Dokumen tersebut membahas tentang pengantar umum pengelolaan air limbah domestik di Indonesia. Saat ini pengelolaan air limbah belum memadai sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Diperlukan kerangka hukum dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan pengelolaan air limbah guna mencapai target RPJMN."
2. 1. UMUM 9
1.1 PENDAHULUAN 9
1.2 PERATURAN DAERAH
1.2.1 Kedudukan Peraturan Daerah 12
1.2.2 Fungsi Peraturan Daerah 14
1.2.3 Landasan Pembentukan Peraturan Daerah 15
1.2.4 Asas dan Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah 15
1.2.5 Kewenangan Pembentukan Perda Pengelolaan Air Limbah 17
2. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH 21
2.1 PERENCANAAN 21
2.1.1 Penyusunan Program Pembentukan Perda (PROPEMPERDA) 21
2.1.2 Perencanaan Penyusunan Rancangan Perda Kumulatif Terbuka 23
2.1.3 Perencanaan Penyusunan Rancangan Perda Di Luar Propemperda 23
2.2 PENYUSUNAN 23
2.2.1 Penyusunan Naskah Akademik 24
2.2.2 Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah 24
2.2.3 Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan DPRD 26
2.3 PEMBAHASAN 28
2.4 PENETAPAN 31
2.4.1 Pemberian Nomor Register 31
2.4.2 Penandatanganan 31
2.4.3 Penomoran 31
2.5 PENGUNDANGAN 32
2.6 PENYEBARLUASAN 32
3. PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK 35
3.1 UMUM 35
3.2 SISTEMATIKA 36
3.3 TAHAPAN PENYUSUNAN 44
4. PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA PENGELOLAAN AIR LIMBAH 47
4.1 TEKNIK PENYUSUNAN 47
4.1.1 Bahasa Peraturan Daerah 47
4.1.2 Judul Rancangan Peraturan Daerah 60
4.1.3 Pembukaan 62
4.1.4 Batang Tubuh Rancangan Peraturan Daerah 67
4.1.5 Penutup 70
4.1.6 Penjelasan 71
4.2 DASAR HUKUM 72
4.3 MATERI MUATAN 79
LAMPIRAN CONTOH 90
5. RANCANGAN PERDA PENGELOLAAN AIR LIMBAH 90
Daftar Isi
32
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
3. DAFTAR TABEL
Tabel 4 1 Muatan Rancangan Perda Pengelolaan Air Limbah 83
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Propemperda 11
Gambar 2. Alur Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah 26
Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda 30
Gambar 4. Alur Penyusunan Naskah Akademik di Lingkungan Pemerintah Daerah 44
54
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
4. 76
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
TIM PENGARAH :
Dr. Ir. Andreas Suhono, MSc
Ir. Dodi Krispratmadi, M.Env.E
TIM PENYUSUN :
Marsaulina FMP
Dadang Suryana
Sabbath Marchend
Raminatha Uno
Santi Nursanti
Budiaf
DESAIN & TATA LETAK:
Yoga Iman G
www.ayokemon.com
Foto:
Dokumentasi Direktorat PPLP
Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat
dan dari berbagai sumber
Dicetak di Indonesia, Penerbit:
Direktorat PPLP
Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat
Penyusun KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya,
buku panduan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Limbah
dapat tersusun.
Buku panduan ini disusun guna menjadi acuan bagi para pihak (Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan
Permukiman, Konsultan Pendamping, dll) dalam melaksanakan kegiatan
Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Limbah di daerahnya
masing-masing. Buku panduan ini berisikan informasi mengenai Umum, Tahapan
Pembentukan Peraturan Daerah,Penyusunan Naskah Akademik dan Penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Limbah.
Semoga buku panduan ini memberikan manfaat bagi pelaksanaan kegiatan
Pendampingan Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Air Limbah
TA. 2016.
Kepada semua pihak kami ucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya.
Masukan dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku panduan
ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Maret 2016
Tim Penyusun
Direktorat PPLP Ditjen Cipta Karya
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
5. UMUM
1.1 PENDAHULUAN
Dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah, tugas dan tanggung jawab
Pemerintah Kabupaten/Kota
adalah mewujudkan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah1
, didukung
dengan prasarana dan sarana yang
memadai sesuai kebutuhan. Salah
satu prasarana dan sarana yang
dimaksud tersebut adalah prasarana
dan sarana pengolahan air limbah2
.
Namun sayangnya, sampai dengan
saat ini, penyediaan prasarana dan
sarana pengolahan air limbah baik di
Kabupaten maupun Kota secara umum
belum memadai. Sebagian besar air
limbah (air buangan yang berasal dari
rumah tangga atau limbah domestik3
)
dan limbah cair dari kegiatan/usaha
(kecuali yang diwajibkan Amdal)
belum dilakukan pengolahan terlebih
dahulu melainkan langsung dibuang
BAB 1
atau dialirkan ke badan air, baik sungai
maupun saluran drainase. Kondisi
tersebut mengakibatkan terjadi
pencemaran lingkungan hidup4
,
terutama pada sumber air baku untuk
air minum baik pada air permukaan
maupun air tanah.
