1. 112
DAMPAK LIMBAH DAN BEKAS TAMBANG TIMAH
TERHADAP LINGKUNGAN
Kasus di Kecamatan Belinyu Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung
A. Sutowo Latief
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Soedarto,S.H.,Tembalang, KotakPos 6199/SMG, Semarang 503293
Telp. 024-7473417, 024-7466420 (hunting), Fax. 024-7472396
Abstrak
Logam timah diperoleh dari penambangan bijih timah melalui proses metalurgi. Bijih timah sebelum
mengalami proses metalurgi, terlebih dulu dilakukn pengerjaan awal. Penggunaannya untuk pelapisan pelat
baja tipis bahan kemasan makanan dan minuman, sebagai logam paduan misalnya perunggu dan pateri.
Tambang Inconvensional (TI) dan skala usaha yang lebih kecil yaitu Tambang Rakyat (TR) sudah
berlangsung lama (400tahun silam) di provinsi Bangka Belitung. Satu unit Tambang Inkonvensional (TI)
dapat menghasilkan Rp 4 juta/hari, bayaran buruh mencapai Rp 150.000/hari, dan anak-anak bisa
mengumpulkan uang Rp 40.000/hari dari mengumpulkan sisa pencucuian pasir timah. Dampak negatifnya
adalah kerusakan lingkungan yang dasyat akibat ekploitasi yang tak memperhatikan keseimbangan
ekosistem. Tanah dan lumpur sisa menyebabkan pendangkalan sungai dan hutan bakau di pantai menjadi
rusak, lubang-lubang bekas penambangan tandus, serta kekeringan panjang. Timbul penyakit malaria akibat
banyaknya lubang tambang yang tergenang air. Muncul penyakit masyarakat, yakni prostitusi dan kebiasaan
minum minuman keras, serta penyelundupan pasir timah ke luar negeri. Sektor pertambangan selain
memberikan pendapatan bagi negara, membuat pemiskinan disekitar kawasan pertambangan. Semakin besar
skala pertambangan, semakin besar pula daya rusaknya terhadap lingkungan dan semakin sulit dipulihkan.
Kata Kunci : ”Limbah”, ”Tambang Timah”,”Kecamatan Belinyu”.
I. Pendahuluan
Timah merupakan logam alotropi, yaitu
memiliki perubahan struktur kristal pada
keadaan padat. Pada kondisi normal, suhu 13o
– 161o
C berada pada fase beta (timah beta)
berwarna perak dan dapat ditempa. Diatas suhu
161o
C berubah menjadi timah gama, pada fase
ini sangat rapuh, mudah dihancurkan menjadi
serbuk halus. Dibawah 13o
C berubah menjadi
fase alpha, pada fase ini struktur kristalnya
diamond yang sangat keras ( Latief, 2008).
Sifat-sifatnya : titik lebur 231,86o
C, titik didih
2270ºC, kekerasan dan dan kekuatan tarik
rendah, konduktivitas panas dan listrik tinggi,
tahan terhadap korosi (Sevryukov, t.t.).
Penggunaannya: untuk melapisi plat baja
tipis/lunak yang akan dijadikan kaleng untuk
tempat makanan dan minuman, sebagai bahan
solder/pateri bila dipadu dengan timbal dan
bismuth, apabila dipadu dengan tembaga
diperoleh logam perunggu.
Bijih timah yang disebut kasiterit (cassiterite)
merupakan timah oksida (SnO2), berat
specifik: 6,8 – 7,1 berwarna kuning muda
hingga coklat, tergantung unsur pengotornya.
Kasiterit berupa partikel ukuran halus 0,001 –
0,02 mm dan ukuran butiran kasar 2 mm lebih.
Timah diperoleh dari pemurnian kasiterit
(proses metalurgi) dalam dapur lebur (smelter).
Logam-logam ikutan lain dalam bijih yang
sering menyertai yaitu: wolfram, tembaga,
seng, timbal,dan lain-lain (Sevryukov, t.t.).
Sebelum dilebur (smelting) bijih timah
diproses awal (ores dressing) yang meliputi :
pemanggangan (roasting), pelarutan
(leaching), dan pemisahan secara magnetik.
Pemanggangan bertujuan untuk memisahkan
bahan-bahan yang mudah menjadi gas seperti
belerang, arsen, dan antimon. Pelarutan dengan
menggunakan asam hidrochlorida (HCl) untuk
memisahkan Fe, Pb, As, pada suhu 130 o
C.
Setelah di leaching bijih dipisahkan secara
magnetik, hingga diperoleh consetrate
casiterit.
