Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu sistem gas dan sistem cair, untuk menentukan umur fosil kayu yang ditemukan di Kabupaten Bandung dengan metode radiokarbon. Kedua metode menghasilkan perkiraan umur yang serupa, yaitu sekitar 10,500 tahun yang lalu untuk sistem gas dan 10,400 tahun yang lalu untuk sistem cair. Hasil ini memberikan informasi mengenai keberadaan danau purba di sekitar Bandung pada
1. PENENTUAN UMUR FOSIL KAYU DARI KAMPUNG
RANCAMALANG KABUPATEN BANDUNG DENGAN
METODE RADIOKARBON SISTEM GAS DAN SISTEM CAIR
Farizal Hammi, Darwin Aliijasa2
, Iwan Hastiawan1
1) Laboratorium Kimia Anorganik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran
2) Laboratorium Radiokarbon Pusat Survei Geologi Jl. Djundjunan No. 236,
Bandung
ABSTRAK
Fosil tulang dan kayu merupakan suatu bahan yang mengandung unsur karbon radioaktif, kedua
bahan tersebut dapat ditentukan umur mutlaknya dengan metode radiokarbon (teknis pencacah
fasa gas). Kayu memiliki struktur yang kurang berpori dibandingkan dengan ulang, sehingga
dalam proses pembentukan fosilnya sulit mengalami pengotoran dari lingkungan
pengendapannya. Dan sampel yang diteliti adalah kayu yang ditemukan di Rancamalang,
kabupaten Bandung. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan umur kayu dengan metode
radiokarbonsistem gas (GPC) dan sistem cair (LSC). Tahapan penelitian ini dimulai dengan
pengambilan sampel kayu yang berada di kecamatan Rancamalang, kemudian sampel kayu dicuci
dengan asam klorida 0,2 N dan kalium hidroksida 0,5 N, lalu dibakar sampai sampel kayu
berwarna putih dan terbentuk amonium karbonat, kemudian larutan amonium karbonat dikonversi
menjadi kalsium karbonat, lalu kalsium karbonat dikonversi menjadi stronsium karbonat, setelah
itu stronsium karbonat dikonversi menjadi stronsium karbida, kemudian dikonversi lagi menjadi
gas asetilena yang dianalisis dengan alat pencacah detektor Multy Anode Anti-coincidence untuk
mendapatkan aktivitas isotop karbon 14. Untuk metode LSC , pertama fosil kayu digerus hinggan
halus, lalu dibakar, kemudian gas CO2 yang dihasilkan dilarutkan dalam carbosorb dan dicacah
menggunakan Liquid Scintillation Counter.Kemudian aktivitas karbon 14 dari kedua metode
tersebut dikonversi menggunakan rumus umum waktu paruh untuk mendapatkan umur absolut
sampel kayu. Didapatkan umur fosil kayu dengan metode GPC sebesar 10.588 ± 622 B.P dan
dengan metode LSC sebesar 10.462 ± 250 B.P.
Kata kunci : radiokarbon, kayu, umur mutlak
2. PENDAHULUAN
Geologi kuarter, yang sering juga
disebut sebagai geologi muda, mencakup
proses serta peristiwa geologi di bumi sejak
lebih kurang 1,8 juta tahun yang lalu hingga
sekarang, dan meliputi zaman Pleistosen dan
Holosen. Proses-proses dan produk geologi
kuarter dapat merupakan informasi yang
sangat penting bagi manusia dalam
perencanaan, pembangunan, dan
pengembangan wilayah, di dalam
lingkungan binaan ini akan dijumpai
interaksi antara berbagai lingkungan binaan
seperti lingkungan pemukiman, pertanian,
industri dan pertambangan, pendayaan laut
dan pantai, dan lingkungan prasarana
(Sampurno, 1989).
Salah satu produk dari geologi
kuarter adalah danau Bandung purba, pada
permulaan periode Pleistosen sekitar 1 juta
tahun yang lalu, beberapa kegiatan vulkanik
di daerah utara Bandung sempat membentuk
kumpulan gunung api, ukuran dasarnya
sebesar 20 km dengan ketinggian, antara
2.000 - 3.000 meter dpl.