Pertambahan jumlah penduduk
diikuti meningkatnya penggunaan air,
berdampak pada peningkatan volume
air limbah. Rendahnya kesadaran
masyarakat termasuk pelaku usaha
untuk mengolah air limbah yang
dihasilkan, semakin mengakibatkan
pencemaran air, baik pada air
permukaan maupun air tanah. Jika
tidak dikendalikan, kondisi tersebut
akan membuat air semakin tercemar.
Untuk itu, pengelolaan air limbah
harus didukung dengan prasarana
dan sarana pengelolaan air limbah
untuk melindungi sumber daya air dari
pencemaran air limbah. Penyediaan
1. Konsideran huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan penyelenggaraan pemerintahan daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat,
serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Air limbah menurut Pasal 1 angka 29 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah adalah sisa dari suatu
usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair
3. Yang dimaksud dengan air limbah domestik menurut Pasal 1 angka 30 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu
Air Limbah, adalah air limbah yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan
asrama.
4. Yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup
oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
98
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
6. prasarana dan sarana pengelolaan air
limbah tidak hanya menjadi tugas dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah
melainkan juga menjadi tanggung
jawab masyarakat termasuk pelaku
usaha.
Sebagian besar air limbah yang
berasal dari aktifitas rumah tangga
seperti: mandi, cuci dan dapur saat ini
masih dibuang langsung ke badan air
atau sungai. Sedangkan air limbah dari
kakus sebagian telah diolah secara
setempat, dengan menggunakan
septic tank atau cubluk, namun
sebagian lainnya belum diolah, bahkan
masih ditemui di beberapa tempat
aktifitas buang air besar sembarangan
(BABS). Untuk pengolahan secara
setempat (septic tank atau cubluk),
masih terdapat beberapa pertanyaan
besar seperti: apakah lumpur tinjanya
dikuras secara rutin dan apakah lumpur
tinja yang dikuras tersebut kemudian
diolah secara aman untuk lingkungan.
Sebagai informasi, septic tank yang
memenuhi kaidah teknis yang benar
adalah septic tank yang kedap air,
yang mencegah terjadinya infiltrasi
pencemaran ke air tanah. Mengingat
sifatnya yang kedap tersebut maka
septik tank akan penuh dalam jangka
waktu tertentu (biasanya sekitar 2-3
tahun). Sedangkan yang dimaksud
dengan pengolahan lumpur tinja yang
aman adalah pengolahan lumpur
tinja di instalasi pengolahan lumpur
tinja (IPLT). Tidak dibenarkan untuk
membuang lumpur tinja yang dikuras
ke sungai, danau, rawa, lahan pertanian
atau lahan lainnya (walaupun lahan
nonproduktif) karena berpotensi
untuk mencemari lingkungan.
Di beberapa kota, telah terdapat
instalasi pengolahan air limbah secara
terpusat (setiap saluran pembuangan
air limbah rumah tangga dihubungkan
dengan perpipaan dan air limbahnya
diolah secara terpusat), namun
cakupan pelayanannya masih sangat
terbatas.
ArahkebijakanRencanaPembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 mengamanatkan bahwa
pada tahun 2019 Indonesia bisa
mencapai 100% akses sanitasi layak.
Artinya, sampai akhir tahun tersebut,
setiap masyarakat Indonesia baik
yang tinggal di perkotaan maupun
kawasan perdesaan sudah memiliki
akses terhadap fasilitas sanitasi
yang layak (air limbah). Akan tetapi
dalam kenyataannya, pelayanan air
limbah sampai saat ini baru sebesar
60,91% (data Kementerian PU Tahun
2013). Masih terdapat “gap” yang
besar antara target tersebut dengan
kenyataan yang ada.Hal ini menjadi
gambaran bahwa hampir separuh dari
masyarakat Indonesia berada dibawah
ancaman dari potensi bahaya yang
akantimbulakibatairlimbahyangtidak
dikelola yaitu pencemaran lingkungan
yang berdampak kepada turunnya
tingkat kesehatan masyarakat dan
terhambatnya aktifitas perekonomian.
Pemerintah telah melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan kapasitas
dan kualitas pengelolaan air limbah
yang merupakan bagian dari
pengelolaan sanitasi dengan tujuan
menghindari buruknya sanitasi yang
terjadi di Indonesia, melalui antara lain:
(a) Konferensi Sanitasi Nasional yang
dilaksanakan bulan November tahun
2007, menghasilkan kesepakatan
mengenai langkah penting bagi
pembangunan sanitasi ke depan,
sejalan dengan pencapaian sasaran
Millennium Development Goals
(MDGs)5
; (b) Konvensi Strategi Sanitasi
Perkotaan yang dilaksanakan bulan
April tahun 2009. Pada acara tersebut
telah diidentifikasikan permasalahan
dan sasaran pembangunan sanitasi ke
depan serta menyepakati pendekatan
Strategi Sanitasi sebagai dasar
pembangunan sanitasi di daerah.
Ada 6 (enam) aspek yang
mempengaruhi penyelenggaraan
pengelolaan air limbah, yaitu: (a)
peraturan perundang-undangan
sebagai dasar hukum bagi
pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam
perencanaan, pelaksanaan, pembinaan
dan pengawasan untuk mewujudkan
hak masyarakat serta memfasilitasi
kewajiban masyarakat termasuk
pelaku usaha dalam pengelolaan air
limbah; (b) institusi atau kelembagaan
penyelenggara baik pada lingkup
Pemerintah daerah maupun
masyarakat; (c) sumber daya manusia
termasuk sumber daya aparatur
baik kualitas maupun kuantitas; (d)
tersedianya prasarana dan sarana
yang memadai; (e) pembiayaan
yang cukup untuk penyelenggaraan
pengelolaan air limbah; dan (f)
kepedulian masyarakat termasuk
pelaku usaha. Aspek tersebut dalam
satu sistem, yaitu sistem pengelolaan
air limbah sebagaimana dilustrasikan
pada Gambar berikut ini:
Gambar-1.1
Aspek dalam Sistem Pengelolaan Air Limbah
5. Menurut Laporan MDGs Indonesia 2011 pada tahun 2009 persentase yang sudah dicapai sebesar 69,51% rumah tangga dapat memperoleh akses
terhadap sanitasi layak pada kawasan perkotaan.
1110
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
7. Seluruh aspek seperti yang terlihat
dalam gambar diatas bermuara
kepada tuntutan kebutuhan untuk
penanganan air limbah secara
terpadu dan komprehensif mulai
dari: penyediaan fasilitas sarana dan
prasarana pengelohan air limbah;
pendanaan untuk operasional dan
pemeliharaan fasilitas sarana dan
prasarana pengelolaan air limbah;
pemicuan kesadaran masyarakat untuk
berperan serta, penataan organisasi/
kelembagaan pengelola air limbah,
pembentukan pengaturan mengenai
pengelolaan air limbah, dll. Mengingat
pentingnya hal-hal tersebut,
diperlukan suatu alat (tools) untuk
mengatur mengenai pengelolaan
air limbah, dalam bentuk peraturan
daerah, karena peraturan daerah
merupakan peraturan pelaksanaan
yang seharusnya dapat menjawab
kebutuhan masyarakat sesuai dengan
kewenangan pemerintah daerah yang
diberikan.
Untuk membantu Pemerintah
Daerah dalam menyusun Rancangan
Peraturan Daerah yang mengatur
tentang pengelolaan air limbah
domestik, strategi yang dilakukan
oleh Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PU-Pera)
c/q Direktorat Jenderal Cipta Karya,
DirektoratPengembanganPenyehatan
Lingkungan Permukiman (Direktorat
Pengembangan PLP) antara lain
dengan memfasilitasi penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah Domestik
melalui kegiatan Bantuan Teknis
(Bantek), dengan tujuan percepatan
terbentuknya Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah
Domestik.
Dalam rangka kelancaran
penyelenggaraan Bantek, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan
RakyatmembuatPanduanPenyusunan
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah Domestik.
1.2 PERATURAN DAERAH
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat
(1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Peraturan Daerah
merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan, yaitu peraturan
tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan
dibentukatauditetapkanolehlembaga
atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Peraturan Daerah selain melaksanakan
ketentuan lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi juga dapat mengatur aspek
khusus di bidang tertentu yang
terdapat atau dibutuhkan daerah
dan/atau masyarakat. Peraturan
Daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang mempunyai
kedudukan yang sangat strategis
dalam melaksanakan otonomi daerah
dan tugas pembantuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD
Tahun 1945.
1.2.1 Kedudukan Peraturan Daerah
Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945
menyebutkan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Hal
ini bermakna bahwa Indonesia adalah
Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan
negara kekuasaan (machtstaat).
Dengan demikian penyelenggaraan
kekuasaan negara didasarkan pada
prinsip-prinsip hukum sebagai
landasan untuk menjalankan program
pembangunan nasional. Ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut
sebagai bentuk titah konstitusi kepada
seluruh rakyat Indonesia terutama
para pejabat di tataran pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah untuk
dapat memposisikan hukum sebagai
titik tolak dalam bertingkah laku dan
merumuskan kebijakan publik.
Sebagai negara hukum dalam
mengimplementasikan berbagai
produk hukum menggunakan teori
norma hukum yang berjenjang
(hirarki) dalam artian bahwa produk
hukum yang berada dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan produk
hukum yang lebih tinggi diatasnya
(lex superior derogat legi inferior). Hal
ini sebagaimana diimplementasikan
dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang
menyebutkan hirarki norma hukum
yang dianut sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
3. U n d a n g - U n d a n g / P e ra t u ra n
Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
Jenis Peraturan Perundang-undangan
lain menurut Pasal 8 UU No. 12
Tahun 2011, mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi,BadanPemeriksaKeuangan,
1312
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
8. Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/
Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat, diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Peraturan Daerah dalam UU Nomor
12 Tahun 2011 dibedakan menjadi
Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota. Mengingat lingkup berlakunya
Peraturan Daerah hanya terbatas pada
daerah yang bersangkutan sedangkan
lingkup berlakunya Peraturan Menteri
mencakup seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia, maka dalam
hirarki, Peraturan Menteri berada
diatas Peraturan Daerah6
.
1.2.2 Fungsi Peraturan Daerah
Secara umum Peraturan Daerah
mempunyai berbagai fungsi, antara
lain sebagai berikut:
a. Sebagai instrumen kebijakan
melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan
otonomi daerah dan pembantuan
sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
b. sebagai peraturan pelaksanaan
dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Dalam
fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk
pada ketentuan hirarki peraturan
perundang-undangan. Makna
tunduk bahwa Peraturan Daerah
tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
c. sebagai instrumen untuk
penampung kekhususan dan
keragaman daerah serta penyalur
aspirasi masyarakat di daerah,
namun dalam pengaturannya
tetap dalam koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
d. sebagai alat pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan
daerah.
1.2.3 Landasan Pembentukan
Peraturan Daerah
Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah paling sedikit harus memuat 3
(tiga) landasan yaitu:
a. Landasan filosofis, adalah landasan
yang berkaitan dengan dasar atau
ideologi Negara;
b. Landasan sosiologis, adalah
landasan yang berkaitan dengan
kondisi atau kenyataan empiris
yang hidup dalam masyarakat,
dapat berupa kebutuhan atau
tuntutan yang dihadapi oleh
masyarakat, kecenderungan, dan
harapan masyarakat; dan
c. Landasan yuridis, adalah
landasan yang berkaitan dengan
kewenangan untuk membentuk,
kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, tata cara atau prosedur
tertentu, dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Mengingat Peraturan Daerah adalah
merupakan produk politis maka
kebijakan daerah yang bersifat politis
dapatberpengaruhterhadapsubstansi
Peraturan Daerah.Oleh karena itu,
perlu dipertimbangkan kebijakan
politis tersebut tidak menimbulkan
gejolak dalam masyarakat.
1.2.4 AsasdanPrinsipPembentukan
Peraturan Daerah
Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan termasuk
Peraturan Daerah, asas pembentukan
peraturan perundang-undangan harus
diperhatikan, sebagaimana tercantum
pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011, meliputi:
a. Kejelasan Tujuan, bahwa
setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau Pejabat
Pembentuk yang Tepat, bahwa
setiap jenis peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat
pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang karena
peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga Negara atau pejabat
yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian Antara Jenis, Hirarki,
dan Materi Muatan, bahwa
dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai
6. Kementerian Hukum dan Hak asasi Manusia RI, “Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah”
1514
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
9. dengan jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan.
d. Dapat Dilaksanakan, bahwa
setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis,
maupun yuridis.
e. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan,
bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
f. Kejelasan Rumusan, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan
harusmemenuhipersyaratanteknis
penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata
atau istilah, serta bahasa hukum
yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, bahwa dalam
proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai
perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan,
seluruh lapisan masyarakat perlu
diberi kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengetahui dan
memberikan masukan dalam
proses pembuatan peraturan
perundang-undangan agar
peraturan yang terbentuk menjadi
populis dan efektif.
Dalam kerangka pembentukan
peraturan perundang-undangan
termasuk Peraturan Daerah dibentuk
berdasarkan beberapa prinsip antara
lain sebagai berikut:
1. Prinsip tata susunan peraturan
perundang-undangan atau lex
superior derogate lex inferiori,
bahwa peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
2. Prinsip lex specialis derogate
lex generalis, bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih
khusus mengenyamping-kan
peraturan perundang-undangan
yang lebih umum.
3. Prinsip lex posterior derogate
lex priori, bahwa peraturan
perundang-undangan yang lahir
kemudian mengenyamping-kan
peraturan perundang-undangan
yang lahir terlebih dahulu jika
materi yang diatur peraturan
perundang-undangan tersebut
sama.
4. Prinsip keadilan, bahwa setiap
peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan
bagi setiap warga negara tanpa
terkecuali.
5. Prinsip kepastian hukum, bahwa
setiap peraturan perundang-
undangan harus dapat menjamin
kepastian hukum dalam upaya
menciptakan ketertiban dalam
masyarakat.
6. Prinsip pengayoman, bahwa
setiap peraturan perundang-
undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
7. Prinsip mengutamakan
kepentingan umum, bahwa
dalam peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan
keseimbangan antara
berbagai kepentingan dengan
mengutamakan kepentingan
umum.
8. Prinsip kebhinekatunggalikaan,
bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah,
sistem nilai masyarakat daerah,
khususnya yang menyangkut
masalah-masalah yang sensitif
dalam kehidupan masyarakat.
1.2.5 Kewenangan Pembentukan
Perda Pengelolaan Air
Limbah
Kewenangan pembentukan Peraturan
Daerah berada pada Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Peraturan Daerah ditetapkan
oleh Kepala Daerah setelah mendapat
persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai
dasar kewenangan pembentukan
Peraturan Daerah diatur dalam:
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan:
”Pemerintah Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”
b. Pasal 65 ayat (2) huruf b, Pasal 154
ayat (1) huruf a, Pasal 236 ayat (2),
dan Pasal 242 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
1716
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
10. tentang Pemerintahan Daerah,
masing-masing Pasal tersebut
selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 65 ayat (2) huruf b :
”Kepala Daerah mempunyai tugas
dan wewenang menetapkan Perda
yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD”
Pasal 154 ayat (1) huruf a :
”DPRD mempunyai tugas dan
wewenang membentuk Perda yang
dibahas dengan Kepala Daerah
untuk mendapat persetujuan
bersama”
Pasal 242 ayat (1) :
“Rancangan Perda Yang telah
disetujui bersama oleh DPRD dan
Kepala daerah disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada Kepala
Daerah untuk ditetapkan menjadi
Perda”
Pasal 236 ayat (2) :
”Perda dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama
Kepala Daerah ”
Berdasarkan penyelenggaraan
pemerintahan daerah, air limbah
merupakan sub urusan dari urusan
pemerintahan bidang pekerjaan umum
dan penataan ruang. Urusan tersebut
termasuk urusan wajib berkaitan
dengan pelayanan dasar sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf c Undang-Undang (UU) No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, maka wajib diselenggarakan
semua daerah7
. Meskipun demikian,
bukan berarti Pemerintah Pusat dan
Provinsi tidak memiliki wewenang
dalam penyelenggaraan sub urusan
air limbah. Pembagian kewenangan
sub urusan air limbah sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah Pusat
dalampenyelenggaraansuburusan
pengelolaan air limbah, meliputi:
(a) penetapan pengembangan
sistem pengelolaan air limbah
domestik secara nasional; (b)
pengelolaan dan pengembangan
sistem pengelolaan air limbah
domestik lintas daerah provinsi,
dan sistem pengelolaan air limbah
domestik untuk kepentingan
strategis nasional.
2. Daerah Provinsi
Kewenangan provinsi dalam
penyelenggaraan pengelolaan air
limbah adalah pengelolaan dan
pengembangan sistem air limbah
domestik regional.
3. Daerah Kabupaten/Kota
Kewenangan Daerah Kabupaten/
Kota dalam penyelenggaraan
sub urusan air limbah adalah
pengelolaan dan pengembangan
sistem air limbah domestik dalam
daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan pembagian kewenangan
dalam penyelenggaraan sub urusan air
limbah berdasarkan UU No. 23 Tahun
2014 tersebut di atas, memberikan
makna penyelenggaraan pengelolaan
air limbah tidak hanya menjadi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab
Daerah Kabupaten/Kota melainkan
juga menjadi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab Daerah Provinsi dan
Pemerintah Pusat. Sejalan hal tersebut,
Pemerintah Pusat melalui Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat telah menetapkan kebijakan
dan strategi nasional pengembangan
sistem pengelolaan air limbah dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No. 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan
Sistem Pengelolaan Air Limbah
Permukiman (KSNP-SPALP). Menurut
Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut
menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal Daerah belum
mempunyai pengaturan
pengembangan sistem
pengelolaan air limbah
permukiman, maka ketentuan
dan rencana pengembangan
sistem pengelolaan air limbah
permukiman di daerah perlu
disiapkan dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah, mengacu pada
Peraturan Menteri ini.
(2) Bagi Daerah telah mempunyai
Peraturan Daerah tentang
pengembangan sistem
pengelolaanairlimbahpermukiman
sebelum Peraturan Menteri ini
diterbitkan, agar Peraturan Daerah
tersebut disesuaikan berdasarkan
ketentuan yang dimaksud dalam
Peraturan Menteri ini.
7. Lihat definisi urusan wajib dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
1918
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
11. TAHAPAN PEMBENTUKAN
PERATURAN DAERAH
Pembentukan Peraturan Daerah
menurut Pasal 1 angka 18 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, adalah
pembuatan peraturan perundang-
undangan daerah yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, dan
pengundangan dan penyebarluasan.
Usulan pembentukan produk hukum
daerah (dalam hal ini Peraturan
Daerah) dapat berasal dari dua
jalur, yaitu atas usulan eksekutif
(Pemerintah Daerah) dan atas usulan
legislatif (DPRD). Proses dalam tiap-
tiap tahapan tersebut sebagai berikut:
2.1 PERENCANAAN
Tahapan perencanaan penyusunan
Peraturan Daerah menurut Pasal 10
PeraturanMenteriDalamNegeriNomor
80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, sebagai
berikut: (1) penyusunan Program
Pembentukan Perda (Propemperda);
(2) perencanaan penyusunan
rancangan perda kumulatif terbuka; (3)
perencanaan penyusunan rancangan
perda di luar Propemperda. Masing-
BAB 2
masing kegiatan tersebut, secara rinci
sebagai berikut:
2.1.1 PenyusunaWn Program
Pembentukan perda
(PROPEMPERDA)
Secara umum tahapan penyusunan
Propemperda dapat dibagi dalam 4
(empat) tahap (lihat Gambar 1), yaitu:
1. Penyusunan daftar Rancangan
Perda
Pada tahap penyusunan daftar
RancanganPerdabaikyangberasal
dari eksekutif maupun legislative,
masing-masing menyusun usulan
Rancangan Perda yang akan
disusun selama 1 (satu) tahun
ke depan. Untuk penyusunan
Propemperda yang berasal dari
eksekutif, dikoordinasikan oleh
pimpinan perangkat daerah
yang membidangi hukum,
sedangkan untuk penyusunan
Propemperda yang berasal dari
DPRD, koordinasinya dilakukan
oleh Badan Pembentukan Perda
(Bapemperda). Penyusunan
2120
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
12. daftar Rancangan Perda tersebut
didasarkan pada:
- Perintah peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi;
- Rencana pembangunan
daerah;
- Penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan;
dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
2. Penyusunan daftar urutan
berdasarkan skala prioritas
Setelah daftar Rancangan Perda
disusun, tahap selanjutnya adalah
penyusunan daftar urutan yang
ditetapkan berdasarkan skala
prioritas. Penetapan skala prioritas
pembentukan Rancangan Perda
dilakukan oleh Bapemperda
dan perangkat daerah yang
membidangi hukum berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
- Perintah peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi
- Rencana pembangunan
daerah;
- Penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan;
dan
- Aspirasi masyarakat daerah.
3. Penyepakatan hasil penyusunan
Propemperda
Hasil penyusunan Propemperda
antara DPRD dan Pemerintah
Daerah (eksekutif) disepakati
menjadi Propemda.
4. Penetapan Propemperda
Propemperda yang telah
disepakati bersama kemudian
ditetapkan dalam rapat paripurna
DPRD dengan keputusan DPRD.
2.1.2 Perencanaan Penyusunan
Rancangan Perda Kumulatif
Terbuka
Rancangan perda kumulatif terbuka
merupakan rancangan perda di luar
daftar prioritas pada Propemperda
yang dalam keadaan tertentu dapat
diajukan penyusunannya. Adapun
yang dapat dimuat dalam daftar
kumulatif terbuka adalah rancangan
perda:
(a) akibat putusan Mahkamah Agung;
dan
(b) APBD
2.1.3 Perencanaan Penyusunan
Rancangan Perda Di Luar
Propemperda
Dalam keadaan tertentu, penyusunan
Rancangan Perda di luar daftar
Propemperda dapat dilakukan dengan
alasan sebagai berikut:
a) Mengatasi keadaan luar biasa,
keadaan konflik atau bencana
alam;
b) Menindaklanjuti kerja sama dengan
pihak lain;
c) Mengatasi keadaan tertentu
lainnya yang memastikan adanya
urgensi atas suatu Rancangan
Perda yang disetujui bersama
oleh alat kelengkapan DPRD
yang khusus menangani bidang
pembentukan Perda dan unit yang
menangani bidang hukum pada
Pemerintah Daerah;
d) Akibat pembatalan oleh Menteri
Dalam Negeri untuk Perda Provinsi
dan oleh gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat untuk Perda
Kabupaten/Kota; dan
e) Perintah dari ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih
tinggi setelah Propemperda
ditetapkan.
2.2 PENYUSUNAN
Tahap Penyusunan Rancangan Perda
merupakan tahap penyiapan sebelum
sebuah Rancangan Perda dibahas
bersama antara DPRD dengan
Pemerintah Daerah. Penyusunan
ini dilakukan berdasarkan daftar
Rancangan Perda pada Propemperda
dan usulannya dapat berasal dari
eksekutif maupun legislatif. Secara
umum, untuk menyusun sebuah
Rancangan Perda, diawali dengan
penyusunan naskah akademik. Dari
naskah akademik, suatu Rancangan
Perda dirumuskan.
Gambar 1. Tahapan Penyusunan Propemperda
01
02
03
PENYUSUNAN
DAFTAR
RANCANGAN
PERDA
PENYUSUNAN
DAFTAR
URUTAN
BERDASARKAN
SKALA PRIORIS
PENYEPAKATAN
HASIL
PENYUSUNAN
PROPEMPERDA
04
PENETAPAN
PROPEMPERDA
2322
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
13. 2.2.1 Penyusunan Naskah
Akademik
Berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah, naskah akademik merupakan
dokumen yang harus disertakan dalam
pengajuan Rancangan Perda dan
menjadi pedoman dalam penyusunan
Rancangan Perda. Naskah akademik
paling sedikit memuat pokok pikiran
dan materi muatan yang akan diatur
dalam perda.