Pemurnian atau pengambilan logam timah dari
konsentrat ini menggunakan proses
2. 113
pyrometalurgy, yaitu melibatkan proses
pemanasan. Proses peleburan dilakukan dalam
dapur nyala api (reverberatory) atau dapat juga
dilakukan dalam dapur listrik, hasilnya
didapat timah kasar (pig tin). Agar dapat
memenuhi permintaan pasar dengan standar
tertentu, timah kasar ini diproses lagi
(refining).
Berikut ini dikemukakan kegiatan
penambangan timah di Provinsi Bangka
Belitung yang telah berlangsung sejak lama,
dengan berbagai dampaknya terhadap
lingkungan.
2. Mekanisme Penambangan Timah
Kabupaten Bangka Provinsi Bangka Belitung
mempunyai 8 (delapan) kecamatan: 1) Bakam,
(2) Belinyu, (3) Mendo Barat, (4) Merawang,
(5) Pemali, (6) Puding Besar, (7) Riau Silip,
(8) Sungailiat. Kecamatan Belinyu terletak
dibagian paling utara Kabupaten Bangka,
jumlah penduduk 38.681 jiwa (Aditya, 2007)
Tambang Inkonvensional (TI) sudah sangat
dikenal di kalangan rakyat Bangka Belitung.
Ini merupakan sebutan untuk penambangan
timah dengan memanfaatkan peralatan
mekanis sederhana. Untuk skala penambangan
yang lebih kecil lagi, biasanya disebut
Tambang Rakyat (TR), umumnya tidak
memiliki izin penambangan.
Sebenarnya TI muncul karena dulu PT.
Tambang Timah melihat daerah-daerah yang
tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan
pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri.
Oleh karena itulah, kepada pengelola TI
diberikan peralatan pendulangan mekanis yang
sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang
tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator,
pompa penyemprot air, dan menyiapkan
tempat pendulangan pasir timah. Metodenya
pun sederhana, tanah yang diambil dengan
ekskavator kemudian ditempatkan di tempat
pendulangan, dan kemudian dibersihkan
dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar
berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut
terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu
dan pasir timah.
Pada mulanya pengelola TI melakukan
kegiatan di dalam areal kuasa penambangan
(KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah
habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang
ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan
tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari
tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-
cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah
sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi
ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena
menambang kebanyakan di luar KP PT.
Tambang Timah.
Seiring dengan pesatnya TI, pembangunan
smelter (pabrik peleburan atau pengolahan
bijih timah menjadi timah balok) juga
mengalami peningkatan sangat tajam, menjadi
ancaman besar terjadinya pencemaran
lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-
smelter baru tersebut kurang
mempertimbangkan sisi lingkungan.
3. Dampak bagi Pembangunan
Pengeksplotasian sumberdaya alam yang
berlebihan tanpa memperhatikan
keseimbangan ekosistem merupakan salah satu
pemicu kerusakan lingkungan di kecamatan
Belinyu. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi
yang mengakibatkan krisis sosial dan
kekurangsiapan pelaksanaan otonomi daerah.
3.1. Dampak Positif
Bagi masyarakat Bangka, menambang timah
merupakan mata pencarian yang sudah
dilakukan sejak 400 tahun silam. Sejak zaman
Belanda, nenek moyang mereka bersama
ribuan kuli kontrak dari China menggali tanah
untuk mencari timah. Setelah merdeka,
aktivitas pertambangan timah didominasi
PT.Timah Tbk. ( dulu PN Timah). Rakyat
tidak diizinkan menambang di mana pun
karena seluruh Bangka Belitung merupakan
wilayah kekuasaan penambangan BUMN itu.
3. 114
Sejak krisis ekonomi tahun 1997, Pemerintah
Kabupaten Bangka mengizinkan warga
menambang timah dan hasilnya dijual kepada
PT. Timah. Seiring berjalannya waktu,
pertambangan timah rakyat berkembang
menggunakan mesin penyedot tanah dan
menjadi penambangan inkonvensional yang
cepat menghasilkan pasir timah. Selain
tambang, muncul juga industri peleburan timah
atau smelter swasta. Smelter-smelter itu
menawarkan harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan PT Timah, sehingga
mereka berkembang pesat karena banyak
mendapat pasokan dari masyarakat.
Jika hasil sedang bagus, satu unit tambang
inkonvensional (TI) dapat menghasilkan 4 juta
rupiah per hari. Buruh juga mendapat bayaran
lumayan besar, mencapai Rp 150.000 per hari.
Bahkan, anak-anak yang mengumpulkan sisa
pasir timah dari pencucian pasir bisa
menghasilkan Rp 40.000 sehari. Uang yang
dihasilkan dari pertambangan timah
inkonvensional sangat besar sehingga
berdampak langsung pada ekonomi rakyat.
Warga mampu membeli barang-barang
konsumsi dalam jumlah besar sehingga
perdagangan ritel bergerak pesat, telah
memacu pertumbuhan ekonomi.
3.2. Dampak Negative
Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak
berkelanjutan dan pengeksploitasian
sumberdaya alam berlebihan tanpa
mengindahkan keseimbangan ekosistem
merupakan salah satu pemicu kerusakan
lingkungan di wilayah Bangka Belitung.
Keadaan ini merupakan imbas dari krisis
ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada
krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi
daerah yang kurang siap mengakibatkan
eksploitasi sumberdaya yang tidak
berkelanjutan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di
Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan
ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI.
Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara
sporadis dan massal itu juga mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian
besar penambang menggunakan peralatan
besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik
permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari
TI menyebabkan pendangkalan sungai.
Lumpur-lumpur tanah dari TI dan TR telah
membuat hampir seluruh aliran sungai di
Kecamatan Belinyu menjadi berwarna coklat
muda dan keruh.
3.2.1. Kerusakan Lingkungan Abiotik
Gambar 3. Air Sungai Tercemar oleh
Limbah TI
(sumber: Aditya, 2007)
Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya
terjadi di lokasi penambangan. Kerusakan alam
bahkan terjadi hingga ke pantai, tempat
bermuara sungai- sungai yang membawa air
dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai,
hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat
limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah
pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat
menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin
dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung.
Para buruh menyelam ke dasar laut,
mengumpulkan sedikit demi sedikit.
4. 115
Gambar 4. Lubang-lubang pada
Permukaan Tanah
(sumber: Aditya, 2007)
Bekas-bekas penambangan TI umumnya
dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa ada
upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah
penambangan antara dua sampai lima hektar,
lubang-lubang besar pada permukaan tanah
yang mereka gali merupakan pemandangan
yang tampak mengenaskan.
3.2.2. Kerusakan Lingkungan Biotik
Penambangan timah inkonvensional di Bangka
belitung kini masih terus berlangsung,
termasuk di kawasan hutan lindung. Salah
satunya adalah di kawasan hutan lindung
Gunung Pelawan. Penambang secara
sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di
kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak
daerah aliran sungai, kawasan sempadan
pantai, hutan lindung, dan hutan produksi.
Lubang-lubang bekas penambangan tandus
karena tidak direklamasi.
Gambar 5. Lokasi TI yang Berlangsung
di Daerah Gunung Pelawan, Belinyu
(sumber: Aditya, 2007)
Perusakan hutan karena tambang membuat
banyak wilayah kekeringan hebat pada musim
kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum
mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi
Bangka dipenuhi kawah dan lubang menganga.
Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi
tempat subur perkembangan nyamuk anofeles.
Akibatnya, penularan penyakit malaria di
Pulau Bangka cukup tinggi.
Gambar 6. Wajah Bumi Bangka Dilihat
dari Pesawat Udara
Saat ini, kegiatan tambang inkonvensional
bukan hanya terjadi pada lahan-lahan baru,
namun lahan-lahan lama yang dulu dikelola PT
Timah pun, kini digarap lagi. Padahal, lahan
tersebut sedang dalam proses reklamasi yang
ditandai dengan penanaman tanaman mudah
tumbuh. Meruyaknya tambang rakyat itu tidak
lepas dari keyakinan masih banyaknya
cadangan timah, baik di lahan baru maupun di
lahan yang sudah direklamasi. Banyak kebun
lada yang berubah menjadi ladang timah. Hal
ini dikarenakan untuk menunggu panen lada
dalam beberapa tahun, mereka hanya bisa
menghasilkan Rp 39.000 per kg, sedangkan
timah, hasilnya lebih baik karena harganya
bisa mencapai Rp 95.000 per kg.
3.2.3. Kerusakan Lingkungan Sosio-
Kultural
Maraknya TI dan tingginya perputaran uang
dari aktivitas itu dituding menjadi penyebab
munculnya penyakit masyarakat, yakni
prostitusi dan kebiasaan minum minuman
5. 116
keras. Bahkan, Bangka Belitung disinyalir
menjadi salah satu tujuan perdagangan
manusia (trafficking) baru karena tingginya
permintaan akan pekerja seks komersial.
TI juga dituding pemerintah sebagai biang
kekacauan pembayaran royalti dari
pertambangan timah. Banyak dan tidak
terkendalinya penambangan inkonvensional
menyebabkan sulitnya pemungutan royalti.
Maraknya TI juga dirasakan berdampak pada
sulitnya bahan bakar minyak, terutama solar.
Di semua stasiun pengisian bahan bakar untuk
umum (SPBU) di pulau itu selalu terjadi
antrean jerigen penampung solar. Solar dari
SPBU itu digunakan untuk keperluan
operasional TI.
Di sisi lain, tataniaga timah juga memunculkan
persoalan baru yaitu praktik penyelundupan
pasir timah ke luar negeri, khususnya ke
Singapura. Menurut aturan yang resmi,
sebenarnya hanya kepada PT.Koba Tin atau
PT.Timah sajalah para penambang,
pengumpul, maupun kontraktor timah bisa
menjual hasilnya. Akan tetapi, dengan tingkat
permintaan pasar dunia yang sedang lesu,
PT.Timah maupun PT.Koba Tin kesulitan jika
harus membeli semua pasir timah hasil TI
maupun TR. Dengan tingkat harga yang relatif
rendah di tingkat penambang, tidak
mengherankan bila muncul praktik
penyelundupan timah ke Singapura. Oleh
karena ada pembeli di Singapura yang berani
membeli dengan harga yang lebih tinggi dari
harga yang ditawarkan PT.Timah. Dari sisi
negara, praktik penyelundupan berarti
hilangnya pemasukan pajak yang semestinya
diperoleh pemerintah. Dari sisi lingkungan,
praktik penyelundupan berarti tidak
disisihkannya dana untuk memperbaiki
lingkungan bekas tambang karena pembeli di
Singapura pastilah tidak peduli dengan
bagaimana rusaknya bumi Bangka Belitung
untuk memperoleh pasir-pasir timah itu.
Akibat tidak langsung berupa turunnya harga
logam timah karena stok timah dunia saat ini di
atas normal, atau sekitar 12.000 ton yang
berasal dari Indonesia. Lebih jauh akan terjadi
over supply di pasar dunia dan harga timah
jatuh. Ditambah adanya kenaikan harga BBM
mengakibatkan PT Timah, PT Koba Tin dan
smelter independen makin merugi. Bahkan PT
Koba Tin telah menutup tambangnya dan
terpaksa melepas karyawannya sehingga hal
ini berpotensi menimbulkan konflik.
4. Kebijakan Pemerintah
Pengambilalihan urusan pertambangan dari
komunitas kekuasaan lokal di Nusantara
pertama kali pada tahun 1850 oleh pemerintah
Hindia Belanda. Sejak saat itu pengurusan
sektor pertambangan tak berubah meskipun
telah terbit UU No 11 tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Pertambangan Umum. Arah
pengelolaan sektor pertambangan saat itu oleh
UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman
Modal Asing.
Sektor pertambangan selain memberikan
pendapatan bagi negara, daya rusaknya adalah
membuat pemiskinan disekitar kawasan
pertambangan. Semakin besar skala
pertambangan, semakin besar pula daya
rusaknya terhadap lingkungan dan semakin
sulit dipulihkan.
Undang-undang No 11 tahun 1967 menjadi
pintu masuk daya rusak, misalnya pasal 26 UU
No 11 tahun 1967 menyebutkan ”.....apabila
telah didapatkan ijin kuasa pertambangan atas
suatu daerah atau wilayah menurut hukum
yang berlaku, maka kepada mereka yang
berhak atas tanah diwajibkan memperoleh
pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas
tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat
kepadanya”. Akibatnya jika perusahaan
tambang akan beroperasi, pilihan bagi
penduduk lokal hanya dua: (1) menerima ganti
rugi pelepasan tanah sepihak, atau (2) digusur
karena menolak ganti rugi. Konflik selalu
terjadi antara masyarakat lokal dengan
perusahaan tambang diawal operasi
6. 117
pertambangan hampir disemua lokasi
pertambangan di Indonesia.
Saat perusahaan tambang berproduksi,
pemiskinan terus berlangsung melalui
menurunnya kualitas lingkungan dan
produktivitas rakyat yang berhubungan dengan
sumberdaya tanah dan air. Krisis air selalu
dijumpai di semua lokasi pertambangan karena
operasinya membutuhkan air dalam jumlah
besar, sementara kualitas air menurun karena
rusaknya sistem hidrologi tanah, rembesan air
asam tambang, rembesan logam berat dan
buangan lumpur tailing
Investor pertambangan menunggu kepastian
hukum di Indonesia, banyak investor
pertambangan yang menunggu penyelesaian
persoalan penting di bidang pertambangan
untuk berinvestasi di Indonesia. Persoalan
yang penting, antara lain: tumpang tindih
kehutanan, peti, masalah perpajakan, dan
otonomi daerah. Konsep penyusunan draft
Undang-Undang Pertambangan Batubara dan
Mineral, telah mendapat masukan dari lintas
sektoral dan sudah dikirim ke Sekretariat
Negara, targetnya pada akhir Mei ke DPR.
