Jakstra Pengelolaan Air Limbah Dan Persampahan (Indowater 18 Juni 09)
02 penyusunan ranperda sampah - fa 150416
1.
2. 1. UMUM 9
1.1 PENDAHULUAN 9
1.2 PERATURAN
DAERAH 12
1.2.1 Kedudukan Peraturan Daerah 12
1.2.2 Fungsi PeraturanDaerah 13
1.2.3 Landasan Pembentukan Peraturan Daerah 14
1.2.4 Asas Dan Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah 14
1.2.5 Kewenangan Pembentukan Perda 16
2. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 23
2.1 PERENCANAAN 23
2.1.1 Penyusunan Program Pembentukan Perda (PROPEMPERDA) 23
2.1.2 Perencanaan Penyusunan Rancangan Perda Kumulatif Terbuka 25
2.1.3 Perencanaan Penyusunan Rancangan Perda DiLuar Propemperda 25
2.2 PENYUSUNAN 26
2.2.1 Penyusunan Naskah Akademik 26
2.2.2 Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan PemerintahDaerah 27
2.2.3 Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan DPRD 29
2.3 PEMBAHASANAPAN 31
2.4 PENETAPAN 34
2.4.1 Pemberian Nomor Register 34
2.4.2 Penandatanganan 34
2.4.3 Penomoran 34
2.5 PENGUNDANGAN 35
2.6 PENYEBARLUASAN 36
3. PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK 39
3.1 UMUM 39
3.2 SISTEMATIKA 40
3.3 TAHAPAN PENYUSUNAN 49
4. PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA PENGELOLAAN SAMPAH 51
4.1 TEKNIK PENYUSUNAN 51
4.1.1 Bahasa Peraturan Daerah 51
4.1.2 Judul Rancangan Peraturan Daerah 67
4.1.3 Pembukaan 69
4.1.4 Batang Tubuh Rancangan Peraturan Daerah 75
4.1.5 Penutup 78
4.1.6 Penjelasan 78
4.2 DASAR HUKUM 80
4.3 MATERI MUATAN 87
5. LAMPIRAN CONTOH RANCANGAN PERDA
PENGELOLAAN SAMPAH 102
Daftar Isi
32
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
3. Daftar Tabel
Tabel 4-1 Muata Rancangan Perda Pengelolaan Sampah 93
Daftar Gambar
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Propemperda 24
Gambar 2. Alur Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah 28
Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda 33
Gambar 4. Alur Penyusunan Naskah Akademik di Lingkungan Pemerintah Daerah 49
54
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
4. 76
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
TIM PENGARAH :
Dr. Ir. Andreas Suhono, MSc
Ir. Dodi Krispratmadi, M.Env.E
TIM PENYUSUN :
Marsaulina FMP
Dadang Suryana
Sabbath Marchend
Raminatha Uno
Siti Nursanti
Budiaf
DESAIN & TATA LETAK:
Yoga Iman G
www.ayokemon.com
Foto:
Dokumentasi Direktorat PPLP
Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat
dan dari berbagai sumber
Dicetak di Indonesia, Penerbit:
Direktorat PPLP
Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat
Penyusun KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya,
buku panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Sampah
dapat tersusun.
Buku panduan ini disusun guna menjadi acuan bagi para pihak (Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyehatan
Lingkungan Permukiman, dan Konsultan Pendamping) dalam melaksanakan
kegiatan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah
di daerah masing-masing. Buku panduan ini berisikan informasi kebutuhan
(urgensi) Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah secara umum, tahapan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, Penyusunan Naskah Akademik dan
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan kegiatan
Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah TA. 2016.
Kepada semua pihak kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Masukan dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku panduan
ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Maret 2016
Tim Penyusun
Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
5. UMUM
1.1 PENDAHULUAN
Saat jumlah penduduk masih sedikit,
sampah tidak menjadi masalah.
Namun, seiring dengan meningkatnya
jumlah dan aktivitas penduduk serta
perubahan gaya hidup, timbulan
sampah menjadi semakin banyak
baik jumlah maupun variasinya,
sehingga menimbulkan masalah
yang membahayakan bagi kesehatan
dan lingkungan jika tidak dikelola
dengan baik. Selain itu, akibat jumlah
penduduk yang semakin banyak dan
ketersediaan lahan yang semakin
berkurang, Pemerintah Daerah
semakin kesulitan mendapatkan
lahan untuk pengolahan sampah,
seperti: tempat penampungan
sementara (TPS), tempat pengolahan
sampah terpadu (TPST), dan tempat
pemrosesan akhir (TPA) sampah.
Padahal Pemerintah Daerah wajib
menyediakan prasarana dan sarana
pengolahan sampah, karena negara
melalui Undang Undang (UU) No.
18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah memberikan tugas dan
tanggung jawab kepada Pemerintah
Daerah bersama-sama dengan
BAB 1
masyarakat dan pelaku usaha untuk
melakukan pengelolaan (pengurangan
dan penanganan) sampah sesuai
standar yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Selama ini, sebagian Pemerintah
Daerah dan masyarakat memandang
sampah sebagai barang sisa yang tidak
berguna. Pemerintah Daerah dalam
mengelola sampah masih bertumpu
pada pendekatan akhir (end-of-pipe),
yaitu sampah dikumpulkan, diangkut,
dan dibuang ke TPA sampah tanpa
dilakukan pengolahan terlebih dahulu.
Akibatnya, TPA sampah tidak mampu
menampung timbulan sampah,
sehingga akhirnya sampah bertumpuk
sembarangan, mencemari lingkungan
dan berpotensi melepaskan gas
metana (CH4
) ke udara yang dapat
meningkatkan emisi gas rumah kaca
dan memberikan kontribusi terhadap
pemanasan global. Paradigma
pengelolaan sampah bertumpu pada
pendekatan akhir tersebut, sudah
saatnya ditinggalkan dan diganti
paradigma baru, yaitu mengurangi
sampah mulai dari sumber dan
98
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
6. memandang sampah sebagai sumber
daya yang mempunyai nilai ekonomi
dan dapat dimanfaatkan, misalnya
untuk energi, kompos/pupuk, atau
untuk bahan baku industri. Hal
tersebut dilakukan melalui kegiatan
pengurangan dan penanganan
sampah, dimana Pengurangan
sampah meliputi: kegiatan
pembatasan, penggunaan kembali,
dan pendauran ulang, sedangkan
kegiatan penanganan sampah
meliputi: pemilahan, pengumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan
pemrosesan akhir. Pengelolaan
sampah sudah seharusnya dilakukan
dengan pendekatan komprehensif
mulai dari hulu1
sampai ke hilir2
.
Pendekatan pengelolaan sampah
selama ini lebih mengedepankan tugas
dan tanggung jawab Pemerintah
Daerah dalam pelaksanaannya.
Namun sejalan dengan penerapan
UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, pengelolaan
sampah tidak hanya menjadi tugas dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah
melainkan juga menjadi kewajiban
masyarakat, termasuk pelaku usaha.
Oleh karena itu, Pemerintah Daerah
bersama-sama masyarakat dan pelaku
usaha perlu mengubah paradigma
pengelolaan sampah melalui kegiatan
pengurangan dan penanganan
sampah, agar sampah menjadi
berkurang sebelum akhirnya diproses
secara aman di TPA. Perubahan
paradigm pengelolaan sampah
tersebut membawa konsekuensi
hukum kepada Pemerintah Daerah
yang diberikan tugas dan wewenang
UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah untuk memenuhi
hak masyarakat dan memfasilitasi
kewajiban masyarakat dalam
melaksanakan pengurangan dan
penanganan sampah dengan cara 3R,
yaitu Reduce (mengurangi timbulan),
Reuse (menggunakan kembali), dan
Recycle (mendaur ulang).
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)
memberikan hak kepada setiap orang
untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Amanat UUD
Tahun 1945 tersebut memberikan
konsekuensi bahwa pemerintah wajib
memberikan pelayanan publik dalam
pengelolaan sampah. Hal tersebut
membawa konsekuensi hukum bahwa
pemerintah merupakan pihak yang
berwenang dan bertanggungjawab
dalam pengelolaan sampah, meskipun
secara operasional dapat bekerjasama
dan bermitra dengan badan usaha.