Untuk penyusunan Rancangan Perda
yang diusulkan oleh pihak eksekutif,
naskah akademik disusun/disiapkan
oleh pimpinan perangkat daerah
(kepala SKPD pemrakarsa) dengan
mengikutsertakan perangkat daerah
yang membidangi masalah hukum
(Bagian Hukum Kabupaten/Kota).
Sedangkan untuk Rancangan Perda
yang disulkan oleh legislatif (DPRD),
penyusunan naskah akademiknya
dikoordinasikan oleh Bapemperda.
Dalam melakukan penyusunan
naskah akademik di lingkungan
Pemerintah Daerah, pemrakarsa dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari
kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
hukum dan pihak ketiga yang memiliki
keahlian sesuai dengan Perda yang
akan disusun. Setelah itu, perangkat
daerah yang membidangi hukum
melakukan penyelarasan naskah
akademik Rancangan perda terhadap
sistematika dan materi muatan. Naskah
akademik yang sudah diselaraskan
kemudian menjadi pedoman dalam
penyusunan Rancangan Perda.
2.2.2 Penyusunan Rancangan Perda
di Lingkungan Pemerintah
Daerah
Untuk Penyusunan Rancangan Perda
di lingkungan pemerintah daerah
setelah naskah akademik disusun dan
diselaraskan, secara lebih rinci adalah
sebagai berikut:
1. Penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah.
Tahapan dalam penyusunan
rancangan Peraturan Daerah
sebagai berikut:
- Kepala daerah memerintahkan
perangkat daerah pemrakarsa
untuk melakukan Penyusunan
Rancangan Perda berdasarkan
daftar pada propemperda.
- Kepala daerah membentuk tim
penyusunan Rancangan Perda
melalui surat keputusan (SK)
Kepala Daerah. Tim penyusun
tersebut terdiri dari seorang
ketua yang ditunjuk langsung
oleh perangkat daerah
pemrakarsa. Jika ketua tim
yang ditunjuk bukan pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa
sendiri, maka pimpinan
perangkat daerah pemrakarsa
tetap bertanggungjawab
terhadap materi muatan
dalam Rancangan Perda yang
disusun. Keanggotaan tim
penyusun terdiri dari:
o kepala daerah;
o sekretaris daerah;
o perangkat daerah pemrakarsa;
o perangkat daerah yang
membidangi hukum;
o perangkat daerah terkait
lainnya; dan
o perancang peraturan
perundang-undangan.
- Dalam melaksanakan
tugasnya, ketua tim penyusun
memberikan laporan
kepada sekretaris daerah
mengenai perkembangan
dan permasalahan dalam
penyusunan Rancangan Perda
untuk mendapatkan arahan
atau keputusan.
- Rancangan Perda yang
telah disusun pada langkah
sebelumnya kemudian
diberikan paraf bersama oleh
ketua tim dan perangkat
daerah pemrakarsa.
- Selanjutnya, ketua tim
penyusun menyampaikan hasil
Rancangan Perda yang telah
disusun kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah
untuk selanjutnya dilakukan
harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
2. Harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
Tahapan kegiatan harmonisasi,
pembulatan dan pemantapan
konsepsi adalah sebagai berikut:
- Sekretaris daerah menugaskan
kepada perangkat darah yang
membidangi hukum untuk
mengkoordinasikan kegiatan
harmonisasi, pembulatan dan
pemantapan konsepsi.
- Dalam koordinasi oleh
perangkat daerah yang
membidangi hukum, rapat/
pembahasan dilakukan untuk
harmonisasi, pembulatan
dan pemantapan konsepsi
Rancangan Perda.
- Rancangan Perda hasil
p e n g h a r m o n i s a s i a n ,
2524
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
14. Gambar 2.Alur Penyusunan Rancangan Perda di Lingkungan Pemerintah Daerah
pembulatan dan pemantapan
konsepsi kemudian
disampaikan oleh Sekretaris
Daerah kepada perangkat
daerah pemrakarsa dan
pimpinan perangkat daerah
lainnya (yang tergabung di Tim
Penyusun) untuk mendapatkan
paraf persetujuan pada setiap
halaman Rancangan Perda.
- Sekretaris daerah
menyampaikan Rancangan
Perda yang telah diparaf
pada tahap sebelumnya
kepada kepala daerah
untuk mendapatkan paraf
persetujuan sebagai konsep
akhir Rancangan Perda.
- Sebelum konsep akhir
rancangan perda disampaikan
oleh kepala daerah ke DPRD
untuk pembahasan, ketua tim
penyusun harus memaparkan
konsep akhir Rancangan
Perda tersebut kepada Kepala
Daerah.