Gunung ini dikenal sebagai Gunung
Sunda. Pada jaman Holosen, 11 ribu tahun
yang lalu, lahirlah Gunung
Tangkubanparahu sebagai anak dari kaldera
Gunung Sunda. Erupsi besar kedua dari
Gunung Tangkubanparahu, tersebar di
sebelah barat Ciumbuleuit (Bandung) dan
sebagian lagi menyumbat sungai Citarum
yang mengalir di lembah Cimeta (utara
Padalarang), sehingga terbentuklah "Danau
Bandung".
Berbagai macam penelitian dilakukan
untuk mendapatkan informasi yang berguna
dari produk dan proses geologi kuarter di
masa lampau. Sejak ditemukan oleh guru
besar kimia University of Chicago, Willard
F. Libby (1908-1980) sekitar tahun 1950-an,
teknik radiokarbon telah menjadi metode
riset sangat efektif dalam arkeologi,
oseanografi, dan beberapa cabang ilmu
lainnya. Agar teknik radiokarbon dapat
memberitahu umur sebuah objek, objek
tersebut harus mengandung karbon organik,
yakni karbon yang pernah menjadi bagian
dalam tubuh tumbuhan atau hewan. Metode
pentarikhan radiokarbon memberitahu kita
berapa lama suatu tumbuhan atau hewan
hidup, atau lebih tepat, berapa lama
tumbuhan atau hewan itu mati.
Lokasi pengambilan fosil kayu
terletak di Bandung bagian barat tepatnya di
kecamatan Rancamalang. Kayu yang
ditemukan bersamaan dengan fosil tulang
geraham gajah yang ditemukan secara tidak
sengaja oleh Iman Rismansyah saat ia
memperdalam sumur di rumahnya di
Rancamalang, Kabupaten Bandung. Umur
fosil tersebut dapat dijadikan informasi
dalam pemetaan stratigrafi kuarter di sekitar
cekungan Bandung, dan dengan
menggunakan dua metode pentarikhan
radiokarbon dapat terlihat metode yang lebih
relevan diantara kedua metode tersebut.
3. BAHAN DAN METODE
BAHAN
Bahan-bahan kimia yang digunakan
dalam penelitian ini adalah air suling, air
suling ganda (bebas tritium), asam klorida,
asam oksalat, kalium hidroksida, kalsium
klorida, karbon aktif, nitrogen cair, oksigen,
serbuk magnesium, stronsium klorida,
standar SRM-4990C dari National Bureau
Standard USA, tembaga oksida.
METODE
Metode Gas Proportional Counting
1 Pencucian Fosil Kayu
Fosil kayu dicuci dengan satu liter
HC1 0,2 N sebanyak tiga kali, kemudian
disaring, dan dicuci kembali dengan air
suling hingga pH netral. Residu kayu
tersebut kemudian dicuci kembali dengan
menggunakan 0,5 L KOH 0,5 N sebanyak
tiga kali, dan dinetralkan dengan air suling
hingga pH netral. Setelah itu fosil kayu
dikeringkan menggunakan oven pada suhu
110°C selama 12 jam.
2 Pembakaran Fosil Kayu
Fosil kayu kering didapat seberat 65
gram, dan dimasukkan ke dalam pipa tabung
kuarsa bersih dan kering, ujung tabung
kuarsa tersebut dihubungkan dengan tabung
berisi larutan KOH 30% dan NH4OH 1:1 dan
katalis Cu dipasang pada ujung tabung
kuarsa yang dihubungkan dengan larutan
NH4OH. Karbon yang terbakar akan bereaksi
dengan oksigen murni yang dialirkan dari
tabung lain, membentuk gas CO2. Gas CO2
ini dialirkan ke dalam tabung berisi larutan
NH4OH, membentuk larutan (NH4)2CO3.
Pembakaran dihentikan setelah semua
karbon dalam fosil terbakar habis yang
ditandai dengan perubahan warna fosil dari
putih menjadi abu-abu.
Gambar 1 Proses pembakaran kolagen
sampai CO2 habis bereaksi dengan amoniak
menghasilkan larutan NH4CO3 (Mitamura,
1991).
3 Pembentukan Kalsium Karbonat
Larutan (NH4)2CO3 yang terbentuk
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 1 L
larutan dipanaskan hingga mendidih, lalu
ditambahkan larutan CaCl2 panas sehingga
terbentuk endapan putih. Larutan CaCl2
tersebut dibuat dengan melarutkan sebanyak
125 gram serbuk CaCl2 ke dalam air sampai
volume 500 mL. Endapan disaring dan
dicuci dengan air suling yang telah
dididihkan sebanyak ± 2 L. Endapan
dipindahkan ke dalam cawan porselen,
ditutup dengan kaca arloji dan dipanaskan
dalam oven dengan suhu 1100
C selama 12
jam.
4 Pembentukan Stronsium Karbonat
Endapan CaCO3 didapat seberat 60
gram, dan dimasukkan ke dalam erlemenyer
1 L, lalu ditambahkan air suling hingga
semua endapan terendam. Erlemenyer
tersebut dihubungkan dengan tabung
penampung gas yang berisi larutan NH4OH
dan corong pisah yang berisi 25 mL HCl
diteteskan sedikit demi sedikit sehingga gas
CO2 yang kemudian akan mengalir ke dalam
tabung pencuci gas. Proses ini dihentikan
sampai seluruh endapan CaCO3 habis
bereaksi dan membentuk (NH4)2CO3.
4. Kemudian larutan (NH4)2CO3 yang terbentuk
direaksikan dengan larutan SrCl2 (250 gram
dalam 500 mL air suling panas), sehingga
terbentuk endapan SrCO3 yang disaring dan
dikeringkan dalam oven selama satu malam
dengan suhu 160°C
Gambar 2 Proses pembentukan larutan
NH4CO3 dari CaCO3 (Mitamura, 1991.)
5 Pembentukan Stronsium Karbida
Endapan SrCO3 didapat sebanyak 70
gram dimasukkan ke dalam cawan porselen
dan dicampurkan dengan serbuk magnesium
(Mg) sebanyak 2/3 berat SrCO3. Campuran
tersebut digerus sampai homogen, lalu
dimasukkan ke dalam reaktor baja yang
bersih dan kering. Sebelum digunakan,
sistem peralatan divakumkan terlebih dahulu
selama ± 90 menit dengan tekanan 0,05 Torr.
Kemudian pemanasan dilakukan dengan
mengatur tegangan mulai dari tegangan 40
V, 60 V, 80 V, dan 100 V sehingga terjadi
kenaikan suhu secara bertahap mulai dari
100°C, 200°C dan 350°C. Pada saat suhu
pada pemanasan mencapai suhu 350°C, kran
reaktor baja ditutup, lalu tegangan dinaikkan
sampai ± 100 V, sampai suhu pada reaktor
mencapai 800°C, lalu pemanas dimatikan.
Gambar 3 Pembentukan Stronsium karbida
dengan pembakaran sistem vakum
(Mitamura, 1991.)
6 Pembentukan Gas Asetilena
Stronsium karbida yang terbentuk
pada proses sebelumnya dimasukkan ke
dalam reaktor asetilena, lalu divakumkan.
Setelah divakumkan, maka air bebas tritium
pada corong pisah diteteskan ke dalam
reaktor asetilena sehingga gas asitilena yang
terbentuk mengalir ke masing-masing tabung
yang ditunjukkkan dengan menurunnya air
raksa (Hg) pada manometer. Dengan
mengatur kran dan gas asitilena akan
mengalir ke dalam tabung reaksi kedua dan
ketiga, lalu kran berikutnya diatur agar gas
pengotor dibuang dan gas asetilena
terbekukan dalam tabung reaksi keempat.
Penetesan air bebas tritium diulang kembali
sampai gas asetilena tidak terbentuk yang
ditunjukkan dengan tidak turunnya air raksa
pada manometer pertama. Semua gas
asetilena dalam tabung reaksi keempat
dipindahkan melalui tabung reaksi kelima
(berisi karbon aktif) dan tabung reaksi
keenam ke RBF yang didinginkan dengan
nitrogen cair. Proses ini dihentikan dengan
menutup kran yang terhubung dengan RBF
setelah semua gas asetilena dibekukan yang
5. ditunjukkan dengan tidak turunnya air raksa
pada manometer ketiga. Dan dilakukan pada
tekanan 2 atm.