Selain itu, organisasi persampahan
dan kelompok masyarakat yang
bergerak di bidang persampahan
dapat diikutsertakan dalam kegiatan
pengelolaan sampah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menyelenggarakan
pengelolaan sampah secara terpadu
dan komprehensif, pemenuhan hak
dan kewajiban masyarakat, serta
tugas dan wewenang Pemerintahan
Daerah melaksanakan sub urusan
persampahan pada bidang pekerjaan
umum dan penataan ruang
sebagaimana ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah,
diperlukan dasar hukum dalam bentuk
Peraturan Daerah yang mengatur
pengelolaan sampah.
Selainitu,didalampengelolaansampah
tidak saja diperlukan aspek peran serta
aktif masyarakat dan aspek hukum
dalam bentuk Peraturan Daerah,
melainkan aspek kelembagaan dan
manajemen, aspek teknis operasional
seperti prasarana dan sarana, dan
pembiayaan. Aspek tersebut dalam
satu sistem pengelolaan sampah yang
dilakukan secara komprehensif dan
terpadu. Untuk memberikan kepastian
hukum, kejelasan tanggung jawab dan
kewenangan Pemerintah Daerah serta
hak dan kewajiban masyarakat dan
pelaku usaha, diperlukan dasar hukum
yang mengatur secara komprehensif
dan terpadu dari hulu ke hilir, sehingga
penyelenggaraan pengelolaan sampah
dapat berjalan secara proporsional,
efektif, dan efisien.
Untuk membantu Pemerintah Daerah
dalammenyusunRancanganPeraturan
Daerah yang mengatur tentang
pengelolaan sampah, strategi yang
dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PU-
Pera) c/q Direktorat Jenderal Cipta
Karya, Direktorat Pengembangan
Penyehatan Lingkungan Permukiman
(Direktorat Pengembangan PLP)
antara lain dengan memfasilitasi
penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah
melalui kegiatan Bantuan Teknis
(Bantek), dengan tujuan percepatan
terbentuknya Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah.
Dalam rangka kelancaran
penyelenggaraan Bantek, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan
RakyatmembuatPanduanPenyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah.
1. sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah
2. yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman
1110
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
7. 1.2 PERATURAN DAERAH
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Peraturan Daerah
merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, yaitu peraturan
tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan
dibentukatauditetapkanolehlembaga
atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Peraturan Daerah selain melaksanakan
ketentuan lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi juga dapat mengatur aspek
khusus di bidang tertentu yang
terdapat atau dibutuhkan daerah
dan/atau masyarakat. Peraturan
Daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang mempunyai
kedudukan yang sangat strategis
dalam melaksanakan otonomi daerah
dan tugas pembantuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD
Tahun 1945.
1.2.1 Kedudukan Peraturan Daerah
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum. Hal ini
bermakna bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan
Negara Kekuasaan (machtstaat).
Dengan demikian, penyelenggaraan
kekuasaan negara didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum sebagai
landasan untuk menjalankan program
pembangunan nasional. Ketentuan
pasal 1 (3) UUD 1945 tersebut adalah
sebagai bentuk titah konstitusi kepada
seluruh rakyat Indonesia terutama
para pejabat di tataran pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah untuk
dapat memposisikan hukum sebagai
titik tolak dalam bertingkah laku dan
merumuskan kebijakan publik.
Sebagai negara hukum dalam
mengimplementasikan berbagai
produk hukum menggunakan teori
norma hukum yang berjenjang
(hirarki) dalam artian bahwa produk
hukum yang berada dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan produk
hukum yang lebih tinggi diatasnya
(lex superior derogat legi inferior). Hal
ini sebagaimana diimplementasikan
dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang
menyebutkan hirarki norma hukum
yang dianut sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
3. U n d a n g - U n d a n g / P e ra t u ra n
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Jenis Peraturan Perundang-
undangan lain mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi,BadanPemeriksaKeuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat, diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Peraturan Daerah menurut UU Nomor
12 Tahun 2011 dibedakan menjadi
Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lingkup berlakunya Peraturan Daerah
terbatas pada daerah bersangkutan,
sedangkan lingkup berlakunya
Peraturan Menteri mencakup seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia,
maka dalam hirarki peraturan
perundang-undangan, Peraturan
Menteri berada di atas Peraturan
Daerah3
.
1.2.2 Fungsi Peraturan Daerah
Peraturan Daerah mempunyai
berbagai fungsi antara lain: (a)
Sebagai instrumen kebijakan untuk
melaksanakan otonomi daerah
dan pembantuan sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang tentang
Pemerintahan Daerah; (b) Merupakan
peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Perundang-undangan yang lebih
tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan
Daerah tunduk pada ketentuan hirarki
Peraturan Perundang-undangan.
Sehubungan itu, Peraturan Daerah
tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi; (c) sebagai instrumen
penampung kekhususan dan
keragaman daerah serta penyalur
3. Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah”
1312
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
8. aspirasi masyarakat di daerah, namun
dalam pengaturannya tetap dalam
koridor Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; (d)
sebagai instrumen/alat pembangunan
dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
1.2.3 Landasan Pembentukan
Peraturan Daerah
Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah paling sedikit memuat 3 (tiga)
landasan yaitu:
a. Landasan filosofis, adalah landasan
yang berkaitan dengan dasar atau
ideologi Negara;
b. Landasan sosiologis, adalah
landasan yang berkaitan dengan
kondisi atau kenyataan empiris
yang hidup dalam masyarakat,
dapat berupa kebutuhan atau
tuntutan yang dihadapi oleh
masyarakat, kecenderungan, dan
harapan masyarakat; dan
c. Landasan yuridis, adalah
landasan yang berkaitan dengan
kewenangan untuk membentuk,
kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, tata cara atau prosedur
tertentu, dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Mengingat Peraturan Daerah
merupakan produk politis maka
kebijakan daerah yang bersifat politis
dapatberpengaruhterhadapsubstansi
Peraturan Daerah. Oleh karena itu,
perlu dipertimbangkan kebijakan
politis agar tidak menimbulkan gejolak
dalam masyarakat.
1.2.4 Asas Dan Prinsip Pembentukan
Peraturan Daerah
Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan termasuk
Peraturan Daerah, asas pembentukan
peraturan perundang-undangan harus
diperhatikan, sebagaimana tercantum
pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011, meliputi:
a. Kejelasan Tujuan, bahwa
setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau Pejabat
Pembentuk yang Tepat, bahwa
setiap jenis peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat
pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang karena
peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga Negara atau pejabat
yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian Antara Jenis, Hirarki,
dan Materi Muatan, bahwa
dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan.
d. Dapat Dilaksanakan, bahwa
setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan
Kehasilgunaan, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan
dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
f. Kejelasan Rumusan, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan
harusmemenuhipersyaratanteknis
penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, bahwa dalam
proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai
perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan,
seluruh lapisan masyarakat perlu
diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengetahui dan
memberikan masukan dalam
proses pembuatan peraturan
perundang-undangan agar
peraturan yang terbentuk menjadi
populis dan efektif..
Dalam kerangka pembentukan
peraturan perundang-undangan
termasuk Peraturan Daerah dibentuk
berdasarkan beberapa prinsip antara
lain sebagai berikut:
1. Prinsip tata susunan peraturan
perundang-undangan atau lex
superior derogate lex inferiori,
peraturan perundang-undangan
1514
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
9. yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi.
2. Prinsip lex specialis derogate lex
generalis, peraturan perundang-
undangan yang lebih khusus
mengenyampingkan peraturan
perundang-undangan yang lebih
umum.
3. Prinsip lex posterior derogate
lex priori, bahwa peraturan
perundang-undangan yang lahir
kemudian mengenyamping-kan
peraturan perundang-undangan
yang lahir terlebih dahulu jika
materi yang diatur peraturan
perundang-undangan tersebut
sama.
4. Prinsip keadilan, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan
bagi setiap warga negara tanpa
terkecuali.
5. Prinsip kepastian hukum, bahwa
setiap peraturan perundang-
undangan harus dapat menjamin
kepastian hukum dalam upaya
menciptakan ketertiban dalam
masyarakat.