PENYUSUNAN PENJELASAN ATAU
KETERANGAN DAN/ATAU NASKAH
AKADEMIK
PENYUSUNAN RANCANGAN PERDA
HARMONISASI, PEMBUATAN, DAN
PEMANTAPAN KONSEPSI
PEMBERIAN PARAF PERSETUJUAN
KONSEP AKHIR RANCANGAN PERDA
01
02
03
04
2.2.3 Penyusunan Rancangan
Perda di Lingkungan DPRD
Untuk penyusunan Rancangan Perda
di lingkungan DPRD, sebagai berikut:
1. Rancangan Perda dapat
diajukan oleh anggota DPRD,
komisi, gabungan komisi, atau
Bapemperda berdasarkan daftar
pada Propemperda. Rancangan
tersebut disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD
disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah
akademik.
2. Sekretariat DPRD memberikan
nomor pokok kepada Rancangan
Perda yang disampaikan.
3. DalamhalRancanganPerdadisertai
penjelasan atau keterangan, maka
di dalamnya memuat:
a. Pokok pikiran dan materi
muatan yang diatur
b. Daftar nama; dan
c. Tanda tangan pengusul
4. Dalam hal Rancangan Perda
disertai naskah akademik, maka
naskah akademik tersebut telah
terlebih dahulu melalui pengkajian
dan penyelarasan, serta memuat:
a. Latar belakang dan tujuan
penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, ruang lingkup,
atau objek yang akan diatur;
dan
d. Jangkauan dan arah
pengaturan
5. Pimpinan DPRD menyampaikan
Rancangan Perda kepada
Bapemperda untuk dilakukan
pengkajian dalam rangka
pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi
Rancangan Perda.
6. Hasil pengkajian rancangan perda
kemudian disampaikan oleh
Bapemperda kepada pimpinan
DPRD untuk selanjutnya dibahas
dalam rapat paripurna DPRD.
Sebelum dilakukan pembahasan
di rapat paripurna, pimpinan
DPRD harus menyampaikan
hasil pengkajian tersebut kepada
anggota DPRD paling lama 7
(tujuh) hari sebelumnya.
7. Mekanisme rapat paripurna DPRD
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengusul memberikan
penjelasan;
b. Fraksi dan anggota DPRD
lainnya memberikan
pandangan; dan
c. Pengusul memberikan jawaban
atas pandangan fraksi dan
anggota DPRD lainnya.
2726
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
15. 8. Rapat paripurna DPRD tersebut
kemudian memutuskan usulan
Rancangan Perda. Putusan yang
dihasilkan dapat berupa:
- Persetujuan;
- Persetujuan dengan
pengubahan; atau
- Penolakan.
9. Apabila keputusan diatas berupa
persetujuan dengan pengubahan,
maka pimpinan DPRD menugaskan
komisi, gabungan komisi,
Bapemperda atau panitia khusus
untuk melakukan penyempurnaan.
10. Setelah penyempurnaan dilakukan,
maka hasilnya disampaikan
kembali kepada pimpinan DPRD.
2.3 PEMBAHASAN
Rancangan perda yang telah disusun
pada tahap penyusunan selanjutnya
dibahas oleh DPRD dan pemerintah
daerah untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Pembahasan
rancangan perda yang berasal dari
kepala daerah disampaikan melalui
surat pengantar kepala daerah
kepada pimpinan DPRD. Sedangkan
pembahasan rancangan perda yang
disusun oleh DPRD disampaikan
melalui surat pengantar pimpinan
DPRD kepada kepala daerah. Surat
pengantar tersebut paling sedikit
berisikan latar belakang dan tujuan
dari penyusunan, sasaran yang
ingin diwujudkan, dan materi pokok
yang diatur yang menggambarkan
keseluruhan substansi rancangan
perda. Untuk rancangan perda
yang disusun berdasarkan naskah
akademik, maka pada surat pengantar
penyampaian rancangan perda juga
disertakan naskah akademik. Apabila
dalam satu masa sidang, DPRD
dan kepala daerah menyampaikan
rancangan perda dengan materi
yang sama, maka yang dibahas
adalah rancangan perda yang berasal
dari DPRD dengan menggunakan
rancangan perda dari kepala daerah
sebagai sandingan.
Dalam melakukan pembahasan, kepala
daerah membentuk tim pembahasan
yang diketuai oleh sekretaris daerah
atau pejabat yang ditunjuk. Ketua
tim bertugas untuk melaporkan
setiap perkembangan dan/atau
permasalahan dalam pembahasan
yang dilakukan kepada kepala
daerah,untuk mendapatkan arahan
dan keputusan.
Pembahasan rancangan perda
antara DPRD dan pemerintah daerah
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan
tingkat I dan pembicaraan tingkat II.
Urutan kegiatan pembahasan adalah
sebagai berikut:
1. Pembicaraan tingkat I
Untuk Rancangan Perda yang
berasal dari eksekutif maka urutan
kegiatannya adalah sebagai
berikut:
a. Penjelasan kepala daerah
dalam rapat paripurna
mengenai Rancangan Perda;
b. