Indonesia Berkah edisi 1 Februari 2019. Kali ini kami bercerita tentang hujan, toleransi, dan inspirasi Sunan Drajat. Jangan dibaca saat khatib sedang khutbah.. :) #Jumatberkah #Indonesiaberkah #Indonesiabarokah
1. INDONESIA DAMAI, MAKMUR, BERLIMPAH BERKAH l EDISI 1 FEBRUARI 2019 l
D
i tangan penyair, hujan
dapat diramu menjadi
syair. Di tangan petani,
hujan dapat memberi kehidupan.
Di tangan penguasa, hujan bisa
menjadi komoditas.
Seorang Sufi berkebangsaan
Mesir, Ibn ‘Athaillah as-Sakandari
(1260-1309 M), menyatakan,
“Ada dua nikmat yang pasti
dialami dan dirasakan oleh semua
makhluk: nikmat penciptaan dan
nikmat pemenuhan kebutuhan.”
“Dan Kami turunkan dari langit
air yang penuh keberkahan lalu
Kami tumbuhkan dengan air
itu pohon-pohon dan biji-biji
tanaman yang diketam.”
(QS: Qaaf [50]: 9).
Saat manusia diciptakan.
Bumi telah terlebih dahulu
disiapkan. Sebelumnya, bumi
hanyalah padang tandus yang
tak berkehidupan. Tumbuhan
dihidupkan. Air sebagai
kebutuhan utama manusia,
diciptakan berlimpah, jumlahnya
lebih dari sepertiga permukaan
bumi. Jumlah itu bukan hanya
berkah bagi manusia, tetapi juga
berkah bagi alam semesta.
HUJAN, BERKAH
BAGI SEMESTA
TAHUKAH KAMU ORANG YANG PALING TAK BERPERASAAN?
DIA YANG JAUH DARI KEKASIH DI SAAT HUJAN, TAPI TAK
MENGHASILKAN PUISI. (SUDJIWO TEJO)
Ingat lah bahwa, jika Allah
ingin menganugerahimu sebuah
karunia, Allah akan menciptakan
amal pada dirimu, lalu menis
batkannya kepadamu. Dia akan
menyatakan kepadamu melalui
malaikat-Nya bahwa kau adalah
orang yang taat, bertakwa, gigih,
dan gemar beramal. Dengan cara
lain, Allah akan menisbatkan
amal itu kepadamu melalui lisan
para hamba-Nya. Sebagai wujud
pengakuan hamba kepadamu.
Sifat hamba yang baik, akan
merasa malu kepada Tuhannya
atas karunia yang Dia berikan.
Lalu muncul kesadaran dalam
dirinya untuk menisbatkan segala
sifat baik hanya kepada Allah
swt. semata. Dan meneguhkan
sifat-sifat buruk dalam dirinya,
kemudian merasa diri hina di
depan kebesaran karunia dan
keberkahan dari-Nya.
Mula-mula, Dia memberimu
nikmat penciptaan, lalu meme
nuhi semua kebutuhanmu secara
terus-menerus. Ibn ‘Athaillah as-
Sakandari, dalam Al-Hikam
Tak banyak orang yang mau
memikirkan perjalanan panjang
yang ditempuh sebutir air hujan,
hingga tiba di wajah kita, di
genggaman tangan, maupun di
tanah. Dari atmosfer yang jauh di
batas langit, menuju relung bumi,
melalui proses panjang yang
dijawab teknologi dengan istilah
ilmiah: kondensasi, presipitasi,
dan lainnya. Tapi tak ada sebutir
pun hujan yang mampu jatuh,
tanpa ijin-Nya.
Butir air jatuh di tempat yang juga
dikehendakinya. Di laut maupun
di darat, tempat sang khalifah di
muka bumi-manusia-seutuhnya
menggantungkan sepenuh
hidupnya pada air. Dalam hal ini,
air di darat disebut air tawar. Tak
cuma manusia, flora dan fauna
pun bersandar pada keberadaan
air hujan yang jatuh ke bumi.
Jaminan hidup dari Tuhan tak
perlu diragukan. Tuhan tidak
akan menciptakan makhluknya
lalu membiarkannya begitu saja.
Semua yang Dia kehendaki untuk
ada (kunn), maka ia akan ada (fa
yakunn), tentu dengan jaminan
pemeliharaan penuh dari-Nya.
Inilah dasar mengapa manusia
wajib mensyukurinya Melalui
cipratan air hujan ini, manusia
dapat melangsungkan kehidup
annya. Maka, mulailah mempe
rtebal rasa syukur dalam diri kita.
Allah swt. berfirman, “Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, pada
hal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang
kan kamu tidak mengetahui.”
(QS. al-Baqarah [2]: 216) l
KONTAK REDAKSI: INDONESIABERKAH2019@GMAIL.COM, FACEBOOK: INDONESIA BERKAH
2. INDONESIA BERKAH l EDISI 1 FEBRUARI 2019 l 02
PESAN DAMAI SUSTER
DI TENGAH LAUTAN HIJAB
ADA YANG SPESIAL DARI PERAYAAN HARI KELAHIRAN MUSLIMAT NU
KE-73 DI GELORA BUNG KARNO JAKARTA, MINGGU (27-1-2019). DI
ANTARA RATUSAN RIBU WARGA NU YANG MEMADATI GBK, TAMPAK
HADIR DUA SUSTER BIARAWATI KATOLIK DI TENGAH ACARA. KEDUA
SUSTER INI ADALAH ANGGOTA KONGREGASI PBHK (PUTRI BUNDA HATI
KUDUS) YANG DIUNDANG UNTUK MENGHADIRI ACARA INI.
F
oto dua suster berbusana
putih berjalan melintasi
karpet merah di tengah
arena pun viral. Warganet meng
apresiasi fragmen yang sangat
kental aroma toleransi tersebut,
seperti dilansir Pastor Benny
Steven dalam tulisannya di
Kompasiana.
“Makasih negeriku yang berbalut
kan perbedaan dan menghasilkan
kedamaian seluruh anak negeri,”
tulis akun Martin Tupen. “Cinta
itu melampaui batas dogmatis.
Cinta adalah Sulam Keragaman
menjadi kekuatan persaudaraan
dan ke-indonesiaan,” komentar
akun Syaparudin.
Kehadiran dua suster itu selaras
dengan tema acara dan semangat
NU selama ini. Pada perayaan
hari kelahiran ke-73 ini, Muslimat
NU mengusung tema ‘Jaga
Aswaja, Teguhkan Bangsa’.
“Toleransi dengan yang berbeda
akan menjadikan kita berlomba-
lomba menuju kebaikan dari
yang satu kepada lainnya,” Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muslimat
NU Khofifah Indar Parawansa.
Khofifah memimpin hadirin un
tuk mengucapkan deklarasi anti
hoaks, fitnah, dan ghibah yang
terangkum dalam empat poin.
1. Pentingnya penolakan pada
hoaks, fitnah, dan ghibah yang
dapat memicu perpecahan dan
perselisihan bangsa.
2. Anggota Muslimat NU tidak
akan membuat dan menye
barkan berita bohong, ujaran
kebencian, fitnah, serta ghibah.
3. Membudayakan menyaring
berita sebelum menyebar
informasi.
4. Perlunya berpikir positif untuk
menguatkan ukhuwah dan
persatuan bangsa.
Presiden Joko Widodo dalam
sambutannya menyampaikan
penghargaan atas deklarasi
Muslimat NU. “Saya kira ini
sebuah perlawanan terhadap
banyaknya hoaks yang ada di
media sosial,” kata Jokowi. “Kita
ingin Islam moderat, moderasi
Islam terus digaungkan.”
JILBAB PUTIH
Sebelumnya, interaksi yang mesra
antara suster dan muslimah juga
mencuat. Adalah kolaborasi
grup kasidah yang kental dengan
identitas Islam dengan para suster
Katolik di atas panggung. Dengan
riang mereka melantunkan lagu
Jilbab Putih yang dipopulerkan
oleh grup kasidah legendaris
Nasida Ria di era 1980-an.
Kolaborasi grup kasidah dan
suster Katolik ini sedang ramai
di linimasa. Cuplikan video itu di
unggah akun @mememekanlirik
pada 17 Januari 2019.
Ternyata, kolaborasi ini bagian
dari perayaan ulang tahun ke-45
Civita Youth Camp di Ciputat,
Tangerang, Banten. Video
aksi kolaborasi itu bersumber
dari akun YouTube Komisi
KOSMIS KWI. Grup kasidah
yang manggung itu adalah grup
kasidah Miftahul Jannah.
“Suster Yunita, CB, berkolaborasi
dengan Grup Kasidah Miftahul
Jannah, yang hadir meramaikan
perayaan HUT lustrum ke-9
Civita Youth Camp, Ciputat. Selain
menghibur, nyanyian para wanita
berkerudung ini memecah dinding
perbedaan di tengah maraknya
intoleransi karena beda pendapat.
Lagu yang dibawakan berjudul
“Jilbab Putih” karya kelompok
kasidah Nasida Ria.”
Warganet pun mendukung pesan
damai dan toleran dari aksi itu.
Nun jauh dari Jakarta, aksi
kemanusiaan lintas agama terjadi
di Maluku. Seperti dilansir
Antara, organisasi Fatayat NU
memberi bantuan untuk anak-
anak di Panti Asuhan Santo Maria
dan Santo Yoseph Ahuru.
Aksi lintas agama dan relasi yang
mesra antar-pemeluk agama ba
nyak dijumpai di Indonesia. Tole
ransi dalam perbedaan memang
modal berharga bangsa. l
3. INDONESIA BERKAH l EDISI 1 FEBRUARI 2019 l 03
RIBUAN ORANG MEMBANJIRI HAUL HABIB HASAN ATAU YANG JUGA
DIKENAL DENGAN SEBUTAN SYEKH KRAMAT JATI ATAU SINGO BARONG
DI LAMPER KIDUL, SEMARANG, SELASA (15/1/2019) MALAM.
U
lama yang hadir dalam
haul tersebut adalah
Habib Muhammad Luthfi
bin Yahya, dan beberapa ulama
dari Timur Tengah, di antaranya
dari Suriah dan Libanon.
Di dalam tausiahnya, Habib Luthfi
menyampaikan bahwa Indonesia
bukan hanya negara yang kaya
sumber daya alam namun juga
kaya ulama.
“Di Pulau Jawa paling ujung
ada makam Syekh Maulana Al
Bantani. Ditarik terus ke Cirebon,
tokoh-tokoh dan ulama Indonesia
memagari sampai wilayah
Banyuwangi,” ucapnya.
Para ulama itu sudah wafat, tapi
seakan masih hidup. Habib Luthfi
mengatakan ilmu yang diwariskan
para ulama itu terbukti masih
bisa mempersatukan umat,
dan memajukan ekonomi di
tempatnya dimakamkan.
Pada kesempatan itu, ia juga
mengajak umat untuk meneladani
nilai-nilai yang diwariskan ulama
terdahulu. Salah satunya adalah
tidak mudah terpecah belah.
Semangat persatuan dan
perdamaian memang terus
diserukan ulama kharismatik
dari Pekalongan, Jawa Tengah
itu. Dalam berbagai kesempatan
sebelumnya, Habib Luthfi
menyayangkan, saat ini banyak
umat bertengkar hanya karena
berbeda pandangan. Terlebih
jelang pemilihan umum (pemilu).
“Jangan sampai kita menyia-
nyiakan waktu untuk hal
semacam itu, walaupun baju
berbeda, pilihan berbeda.
