SlideShare a Scribd company logo
1 of 70
Download to read offline
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya atas sumber daya alam, dimana hutan
merupakan salah satu diantaranya yang menempati posisi strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.Sekitar dua pertiga dari 191 juta hektare daratan Indonesia
adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam, mulai dari hutan tropika
dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan bakau
(mangrove)1
.Indonesia juga memliki 12% dari jumlah spesies binatang
menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies
burung dan 25% dari spesies ikan dunia.2
Hutan didominasi oleh kayu yang menyimpan berbagai macam kekayaan
alam yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.Oleh sebab itu, selain berfungsi
sebagai penyeimbang dan penyangga keberlanjutan lingkungan dan kelestarian alam,
hutan juga menjadi gantungan kehidupan bagi hampir 60 % masyarakat
Indonesia.Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hidup dalam
masyarakat semakin meningkat sehingga hutan menjadi pokok penghidupan banyak
orang.Industrialisasi kehutanan berdampak besar terhadap kelangsungan hutan
1
www. adeliapebryanti.wordpress.com/tag/191-juta-hektar/, diakses pada tanggal 26 Januari 2013
pukul 1.40 wib
2
www.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan_di_Indonesia diakses pada tanggal 26 Januari 2013 pukul
1.57 wib
2
sebagai penyeimbang dan penyangga hidup dan kehidupan makhluk di dunia.Hutan
merupakan sumber daya alam yang sangat penting, tidak hanya sebagai sumber daya
kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponenlingkungan hidup.3
Aspek-aspek pembangunan di bidang kehutanan pada dasarnya adalah
menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari
hutan dan kehutanan yang bertumpu pada kawasan hutan yang menyebar seluas
lebihkurang 72 % dari luas wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 143,970 juta
hektar yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi
dansebagainya.4
Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya merupakan modal alam (natural
capital) yang harus ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa
Indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu: 5
1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah,
nasional, dan global;
2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah,
danpendapatan masyarakat;
3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa
negara bagi penumpukan modal pembangunan.
Hutan merupakan sumber daya alamnya terbuka dan dapat langsung
dimanfaatkan oleh manusia,hingga memicu terjadinya permasalahan dalam
3
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka
Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6
4
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta, PT Raja
Grafindo, 1996, hlm. 49
5
Skripsi Eko Putra Doni, Pelaksanaan Penyidikan terhadap Tindak Pidana Penebangan Liar, di akses
tanggal 19 Desember 2012.
3
pengelolaan hutan, seperti penebangan liar, pengambilan hasil hutan yang tidak
berwawasan lingkungan. Jika dibiarkan terus menerus akan terjadinya kerusakan
hutan yang menyebabkan terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir,
erosi/tanah longsor, dan lain sebagainya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa setiap
menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging
(penebangan yang merusak). Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian
akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah
pertahun, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi
hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat
pengrusakan hutan.6
Aksi-aksi illegal logging terjadi disemua hutan Indonesia, baik itu di kawasan
hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung.Maka konkritnya, telah
terjadi kerusakan hutan di seluruh wilyah hutan tropis Indonesia.Hal tersebut terjadi
karena adanya keterlibatan pelaku illegal logging yang merata mewakili kelompok
kepentingan dan unsur masyarakat. Bahkan, dalam praktek illegal logging terdapa
unsur yang sangat terorganisir mulai dari pekerja lapangan, pemilik moda, cukong
kayu, maupun oknum pejabat pemerintahan,mulai dari aparat yang bekerja di
lapangan baik itu sipil maupun militer hingga pejabat yang mempunyai kekuasaan
tertinggi didalam suatu instansi pemerintahan.
6
www.jaringskripsi.wordpress.com/tag/benda-sitaan/ tentang Proses Penangan Benda Sitaan Tindak
Pidana Illegal Logging, Diakses tanggal 26 Januari pukul 11:84
4
Eksploitasi hutan secara tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging
berdampak pada peran dan fungsi sumber daya hutan.Sumber daya hutan yang
mempunyai 3 fungsi utama sebagai penjaga keseimbangan ekologi, keselarasan social
dan keadilan ekonomi tidak lagi berfungsi semestinya karena praktek illegal logging
yang mewabah.Ada 6 faktor penyebab yang mendorong terjadinya praktek illegal
logging, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya
koordinasi antara aparat penegak hukum, (4) adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme,
(5) lemahnya system pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan, serta (6) harga
kayu hasil tebangan liar lebih yang murah7
.
Kegiatan illegal logging sangat memberikan dampak yang negatif terutama
bagi kelestarian fungsi sumber daya hutan yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan. Pemerintah Indonesia telah bertekad dan berupaya untuk memberantas
praktek illegal logging sebagai salah satu bentuk kejahatan lingkungan, sesuai dengan
amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.Pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan konkrit untuk melakukan
pencegahan maupun penegakan hukum.Tindakan pencegahan dilakukan dengan
melakukan pendekatan kesejahteraan yang melipui program pembinaan,
pendampingan, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat desa hutan. Sementara
tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
melibatkan seluruh kelembagaan Negara yang berkaitan dengan keamanan hutan
7
Rahmi Hidayati, Charles,Agung dan Iwan Aminudin, Pemberantasan Illegal Logging dan
Penyelundupan Kayu, Tanggerang Banten, Wana Aksara, 2006, hlm 4
5
untuk terlibat dalam kegiatan pemberantasan illegal logging8
. Praktek illegal logging
merupakan suatu praktek yang bermoduskan pidana maka harus dilawan juga dengan
pidana, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku illegal logging.
Untuk itu hutan sebagai penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya.
Sebagaimana disebutkan di dalam Dasar Negara Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara
Republik Indonesia yang berbunyi :“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Untuk melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,
maka dari itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan tentang kehutanan,
yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Disamping itu masyarakat adat juga memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis
bilamana terjadi pelanggaran dalam kosmis adat. Pelanggaran terhadap kosmis adat
itu tidak saja dilakukan terhadap perorangan tetapi juga dilakukan terhadap kejahatan
terhadap masyarakat adat, termasuk hak-hak yang melekat pada masyarakat adat,
oleh karena itu masyarakat adat juga mempunyai beberapa sanksi atau reaksi adat
yaitu :
1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan
menikahkan gadis yang telah dicemarkan;
2) uang adat;
3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran;
4) penutup malu/permintaan maaf;
8
Ibid hlm 7
6
5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan
6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.9
Maka dari itu sanksi yang dapat diberikan kepada masyarakat adat yang
melakukan praktek illegall logging adalah berupa uang adat yang harus dibayarkan
guna pertanggungjawaban dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat/kosmis
adat yang melanggar.
Aturan adat Minangkabau tersusun atas induk aturan yang terdiri atas 6
(enam) macam, yakni :
1) adat
2) kato
3) nagari
4) undang
5) hukum
6) cupak
kemudian aturan ini dipecah menjadi 22 yang merupakan perincian dari
induk aturan yang 6 (enam) tadi10
, yang salah satunya adalah Undang-Undang duo
puluah, adalah himpunan aturan terdiri dari 20 macam, terdiri atas :
a. Undang-undang Salapan (Undang delapan)
b. Undang-undang duo baleh (undang dua belas)11
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan,menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa
9
Block book hukum pidana adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm 11.
10
ST.Mahmud BA DT. Tenggi Langit , Minangkabau Adat dan Limbago, hlm 1
11
Ibid, hlm 7
7
ijin daripejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Setelah berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999
terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang
tersebut dikenakan pidana. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 UU No.
41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan
apabila dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP).
Namun sejak bergulirnya Otonomi Daerah sebagai sintesa pemeritahan yang
otoritarian, untuk menuju pemerintahan yang demokratis, berdampak pula terhadap
pola pengelolaan sumber daya alam termasuk didalamnya hutan.Sumatera Barat
melaksanakan otonomi dareah dengan kembali kepada nagari. Oleh karena iu,
didalam perda kembali disebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis nagari.
Pengaturan ini dapat dilihat pada ketentuan Bab I Pasal 1 angka 15 Perda No.
2 Tahun 2007, yang menyebutkan harta kekayaan nagari adalah: Harta benda yang
telah ada atau yang kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak
maupun tidak bergerak. Sedangkan dalam BAB V Pasal 16 menyebutkan harta
kekayaan nagari itu meliputi :
a. Pasar nagari;
b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari;
c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari;
d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari;
e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari
untuk kepentingan umum;
f. Harta benda dan kekayaan lainnya.
8
Maka dari itu nagari mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan
harta kekayaan nagari yang sudah dilimpahkan oleh pemerintah, terutama hutan
yang terletak dalam kawasan adat yang mana harus dijaga kelestariannya oleh
nagari serta jajaran nagari, seperti pemuka-pemuka adat dan pemuka-nagari.
Pemuka adat dan nagari harus menjaga hutan nagari dari praktek penebangan liar
atau yang dikenal dengan illegal logging.
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Dharmasraya berdasarkan SK Mentri Hutan
Nomor : 304/Menhut-II/2011 tanggal 9 Juni 2011, sebagai berikut :
1. Hutan Swaka Alam (SA) 5.409 Ha
2. Hutan Lindung (HL) 11.986 Ha
3. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 31.224 Ha
4. Hutan Produksi Tetap (HP) 26.770 Ha
5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi 16.761 Ha
6. Kawasan Hutan 92.150 Ha
7. Areal Penggunaan Lainnya 203.963 Ha
Sedangkan luas hutan yang terdapat di kenagarian lubuk karak kecamatan IX
Koto adalah seluas 11724Ha. Kondisi hutan yang ada di Kabupaten Dharmasraya saat
ini sudah sangat memprihatinkan, dimana dari data yang ada di Dinas Kehutanan
sebanyak 22 Ribu hektar hutan Dharmasraya rusak. Hal ini diungkapkan oleh Kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ramilus SP M.Si dalam acara sosialisasi
pemantapan dan kelestarian kawasan hutan yang dipusatkan di Kelompok Tani
9
Rimbo Sakato Sungai Kilangan kemarin.12
Kerusakan hutan di Dharmasraya
berdasarkan table perbandingan luas kerusakan hutan antar Daerah tahun 2010 yaitu
disebabkan :13
a. Kebakaran hutan seluas 100 ha
b. Lading berpindah 500 ha
c. Penebangan liar 750 ha
d. Perambahan hutan 200 ha
Maka dari itu nagari dan pemrintah berkewajiban menjaga dan melindungi
hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.Dengan memberikan
hukuman berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik yang
berdasarkan KHUP maupun UU khusus berkaitan dengan pebenagan liar (illegal
logging) yaitu UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kejahatan penebangan liar (illegal logging) secara umum ada kaitannya
dengan tindak pidana umum dalam KUHP, yang bentuk kejahatannya dapat di
klasifikasikan sebagai berikut:
1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412).
Yang mana inti dari pasal di atas yaitu barang siapa yang melakukan
pengrusakan, menghancurkan dan membuat suatu barang tertentu
tidak dapat dipakai dengan cara melawan hukum di ancam dengan
pidana.
12
www.Green.kompasiana.com. Penghijauan, 22 ribu hektar hutan Dharmasraya rusak, di poskan tgl 9
Desember 2012 dan di akses tgl 19 Desember 2012.
13
www.bukuSLHDKab/Kota 2010.com. Di akses 19 Desember 2012
10
2. Pencurian ( Pasal 362)
barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
3. Penyelundupan
Sampai saat ini belum ada undang-undang secara khusus mengatur
tentang penyelundupan.Penyelundupan masih disamakan dengan
pencurian yang dimasukkkan dalam pasal pencurian didalam KUHP.
Namun demikian, juga diatur secara khusus didalam Pasal 50 (3) huruf
f dan h UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang mengatur
tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang
dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai suatu
perbuatan penyelundupan kayu.
4. Pemalsuan ( Pasal 261-276)
Yaitu berdasarkan Pasal 263 pemalsuan surat yang dikaitkan dengan
perizinan pengelolaan hutan yang surat-suratnya di palsukan untuk
mengelabui aparat penegak hukum.
5. Penggelapan ( Pasal 372-377)
6. Penadahan ( Pasal 480 KUHP)
Kejahatan penebangan liar (illegal logging) juga di atur di dalam Undang-
Undang kehutanan, yaitu undang-undnag No. 41 Tahun 1999, salah satu pasal yang
11
menyebutkan tentang tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu pasal 50
ayat 1-3, yang mana sebagian ayat itu berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Serta dalam Pasal 69 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
yang mana pasalnya berkaitan dengan perlindungan hutan, yang berbunyi :
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga
kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta
pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya
masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Berdasarkan data yang didapat dari lapangan, yaitu dengan cara wawancara
langsung dengan narasumber, yaitu Bapak Martiajis Wali Nagari Lubuk Karak
Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya menyatakan bahwa 30% Hutan Nagari
di Nagari Lubuk Karak rusak diakibatkan oleh penebangan liar. Namun berdasarkan
pengamatan saya lebih dari 30% karena di sepanjang jalan dan di sungai begitu
banyak kayu-kayu hasil dari penebangan liar.
12
Berdasarkan latar belakang dan kondisi hutan yang semakin buruk di
akibatkan oleh penebangan liar kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
hutan bagi kehidupan, kemudian mendorong penulis untuk membuat proposal dan
melakukan penelitian, dengan judul proposal : “PERLINDUNGAN HUTAN
NAGARI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI NAGARI LUBUK KARAK
KABUPATEN DHARMASRAYA”.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka dalam
lingkup permasalahan ini penulis perlu membatasinya agar masalah yang dibahas
tidak menyimpang dari sasarannya. Adapun batasan masalah yang teridentifikasi
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap
illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya
kenagarian Lubuk Karak?
2. Bagaimana peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan
Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di
Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?
3. Apakah yang menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk
perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan illegal logging di
Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?
13
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini
adalah untuk:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan hutan nagari
di Kabupaten Dharmasraya.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran KAN dan pemerintahan nagari
dalam melindungi hutan nagari di Kabupaten Dharmasraya nagari
Lubuk Karak.
3. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam hal perlindungan dan
penegakan hukum terhadap hutan nagari dari praktik illegal logging.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
a. untuk pengembangan hukum, dan menambah bacaan di perpustakaan
khususnya di bidang kajian pidana;
b. untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan penelitian dasar maupun
bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas;
c. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan dalam pembuatan
karya-karya ilmiah serta penerapan ilmu pengetahuan hukum pidana.
14
2. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:
a. Bagi pemerintah untuk masukan dalam mengambil kebijakan terhadap
terhadap perlidungan hutan atas illegal logging baik hutan nagari
maupun hutan lindung.
b. Bagi penegak hukum untuk masukan dalam melakukan tindakan
penegakan hukum terhadap illegal logging.
c. Bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum terutama
tentang pentingnya hutan dan perlindungannya demi kelangsungan
hidup.
E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoretis
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kehidupan,
maka dari itu hutan harus dilindungi.Perlindungan terhadap hutan perlu dilakukan
baik dikalangan Pemerintah maupun di kalangan masyarakat agar tercegahnya dari
pengrusakan hutan terutama penebangan liar.
Menurut pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
represif.14
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
14
Phillipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1987), hal 2 .
15
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.15
Berdasarkan pendapat Philipus M. Hadjon diatas maka
perlindungan hutan juga bersifat preventif dan represif, yang mana perlindungan
preventif dilakukan oleh Dinas Kehutan serta jajarannya juga termasuk Pemerintahan
Nagari dan mayarakat.Sedangkan perlindungan yang bersifat represif dilakukan oleh
kepolisian, karena keoplisian berwenang untuk menindak lanjuti kejahatan yang
diakibat oleh penebangan liar.
Perlindungan hukum diatur karena banyak kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh seorang sehingga menganggu kedamaian dan ketentraman orang lain,
maka dibutuhkan perlindungan hukum agar HAM sesorang tidak dilanggar. Dari
kesalahan seorang tersebut maka diperlukan pertanggungjawaban atas perbuatan yang
dilakukannya yang berhubungan dengan asas kausalitas atau asas sebab akibat.
Akibat akan muncul karena suatu sebab.Begitu juga dengan hutan, hutan harus
dilindungi sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan.
Hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep awal mula dari
munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran
hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno
(pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu
bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan
moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan
15
Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat
Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas
Brawijaya, 2010), hlm 18.
16
moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.Menurut Thomas Aquinas
mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan
yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat
untuk disebarluaskan.16
Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan
dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-
tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang
kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan
sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap
pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu
perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.17
Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam,
tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian
pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum
alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”, ternyata
dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin
banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.18
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah
cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran
16
www.hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum. Di postkan tanggal 18
November 2011, di akses tang 20 Desember 2012.
17
Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm 116.
18
Ibid, hlm 117
17
sejarah hukum, ternyata aliran hukm alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang-
undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan
hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum
positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya yang mencakup
banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari
masa ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas
yang berisfat universal yang bisa disebut hak asasi manusia.19
Hutan merupakan sumber alam yang di anugerahkan oleh Tuhan, dan sudah
merupakan ketetapan dari Tuhan. Jika hukum alam tersebut dirusak akan
mengakibatkan suatu akibat yang fatal. Seperti hutan yang dirusak akan memberikan
suatu akibat yang fatal, karena alam merupakan ciptaan Tuhan yang wajib untuk
dilindungi.
Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari
perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh
eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam Oendang-Oendang Simboer
Tjahaja pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera
Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana
adat dimana sanksi denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I
tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin UUSC. Sedangkan di Sumatera Barat dikenal
dengan Undang-Undang Duo Puluah yaitu himpunan aturan aturan yang terdiri dari 0
macam, yang terdiri atas :
19
Ibid hlm 118
18
a. Undang-undang salapan ( undang delapan)
b. Undang-Undang duo baleh (undang dua belas)
Adapun undang salapan adalah aturan yang menetukan nama kejahatan atau
pelanggaran, yakni :
1. Dago-dagi
2. Sumbang – salah
3. Maliang – curi
4. Tikam – bunuah
5. Lancuang – kicuah
6. Upeh – racun
7. Sia – baka
8. Samun – saka
Adapun undang duo baleh (dua belas) adalah aturan untuk membuktikan
bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan, atau telah dilakukan perbuatan melawan
undang, dan perbuatan itu mesti salah satu diantara perbuatan tersebut diatas.
Undang dua belas ini mengatur cara membuktikan, dan menentukan syarat-syarat
untuk membuktikannya.
Konteks di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut
eksistensinya telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak
lama.20
asas dan praktek hukum pidana adat sampai sekarang masih diterapkan hakim
yang bertitik tolak pada hukum pidana adat atau mengganggap hukum pidana adat
20
http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=139. Kearifan Lokal
Hukum Pidana Adat Indonesia. Di akses tanggal 29 mei 2013
19
masih berlaku seperti dalam praktek yurisprudensi Mahkamah Agung RI salah
satunya tercermin pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal
15 Mei 1991 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah melakukan
perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi adat)
oleh kepala adat, tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan
peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum
adat dan dijatuhkan hukuman penjara menurut ketentuan hukum pidana.21
Hukum pidana adat dapat kaji dari teori hukum, maka ilmu hukum dibagi
menjadi tiga lapisan yaitu teori hukum dan filsafat hukum dan dogmatik hukum.
Teori hukum menurut JJH Bruggink adalah keseluruhan pernyataan yang saling
berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-
putusan hukum, dan sistem tersebut sebagian yang penting dipositifkan. Menurut JJH
Bruggink lebih lanjut pengertian teori hukum memiliki makna ganda, yaitu dapat
berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil
kegiatan teoretis bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoretis tentang
hukum atau pada kegiatan penelitian teoretis bidang hukum sendiri. Kemudian
dogmatik hukum hakikatnya berisikan hukum positif yaitu yang dibentuk dalam
wujud tententu oleh kekuasaan yang berwenang.22
Filsafat Hukum merupakan
refleksi terhadap hukum atau gejala hukum sehingga sebagai refleksi kefilsafatan
eksistensinya tidak ditujukan mempersoalkan hukum positif tertentu melainkan
merefleksikan hukum pada umumnya atau hukum sebagai yang demikian (law as
21
http://pn-kepanjen.go.id. hukum-pidana-adat-korelasinya-dengan-filsafat-hukum-teori-hukum-dan-
dogmatik-hukum-serta-dalam-yurisprudensi-mahkamah-agung ri. Di akses tanggal 29 mei 2013
22
ibid
20
such). Sedangkan Dogmatik Hukum menurut Bellefroid dan Kusumadi Pudjesewojo
disebut sebagai Ilmu Hukum Positif mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis,
berbicara hukum dari aspek yuridis, problem hukum yang konkret, aktual dan
potensial dan melihat hukum dari perspektif internal.23
Pada tataran dogmatik hukum yang secara teoretis berkorelasi dengan teori
hukum khususnya hukum positif maka tindak pidana adat (hukum pidana adat)
haruslah berupa sebuah rumusan yang bersifat tertulis sehingga dapat dikualifisir
unsur perbuatan tindak pidana adat sebagai suatu “primes mayor”. Untuk itu, dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 sebagai
berikut:
Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam
KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat
yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan
ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus
rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana
termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan
ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang
berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai
pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa.
Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman
pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP
seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau
Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak
pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP.
23
ibid
21
Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan
pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya
dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam
KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.24
Pada dimensi teori hukum maka hukum pidana adat dipandang sebagai norma
hidup (living law) yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena dimensi
demikian maka hukum pidana adat dalam implementasinya dipergunakan penafsiran
hukum berupa penafsiran sosiologi atau teleologis. Konsekuensi logis dimensi
demikian yang mempergunakan penafsiran sosiologis atau teleologis ini dilakukan
terhadap proses heurmanitika dalam praktek hukum sehingga harus mempunyai tolok
ukurnya dalam hukum positif. Sedangkan dikaji dari perspektif filsafat hukum maka
hukum pidana adat mengatur tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
sehingga apabila nilai tersebut dilanggar akan terjadi kegoncangan keseimbangan
magis dan oleh karena itu harus dipulihkan keseimbangan tersebut dengan sanksi adat
atau obat adat. Nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam bentuk norma dan asas serta
diterapkan dalam praktek hukum. Dari dimensi fisafat hukum nilai-nilai filosofis
tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang secara tegas
meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat.25
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana mempunyai
korelasi dengan teori hukum, filsafat hukum dan dogmatik hukum. Dan ditegaskan
bahwa dalam kajian ilmu hukum khususnya hukum pidana maka posisi hukum
24
ibid
25
ibid
22
pidana berada pada teori hukum, filsafat hukum dan dogmatik hukum. Oleh karena
itu hukum pidana adat menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum
sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum, maka hukum pidana adat tidak
diragukan lagi kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum indonesia.
2. Kerangka konseptual
Untuk lebih memahami tulisan ini, selanjutnya penulis akan memaparkan
pengertian-pengertian yang berhubungan degan kasus yang diteliti :
a. Perlindungan hukum
Sebelum menjelaskan pengertian perlindungan hukum, terlebih dahulu
kita lihat pengertian dari perlindungan. Perlindungan menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adalah cara, proses, perbuatan melindungi.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun
2002 perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa
aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.Maka dari itu dapat diambil pengertian perlindungan hukum
23
yaitu tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang
hukum.26
b. Hutan Nagari
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-
batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau
(Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal
usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera
Barat.27
Nagari tidak hanya dilihat sebagai wilayah administrasi
Pemerintahan akan tetapi dimaknai pula sebagai kesatuan masyarakat hukum
adat Minangkabau dalam hal mana seluruh warga masyarakat secara
bersama-sama mengembangkan potensi Nagari (sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan) serta mengembangkan nilai-
nilai syarak, adat dan budaya di Nagari, sesuai falsafah adat salingka Nagari
dan Adat sebatang panjang untuk tercapainya dan suksesnya
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat dan anak Nagari.28
Nagari berhak untuk mengelola
hutan nagari demi mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi kelangsungan
hidup masyarakat nagari serta meningkatkan iklim ekonomi suatu nagari.
26
WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Balai Pustaka 1959:224
27
Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Nagari
28
ibid
24
Hutan nagari adalah hutan negara yang dikelola oleh desa/Nagari dandimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa/Nagariserta belum dibebani izin/hak29
.
c. Illegal Logging
Menurut Suryanto dkk (2005) praktek illegal logging sebagai praktek
eksploitasi hasil hutan berupa kayu secara tidak sah dari kawasan hutan
negara melalui aktifitas penebangan pohon dan atau pemanfaatan dan
peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil tebangan yang tidak
sah30
.
Illegal logging atau penebangan liar merupakan penebangan kayu
secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa
pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan
atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah
ditetapkan dalam perizinan.31
Disamping itu dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya
Diseluruh Wilayah Republik Indonesia dapat diidentifikasi secara langsung
yang berkaitan dengan perbuatan penebangan liar pada pokoknya adalah
sebagai berikut:
29
Peraturan Menteri Kehutanan No : P.49/Menhut-II/2008
30
Rahmi Hidayati, Charles,Agung dan Iwan Aminudin, Pemberantasan Illegal Logging dan
Penyelundupan Kayu, Tanggerang Banten, Wana Aksara, 2006, hlm 9
31
Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus
Penebangan liar, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang
diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta 2003
25
a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu
yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang
b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang
diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah
c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang
tidakdilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan kayu.
d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau
patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong
atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.32
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting karena merupakan unsur mutlak yang harus
ada di dalam suatu penelitian, guna keberhasilan dari penelitian itu sendiri.Peneletian
secara ilmiah adalah metode yang bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis
suatu atau beberapa masalah yang sesuai dengan fakta yang terdapat di lapangan.
32
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Republik Indonesia
26
Menurut Soerjono Soekanto, metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak
harus ada didalam penelitian dan pengembangan suatu ilmu pengetahuan.33
Hal yang
perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah adanya kesesuaian antara masalah
dengan metoe yang di gunakan di dalam penelitian yang dilakukan. Adapun metode
yang digunakan di dalam skripsi ini yaitu :
1. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
masalah bersifat yuridis sosiologis (socio-legal Research) yang menekankan pada
praktik di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang
berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melihat norma-norma
hukum yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat.34
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penulisan ini jenis data yang digunakan adalah:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan atas temuan dari
sesuatu yang diteliti melalui wawacara. Untuk memperoleh data primer,
peneliti mendapatkannya dari hasil penelitian dilapangan (field
research). Penelitian di lapangan ini dilakukan di Kabupaten
Dharmasraya.
33
Soejono Sukanto, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI PRESS,Hlm 7
34
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.PT.Raja Grafindo Persada.
Jakarta: 2008.
27
a. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berupa informasi dan dikumpulkan
dengan cara mencari data kepustakaan (Library Research) atau bahan
terkait untuk menetukan sumber yang sesuai dengan penelitian. Data
sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum :
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat, antara lain seperti Peraturan Perundang-Undangan yang
berkaitan dengan illegal logging. Peraturan tersebut yaitu, Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu hal yang menjelaskan tentang bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi
bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku, jurnal dan media
cetak maupun media elektronik.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang berisikan penjelasan mengenai bahan hukum
pejelas dan pelengkap atas bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.
28
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu :
a. Penelitian kepustakaan
Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang diperoleh melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku, dokumen resmi, publikasi, dan
hasil penelitian.35
b. Penelitian lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan adalah penelitian yang langsung terjun kelapangan
yang dilakukan dengan pihak yang yang bersangkutan berkaitan
dengan objek dari penelitian tersebut, untuk mendapatkan data yang
akurat dan relevan dengan masalah penelitian.Penelitian dilakukan di
kabupaten Dharmasraya.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Dharmasraya tepatnya di
Kenagarian Lubuk Karak Kecamatan IX Koto.Dengan responden
Bapak Wali Nagari Lubuk Karak yaitu Bapak Marti Ajis. Bapak ketua
Kerapatan Adat Nagari, Bapak kepala Kehutanan Dharmasraya, Bapak
Kepala polisi Resor Dharmasraya serta Bapak kepala Polisi sektor IX
Koto.
35
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika. Jakarta : 2009, hlm. 107
29
3. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Dokumen
Melakukan infentarisasi terhadap bahan-bahan hukum yang
diperlukan, seperti: bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan
hukum sekunder, dan bahan-bahan hukum tersier.36
b. Wawancara
Agar data yang diperoleh lebih konkrit, maka penulis
melakukan teknik wawancara terhadap responden di lapangan.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan memperoleh
keterangan lisan melalui tanya jawab dengan subyek penelitian
(pihak-pihak) sesuai dengan masalah yang penulis angkat.37
Wawancara ini dilakukan secara berencana dan di buat satu daftar
pertanyaan yang akan di tanyakan kepada orang di wawancarai.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah seluruh data yang diperlukan berhasil dikumpulkan dan
disatukan kemudian akan dilakukan penyaringan dan pemisahan data,
sehingga didapatkan data yang akurat. Setelah dilakukan penyaringan dan
pemisahan data maka tahap selanjutnya akan dilakukan pengolahan data
disusun secara sistematis melalui proses editing, yaitu akan merapikan
kembali data yang diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan
keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir
36
Amiruddin, dan Zainal Asikin. 2008. Pengantar Metode Hukum.,Op.Cit,. Hlm 66.
37
Burhan Ashsofaf, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
30
secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggung jawabkan sesuai
dengan kenyataan yang ada. kenyataan-kenyataan tersebutdibuat dalam
bentuk kalimat. Terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut,
penulis menggunakan metode analisis secara kualitatif yaitu uraian data yang
terkumpul, yang tidak menggunakan statistik atau rumusan statistik.
31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Illegal Logging
1. Pengertian illegal logging
Pengertian illegal logging didalam peraturan perundang-undangan yang
ada tidak di jelsakan secara tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat
dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau
bertentangan dengan hukum, dan Log adalah kayu gelondongan , logging
artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Secara umum
illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang
merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan,
pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang
tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau
perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan38
.
Unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan illegal logging tersebut
antara lain :
1. Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha;
2. Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun
karena kealpaannya;
38
Abdul Muis dan Muhammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan Indonesia,Rineka Cipta,
Jakarta:2011. Hal.36
32
3. Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni :
a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga
merusak hutan.
c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang
ditentukan Undang- undang.
d) Menebang pohon tanpa izin.
e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa
SKSHH.
g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil
hutan tanpa izin.
Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan adalah merupakan
suatu kejahatan yang sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 48 Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH), bahwa tindak pidana perusakan hutan adalah merupakan suatu
kejahatan. Perusakan hutan itu adalah termasuk kegiatan penebangan liar
(illegal logging). Berdasarkan unsur-unsur diatas maka tindakan penebangan
liar atau sering disebut dengan illegal logging termasuk dalam tindak pidana.
Aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana penebangan liar ini lebih
33
lanjut diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan. Menurut Muladi kejahatan atas kriminal merupakan salah satu
bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap
bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan39
.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa perbuatan penebangan liar (illegal
logging) itu merupakan suatu kejahatan oleh karena dampak yang
ditimbulkannya sangat luas, yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial budaya
dan lingkungan. Kejahatan ini merupakan ancaman yang serius bagi
ketertiban sosial dan dapat menimbulkan ketegangan serta konflik-konflik
dalam berbagai dimensi, sehingga perbuatan itu secara faktual meyimpang
dari norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial. Bahkan
dampak kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kejahatan penebangan liar
(illegal logging) ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada di
sekitar hutan saja namun dirasakan juga secara nasional.
Menurut Wayan T. Budiharjo mendefinisikan illegal logging sebagai
sebuah bentuk aktifitas manusia dalam mengekploitasi sumber daya hutan
diluar sistem pengelolaan hutan lestari yang berlaku yang dilakukan oleh
sekelompok orang atau oknum tertentu secara sistematis maupun cara-cara
lain untuk kepentingan kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara
illegal. Sedangkan H. Aspar Aspin , mendefinisikan illegal logging sebagai
sebuah aktifitas kelompok masyarakat atau badan usaha yang
39
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Center, Jakarta, 2002, hlm. 256
34
melakukanpemanfaatan hasil hutan kayu dengansadar, terstruktur dan
sistematis menurut kehendaknya sendiri diluar peraturan perundang-undangan
yang berlaku.40
Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) masih
mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Jo
Pasal 78 UU No. 41/1999. Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78
UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan
benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis
pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Pada dasarnya,
Praktek illegal logging ini dapat di kelompokan dalam dua kegiatan41
,yaitu:
1. Penebangan liar ( illegal logging) yang dilakuakan oleh pihak yang tidak
memiliki izin yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang
kemudian hasilnya dijual kepada penadah hasil hutan.
2. Penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya, cenderung
merusak hutan seperti kegiatan melakukan penebangan diluar wilayah
kewenangannya (over cutting), melanggar persyaratan yang sudah
ditetapkan dalam aturannya, kolusi dengan pejabat maupun
aparat,manipulasi kebijakan, serta tindakan pemalsuan dokumen yang
terkait dengan perizinan.
40
Wayan T Budiharjo:2002 dan Aspar Aspin, dikutip dari artikel M. Hidayad, strategi Penegakan
Hukum Terhadap Illegal loggingguna mencegah Kerusakan Hutan, di akses 15 November 2012.
41
Abdul Muis Yusuf dan Taufik Makarao, Loc.Cit., Hlm 40
35
Illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan
dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak
hutan. Kerusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan
Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah
terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan
tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.” Istilah
“Kerusakan hutan” yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan
dibidang kehutanan yang berlaku ditafsirkan bahwa kerusakan hutan
mengandung pengertian yang bersifat dualisme yaitu : pertama, kerusakan
hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah
tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum. Kedua,
kerusakan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan nyata
melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan atau tanpa adanya
persetujuan pemerintah dalam bentuk perizinan.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana illegal Logging
Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur
oleh Pasal 78 UU No.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan
dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan
liar (illegal logging) yaitu :
a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
36
c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan
undang-undang.
d. Menebang pohon tanpa izin.
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
sebagai hasil hutan illegal.
f. Mengangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa Surat Keterangan
Sah Hasil Hutan) SKSHH.
g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa
izin.
Dari rumusan di atas secara tegas UU No.41/1999 belum memberikan
definisi tentang penebangan liar (illegal logging), dan tindak pidana
pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam
bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar
(illegal logging) 42
.
3. Modus Terjadinya Illegal Logging
Modus praktik illegal logging yaitu melibatkan cukong dan para
petugas kehutanan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah dan
melibatkan para petugas dan penegak hukum, simpulan ini merupakan suatu
analisis yang dimuat dalam Koran Kompas tanggal 5 Maret 2006 sesuaihasil
wawancara kepda beberapa kalangan yang mempunyai pengetahuan tentang
42
Rahmi Hidayati dkk, Op.Cit., hal 80.
37
kehutanan. Menurut Riza Suarga bahwa maraknya illegal Logging atau
pembalakan liar di hutan tropis Indonesia ternyata membaur dengan sistem
sosial budaya masyarakat, hal tersebut terbukti dan mucul istilah-istilah lokal
untuk kegiatan illegal logging. Ada 4 istilah atau simbol yang sering
digunakan oleh para pelaku illegal logging, yaitu (1) ekspedisi, yaitu pihak
yang bertanggung jawab mengantarkan rakit dan tambatan asal ke tujuan
akhir. Ekspedisi mendapat bayaran mahal atas jasa tersebut, namun segenap
biaya operasional, taktis, serta risiko hilangnya kayu selama perjalanan
menjadi tanggung jawab ekspedisi, (2) peti kemas, yaitu cara baru yang dirasa
efektif dan aman untuk menyelundupkan kayu, (3) dokumen terbang, yaitu
dokumen yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan di Kabupaten yang
digunakan untuk pengankutan kayu yanng di Kabupaten lainnya. Dokumen
dapat dipakai berulang-ulang, sehingga sering disebut sebagai dokumen
terbang yang dapat dipakai berkali-kali. Sementara dokumen aspal adalah
dokumen yang tidak sesuai dengan isi muatan atau tujuan pengiriman, (4)
bendera putih, yaitu sebagai tanda rakit yang dilengkapai dengan dokumen.
Apabila ada sepuluh rakit dan ternyata terpasang delapan bendera merah
putih, maka ada 2 (dua) rakit yang tidak lengkapi dengan dokumen.
Pemberian tanda bendera merah putih ini untuk tujuan menunjang kelancaran
urusan dan tawar-menawar yang dilakukan di darat.43
43
Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
jakarta, 2011. Hlm 305
38
Bertitik tolak dari modus atau tatacara munculnya illegal logging di
atas, memberikan gambaran bahwa, modus timbulnya illegal logging saat ini
telah mengalami suatu pergesaran makna, karena kosakata illegal logging
pada prinsipnya tertuju pada masalah pembalakan semata, padahal illegal
logging juga terjadi pada semua segmen pengolahan hutan atu kayu yang
tidak sesuai dengan izin yang termuat pada dokumen yang telah dikeluarkan
oleh Dinas Kehutanan, baik Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu Riza Suarga mengatakan bahwa,
illegal logging berdasarkan bentuk produksinya dibedakan menjadi 3 (tiga),
yaitu (1) produksi logs pendek, (2) produksi kayu persegi dan (3) produksi
logs pendek panjang dari HPH/IPK/HPHH.
Pertama, bentuk illegal logging dengan produksi logs pendek beberapa
ciri, di antaranya (1) tebang liar dengan menggunakan chainsaw dalam bentuk
pendek dengan ukuran empat meteran, (2) dilakukan oleh sekelompok
masyarakat, (3) dirakir, dimilirkan dan dijual kepada industri terdekat, (4)
lokasi tebanngan di areal rawa atau hutan daratan rendah, (5) dilakukan
dikanan kiri sungai atau anak sungai dengan membuat galang dengan
menghancurkan logs dekat dengan daratan di sekitar 1 km- 1,5 km, dan (6)
mata rantai illegal logging cukup rapi dan berkesinambungan dan didukung
oleh penumpang kayu yang memiliki cukup modal.
Kedua, bentuk illegal logging dengan produksi kayu persegi yang
memiliki ukuran (20cm x 20cm x 4m) menjadi pilihan utama masyarakat
39
pemilik atau penyewa chainsaw, dimana dalam satu wilayah terdapat ratusan
chainsaw yang beroperasi.
Ketiga, produksi logs pendek atau panjang dari HPH/IPK/HPHH.
Prakti penebangan liar yang dilakukan oleeh pengusaha HPH/IPK/HPHH
dapat terjadi baik rutin maupun insidentil dalam bentuk pelanggaran
eksploitasi ataupun pelanggaran tata usaha kayu, antara lain (1) menebang
diluar blok atau diluar HPH/IPK/HPHH, (2) menebang dikawasan lindung, (3)
menampung tebangan liar kemudian diberi dokumen, (4) menyangkut atau
memilirkan kayu hasil tebangan dengan fisik kayu jauh lebih besar dengan
dokumen yang menyertai, dan (6) menyelundupkan kayu hasil tebangan
keluar negeri.
Selain modus yang telah dipaparkan diatas, terdapat lagi modus lain
lebih rapi, yakni adanya benturan antara peraturan perundang-undangan pusat
dengan peraturan daerah. 44
B. Perlindungan
Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adalah
cara, proses, perbuatan melindungi. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun 2002 perlindungan
adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
44
Ibid. Hlm 306-307
40
atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental,
kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
C. Perlindungan Hutan
Kegiatan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan
yang sangat penting dan utama dalam hal pencegahan kerusakan hutan, sebagaimana
yang di maksud dalam PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
mengganti PP Nomor 28 Tahun 1985 yaitu dalam BAB I Pasal 1 ayat (1) menyatakan
bahwa Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan
menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil
hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
D. Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam
pembangunan bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan pembinaan
serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh hutan merupakan
kekayaan alam yang dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan. Dalam pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa, semua hutan didalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasi oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (ayat (1)).
41
Pengusaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi
wewenang kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status
wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan
hutan; (c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan,
serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (ayat (2)).45
Pengertian hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 dalam BAB I Pasal 1
ayat (2) menyatakan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Status dan
pengurusan hutan terdapat pada Pasal 5 UURI Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan
bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri atas: (a) hutan negara dan (b) hutan hak
(ayat (1)). Oleh karena itu hutan negarasebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dapat berupa hutan adat pada ayat (2).46
E. Nagari
Nagari, adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di
Minangkabau. Mempunyai batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai
penguasa adat dan anggota masyarakat tertentu. Menurut sejarahnya Nagari
merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom) dan nagari sudah
ada dan lengkap dengan norma yang mengatur masyarakatnya. Kelengkapan suatu
nagari adalah mempunyai beberapa buah kampung, sawah ladang sebagai sumber
45
Ibid. Hlm 17
46
Op.cit., Hlm. 18
42
ekonomi, mempunyai rumah tempat kediaman, mempunyai balai-balai tempat
kegiatan sosal, mempunyai mesjid tempat beribadah, punya tepian mandi umum,
punya gelanggang tempat sarana hiburan dan mempunyai tanah pekuburan. Ciri-ciri
ini tetap merupakan persyaratan pokok terjadinya suatu negari di Minangkabau.47
Sedangkan menurut Perda Propinsi Sumbar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Nagari dalam Pasal 1 angka (1) yaitu Nagari adalah kesatuan
masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi
adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau
berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera
Barat.48
F. Hutan Nagari
Dalam pasal 5 ayat (1) UURI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaiu
hutan hak, dan yang termasuk dalam hutan hak tersebut adalah hutan adat. Hutan adat
diterapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (ayat (3)). Apabila dalam
perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka
hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (ayat (4)). Dalam penjelasan
Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan
negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat
47
Busra, Kepala Biro Pemerintahan Nagari Setda Provinsi Sumatera Barat Disampaikan dalam
Pertemuan Forum Diskusi Partisipasi Masyarakat (FPPM) Pada Hari Rabu tanggal 5 Juni 2002
bertempat di Hotel Denai Bukittinggi
48
Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Nagari
43
(rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan rakyat, hutan
marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.49
Sedangkan di Sumatera Barat disebut
juga dengan Hutan Nagari.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan didalam
pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutana adat dalam
pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyaraka hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan
pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa atau nagari dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa atau nagari disebut hutan desa/hutan nagari.
Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang
dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.50
Berdasarkan pengakuan hukum adat diatas maka pengelolaan akan hutan
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan
kelanjutan dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakui
akan hak masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini terlihat pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang dalam Pasal 5
menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Kependudukan dan
49
Op.cit. hlm. 18
50
Op.cit., Hlm. 19
44
kesejahteraan masyarakat, yang pada ininya menjamin hak atas pemanfaatan yang
menguntungkan dari lahan yang merupakan warisan berdasarkan hukum adat.51
Dalam konteks hutan adat (nagari), penguasaannya tidak bisa dipisahkan
dari pola penguasaan ulayat, sehingga keberadaan hutan nagari merupakan kesatuan
ekosistem hutan yang berada di atas ruang ulayat, sehingga muncullah yang
dinamakan dengan hutan ulayat nagari, hutan ulayat suku dan hutan ulayat kaum.
Sedangkan pada level ulayat paruik dan ulayat keluarga inti, telah berubah fungsi
menjadi pekarangan perumahan, persawahan atau lahan pertanian, yang secara
ekosistem tidak lagi berupa hutan. Maka dari itu yang di maksud dengan hutan nagari
adalah hutan yang secara terpadu menjadi satu kesatuan ekosistem dengan nagari
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan,
dimiliki dan dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Sedangkan dalam pasal 1
ayat (6) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah Hutan adat adalah
hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
G. Sanksi terhadap Pelanggaran Hutan
a. Sanksi Adat Secara Umum
Hukum adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda : adatrecht.
Snouch Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu.52
Adatrecht adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putera
dan orang timur asing. Yang mempunyai upaya pemaksa. Hukum adat itu adalah
hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam
51
Ibid
52
Bushar Muhammad, 2002, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Pradnya Pramita. Jakarta. Hlm
1
45
hubungan satu sama lain,baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan
kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut
dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupunyang
merupakan keseluruhan peraturan-paraturan yang mengenal sanksi atas
pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat
yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan
dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama,
pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.53
Sifat masyarakat hukum adat yaitu mempunyai sifat atau alam pikiran
komunalisme dan religo magis (kosmis). Alam pikiran masyarakat hukum yang
demikian merupakan latar belakang delik hukum adat yang mana apabila terjadi
gangguan harus dipulihkan. Delik adat adat adalah suatu perbuatan sepihak dari
seorang atau kumpulan pereorangan, mengancam atau menyinggung atau
menggangu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat material atau
immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupaka kesatuan
. tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang
dipercainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain
dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang,
mengadakan selamatan, memotong hewan besar/kecil dan lain-lain. Hukum
pidana adat adalah tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan
yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya
53
Ibid. Hlm 17-19
46
ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman
dan keseimbangan, maka terjadi reaksi adat.
Beberapa jenis delik adat dalam buku Van Vollenhoven Jilid II halaman
750 dan kemudian di kutip oleh supomo, jenis delik adat itu adalah :
1. Perbuatan penghianatan;
2. Membuka rahasia masyarakat atau sekongkol dengan golongan
musuh;
3. Perbuatan mengadakan pembakaran yang memusnahkan rumah-
rumah;
4. Perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala adat (kepala suku
atau raja);
5. Perbuatan sihir atau tenun, merupakan delik yang berat karena
mencelakakan seluruh masyarakat;
6. Incest, yang berarti 4 (empat) macam yaiu :
1) Suatu hubungan seksual antara dua orang yang menurut hukum
adat tidak boleh dlakukan;
2) Pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekat
menurut ukuran hukum adat;
3) Suatu hubungann seksual antara dua orang yang berlainan kasta;
4) Hubungan sumbang anatar orang tua dan anaknya.
7. Hamil diluar perkawaninan;
8. Melarikan seorang perempuan;
9. Perbuatan zinah;
10. Pembunuhan;
11. Jual beli manusia;
12. Pemenggalan kepala;
13. Delik terhadap harta.54
54
Bushar Muhammad, 2006. Pokok-Pokok Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm 61-67
47
Adapun aturan adat minangkabau, tersusun atas induk aturan yang
terdiri atas 6 (enam) macam yakni, adat, kato, nagari, undang, hukum, dan cupak.
Aturan adat yang 6 macam inilah yang mengatur minangkabau sejak dahulu.
Kemudian aturan ini dipecah menjadi 22, yang salah satunya adalah Undang-
Undang nan Duo Puluah. Undang-Undang nan Duo Puluah adalah himpunan
aturan yang terdiri dari 20 macam, terdiri atas :
a) Undang-Undang Salapan (Undang Delapan);
b) Undang- Undang Duo Baleh (Undang Dua Belas)
Undang Salapan adalah aturan yang menentukan nama kejahatan atau
pelanggaran, yakni :
1. Dago- dagi
2. Sumbang – Salah
3. Maliang – Curi
4. Tikam – Bunuah
5. Lancuang – Kicuah
6. Upeh – Racun
7. Sia – Baka
8. Samun – Sakar
Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh (Dua Belas) adalah aturan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu atauran, atau lebih dilakukan
perbuatan melawan Undang, dan perbuatan itu adalah perbuatan dari salah satu
perbuatan yang diatas tadi. Undang Duo Baleh ini mengatur cara membuktikan
dan menentukan syarat-syarat untuk membuktikannya. Undanng Duo Baleh
48
dibagi dua, yang masing-masingnya terdiri atas 6 (enam), dan enam yang
pertama adalah untuk menentukan atau menjatuhkan tuduah kepada seseorang,
sedangkan yang 6 (enam) yang kedua untuk menentukan atau menjatuhkan
cemooh kepada seseorang.
Adapun yang menentukan tuduah adalah :
1. Talala – Takaja;
2. Tacancang – Tarageh;
3. Talacuik – Tapukua;
4. Putuih tali;
5. Tumbang ciak;
6. Anggang lalu ata jatuah.
Sedangkan yang menentukan cemoh adalah :
1. Di bao pikiek – dibao langau;
2. Tabayang – tatabua;
3. Bajalan bagageh – gageh;
4. Pulang pai ba basah – basah;
5. Kacindorongan mato nan banyak.
Ungkapan terhadap undang 12 ini sesuai dengan pembagiannya, 6 jatuh
kepada tuduh, dan tuduh boleh dijatuhkan kepada seseorang jika syarat-syarat
yang disebut oleh undang ini terpenuhi. Oleh karena itu, diungkapkan; “ ayam
putieh tabang siang, batali banang, balantak tulang, basuluah matohari,
bagalanggang mato urang banyak, nan bak tuduah bakatunggangan”. Sedangkan
yang 6 (enam) lagi menentukan syarat-syarat untuk sebuah cemo atau menduga
49
saja, namun memerlukan penjelasan lebih jauh. Sebagaimana dalam
ungkapannya “ tuduah gaib bajalan-jalan, urang malam basigi, bak ayam hitam
tabang malam, batali ijuak balantak tanduah, hinggok di rantiang batang palam”.
Undang-Undang yang enam pertama (tuduh) disebut hukum “ baina”
yang berarti adalah suatu keputusan hukum adat yang diambil berdasarkan
kekuatan saksi orang. Pembuktian kejahatan berdasarkan keterangan. Sedangkan
Undang -Undang enam yang kedua (cemo) disebut hukum” kurena” yang berarti
suatu keputusan hukum adat yang diambil berdasarkan tanda-tanda tertentu.
Kurena menunjukkan laku,harago menunjukkan bali. Dan pembuktian kejahatan
hanya didasarkan kepada suatu tanda yang mencurigakan. Jika seseorang
melakukan tindakan yang disebut undang salapan, maka ia disebut :salah dek
undang”, dan harus dibuktikan dengan menelitinya melalui undang 12 tadi
dampai tuntas.55
Dasar hukum berlakunya hukum adat yaitu :
1. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, peradilan pribumi dan
peradilan swapraja telah dihapuskan sehingga tugas menyelesaikan perkara
hukum beralih kepada peradilan umum. Sementara peradilan desa tetap
berjalan sebagaimana biasa menurut hukum adat masing-masing daerah.
2. Yurisprudensi / Putusan Mahkamah Agung tentang delik adat kesusilaan yaitu
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K / Pid / 1988 tanggal 15 mei 1991
yang menegaskan bahwa sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh kepala adat
55
Mahmud BA DT. Tenggi Langit, 1990. Minangkabau Adat dan Limbago. Padang. Hlm 8
50
terhadap pelaku delik adat kesusilaan diakui dan tidak dapat lagi dikenakan
pidana apabila sanksi adat tidak dilasanakan.
3. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman dimana hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.56
b. Sanksi Dalam Perundang-Undangan
Sanksi merupakan salah satu sarana terapi yang paling ampuh diberikan
kepada orang, masyarakat, dan badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum, terutama dalam bidang kehutanan. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal
50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah
satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan
secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap
setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum
paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999).
Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan
tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang
mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan
melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.
56
http://repository.unand.ac.id/17525/1/Penerapan_Sanksi__Pidana_Adat_dan_Pidana_KUHP.pdf.
Diakses Minggu Tanggal 20 Ocktober 2013, jam 16:33 WIb
51
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999
yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan
untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan
kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam
rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis
pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan
kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang
diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang
dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan
penebangan liar (illegal logging) yaitu;
1) Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan;
2) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak
hutan;
3) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan
undang-undang;
4) Menebang pohon tanpa ijin
5) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga sebagai hasil hutan ilegal;
6) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH);
7) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan
tanpa ijin.57
57
http://tugaaaass.blogspot.com/2012/04/undang-undang-tentang-ilegal-logging.html. Diakses Minggu
Tanggal 20 Oktober 2013. Jam 19:23 WIB
52
Kepada pelanggar atau pelaku dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian ilegal logging adalah penebangan liar atau
penebangan tanpa izin yang termasuk kejahatan ekonomi dan lingkungan karena
menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan lingkungan/ekosistem
hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama 10-
15 tahun dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar (UU No. 41 1999 tentang
Kehutanan, Pasal 78).
53
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Nagari Lubuk Karak
Nagari Lubuk Karak adalah suatu nagari yang terletak di Kabupaten
Dharmasraya Kecamatan Sembilan Koto. Luas wilayah nagari Lubuk Karak adalah
11.000 H dan luas hutannya 8.000 H dengan jumlah penduduk lebih kurang 1.055
jiwa. Topografi wilayah pada umumnya bergelombang dan berbukit. Di sepanjang
aliran sungai ditemui pemukiman penduduk dan persawahan yang terpencar-pencar.
Kawasan ini memiliki curah hujan rata-rata 218 mm/bulan. Hujan terbanyak
umumnya terjadi pada bulan Januari dan paling sedikit pada bulan Juli setiap tahun.
Suhu udara berkisar 240-300C. Ketinggian nagari Lubuk Karak lebih kurang 750 m
dari permukaan laut dengan kemiringan 14-16 %, dengan bulan basah selama 6
(enam) bulan.
Nagari Lubuk Karak terdiri dari 5 (lima) Jorong yaitu, Jorong Lubuk Karak,
Jorong Sumanik, Jorong Koto Lamo, Jorong Siraho, dan Jorong Sungai Kapur.
Nagari Lubuk Karak sebelah Barat berbatasan dengan nagari Banai dan Solok,
sebelah Timur berbatasan dengan nagari IV Koto Dibawuah, sebalah Utara
berbatasan dengan nagari Sijunjung, dan sebelah Selatan berbatasan dengan nagari
Silago. Di nagari tersebut belum adanya penerangan seperti listrik, dan belum ada
akses telekomunikasi, karena nagari tersebut jauh dari kota. Ketinggian nagari Lubuk
Karak lebih kurang 750 m dari permukaan laut dengan kemiringan 14-16 %, dengan
bulan basah selama 6 (enam) bulan. Jenis tanahnya Podsolid Merah Kuning (PMK)
54
pada lahan kering dan Aluvial pada lahan basah (sawah). Lahan kering di Nagari
Lubuk Karak pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya tanaman perkebunan
terutama karet berupa kebun campuran dan sebagian kecil untuk perumahan dan
pekarangan. Namun sistem budidaya karet masih tradisional, seperti bibit lokal, jarak
tanam dan pemupukan belum dilakukan. Kendala utama usaha tani karet antara lain
tidak tersedianya bibit bermutu serta modal dan pengetahuan petani yang rendah.
Selain karet dan padi, komoditas kakao dan ternak juga berpeluang untuk
dikembangkan. Di samping ketersediaan lahan yang cukup, masyarakat telah mulai
membudidayakan kedua komoditas tersebut. Untuk mengoptimalkan penggunaan
limbah sebagai bahan pakan ternak maka integrasi ternak dengan karet, padi dan
kakao sangat perlu dilakukan. Lubuk Karak dialiri dengan sungai yang aliranya
cukup untuk mengaliri persawahan yang mana sumber airnya masih bersih dan belom
tercemar. Selain potensi perkebunan, pertanian, yang mana nagari Lubuk Karak
terdapat dalam lingkungan hutan, dan juga memanfaatkan hasil hutan sebagai mata
pencaharian.
Nagari Lubuk Karak merupakan suatu nagari yang terletak di pedalaman
kabupaten Dharmasraya yang belum adanya aliran listrik menerangi nagari tersebut.
Kehidupan masyarakat di nagari Lubuk Karak masih tradisonal, nagari Lubuk Karak
mempunyai satu pasar tradisonal yang terletak ni Jorong Lubuk Karak yang pasarnya
setiap hari kamis. Nagari Lubuk Karak mempunyai 1 Puskesri yang dimanfaatkan
masyarakat nagari untuk berobat, Kantor wali nagari Lubuk Karak terletak di Jorong
Lubuk Karak, sebelum menempuh kantor wali nagari pengunjung harus melalui
jembatan ayun yang hanya memuat kendaraan roda dua. Karena akses kesana belom
55
ada. Masyarakat menambang emas dengan cara tradisional di sepanjang sungai bisa
terlihat dari jembatan ayun tersebut. Nagari tersebut dipimpin oleh seorang wali
nagari yang bernama bapak Marti Ajis.
B. Perlindungan Hutan Nagari Oleh Masyarakat Nagari terhadap Illegal
Logging Sebagai Bentuk Pidana Adat Kabupaten Dharmasraya Kenagarian
Lubuk Karak
Pembalakan liar atau yang biasa dikenal dengan istilah illegal logging
merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait. Dimulai sumber atau
produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke
konsumen atau pengguna bahan baku kayu. Kayu tersebut melalui proses
penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan proses eksport atau penjualan
yang illegal. Proses pembalakan liar (illegal logging) ini, dalam perkembangannya
semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil pembalakan liar
(illegal logging) itu dicuci terlebih dahulu sebelum memasuki pasar yang legal,
artinya bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah ilegal, dilegalkan oleh pihak-
pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga ketika kayu tersebut
memasuki pasar, maka akan sulit lagi diidentifikasi mana yang merupakan kayu
ilegal dan mana yang merupakan kayu legal.
Setiap warga adat yang berada di sekitar lingkungan hutan meraka dapat
memungut hasil hutan berupa, ramuan rumah, kayu bakar untuk masak atau dibuat
arang, rotan, damar dan lainnya. Begitu juga dapat menangkap binatang liar yang
tidak dilindungi pemerintah untuk kebutuhan hidup. Tetapi jika lebih dari itu
dilarang, jadi untuk mendirikan perusahaan pemungutan hasul kayu harus
56
mendapatkan izin dari pemerintah dan mendapatkan persetujuan dari prowatin adat
yang bersangkutan.58
Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan, pada dasarnya
perlindungan hutan sudah sesuai dengan aturan didalam peraturan perundang-
undangan dan peraturan pemerintah. Namun yang menjadi masalah adalah masih
banyaknya terjadi pembalakan liar dilapangan. Dari hasil wawancara yang saya
lakukan dengan bapak Wali Nagari dan bapak KAN Lubuk Karak Kecamatan IX
Koto Kabupaten Dharmasraya tersebut beliau mengatakan bahwa belum adanya
perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena masyarakat tersebut yang
ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan mata pencaharian meraka dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun selama ini yang dilakukan oleh pemerintah
nagari hanyalah melakukan penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar.59
Pidana
adat dan sanksi adat yang merupakan tombak utama untuk melindungi hutan nagari
tersebut sudah mulai pudar dan hilang, karena hukum adat itu sendiri tidak dikenal
lagi didaerah tersebut. Sebagaimana pernyataan dari bapak Kepala Kerapatan Adat
Nagari yaitu Bapak Maridun Gindo Sutan pidana adat dan hukum adat yang ada di
nagari Lubuk Karak sudah lama mati, sehingga tidak ada lagi perlindungan hutan
masyarakat,sehingga banyak cukong-cukong yang melakukan ekspedisinya di hutan
adat tersebut. Sehingga begitu sulit untuk menegakkan pidana adat itu sendiri kepada
masyarakat adat yang melanggar hukum adat dengan melakukan pengrusakan hutan
atau merusak alam yang telah dititipkan kepada kita.
58
Hilman Hadikusuma. 1989. Hukum Pidana Adat. Bandung. Alumni
59
Hasil wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak tanggal 20 Agustus 2013 jam
11.00
57
Namun yang menjadi masalah adalah para oknum penegak hukum baik di
nagari maupun di Kabupaten yang masih lalai dan keluar dari aturan tersebut,
sebagaimana yang saya lihat di lapangan, begitu banyaknya hasil dari pembalakan
liar yang di hanyutkan melalui aliran sungai untuk dibawa kepada tempat pengolahan
atau tempat transaksi. Dari hasil penelitian tidak terlihat sanksi adat yang diterapkan
oleh masyarakat nagari terhadap penebangan liar, padahal patut diketahui sanksi adat
minangkabau seperti aturan adat yang 6 (enam) yang salah satunya adalah Undang-
Undang Nan Duo Puluah. Undang-Undang Nan Duo Puluah terdiri dari dua macam,
yakni Undang-Undang Salapan dan Undang-Undang Duo Baleh. Undang-Undang
Salapan tersebut adalah Undang-Undang yang menentukan nama kejahatan atau
pelanggaran. Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh adalah aturan untuk
membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan atau lebih dilakukan
perbuatan yang melawan Undang, perbuatan itu adalah perbuatan yang salah satu
perbuatan yang terdapat didalam Undang Salapan. Dengan tidak diterapkannya sanksi
adat tersebut sehingga masyarakat tetap dan tidak berhenti melakukan penebangan
liar dengan pengrusakan hutan. Lemahnya aturan hukum membuat para pelaku tidak
pernah jera untuk melakukan praktik atau ekploitasi hutan dengan mengambil hasil
hutan yang tidak sesuai dengan semestinya. Meskipun hukum adat atau hukum
pidana adat didalam nagari terhadap pelanggaran hutan nagari tidak berjalan atau
tidak diterapkannya sanksi adat tersebut maka bisa diterapkan sanksi didalam
perundang-undangan. Dengan tidak ada ada penerapan sanksi terhadap pelaku
penebangan liar sehingga hutan nagari tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang
58
tidak bertanggung jawab dengan eksploitasi habis-habisan yang dapat merusak hutan
dan kelestarian hutan tersebut.
Kegiatan perlindungan hutan merupakan hal yang sangat penting dan
utama karena fakta menunjukkan bahwa, kerusakan hutan di Indonesia telah masuk
pada skala yang sangat memprihatikan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu
sendiri oleh karena itu sudah sewajibnya pemerintah melakukan perlindungan hutan,
agar hutan terjaga kelestariannya sebagai penyangga kehidupan, begitu juga halnya
dengan hutan nagari atau hutan adat harus dilindungi oleh masyarakat adat dan
pemerintahan nagari. Karena hutan nagari adalah hutan yang dikelola oleh
masyarakat adat atau masyarakat nagari maka sudah sewajarnya masyarakat serta
seluruh jajaran didalam nagari melindungi hutan dengan tidak melakukan
pembalakan liar (illegal logging). Masyarakat nagari atau masyarakat adat seharusnya
kembali menegakkan sanksi dan norma hukum adat terhadap pelanggaran hutan dan
menghidupkan kembali sendi-sendi hukum adat yang telah pudar dan hilang. Begitu
juga hal nya pemerintah setempat hendaknya semakin teleliti dalam hal penangan
perlindungan hutan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana penebangan liar
tersebut.
Perlindungan hutan tersebut merupakan suatu kegiatan yang
membutuhkan perhatian yang serius, karena apabila salah melakukan pengawasan
maka akan berdampak pada gagalnya pelaksanaan perlindungan hutan tersebut.
Dalam Pasal 47 PP Nomor 45 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, untuk menjamin
tertibnya penyelanggaraan perlindungan hutan, Menteri berwenang melakukan
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kebijakan Gubernur (ayat (1)).
59
Gubernur melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap Bupati atau
Walikota atas pelaksanaan perlindungan hutan di Indonesia (ayat (2)). Namun fakta
yang terjadi dilapangan sungguh sangatlah berbeda, faktanya masih banyaknya hutan-
hutan yang rusak diakibatkan oleh praktik illegal logging. Pemerintahperlu
membenahi kembali dan melakukan pengawasan ketat terhadap instansi yang
ditugaskan dilapangan untuk mencegah terjadinya eksploitasi hutan yang berlebihan
dengan penebangan kayu liar.
C. Peran KAN dan Pemerintahan Nagari dalam Perlindungan Hutan Nagari
terhadap Illegal Logging di Kabupaten Dharmasraya Kenagarian Lubuk
Karak
Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai
kekayaan budaya dan adat istiadat di dunia, sehingga tidak dapat dipungkuri jika
Indonesia memiliki perbedaan budaya, hukum adat dan istiadat antara satu dengan
yang lainnya. Namun demikian, keragaman budaya dan adat istiadat itulah yang
menyatukan bangsa Indonesia, yakni dalam rangka penyangga keamanan dan
ketertiban hutan yang ada di daerahnya masing-masing.
Masalah hutan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dewasa
ini, akibat terjadinya konflik yang bersifat horizontal, antara masyarakat hukum adat
dan pemerintah. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara
pemerintah dan masyarakat hukum adat tersebut, perlu diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 67 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa, masyakarat
60
hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya
berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarkat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengolahan
hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-
Undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan (ayat (1)). Oleh karena itu, pengukuhan keberadaan dan hapusnya
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah (ayat (2)). Selain itu,
ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (ayat (3)).
Sejalan dengan ketentuan Pasal 67 di atas, dalam penjelasannya
dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberdaaannya, jika menurut
kenyataan memenuhi unsur antara lain; a) masyarakattnya masih dalm bentuk
paguyuban (rechtsgeenschap); b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat
penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan
perangkatt hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e) masih
mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari (ayat (1)). Dengan demikian, hapusnya keberdaan hukum adat
yang diatur oleh peraturan daerah, hal ini menurut penjelasan pasal 67 dinyatakan
bahwa, peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para
pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang
ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait (ayat (2)).
Oleh karena itu, diharapkan agar PP tersebut memuat antara lain: (a) tata cara
61
penelitian; (b) pihak-pihak yang diikut sertakan; (c) materi penlitian; (d) kriteria
penelitian keberadaan masyarakt hukum adat (ayat (3)).60
Peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang dinyatakan bahwa, masyarakat berhak menikmati kualitas
lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (ayat (1)). Oleh karena itu, selain hak
menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, maka masyarakat dapat:
(a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil
hutan, dan informasi kehutanan; (c) memberi informasi, saran, serta pertimbangan
dalam pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung (ayat (2)).61
Berkaitan dengan hal diatas, maka perlu mendapatkan perhatian bahwa,
masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar hutan perlu mendapatkan
kompensasi atas hilangnya akses dari hutan tersebut, dan masyarakat yang tinggal di
sekitar hutan perlu di awasi pemerintah terkait dengan pungatan hasil hutan dan
pengelolaan hasil hutan serta penebangan kayu yang tidak berwawasan lingkungan
perlu di awasi kembali karena akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
lingkungan dan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terkait
dengan kompensasi atas hilangnya akses kehutanan tersebut, hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 68 ayat (3) dinyatakan bahwa: masyarakat didalam dan
sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan
sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
60
Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,
jakarta, 2011. Hlm 305
61
Ibid. Hlm 476
62
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena
hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan
hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ayat (4).
Seiring dengan ketetapan diatas dengan adanya kompensasi, masyarakat
diharapkan pula memiliki kewajiban menjaga dan memelihara hutan tersebut dari
gangguan perusakan seperti penebangan liar yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Masyarakat ikut serta dalam hal memelihara dan menjaga
hutan yaitu dengan melaksanakan rehabilitasi hutan. Pemerintah dan pemerintah
dareah harus meningkatkan peran serta masyarakat dalam hal melindungi dan
menjaga hutan, karena masyarakat hidup dalam kawasan hutan. Dalam hal menjaga,
memelihara dan memanfaatkan hutan masyarakat mempunyai sautu kewajiban yaitu
menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup dengan tidak melakukan penebangan
liar yang berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka dari itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari
juga berperan serta dalam melindungi dan menjaga hutan adat atau hutan Nagari, agar
tidak terjadinya penggundulan hutan yang diakibat oleh penebangan liar yang
dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri maupun pihak luar yang berkoordinasi
dengan masyarakat adat. KAN dan Pemerintahan Nagari harusnya memberikan
sanksi terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilkukan oleh masyarakatnya agar
hutan yang ada di dalam nagari tersebut masih terjaga kelestariaannya. Hukum adat
harus ditegakkan dan harus membuat efek jera oknum masyarakat adat yang
melakukan kejahatan penebangan liar. Berdasarkan hasil penelitian yang penelti
63
lakukan dilapangan dengan wawancara kepada Bapak Wali Nagari yang bernama
Bapak Marti Ajis serta bapak Maridun selaku kepala KAN meraka mengatakan
bahwa selama ini peran serta KAN dan Pemerintahan Nagari hanya sebatas
memberikan nasihat dan saran dari dampak yang akan timbul dari penebangan liar
serta melakukan penyuluhan yang berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan. Belum
adanya aturan dan keterlibatan yang akurat dalam perlindungan hutan nagari. KAN
yang terdapat di dalam nagari tersebut berperan hanya sebagai formalitas saja, karena
KAN hidup dibawah aturan Ninik Mamak dan segala keputusan berada di tangan
ninik mamak semuanya tegantung kepada ninik mamak. KAN hanya berfungsi
sebagai tempat untuk meminta tanda tangan dari hasil keputusan para ninik mamak,
jadi KAN hanya sebagai lambang dalam nagari saja agar memenuhi dan melengkapi
aturan. 62
Maka dari itu perlu pembenahan kembali akan KAN berjalan
sebagaimana mestinya dan hukum adatpun hidup kembali. Dan perlu juga kesadaran
hukum masyarakat bahwa penebangan liar itu jika terus-terus dilakukan akan
merusak hutan dan mempunyai akibat yang buruk bagi hutan dan lingkungan
sekitarnya.
D. Kendala Terhadap Penegakan Hukum Untuk Perlindungan Hutan Nagari
yang Berkaitan Dengan Illegal Logging Di Kabupaten Dharmasraya
Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut law enforcement, bahasa
Belanda disebut rechtshandhaving. Pengertian penegakan hukum dalam terminolgi
62
Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak rabu tanggal 4 september 2013, jam
13.20
64
bahasa Indonesia selalu mengarah kepada Force, sehingga timbul kesan di
masyarakat bahwa penegakan hukum bersangkut paut dengan sanksi pidana. Hal ini
berkaitan pula dengan seringnya masyarakat menyebut penegak hukum itu dengan
Polisi, Jaksa, dan Hakim. Padahal pejabat Administrasi (birokrasi) sebenarnya juga
bertindak selaku penegak hukum. Penegakan hukum yang dilakukan oleh birokrasi
(pejabat administrasi) berupa penegakan yang bersifat “pencegahan”, (preventif) yang
dilakukan dengan penyuluhan atau sosialisasi suatu peraturan perundang-undangan,
baik peraturan perundangan-undangan yang berasal dari pusat maupun peraturan
yang dibuat di daerah.63
Munculnya kosakata pemberantasan illegal logging dan penyelundupan
kayu merupakan suatu kilas balik dari munculnya pembalakan kayu yang tidak sah
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian,
penggunaan kosakata pemberantasan dan penyelundupan kayu merupakan 2 (dua)
kosakata yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab
kegiatan illegal logging yang dilakukan dengan tidak prosedural tersebut, akan
berujung pada kegiatan yang terakhir yakni akan dilakukannya penyelundupan kayu,
dan kedua kosakata ini merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam terminolgi pemerintah saat
ini kedua kosakata inilah yang paling menghawatirkan, karena setiap saat
63
Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011. Hlm 305
65
menimbulkan permasalahan yang tiada hentinya dan membuat pemeriintah hampir
putus asa, sebab sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasinya, akan
tetapi selalu gagal. Pengertian penegakan hukum menurut Notie Handhaving
Milleurecht, 1981 disebutkan bahwa penegakan hukum adalah pengawasan dan
penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan,
keperdataan, untuk mencapai penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku
umum dan individu. 64
Upaya pemberantasan praktik illegal logging dan penyelundupan kayu di
Indonesia merupakan suatu perbuatan yang mulia, dan oleh karena itu semua pihak
wajib hukumnya untuk ikut serta melakukan upaya pemberantasan illegal logging
dan penyelundupan kayu. Karena kedua aktifitas tersbut sangat merugikan bangsa
dan negara, karena akan menyengsarakan anak cucu dikemudian hari. Akibat dari
ulah pelaku illegal logging dan penyelundupan kayu, sehingga bangsa dan negara
mengalami musibah yang beruntun sebagai contoh sepanjang tahun 2006.
Upaya yang dilakukan pemerintah tidak pernah surut dan pudar, hal itu
dilihat dari berkoordinasinya dua lembaga, yakni Polri dan Depertemen Kehutanan,
yang diserahi ugas oleh Presiden sebagai lembaga yang leding sektornya. Namun
sebagaimana ungkapan dari Kabid Perlindungan hutan meskipun sudah ada
koordinasi namun pihak kepolisian sering berjalan sendiri dalam menjalankan
tugasnya. Koordinasi itu sendiri yang tidak berjalan dengan baik dan semestinya,
sehingga idak berjalan lancarnya pemberantasan illegal logging itu hal yang juga
64
Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta.
2006. Hlm 267
66
menjadi kendala pemberantasan illegal logging disamping kesadaran hukum
masyrakat itu sendiri yang sudah tidak ada lagi.65
Upaya penegakan hukum (kuratif) dalam rangka pemberantasan praktik
illegal logging dan penyelundupan kayu terbagi dalam tujuh tahapan kegiatan, yaitu
(1) melakukan pemberantasan praktik penebangan liar, baik hasil hutan kayu maupun
dalam bentuk flora dan fauna secara tegas dan konsisten dan nondiskriminasi, (2)
meninjau kembali efektivitas upaya penegakan hukum pemberantasan illegal logging
dan penyelundupan kayu yang teraktualisasi melalui kerja sama Operasi Hutan
Lestari, (3) menertibkan penerbitan izin konsensi izin penebangan, peralatan logging
dan pemakaian tenaga kerja asing. Baik izin pengusahaan hutan maupun
pengusahaan flora dan fauna, (4) terhadap izin-izin yang masih bersifat status quo
agar segera ditetapkan statusnya, sehingga memiliki kepastian hukum, (5)
menertibkan industri yang tidak jelas atau yang tidak memiliki perizinan dan sumber
bahan baku secara illegal, (6) melaksanakan moratorium lelang kayu sitaan karena
menjadi sarana bagi upaya pemutihan kayu illegal, dan (7) meningkatkan hukuman,
baik dalam bentuk denda maupun hukuman badan66
agar para pelaku illegal logging
jera dan tidak lagi mlakukan pembalakan atau penebangan kayu secara liar yang
merusak kelestarian hutan. Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk
menimbulkan efek jera terhadap pelaku praktik illegal logging dan meningkatkan
tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundang-undangan khususnya dibidang
kehutanan. Penegakan hukum harus dimuali dari aparat dilapangan hingga elit aparat
65
Wawancara dengan Kabid Perlindungan Hutan Di Kantor Dinas Kehutanan hari Kamis 5 September
2013 jam 9.10
66
Loc. Cit., hlm 332
67
di pusat. Aparat penegak hukumnya harusnya bersama-sama memberantas illegal
logging, dengan pemebrian sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap semua
pelaku illegal logging.
Namun hal tersebut bertolak belakang terhadap fakta dilapangan,
sehingga pemberantasan illegal logging sangat sukar dilaksanakan karena kuatnya
dugaan keterlibatan aparat keamanan dilapangan. Tidak mungkin pelaku illegal
logging akan berani melakukan penebangan liar jika tidak ada ikut campur oknum
aparat. Disamping koordinasi antar instansi yang terkait denga itu tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan hasil wawancara dilapagan, sebagaimana
di ungkap oleh Bapak Wali Nagari Marti Ajis kendala dalam pemberantsan illegal
logging yaitu berdasarkan mata pencaharian, amak mata pencaharian masyarakat adat
di Lubuk Karak sebagian besar adalah pengolahan kayu, sehingga sangat sulit untuk
diberantas dan juga tidaka adanya tindakan yang serius dari para penegak hukum, hal
tersebut di ungkapkan beliau dalam wawancara hari jumat 6 september 2013 pada
jam 10.30 Wib. Dan juga ditambahkan oleh Bapak Kepala KAN yang menjadi
kendala juga yaitu yang melakukan penebangan liar adalah para kemenakan, maka
untuk melindungi cucu kemenakan, sampai sekarang belum ada upaya yang serius
untuk melakukan pemberantasan illegal logging. 67
Mencermati praktik illegal logging dan penyelundupan kayu sebagai
suatu tindak pidana kejahatan yang terorganisir, sepantasnya kalau semua lapisan
masyarakat melakukan perang terhadapnya. Dengan demikian, pemerintah, baik pada
67
Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Nagari Lubuk Karak hari Jumat 6 September
2013 jam 10.30
68
tataran pusat maupun tataran pemerintah di daerah menjadi tulang punggung utama
dalam pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu. Fakta menunjukkan
bahwa pemerintah pada dasarnya telah berupaya melakukan pencegahan prakti illegal
logging dan penyelundupan kayu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan,
diantaranyapembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT), Operasi
Wanalaga dan Operasi Wanabahari dan terakhir Operasi Hutan Lestari (OHL).
Dengan adanya beberapa kebijakan ternyata selama ini tidak mampu membendung
laju terjadinya kegiatan illegal logging dan penyelundupan kayu, alasannya karena
adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dan tidak adanya koordinasi antara
instansi yang terkait sebagaimana terlihat faktanya dilapangan bahwa masih banyak
kegiatan illegal logging dan sebagian besar hutan rusak. Maka dari itu kunci utama
dalam hal penegakan hukum dalam pemberantasan illegal logging yaitu melakukan
pembenahan kembali dalam hal kerja setiap instansi penegak hukum. Agar pelaku
illegal logging jera hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum memberikan
sanksi yang tegas dan memberikan tuntutan berlapis terhadap pelaku, baik itu
pelakunya oknum elite penguasa maupun masyarakat yang ikut andil dalam hal
tersebut, sehingga praktik illegal logging berkurang dan kelestarian hutan terjaga.
69
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perlindungan hutan nagari oleh masyarakat adat yaitu belum adanya
perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena masyarakat
tersebut yang ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan mata
pencaharian meraka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun
selama ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan
penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar itu sendiri. Maka secara
spesifik belum adanya upaya perlindungan hutan adat atau hutan nagari
oleh masyarakat nagari pemerintahan nagari KAN untuk mencegah praktik
illegal logging.
2. Peran KAN dan pemerintahan nagri dalam hal perlindungan hutan nagari
yaitu hanya sebatas menasihati dan penyuluhan dan penyuluhan itupun
masih adanya andil dari Dinas Kehutanan Kabupaten. KAN di nagari
tersebut hanya sebagai lambang nagari, untuk melengkapi aturan
pemerintah saja.
3. Kendala dalam hal perlindungan hutan nagri masih banyak yaitu masih
kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat bahwa pentingnya hutan dan
serta hal tersebut merupakan suatu mata pencaharian masyrakat, jadi sukar
70
untuk melindungi hutan. Dan para aparat keamananpun ikut andil dalam
hal tersebut.
B. Saran
1. Perlu adanya pembenahan kembali aturan adat dalam nagari dan
menghidupkan kembali hukum adat yang telah hilang dan pudar seiring
berjalannya waktu. Maka akan terlaksanalah perlindungan hutan dan
terjaganya hutan dengan adanya aturan adat dan sanksi adat terhadap
pelanggar.
2. Hendaknya aparat penegak hukum setempat menjaga dan melakukan razia-
razia untuk mencegah terjadiya illegal logging dan kembali membenahi
koordinasi antar instansi agar kembali berjalan sesuai dengan yang
diharapakan
3. Pemerintahan nagari dan KAN bersama perlunya melakukan himbauan dan
memberikan pengetahuan kepada msyarakatnya untuk tidak melakukan
pembalakan liar karena efeknya nanti sangatlah berbahaya untuk bangsa
dan negara. Dengan membimbing masyrakat adat untuk tidak melakukan
pembalakan liar. Pemerintahan nagari dan KAN bersama-sama dengan
Depertemen Kehutanan melakukan penyuluhan pentingnya kelestarian
hutan dan menghimbau serta meyakinkan warga dari dampak yang
ditimbulkan oleh penebangan liar.

More Related Content

What's hot

UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...
UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...
UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...Muhammad Budi Agung
 
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandiMakalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandiJackAbidin
 
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)Aji Sahdi Sutisna
 
Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999walhiaceh
 
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutananUu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutananwalhiaceh
 
Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...
Peraturan Menteri LHK Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...Peraturan Menteri LHK Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...
Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alam
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya AlamKewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alam
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alambung gunawan
 
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiUu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiwalhiaceh
 
Makalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal loggingMakalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal loggingAba Abdillah
 
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerahYayasan Perempuan Kaisa Indonesia
 
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan BerkelanjutanUu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan BerkelanjutanThio Helena Simarmata
 

What's hot (16)

UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...
UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...
UU RI no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosist...
 
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandiMakalah kawasan konservasi ahmad afandi
Makalah kawasan konservasi ahmad afandi
 
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)
Supersemar kehutanan by Usep Setiawan (dimuat kompas 3 april 13)
 
Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999
 
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutananUu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
Uu ri no 41 tahun 1999 tentang kehutanan
 
Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...
Peraturan Menteri LHK Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...Peraturan Menteri LHK Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...
Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dala...
 
Uu 41-1999
Uu 41-1999Uu 41-1999
Uu 41-1999
 
Perpres Nomor 88 tahun 2017
Perpres Nomor 88 tahun 2017Perpres Nomor 88 tahun 2017
Perpres Nomor 88 tahun 2017
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
 
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alam
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya AlamKewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alam
Kewenangan Pemda dalam Sumberdaya Alam
 
UU RI Nomor 5 Tahun 1990
UU RI Nomor 5 Tahun 1990UU RI Nomor 5 Tahun 1990
UU RI Nomor 5 Tahun 1990
 
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiUu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
 
Makalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal loggingMakalah tentang illegal logging
Makalah tentang illegal logging
 
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah
2001 03 kajian kebijakan hak-hak masy adat ---otonomi daerah
 
Hutan 4
Hutan 4Hutan 4
Hutan 4
 
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan BerkelanjutanUu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Uu 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
 

Similar to Skripsi fn

Illegal logging makalah (revisi)
Illegal logging makalah (revisi)Illegal logging makalah (revisi)
Illegal logging makalah (revisi)Tendo Jefri
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Aksi SETAPAK
 
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangJalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
 
Artikel pelanggaran ham
Artikel pelanggaran hamArtikel pelanggaran ham
Artikel pelanggaran hamIlham W'ie
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Biotani & Bahari Indonesia
 
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...septianm
 
Penebangan hutan
Penebangan hutanPenebangan hutan
Penebangan hutanshasa_natha
 
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannya
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannyaPengertian lingkungan hidup dan permasalahannya
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannyapratista20
 
PP Nomor 45 Tahun 2004
PP Nomor 45 Tahun 2004PP Nomor 45 Tahun 2004
PP Nomor 45 Tahun 2004Ardi Yanson
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllnita292601
 
Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Yadhi Muqsith
 
Siaran pers seminar nasional juni 2014 ypb
Siaran pers seminar nasional juni 2014   ypbSiaran pers seminar nasional juni 2014   ypb
Siaran pers seminar nasional juni 2014 ypbseptianm
 

Similar to Skripsi fn (20)

Illegal logging makalah (revisi)
Illegal logging makalah (revisi)Illegal logging makalah (revisi)
Illegal logging makalah (revisi)
 
Moratorium Hutan
Moratorium HutanMoratorium Hutan
Moratorium Hutan
 
KEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptxKEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptx
 
Hutan dan upaya konservasi
Hutan dan upaya konservasiHutan dan upaya konservasi
Hutan dan upaya konservasi
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
 
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangJalan panjang  perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruang
 
Artikel pelanggaran ham
Artikel pelanggaran hamArtikel pelanggaran ham
Artikel pelanggaran ham
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
Petisi kepada presiden untuk penyelesaian konflik agraria
 
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...
Inkuiri nasional komnas ham tentang hak hak masyarakat hukum adat atas wilaya...
 
Penebangan hutan
Penebangan hutanPenebangan hutan
Penebangan hutan
 
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannya
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannyaPengertian lingkungan hidup dan permasalahannya
Pengertian lingkungan hidup dan permasalahannya
 
PP Nomor 45 Tahun 2004
PP Nomor 45 Tahun 2004PP Nomor 45 Tahun 2004
PP Nomor 45 Tahun 2004
 
Proposal tesis ok
Proposal tesis okProposal tesis ok
Proposal tesis ok
 
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnllBuku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
Buku saku pembentukan_kph_fpic_di_tnll
 
Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1Makalah kerusakn hutan 1
Makalah kerusakn hutan 1
 
Makalaha
MakalahaMakalaha
Makalaha
 
Siaran pers seminar nasional juni 2014 ypb
Siaran pers seminar nasional juni 2014   ypbSiaran pers seminar nasional juni 2014   ypb
Siaran pers seminar nasional juni 2014 ypb
 
Illegal loging
Illegal logingIllegal loging
Illegal loging
 

Skripsi fn

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya atas sumber daya alam, dimana hutan merupakan salah satu diantaranya yang menempati posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Sekitar dua pertiga dari 191 juta hektare daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam, mulai dari hutan tropika dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan bakau (mangrove)1 .Indonesia juga memliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia.2 Hutan didominasi oleh kayu yang menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang sangat berguna bagi kehidupan manusia.Oleh sebab itu, selain berfungsi sebagai penyeimbang dan penyangga keberlanjutan lingkungan dan kelestarian alam, hutan juga menjadi gantungan kehidupan bagi hampir 60 % masyarakat Indonesia.Seiring dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hidup dalam masyarakat semakin meningkat sehingga hutan menjadi pokok penghidupan banyak orang.Industrialisasi kehutanan berdampak besar terhadap kelangsungan hutan 1 www. adeliapebryanti.wordpress.com/tag/191-juta-hektar/, diakses pada tanggal 26 Januari 2013 pukul 1.40 wib 2 www.wikipedia.org/wiki/Pengawahutanan_di_Indonesia diakses pada tanggal 26 Januari 2013 pukul 1.57 wib
  • 2. 2 sebagai penyeimbang dan penyangga hidup dan kehidupan makhluk di dunia.Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting, tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponenlingkungan hidup.3 Aspek-aspek pembangunan di bidang kehutanan pada dasarnya adalah menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari hutan dan kehutanan yang bertumpu pada kawasan hutan yang menyebar seluas lebihkurang 72 % dari luas wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 143,970 juta hektar yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi dansebagainya.4 Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya merupakan modal alam (natural capital) yang harus ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa Indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu: 5 1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional, dan global; 2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah, danpendapatan masyarakat; 3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa negara bagi penumpukan modal pembangunan. Hutan merupakan sumber daya alamnya terbuka dan dapat langsung dimanfaatkan oleh manusia,hingga memicu terjadinya permasalahan dalam 3 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 6 4 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 1996, hlm. 49 5 Skripsi Eko Putra Doni, Pelaksanaan Penyidikan terhadap Tindak Pidana Penebangan Liar, di akses tanggal 19 Desember 2012.
  • 3. 3 pengelolaan hutan, seperti penebangan liar, pengambilan hasil hutan yang tidak berwawasan lingkungan. Jika dibiarkan terus menerus akan terjadinya kerusakan hutan yang menyebabkan terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah longsor, dan lain sebagainya. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan bahwa setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat destructive logging (penebangan yang merusak). Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah pertahun, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan.6 Aksi-aksi illegal logging terjadi disemua hutan Indonesia, baik itu di kawasan hutan produksi, hutan konservasi, maupun hutan lindung.Maka konkritnya, telah terjadi kerusakan hutan di seluruh wilyah hutan tropis Indonesia.Hal tersebut terjadi karena adanya keterlibatan pelaku illegal logging yang merata mewakili kelompok kepentingan dan unsur masyarakat. Bahkan, dalam praktek illegal logging terdapa unsur yang sangat terorganisir mulai dari pekerja lapangan, pemilik moda, cukong kayu, maupun oknum pejabat pemerintahan,mulai dari aparat yang bekerja di lapangan baik itu sipil maupun militer hingga pejabat yang mempunyai kekuasaan tertinggi didalam suatu instansi pemerintahan. 6 www.jaringskripsi.wordpress.com/tag/benda-sitaan/ tentang Proses Penangan Benda Sitaan Tindak Pidana Illegal Logging, Diakses tanggal 26 Januari pukul 11:84
  • 4. 4 Eksploitasi hutan secara tidak sah melalui mekanisme praktek illegal logging berdampak pada peran dan fungsi sumber daya hutan.Sumber daya hutan yang mempunyai 3 fungsi utama sebagai penjaga keseimbangan ekologi, keselarasan social dan keadilan ekonomi tidak lagi berfungsi semestinya karena praktek illegal logging yang mewabah.Ada 6 faktor penyebab yang mendorong terjadinya praktek illegal logging, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum, (4) adanya kolusi, korupsi, dan nepotisme, (5) lemahnya system pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan, serta (6) harga kayu hasil tebangan liar lebih yang murah7 . Kegiatan illegal logging sangat memberikan dampak yang negatif terutama bagi kelestarian fungsi sumber daya hutan yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Pemerintah Indonesia telah bertekad dan berupaya untuk memberantas praktek illegal logging sebagai salah satu bentuk kejahatan lingkungan, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.Pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan konkrit untuk melakukan pencegahan maupun penegakan hukum.Tindakan pencegahan dilakukan dengan melakukan pendekatan kesejahteraan yang melipui program pembinaan, pendampingan, maupun pemberdayaan ekonomi masyarakat desa hutan. Sementara tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melibatkan seluruh kelembagaan Negara yang berkaitan dengan keamanan hutan 7 Rahmi Hidayati, Charles,Agung dan Iwan Aminudin, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu, Tanggerang Banten, Wana Aksara, 2006, hlm 4
  • 5. 5 untuk terlibat dalam kegiatan pemberantasan illegal logging8 . Praktek illegal logging merupakan suatu praktek yang bermoduskan pidana maka harus dilawan juga dengan pidana, sehingga memberikan efek jera kepada pelaku illegal logging. Untuk itu hutan sebagai penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya. Sebagaimana disebutkan di dalam Dasar Negara Pasal 33 Ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia yang berbunyi :“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Untuk melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, maka dari itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundangan tentang kehutanan, yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Disamping itu masyarakat adat juga memiliki aturan-aturan yang tidak tertulis bilamana terjadi pelanggaran dalam kosmis adat. Pelanggaran terhadap kosmis adat itu tidak saja dilakukan terhadap perorangan tetapi juga dilakukan terhadap kejahatan terhadap masyarakat adat, termasuk hak-hak yang melekat pada masyarakat adat, oleh karena itu masyarakat adat juga mempunyai beberapa sanksi atau reaksi adat yaitu : 1) pengganti kerugian materiil dalam berbagai rupa, seperti paksaan menikahkan gadis yang telah dicemarkan; 2) uang adat; 3) selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran; 4) penutup malu/permintaan maaf; 8 Ibid hlm 7
  • 6. 6 5) berbagai rupa hukuman badan sampai hukuman mati; dan 6) pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar hukum.9 Maka dari itu sanksi yang dapat diberikan kepada masyarakat adat yang melakukan praktek illegall logging adalah berupa uang adat yang harus dibayarkan guna pertanggungjawaban dari perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat/kosmis adat yang melanggar. Aturan adat Minangkabau tersusun atas induk aturan yang terdiri atas 6 (enam) macam, yakni : 1) adat 2) kato 3) nagari 4) undang 5) hukum 6) cupak kemudian aturan ini dipecah menjadi 22 yang merupakan perincian dari induk aturan yang 6 (enam) tadi10 , yang salah satunya adalah Undang-Undang duo puluah, adalah himpunan aturan terdiri dari 20 macam, terdiri atas : a. Undang-undang Salapan (Undang delapan) b. Undang-undang duo baleh (undang dua belas)11 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,menebang, memotong, mengambil dan membawa kayu hasil hutan tanpa 9 Block book hukum pidana adat, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm 11. 10 ST.Mahmud BA DT. Tenggi Langit , Minangkabau Adat dan Limbago, hlm 1 11 Ibid, hlm 7
  • 7. 7 ijin daripejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setelah berlakunya Undang-Undang No. 41 tahun 1999 terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin pihak yang berwenang tersebut dikenakan pidana. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 yang notabene ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan apabila dikenai pasal-pasal dalam Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP). Namun sejak bergulirnya Otonomi Daerah sebagai sintesa pemeritahan yang otoritarian, untuk menuju pemerintahan yang demokratis, berdampak pula terhadap pola pengelolaan sumber daya alam termasuk didalamnya hutan.Sumatera Barat melaksanakan otonomi dareah dengan kembali kepada nagari. Oleh karena iu, didalam perda kembali disebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasis nagari. Pengaturan ini dapat dilihat pada ketentuan Bab I Pasal 1 angka 15 Perda No. 2 Tahun 2007, yang menyebutkan harta kekayaan nagari adalah: Harta benda yang telah ada atau yang kemudian menjadi milik dan kekayaan nagari baik bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan dalam BAB V Pasal 16 menyebutkan harta kekayaan nagari itu meliputi : a. Pasar nagari; b. Tanah lapang atau tempat rekreasi nagari; c. Balai, Mesjid dan/atau Surau nagari; d. Tanah, hutan, sungai, kolam dan /atau laut yang menjadi ulayat nagari; e. Bangunan yang dibuat oleh Pemerintah Nagari dan atau anak nagari untuk kepentingan umum; f. Harta benda dan kekayaan lainnya.
  • 8. 8 Maka dari itu nagari mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan harta kekayaan nagari yang sudah dilimpahkan oleh pemerintah, terutama hutan yang terletak dalam kawasan adat yang mana harus dijaga kelestariannya oleh nagari serta jajaran nagari, seperti pemuka-pemuka adat dan pemuka-nagari. Pemuka adat dan nagari harus menjaga hutan nagari dari praktek penebangan liar atau yang dikenal dengan illegal logging. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Dharmasraya berdasarkan SK Mentri Hutan Nomor : 304/Menhut-II/2011 tanggal 9 Juni 2011, sebagai berikut : 1. Hutan Swaka Alam (SA) 5.409 Ha 2. Hutan Lindung (HL) 11.986 Ha 3. Hutan Produksi Terbatas (HPT) 31.224 Ha 4. Hutan Produksi Tetap (HP) 26.770 Ha 5. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi 16.761 Ha 6. Kawasan Hutan 92.150 Ha 7. Areal Penggunaan Lainnya 203.963 Ha Sedangkan luas hutan yang terdapat di kenagarian lubuk karak kecamatan IX Koto adalah seluas 11724Ha. Kondisi hutan yang ada di Kabupaten Dharmasraya saat ini sudah sangat memprihatinkan, dimana dari data yang ada di Dinas Kehutanan sebanyak 22 Ribu hektar hutan Dharmasraya rusak. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Ramilus SP M.Si dalam acara sosialisasi pemantapan dan kelestarian kawasan hutan yang dipusatkan di Kelompok Tani
  • 9. 9 Rimbo Sakato Sungai Kilangan kemarin.12 Kerusakan hutan di Dharmasraya berdasarkan table perbandingan luas kerusakan hutan antar Daerah tahun 2010 yaitu disebabkan :13 a. Kebakaran hutan seluas 100 ha b. Lading berpindah 500 ha c. Penebangan liar 750 ha d. Perambahan hutan 200 ha Maka dari itu nagari dan pemrintah berkewajiban menjaga dan melindungi hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.Dengan memberikan hukuman berdasarkan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik yang berdasarkan KHUP maupun UU khusus berkaitan dengan pebenagan liar (illegal logging) yaitu UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kejahatan penebangan liar (illegal logging) secara umum ada kaitannya dengan tindak pidana umum dalam KUHP, yang bentuk kejahatannya dapat di klasifikasikan sebagai berikut: 1. Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412). Yang mana inti dari pasal di atas yaitu barang siapa yang melakukan pengrusakan, menghancurkan dan membuat suatu barang tertentu tidak dapat dipakai dengan cara melawan hukum di ancam dengan pidana. 12 www.Green.kompasiana.com. Penghijauan, 22 ribu hektar hutan Dharmasraya rusak, di poskan tgl 9 Desember 2012 dan di akses tgl 19 Desember 2012. 13 www.bukuSLHDKab/Kota 2010.com. Di akses 19 Desember 2012
  • 10. 10 2. Pencurian ( Pasal 362) barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 3. Penyelundupan Sampai saat ini belum ada undang-undang secara khusus mengatur tentang penyelundupan.Penyelundupan masih disamakan dengan pencurian yang dimasukkkan dalam pasal pencurian didalam KUHP. Namun demikian, juga diatur secara khusus didalam Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai suatu perbuatan penyelundupan kayu. 4. Pemalsuan ( Pasal 261-276) Yaitu berdasarkan Pasal 263 pemalsuan surat yang dikaitkan dengan perizinan pengelolaan hutan yang surat-suratnya di palsukan untuk mengelabui aparat penegak hukum. 5. Penggelapan ( Pasal 372-377) 6. Penadahan ( Pasal 480 KUHP) Kejahatan penebangan liar (illegal logging) juga di atur di dalam Undang- Undang kehutanan, yaitu undang-undnag No. 41 Tahun 1999, salah satu pasal yang
  • 11. 11 menyebutkan tentang tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu pasal 50 ayat 1-3, yang mana sebagian ayat itu berbunyi : (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Serta dalam Pasal 69 Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mana pasalnya berkaitan dengan perlindungan hutan, yang berbunyi : (1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. (2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah. Berdasarkan data yang didapat dari lapangan, yaitu dengan cara wawancara langsung dengan narasumber, yaitu Bapak Martiajis Wali Nagari Lubuk Karak Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya menyatakan bahwa 30% Hutan Nagari di Nagari Lubuk Karak rusak diakibatkan oleh penebangan liar. Namun berdasarkan pengamatan saya lebih dari 30% karena di sepanjang jalan dan di sungai begitu banyak kayu-kayu hasil dari penebangan liar.
  • 12. 12 Berdasarkan latar belakang dan kondisi hutan yang semakin buruk di akibatkan oleh penebangan liar kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan bagi kehidupan, kemudian mendorong penulis untuk membuat proposal dan melakukan penelitian, dengan judul proposal : “PERLINDUNGAN HUTAN NAGARI TERHADAP ILLEGAL LOGGING DI NAGARI LUBUK KARAK KABUPATEN DHARMASRAYA”. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka dalam lingkup permasalahan ini penulis perlu membatasinya agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari sasarannya. Adapun batasan masalah yang teridentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hutan nagari oleh masyarakat nagari terhadap illegal logging sebagai bentuk pidana adat di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak? 2. Bagaimana peran Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari dalam perlindungan hutan nagari terhadap illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak? 3. Apakah yang menjadi kendala terhadap penegakan hukum untuk perlindungan hutan nagari yang berkaitan dengan illegal logging di Kabupaten Dharmasraya kenagarian Lubuk Karak?
  • 13. 13 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan hutan nagari di Kabupaten Dharmasraya. 2. Untuk mengetahui bagaimana peran KAN dan pemerintahan nagari dalam melindungi hutan nagari di Kabupaten Dharmasraya nagari Lubuk Karak. 3. Untuk mengetahui apa saja kendala dalam hal perlindungan dan penegakan hukum terhadap hutan nagari dari praktik illegal logging. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: a. untuk pengembangan hukum, dan menambah bacaan di perpustakaan khususnya di bidang kajian pidana; b. untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan penelitian dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas; c. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan dalam pembuatan karya-karya ilmiah serta penerapan ilmu pengetahuan hukum pidana.
  • 14. 14 2. Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: a. Bagi pemerintah untuk masukan dalam mengambil kebijakan terhadap terhadap perlidungan hutan atas illegal logging baik hutan nagari maupun hutan lindung. b. Bagi penegak hukum untuk masukan dalam melakukan tindakan penegakan hukum terhadap illegal logging. c. Bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum terutama tentang pentingnya hutan dan perlindungannya demi kelangsungan hidup. E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoretis Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kehidupan, maka dari itu hutan harus dilindungi.Perlindungan terhadap hutan perlu dilakukan baik dikalangan Pemerintah maupun di kalangan masyarakat agar tercegahnya dari pengrusakan hutan terutama penebangan liar. Menurut pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.14 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif 14 Phillipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal 2 .
  • 15. 15 bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.15 Berdasarkan pendapat Philipus M. Hadjon diatas maka perlindungan hutan juga bersifat preventif dan represif, yang mana perlindungan preventif dilakukan oleh Dinas Kehutan serta jajarannya juga termasuk Pemerintahan Nagari dan mayarakat.Sedangkan perlindungan yang bersifat represif dilakukan oleh kepolisian, karena keoplisian berwenang untuk menindak lanjuti kejahatan yang diakibat oleh penebangan liar. Perlindungan hukum diatur karena banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seorang sehingga menganggu kedamaian dan ketentraman orang lain, maka dibutuhkan perlindungan hukum agar HAM sesorang tidak dilanggar. Dari kesalahan seorang tersebut maka diperlukan pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya yang berhubungan dengan asas kausalitas atau asas sebab akibat. Akibat akan muncul karena suatu sebab.Begitu juga dengan hutan, hutan harus dilindungi sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan. Hakikat kebenaran dan keadilan merupakan suatu konsep awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan 15 Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hlm 18.
  • 16. 16 moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan.16 Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan- tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.17 Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksitensi hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia.18 Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran 16 www.hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum. Di postkan tanggal 18 November 2011, di akses tang 20 Desember 2012. 17 Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm 116. 18 Ibid, hlm 117
  • 17. 17 sejarah hukum, ternyata aliran hukm alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam perundang- undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat universal yang bisa disebut hak asasi manusia.19 Hutan merupakan sumber alam yang di anugerahkan oleh Tuhan, dan sudah merupakan ketetapan dari Tuhan. Jika hukum alam tersebut dirusak akan mengakibatkan suatu akibat yang fatal. Seperti hutan yang dirusak akan memberikan suatu akibat yang fatal, karena alam merupakan ciptaan Tuhan yang wajib untuk dilindungi. Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam Oendang-Oendang Simboer Tjahaja pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera Selatan. Pada Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin UUSC. Sedangkan di Sumatera Barat dikenal dengan Undang-Undang Duo Puluah yaitu himpunan aturan aturan yang terdiri dari 0 macam, yang terdiri atas : 19 Ibid hlm 118
  • 18. 18 a. Undang-undang salapan ( undang delapan) b. Undang-Undang duo baleh (undang dua belas) Adapun undang salapan adalah aturan yang menetukan nama kejahatan atau pelanggaran, yakni : 1. Dago-dagi 2. Sumbang – salah 3. Maliang – curi 4. Tikam – bunuah 5. Lancuang – kicuah 6. Upeh – racun 7. Sia – baka 8. Samun – saka Adapun undang duo baleh (dua belas) adalah aturan untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan, atau telah dilakukan perbuatan melawan undang, dan perbuatan itu mesti salah satu diantara perbuatan tersebut diatas. Undang dua belas ini mengatur cara membuktikan, dan menentukan syarat-syarat untuk membuktikannya. Konteks di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut eksistensinya telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama.20 asas dan praktek hukum pidana adat sampai sekarang masih diterapkan hakim yang bertitik tolak pada hukum pidana adat atau mengganggap hukum pidana adat 20 http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=139. Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia. Di akses tanggal 29 mei 2013
  • 19. 19 masih berlaku seperti dalam praktek yurisprudensi Mahkamah Agung RI salah satunya tercermin pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang menyatakan bahwa terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan dijatuhi sanksi adat (reaksi adat) oleh kepala adat, tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) kepada badan peradilan negara (pengadilan negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum adat dan dijatuhkan hukuman penjara menurut ketentuan hukum pidana.21 Hukum pidana adat dapat kaji dari teori hukum, maka ilmu hukum dibagi menjadi tiga lapisan yaitu teori hukum dan filsafat hukum dan dogmatik hukum. Teori hukum menurut JJH Bruggink adalah keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan- putusan hukum, dan sistem tersebut sebagian yang penting dipositifkan. Menurut JJH Bruggink lebih lanjut pengertian teori hukum memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretis bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoretis tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoretis bidang hukum sendiri. Kemudian dogmatik hukum hakikatnya berisikan hukum positif yaitu yang dibentuk dalam wujud tententu oleh kekuasaan yang berwenang.22 Filsafat Hukum merupakan refleksi terhadap hukum atau gejala hukum sehingga sebagai refleksi kefilsafatan eksistensinya tidak ditujukan mempersoalkan hukum positif tertentu melainkan merefleksikan hukum pada umumnya atau hukum sebagai yang demikian (law as 21 http://pn-kepanjen.go.id. hukum-pidana-adat-korelasinya-dengan-filsafat-hukum-teori-hukum-dan- dogmatik-hukum-serta-dalam-yurisprudensi-mahkamah-agung ri. Di akses tanggal 29 mei 2013 22 ibid
  • 20. 20 such). Sedangkan Dogmatik Hukum menurut Bellefroid dan Kusumadi Pudjesewojo disebut sebagai Ilmu Hukum Positif mempelajari peraturan dari segi teknis yuridis, berbicara hukum dari aspek yuridis, problem hukum yang konkret, aktual dan potensial dan melihat hukum dari perspektif internal.23 Pada tataran dogmatik hukum yang secara teoretis berkorelasi dengan teori hukum khususnya hukum positif maka tindak pidana adat (hukum pidana adat) haruslah berupa sebuah rumusan yang bersifat tertulis sehingga dapat dikualifisir unsur perbuatan tindak pidana adat sebagai suatu “primes mayor”. Untuk itu, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951 sebagai berikut: Pertama, bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. 23 ibid
  • 21. 21 Ketiga, sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan KUHP.24 Pada dimensi teori hukum maka hukum pidana adat dipandang sebagai norma hidup (living law) yang eksis dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena dimensi demikian maka hukum pidana adat dalam implementasinya dipergunakan penafsiran hukum berupa penafsiran sosiologi atau teleologis. Konsekuensi logis dimensi demikian yang mempergunakan penafsiran sosiologis atau teleologis ini dilakukan terhadap proses heurmanitika dalam praktek hukum sehingga harus mempunyai tolok ukurnya dalam hukum positif. Sedangkan dikaji dari perspektif filsafat hukum maka hukum pidana adat mengatur tentang nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga apabila nilai tersebut dilanggar akan terjadi kegoncangan keseimbangan magis dan oleh karena itu harus dipulihkan keseimbangan tersebut dengan sanksi adat atau obat adat. Nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam bentuk norma dan asas serta diterapkan dalam praktek hukum. Dari dimensi fisafat hukum nilai-nilai filosofis tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman khususnya pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang secara tegas meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat.25 Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana mempunyai korelasi dengan teori hukum, filsafat hukum dan dogmatik hukum. Dan ditegaskan bahwa dalam kajian ilmu hukum khususnya hukum pidana maka posisi hukum 24 ibid 25 ibid
  • 22. 22 pidana berada pada teori hukum, filsafat hukum dan dogmatik hukum. Oleh karena itu hukum pidana adat menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum, maka hukum pidana adat tidak diragukan lagi kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum indonesia. 2. Kerangka konseptual Untuk lebih memahami tulisan ini, selanjutnya penulis akan memaparkan pengertian-pengertian yang berhubungan degan kasus yang diteliti : a. Perlindungan hukum Sebelum menjelaskan pengertian perlindungan hukum, terlebih dahulu kita lihat pengertian dari perlindungan. Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun 2002 perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.Maka dari itu dapat diambil pengertian perlindungan hukum
  • 23. 23 yaitu tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum.26 b. Hutan Nagari Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas- batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.27 Nagari tidak hanya dilihat sebagai wilayah administrasi Pemerintahan akan tetapi dimaknai pula sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Minangkabau dalam hal mana seluruh warga masyarakat secara bersama-sama mengembangkan potensi Nagari (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan) serta mengembangkan nilai- nilai syarak, adat dan budaya di Nagari, sesuai falsafah adat salingka Nagari dan Adat sebatang panjang untuk tercapainya dan suksesnya penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dan anak Nagari.28 Nagari berhak untuk mengelola hutan nagari demi mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat nagari serta meningkatkan iklim ekonomi suatu nagari. 26 WJS. Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , Balai Pustaka 1959:224 27 Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Nagari 28 ibid
  • 24. 24 Hutan nagari adalah hutan negara yang dikelola oleh desa/Nagari dandimanfaatkan untuk kesejahteraan desa/Nagariserta belum dibebani izin/hak29 . c. Illegal Logging Menurut Suryanto dkk (2005) praktek illegal logging sebagai praktek eksploitasi hasil hutan berupa kayu secara tidak sah dari kawasan hutan negara melalui aktifitas penebangan pohon dan atau pemanfaatan dan peredaran kayu atau olahannya yang berasal dari hasil tebangan yang tidak sah30 . Illegal logging atau penebangan liar merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.31 Disamping itu dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Republik Indonesia dapat diidentifikasi secara langsung yang berkaitan dengan perbuatan penebangan liar pada pokoknya adalah sebagai berikut: 29 Peraturan Menteri Kehutanan No : P.49/Menhut-II/2008 30 Rahmi Hidayati, Charles,Agung dan Iwan Aminudin, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu, Tanggerang Banten, Wana Aksara, 2006, hlm 9 31 Haryadi Kartodiharjo, Modus Operandi, scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus Penebangan liar, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta 2003
  • 25. 25 a. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang b. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah c. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidakdilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu. d. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. e. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.32 F. Metode Penelitian Metode penelitian sangat penting karena merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam suatu penelitian, guna keberhasilan dari penelitian itu sendiri.Peneletian secara ilmiah adalah metode yang bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis suatu atau beberapa masalah yang sesuai dengan fakta yang terdapat di lapangan. 32 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal Di kawasan Hutan dan Peredarannya Diseluruh Wilayah Republik Indonesia
  • 26. 26 Menurut Soerjono Soekanto, metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan suatu ilmu pengetahuan.33 Hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah adanya kesesuaian antara masalah dengan metoe yang di gunakan di dalam penelitian yang dilakukan. Adapun metode yang digunakan di dalam skripsi ini yaitu : 1. Metode pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan masalah bersifat yuridis sosiologis (socio-legal Research) yang menekankan pada praktik di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melihat norma-norma hukum yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.34 2. Jenis dan Sumber Data Dalam penulisan ini jenis data yang digunakan adalah: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh di lapangan atas temuan dari sesuatu yang diteliti melalui wawacara. Untuk memperoleh data primer, peneliti mendapatkannya dari hasil penelitian dilapangan (field research). Penelitian di lapangan ini dilakukan di Kabupaten Dharmasraya. 33 Soejono Sukanto, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI PRESS,Hlm 7 34 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta: 2008.
  • 27. 27 a. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang berupa informasi dan dikumpulkan dengan cara mencari data kepustakaan (Library Research) atau bahan terkait untuk menetukan sumber yang sesuai dengan penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum : a) Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat, antara lain seperti Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan illegal logging. Peraturan tersebut yaitu, Undang- Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. b) Bahan Hukum Sekunder Yaitu hal yang menjelaskan tentang bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku, jurnal dan media cetak maupun media elektronik. c) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang berisikan penjelasan mengenai bahan hukum pejelas dan pelengkap atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.
  • 28. 28 Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu : a. Penelitian kepustakaan Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.35 b. Penelitian lapangan (Field Research) Penelitian lapangan adalah penelitian yang langsung terjun kelapangan yang dilakukan dengan pihak yang yang bersangkutan berkaitan dengan objek dari penelitian tersebut, untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan dengan masalah penelitian.Penelitian dilakukan di kabupaten Dharmasraya. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Dharmasraya tepatnya di Kenagarian Lubuk Karak Kecamatan IX Koto.Dengan responden Bapak Wali Nagari Lubuk Karak yaitu Bapak Marti Ajis. Bapak ketua Kerapatan Adat Nagari, Bapak kepala Kehutanan Dharmasraya, Bapak Kepala polisi Resor Dharmasraya serta Bapak kepala Polisi sektor IX Koto. 35 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika. Jakarta : 2009, hlm. 107
  • 29. 29 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Dokumen Melakukan infentarisasi terhadap bahan-bahan hukum yang diperlukan, seperti: bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder, dan bahan-bahan hukum tersier.36 b. Wawancara Agar data yang diperoleh lebih konkrit, maka penulis melakukan teknik wawancara terhadap responden di lapangan. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan memperoleh keterangan lisan melalui tanya jawab dengan subyek penelitian (pihak-pihak) sesuai dengan masalah yang penulis angkat.37 Wawancara ini dilakukan secara berencana dan di buat satu daftar pertanyaan yang akan di tanyakan kepada orang di wawancarai. 4. Pengolahan dan Analisis Data Setelah seluruh data yang diperlukan berhasil dikumpulkan dan disatukan kemudian akan dilakukan penyaringan dan pemisahan data, sehingga didapatkan data yang akurat. Setelah dilakukan penyaringan dan pemisahan data maka tahap selanjutnya akan dilakukan pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing, yaitu akan merapikan kembali data yang diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir 36 Amiruddin, dan Zainal Asikin. 2008. Pengantar Metode Hukum.,Op.Cit,. Hlm 66. 37 Burhan Ashsofaf, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
  • 30. 30 secara umum yang nantinya akan dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada. kenyataan-kenyataan tersebutdibuat dalam bentuk kalimat. Terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis menggunakan metode analisis secara kualitatif yaitu uraian data yang terkumpul, yang tidak menggunakan statistik atau rumusan statistik.
  • 31. 31 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Illegal Logging 1. Pengertian illegal logging Pengertian illegal logging didalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak di jelsakan secara tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, dan Log adalah kayu gelondongan , logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Secara umum illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan38 . Unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan illegal logging tersebut antara lain : 1. Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha; 2. Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun karena kealpaannya; 38 Abdul Muis dan Muhammad Taufik Makarao, Hukum Kehutanan Indonesia,Rineka Cipta, Jakarta:2011. Hal.36
  • 32. 32 3. Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni : a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan. c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan Undang- undang. d) Menebang pohon tanpa izin. e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal. f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH. g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin. Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan adalah merupakan suatu kejahatan yang sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 48 Undang- Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), bahwa tindak pidana perusakan hutan adalah merupakan suatu kejahatan. Perusakan hutan itu adalah termasuk kegiatan penebangan liar (illegal logging). Berdasarkan unsur-unsur diatas maka tindakan penebangan liar atau sering disebut dengan illegal logging termasuk dalam tindak pidana. Aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana penebangan liar ini lebih
  • 33. 33 lanjut diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Menurut Muladi kejahatan atas kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan39 . Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa perbuatan penebangan liar (illegal logging) itu merupakan suatu kejahatan oleh karena dampak yang ditimbulkannya sangat luas, yaitu mencakup aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Kejahatan ini merupakan ancaman yang serius bagi ketertiban sosial dan dapat menimbulkan ketegangan serta konflik-konflik dalam berbagai dimensi, sehingga perbuatan itu secara faktual meyimpang dari norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial. Bahkan dampak kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kejahatan penebangan liar (illegal logging) ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan saja namun dirasakan juga secara nasional. Menurut Wayan T. Budiharjo mendefinisikan illegal logging sebagai sebuah bentuk aktifitas manusia dalam mengekploitasi sumber daya hutan diluar sistem pengelolaan hutan lestari yang berlaku yang dilakukan oleh sekelompok orang atau oknum tertentu secara sistematis maupun cara-cara lain untuk kepentingan kelompok dan atau orang/oknum tertentu secara illegal. Sedangkan H. Aspar Aspin , mendefinisikan illegal logging sebagai sebuah aktifitas kelompok masyarakat atau badan usaha yang 39 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 256
  • 34. 34 melakukanpemanfaatan hasil hutan kayu dengansadar, terstruktur dan sistematis menurut kehendaknya sendiri diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.40 Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) masih mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Jo Pasal 78 UU No. 41/1999. Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Pada dasarnya, Praktek illegal logging ini dapat di kelompokan dalam dua kegiatan41 ,yaitu: 1. Penebangan liar ( illegal logging) yang dilakuakan oleh pihak yang tidak memiliki izin yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hasil hutan. 2. Penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan usahanya, cenderung merusak hutan seperti kegiatan melakukan penebangan diluar wilayah kewenangannya (over cutting), melanggar persyaratan yang sudah ditetapkan dalam aturannya, kolusi dengan pejabat maupun aparat,manipulasi kebijakan, serta tindakan pemalsuan dokumen yang terkait dengan perizinan. 40 Wayan T Budiharjo:2002 dan Aspar Aspin, dikutip dari artikel M. Hidayad, strategi Penegakan Hukum Terhadap Illegal loggingguna mencegah Kerusakan Hutan, di akses 15 November 2012. 41 Abdul Muis Yusuf dan Taufik Makarao, Loc.Cit., Hlm 40
  • 35. 35 Illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak hutan. Kerusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.” Istilah “Kerusakan hutan” yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan yang berlaku ditafsirkan bahwa kerusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme yaitu : pertama, kerusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum. Kedua, kerusakan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan nyata melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan atau tanpa adanya persetujuan pemerintah dalam bentuk perizinan. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana illegal Logging Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh Pasal 78 UU No.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu : a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
  • 36. 36 c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang. d. Menebang pohon tanpa izin. e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal. f. Mengangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sah Hasil Hutan) SKSHH. g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin. Dari rumusan di atas secara tegas UU No.41/1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar (illegal logging), dan tindak pidana pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar (illegal logging) 42 . 3. Modus Terjadinya Illegal Logging Modus praktik illegal logging yaitu melibatkan cukong dan para petugas kehutanan baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah dan melibatkan para petugas dan penegak hukum, simpulan ini merupakan suatu analisis yang dimuat dalam Koran Kompas tanggal 5 Maret 2006 sesuaihasil wawancara kepda beberapa kalangan yang mempunyai pengetahuan tentang 42 Rahmi Hidayati dkk, Op.Cit., hal 80.
  • 37. 37 kehutanan. Menurut Riza Suarga bahwa maraknya illegal Logging atau pembalakan liar di hutan tropis Indonesia ternyata membaur dengan sistem sosial budaya masyarakat, hal tersebut terbukti dan mucul istilah-istilah lokal untuk kegiatan illegal logging. Ada 4 istilah atau simbol yang sering digunakan oleh para pelaku illegal logging, yaitu (1) ekspedisi, yaitu pihak yang bertanggung jawab mengantarkan rakit dan tambatan asal ke tujuan akhir. Ekspedisi mendapat bayaran mahal atas jasa tersebut, namun segenap biaya operasional, taktis, serta risiko hilangnya kayu selama perjalanan menjadi tanggung jawab ekspedisi, (2) peti kemas, yaitu cara baru yang dirasa efektif dan aman untuk menyelundupkan kayu, (3) dokumen terbang, yaitu dokumen yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan di Kabupaten yang digunakan untuk pengankutan kayu yanng di Kabupaten lainnya. Dokumen dapat dipakai berulang-ulang, sehingga sering disebut sebagai dokumen terbang yang dapat dipakai berkali-kali. Sementara dokumen aspal adalah dokumen yang tidak sesuai dengan isi muatan atau tujuan pengiriman, (4) bendera putih, yaitu sebagai tanda rakit yang dilengkapai dengan dokumen. Apabila ada sepuluh rakit dan ternyata terpasang delapan bendera merah putih, maka ada 2 (dua) rakit yang tidak lengkapi dengan dokumen. Pemberian tanda bendera merah putih ini untuk tujuan menunjang kelancaran urusan dan tawar-menawar yang dilakukan di darat.43 43 Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2011. Hlm 305
  • 38. 38 Bertitik tolak dari modus atau tatacara munculnya illegal logging di atas, memberikan gambaran bahwa, modus timbulnya illegal logging saat ini telah mengalami suatu pergesaran makna, karena kosakata illegal logging pada prinsipnya tertuju pada masalah pembalakan semata, padahal illegal logging juga terjadi pada semua segmen pengolahan hutan atu kayu yang tidak sesuai dengan izin yang termuat pada dokumen yang telah dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, baik Dinas Kehutanan Provinsi maupun Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu Riza Suarga mengatakan bahwa, illegal logging berdasarkan bentuk produksinya dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) produksi logs pendek, (2) produksi kayu persegi dan (3) produksi logs pendek panjang dari HPH/IPK/HPHH. Pertama, bentuk illegal logging dengan produksi logs pendek beberapa ciri, di antaranya (1) tebang liar dengan menggunakan chainsaw dalam bentuk pendek dengan ukuran empat meteran, (2) dilakukan oleh sekelompok masyarakat, (3) dirakir, dimilirkan dan dijual kepada industri terdekat, (4) lokasi tebanngan di areal rawa atau hutan daratan rendah, (5) dilakukan dikanan kiri sungai atau anak sungai dengan membuat galang dengan menghancurkan logs dekat dengan daratan di sekitar 1 km- 1,5 km, dan (6) mata rantai illegal logging cukup rapi dan berkesinambungan dan didukung oleh penumpang kayu yang memiliki cukup modal. Kedua, bentuk illegal logging dengan produksi kayu persegi yang memiliki ukuran (20cm x 20cm x 4m) menjadi pilihan utama masyarakat
  • 39. 39 pemilik atau penyewa chainsaw, dimana dalam satu wilayah terdapat ratusan chainsaw yang beroperasi. Ketiga, produksi logs pendek atau panjang dari HPH/IPK/HPHH. Prakti penebangan liar yang dilakukan oleeh pengusaha HPH/IPK/HPHH dapat terjadi baik rutin maupun insidentil dalam bentuk pelanggaran eksploitasi ataupun pelanggaran tata usaha kayu, antara lain (1) menebang diluar blok atau diluar HPH/IPK/HPHH, (2) menebang dikawasan lindung, (3) menampung tebangan liar kemudian diberi dokumen, (4) menyangkut atau memilirkan kayu hasil tebangan dengan fisik kayu jauh lebih besar dengan dokumen yang menyertai, dan (6) menyelundupkan kayu hasil tebangan keluar negeri. Selain modus yang telah dipaparkan diatas, terdapat lagi modus lain lebih rapi, yakni adanya benturan antara peraturan perundang-undangan pusat dengan peraturan daerah. 44 B. Perlindungan Perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Dan menurut PP No.2 Tahun 2002 perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum 44 Ibid. Hlm 306-307
  • 40. 40 atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. C. Perlindungan Hutan Kegiatan perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dan utama dalam hal pencegahan kerusakan hutan, sebagaimana yang di maksud dalam PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan mengganti PP Nomor 28 Tahun 1985 yaitu dalam BAB I Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. D. Hutan Hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai strategis dalam pembangunan bangsa dan negara, keterlibatan negara dalam penataan dan pembinaan serta pengurusannya sangat dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa, semua hutan didalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (ayat (1)).
  • 41. 41 Pengusaan hutan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (ayat (2)).45 Pengertian hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 dalam BAB I Pasal 1 ayat (2) menyatakan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Status dan pengurusan hutan terdapat pada Pasal 5 UURI Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri atas: (a) hutan negara dan (b) hutan hak (ayat (1)). Oleh karena itu hutan negarasebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat pada ayat (2).46 E. Nagari Nagari, adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di Minangkabau. Mempunyai batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai penguasa adat dan anggota masyarakat tertentu. Menurut sejarahnya Nagari merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom) dan nagari sudah ada dan lengkap dengan norma yang mengatur masyarakatnya. Kelengkapan suatu nagari adalah mempunyai beberapa buah kampung, sawah ladang sebagai sumber 45 Ibid. Hlm 17 46 Op.cit., Hlm. 18
  • 42. 42 ekonomi, mempunyai rumah tempat kediaman, mempunyai balai-balai tempat kegiatan sosal, mempunyai mesjid tempat beribadah, punya tepian mandi umum, punya gelanggang tempat sarana hiburan dan mempunyai tanah pekuburan. Ciri-ciri ini tetap merupakan persyaratan pokok terjadinya suatu negari di Minangkabau.47 Sedangkan menurut Perda Propinsi Sumbar Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Nagari dalam Pasal 1 angka (1) yaitu Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi Syarak, syarak Basandi Kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.48 F. Hutan Nagari Dalam pasal 5 ayat (1) UURI No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaiu hutan hak, dan yang termasuk dalam hutan hak tersebut adalah hutan adat. Hutan adat diterapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (ayat (3)). Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (ayat (4)). Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat 47 Busra, Kepala Biro Pemerintahan Nagari Setda Provinsi Sumatera Barat Disampaikan dalam Pertemuan Forum Diskusi Partisipasi Masyarakat (FPPM) Pada Hari Rabu tanggal 5 Juni 2002 bertempat di Hotel Denai Bukittinggi 48 Pasal 1 angka (1) Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 tahun 2007 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Nagari
  • 43. 43 (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan rakyat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.49 Sedangkan di Sumatera Barat disebut juga dengan Hutan Nagari. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan didalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutana adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyaraka hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang dikelola oleh desa atau nagari dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa atau nagari disebut hutan desa/hutan nagari. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.50 Berdasarkan pengakuan hukum adat diatas maka pengelolaan akan hutan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kelanjutan dari beberapa peraturan perundang-undangan yang terdahulu mengakui akan hak masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok Agraria, yang dalam Pasal 5 menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Kependudukan dan 49 Op.cit. hlm. 18 50 Op.cit., Hlm. 19
  • 44. 44 kesejahteraan masyarakat, yang pada ininya menjamin hak atas pemanfaatan yang menguntungkan dari lahan yang merupakan warisan berdasarkan hukum adat.51 Dalam konteks hutan adat (nagari), penguasaannya tidak bisa dipisahkan dari pola penguasaan ulayat, sehingga keberadaan hutan nagari merupakan kesatuan ekosistem hutan yang berada di atas ruang ulayat, sehingga muncullah yang dinamakan dengan hutan ulayat nagari, hutan ulayat suku dan hutan ulayat kaum. Sedangkan pada level ulayat paruik dan ulayat keluarga inti, telah berubah fungsi menjadi pekarangan perumahan, persawahan atau lahan pertanian, yang secara ekosistem tidak lagi berupa hutan. Maka dari itu yang di maksud dengan hutan nagari adalah hutan yang secara terpadu menjadi satu kesatuan ekosistem dengan nagari berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki dan dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. G. Sanksi terhadap Pelanggaran Hutan a. Sanksi Adat Secara Umum Hukum adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda : adatrecht. Snouch Hurgronje adalah orang pertama yang memakai istilah adatrecht itu.52 Adatrecht adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putera dan orang timur asing. Yang mempunyai upaya pemaksa. Hukum adat itu adalah hukum yang mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam 51 Ibid 52 Bushar Muhammad, 2002, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Pradnya Pramita. Jakarta. Hlm 1
  • 45. 45 hubungan satu sama lain,baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupunyang merupakan keseluruhan peraturan-paraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.53 Sifat masyarakat hukum adat yaitu mempunyai sifat atau alam pikiran komunalisme dan religo magis (kosmis). Alam pikiran masyarakat hukum yang demikian merupakan latar belakang delik hukum adat yang mana apabila terjadi gangguan harus dipulihkan. Delik adat adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan pereorangan, mengancam atau menyinggung atau menggangu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupaka kesatuan . tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar/kecil dan lain-lain. Hukum pidana adat adalah tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya 53 Ibid. Hlm 17-19
  • 46. 46 ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan, maka terjadi reaksi adat. Beberapa jenis delik adat dalam buku Van Vollenhoven Jilid II halaman 750 dan kemudian di kutip oleh supomo, jenis delik adat itu adalah : 1. Perbuatan penghianatan; 2. Membuka rahasia masyarakat atau sekongkol dengan golongan musuh; 3. Perbuatan mengadakan pembakaran yang memusnahkan rumah- rumah; 4. Perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala adat (kepala suku atau raja); 5. Perbuatan sihir atau tenun, merupakan delik yang berat karena mencelakakan seluruh masyarakat; 6. Incest, yang berarti 4 (empat) macam yaiu : 1) Suatu hubungan seksual antara dua orang yang menurut hukum adat tidak boleh dlakukan; 2) Pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekat menurut ukuran hukum adat; 3) Suatu hubungann seksual antara dua orang yang berlainan kasta; 4) Hubungan sumbang anatar orang tua dan anaknya. 7. Hamil diluar perkawaninan; 8. Melarikan seorang perempuan; 9. Perbuatan zinah; 10. Pembunuhan; 11. Jual beli manusia; 12. Pemenggalan kepala; 13. Delik terhadap harta.54 54 Bushar Muhammad, 2006. Pokok-Pokok Hukum Adat. Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm 61-67
  • 47. 47 Adapun aturan adat minangkabau, tersusun atas induk aturan yang terdiri atas 6 (enam) macam yakni, adat, kato, nagari, undang, hukum, dan cupak. Aturan adat yang 6 macam inilah yang mengatur minangkabau sejak dahulu. Kemudian aturan ini dipecah menjadi 22, yang salah satunya adalah Undang- Undang nan Duo Puluah. Undang-Undang nan Duo Puluah adalah himpunan aturan yang terdiri dari 20 macam, terdiri atas : a) Undang-Undang Salapan (Undang Delapan); b) Undang- Undang Duo Baleh (Undang Dua Belas) Undang Salapan adalah aturan yang menentukan nama kejahatan atau pelanggaran, yakni : 1. Dago- dagi 2. Sumbang – Salah 3. Maliang – Curi 4. Tikam – Bunuah 5. Lancuang – Kicuah 6. Upeh – Racun 7. Sia – Baka 8. Samun – Sakar Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh (Dua Belas) adalah aturan untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu atauran, atau lebih dilakukan perbuatan melawan Undang, dan perbuatan itu adalah perbuatan dari salah satu perbuatan yang diatas tadi. Undang Duo Baleh ini mengatur cara membuktikan dan menentukan syarat-syarat untuk membuktikannya. Undanng Duo Baleh
  • 48. 48 dibagi dua, yang masing-masingnya terdiri atas 6 (enam), dan enam yang pertama adalah untuk menentukan atau menjatuhkan tuduah kepada seseorang, sedangkan yang 6 (enam) yang kedua untuk menentukan atau menjatuhkan cemooh kepada seseorang. Adapun yang menentukan tuduah adalah : 1. Talala – Takaja; 2. Tacancang – Tarageh; 3. Talacuik – Tapukua; 4. Putuih tali; 5. Tumbang ciak; 6. Anggang lalu ata jatuah. Sedangkan yang menentukan cemoh adalah : 1. Di bao pikiek – dibao langau; 2. Tabayang – tatabua; 3. Bajalan bagageh – gageh; 4. Pulang pai ba basah – basah; 5. Kacindorongan mato nan banyak. Ungkapan terhadap undang 12 ini sesuai dengan pembagiannya, 6 jatuh kepada tuduh, dan tuduh boleh dijatuhkan kepada seseorang jika syarat-syarat yang disebut oleh undang ini terpenuhi. Oleh karena itu, diungkapkan; “ ayam putieh tabang siang, batali banang, balantak tulang, basuluah matohari, bagalanggang mato urang banyak, nan bak tuduah bakatunggangan”. Sedangkan yang 6 (enam) lagi menentukan syarat-syarat untuk sebuah cemo atau menduga
  • 49. 49 saja, namun memerlukan penjelasan lebih jauh. Sebagaimana dalam ungkapannya “ tuduah gaib bajalan-jalan, urang malam basigi, bak ayam hitam tabang malam, batali ijuak balantak tanduah, hinggok di rantiang batang palam”. Undang-Undang yang enam pertama (tuduh) disebut hukum “ baina” yang berarti adalah suatu keputusan hukum adat yang diambil berdasarkan kekuatan saksi orang. Pembuktian kejahatan berdasarkan keterangan. Sedangkan Undang -Undang enam yang kedua (cemo) disebut hukum” kurena” yang berarti suatu keputusan hukum adat yang diambil berdasarkan tanda-tanda tertentu. Kurena menunjukkan laku,harago menunjukkan bali. Dan pembuktian kejahatan hanya didasarkan kepada suatu tanda yang mencurigakan. Jika seseorang melakukan tindakan yang disebut undang salapan, maka ia disebut :salah dek undang”, dan harus dibuktikan dengan menelitinya melalui undang 12 tadi dampai tuntas.55 Dasar hukum berlakunya hukum adat yaitu : 1. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, peradilan pribumi dan peradilan swapraja telah dihapuskan sehingga tugas menyelesaikan perkara hukum beralih kepada peradilan umum. Sementara peradilan desa tetap berjalan sebagaimana biasa menurut hukum adat masing-masing daerah. 2. Yurisprudensi / Putusan Mahkamah Agung tentang delik adat kesusilaan yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K / Pid / 1988 tanggal 15 mei 1991 yang menegaskan bahwa sanksi adat yang telah dijatuhkan oleh kepala adat 55 Mahmud BA DT. Tenggi Langit, 1990. Minangkabau Adat dan Limbago. Padang. Hlm 8
  • 50. 50 terhadap pelaku delik adat kesusilaan diakui dan tidak dapat lagi dikenakan pidana apabila sanksi adat tidak dilasanakan. 3. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dimana hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.56 b. Sanksi Dalam Perundang-Undangan Sanksi merupakan salah satu sarana terapi yang paling ampuh diberikan kepada orang, masyarakat, dan badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap hukum, terutama dalam bidang kehutanan. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragaraf ke-18 UU No.41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat. 56 http://repository.unand.ac.id/17525/1/Penerapan_Sanksi__Pidana_Adat_dan_Pidana_KUHP.pdf. Diakses Minggu Tanggal 20 Ocktober 2013, jam 16:33 WIb
  • 51. 51 Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No.41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UU No.41 Tahun 1999. Berdasarkan uraian tentang formulasi ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu; 1) Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan; 2) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perijinan sehingga merusak hutan; 3) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang; 4) Menebang pohon tanpa ijin 5) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal; 6) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH); 7) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa ijin.57 57 http://tugaaaass.blogspot.com/2012/04/undang-undang-tentang-ilegal-logging.html. Diakses Minggu Tanggal 20 Oktober 2013. Jam 19:23 WIB
  • 52. 52 Kepada pelanggar atau pelaku dapat dikenakan sanksi hukum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian ilegal logging adalah penebangan liar atau penebangan tanpa izin yang termasuk kejahatan ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan lingkungan/ekosistem hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama 10- 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5-10 miliar (UU No. 41 1999 tentang Kehutanan, Pasal 78).
  • 53. 53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas tentang Nagari Lubuk Karak Nagari Lubuk Karak adalah suatu nagari yang terletak di Kabupaten Dharmasraya Kecamatan Sembilan Koto. Luas wilayah nagari Lubuk Karak adalah 11.000 H dan luas hutannya 8.000 H dengan jumlah penduduk lebih kurang 1.055 jiwa. Topografi wilayah pada umumnya bergelombang dan berbukit. Di sepanjang aliran sungai ditemui pemukiman penduduk dan persawahan yang terpencar-pencar. Kawasan ini memiliki curah hujan rata-rata 218 mm/bulan. Hujan terbanyak umumnya terjadi pada bulan Januari dan paling sedikit pada bulan Juli setiap tahun. Suhu udara berkisar 240-300C. Ketinggian nagari Lubuk Karak lebih kurang 750 m dari permukaan laut dengan kemiringan 14-16 %, dengan bulan basah selama 6 (enam) bulan. Nagari Lubuk Karak terdiri dari 5 (lima) Jorong yaitu, Jorong Lubuk Karak, Jorong Sumanik, Jorong Koto Lamo, Jorong Siraho, dan Jorong Sungai Kapur. Nagari Lubuk Karak sebelah Barat berbatasan dengan nagari Banai dan Solok, sebelah Timur berbatasan dengan nagari IV Koto Dibawuah, sebalah Utara berbatasan dengan nagari Sijunjung, dan sebelah Selatan berbatasan dengan nagari Silago. Di nagari tersebut belum adanya penerangan seperti listrik, dan belum ada akses telekomunikasi, karena nagari tersebut jauh dari kota. Ketinggian nagari Lubuk Karak lebih kurang 750 m dari permukaan laut dengan kemiringan 14-16 %, dengan bulan basah selama 6 (enam) bulan. Jenis tanahnya Podsolid Merah Kuning (PMK)
  • 54. 54 pada lahan kering dan Aluvial pada lahan basah (sawah). Lahan kering di Nagari Lubuk Karak pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya tanaman perkebunan terutama karet berupa kebun campuran dan sebagian kecil untuk perumahan dan pekarangan. Namun sistem budidaya karet masih tradisional, seperti bibit lokal, jarak tanam dan pemupukan belum dilakukan. Kendala utama usaha tani karet antara lain tidak tersedianya bibit bermutu serta modal dan pengetahuan petani yang rendah. Selain karet dan padi, komoditas kakao dan ternak juga berpeluang untuk dikembangkan. Di samping ketersediaan lahan yang cukup, masyarakat telah mulai membudidayakan kedua komoditas tersebut. Untuk mengoptimalkan penggunaan limbah sebagai bahan pakan ternak maka integrasi ternak dengan karet, padi dan kakao sangat perlu dilakukan. Lubuk Karak dialiri dengan sungai yang aliranya cukup untuk mengaliri persawahan yang mana sumber airnya masih bersih dan belom tercemar. Selain potensi perkebunan, pertanian, yang mana nagari Lubuk Karak terdapat dalam lingkungan hutan, dan juga memanfaatkan hasil hutan sebagai mata pencaharian. Nagari Lubuk Karak merupakan suatu nagari yang terletak di pedalaman kabupaten Dharmasraya yang belum adanya aliran listrik menerangi nagari tersebut. Kehidupan masyarakat di nagari Lubuk Karak masih tradisonal, nagari Lubuk Karak mempunyai satu pasar tradisonal yang terletak ni Jorong Lubuk Karak yang pasarnya setiap hari kamis. Nagari Lubuk Karak mempunyai 1 Puskesri yang dimanfaatkan masyarakat nagari untuk berobat, Kantor wali nagari Lubuk Karak terletak di Jorong Lubuk Karak, sebelum menempuh kantor wali nagari pengunjung harus melalui jembatan ayun yang hanya memuat kendaraan roda dua. Karena akses kesana belom
  • 55. 55 ada. Masyarakat menambang emas dengan cara tradisional di sepanjang sungai bisa terlihat dari jembatan ayun tersebut. Nagari tersebut dipimpin oleh seorang wali nagari yang bernama bapak Marti Ajis. B. Perlindungan Hutan Nagari Oleh Masyarakat Nagari terhadap Illegal Logging Sebagai Bentuk Pidana Adat Kabupaten Dharmasraya Kenagarian Lubuk Karak Pembalakan liar atau yang biasa dikenal dengan istilah illegal logging merupakan suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait. Dimulai sumber atau produser kayu ilegal atau yang melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu. Kayu tersebut melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan proses eksport atau penjualan yang illegal. Proses pembalakan liar (illegal logging) ini, dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil pembalakan liar (illegal logging) itu dicuci terlebih dahulu sebelum memasuki pasar yang legal, artinya bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah ilegal, dilegalkan oleh pihak- pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga ketika kayu tersebut memasuki pasar, maka akan sulit lagi diidentifikasi mana yang merupakan kayu ilegal dan mana yang merupakan kayu legal. Setiap warga adat yang berada di sekitar lingkungan hutan meraka dapat memungut hasil hutan berupa, ramuan rumah, kayu bakar untuk masak atau dibuat arang, rotan, damar dan lainnya. Begitu juga dapat menangkap binatang liar yang tidak dilindungi pemerintah untuk kebutuhan hidup. Tetapi jika lebih dari itu dilarang, jadi untuk mendirikan perusahaan pemungutan hasul kayu harus
  • 56. 56 mendapatkan izin dari pemerintah dan mendapatkan persetujuan dari prowatin adat yang bersangkutan.58 Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan, pada dasarnya perlindungan hutan sudah sesuai dengan aturan didalam peraturan perundang- undangan dan peraturan pemerintah. Namun yang menjadi masalah adalah masih banyaknya terjadi pembalakan liar dilapangan. Dari hasil wawancara yang saya lakukan dengan bapak Wali Nagari dan bapak KAN Lubuk Karak Kecamatan IX Koto Kabupaten Dharmasraya tersebut beliau mengatakan bahwa belum adanya perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena masyarakat tersebut yang ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan mata pencaharian meraka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun selama ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar.59 Pidana adat dan sanksi adat yang merupakan tombak utama untuk melindungi hutan nagari tersebut sudah mulai pudar dan hilang, karena hukum adat itu sendiri tidak dikenal lagi didaerah tersebut. Sebagaimana pernyataan dari bapak Kepala Kerapatan Adat Nagari yaitu Bapak Maridun Gindo Sutan pidana adat dan hukum adat yang ada di nagari Lubuk Karak sudah lama mati, sehingga tidak ada lagi perlindungan hutan masyarakat,sehingga banyak cukong-cukong yang melakukan ekspedisinya di hutan adat tersebut. Sehingga begitu sulit untuk menegakkan pidana adat itu sendiri kepada masyarakat adat yang melanggar hukum adat dengan melakukan pengrusakan hutan atau merusak alam yang telah dititipkan kepada kita. 58 Hilman Hadikusuma. 1989. Hukum Pidana Adat. Bandung. Alumni 59 Hasil wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak tanggal 20 Agustus 2013 jam 11.00
  • 57. 57 Namun yang menjadi masalah adalah para oknum penegak hukum baik di nagari maupun di Kabupaten yang masih lalai dan keluar dari aturan tersebut, sebagaimana yang saya lihat di lapangan, begitu banyaknya hasil dari pembalakan liar yang di hanyutkan melalui aliran sungai untuk dibawa kepada tempat pengolahan atau tempat transaksi. Dari hasil penelitian tidak terlihat sanksi adat yang diterapkan oleh masyarakat nagari terhadap penebangan liar, padahal patut diketahui sanksi adat minangkabau seperti aturan adat yang 6 (enam) yang salah satunya adalah Undang- Undang Nan Duo Puluah. Undang-Undang Nan Duo Puluah terdiri dari dua macam, yakni Undang-Undang Salapan dan Undang-Undang Duo Baleh. Undang-Undang Salapan tersebut adalah Undang-Undang yang menentukan nama kejahatan atau pelanggaran. Sedangkan Undang-Undang Duo Baleh adalah aturan untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran suatu aturan atau lebih dilakukan perbuatan yang melawan Undang, perbuatan itu adalah perbuatan yang salah satu perbuatan yang terdapat didalam Undang Salapan. Dengan tidak diterapkannya sanksi adat tersebut sehingga masyarakat tetap dan tidak berhenti melakukan penebangan liar dengan pengrusakan hutan. Lemahnya aturan hukum membuat para pelaku tidak pernah jera untuk melakukan praktik atau ekploitasi hutan dengan mengambil hasil hutan yang tidak sesuai dengan semestinya. Meskipun hukum adat atau hukum pidana adat didalam nagari terhadap pelanggaran hutan nagari tidak berjalan atau tidak diterapkannya sanksi adat tersebut maka bisa diterapkan sanksi didalam perundang-undangan. Dengan tidak ada ada penerapan sanksi terhadap pelaku penebangan liar sehingga hutan nagari tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang
  • 58. 58 tidak bertanggung jawab dengan eksploitasi habis-habisan yang dapat merusak hutan dan kelestarian hutan tersebut. Kegiatan perlindungan hutan merupakan hal yang sangat penting dan utama karena fakta menunjukkan bahwa, kerusakan hutan di Indonesia telah masuk pada skala yang sangat memprihatikan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri oleh karena itu sudah sewajibnya pemerintah melakukan perlindungan hutan, agar hutan terjaga kelestariannya sebagai penyangga kehidupan, begitu juga halnya dengan hutan nagari atau hutan adat harus dilindungi oleh masyarakat adat dan pemerintahan nagari. Karena hutan nagari adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat adat atau masyarakat nagari maka sudah sewajarnya masyarakat serta seluruh jajaran didalam nagari melindungi hutan dengan tidak melakukan pembalakan liar (illegal logging). Masyarakat nagari atau masyarakat adat seharusnya kembali menegakkan sanksi dan norma hukum adat terhadap pelanggaran hutan dan menghidupkan kembali sendi-sendi hukum adat yang telah pudar dan hilang. Begitu juga hal nya pemerintah setempat hendaknya semakin teleliti dalam hal penangan perlindungan hutan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana penebangan liar tersebut. Perlindungan hutan tersebut merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan perhatian yang serius, karena apabila salah melakukan pengawasan maka akan berdampak pada gagalnya pelaksanaan perlindungan hutan tersebut. Dalam Pasal 47 PP Nomor 45 Tahun 2007 dinyatakan bahwa, untuk menjamin tertibnya penyelanggaraan perlindungan hutan, Menteri berwenang melakukan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kebijakan Gubernur (ayat (1)).
  • 59. 59 Gubernur melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap Bupati atau Walikota atas pelaksanaan perlindungan hutan di Indonesia (ayat (2)). Namun fakta yang terjadi dilapangan sungguh sangatlah berbeda, faktanya masih banyaknya hutan- hutan yang rusak diakibatkan oleh praktik illegal logging. Pemerintahperlu membenahi kembali dan melakukan pengawasan ketat terhadap instansi yang ditugaskan dilapangan untuk mencegah terjadinya eksploitasi hutan yang berlebihan dengan penebangan kayu liar. C. Peran KAN dan Pemerintahan Nagari dalam Perlindungan Hutan Nagari terhadap Illegal Logging di Kabupaten Dharmasraya Kenagarian Lubuk Karak Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai kekayaan budaya dan adat istiadat di dunia, sehingga tidak dapat dipungkuri jika Indonesia memiliki perbedaan budaya, hukum adat dan istiadat antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, keragaman budaya dan adat istiadat itulah yang menyatukan bangsa Indonesia, yakni dalam rangka penyangga keamanan dan ketertiban hutan yang ada di daerahnya masing-masing. Masalah hutan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, akibat terjadinya konflik yang bersifat horizontal, antara masyarakat hukum adat dan pemerintah. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat hukum adat tersebut, perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 67 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa, masyakarat
  • 60. 60 hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarkat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengolahan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang- Undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan (ayat (1)). Oleh karena itu, pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah (ayat (2)). Selain itu, ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah (ayat (3)). Sejalan dengan ketentuan Pasal 67 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberdaaannya, jika menurut kenyataan memenuhi unsur antara lain; a) masyarakattnya masih dalm bentuk paguyuban (rechtsgeenschap); b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkatt hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari (ayat (1)). Dengan demikian, hapusnya keberdaan hukum adat yang diatur oleh peraturan daerah, hal ini menurut penjelasan pasal 67 dinyatakan bahwa, peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait (ayat (2)). Oleh karena itu, diharapkan agar PP tersebut memuat antara lain: (a) tata cara
  • 61. 61 penelitian; (b) pihak-pihak yang diikut sertakan; (c) materi penlitian; (d) kriteria penelitian keberadaan masyarakt hukum adat (ayat (3)).60 Peran serta masyarakat diatur dalam Pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dinyatakan bahwa, masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan (ayat (1)). Oleh karena itu, selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan, maka masyarakat dapat: (a) memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; (b) mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (c) memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung (ayat (2)).61 Berkaitan dengan hal diatas, maka perlu mendapatkan perhatian bahwa, masyarakat yang tinggal dan bermukim di sekitar hutan perlu mendapatkan kompensasi atas hilangnya akses dari hutan tersebut, dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan perlu di awasi pemerintah terkait dengan pungatan hasil hutan dan pengelolaan hasil hutan serta penebangan kayu yang tidak berwawasan lingkungan perlu di awasi kembali karena akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi lingkungan dan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan kompensasi atas hilangnya akses kehutanan tersebut, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (3) dinyatakan bahwa: masyarakat didalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat 60 Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, jakarta, 2011. Hlm 305 61 Ibid. Hlm 476
  • 62. 62 penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ayat (4). Seiring dengan ketetapan diatas dengan adanya kompensasi, masyarakat diharapkan pula memiliki kewajiban menjaga dan memelihara hutan tersebut dari gangguan perusakan seperti penebangan liar yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat ikut serta dalam hal memelihara dan menjaga hutan yaitu dengan melaksanakan rehabilitasi hutan. Pemerintah dan pemerintah dareah harus meningkatkan peran serta masyarakat dalam hal melindungi dan menjaga hutan, karena masyarakat hidup dalam kawasan hutan. Dalam hal menjaga, memelihara dan memanfaatkan hutan masyarakat mempunyai sautu kewajiban yaitu menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup dengan tidak melakukan penebangan liar yang berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Pemerintahan Nagari juga berperan serta dalam melindungi dan menjaga hutan adat atau hutan Nagari, agar tidak terjadinya penggundulan hutan yang diakibat oleh penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri maupun pihak luar yang berkoordinasi dengan masyarakat adat. KAN dan Pemerintahan Nagari harusnya memberikan sanksi terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilkukan oleh masyarakatnya agar hutan yang ada di dalam nagari tersebut masih terjaga kelestariaannya. Hukum adat harus ditegakkan dan harus membuat efek jera oknum masyarakat adat yang melakukan kejahatan penebangan liar. Berdasarkan hasil penelitian yang penelti
  • 63. 63 lakukan dilapangan dengan wawancara kepada Bapak Wali Nagari yang bernama Bapak Marti Ajis serta bapak Maridun selaku kepala KAN meraka mengatakan bahwa selama ini peran serta KAN dan Pemerintahan Nagari hanya sebatas memberikan nasihat dan saran dari dampak yang akan timbul dari penebangan liar serta melakukan penyuluhan yang berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan. Belum adanya aturan dan keterlibatan yang akurat dalam perlindungan hutan nagari. KAN yang terdapat di dalam nagari tersebut berperan hanya sebagai formalitas saja, karena KAN hidup dibawah aturan Ninik Mamak dan segala keputusan berada di tangan ninik mamak semuanya tegantung kepada ninik mamak. KAN hanya berfungsi sebagai tempat untuk meminta tanda tangan dari hasil keputusan para ninik mamak, jadi KAN hanya sebagai lambang dalam nagari saja agar memenuhi dan melengkapi aturan. 62 Maka dari itu perlu pembenahan kembali akan KAN berjalan sebagaimana mestinya dan hukum adatpun hidup kembali. Dan perlu juga kesadaran hukum masyarakat bahwa penebangan liar itu jika terus-terus dilakukan akan merusak hutan dan mempunyai akibat yang buruk bagi hutan dan lingkungan sekitarnya. D. Kendala Terhadap Penegakan Hukum Untuk Perlindungan Hutan Nagari yang Berkaitan Dengan Illegal Logging Di Kabupaten Dharmasraya Penegakan hukum dalam bahasa Inggris disebut law enforcement, bahasa Belanda disebut rechtshandhaving. Pengertian penegakan hukum dalam terminolgi 62 Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Lubuk Karak rabu tanggal 4 september 2013, jam 13.20
  • 64. 64 bahasa Indonesia selalu mengarah kepada Force, sehingga timbul kesan di masyarakat bahwa penegakan hukum bersangkut paut dengan sanksi pidana. Hal ini berkaitan pula dengan seringnya masyarakat menyebut penegak hukum itu dengan Polisi, Jaksa, dan Hakim. Padahal pejabat Administrasi (birokrasi) sebenarnya juga bertindak selaku penegak hukum. Penegakan hukum yang dilakukan oleh birokrasi (pejabat administrasi) berupa penegakan yang bersifat “pencegahan”, (preventif) yang dilakukan dengan penyuluhan atau sosialisasi suatu peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundangan-undangan yang berasal dari pusat maupun peraturan yang dibuat di daerah.63 Munculnya kosakata pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu merupakan suatu kilas balik dari munculnya pembalakan kayu yang tidak sah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, penggunaan kosakata pemberantasan dan penyelundupan kayu merupakan 2 (dua) kosakata yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab kegiatan illegal logging yang dilakukan dengan tidak prosedural tersebut, akan berujung pada kegiatan yang terakhir yakni akan dilakukannya penyelundupan kayu, dan kedua kosakata ini merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam terminolgi pemerintah saat ini kedua kosakata inilah yang paling menghawatirkan, karena setiap saat 63 Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm 305
  • 65. 65 menimbulkan permasalahan yang tiada hentinya dan membuat pemeriintah hampir putus asa, sebab sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasinya, akan tetapi selalu gagal. Pengertian penegakan hukum menurut Notie Handhaving Milleurecht, 1981 disebutkan bahwa penegakan hukum adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan, keperdataan, untuk mencapai penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individu. 64 Upaya pemberantasan praktik illegal logging dan penyelundupan kayu di Indonesia merupakan suatu perbuatan yang mulia, dan oleh karena itu semua pihak wajib hukumnya untuk ikut serta melakukan upaya pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu. Karena kedua aktifitas tersbut sangat merugikan bangsa dan negara, karena akan menyengsarakan anak cucu dikemudian hari. Akibat dari ulah pelaku illegal logging dan penyelundupan kayu, sehingga bangsa dan negara mengalami musibah yang beruntun sebagai contoh sepanjang tahun 2006. Upaya yang dilakukan pemerintah tidak pernah surut dan pudar, hal itu dilihat dari berkoordinasinya dua lembaga, yakni Polri dan Depertemen Kehutanan, yang diserahi ugas oleh Presiden sebagai lembaga yang leding sektornya. Namun sebagaimana ungkapan dari Kabid Perlindungan hutan meskipun sudah ada koordinasi namun pihak kepolisian sering berjalan sendiri dalam menjalankan tugasnya. Koordinasi itu sendiri yang tidak berjalan dengan baik dan semestinya, sehingga idak berjalan lancarnya pemberantasan illegal logging itu hal yang juga 64 Supriadi, S.H., M. Hum. Hukum Lingkungan Indonesia Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hlm 267
  • 66. 66 menjadi kendala pemberantasan illegal logging disamping kesadaran hukum masyrakat itu sendiri yang sudah tidak ada lagi.65 Upaya penegakan hukum (kuratif) dalam rangka pemberantasan praktik illegal logging dan penyelundupan kayu terbagi dalam tujuh tahapan kegiatan, yaitu (1) melakukan pemberantasan praktik penebangan liar, baik hasil hutan kayu maupun dalam bentuk flora dan fauna secara tegas dan konsisten dan nondiskriminasi, (2) meninjau kembali efektivitas upaya penegakan hukum pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu yang teraktualisasi melalui kerja sama Operasi Hutan Lestari, (3) menertibkan penerbitan izin konsensi izin penebangan, peralatan logging dan pemakaian tenaga kerja asing. Baik izin pengusahaan hutan maupun pengusahaan flora dan fauna, (4) terhadap izin-izin yang masih bersifat status quo agar segera ditetapkan statusnya, sehingga memiliki kepastian hukum, (5) menertibkan industri yang tidak jelas atau yang tidak memiliki perizinan dan sumber bahan baku secara illegal, (6) melaksanakan moratorium lelang kayu sitaan karena menjadi sarana bagi upaya pemutihan kayu illegal, dan (7) meningkatkan hukuman, baik dalam bentuk denda maupun hukuman badan66 agar para pelaku illegal logging jera dan tidak lagi mlakukan pembalakan atau penebangan kayu secara liar yang merusak kelestarian hutan. Kegiatan penegakan hukum dilakukan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku praktik illegal logging dan meningkatkan tingkat ketaatan publik terhadap peraturan perundang-undangan khususnya dibidang kehutanan. Penegakan hukum harus dimuali dari aparat dilapangan hingga elit aparat 65 Wawancara dengan Kabid Perlindungan Hutan Di Kantor Dinas Kehutanan hari Kamis 5 September 2013 jam 9.10 66 Loc. Cit., hlm 332
  • 67. 67 di pusat. Aparat penegak hukumnya harusnya bersama-sama memberantas illegal logging, dengan pemebrian sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu terhadap semua pelaku illegal logging. Namun hal tersebut bertolak belakang terhadap fakta dilapangan, sehingga pemberantasan illegal logging sangat sukar dilaksanakan karena kuatnya dugaan keterlibatan aparat keamanan dilapangan. Tidak mungkin pelaku illegal logging akan berani melakukan penebangan liar jika tidak ada ikut campur oknum aparat. Disamping koordinasi antar instansi yang terkait denga itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan hasil wawancara dilapagan, sebagaimana di ungkap oleh Bapak Wali Nagari Marti Ajis kendala dalam pemberantsan illegal logging yaitu berdasarkan mata pencaharian, amak mata pencaharian masyarakat adat di Lubuk Karak sebagian besar adalah pengolahan kayu, sehingga sangat sulit untuk diberantas dan juga tidaka adanya tindakan yang serius dari para penegak hukum, hal tersebut di ungkapkan beliau dalam wawancara hari jumat 6 september 2013 pada jam 10.30 Wib. Dan juga ditambahkan oleh Bapak Kepala KAN yang menjadi kendala juga yaitu yang melakukan penebangan liar adalah para kemenakan, maka untuk melindungi cucu kemenakan, sampai sekarang belum ada upaya yang serius untuk melakukan pemberantasan illegal logging. 67 Mencermati praktik illegal logging dan penyelundupan kayu sebagai suatu tindak pidana kejahatan yang terorganisir, sepantasnya kalau semua lapisan masyarakat melakukan perang terhadapnya. Dengan demikian, pemerintah, baik pada 67 Wawancara dengan Wali Nagari dan Ketua KAN Nagari Lubuk Karak hari Jumat 6 September 2013 jam 10.30
  • 68. 68 tataran pusat maupun tataran pemerintah di daerah menjadi tulang punggung utama dalam pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu. Fakta menunjukkan bahwa pemerintah pada dasarnya telah berupaya melakukan pencegahan prakti illegal logging dan penyelundupan kayu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan, diantaranyapembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT), Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari dan terakhir Operasi Hutan Lestari (OHL). Dengan adanya beberapa kebijakan ternyata selama ini tidak mampu membendung laju terjadinya kegiatan illegal logging dan penyelundupan kayu, alasannya karena adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dan tidak adanya koordinasi antara instansi yang terkait sebagaimana terlihat faktanya dilapangan bahwa masih banyak kegiatan illegal logging dan sebagian besar hutan rusak. Maka dari itu kunci utama dalam hal penegakan hukum dalam pemberantasan illegal logging yaitu melakukan pembenahan kembali dalam hal kerja setiap instansi penegak hukum. Agar pelaku illegal logging jera hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum memberikan sanksi yang tegas dan memberikan tuntutan berlapis terhadap pelaku, baik itu pelakunya oknum elite penguasa maupun masyarakat yang ikut andil dalam hal tersebut, sehingga praktik illegal logging berkurang dan kelestarian hutan terjaga.
  • 69. 69 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perlindungan hutan nagari oleh masyarakat adat yaitu belum adanya perlindungan secara formal dari masyarakat adat karena masyarakat tersebut yang ikut andil dalam pembalakan liar karena merupakan mata pencaharian meraka dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Namun selama ini yang dilakukan oleh pemerintah nagari hanyalah melakukan penyuluhan dari dampaknya pembalakan liar itu sendiri. Maka secara spesifik belum adanya upaya perlindungan hutan adat atau hutan nagari oleh masyarakat nagari pemerintahan nagari KAN untuk mencegah praktik illegal logging. 2. Peran KAN dan pemerintahan nagri dalam hal perlindungan hutan nagari yaitu hanya sebatas menasihati dan penyuluhan dan penyuluhan itupun masih adanya andil dari Dinas Kehutanan Kabupaten. KAN di nagari tersebut hanya sebagai lambang nagari, untuk melengkapi aturan pemerintah saja. 3. Kendala dalam hal perlindungan hutan nagri masih banyak yaitu masih kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat bahwa pentingnya hutan dan serta hal tersebut merupakan suatu mata pencaharian masyrakat, jadi sukar
  • 70. 70 untuk melindungi hutan. Dan para aparat keamananpun ikut andil dalam hal tersebut. B. Saran 1. Perlu adanya pembenahan kembali aturan adat dalam nagari dan menghidupkan kembali hukum adat yang telah hilang dan pudar seiring berjalannya waktu. Maka akan terlaksanalah perlindungan hutan dan terjaganya hutan dengan adanya aturan adat dan sanksi adat terhadap pelanggar. 2. Hendaknya aparat penegak hukum setempat menjaga dan melakukan razia- razia untuk mencegah terjadiya illegal logging dan kembali membenahi koordinasi antar instansi agar kembali berjalan sesuai dengan yang diharapakan 3. Pemerintahan nagari dan KAN bersama perlunya melakukan himbauan dan memberikan pengetahuan kepada msyarakatnya untuk tidak melakukan pembalakan liar karena efeknya nanti sangatlah berbahaya untuk bangsa dan negara. Dengan membimbing masyrakat adat untuk tidak melakukan pembalakan liar. Pemerintahan nagari dan KAN bersama-sama dengan Depertemen Kehutanan melakukan penyuluhan pentingnya kelestarian hutan dan menghimbau serta meyakinkan warga dari dampak yang ditimbulkan oleh penebangan liar.