Gambar 4 Proses pembentukan gas asetilena
(Mitamura, 1991.)
7 Pengukuran Radioaktivitas
Gas asetilena yang ada dalam RBF
disimpan selama ± 3 minggu. Setelah itu gas
asetilena dimasukkan ke dalam alat pencacah
detektor Multy Anode Anti-coincidence dan
diukur kecepatan pencacah dari aktivitas
radioaktifnya dalam berbagai tegangan. Data
yang diperoleh dibuat kurva kestabilan
tegangan untuk menentukan tegangan
standar yang akan dipakai dalam pengukuran
nilai aktivitas C-14. Waktu pencacahan
diatur selama 50 menit untuk satu kali
pencacahan.
Metode Liquid Scintillation Counting
1 Penggerusan Fosil Kayu
Fosil kayu yang dipat digerus dalam gelas
kimia 500 mL hingga halus
2 Pembakaran Fosil Kayu
Fosil kayu kering yang didapat,
dihaluskan lalu dimasukkan ke dalam wadah,
dan ditambahkan kalsium oksida (CaO).
Wadah tersebut ditutup rapat dan dirangkai
sesuai Gambar 5.
Gambar 5 Proses Pembakaran Fosil kayu dan
menghasilkan gas CO2
Wadah dipanaskan pada suhu 700°C,
tekanan 0 atm selama 2 jam, maka akan
terbentuk gas karbon dioksida (CO2) yang
teralirkan, kemudian dilarutkan dalam
pelarut carbosorb yang ditambahkan
scintillator. Gas CO2 yang terlarut dalam
carbosorb yang didapat, ditampung dalam
botol vial 5 mL.
3 Pengukuran Radioaktivitas
Gas CO2 yang terlarut kemudian
dicacah menggunakan liquid scintallation
counter. Proses pencacahan dilakukan
selama 10 jam.
6. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejak ditemukan metode pentarikhan
radiokarbon oleh William F. Libby pada
tahun 1946, penentuan suatu umur benda-
benda purbakala menjadi lebih mudah, baik
itu artefak ataupun fosil. Pada zaman
Holosen di daerah Bandung sekarang ini
terdapat sebuah danau purba, dan danau
tersebut menjadi sebuah rumah bagi hewan-
hewan sejenis mamalia seperti gajah, dan hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil
tulang geraham gajah di Kampung
Rancamalang, Kabupaten Bandung. Dan di
lokasi yang sama pula ditemukan fosil kayu,
dan fosil kayu yang diperoleh dari Kampung
Rancamalang, Kabupaten Bandung
dikenakan dua perlakuan metode preparasi
dan metode deteksi.
Gambar 6 Lokasi Pengambilan Fosil kayu
Gambar 7 Fosil Kayu
Fosil kayu yang didapat dari hasil
penggalian dari situs fosil gajah
Rancamalang dicuci berturut-turut dengan
air suling, asam klorida (HCl) 0,2 N, dan
kalium hidroksida (KOH) 0,5 N. Pencucian
dengan asam klorida dimaksudkan untuk
menghilangkan karbon sekunder atau karbon
muda yang terabsorpsi oleh fosil kayu dari
tanah atau air tanah seperti senyawa
karbonat. Sedangkan pencucian dengan
kalium hidroksida dimaksudkan untuk
menghilangkan pengotor-pengotor organik
seperti lignin, asam humat, dan asam sulfat
yang terabsorpsi oleh fosil kayu.
Kemudian fosil yang telah dicuci
dikeringkan dalam oven pada suhu 110°C
selama 12 jam. Setelah fosil didinginkan,
arang dimasukkan dalam tabung seperti pada
rangkaian alat pada Gambar 3.1.
Dengan menggunakan pembakar
bunsen arang dalam tabung dibakar dengan
dialirkan gas oksigen, maka akan dihasilkan
gas karbon dioksida (CO2) yang kemudian
dilarutkan dalam amonium hidroksida
(NH4OH) dalam air suling dengan
perbandingan 1:1. Adanya larutan kalium
hidroksida 30% pada proses pembakaran
berfungsi untuk menyaring gas oksigen yang
mengalir agar diperoleh gas oksigen lebih
murni, hal ini dilakukan bertujuan untuk
menghasilkan 14
C yang murni dari fosil
kayu. Gas karbon dioksida yang bereaksi
menghasilkan amonium karbonat
((NH4)2CO3). Amonium karbonat
((NH4)2CO3) yang didapat direaksikan
dengan kalsium klorida (CaCl2) dan
menghasilkan endapan berwarna putih
kalsum karbonat (CaCO3) yang disaring
dengan menggunakan penyaring buchner
7. dengan pelarut air suling panas. Endapan
yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 110°C selama 12 jam. Tahap
pembakaran pada fosil kayu dimaksudkan
untuk menghasilkan gas CO2 yang akan
diendapkan sebagai garam kalsium karbonat,
untuk mencegah kemungkinan masih adanya
pengotor.
Padatan kalsium karbonat (CaCO3)
yang telah kering sebanyak 60 gram, lalu
dimasukkan dalam labu erlenmeyer,
kemudian dirangkai seperti Gambar 3.2,
kemudian asam klorida (HCl) yang terdapat
pada corong pisah diteteskan secara perlahan
yang menghasilkan gas karbon dioksida
(CO2). Gas karbon dioksida (CO2) yang
terbentuk dilarutkan kembali dengan
amonium hidroksida (NH4OH)
menghasilkan amonium karbonat
((NH4)2CO3). Amonium karbonat
((NH4)2CO3) dengan stronsium klorida
(SrCl2) menghasilkan endapan putih
stronsium karbonat (SrCO3). Stronsium
karbonat (SrCO3) yang didapat disaring
dengan penyaring buchner kemudian
dikeringkan dengan oven pada suhu 110°C
selama 12 jam.
Pembentukan endapan CaCO3 dan
SrCO3 dari CO2 dimaksudkan untuk
memperkecil kemungkinan adanya pengotor.
Endapan SrCO3 bertujuan untuk
menghilangkan Radon (t1/2 = 54,5 detik),
karena dengan adanya Radon dapat
mempengaruhi hasil pengukuran menjadi
lebih muda.
Karbonat dari fosil kayu berasal dari
karbonat alam yang tidak bereaksi pada
reaksi pembentukan endapan karbonat dalam
keadaan dingin, oleh karena itu zat-zat yang
digunakan harus dipanaskan. Pembilasan
dengan air suling panas pada pencucian
endapan CaCO3 dan SrCO3 untuk
menghilangkan amonia dan memperoleh
endapan yang kasar.
Stronsium karbonat (SrCO3) yang
telah kering sebanyak 70 gram dimasukkan
dalam reaktor baja seperti rangkaian pada
Gambar 3.3, kemudian alat dijalankan
dengan variasi voltase 40, 60, 80, 100 volt
dan menghasilkan stronsium karbida (SrC2)
setelah suhu mencapai 8000
C. Pembentukan
karbida dalam bentuk Stronsium karbida
(SrC2) dilakukan pada suhu 8000
C, hal ini
dikarenakan stronsium mempunyai titik leleh
pada suhu 7710
C sehingga pada
pembentukannya memerlukan suhu yang
lebih tinggi dibandingkan titik leleh
stronsium.
Stronsium karbida (SrC2)
dimasukkan dalam reaktor asetilena seperti
rangkaian alat pada Gambar 3.4, kemudian
diteteskan air suling bebas tritium dalam
corong pisah secara perlahan, hal ini
dimaksudkan agar beraksi sempurna. Air
bebas tritium diperoleh dari sumber air
dengan kedalaman 100 m. Tritium dalam hal
ini dapat menyebabkan pentarikhkan
menjadi lebih muda.
Dan selama reaksi berlangsung, gas
asetilen (C2H2) yang dihasilkan akan
teralirkan dalam rangkaian alat. Reaksi pada
pembentukan gas asitilena harus berjalan
sempurna untuk mendapatkan 14
C yang
murni. Reaksi yang kurang sempurna dapat
menyebabkan terbentuknya serbuk-serbuk
putih yang tertarik ke arah nitrogen cair.
Fungsi glass wool pada tabung 4 yang
terlihat pada Gambar 3.4 untuk menyerap
8. serbuk-serbuk putih tersebut sedangkan
karbon aktif yang terdapat pada tabung 3 di
gambar yang sama berfungsi untuk menarik
air yang terbawa, sehingga semakin banyak
tabung pada pembentukan gas asitilena maka
semakin sempurna murni asitilena yang
didapat.
Kesetimbangan reaksi dalam larutan
yang salah satu pereaksi atau produk berupa
gas, dapat dipengaruhi dengan mengubah
tekanan di atas larutan. Bila produk berupa
gas, kesetimbangan dapat mudah digeser
kearah kanan. Sebaliknya bila salah satu
peraksi adalah gas, maka kesetimbangan
reaksi bergese ke kiri sesuai dengan reaksi
pada Lampiran 1. Perubahan tekanan pada
proses pembentukan gas asetilena
ditunjukkan oleh air raksa pada manometer.
Dan secara sempurna gas asetilena (C2H2)
tertampung seluruhnya dalam tabung RBF.
Gambar 8 Gas asetilena yang
tertampung dalam RBF
Gas asetilena yang dihasilkan
sebelumnya dimasukkan ke dalam alat
pencacah 14
C harus mempunyai tekanan 37
torr. Jika tekanan yang dihasilkan gas
asetilena di bawah 37 torr maka pencacah
tidak dilakukan, hal ini dikarenakan apabila
tekanan gas asetilena di bawah 37 torr tidak
akan terdeteksi. Besar tekan yang dihasilkan
oleh gas asetilena sebesar 320 mmHg atau
sama dengan 320 torr. Tekanan tersebut telah
memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke
prosedur berikutnya, yaitu pencacahan.
Setelah itu tabung RBF gas berisi gas
asetilen dipasang pada rangkaian alat
pencacah guna dilakukan prosedur
pencacahan menggunakan detektor multi
anoda anticoincidence, pentarikhan
dilakukan dalam bentuk fasa gas asetilena,
hal ini disebabkan detektor yang digunakan
adalah detektor yang dapat mendeteksi
dalam bentuk fasa gas.
Pada metode Liquid Scintillation
Counting (LSC), prosedur yang dilakukan
lebih sederhana dibandingkan metode Gas
Proportional Counting (GPC). Fosil kayu
kering yang didapat, dihaluskan lalu
dimasukkan ke dalam reaktor baja, dan
ditambahkan kalsium oksida (CaO) dengan
perbandingan 3:1. Penambahan CuO sebagai
oksidator kuat agar pada suhu tinggi terjadi
reaksi antara oksigen pada CuO dengan
karbon pada fosil kayu menghasilkan gas
CO2. Reaktor baja tersebut ditutup rapat dan
dirangkai sesuai Gambar 3.4. Reaktor baja
dipanaskan pada suhu 700°C, tekanan vakum
(P = 0atm) selama 2 jam, maka akan
terbentuk gas karbon dioksida (CO2) yang
teralirkan, dan ditampung pada labu
penangkap CO2 pada suhu -180°C
menggunakan nitrogen cair agar
mendapatkan suhu tersebut. kemudian
dilarutkan dalam pelarut carbosorb yang
ditambahkan sintilator melalui perbandingan
1:1. Komposisi sintilator terdiri atas toluena,
2,5-difeniloksazol (PPO), 1,4-bis(5-
feniloksazol-2-il) (POPOP) yang berfungsi
9. mengubah emisi beta (β) dari 14
CO2 menjadi
foton cahaya sehingga dapat dideteksi oleh
photomultiplier tube (PMT) pada pencacah
sintalasi cair. Carbosorb yang didapat,
ditampung dalam botol vial 5 mL. Setelah
itu, botol vial yang berisi gas karbon
dioksida (CO2) yang terabsorpsi dimasukkan
ke dalam LSC guna dilakukan proses
pencacahan.
Hasil yang didapat dari kedua metode
adalah sebagai berikut :
Tabel 1 Tabel Aktivitas 14
C
menggunakan kedua metode deteksi
Metode
Aktivitas 14
C Standar
(cpm))
Aktivitas 14
C
fosil (cpm)
GPC 15,35 4,11
LSC 12,5 3,4
Hasil pencacahan yang didapat akan
dihitung menggunakan rumus :
Dari hasil perhitungan umur fosil
menggunakan rumus di atas (Lampiran 2),
didapatkan umur dari metode GPC sebesar
10.588 ± 622 B.P, sedangkan umur dari
metode LSC sebesar 10.462 ± 250 B.P.
Dari hasil yang diperoleh terlihat
bahwa umur yang didapat menggunakan
merode GPC lebih tua dibandingkan dengan
metode LSC. Hal ini disebabkan metode
GPC memiliki presisi yang lebih kecil,
karena dibandingkan dengan metode LSC,
perhitungan pada metode GPC dikerjakan
secara manual, tidak seperti metode LSC
dimana perhitungan aktivitas dilakukan
secara komputerisasi.
Biarpun hasilnya berbeda, kedua
metode tersebut baik GPC ataupun LSC
masih relevan untuk digunakan dalam
penelitian pentarikhan radiokarbon masa kini
dikarenakan hasil umur yang didapat tidak
terlalu berbeda jauh dengan umur yang
didapat dari kedua metode tersebut.
Dari data tersebut menunjukkan
lokasi temuan sampel untuk sekala geologi
berada pada umur kuarter (kala Holosen).
Tentu saja jauh lebih muda dari fosil rahang
gajah yang ditemukan dari lokasi yang sama,
yaitu kampung Rancamalang Kabupaten
Bandung. Hal ini menunjukan kayu tersebut
berasal dari tumbuhan yang hidup disaat
danau Bandung purba telah surut, sekitar
11.000 tahun yang lalu, dan danau Bandung
purba sendiri surut sekitar 16.000 tahun yang
lalu.
KESIMPULAN
Berdasarkan data-data dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa umur fosil kayu
dari kampung Rancamalang, Kabupaten Bandung dengan standar asam oksalat yang didapat
dengan metode GPC adalah 10.588 ± 622 B.P dan metode LSC adalah 10.462 ± 250 B.P.dan
umur yang diperoleh dengan metode GPC ternyata lebih tua dibandingkan hasil metode LSC. Hal
ini disebabkan perhitungan metode GPC dilakukan secara manual, dan metode LSC secara
komputerisasi.
10. DAFTAR PUSTAKA
Cook. G. T, & J. van der Plicht. 2007.
Radocarbon Dating. Scottish
Universities Environmental Research
Centre. UK.
Deevey, E.S.,S. Gross, G. E. Hutchinson,
and H. Kraybill. 1954.The natural 14
C
contents of materials from hard-
water lakes. Proceedings of The
National Academy of Sciences of The
USA, Washington. 40:285-88.
Fengel, D., Wegener G., Eds. 1989.Wood:
Chemistry, Ultrastructure, Reactions.
Walter de Gruyter. New York.
Gay, G. & Simpson. 1983. Foccil and
History of Life. W.H and Co. New
york.
Goodwin, H. 1962. Half-life of Radiocarbon.
Nature. 195-984
Kobayashi, Y. & Maudsley, D.V. 1974.
Biological applications of liquid
scintillation counting. Academic
Press. New York.
Libby, W. F. 1946. Radiocarbon Dating.
The University of Chicago Press.
Chicago.
Mitamura, M., 1991. Radiocarbon
measurament and "C ages of holocene
deposits in the eastern margin of the
West Osaka area, Southwest Japan.
Journal of Geoscience Osaka City
University. 34: 75-84.
Mendez, A. C. 1998. Radiometric Dating.
Mendez Enterprises. USA.
Qureshi, R.M., Aravena, R.O., Fritz, P., dan
Drimmie, R. (1989). The CO2
Absorption Method as Alternative to
Benzene Synthesis Method for 14
C
Dating. Applied Geochemistry. 4:625-
633.
Tesla. 2010. Pemfosilan.
http://biarkanakumenulis.blogspot.com
/2010/12/proses-pemfosilan-atau-
fosilisasi.html.
Yulianti, H & M. Akhadi. 2005.
Radionuklida Kosmogenik untuk
Penanggalan. Puslitbang Keselamatan
Radiasi dan Biomedika Nuklir –
BATAN. Jakarta.