Bolehlah bendera ormas ataupun
bendera partai banyak, namun
merah putih tetap satu,” katanya.
Ia juga mengingatkan, fitnah
(hoaks) yang semakin merajalela
saat ini sangat berpotensi meme
cah persatuan dan kesatuan bangsa.
“Di manapun dan kapanpun kita
harus bangga dan cinta tanah air
dan tumpah darah Indonesia.
Jangan sampai goyah oleh apapun,
apalagi hanya karena berita
hoaks,” katanya.
HAUL SINGO BARONG
Sementara itu, Habib Hasan atau
Syekh Kramat Jati atau Singo
Barong dahulu dikenal sebagai
seorang yang ahli menghentikan
segala perpecahan dan fitnah
antar golongan dan suku.
Sehingga aksi adu domba yang
dilakukan pihak penjajah gagal.
Pengaruh Habib Hasan mulai dari
Banten sampai Semarang sangat
besar. Tidak mengherankan
bila Belanda selalu mengincar
dan mengawasinya. Pada tahun
1206 H/1785 M, terjadilah
sebuah pertempuran sengit di
Pekalongan. Dengan kegigihan
dan semangat yang dimiliki
Habib Hasan dengan santri dan
pasukannya, Belanda kewalahan.
Akhirnya Habib Hasan bersama
pasukan dan santrinya mengungsi
ke Kaliwungu, Kendal, tinggal
di suatu daerah yang sekarang
dikenal dengan Desa Kramat.
Atas perjuangan, kearifan, serta
keluasan ilmu Habib Hasan, Sultan
Hamengkubuwono ke II kagum
dan menjadikannya menantu.
Habib Hasan tinggal bersama
sahabatnya bernama Kyai
Asy’ari seorang ulama besar
yang menjadi cikal bakal pendiri
pesantren di wilayah Kaliwungu
(Kendal ), guna bahu-membahu
mensyiarkan Islam. Masa tua
hingga wafatnya, Habib Hasan
tinggal di Semarang tepatnya di
daerah Perdikan atau Jomblang
yang merupakan pemberian dari
Sultan HB II.
Habib Hasan wafat di Semarang
dan dimakamkan di depan
pengimaman Masjid Al Hidayah
Taman Duku Lamper Kidul
Semarang. Hingga saat ini, banyak
orang yang yang datang berziarah
di makamnya. l
TAUSIAH HABIB LUTHFI
SAAT HAUL SINGO BARONG
“DI MANAPUN DAN
KAPANPUN KITA
HARUS BANGGA DAN
CINTA TANAH AIR
DAN TUMPAH DARAH
INDONESIA.”
4. INDONESIA BERKAH l EDISI 1 FEBRUARI 2019 l 04
JURUS SUNAN DRAJAT
MENEMBUS BEGAL DAN GUNUNG KAPUR
MÈNÈHANA TEKEN MARANG WONG KANG WUTA. MÈNÈHANA MANGAN
MARANG WONG KANG LUWÉ. MÈNÈHANA BUSANA MARANG WONG KANG
WUDA. MÈNÈHANA NGIYUP MARANG WONG KANG KODANAN
ARTINYA: “BERILAH ILMU AGAR ORANG MENJADI PANDAI,
SEJAHTERAKANLAH KEHIDUPAN MASYARAKAT YANG MISKIN, AJARILAH
KESUSILAAN PADA ORANG YANG TIDAK PUNYA MALU, SERTA BERI
PERLINDUNGAN KEPADA ORANG YANG MENDERITA”
I
tu jampi-jampi? Bukan! Nasi
hat buat calon penguasa? Tak
cuma penguasa. Itu nasihat
buat semua manusia, inti ajaran
bijaksana Sunan Drajat. Kalau tak
percaya, datang saja ke makam
Sunan Drajat. Kalimat bijak yang
menggambarkan tingginya derajat
hikmah sang Waliyullah tersebut,
terpampang di tembok tempat
peristirahatannya di Desa Paciran,
Lamongan.
Nama kecilnya Raden Qasim.
Sejak bocah, ia sangat berbakat
dalam mewarisi khazanah
keislaman ayahnya, Sunan Ampel
alias Raden Rahmat. Lahir
delapan tahun sebelum Kerajaan
Majapahit runtuh, yakni pada
1470 M, di Ampel Delta, alias
Surabaya, sebagai putera kedua
Sunan Ampel dan Nyai Ageng
Manila atau Dewi Condrowati.
Ia punya kakak bernama Sunan
Bonang, dan adik bernama Siti
Muntisiyah, yang kelak diperistri
Sunan Giri.
Asupan syariat dan hakikat aga
ma, membentuk karakter bijak
sang raden. Namun, tak berarti
ia serta merta menjadi penerus
ayahnya di Tanah Ampel. Ia ma
lah “dibuang” ke Cirebon, untuk
nyantri pada Sunan Gunung Jati,
mantan murid ayahnya.
Bukan hal sulit bagi Sunan Ampel
untuk mendidik sendiri buah
hatinya. Tapi demi kemandirian
dan masa depan tugas Waliyullah
dalam menegakkan agama Islam
di Nusantara, sang ayah yang
keturunan kesepuluh Sayidina
Hussein (cucu kesayangan Nabi
Muhammad SAW), justru mengi
rim anaknya berguru kepada
ulama lain. Hal ini demi pendi
dikan dan wawasan sang anak.
Selesai nyantri di Cirebon, ia
kembali ke Tanah Ampel. Bukan
nya diserahi “tahta” padepokan,
ia malah kembali “dibuang”
untuk kedua kalinya. Kali ini,
Raden Qasim dikirim ke bagian
utara Gresik.
Di desa yang panas dan bertanah
kapur, ia diberi tugas mengabdi
kepada masyarakat yang sengsara
akibat paceklik. Bisa dibayangkan,
tantangan yang harus dihadapi
sang raden dalam menegakkan
agama Islam di sana. Wilayah
tersebut, bisa dibilang “sarang
begal”, tempat bagi ajaran Islam
yang santun dan penuh kasih
sayang dianggap ajaran baru.
CARA SANG SUNAN
MENAKLUKKAN
“GUNUNG KAPUR”
Sulitnya kehidupan, membuat
hati masyarakat mengeras bagai
gunung kapur cadas. Tak hendak
memacul kapur dengan cangkul
yang tajam, Raden Qasim me
nyebarkan Islam dengan cara
menyelaraskannya dengan tradisi
warga setempat yang tidak
menyimpang dari akidah Islam.
Ia menyebarkan Islam dengan
mengajarkan cara bertani dan
mengadakan pentas-pentas seni,
musik gamelan, dan tembang
yang penuh dengan muatan
hikmah. Bahkan tembang
mocopat Pangkur yang berisi
pujian kepada Gusti Allah,
merupakan karya Sunan Drajat.
Keberhasilan Raden Qasim me
rangkul masyarakat, mengajarkan
bertani dan cara menanam hingga
rakyat sejahtera, membuatnya
dianugerahi gelar Sunan Drajat
oleh Raden Patah. Hingga kini,
sisa gamelan Singo Mengkok
milik Sunan Drajat, disimpan di
Museum Sunan Drajat.
Filsafat Hidup Sunan Drajat yang
diajarkan kepada masyarakatnya.
Antara lain, senantiasa membuat
senang hati orang lain (memangun
resep tyasing Sasoma), tetap ingat
dan waspada (éling lan waspada),
tekanlah gelora hawa nafsu (Mèpèr
Hardaning Pancadriya), kebaha
giaan lahir batin hanya bisa dicapai
dengansalatlimawaktu(Mulyaguna
Panca Waktu), dan lainnya. l