahan dalam
negara tersebut diatur.Dua bentuk negarayang terpenting di dunia sekarang ini adalah negara federal
atau negara serikat (federal state), dan negara kesatuan (unitary state).
Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab
itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang
berwenangmengaturperikehidupansecarainternal.Masing-masingnegarabagianbiasanyamemiliki
sistem hukum sendiri.Negara bagian berhak membuat undang-undang negarayang berlaku di negara
bagian tersebut, termasuk undnag-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah
federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara
bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara
federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA.
18. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
6
Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah
bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah
provinsi dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan
pemekaran provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China,
Indonesia, Inggris, Jepang, Thailand.
Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah
yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem
pemerintahan daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland
ataupun Wales. Di Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah
Otonomi Khusus Aceh, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan
daerah lainnya.
1.1.2 Bentuk Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah
Ada 4 jenis bentuk hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, yakni:
1. Devolusi;
2. Desentralisasi;
3. Dekonsentrasi (Desentralisasi Administrasi);
4. Tugas Pembantuan.
Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (UU 23/2014) tentang Pemerintahan Daerah:
1. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas Otonomi.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
urusan pemerintahan umum.
3. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau
dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam
membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada
badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini
dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity).
Sebagai perbandingan terhadap denisi pada UU 23/2014, Rondinelli mengklasikasikan bentuk
hubungan antar pemerintahan, sebagai berikut:
1. Deconsentration (dekonsentrasi), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada
daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi dapat
dilakukan melalui dua bentuk yaitu eld administration dan local administration. Seterusnya local
administration dapat dilaksanakan secara integrated dan unintegrated.
19. 7
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
2. Delegationtosemi-outonomousandparastatalorganizations,adalahsuatupelimpahankewenangan
dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada
suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
3. Devolution to local government (devolusi),yaitu penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas,yang
berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah
pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau
disebut dengan desentralisasi teritorial.
4. Delegation to non-government institutions, yaitu penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah
kepada organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebutan lain sebagai privatisasi, yaitu suatu
bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s,
tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian diswastakan,
seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Di Indonesia, pembentukan pemerintahan otonom terkadang tidak disertai dengan pembentukan
institusi dan kewenangan yang jelas. Belajar dari berbagai literatur terkait otonomi, sebuah organisasi
pemerintahan yang otonom paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Organisasi yang legal;
2. Memiliki kewenangan dan fungsi yang jelas;
3. Paling sedikit mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga perwakilan konstituen;
4. Memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri;
5. Memiliki budget (anggaran) sendiri;
6. Akuntabilitas ke konstituen dan peraturan perundang-undangan.
1.1.3 Praktek Desentralisasi di Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan, yang dibentuk setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan
berlandaskan kepada pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai bentuk negara
Indonesia. Dalam kaitannya dengan desentralisasi, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur
secara rinci mengenai penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa aturan yang lebih khusus mengenai pemerintah daerah dan kekuasaannya akan
ditetapkan dengan undang-undang.
Sejak masa kemerdekaan, ada tujuh undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang
aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
Undang-UndangNomor22Tahun1999,Undang-UndangNomor32Tahun2004,danUndang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan yang berbeda
untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri RI, pada akhir tahun
2014 di Indonesia terdapat 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Setiap tingkatan pemerintahan
daerah, diberi tanggung jawab tertentu menurut UU yang berlaku.
20. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
8
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah DOB Sebelum dan Sesudah Desentralisasi
Perbandingan Jumlah Daerah Otonom
Sebelum Desentralisasi 1999 Dengan
Sesudah Desentralisasi 1999
Luas Wilayah
1.913.578,68 km2
Jumlah Penduduk
251.857.940 Jiwa
NKRI
SESUDAH DESENTRALISASI 1999
SEBELUM
DESENTRALISASI 1999
Data Kecamatan, Kelurahan dan
Desa Berdasarkan Permendagri
18 Tahun 2013
26
Prov
34
Prov
234
Kab.
415
Kab.
8
(30,7%)
181
(77,3%)
34
(57,6%)
1.514
(27,6%)
2.374
(40%)
13.110
(21,9%)
93
Kota
59
Kota
5.480
Kec.
6.994
Kec.
5.935
Kel.
8.309
Kel.
59.834
Desa
72.944
Desa
Sumber: http://otda.kemendagri.go.id, diakses tanggal 2 Maret 2015
Menurut Pasal 9, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 urusan pemerintahan diklasikasikan ke
dalam:
1. Urusan pemerintahan absolut;
2. Urusan pemerintahan konkuren;
3. Urusan pemerintahan umum.
Gambar 1.2 Skema Pembagian Urusan Antar Tingkatan Pemerintahan
Urusan Pemerintahan
Urusan Absolut
Urusan
Kab/Kota
Urusan
Provinsi
Urusan
Pusat
Dekonsentrasi
ke Gubernur
Limpahan
ke Instansi
Vertikal
Laksanakan
Sendiri
Urusan Konkuren
Urusan
Umum
21. 9
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat, meliputi:
1. politik luar negeri;
2. pertahanan;
3. keamanan;
4. yustisi;
5. moneter dan skal nasional;
6. agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan
sendiri atau melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di daerah atau gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan Asas Dekonsentrasi.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan
ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi
kewenangan daerah terdiri atas:
1. Urusan Pemerintahan Wajib, terbagi dua:
a. Urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar;
b. Urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
2. Urusan Pemerintahan Pilihan.
Gambar 1.3 Skema Pembagian Urusan Konkuren Antar Tingkatan Pemerintahan
Urusan
Konkuren
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Daerah
Urusan
Wajib
Urusan
Pilihan
Layananan
Dasar
Non Layananan
Dasar
Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dapat:
a. diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat;
b. dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atau kepada instansi vertikal
yang ada di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi;
c. ditugaskan kepada daerah berdasarkan Asas Tugas Pembantuan.
Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. pekerjaan umum dan penataan ruang;
4. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat;
6. sosial.
22. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
10
Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi:
1. tenaga kerja;
2. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3. pangan;
4. pertanahan;
5. lingkungan hidup;
6. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7. pemberdayaan masyarakat dan desa;
8. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9. perhubungan;
10. komunikasi dan informatika;
11. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12. penanaman modal;
13. kepemudaan dan olah raga;
14. statistik;
15. persandian;
16. kebudayaan;
17. perpustakaan;
18. kearsipan.
Pemerintahan daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar, berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden
sebagai kepala pemerintahan.
Urusan pemerintahan umum meliputi:
1. pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka memantapkan
pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
2. pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
3. pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan golongan lainnya guna
mewujudkan stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional;
4. penanganan konik sosial sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. koordinasi pelaksanaan tugas antarinstansi pemerintahanyang ada di wilayah daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan,
potensi serta keanekaragaman daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila;
7. pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan daerah dan tidak
dilaksanakan oleh instansi vertikal.
Urusan pemerintahan umum dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja
masing-masing. Untuk melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut, gubernur dan bupati/
wali kota dibantu oleh instansi vertikal, Gubernur bertanggung jawab kepada presiden melalui
menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Gubernur, Bupati dan walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum
dibiayai dari APBN. Bupati/walikota dalam melaksanakan urusan pemerintahan umum pada tingkat
kecamatan melimpahkan pelaksanaannya kepada camat.
23. 11
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Secara umum menurut UU 23 Tahun 2014 terdapat pembagian urusan yang sangat jelas antar
tingkatan pemerintahan. terkait dengan urusan konkuren, pembagian urusan antara pusat, provinsi
dan kabupaten/kota, sudah dirinci oleh lampiran undang-undang. Artinya pembagian urusan
konkuren tidak lagi diatur oleh perturan pemerintah yaitu PP 38 Tahun 2007, namun langsung diatur
oleh undang-undang.
Terkait dengan pembagian urusan antara provinsi dan kabupaten/kota pada dasarnya fungsi
berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/
kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya enam layanan dasar. Namun
undang-undang ini memberikan kewenangan tambahan untuk provinsi. Fungsi utama pemerintah
provinsi adalah dalam hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas
daerah/regional. Provinsi juga menjalankan fungsi layanan yang tidak dapat dijalankan oleh
pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi
perencanaan makro regional, pengembangan dan penelitian sumber daya manusia, pengelolaan
pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup, perdagangan dan promosi pariwisata,
pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang.
1.2 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan
1.2.1 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)
Hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain:
1. Pembagian kewenangan pendapatan (perpajakan);
2. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan vertikal (kesenjangan skal antara pusat
dan daerah;
3. Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan skal antar
daerah).
Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan
tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat
ini terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009.
Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan
pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian pendapatan pemerintah pusat
(pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan skal pemerintah daerahyang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan
asli daerah. Dengan kata lain, transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan skal antara
pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah
dengan kapasitas skal juga disebabkan oleh ketimpangan skal horizontal (ketimpangan skal antar
daerah) yang disebabkan oleh berbedanya potensi skal dan kebutuhan antar daerah.
Disisi belanja, diberikannya kewenangan skal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada
prinsip agar alokasi sumber daya lebih esien dan efektif. Pemerintah daerah yang lebih dekat ke
masyarakat diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah
pusat yang jauh. Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pemda akan lebih responsif
dan menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan
perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan
publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/
retribusi tersebut. Skema hubungan keuangan antar level pemerintahan di Indonesia terkait
pendapatan dapat dilihat pada Gambar 1.4.
24. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
12
Gambar 1.4 Hubungan Keuangan Antar Tingkatan Pemerintahan di Indonesia
Sumber Pendapatan Nasional
Pendapatan Pajak dan Bukan Pajak
Pemerintah Pusat
Pendapatan
Pemerintah Provinsi
Pendapatan
Pemerintah
Kabupaten/Kota
1
2
3 4 5
6 7
Sumber: Handra (2005)
Catatan:
1. Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah berdasarkan berbagai undang-undang.
2. Pendelegasian kewenangan perpajakan ke pemerintah daerah.
3. Bagi hasil antara pusat dan daerah.
4. Bantuan bersifat umum dari pusat ke daerah.
5. Bantuan bersifat khusus dan jenis bantuan lainnya dari pusat ke daerah.
6. Bagi hasil antara provinsi dengan kabupaten/kota.
7. Bantuan keuangan dari provinsi ke kabupaten/kota.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer
yaitu sekitar 82% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 49% dari pendapatan pemerintah provinsi
selama periode -2014 (lihat Tabel 1.1). Namun jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 2010
komposisi dana transfer dari pusat menunjukkan penurunan, dengan kata lain kontribusi PAD
semakin membaik.
Tabel 1.1 Komposisi Pendapatan Pemerintah Daerah Tahun 2010 dan 2014
Pos Pendapatan Provinsi
Kabupaten/
Kota
Total
2010 2014 2010 2014 2010 2014
Pendapatan Asli Daerah 43,8% 48.4% 7,3% 11.2% 16,0% 22.9%
Dana Transfer dari Pusat 55,0% 49.0% 86,8% 81.5% 79,3% 71.9%
Dana Bagi Hasil (DBH) 22,9% 17.3% 16,4% 11.8% 18,0% 14.1%
Dana Alokasi Umum (DAU) 22,7% 13.9% 59,8% 55.6% 51,0% 42.0%
Dana Alokasi Khusus (DAK) 1,6% 0.8% 8,0% 5.6% 6,5% 4.3%
Dana Transfer Lainnya 7,8% 17.1% 2,5% 8.4% 3,8% 11.5%
Pendapatan Lainnya 1,2% 2.6% 5,9% 7.3% 4,7% 5.2%
Total Pendapatan 100,0% 100,0% 100,0%
Sumber: Data diolah
25. 13
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Ada dua bentuk transfer yang telah dipraktekkan di Indonesia selama tiga dekade terakhir, yang
pertama adalah dengan mentransfer sebagian pendapatan tertentu dari pajak pusat dan non-pajak
kepada daerah penghasil. Hal ini biasa disebut pendapatan bagi hasil (Dana bagi hasil atau DBH).
Sebagai contoh, pajak penghasilan pribadi yang dikelola oleh kantor pajak pusat harus dibagi ke
daerah penghasil. Bentuk kedua dari transfer itu adalah bantuan pemerintah pusat untuk daerah.Ada
dua bantuan utama di Indonesia,yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bantuan dengan
tujuan umum dan DanaAlokasi Khusus (DAK)yang merupakan bantuan dengan tujuan khusus.Selain
bantuan tersebut, ada juga bantuan untuk daerah otonomi khusus dan berbagai bantuan berjenis
khusus yang disebut dana penyesuaian.
Secara keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan
negara selama periode 2001-2014 (lihat Tabel 1.2).
Tabel 1.2 Rasio Dana Transfer Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001-2014
Tahun
Anggaran
PDB Pendapatan
Negara (PN)
Transfer ke
Daerah
Ratio Transfer
Thd PN
Ratio Transfer
Thd PDB
Triliun Rupiah
2001 1.646,3 300,6 81,1 27% 4,9%
2002 1.821,8 298,5 98,2 33% 5,4%
2003 2.013,7 340,9 120,3 35% 6,0%
2004 2.295,8 403,1 129,7 32% 5,7%
2005 2.774,3 493,9 150,5 30% 5,4%
2006 3.339,2 636,2 226,2 36% 6,8%
2007 3.959,9 706,1 253,3 36% 6,4%
2008 4.951,6 979,3 292,4 30% 5,9%
2009 5.613,4 847,1 308,6 36% 5,5%
2010 6.446,9 992,2 344,8 35% 5,3%
2011 7.422,8 1.205,3 411,3 34% 5,5%
2012 8.241,9 1.332,3 480,6 35% 5,8%
2013 9.272,1 1.432,1 513,3 36% 5,5%
2014 10.384,0 1.633,1 596,5 37% 5.7%
Sumber: Data diolah
Catatan: Data realisasi untuk tahun anggaran 2001 – 2013, untuk tahun anggaran 2014 merupakan data anggaran perubahan.
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer
ke pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari
pinjaman atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah
hanyalah menjadi penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian
dari transfer karena dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik.
Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi
Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke
dalamkategoripendapatanpemerintahdaerahmelainkanpengeluaranPemerintahyangdilaksanakan
oleh atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa
bentuk hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/kota
yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam undang-undang pajak
dan retribusi daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa
provinsi juga menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota.
26. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
14
Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua undang-undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah di Indonesia.Pertama,Undang-Undang Nomor 25Tahun 1999,yang diterapkan
tahun anggaran 2001-2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang.
Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 34% dari penerimaan negara atau sekitar
5,8% dari PDB selama periode 2002-2014. Seperti terlihat pada Tabel 1.2, jumlah transfer bervariasi
dari 4,9-6,8 dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada TA 2006, yakni sebesar
6,8%.
1.2.2 Hubungan Keuangan Pusat, Daerah dan Desa
Hubungan keuangan antara Pusat, Kabupaten dan Desa selama ini diatur oleh berbagai regulasi.
Namun dengan diundangkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, hubungan keuangan itu diatur
secara lebih baik. Pasal 72 UU No 6 Tahun 2014 dengan jelas menyebutkan pendapatan desa sbb:
1. pendapatan asli Desa, terdiri atas:
a. hasil usaha;
b. hasil aset;
c. swadaya dan partisipasi;
d. gotong royong;
e. lain-lain pendapatan asli desa.
2. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Dana Desa);
3. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
4. Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota;
5. bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota;
6. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
7. lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Hubungan keuangan antara Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dengan Desa terlihat dari adanya
(i) alokasi APBN untuk Desa, yang selanjutnya disebut Dana Desa, (ii) bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota ke Desa, (iii) alokasi dana Desa dari bagian Dana Perimbangan, (iv)
Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
Alokasi anggaran yang bersumber dari APBN yang disebut Dana Desa dilakukan oleh Pemerintah
Pusat dengan mengefektiﮖan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Artinya
belanja Kementrian/lembaga Pemerintah Pusat yang selama ini ditujukan untuk pembangungan
Desa dalam berbagai program, direlokasikan menjadi Dana Desa yang merupakan transfer dari APBN
ke Desa melalui Kabupaten/Kota
Sebagai bagian dari Kabupaten/Kota yang otonom, Desa juga mendapat bagian dari hasil pajak daerah
dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, yaitu paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah pajak
dan retribusi daerah yang terpungut setiap tahunnya. Kemudian Pemerintah Kabupaten/Kota juga
harus membagikan ke Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang
diterimanya dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi DanaAlokasi Khusus.
Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan
penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi
Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa. Berikut gambaran hubungan antara Dana dari Pusat ke
Kabupaten/Kota dan terus ke Desa.
27. 15
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Gambar 1.5 Dana dari Pusat ke Kabupaten/Kota dan Terus ke Desa
• Pendapatan asli Daerah
• Pajak Daerah
• Retribusi Daerah
• Hasil PKYD
• LL PAD yang sah
• Dana Perimbangan
• Dana Bagi Hasil
• Dana Alokasi Umum
• Dana Alokasi Khusus
• Lain-lain pendapatan yang sah
• Hibah
• Dana Otsus
• Dana Transfer Lainnya
• Dana Desa
• Bantuan Keuangan Provinsi
• Bagi Hasil Pajak Provinsi
•Belanja Pemerintah Pusat
• Belanja K/L
• Belanja Non K/L
•Transfer ke Daerah dan Dana
Desa
• Transfer ke Daerah
• Dana Perimbanagan
• Dana Otonomi Khusus
• Dana Keistimewaan DIY
• Dana Transfer lainnya
• Dana Desa
• Suspen
• Belanja Tidak Langsung
• Belanja Pegawai
• Belanja Bunga
• Belanja Subsidi
• Belanja Hibah
• Belanja Bantuan Sosial
• Belanja Bagi Hasil ke Desa
• Belanja Bantuan Keuangan ke
Desa
• Alokasi Dana Desa
• Dana Desa
• Belanja Langsung
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang dan Jasa
• Belanja Modal
Belanja Negara Pendapatan Kabupaten/Kota
10%
10%
100%
Belanja Kabupaten/Kota
}
}
Gambar 1.6 Dana dari Kabupaten/Kota ke Desa
Pendapatan Desa
Pendapatan Kabupaten/Kota
•Pendapatan Asli Desa
• Hasil Usaha Desa,
• Hasil Pengelolaan Aset Desa,
• Swadaya dan Partisipasi,
• Gotong Royong,
• Lain-lain Pendapatan Asli
Desa
•Alokasi APBN {Dana Desa}
•Bagi Hasil PAD Kabupaten/Kota
•Alokasi Dana Desa {ADD}
•Bantuan Keuangan dari Provinsi
•Hibah
• Pendapatan Asli Daerah
• Pajak Daerah
• Retribusi Daerah
• Hasil PKYD
• LL PAD yang sah
• Dana Perimbangan
• Dana Bagi Hasil
• Dana Alokasi Umum
• Dana Alokasi Khusus
• Lain-lain Pendapatan yang Sah
• Hibah
• Dana Otsus
• Dana Transfer Lainnya
• Dana Desa
• Bantuan Keuangan Provinsi
• Bagi Hasil Pajak Provinsi
• Belanja Tidak Langsung
• Belanja Pegawai
• Belanja Bunga
• Belanja Subsidi
• Belanja Hibah
• Belanja Bantuan Sosial
• Belanja Bagi Hasil ke Desa
• Belanja Bantuan Keuangan ke
Desa
• Alokasi Dana Desa
• Dana Desa
• Belanja Langsung
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang dan Jasa
• Belanja Modal
Belanja Kabupaten/Kota
}
}
10%
10%
100%
Khusus untuk Dana Desa Pemerintah Pusat mengatur formulanya dalam Peraturan Pemerintah No
60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan revisinya. Terdapat dua tahap proses bagaimana total dana yang tersedia di APBN sampai ke Desa
melalui Pemerintah Kabupaten. Tahap pertama, Kementrian Keuangan menghitung besaran Dana
Desa untuk masing-masing Kabupaten/Kota.Tahap kedua, Pemerintah Kabupaten/Kota menghitung
besaran Dana Desa untuk masing-masing Desa di dalam Kabupaten. Bagaimana formulasi untuk
tahap pertama dan kedua dapat dilihat di gambar berikut.
28. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
16
Gambar 1.7 Pengalokasian Dana Desa
PENGALOKASIAN DANA DESA DALAM APBN-P 2015
(BERDASARKAN REVISI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 60 TAHUN 2014)
APBN
Transfer
ke Daerah
Dana Desa
MENTERI KEUANGAN BUPATI/WALIKOTA
10%
Formula
10%
Formula
90%
Alokasi Dasar
90%
Alokasi Dasar
25% x Jumlah
Penduduk Desa
25% x Jumlah
Penduduk Desa
35% x Jumlah
Penduduk Miskin Desa
35% x Jumlah
Penduduk Miskin Desa
10% x Luas Wilayah
Desa
Keterangan:
• Jumlah Penduduk adalah Jumlah penduduk Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS)
• Jumlah Penduduk Miskin adalah Jumlah Penduduk Miskin Desa pada kabupaten/kota (sumber BPS)
• Luas Wilayah adalah Luas Wilayah Desa pada kabupaten/kota (sumber Kemendagri dan BPS)
• IKK adalah IKK Kabupaten/Kota (sumber BPS)
10% x Luas Wilayah
Desa
30% x IKK 30% x IKG
DANA DESA PER
KAB/KOTA
DANA DESA
PER DESA
Secara keseluruhan,perbedaan postur dana transfer ke daerah sebelum dan setelah diterapkan alokasi
dana desa di tahun 2015 disajikan pada Gamber 1.8.
Gambar 1.8 Perbedaan Postur Dana Transfer ke Daerah TA 2014 dan TA 2015
Postur Transfer ke Daerah TA 2014
Dana
Perimabanagn
Dana Bagi hasil
DBH Pajak
DBH PBB
DBH PPh
DBH CHT
DBH SDA
Kehutanan
XXXX
Perikanan
Migas
Panas Bumi
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Dana Otsus PAPUA
Dana Otsus
PAPUA BRT
Dana Otsus ACEH
Dana Infras Otsus
PAPUA
Dana Infras Otsus
Papua Barat
Dana Keistimewaan
DIY
Tamb Penghasilan
Guru
Tunjangan Profesi
Guru
Bantuan Op Sekoah
Dana Insentif Daerah
Dana P2D2
TRANSFER
KE DAERAH
Dana Otsus &
Penyesuaian
Dana
Penyesuaian
Dana
Otsus
Postur Transfer ke Daerah dan Dana Desa TA 2015
Dana
Perimbangan
Dana Bagi hasil
DBH pajak
DBH PBB
DBH PPh
DBH CHT
DBH SDA
Kehutanan
XXXX
Perikanan
Migas
Panas Bumi
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Dana Otsus PAPUA
Dana Otsus
PAPUA BRT
Dana Otsus ACEH
Dana Inf. Otsus
Papua
Dana Inf. Otsus
Papua Barat
Tamb penghasilan
Guru
Tunjangan Profesi
Guru
Bantuan Op
Sekolah
Dana Insentif
Daerah
Dana P2D2
Dana
Keistimewaan
DIY
Yogyakarta
DANA
TRANSFER
KE DAERAH
DAN DESA
Dana Transfer
Ke Daerah
Dana
Otsus
Dana Desa
Dana
Transfer
Lainnya
Sumber: DJPK Kementerian Keuangan, 2014
29. 17
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Kotak 1.1 Kekhawatiran terhadap Implementasi Anggaran Dana Desa
Undang-Undang Desa telah disahkan oleh DPR pada 18 Desember 2013, dengan salah satu poin yang paling
krusial adalah terkait alokasi anggaran untuk desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan
Desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 persen dari dan di luar dana
transfer daerah, kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, kesulitan
geogra.Diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1.4 miliar berdasarkan perhitungan dalam
penjelasan Undang-undang Desa yaitu, 10 persen dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat
desa sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 persen sekitar Rp. 45,4 triliun. Jadi
diperkirakan total dana untuk desa adalah Rp.104, 6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
Anggaran tersebut tentunya akan mempercepat akselerasi pembangunan desa yang di dalamnya terdapat
dusun-dusun yang selama ini anggaran pembangunannya lebih banyak dari dana APBD kabupaten atau
provinsi. Pembangunan desa akan mempercepat perputaran roda ekonomi di desa yang nantinya juga akan
mempengaruhi wilayah-wilayah di atasnya. Namun, penetapan Undang-undang Desa ini juga menyimpan
sejumlah kekuatiran, dan hal ini menjadi perhatian pada beberapa pemberitaan media, diantaranya sebagai
berikut :
Dengan Undang-undang Desa, pemberdayaan pemerintahan desa akan mendapat suplemen baru
dalam membangun pemerataan pertumbuhan dan kemandirian ekonomi perdesaan. Namun, di balik
pengesahan Undang-undang Desa ini, kekhawatiran juga menyeruak. Lemahnya kinerja aparatur
pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangan bisa menjadi ancaman serius. Potensi tindak pindana
korupsi layaknya penyalahgunaan dana bisa saja terjadi di Bali. Undang-undang Desa juga akan
memantik kerawanan dan kecemburuan di lapangan, ketika kebijakan yang diambil pemerintahan desa
dituding tidak merata. Kepala desa bisa menjadi sasaran demo jika transparansi dalam penggunaan
anggaran tak melibatkan publik. (Balipost)
Anggota DPR sendiri dalam rapat paripurna pengesahan undang-undang itu sudah mengingatkan,
Kementerian Dalam Negeri perlu memberi pembinaan dan penyuluhan kepada kepala desa dalam
mengelola alokasi danaAPBN.Presiden Susilo BambangYudhoyono juga meminta perhatian para kepala
desa untuk mampu mengelola dan menggunakan anggaran desa dengan sebaik-baiknya. Mengingat
pengalaman sebelumnya dalam kasus dana bantuan operasional sekolah (BOS), para lurah dan kepala
desa memang patut waspada dengan “berkah” dana APBN itu. Mereka layak bergembira, tetapi harus
menyadari konsekuensi yang selalu menyertai kucuran dana. Pengalaman para kepala sekolah yang
berurusan dengan penegak hukum terkait pengelolaan dana BOS, patut menjadi pelajaran. Euforia dana
pendidikan 20 persen akhirnya membawa masalah hukum. (Suara Merdeka)
Undang-undang Desa menempatkan para kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), sama
seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi. Kepala desa dengan tingkat
pendidikanhanyatamatSMAapalagiSMP,diprediksitidakakanmampumemainkanperandantanggung
jawab sebagai KPAdengan baik. Kalau itu terjadi, Undang-undang Desa yang memberikan otonomi desa,
bukannya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat, tapi bisa menjadi sumber konik di tengah
masyarakat desa. “Pemberlakuan Undang-undang Desa, hanya akan menimbulkan masalah di tengah
masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat desa,” kata anggota
DPRD Sulawesi Tenggara, Nursalam Lada. Bupati Wakatobi, Hugua dalam keterangan terpisah menilai
Undang-undang Desa sarat kepentingan politik anggota DPR RI yang mengesahkan undang-undang
tersebut.“Anggota DPR RI mengesahkan Undang-undang Desa hanya untuk kepentingan politik mereka
yang masih menjadi calon anggota legislatif agar bisa terpilih kembali jadi anggota DPR,” katanya di
Kendari seperti dikutip Antara.Tambahan lagi, penerapan Undang-undang Desa menurut Hugua adalah
pemberian keleluasaan setiap desa untuk membuat peraturan desa dan memungut retribusi untuk
pendapatan desa. Peraturan desa yang akan dibuat masing-masing desa, sangat berpotensi berbenturan
dengan peraturan daerah yang dibuat pemerintah kabupaten, bahkan bersinggungan dengan peraturan
desa-desa bertetangga. Kalau itu terjadi ujarnya, maka konik sosial di tengah masyarakat desa akan sulit
dihindari. (Harian Pelita)
30. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
18
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif Prawiradiningrat,
mengingatkan agar para kepala desa ektra hati-hati mengelola dana perimbangan. Kucuran dana
perimbangan itu rawan dikorupsi perangkat desa.“Jangan sampai setelah menerima duit miliaran rupiah
lalu beberapa bulan kemudian berurusan dengan penegak hukum,” ujar Kornel. Kornel mencontohkan
salah urus daerah selama era otonomi daerah telah menyeret 525 bupati dan walikota berurusan dengan
hukum. BPK berharap lurah dan kepala desa bisa membuat sistem pembukuan yang baik, akuntabel dan
transparan untuk meminimalkan penyimpangan. (Tempo)
Masalah lainnya yang bisa timbul adalah dana untuk desa sekitar Rp 1 miliar seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dinilai bisa menjadi alat jualan politik. “Undang-undang
itu bisa saja dijadikan jualan politik yang dimanfaatkan sejumlah oknum calon legislatif dan calon
presiden untuk mencari simpati masyarakat pada Pemilu,” kata Pengamat Pemerintahan Universitas
Hasanuddin, Adi Suryadi Culla di Makassar, Rabu (12/3/2014), seperti dikutip dari Antara. Menurutnya,
diperlukan sosialisasi kepada masyarakat serta sistem pengawasan yang ketat saat Undang-undang Desa
tersebut diberlakukan sehingga tidak terjadi penyimpangan. “Pengawasan itu sangat penting, jangan
sampai dalam implementasinya tidak sesuai dengan peruntukkan. Selama ini terjadi penyelewengan
penggunaan anggaran disebabkan lemahnya regulasi dalam hal pengawasan,” ujarnya. “Perlunya
perencanaanyangpentingdaripihakdesayangdilakukanpadasaatMusyawarahRembugPembangunan
atau Musrembang desa,” ucapnya. Adi menambahkan, dana desa itu tentu sangat rawan dipolitisasi
dalam pemilu 2014. (Kompas)
(Sumber: disadur dari http://www.yipd.or.id/en/articles/potensi-dampak-negatif-undang-undang-desa. 24 Maret 2014)
Kotak 1.2 BAPPENAS: Tahun Depan Transfer Daerah Naik 20%
Jumat, 17 April 2015
Bisnis.com, JAKARTA-- Pemerintah akan meningkatkan dana transfer daerah sebesar 15%-20% pada 2016
atau lebih dari Rp 100 triliun.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago menuturkan saat ini
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2016 memasuki tahap awal. Dalam RKP 2016, pagu indikatif
belanja Kementerian/Lembaga ditetapkan sebesar Rp 807,7 triliun. “Masih indikatif. Pokoknya sesuai
prioritas saja, untuk infrastruktur, pertanian, perhubungan konektivitas, industri, dan pariwisata. Industri
tidak terlalu besar sih,” ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (17/4).
Pagu indikatif tersebut hanya naik 1,5% atau Rp12,3 triliun dibandingkan belanja K/L dalam APBN-P
2015 Rp795,4 triliun. Menurut Andrinof, peningkatan tersebut mayoritas dialokasikan pada belanja
infrastruktur. “Belanja infrastruktur naik signikan, tapi tersebar di Kementerian PU-Pera, Perhubungan,
dan hampir semua K/L. Belum dijumlahkan semua,” tuturnya.
Selain pagu belanja K/L, pemerintah juga akan meningkatkan dana transfer daerah pada 2016 sebesar 15%-
20% atau sekitar Rp 132,9 triliun. Dalam APBN-P 2015, dana transfer daerah dan dana desa mencapai Rp
664,6 triliun. “Bisa naik sekitar 15%-20%. Nanti mau dicek kemampuan menyerap kementerian/lembaga
dan Pemda,” pungkas Andrinof.
Dalama pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada Januari lalu, Bupati se-Indonesia
mengeluhkan kurangnya dana transfer pusat ke daerah. “Memang ruang skal yang kita punya sekarang ini
sudah sehat. Nantinya akan kita coba di tahun depan untuk bisa masuk ke daerah,” kata Jokowi.
Tahun ini, anggaran transfer daerah mencapai sekitar 45% dari total belanja negara, terdiri dari Dana
Perimbangan Rp 521,28 triliun, Dana Otsus Rp 17,11 triliun, Dana Keistimewaan DIY Rp 547,5 miliar, dana
transfer lainnya Rp 104,41 triliun, dan Dana Desa Rp 20,76 triliun.
Sumber: http://nansial.bisnis.com/read/20150417/9/423990/bappenas-tahun-depan-transfer-daerah-naik-20
31. 19
BAB I
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
1.3 Kerangka Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan daerah. Adalah
kewajiban negara untuk menggunakan sumber daya sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat.
Peraturan Daerah (perda) adalah instrumen aturan yang secara sah diberikan kepada pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Perda tentang pengelolaan keuangan
merupakan salah satu instrument yuridis untuk mengawal dan menyelamatkan pengunaan
dana masyarakat yang dikelola pemerintah. Dengan demikian pada pengelolaan keuangan akan
mendapatkan jaminan kepastian hukum baik dalam membuat kebijakan maupun pelaksanaan
pengeloaankeuangandaerah. Selainituparapelaksanajugamendapatkanpetunjukpelaksanaanyang
lebih jelas terhadap satu kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan uang negara (dana masyarakat).
Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Daerah dan mewakili Pemerintah
Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sebagaimana dijelaskan pada Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2014 pasal 67 bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki
kewajiban untuk diantaranya adalah: menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan;
menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Daerah;
menerapkan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Selain itu tuntutan pada kondisi dan
praktik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan meningkatkan iklim investasi
juga semakin besar sehingga pemerintah daerah bersama DPRD berkewajiban untuk menjalankan
kegiatan pelayanan publik dan pengawasan yang baik.
Dalam ketentuan pemerintaah dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, Perda yang dibuat oleh
Daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Selain itu, Perda yang
ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta dengan
kepentingan umum.
1. Permasalahan Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam mengelola keuangan daerah jaminan kepastian hukum merupakan hal yang penting bagi
pengelola keuangan di pemda, pemerintah pusat, masyarakat, DPRD, investor maupun kreditor.
Beberapa kasus pengelolaan keuangan yang tidak sesuai dengan perundangan dapat berakibat
pada kerugian negara, kerugian masyarakat serta terhambatnya kegiatan pemerintahan. Selain itu
para pengelola keuangan juga akan menanggung sanksi berat akibat kesalahan, penyimpangan
prosedur maupun kelalaian pengelolaan leuangan.
2. Aspek Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengeloaan Keuangan Daerah
Penyusunan peraturan daerah memiliki tiga aspek penting yaitu kewenangan, keterbukaan dan
pengawasan. Aspek Kewenangan, yang berarti secara tegas dipersyaratkan dalam ketentuan
Pasal 154 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang tugas dan wewenang DPRD untuk
membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota. Aspek Keterbukaan, dimana
pembentukan Peraturan Daerah memberi kesempatan kepada masyarakat dari berbagai unsur
baik praktisi, akademisi, maupun masyarakat terkait lainnya untuk berpartisipasi, baik dalam
proses perencanaan, persiapan, penyusunan dan/atau dalam pembahasan Raperda dengan cara
memberikan kesempatan untuk memberikan masukan atau saran pertimbangan secara lisan
atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aspek
Pengawasan, yaitu upaya pengawasan preventif terhadap Raperda maupun pengawasan represif
terhadap Peraturan Daerah.
32. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
20
Selain itu Perda secara ekplisit harus menjabarkan dengan jelas dan rinci mengenai:
siapa pelaksana aturan?
kewenangan apa yang diberikan padanya?
perlu tidaknya dipisahkan antara organ pelaksana peraturan dengan organ yang menetapkan
sanksi atas ketidak patuhan;
persyaratan apa yang mengikat lembaga pelaksana?
apa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana jika menyalahgunakan wewenang?
Selain itu perlu pula dirumuskan:
siapa yang berperilaku bermasalah?
jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut?,
jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memaksakan kepatuhan?
Beberapa peraturan kepala daerah yang harus dibuat antara lain:
peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah;
peraturan kepala daerah tentang pengelolaan aset daerah;
peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi berbasis akrual;
peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur akuntansi berbasis akrual.
3. Mekanisme Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan perda pun
mengalami perubahan seiring dengan perubahan pola hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Setiap perancang perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai
aturan hukum positif tentang undang-undang dasar pemerintahan daerah, undang-undang
tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang
perda.
Apapun jenis peraturan daerah yang akan dibentuk, maka rancangan perda tersebut harus secara
jelas mendeskripsikan tentang penataan wewenang (regulation of authority) bagi lembaga pelaksana
(law implementing agency) dan penataan perilaku (rule of conduct /rule of behavior) bagi masyarakat
yang harus mematuhinya (rule occupant). Pada tingkat Kab/Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/
kantor mana yang akan bertanggungjawab melaksanakan perda tersebut sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi (TUPOKSI). Penataan wewenang juga akan menghasilkan hirarki kewenangan lembaga
pelaksana dan lingkup tanggungjawab yang melekat padanya. Misalnya wewenang menandatangani
ijin ada pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang
mengeluarkan ijin atas nama Bupati dsb.
Untuk merancang sebuah peraturan daerah, beberapa hal/kemampuan yang harus disiapkan sebagai
berikut:
analisa data tentang persoalan yang akan diatur (naskah akademik);
kemampuan teknis perundang-undangan;
pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan;
hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus yang menjadi dasar dan
acuan tentang perda.
34. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
22
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
35. 23
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Deskripsi:
Bab ini membahas mengenai konsep dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang
mengacupadasistemperencanaanpembangunannasional.Pembahasannyadiawalidengankonsep
dasar perencanaan pembangunan, khususnya tentang denisi, elemen-elemen perencanaan, dan
manfaat perencanaan. Pembahasan berikutnya adalah mekanisme perencanaan pembangunan
daerah termasuk kelembagaan dan sinkronisasi perencanaan di pusat dan di daerah disertai dengan
tahapan perencanaan daerah,dokumenyang dibutuhkan dalam perencanaan daerah dan indikator
kinerja. Selanjutnya, bab ini juga memuat topik tentang penganggaran daerah, keterkaitan antara
perencanaan dan penganggaran daerah, siklus anggaran daerah dan pengertian tentang kerangka
pengeluaran jangka menengah dalam penganggaran daerah. Selain itu, topik mengenai penerapan
anggaran berbasis kinerja di pemerintah daerah juga diberikan dalam bab ini.
No. Sub Bab Kata Kunci
1. Konsep Perencanaan
Pembangunan
Konsep perencanaan, teori perencanaan, alokasi sumber
daya, market failure.
2. Mekanisme Perencanaan
Pembangunan Daerah
Sistem perencanan, dokumen perencanaan, sistematika
perencanaan, rencana strategis.
3. Indikator Kinerja Keselarasan, kinerja, indikator kunci, input, output,
outcomes, benet, impact, standar pelayanan minimal
(SPM).
4. Keterkaitan Perencanaan dan
Penganggaran
Penganggaran daerah, penyusunan, kendala, sumber
daya, siklus anggaran.
5. Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM)
prakiraan maju, konsistensi, alokasi sumber daya,
pemutakhiran, pagu belanja.
6. Anggaran Berbasis Kinerja
(ABK)
Indikator kinerja, analisis standar belanja, komitmen,
kondisi organisasi, plafon anggaran.
Bahan Bacaan:
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan;
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention in The Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah;
8. Perpres Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019;
9. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional;
36. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
24
14. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggunggjawaban Kepala Daerah Kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Kepada Masyarakat;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah;
17. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
18. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
19. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
20. Surat Edaran Mendagri Nomor 050/20/SJ/2005 tentang Petunjuk Penyusunan Dokumen RPJP
Daerah dan RPJM Daerah;
21. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 jo Nomor 59 Tahun 2007 jo Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
22. SEMDN Nomor 050/200/II/BANGDA/2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD);
23. Permendagri Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kode dan DataWilayahAdministrasi Pemerintahan;
24. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 59 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
25. Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008
tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah;
26. Permendagri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah;
27. Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial
yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
28. SE Nomor 270/M.PPN/11/2012; No. SE-33/MK.02/2012; No. 050/4379A/Sj dan No. SE 46/MPP-
PA/11/2012 tentang Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG;
29. Alimuddin, 2013. Kasus Keterkaitan Perencanaan dan Penganggaran SKPD. PPKED Fakultas
Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar. Tidak Diterbitkan untuk Umum;
30. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat. Jakarta;
31. Michael Todaro and Stephen Smith (2009). “Economic development”, Addison-Wesley, Tenth
Edition;
32. Syafrizal, 2009.Teknik Perencanaan Pembangunan Daerah, 2009;
33. Tangkilisan (2003), Evaluasi Kebijakan Publik. Balairung & Co, Yogyakarta;
34. Conyers, Diana, and Hills, Peter. 1990. An Introduction to Development Planning in;
35. The Third World. New York. Brisbane. Toronto. Singapure: John Wiley & Sons Chichester;
36. Bates, R., & Holton, E. F. III (1995). Computerized work performance monitoring: A review of
human resource issues. Human Resource Management Review;
37. Killick, Tony (1976) The possibilities of development planning, Oxford Economic Papers, vol 28;
38. Pulakos ,D.Elaine (2004) , Performance Management A roadmap for developing, implementing
and evaluating performance management systems, SHRM Foundation, Virginia, USA.
2.1 Konsep Perencanaan Pembangunan
2.1.1 Denisi Perencanaan
Menurut Conyers dan Hills (1984), perencanaan didenisikan sebagai proses yang kontinyu, terdiri
dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan
37. 25
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang. Sedangkan menurut Todaro (2000)
dari sudut pandang ekonomi memandang perencanaan adalah upaya pemerintah secara sengaja
untuk mengkoordinir pengambilan keputusan ekonomi dalam jangka panjang serta mempengaruhi,
mengatur dan dalam beberapa hal mengontrol tingkat dan laju pertumbuhan berbagai variabel
ekonomi yang utama untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pada konteks perencanaan daerah, perencanaan merupakan suatu proses penyusunan visi, misi
dan program dalam rangka pelayanan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan faktor
ketersediaan sumber daya yang dimiliki secara esien dan efektif serta mempertimbangkan aspek
keberlanjutan dari ketersedian sumber daya tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, proses perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2.1.2 Elemen Perencanaan
Merencanakan berarti memilih,dalam hal ini memilih berbagai alternatif tujuan agar tercapai kondisi
yang lebih baik termasuk memilih cara/kegiatan untuk mencapai tujuan/sasaran dari kegiatan
tersebut. Perencanaan merupakan alat untuk mengalokasikan sumber daya yaitu sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan modal. Sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya dilakukan
pengalokasian sumber daya sebaik mungkin. Konsekuensinya adalah pengumpulan dan analisis
data serta informasi mengenai ketersediaan sumber daya yang ada menjadi sangat penting. Selain
itu, perencanaan juga merupakan alat untuk mencapai tujuan/sasaran. Dalam hal ini, perencanaan
membutuhkan sumber daya, dokumen perencanaan, organisasi, anggaran dsb. Selanjutnya,
perencanaan berhubungan dengan masa yang akan datang. Implikasinya adalah perencanaan
menjadi sangat berkaitan dengan proyeksi/prediksi, penjadwalan kegiatan, monitoring dan evaluasi.
2.1.3 Planning Versus Planner
Planning dan planner memiliki pengertian berbeda, namun banyak kesalahpahaman yang terjadi di
masyarakat. Berikut beberapa contoh pemahaman yang kurang tepat terkait planning dan planner.
Anggapan yang kurang tepat jika planning diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan oleh kelompok
tertentu yang disebut sebagai “planner”, dengan perkataan lain diluar perencana, tidak ada yang
melakukan perencanaan.Jadi jika tidak ada perencana maka tidak ada perencanaan.Pemahamanyang
lebih tepat adalah perencanaan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik kumpulan perorangan maupun
organisasi. Dengan demikian di dunia ini penuh dengan perencana. Sementara itu, profesional
planner adalah perencana yang – baik karena pekerjaan maupun pendidikannya – mempunyai
tugas tertentu untuk ikut serta dalam proses perencanaan. Selain itu, anggapan yang kurang tepat
terhadap planning adalah suatu proses untuk menghasilkan rencana, dalam artian dokumen secara
sik yang berisi kumpulan temuan-temuan, usulan-usulan dan rekomendasi yang diperoleh dari
proses perencanaan. Menurut sebagian pihak, produk dari perencanaan harus berbentuk dokumen
rencana. Seharusnya pemahaman yang lebih tepat adalah pembuatan dokumen rencana bukanlah
tujuan dari perencanaan. Tujuan utama dari perencanaan adalah untuk mencapai tujuan tertentu
yang diidentikasikan sebelum pelaksanaan program/kegiatan dimulai. Dengan demikian rencana
adalah alat untuk mencapai tujuanyang akan dicapai.Produk dari perencanaan,bisa berupa dokumen
rencana, diagram organisasi, anggaran tahunan atau penentuan tugas yang tepat untuk orang-orang
sesuai dengan bidangnya.
2.1.4 Mengapa Mempelajari Teori Perencanaan
Perencana menghadapi berbagai kompleksitas data dan permasalahan. Untuk mengatasai
permasalahan tersebut, perlu dipelajari teori perencanaan yang dapat memberi dasar pemahaman
38. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
26
tentang data apa yang perlu dikumpulkan, bagaimana kita mengelolanya, dan bagaimana kita
menggunakannya untuk mengambil suatu keputusan. Teori perencanaan juga mampu menjawab
nilai dan pertanyaan yang sering ditanyakan kepada perencana yaitu:
1. What: apa yang seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan? Perencanaan tentang apa,
sebutkan tujuan dari perencanaan tersebut, apa saja objek, sasaran, hasil akhir yang ingin dicapai
dan sebatas mana ruang lingkup yang akan direncanakan?;
2. Why: mengapa perencanaan perlu dilakukan oleh suatu lembaga? Apa yang terjadi jika tidak
ada perencanaan? Mengapa perencanaan yang selama ini kurang berhasil sehingga diperlukan
perencanaan lanjutan. Mengapa perlu dibuat berdasarkan periode waktu tertentu?;
3. Who: siapa saja pelaku yang terlibat dalam kegiatan perencanaan, apakah mereka yang terlibat
sudah sesuai dengan jenis perencanaan yang akan dilakukan?;
4. For whom: untuk siapa sebenarnya perencanaan ini dibuat, siapa saja mereka yang akan
mendapatkan manfaat dari perencanan ini?;
5. How: bagaimana kita mencapai tujuan tersebut? Bagaimana proses perencanaan dijalankan?
Apakah perencanaan sudah mempertimbangkan rasionalitas dan relevansi dengan tujuan
atau kebutuhan? Dan bagaimana perencanaan bisa menjawab permasalahan yang dimiliki
oleh organisasi? Bagaimana perilaku/ekspektasi yang rasional/pragmatis dalam melakukan
perencanaan? Bagaimana mengunakan data dan informasi sebagai bahan perencanaan?
2.1.5 Penggunaan Teori Perencanaan
Tujuan dari kebanyakan perencanaan adalah melayani kepentingan masyarakat sehingga memiliki
justikasi yang sah secara hukum untuk melakukan perencanaan (legal justication for planning).
Selain justikasi hukum, keadilan sosial sama dengan akses dan distribusi barang publik yang adil
sebagai dasar justikasi moral. Menurut Dale (2004), fokus dalam Teori Perencanaan terbagi dua yaitu
fokus pada substansi dan fokus pada proses. Ciri-ciri fokus pada substansi adalah object-centered,
substantive, technical. Misalnya perencanaan ekonomi, perencanaan spasial, perencanaan sektor
pertanian, perencanaan sosial dan sebagainya. Karakteristik fokus pada proses adalah prosedural,
decision-centered, process-oriented, and institution-centered.
Dalam perkembangannya, teori perencanaan mengalami beberapa perubahan dalam beberapa
periode. Misalnya pada tahun 1930-1940-an terjadi perdebatan besar-besaran antara pendukung
perencanaan oleh pemerintah (government planning) versus pendukung pasar bebas. Selanjutnya,
pada tahun 1950-an mulai dikembangkan teknik perencanaan tertentu dan struktur alternatif
institusional untuk mewujudkan tujuan/keinginan masyarakat. Perkembangan selanjutnya sudah
lebih maju misalnya dalam bentuk deregulasi, privatisasi, dan sejenisnya; dan peran pemerintah
dalam permasalahan ekonomi.
2.1.6 Mengapa Perencanaan Diperlukan
Menurut Todaro (2009), perencanaan diperlukan karena adanya empat hal yaitu: kegagalan pasar,
mobilisasi dan alokasi sumber daya, dampak psikologis dan dampak terhadap sikap/pendirian, serta
bantuan luar negeri. Untuk mengatasi kegagalan pasar, maka diperlukan perencanaan yang berkaitan
dengan adanya eksternalitas, penyediaan barang publik murni, monopoli, dan lainnya. Liberalisasi
perdaganganterbuktimelahirkanpasaryangtidaksehatdanmengacancamketidakadilan.Munculnya
pasar monopoli dan oligolopi menyebabkan tidak meratanya penguasaaan sumber daya yang dapat
menyebabkan pengaturan harga. Jika terjadi pada barang kebutuhan pokok maka dampaknya akan
langsung diterima oleh sebagaian besar penduduk.
39. 27
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Perencanaan berkaitan dengan penguasaan dan mobilisasi sumber daya sehingga negara diperlukan
perannyauntukmengaturpasar.Dalammobilisasidanalokasisumberdaya,perludibuatperencanaan
yang baik karena adanya keterbatasan sumber daya, maka sumber daya seperti tenaga kerja, sumber
daya alam, dan kapital sebaiknya tidak digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif atau bersifat
coba-coba. Selain itu, proyek/investasi harus ditentukan secara cermat, dikaitkan dengan tujuan
perencanaan secara keseluruhan. Dalam hal dampak psikologis terhadap sikap/perilaku, pernyataan
tentang tujuan pembangunan ekonomi dan sosial seringkali mempunyai dampak psikologis dan
diterima secara berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain.
Agar tujuan pembangunan lebih mudah tercapai,maka diperlukan dukungan dari berbagai kelompok
masyarakat, baik dari kelompok/kelas/suku bangsa/agama yang berbeda.
Perencanaan juga diperlukan untuk mengantisipasi perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan
oleh perubahan ekonomi makro dan juga perubahan kondisi sosial di masyarakat. Perubahan
ekonomi sendiri juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat. Misalnya kekhawatiran masyarakat
pada kondisi ekonomi jangka panjang, atau perbedaan pola konsumsi individu jangka pendek dan
jangka panjang dipengaruhi dan mempengaruhi variabel-variabel ekonomi. Pola perubahan inilah
yang menjadi dasar pertimbangan keputusan ekonomi pada jangka waktu tertentu. Sehingga dengan
adanya perencanaan ekonomi yang baik, pemerintah bisa mengantisipasi perubahan kondisi tersebut
dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perekonomian.
2.1.7 Mengapa Perencanaan Gagal
Menurut Todaro (2009), faktor yang mempengaruhi suatu perencanaan adalah gap antara teori
dengan kenyataan misalnya dalam hal market failure atau ketika terjadi government failure. Hal
ini berkaitan dengan kapasitas administrasi, political will dan implementasi rencana. Penyebab
kegagalan perencanaan dapat dilihat dari beberapa perspektif. Menurut Killick (1976) ada beberapa
penyebab perencanaan gagal yaitu deciencies in the plans, inadequate resources atau ketidakcukupan
dan reliabilitas data, adanya gangguan ekonomi yang tidak terantisipasi (unanticipated economic
disturbances) baik eksternal maupun internal, kelemahan kelembagaan, ataupun lack of political will.
Selain itu Grifn menyatakan bahwa gagalnya perencanaan disebabkan dua hal. Pertama adanya
konik antar tujuan (goal conicts) menyebabkan timbulnya trade-off antara kebijakan. Misalnya
inasi dengan pengangguran (stagasi), atau pemerataan dengan pertumbuhan. Kedua, masalah
pengukuran dimana waktu antara kejadian dan ketersediaan data yang tidak sesuai dapat
menyebabkan validitas peramalan serta model makro serta asumsi yang dipilih kurang tepat. Ketiga,
masalah desain dimana kebijakan yang diambil; respon masyarakat; dan teori yang digunakan dapat
menentukan apakah perencanaan tersebut gagal atau tidak. Sedangkan keempat, ditentukan time
lag; pertimbangan politik versus ekonomi; dan adanya moral hazard. Dalam praktek perencanaan
di daerah prioritas pembangunan dibangun dari visi kepala daerah, namun sangatlah penting juga
untuk mempertimbangkan tuntutan masyarakat yang dinamis dan perubahan ekonomi lokal,
nasional maupun global.
Dalam kondisi konik antara kepentingan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pemerataan
daerah para perencana daerah harus memahami betul dinamika masyarakat dan kondisi ekonomi
makro sehingga konik pendapat bisa dijembatani melalui data yang lengkap dan akurat. Kebutuhan
data sangat penting dalam perencanaan karena data yang susah diakses, tidak lengkap dan tidak
valid akan menyebabkan perencanaan salah dan tidak tepat sasaran. Akses data yang mudah dan
terbuka juga akan membantu perencana untuk mendapatkan informasi penting baik data mentah,
hasil olahan maupun hasil penelitian. Selain itu analisis yang salah terhadap realitas sosial dan situasi
ekonomi juga dapat meyebabkan kegagalan perencanaan.
40. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
28
Kotak 2.1 Buruknya Perencanaan dari Berita Media Indonesia
Metrotvnews.com, Jakarta: Direktur The Institute for Development of Economics and Finance
(INDEF) Eny Sri Hartati menyebut buruknya perencanaan adalah kunci melempemnya
penyerapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Perencanaan tidak terorganisir
dan terintegrasi dengan baik antara pusat dan daerah. Ini memberi ruang perdebatan di DPR,”
ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Senin (28/1).
Kondisi tersebut, lanjut Eny, membuat pembahasan anggaran tidak hanya berlangsung lama di
DPR tetapi juga banyak perubahan dengan kapasitas DPR yang bisa memberikan aspirasi. Hal
ini akan berdampak terhadap eksekusi anggaran Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga (RKAKL) yang menjadi tidak fokus. “Antara program RKAKL dengan target jadi
enggak jelas sehingga menyebabkan multi intepretasi yang mmebuka peluang maju-mundurnya
program,” katanya.
Belum lagi, pembahasan di DPR tidak tuntas sampai ke rincian program karena umumnya hanya
membahas pagu besarannya. “Persetujuan dengan DPR itu enggak semuanya langsung ketok
palu. Idealnya DPR kalau menyetujui di Oktober itu harusnya sudah selesai semua tapi itu kan
hanya pagu besarannya sedangkan rinciannya masih dibahas sampai Maret,” katanya.
Di sisi lain, ia menilai, keberadaan fungsi komisi dan badan anggaran malah menambah
lama proses keputusan anggaran. Seharusnya hanya melalui satu pintu yakni komisi karena
setiap pembahasan lebih intensif di situ. Eny menganggap, tugas Banggar sebagai penyelaras
program lintas kementerian/lembaga ataupun lintas daerah seharusnya dimainkan oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Menyelaraskan atau mengkoordinasikan
program lintas sektor dan daerah itu seharunya bukan tugas Banggar tapi Bappenas. Kalau tidak
begitu, lalu tugas Bappenas apa,” katanya.
Selain itu, keberadaan APBN perubahan juga membuat penyerapan anggaran bertambah buruk
sebab banyak kementerian/lembaga yang memilih untuk menunggu hingga ada keputusan nal
diAPBN-P. “Contoh di 2012,APBN-P baru diputuskan Oktober. Kan enggak bisa memaksimalkan
anggaran hanya dalam waktu 2 bulan,” katanya. (Anshar Dwi Wibowo/OL-9).
Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/01/28/2/126674/Perencanaan-Buruk-Kunci-Lemahnya-
Penyerapan-Anggaran
2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah
2.2.1 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah,
dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat
dan daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ini ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tujuan dari UU SPPN adalah sebagai berikut:
1. Mendukung koordinasi antar pelaku;
2. Menjamin integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar pelaku;
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan
pengawasan;
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat;
5. Menjamin penggunaan sumber daya yang efektif, esien, adil dan berkelanjutan.
41. 29
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Secara umum harapan dari ditetapkannya SPPN adalah, pertama, membakukan fungsi perencanaan
secara resmi dalam proses perencanaan pembangunan agar terdapat kepastian hukum atas fungsi
perencanaan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Kedua, penetapan kepastian hukum
pendekatan perencanaan baik secara politis, teknokratis, partisipatif, top down maupun bottom
up. Ketiga, penetapan siklus tahapan perencanaan mulai dari penyusunan rencana, penetapan
rencana, pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat, Penetapan
mekanisme perencanaan pembangunan mulai dari penyusunan RPJPN, RPJMN, RKP dan Renstra
K/L hingga ke penyusunan RPJPD, RPJMD, RKPD dan Renstra SKPD.
2.2.2 Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan
yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan
pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu
lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
Dalam melakukan perencanaan pembangunan daerah, ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan,
yaitu sebagai berikut:
1. Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional;
2. Perencanaan pembangunan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah bersama masyarakat dan
para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya berdasarkan peran dan kewenangan masing-
masing;
3. Perencanaan pembangunan daerah mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana
pembangunan daerah;
4. Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki
masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah, nasional dan global;
5. Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, esien, efektif,
akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kemudian disusun suatu perencanaan yang kemudian
dituangkan dalam bentuk dokumen perencanaan. Ada lima dokumen perencanaan yang dibuat
pemerintah daerah:
1. RencanaPembangunanJangkaPanjangDaerahyangselanjutnyadisingkatRPJPDadalahdokumen
perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun;
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah
dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun;
3. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun;
4. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan Renstra-
SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun;
5. Rencana Kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen
perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Sistematika rencana pembangunan daerah pada masing-masing dokumen perencanaan berdasarkan
pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
42. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
30
a. Sistematika RPJPD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan;
Gambaran umum kondisi daerah;
Analisis isu-isu strategis;
Visi dan misi daerah;
Arah kebijakan;
Kaidah pelaksanaan.
b. Sistematika RPJMD paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan;
Gambaran umum kondisi daerah;
Gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan;
Analisis isu-isu strategis;
Visi, misi, tujuan dan sasaran;
Strategi dan arah kebijakan;
Kebijakan umum dan program pembangunan daerah;
Indikasi rencana program prioritas disertai kebutuhan pendanaan;
Penetapan indikator kinerja daerah;
Pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan.
c. Sistematika Rencana Kerja Pemerintah Daerah paling tidak mencakup:
Pendahuluan;
Evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu;
Rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan;
Prioritas dan sasaran pembangunan;
Rencana program dan kegiatan prioritas daerah.
d. Sistematika Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah paling tidak mencakup:
Pendahuluan;
Gambaran pelayanan SKPD;
Isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;
Visi, misi, strategi dan tujuan sasaran, strategi dan kebijakan;
Rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif;
Indikator kinerja Utama SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran SKPD.
e. Sistematika Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pendahuluan;
Evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu;
Tujuan, sasaran, program dan kegiatan;
Indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD;
Dana indikatif beserta sumber daya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif;
Sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan;
Penutup.
Berbagai dokumen perencanaan tersebut harus saling terkait, dimana dokumen yang lebih teknis
(jangka pendek) mengikuti atau memperhatikan dokumen yang lebih strategis (jangka panjang).
Selain itu,dokumen perencanaan daerah juga harus memperhatikan dokumen perencanaan nasional.
Hubungan antara RPJPD, RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD di daerah dengan RPJPN,
RPJMN, RKP, Renstra KL dan Renja KL di tingkat pusat, dapat digambarkan sebagai berikut:
43. 31
BAB II
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Gambar 2.1 Hubungan Antara Berbagai Dokumen Perencanaan di Tingkat Pusat dan Daerah
20 Tahun 20 Tahun
Diacu Diacu
5 Tahun
5 Tahun
1 Tahun
1 Tahun
Renja
SKPD
RKA-SKPD
RPJPD RPJPN
RPJMN
RKP
Renstra K/L
Renja K/L
Dibahas
Bersama
DPRD
KUA = Kebijakan Umum APBD
PPAS = Prioritas dan Plafon Anggaran
Sementara
TAPD = Tim Anggaran Pemerintah Daerah
RKA-SKPD = Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah
RAPERDA
APBD
PEDOMAN
PENYUSUSNAN
RKA-SKPD
NOTA KESEPAKATAN
DPRD DAN KEPALA DAERAH
RPJMD
RKPD
KUA PPAS
TAPD
1 Tahun
1 Tahun
1 Tahun
Pedoman Pedoman
Pedoman
Pedoman
5 Tahun
Dijabarkan
Diserasikan
Musrenbang
Diperhatikan
Renstra
SKPD
Sumber: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 dan Permendagri 54 Tahun 2010
(diolah)
Dokumen-dokumen perencanaan tersebut umumnya disusun berdasarkan tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Penyusunan Rencana,yaitu: menyusun rancangan rencana pembangunan nasional/daerah
(RPJP, RPJM, RENSTRA, RENJA) melalui beberapa proses perencanaan.
2. Penetapan Rencana, yaitu:
a. RPJP Nasional dengan Undang-Undang dan RPJP Daerah dengan peraturan daerah;
b. RPJM Nasional dengan peraturan presiden dan RPJM Daerah dengan peraturan daerah atau
peraturan kepala daerah;
c. RKP dengan peraturan Presiden dan RKPD dengan peraturan kepala daerah.
3. Pengendalian Pelaksanaan Rencana, yaitu melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan
rencana tersebut.
4. Evaluasi Kinerja, yaitu melakukan evaluasi pada pelaksanaan rencana pada periode tertentu dan
diakhir periode.
Dalam tahap penyusunan rencana (formulasi), proses penyusunannya pada dasarnya melalui
beberapa proses sebagai berikut:
1. Proses Politik: Pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah menghasilkan rencana
pembangunan hasil proses politik, khususnya penjabaran visi dan misi dalam RPJM.
2. Proses Teknokratik: Perencanaan yang dilakukan oleh perencana profesional atau lembaga/unit
organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan.
3. Proses Partisipatif: perencanaan yang melibatkan masyarakat (Stakeholders), antara lain melalui
pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).
4. Proses Bottom up dan Top Down: Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari
bawah ke atas dalam hirarki pemerintahan.
44. MODUL PELATIHAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TINGKAT EKSEKUTIF
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
32
Bahan bahan dari hasil proses perencanaan dikumpulkan dan kemudian disusun menjadi naskah
akademik. Naskah akademik merupakan bahan utama dalam menyusun peraturan perundang-
undangantentangperencanaandaerah.Keberadaannyasangatdiperlukanagarperaturanperundang-
undangan yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan kehidupan
masyarakat. Penggunaan Naskah Akademik dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan, diharapkan akan dapat menghindari masalah yuridis di kemudian hari (Rusdianto,
2011). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang didukung dengan naskah akademik
menunjukkan dokumen perencanaan tersebut merupakan hasil pemikiran yang dilandasi dengan
kepentingan seluruh masyarakat dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan yang tercakup
dalam visi, misi, arah dan kebijakan pembangunan berdasarkan potensi sumberdaya yang tersedia.
Semakin berkembang dan berubahnya pola kehidupan masyarakat serta beberapa permasalahan
dalam pembuatan dan pelaksanaan perundang-undangan yang sudah ada sekarang, maka naskah
akademik memiliki posisi yang strategis dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan
yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan perundang-undangan.
Naskah akademik menjelaskan aspek losos, aspek sosiologis, yuridis dan aspek politik yang
berkaitan dengan peraturan daerah yang akan dibuat. Disamping itu, naskah akademik memberikan
pertimbangan bagi lembaga eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan mengenai peraturan
yang akan dibuat.
Kotak 2.2 Branding Efektif Membangun Daya Saing Daerah dan Pemimpin
Selasa, 3 Februari 2015
VIVA.co.id - Branding kota, kabupaten, dan provinsi
tidak dapat dipisahkan dari kepaduan identitas
daerah dan identitas pemimpin. Kedua identitas ini
bila menyatu akan membentuk brand yang kuat baik
untuk mendapatkan posisi maupun citra brand suatu
kota, kabupaten maupun provinsi. Brand yang kuat
akan membantu seluruh pemangku kepentingan
baik itu warga, jajaran pemerintah, wirausahawan,
investor, pemerintah daerah lainnya melihat arah
dan kebijakan pembangunan suatu daerah dan meresponnya dengan baik. “Calon pemimpin maupun
pemimpin daerah yang tengah menjabat di suatu kota, kabupaten dan provinsi harus paham identitas
daerah masing-masing. Identitas daerah yang dimaksud adalah identitas yang berdaya saing,” kata
CEO Makna Informasi M. Rahmat Yananda kepada VIVA.co.idmelalui rilisnya, Selasa 3 Februari 2015.
Sebelumnya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi UI (LPEM FEUI) bersama
konsultan komunikasi dan riset media Makna Informasi meluncurkan Position Paper “Branding
Tempat” di Kantor LPEM FEUI, Salemba, Jakarta, beberapa waktu lalu. Perpaduan identitas daerah
dan gaya kepemimpinan yang sesuai merupakan langkah awal pembentukan brand suatu daerah.
“Identitas yang berdaya saing mampu menempatkan daerah dalam posisi unik dan berbeda dengan
daerah-daerah lainnya,” kata Rahmat Yananda.
Kepemimpinan menjadi elemen penting untuk membangun brand suatu daerah. Pemimpin
yang memiliki kebijakan dan program yang memadukan identitas daerah dan pemimpin mampu
membangun brand tempat yang kuat. Misalnya brand Kota Bandung dan Kota Surabaya. “Brand Kota
Bandung memang dikenal banyak pihak, tetapi Walikota Ridwan Kamil mampu mengantarkan brand
Bandung sebagai kota kreatif atau smart city,” ungkap Rahmat.
“Kota Surabaya adalah contoh yang juga menarik. Kegigihan Walikota Risma untuk menjadikan
Surabaya sebagai ‘Kota Taman’ mulai membuahkan hasil. Surabaya sebagai kota pantai yang panas
menjadi ‘sejuk’ karena telah hijau dan elok dipandang mata. Surabaya perlu menambah elemen brand
baru berdaya saing. Upaya digitalisasi pelayanan publik merupakan terobosan yang tepat,” tambah
Rahmat.