6. Prinsip pengayoman, bahwa
setiap peraturan perundang-
undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
7. Prinsip mengutamakan
kepentingan umum, bahwa
dalam peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan
keseimbangan antara
berbagai kepentingan dengan
mengutamakan kepentingan
umum.
8. Prinsip kebhinekatunggalikaan,
bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah,
sistem nilai masyarakat daerah,
khususnya yang menyangkut
masalah-masalah yang sensitif
dalam kehidupan masyarakat.
1.2.5 Kewenangan Pembentukan
Perda
Kewenangan pembentukan Peraturan
Daerah berada pada Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Peraturan Daerah ditetapkan
oleh Kepala Daerah setelah mendapat
persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai
dasar kewenangan pembentukan
Peraturan Daerah diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa
”Pemerintah Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan
Daerah [Pasal 65 ayat (2) huruf b,
Pasal 154 ayat (1) huruf a, dan Pasal
236 ayat (2), Pasal 242 (1)] yang
masing-masing pasal tersebut
sebagai berikut:
Pasal 65 ayat (2) huruf b, ”Kepala
Daerah mempunyai tugas dan
wewenang menetapkan Perda
yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD”
Pasal 154 ayat (1) huruf a, ”DPRD
mempunyai tugas dan wewenang
membentuk Perda yang dibahas
dengan Kepala Daerah untuk
mendapat persetujuan bersama”
Pasal 242 ayat (1), “Rancangan
Perda Yang telah disetujui bersama
oleh DPRD dan Kepala daerah
disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada Kepala Daerah untuk
ditetapkan menjadi Perda”
Pasal 236 ayat (2), ”Perda dibentuk
oleh DPRD dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah ”
Berdasarkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, persampahan
merupakan sub urusan dari urusan
pemerintahan bidang pekerjaan umum
dan penataan ruang. Urusan tersebut
termasuk urusan wajib yang berkaitan
dengan pelayanan dasar sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf c Undang-Undang (UU) No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka wajib diselenggarakan
semua daerah. Meskipun demikian,
bukan berarti Pemerintah Pusat dan
Provinsi tidak memiliki kewenangan
dalam penyelenggaraan sub
urusan persampahan. Pembagian
kewenangan sub urusan persampahan
sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat
a. Penetapan pengembangan
sistem pengelolaan
persampahan secara nasional.
b. Pengembangan sistem
pengelolaan persampahan
lintasDaerahprovinsidansistem
pengelolaan persampahan
untuk kepentingan strategis
nasional
1716
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
10. 2. Daerah Provinsi
Pengembangan sistem dan
pengelolaan persampahan
regional
3. Daerah Kabupaten/Kota
Pengembangan sistem dan
pengelolaan persampahan dalam
Daerah kabupaten/ kota
Pembagian kewenangan dalam
penyelenggaraan sub urusan
persampahan tersebut di atas,
memberikan makna penyelenggaraan
pengelolaan persampahan tidak
hanya menjadi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab Daerah Kabupaten/
Kota melainkan juga menjadi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab
Daerah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Sejalan hal tersebut, Pemerintah
Pusat melalui Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat
telah menetapkan kebijakan dan
strategi nasional melalui Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/
PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan
Sistem Pengelolaan Persampahan
(KSNP-SPP).
Secara khusus negara memberikan
tugas dan wewenang kepada
Pemerintah (Pusat) dan Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam
pengelolaan sampah sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No. 18
Tahun 2008. Selengkapnya pembagian
tugas dan wewenang tersebut sebagai
berikut:
1. Tugas
Pemerintah dan pemerintahan
daerah bertugas menjamin
terselenggaranya pengelolaan
sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan sesuai
dengan tujuan pengelolaan
sampah, yaitu meningkatkan
kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan
sampah sebagai sumber daya.
Tugas Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah tersebut.
terdiri atas:
a. menumbuhkembangkan dan
meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam pengelolaan
sampah;
b. melakukan penelitian,
pengembangan teknologi
pengurangan, dan penanganan
sampah;
c. m e m f a s i l i t a s i ,
mengembangkan, dan
melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan,
dan pemanfaatan sampah;
d. melaksanakan pengelolaan
sampah dan memfasilitasi
penyediaan prasarana dan
sarana pengelolaan sampah;
e. mendorong dan memfasilitasi
pengembangan manfaat hasil
pengolahan sampah;
f. memfasilitasi penerapan
teknologi spesifik lokal yang
berkembang pada masyarakat
setempat untuk mengurangi
dan menangani sampah; dan
g. melakukan koordinasi
antarlembaga pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha
agar terdapat keterpaduan
dalam pengelolaan sampah.
2. Wewenang
a. Pemerintah (Pusat)
Dalam penyelenggaraan
pengelolaan sampah,
Pemerintah Pusat mempunyai
kewenangan sebagai berikut:
(1) menetapkan kebijakan dan
strategi nasional pengelolaan
sampah; (2) menetapkan
norma, standar, prosedur,
dan kriteria pengelolaan
sampah; (3) memfasilitasi
dan mengembangkan
kerja sama antardaerah,
kemitraan, dan jejaring dalam
pengelolaan sampah; (4)
menyelenggarakan koordinasi,
pembinaan, dan pengawasan
kinerja pemerintah daerah
dalam pengelolaan sampah;
(5) menetapkan kebijakan
penyelesaian perselisihan
antardaerahdalampengelolaan
sampah.
b. Pemerintah Provinsi
Dalam menyelenggarakan
pengelolaan sampah,
Pemerintahan Provinsi
mempunyai kewenangan
sebagaiberikut:(1)menetapkan
kebijakan dan strategi dalam
pengelolaan sampah sesuai
dengan kebijakan Pemerintah;
(2) memfasilitasi kerja sama
antardaerah dalam satu
provinsi, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah; (3)
menyelenggarakan koordinasi,
pembinaan, dan pengawasan
kinerja kabupaten/kota dalam
pengelolaan sampah; (4)
memfasilitasi penyelesaian
perselisihan pengelolaan
sampah antarkabupaten/
antarkota dalam 1 (satu)
provinsi.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
Dalam menyelenggarakan
1918
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
11. pengelolaan sampah,
Pemerintahan kabupaten/
kota mempunyai kewenangan
sebagai berikut: (1)
menetapkan kebijakan dan
strategi pengelolaan sampah
berdasarkan kebijakan
nasional dan provinsi;
(2) menyelenggarakan
pengelolaan sampah skala
kabupaten/kota, antara lain,
berupa penyediaan tempat
penampungan sampah, alat
angkut sampah, tempat
penampungan sementara,
tempat pengolahan sampah
terpadu, dan/atau tempat
pemrosesan akhir sampah
sesuai norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah;
(3) melakukan pembinaan
dan pengawasan kinerja
pengelolaan sampah yang
dilaksanakan oleh pihak lain;
(4) menetapkan lokasi tempat
penampungan sementara
(TPS), tempat pengolahan
sampah terpadu (TPST) dan/
atau tempat pemrosesan akhir
(TPA) sampah merupakan
bagian dari rencana tata
ruang wilayah kabupaten/
kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; (5)
melakukan pemantauan dan
evaluasi secara berkala setiap
6 (enam) bulan selama 20
(dua puluh) tahun terhadap
tempat pemrosesan akhir
sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang
telah ditutup; (6) menyusun
dan menyelenggarakan sistem
tanggap darurat pengelolaan
sampah sesuai dengan
kewenangannya.
Berdasarkan tugas dan wewenang
tersebut di atas, Pemerintahan
Kabupaten/Kota mendapatkan
wewenang atribusi yaitu pemberian
wewenang oleh pembuat undang-
undang atau pemberian kewenangan
kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan oleh Undang-Undang
sebagaimana termuat dalam Pasal
1 UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Tidak
ada wewenang tanpa tanggung
jawab, karena itu pengelolaan
sampah menjadi tanggung jawab
Pemerintahan Kabupaten/Kota untuk
melaksanakan tugas yang diberikan
UU No. 18 Tahun 2008. Tugas
dan wewenang penyelenggaraan
pengelolaan sampah diberikan
kepada Pemerintah Kabupaten/
Kota, yaitu Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan Perangkat Daerah selaku unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah. Sehubungan itu, Pemerintah Kabupaten/
Kota dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah harus ada Perangkat Daerah
untuk melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 Tahun
2008.