Kalau undang-undang selesai, persoalannya
makin tuntas, makin ada kepastian hukum.
Pengelolaan sumberdaya alam berupa
pertambangan umum di Kabupaten Bangka,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
merupakan kewenangan Kabupaten Bangka.
Sumberdaya alam berupa pertambangan agar
dapat dikelola secara efektif, efesien,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
serta berkeadilan sehingga dapat memberikan
manfaat yang lebih luas kepada masyarakat
dan Daerah, maka dipandang perlu diatur
pengelolaannya dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Bangka Nomor 6 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Pertambangan Umum,
sambil menunggu diberlakukannya Undang-
undang Pertambangan Batubara dan Mineral.
Dalam bab II pasal 2 Peraturan Daerah tersebut
dinyatakan bahwa : ”Setiap pengelolaan
pengusahaan pertambangan hanya dapat
dilakukan setelah mendapat IUP (Izin Usaha
Pertambangan), IUPR (Izin Usaha
Pertambangan Rakyat) dan/atau Perjanjian
Usaha Pertambangan.
Lubang-lubang besar pada permukaan tanah
yang mereka gali merupakan pemandangan
yang tampak mengenaskan, oleh karena itu
Dinas Perikanan dan Kelautan Bangka
Belitung (Babel) akan memanfaatkan lubang-
lubang bekas pertambangan timah tersebut
sebagai kolam untuk budidaya ikan. Dua juta
benih ikan disiapkan untuk memanfaatkan
potensi lubang bekas tambang yang sudah
berubah menjadi seperti danau kecil itu.
Menurut Yulistyo, Kepala Dinas Perikanan dan
Kelautan Babel, ada sekitar 1.000 hektar
lubang bekas pertambangan timah yang dapat
digunakan menjadi kolam ikan air tawar.
5. Penutup
Timah merupakan logam yang sangat
diperlukan, selain sebagai logam paduan untuk
bahan teknik, misalnya perunggu, juga banyak
digunakan untuk lapisan pelat baja tipis yang
dibuat menjadi kaleng tempat makanan dan
minuman. Timah diekstrak dari bijihnya,
sedangkan bijih timah diperoleh dari
penambangan yang banyak terdapat di propinsi
Bangka Belitung. Kegiatan penambangan dan
proses pengolahan bijih timah menjadi timah
(smelting) telah meningkatkan pendapatan asli
daerah, namun kerugian yang ditimbulkan
terhadap kerusakan lingkungan yang sangat
besar tak dapat dinilai dengan harga pasar.
Banyaknya lubang-lubang bekas tambang
timah yang ditinggalkan tanpa reklamasi, telah
merubah rona lingkungan menjadikan
pemandangan yang sangat mengenaskan.
Semoga dalam waktu yang tidak lama lubang-
lubang tersebut dapat berubah secara alami
menjadi danau-danau kecil yang dapat ditebari
ikan, sehingga bermanfaat bagi rakyat sekitar,
dan menuju keseimbangan baru bagi
lingkungan.
7. 118
6. Daftar Pustaka
Aditya. 2007. Kerusakan Lingkungan di
KecamatanBelinyu. http://alramadona.
ultyply.com/journal/photos/hi-
res/upload/RgeScgoKCpgAAFx7tCc1
.htm.[19 Januari 2008].
Anderson B.C. 1991. Material Science.
Hongkong : ELBS and Nelson.
Beumer. 1998. Ilmu Bahan Logam jilid I.
Jakarta : PT. Bathara Karya Aksara.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2006.
Lubang Bekas Tambang Timah
diubah Jadi Kolam Ikan.
http://www.microsoft.com/isapi/redir.
dll?prd=ie&pver=
6&ar=Clink.htm.[28 Januari 2008].
Latief, A.S. 2008. Teknologi Bahan 1.
Semarang: Penerbit POLINES.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bangka. 2001.
Salinan Peraturan Daerah Kabupaten
Bangka Nomor 6 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Pertambangan Umum.
Sevryukov, N, B. Kuzmin, Y. Chelishchev.
Tanpa Tahun. General Metallurgy.
Moskow : Peace Publishers