UU No. 18 Tahun 2008 juga memberikan tanggung jawab pengelolaan sampah
kepada masyarakat dan pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal berikut ini.
Pasal 12 ayat (1)
Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara
yang berwawasan lingkungan.
Pasal 13
Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan
khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan
fasilitas pemilahan sampah.
Pasal 14
Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya.
Pasal 15
Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang
tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Berdasarkan diuraikan di atas, pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah diperlukan dalam rangka: (a) kepastian hukum
bagi masyarakat mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan; (b) ketertiban dalam penyelenggaraan pengelolaan
sampah; (c) kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sampah; (d) kejelasan hak dan kewajiban
masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan sampah.
2120
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
12. TAHAPAN PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
2.1 PERENCANAAN
Pasal 1 angka 18 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan bahwa Pembentukan Perda
adalah pembuatan peraturan perundang-undangan daerah yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan
dan penyebarluasan. Usulan pembentukan produk hukum daerah (dalam hal ini
adalah Peraturan Daerah) dapat berasal dari dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif
(Pemerintah Daerah) dan atas usulan legislatif (DPRD). Proses dalam tiap-tiap
tahapan tersebut sebagai berikut:
Tahapan perencanaan penyusunan
Peraturan Daerah menurut Pasal
10 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah,
sebagai berikut: (1) penyusunan
Program Pembentukan Perda
(Propemperda); (2) perencanaan
penyusunan rancangan perda
kumulatif terbuka; (3) perencanaan
penyusunan rancangan perda di luar
Propemperda.
2.1.1 Penyusunan Program
Pembentukan Perda
(PROPEMPERDA)
Secara umum tahapan penyusunan
Propemperda ada 4 (empat) tahap
(lihat Gambar 1 dibawah), yaitu:
BAB 2
1. Penyusunan daftar rancangan
perda
Pada tahap penyusunan daftar
rancangan perda, baik eksekutif
maupun legislatif masing-masing
dapat menyusun usulan rancangan
perda yang akan disusun selama 1
tahun ke depan. Untuk penyusunan
Propemperda yang berasal dari
eksekutif, dikoordinasikan oleh
pimpinan perangkat daerah
yang membidangi hukum,
sedangkan untuk penyusunan
Propemperda yang berasal dari
DPRD, koordinasinya dilakukan
oleh Badan Pembentukan Perda
(Bapemperda). Penyusunan
daftar rancangan perda tersebut
didasarkan pada:
2322
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
13. - Perintah peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi;
- Rencana pembangunan
daerah;
- Penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan;
dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
2. Penyusunan daftar urutan
berdasarkan skala prioritas
Setelah daftar rancangan
perda disusun pada nomor 1
diatas, tahap selanjutnya adalah
penyusunan daftar urutan yang
ditetapkan berdasarkan skala
prioritas.Penetapan skala prioritas
pembentukan rancangan perda
dilakukan oleh Bapemperda
dan perangkat daerah yang
membidangi hukum berdasarkan
kriteria:
- Perintah peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi
- Rencana pembangunan
daerah;
- Penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan;
dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
3. Penyepakatan hasil penyusunan
Propemperda
Hasil penyusunan Propemperda
antara DPRD dan pemerintah
daerah disepakati menjadi
Propemda.
4. Penetapan Propemperda
Propemperda yang telah
disepakati bersama kemudian
ditetapkan dalam rapat paripurna
DPRD dengan keputusan DPRD.
2.1.2 Perencanaan Penyusunan
Rancangan Perda Kumulatif
Terbuka
Rancangan perda kumulatif terbuka
merupakan rancangan perda di luar
daftar prioritas pada Propemperda
yang dalam keadaan tertentu dapat
diajukan penyusunannya. Adapun
yang dapat dimuat dalam daftar
kumulatif terbuka adalah rancangan
perda:
(a) akibat putusan Mahkamah Agung;
dan
(b) APBD
2.1.3 Perencanaan Penyusunan
Rancangan Perda Di Luar
Propemperda
Dalam keadaan tertentu, penyusunan
rancangan perda di luar daftar
Propemperda dapat dilakukan dengan
alasan sebagai berikut:
a) Mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik, atau bencana
alam;
b) Menindaklanjuti kerja sama dengan
pihak lain;
01
02
03
PENYUSUNAN
DAFTAR
RANCANGAN
PERDA
PENYUSUNAN
DAFTAR
URUTAN
BERDASARKAN
SKALA PRIORIS
PENYEPAKATAN
HASIL
PENYUSUNAN
PROPEMPERDA
04
PENETAPAN
PROPEMPERDA
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Propemperda
c) Mengatasi keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya
urgensi atas suatu rancangan
perda yang disetujui bersama
oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang
pembentukan perda dan unit yang
menangani bidang hukum pada
pemerintah daerah;
d) Akibat pembatalan oleh Menteri
Dalam Negeri untuk perda provinsi
dan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk perda
kabupaten/kota; dan
e) Perintah dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi setelah Propemperda
ditetapkan.
2524
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
14. Tahap Penyusunan Rancangan
Perda merupakan tahap penyiapan
sebelum sebuah rancangan perda
dibahas bersama antara DPRD dan
pemerintah daerah. Penyusunan
ini dilakukan berdasarkan daftar
rancangan perda pada Propemperda
dan usulannya dapat berasal dari
eksekutif maupun legislatif. Secara
umum, untuk menyusun sebuah
rancangan perda, pertama-tama
diawali oleh penyusunan naskah
akademik. Dari naskah akademik inilah,
suatu rancangan perda nantinya akan
dirumuskan.
2.2.1 Penyusunan Naskah Akademik
Berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah, naskah akademik merupakan
dokumen yang harus disertakan dalam
pengajuan rancangan perda dan
menjadi pedoman dalam penyusunan
rancangan perda. Naskah akademik
paling sedikit memuat pokok pikiran
dan materi muatan yang akan diatur
dalam perda.
Untuk penyusunan rancangan
perda yang diusulkan oleh pihak
eksekutif, naskah akademik disusun/
disiapkan oleh pimpinan perangkat
daerah (kepala SKPD pemrakarsa)
dengan mengikutsertakan perangkat
daerah yang membidangi masalah
hukum (Bagian Hukum Kabupaten/
Kota). Sedangkan untuk rancangan
perda yang disulkan oleh legislatif,
penyusunan naskah akademiknya
dikoordinasikan oleh Bapemperda.
Dalam melakukan penyusunan
naskah akademik di lingkungan
pemerintah daerah, pemrakarsa dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
hukum dan pihak ketiga yang memiliki
keahlian sesuai dengan perda yang
akan disusun. Setelah itu, perangkat
daerah yang membidangi hukum
melakukan penyelarasan naskah
akademik rancangan perda terhadap
sistematika dan materi muatan. Naskah
akademik yang sudah diselaraskan
ini yang kemudian menjadi pedoman
dalam penyusunan rancangan perda.
2.2.2 Penyusunan Rancangan Perda
di Lingkungan Pemerintah Daerah
Untuk penyusunan rancangan perda
di lingkungan pemerintah daerah
setelah naskah akademik disusun dan
diselaraskan, secara lebih rinci adalah
sebagai berikut:
1. Penyusunan rancangan peraturan
daerah.
Tahapan dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah terdiri
dari berikut ini:
- Kepala daerah memerintahkan
perangkat daerah pemrakarsa
untuk melakukan penyusunan
rancangan perda berdasarkan
daftar pada propemperda.
- Kepala daerah membentuk
tim penyusunan rancangan
perda melalui surat keputusan
(SK) kepala daerah. Tim
penyusun tersebut terdiri dari
seorang ketua yang ditunjuk
langsung oleh perangkat
daerah pemrakarsa. Jika
ketua tim yang ditunjuk
bukanlah pimpinan perangkat
daerah pemrakarsa sendiri,
maka pimpinan perangkat
daerah pemrakarsa tersebut
tetap bertanggungjawab
terhadap materi muatan dalam
rancangan perda yang disusun.
Keanggotaan tim penyusun
terdiri dari:
o kepala daerah;
o sekretaris daerah;
o perangkat daerah
pemrakarsa;
o perangkat daerah yang
2.2 PENYUSUNAN
2726
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
15. membidangi hukum;
o perangkat daerah terkait
lainnya; dan
o perancang peraturan
perundang-undangan.
- Dalam melaksanakan
tugasnya, ketua tim penyusun
memberikan laporan
kepada sekretaris daerah
mengenai perkembangan
dan permasalahan dalam
penyusunan rancangan perda
untuk mendapatkan arahan
atau keputusan.
- Rancangan perda yang
telah disusun pada langkah
sebelumnya kemudian
diberikan paraf bersama oleh
ketua tim dan perangkat
daerah pemrakarsa.
- Selanjutnya, ketua tim
penyusun menyampaikan hasil
rancangan perda yang telah
disusun kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah
untuk selanjutnya dilakukan
harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
2. Harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
Tahapan kegiatan harmonisasi,
pembulatan dan pemantapan
konsepsi adalah sebagai berikut:
- Sekretaris daerah menugaskan
kepada perangkat darah yang
membidangi hukum untuk
mengkoordinasikan kegiatan
harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
- Dalam koordinasi oleh
perangkat daerah yang
membidangi hukum, rapat/
pembahasan dilakukan untuk
harmonisasi, pembulatan
dan pemantapan konsepsi
rancangan perda.
- Rancangan perda hasil
p e n g h a r m o n i s a s i a n ,
pembulatan dan pemantapan
konsepsi kemudian
disampaikan oleh sekretaris
daerah kepada perangkat
daerah pemrakarsa dan
pimpinan perangkat daerah
lainnya (yang tergabung di Tim
Penyusun) untuk mendapatkan
paraf persetujuan pada setiap
halaman rancangan perda.
- Sekretaris daerah
menyampaikan rancangan
perda yang telah diparaf
PENYUSUNAN PENJELASAN ATAU
KETERANGAN DAN/ATAU NASKAH
AKADEMIK
PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA
HARMONISASI, PEMBUATAN, DAN
PEMANTAPAN KONSEPSI
PEMBERIAN PARAF PERSETUJUAN
KONSEP AKHIR RANCANGAN PERDA
01
02
03
04
Gambar 2. Alur Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah
pada tahap sebelumnya
kepada kepala daerah
untuk mendapatkan paraf
persetujuan sebagai konsep
akhir rancangan perda.
- Sebelum konsep akhir
rancangan perda disampaikan
oleh kepala daerah ke DPRD
untuk pembahasan, ketua tim
penyusun harus memaparkan
konsep akhir rancangan perda
tersebut kepada kepala daerah.
2.2.3 Penyusunan Rancangan Perda
di Lingkungan DPRD
Untuk penyusunan rancangan perda
di lingkungan DPRD, beberapa hal
yang diatur sebagai berikut:
1. Rancangan perda dapat
diajukan oleh anggota DPRD,
komisi, gabungan komisi, atau
Bapemperda berdasarkan daftar
pada Propemperda. Rancangan
tersebut disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD
disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah
akademik.
2. Sekretariat DPRD memberikan
nomor pokok kepada rancangan
perda yang disampaikan.
2928
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
16. 3. Dalam hal rancangan perda disertai
penjelasan atau keterangan, maka
di dalamnya memuat:
a. Pokok pikiran dan materi
muatan yang diatur
b. Daftar nama; dan
c. Tanda tangan pengusul
4. Dalam hal rancangan perda disertai
naskah akademik, maka naskah
akademik tersebut harus telah
terlebih dahulu melalui pengkajian
dan penyelarasan, serta memuat:
a. Latar belakang dan tujuan
penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, ruang lingkup,
atau objek yang akan diatur;
dan
d. Jangkauan dan arah
pengaturan
5. Pimpinan DPRD menyampaikan
rancangan perda kepada
Bapemperda untuk dilakukan
pengkajian dalam rangka
pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi
rancangan perda.
6. Hasil pengkajian rancangan perda
kemudian disampaikan oleh
Bapemperda kepada pimpinan
DPRD untuk selanjutnya dibahas
dalam rapat paripurna DPRD.
Sebelum dilakukan pembahasan
di rapat paripurna, pimpinan
DPRD harus menyampaikan
hasil pengkajian tersebut kepada
anggota DPRD paling lama 7
(tujuh) hari sebelumnya.
7. Mekanisme rapat paripurna DPRD
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengusul memberikan
penjelasan;
b. Fraksi dan anggota DPRD
lainnya memberikan
pandangan; dan
c. Pengusul memberikan jawaban
atas pandangan fraksi dan
anggota DPRD lainnya.
8. Rapat paripurna DPRD tersebut
kemudian memutuskan usulan
rancangan perda. Putusan yang
dihasilkan dapat berupa:
- Persetujuan;
- Persetujuan dengan
pengubahan; atau
- Penolakan.
9. Apabila keputusan diatas berupa
persetujuan dengan pengubahan,
maka pimpinan DPRD menugaskan
komisi, gabungan komisi,
Bapemperda atau panitia khusus
untuk melakukan penyempurnaan.
10. Setelah penyempurnaan dilakukan,
maka hasilnya disampaikan
kembali kepada pimpinan DPRD.
2.3 PEMBAHASAN
Rancangan perda yang telah disusun
pada tahap penyusunan selanjutnya
dibahas oleh DPRD dan pemerintah
daerah untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Pembahasan
rancangan perda yang berasal dari
kepala daerah disampaikan melalui
surat pengantar kepala daerah
kepada pimpinan DPRD. Sedangkan
pembahasan rancangan perda yang
disusun oleh DPRD disampaikan
melalui surat pengantar pimpinan
DPRD kepada kepala daerah. Surat
pengantar tersebut paling sedikit
berisikan latar belakang dan tujuan
dari penyusunan, sasaran yang
ingin diwujudkan, dan materi pokok
yang diatur yang menggambarkan
keseluruhan substansi rancangan
perda. Untuk rancangan perda
yang disusun berdasarkan naskah
akademik, maka pada surat pengantar
penyampaian rancangan perda juga
disertakan naskah akademik. Apabila
dalam satu masa sidang, DPRD
dan kepala daerah menyampaikan
rancangan perda dengan materi
yang sama, maka yang dibahas
adalah rancangan perda yang berasal
dari DPRD dengan menggunakan
rancangan perda dari kepala daerah
sebagai sandingan.
Dalam melakukan pembahasan, kepala
daerah membentuk tim pembahasan
yang diketuai oleh sekretaris daerah
atau pejabat yang ditunjuk. Ketua
tim bertugas untuk melaporkan
setiap perkembangan dan/atau
permasalahan dalam pembahasan
yang dilakukan kepada kepala daerah,
untuk mendapatkan arahan dan
keputusan.
Pembahasan rancangan perda
antara DPRD dan pemerintah daerah
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan
tingkat I dan pembicaraan tingkat II.
Urutan kegiatan pembahasan adalah
sebagai berikut:
1. Pembicaraan tingkat I
Untuk rancangan perda yang
berasal dari eksekutif maka urutan
kegiatannya adalah sebagai
berikut:
a. Penjelasan kepala daerah
dalam rapat paripurna
mengenai rancangan perda;
b. Pemandangan umum fraksi
terhadap rancangan perda;
dan
3130
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
17. c. Tanggapan dan/atau jawaban
kepala daerah terhadap
pemandangan umum fraksi.
d. Pembahasan dalam rapat
komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan
bersama dengan kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya
Untuk rancangan perda berasal dari
legislatif maka urutan kegiatannya
adalah sebagai berikut:
a. Penjelasan pimpinan komisi,
pimpinan gabungan komisi,
pimpinan Bapemperda, atau
pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai
rancangan perda;
b. Pendapat kepala daerah
terhadap rancangan perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban
fraksi terhadap pendapat
kepala daerah.
d. Pembahasan dalam rapat
komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan
bersama dengan kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya
2. Pembicaraan tingkat II, meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam
rapat paripurna yang didahului
dengan:
1) penyampaian laporan
pimpinan komisi/pimpinan
gabungan komisi/
pimpinan panitia khusus
yang berisi pendapat fraksi
dan hasil pembahasan; dan
2) Permintaan persetujuan
dari anggota secara lisan
oleh pimpinan rapat
paripurna.
b. Pendapat akhir kepala daerah.
Rancangan perda apabila disetujui
bersama oleh DPRD dan kepala
daerah, selanjutnya disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada kepala daerah
untukditetapkanmenjadiPerda.Dalam
hal persetujuan tidak dapat dicapai
secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak. Apabila rancangan perda
tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPRD dan kepala daerah, maka
rancangan perda tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPRD
masa itu.
Rancangan perda dapat ditarik
kembalisebelumdibahasbersamaoleh
DPRD dan kepala daerah. Penarikan
kembali rancangan perda oleh kepala
daerah, disampaikan dengan surat
kepala daerah disertai dengan alasan
penarikan. Begitu pula apabila DPRD
ingin melakukan penarikan kembali
rancangan perda, maka dilakukan
dengan keputusan pimpinan DPRD
disertai juga dengan alasan penarikan.
Rancangan perda yang sedang
dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama
DPRD dan kepala daerah. Penarikan
kembali rancangan perda hanya dapat
dilakukan dalam rapat paripurna
DPRD yang dihadiri oleh kepala
daerah. Rancangan perda yang ditarik
kembali tidak dapat diajukan lagi pada
masa sidang yang sama.
Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda
2.4 PENETAPAN
2.4.1 Pemberian Nomor Register
Setelah ada persetujuan bersama antara DPRD dan kepala daerah terkait
PEMBICARAAN TINGKAT I
Rancangan perda berasal dari
eksekutif
Penjelasan Kepala Daerah
Pemandangan Umum Fraksi
Tanggapan Kepala Daerah
Rancangan perda berasal dari
legislatif
Penjelasan Pimpinan Komisi,
Gabungan Komisi,
Bapemperda atau Panitia
Khusus
Pendapat Kepala Daerah
Tanggapan Fraksi
Pembahasan bersama
dengan Kepala Daerah atau
Pejabat yang mewakili
PEMBICARAAN TINGKAT II
Penyampaian Laporan
Pimpinan Komisi, Gabungan
Komisi, Bapemperda atau
Panitia Khusus
Permintaan Persetujuan
dari Anggota Secara Lisan
Pendapat Akhir Kepala
Daerah
Persetujuan Bersama DRPD
dan Kepala Daerah
Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda
3332
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
18. 2.4.1 Pemberian Nomor Register
Setelah ada persetujuan bersama
antara DPRD dan kepala daerah
terkait rancangan perda yang
dibahas bersama, tahap selanjutnya
adalah pengesahan atau penetapan
rancangan perda. Namun demikian,
sebelum rancangan perda ditetapkan
menjadi suatu perda, kepala daerah
kabupaten/kota wajib untuk
menyampaikan rancangan perda
kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat paling lama 3 (tiga)
hari kerja terhitung sejak menerima
rancangan perda dari pimpinan DPRD
untuk mendapatkan nomor register
(noreg) perda. Setelah itu, noreg
rancangan perda akan diberikan
oleh gubernur paling lama 7 (tujuh)
hari sejak rancangan perda tersebut
diterima.
2.4.2 Penandatanganan
Rancangan perda yang telah
mendapatkan noreg kemudian
disahkan oleh kepala daerah dengan
cara membubuhkan tanda tangan
pada naskah rancangan perda.
Penandatanganan ini harus dilakukan
oleh kepala daerah dalam jangka
waktu maksimal 30 hari terhitung
sejak tanggal rancangan perda
tersebut disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah. Jika kepala daerah
tidak menandatangani rancangan
perda tersebut sesuai waktu yang
ditetapkan, maka rancangan perda
tersebut otomatis menjadi Perda dan
wajib untuk diundangkan ke dalam
lembaran daerah.
Penandatanganan dapat dilakukan
oleh pelaksana tugas, pelaksana
harian atau pejabat kepala daerah jika
kepala daerah berhalangan sementara
atau tetap. Penandatanganan tersebut
dibuat 4 (empat) rangkap, kemudian
naskah aslinya didokumentasikan oleh:
(1) DPRD; (2) sekretaris daerah; (3)
perangkat daerah yang membidangi
hukum; dan (4) perangkat daerah
pemrakarsa.
2.4.3 Penomoran
Penomoran perda kabupaten/kota
dilakukan oleh perangkat daerah yang
membidangi urusan hukum (dalam hal
ini kepala bagian hukum). Penomoran
untuk perda menggunakan nomor
bulat.
2.4 PENETAPAN 2.5 PENGUNDANGAN
Pengundangan merupakan
pemberitahuan secara formal suatu
Perda sehingga mempunyai daya
ikat pada masyarakat. Perda yang
telah ditetapkan, diundangkan
dalam lembaran daerah, sedangkan
penjelasan Perda dimuat dalam
Tambahan Lembaran Daerah dan
ditetapkan bersamaan dengan
pengundangan Perda. Setelah Perda
diundangkan maka secara hukum
Perda tersebut mulai berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkan kecuali
ditentukan lain di dalam Perda
tersebut.
Perda diundangkan oleh sekretaris
daerah dan disampaikan kepada
gubernur (atau ke Menteri Dalam
Negeri untuk Perda Provinsi). Apabila
sekretaris daerah berhalangan, maka
pengundangan Perda dilakukan oleh
pelaksana tugas atau pelaksana harian
sekretaris daerah. Selanjutnya Perda
dimuat dalam Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum.
AUTENTIFIKASI
Autentifikasi adalah salinan produk
hukum daerah sesuai dengan
aslinya. Setiap Perda yang sudah
ditandatangani dan diberikan
penomoran selanjutnya harus
dilakukan autentifikasi. Autentifikasi
perda kabupaten/kota dilakukan oleh
kepala bagian hukum kabupaten/kota.
3534
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
19. 2.6 PENYEBARLUASAN
Secara prinsip, penyebarluasan
dilakukan semenjak tahapan
Penyusunan Propemperda,
Penyusunan Rancangan Perda,
Penyusunan Naskah Akademik dan
Pembahasan Rancangan Perda.
Penyebarluasan bertujuan untuk
dapat memberikan informasi dan
memperoleh masukan masyarakat
dan para pemangku kepentingan
mengenai rancangan perda yang
disusun.
Untuk penyebarluasan pada
tahapan Penyusunan Propemperda,
pelaksanaannya dilakukan bersama
oleh pemerintah daerah dan
DPRD yang dikoordinasikan oleh
Bapemperda. Penyebarluasan
pada tahapan Penyusunan Naskah
Akademik dan Penyusunan
Rancangan Perda yang berasal dari
inisiatif legislatif, dilaksanakan oleh alat
kelengkapan DPRD, sedangkan untuk
yang berasal dari inisiatif eksekutif
dilaksanakan oleh sekretaris daerah
bersama dengan perangkat daerah
pemrakarsa.
Bagi perda yang telah diundangkan
maka penyebarluasan dilakukan
bersama oleh pemerintah daerah
dan DPRD. Naskah perda yang
disebarluaskan tersebut harus
merupakan salinan naskah perda
yang telah diautentifikasi dan
diundangkan dalam Lembaran Daerah
dan Tambahan Lembaran Daerah.
Secara khusus, kepala daerah memiliki
kewajiban untuk menyebarluaskan
Perda yang telah diundangkan, bagi
yang tidak melakukan, terdapat sanksi
secara administrative berupa teguran
tertulis.
3736
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
20. PENYUSUNAN
NASKAH AKADEMIK
3.1 UMUM
Pengertian Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum
dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut,
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah,
adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya
terhadap masalah persampahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan persampahan dalam Rancangan Peraturan Daerah
sebagai solusi terhadap permasalahan persampahan dan dasar hukum baik bagi
Pemerintah Daerah maupun masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, secara umum Naskah Akademik memuat
gagasan pengaturan atau materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang telah ditinjau secara sistemik-holistik-futuristik dari
berbagai aspek ilmu yang terkait dilengkapi dengan referensi yang memuat
urgensi, konsepsi, landasan, atas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta
pemikiran tentang norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal
dengan mengajukan beberpa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian yang
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan bidang
ilmu yang terkait dengan persampahan. Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu
Naskah Akademik urgensi dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang secara umum menggambarkan:
a. Hasil inventarisasi peraturan perundang-undangan baik nasional maupun
daerah;
BAB 3 3938
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
21. b. Hasil inventarisasi permasalahan persampahan yang dihadapi baik Pemerintah
Daerah maupun masyarakat saat ini dan akan datang;
c. Alasan diperlukannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah;
d. Gagasan-gagasan tentang materi muatan yang dituangkan ke dalam
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah;
e. Konsepsi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan;
f. Pemikiran mengenai norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-
pasal;
g. Gagasan awal naskah Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah yang akan disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan: bab demi bab, serta pasal demi pasal.
3.2 SISTEMATIKA
Meskipun Pasal 47 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2008 memberikan perintah kepada
Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota untuk membentuk
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah paling lama 3 (tiga) tahun terhitung
sejak Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 diundangkan, namun sampai saat ini
belum semua Pemerintah Kabupaten dan Kota memiliki Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah. Bagi Kabupaten dan Kota yang telah memiliki Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah atau nama lain, materi muatan Peraturan
Daerah belum operasional atau sama dengan UU No. 18 Tahun 2008, sementara
Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan dari undang-undang tersebut, yaitu
PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga. Hal tersebut antara lain disebabkan sebagian
Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam membentuk Peraturan Daerah tidak
diawali dengan Naskah Akademik.
Persyaratan membentuk suatu Peraturan Daerah menurut UU No. 12 Tahun 2011
harus disertai dengan Naskah Akademik, yaitu naskah hasil pengkajian hukum
terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat
serta dilakukan sesuai teknik penyusunan Naskah Akademik.
Untuk memudahkan dalam penyusunan Naskah Akademik, negara melalui UU
No. 12 Tahun 2011 memberikan pedoman Penyusunan Naskah Akademik dengan
sistetematika sebagai berikut:
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,
ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
4140
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
22. Uraian singkat setiap bagian diatas yang telah disesuaikan untuk naskah akademik
rancangan perda tentang pengelolaan sampah adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi
masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode yang digunakan.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya
penyusunanNaskahAkademiksebagaiacuanpembentukanRancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Latar belakang
tersebut menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah memerlukan suatu kajian yang
mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah
yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah
kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis
guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang
akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada
dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup
4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah
dan masyarakat dalam pengelolaan sampah serta bagaimana
permasalahan tersebut dapat diatasi?
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti
membenarkan pelibatan Masyarakat dalam penyelesaian masalah
sampah tersebut?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah?
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai
berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah
dalam pengelolaan sampah, masyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik sebagai
acuan atau referensi dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian, sehingga digunakan metode penyusunan Naskah
Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian
lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif
dan metode yuridis empiris.
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal.
Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah
(terutama) data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan
4342
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
23. atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,
dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi
dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar
pendapat.
Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali
dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan
Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi
yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan
data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap
pengelolaan sampah yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan
Daerah.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi,
keuangan daerah dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa
sub bab berikut:
A. Kajian teoretis, memuat antara lain teori pengelolaan sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga serta
sampah spesifik disertai dengan aspek prasarana dan sarana yang
diperlukan dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah tersebut
berdasarkan teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan
norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga
memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan
Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal
dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan pengelolaan sampah
saat ini dan akan datang serta permasalahan yang dihadapi oleh
Pemerintah Daerah dan masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan
diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah terhadap aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dan kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban
keuangan daerah dan masyarakat.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
Memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait
yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal,
serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap
berlaku karena tidak bertentangan dengan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan dimaksudkan di
atas ditujukan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang substansi atau materi pengelolaan sampah,
antara lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan,
ketataruangan, bangunan gedung, prasarana dan sarana pengelolaan
sampah, keuangan daerah, kelembagaan, bentuk pelibatan masyarakat,
yang kesemuanya akan menjadi materi muatan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Analisis ini dapat menggambarkan sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian
tersebut menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang akan dibentuk.
4544
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
24. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang akan dibentuk dengan memper-
timbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, landasan filosofis
dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
sampah, harapan atau keinginan Pemerintah Daerah dan
Masyarakat baik saat ini mapun akan datang.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek antara lain aspek kesehatan dan
lingkungan hidup. Landasan sosiologis tersebut sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
persampahan saat ini dan kebutuhan atau keinginan masyarakat
dan Pemerintah Daerah dimasa mendatang.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan persampahan atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum
dan rasa keadilan masyarakat. dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi yang diatur dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah sehingga perlu
dibentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup
materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi
muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan
pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan
dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi
pada dasarnya mencakup: (a) ketentuan umum memuat rumusan
akademik mengenai pengertian istilah dan frasa; (b) materi yang akan
diatur; (c) ketentuan sanksi; dan (d) ketentuan peralihan.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan sampah
sekurang-kurangnya memuat:
a. Tujuan dan Sasaran;
b. Hak dan kewajiban Masyarakat dan Pelaku Usaha;
c. Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah;
d. Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah (perencanaan, pelaksanaan
pengelolaan sampah, prasarana dan sarana pengelolaan sampah)
e. Perizinan;
f. Kerjasama dan Kemitraan;
g. Insentif dan Disinsentif;
h. Kelembagaan;
i. Retribusi Pelayanan Persampahan;
j. pembiayaan dan kompensasi;
4746
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
25. k. peran masyarakat;
l. larangan;
m. pembinaan dan pengawasan
n. Sanksi administratif; dan
o. Ketentuan Pidana (bila diperlukan)..
BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan
dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas
yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah di bawahnya
berupa Peraturan Bupati/Walikota.
2. Rekomendasi skala prioritas penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah dalam Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, peraturan perundang-undangan yang
menjadi bahan penyusunan Naskah Akademik.
LAMPIRAN
KONSEP RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
3.3 TAHAPAN PENYUSUNAN
Mekanisme penyusunan naskah akademik sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, adalah
sebagai berikut:
1. Pemrakarsa menyiapkan/menyusun naskah akademik. Dalam menyusun
naskah akademik ini, pemrakarsa mengikutsertakan perangkat daerah yang
membidangi hukum (bagian hukum).
2. Naskah akademik yang telah disusun oleh pemrakarsa kemudian disampaikan
kepada perangkat daerah yang membidangi hukum untuk dilakukan
penyelarasan.
3. Penyelarasan dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum
dan diselenggarakan dalam bentuk rapat penyelarasan yang mengundang
(mengikutsertakan) para pemangku kepentingan.
4. Perangkat daerah yang membidangi hukum menyampaikan naskah akademik
hasil penyelarasan kepada sekretaris daerah.
5. Sekretaris daerah kemudian menyampaikan kembali naskah akademik
hasil penyelarasan kepada perangkat daerah (pemrakarsa) disertai dengan
penjelasan hasil penyelarasan. (Alur penyusunan naskah akademik seperti
pada Gambar dibawah)
Gambar 4. Alur Penyusunan Naskah Akademik di Lingkungan Pemerintah Daerah
4948
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
26. PENYUSUNAN RANCANGAN
PERDA PENGELOLAAN SAMPAH
4.1 TEKNIK PENYUSUNAN
4.1.1 Bahasa Peraturan Daerah
Bahasa Peraturan Daerah pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya. Namun mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai
dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. Tata
bahasa yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut:
1. Ciri-ciri bahasa peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c. objektifdanmenekanrasasubjektif(tidakemosidalammengungkapkan
tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten;
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan
dalam bentuk tunggal;Contoh:
kawasan-kawasan ditulis kawasan
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama
institusi, lembaga pemerintah atau ketatanegaraan, dan jenis peraturan
perundang-undangan dan rancangan peraturan perundang-undangan
dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
- Pemerintah Daerah
- DPRD
- Rancangan Peraturan Daerah
BAB 4 5150
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
27. 2. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah digunakan kalimat yang
tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Walikota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1) Permohonan kepada Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
3. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya
dalam kalimat tidak jelas.
4. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah gunakan kaidah tata bahasa
Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut izin usahanya.
5. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui
umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan
blanko;
b. jumlah blanko yang dicetak; dan
c. jumlah dokumen yang diterbitkan.
6. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum
tanpa membuat definisi baru.
7. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu
menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari.
Contoh:
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik:
Pertanian meliputi perkebunan, perternakan, dan perikanan.
8. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan:
a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang
sama.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian
penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal
telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan
menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian
penghasilan.
b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan
atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan
pengertian pengamanan.
Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan
frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang
dari
9. Untuk menghindari perubahan nama Dinas, penyebutan Dinas menggunakan
penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud.
Contoh:
Dinas adalah Dinas yang menyelenggarakan sub urusan persampahan.
5352
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
28. 10. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah
disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: (a)
mempunyai konotasi yang cocok; (b) lebih singkat bila dibandingkan dengan
padanannya dalam Bahasa Indonesia; (c) mempunyai corak internasional; (d)
lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau (e) lebih mudah dipahami
daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
11. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam
penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa
asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring,
dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).
Contoh:
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)
12. Gunakan kata paling untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum
dalam menentukan ancaman ketentuan pidana atau batasan waktu.
Contoh:
… dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).Untuk menyatakan
maksimum dan minimum bagi satuan:
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan
jangka waktu;
Contoh 1:
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Contoh 2:
Walikota menugasi Sekretaris Daerah yang mewakili untuk membahas
Rancangan Peraturan Daerah bersama DPRD dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPRD diterima.
b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan
batas waktu.
Contoh:
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada Dinas paling lambat
tanggal 22 Juli 2011.
c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;
d.. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.
13. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat,
dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana,
atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
14. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan
dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1 angka 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak
alat angkut.
15. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh:
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
5554
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
29. (1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau
sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS
saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam
rapat.
16. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika,
apabila, atau frasa dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)JikaterjadikekosonganjabatanPresiden,MPRsegeramenyelenggarakan
sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa
jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4),
yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa
jabatannya.
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia,
dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri.
17. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan
terjadi di masa depan.
Contoh:
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan
mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
18. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
Contoh:
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan
kiriman.
19. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
Contoh:
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara
5756
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
30. Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian
dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala
pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan
oleh seluruh peserta upacara.
20. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Contoh:
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian
veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa
kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.
21. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi
kepentingan bangsa dan negara.
22. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang.
Contoh:
Pasal 313 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil
tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
23. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan
kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan
usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi
produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28 ayat (2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri
terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat
dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
24. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan
kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi.
Contoh 1:
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki
Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
5958
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
31. Pasal 17 ayat (1)
Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
25.Untukmenyatakanpemenuhansuatukondisiataupersyaratantertentu,gunakan
kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak
memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi
kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan
Publik;
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan.
26. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Pasal 135 Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya
atas rumah umum kepada pihak lain.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
Pasal 11 (1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang
seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan menggunakan
alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap
dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
27. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa
mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan
rumusan digunakan teknik pengacuan.
28. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan
Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang–
undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … .
Contoh 1:
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh
penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BNN.
Contoh 2:
Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi
vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
6160
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
32. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan administrasi kependudukan.
29. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan
tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi
huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 57 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari
pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
30. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada
ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut
diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
31. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu
ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 8 Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1) … .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam
puluh) hari.
32. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat
dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau
ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1) … .
(2) … .
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4),
Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
33. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok
yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan
oleh …
34. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
35. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan.
6362
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
33. Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
36. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal
atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau
pasal tersebut di atas.
37. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan
Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–undangan.
38. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang–
undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
39. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku
hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang–undangan tersebut,
gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor …
Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor … ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan tetap
berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
40. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman
Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
6564
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
34. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, bahwa Judul Rancangan Peraturan Daerah
memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan,
dan nama Rancangan Peraturan Daerah. Nama Rancangan Peraturan Daerah
dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi
secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Rancangan Peraturan
Daerah. Judul Rancangan Peraturan Daerah ada 2 (dua) alternatif.
Alternatif Pertama, Judul Rancangan Peraturan Daerah adalah Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, maka materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah hanya mengatur jenis sampah tersebut.
Sedangkan Sampah Spesifik diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri. Dengan
demikian, Pemerintah Daerah memiliki 2 (dua) Peraturan Daerah, yaitu Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga dan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Contoh Peraturan Daerah Kabupaten:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS
SAMPAH RUMAH TANGGA
4.1.2 Judul Rancangan Peraturan Daerah
6766
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
35. Contoh Peraturan Daerah Kota:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS
SAMPAH RUMAH TANGGA
Alternatif Kedua, Judul Rancangan Peraturan Daerah adalah Pengelolaan Sampah.
Dengan demikian materi muatan atau isi Rancangan Peraturan Daerah mengatur
penyelenggaraan pengelolaan sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah
rumah tangga, dan sampah spesifik.
Contoh Peraturan Daerah Kabupaten:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
Contoh Peraturan Daerah Kota:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
Alternatif judul Rancangan Peraturan Daerah tersebut di atas, diberikan alasan
dalam Naskah Akademik. Mengingat panduan ini membahas ketentuan mengenai
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga, maka disarankan
untuk menggunakan judul alternatif pertama.
Pembukaan Peraturan Daerah menurut ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011,
terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Pada pembukaan tiap jenis
Rancangan Peraturan Daerah dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang
Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di
tengah marjin.
b. Jabatan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah Jabatan pembentuk
Rancangan Peraturan Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten:
BUPATI BANGKA TENGAH,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota:
WALIKOTA TANJUNGPINANG,
c. Konsiderans Menimbang
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Pokok
pikiran pada konsiderans Rancangan Peraturan Daerah menurut UU No.
12 Tahun 2011, memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
Ada 2 (dua) alternatif Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah.
4.1.3 Pembukaan
6968
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
36. Alternatif Pertama memuat sebagai berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah atau nama lain dibentuk dengan mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah atau nama lain dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah atau nama lain dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Contoh 1, Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
7170
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
37. Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, diperlukan
kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah serta
kewajiban masyarakat dalam pengelolaan sampah;
b. bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat
berpengaruh terhadap peningkatan timbulan, jenis, dan karakteristik sampah
yang semakin beragam, sehingga dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan dan lingkungan, maka sampah perlu dikelola dari hulu ke
hilir agar memberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan menindaklanjuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah;
Contoh 2, Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
Menimbang :
a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap
warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih dari
sampah yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan, maka perlu dilakukan pengelolaan sampah secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir;
c. bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan
tugas dan wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban masyarakat/
pelaku usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional,
efektif dan efisien;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b dan huruf c maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Sampah.
Alternatif Kedua, cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas
mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari
Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah atau
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang memerintahkan
pembentukan Peraturan Daerah.
Contoh:
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat
(2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 22 ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal
25 ayat (4), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29 ayat (3), Pasal 31 ayat (3), dan Pasal 32
ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah;
Muatan Kondiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Sampah atau nama lain diuraikan secara singkat baik secara filosofis
dan sosiologis maupun yuridis dalam Penjelasan Umum.
d. Dasar Hukum
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: (1) dasar
kewenangan Pemerintah Daerah pembentukan Peraturan Daerah; (2) peraturan
perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah.
Dasar hukum kewenangan Daerah membentuk Peraturan Daerah adalah Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum
dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda
baca kurung.
7372
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
38. e. Diktum.
Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara
suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah
marjin.
Contoh: Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN:
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke
bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan
ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi
setelah kata Menetapkan tanpa frasa Kabupaten atau Kota, serta ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH.
4.1.4 Batang Tubuh Rancangan Peraturan Daerah
Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua materi muatan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Sampah yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal.
Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam :
1. Ketentuan Umum
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, bahwa Ketentuan umum diletakkan dalam bab
satu dan dapat memuat lebih dari satu pasal. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian
atau definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa
pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,
dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Batasan pengertian atau definisi yang termuat dalam Ketentuan Umum menurut
UU No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut:
a. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan
atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor
urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik.
b. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
selanjutnya.
c. Apabila rumusan definisi dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri dirumuskan kembali dalam
Peraturan Daerah, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan
definisi dengan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku
tersebut.
d. Rumusan batasan pengertian dari Peraturan Daerah dapat berbeda dengan
rumusan dalam Peraturan Daerah yang ada karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
e. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau
istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf
7574
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH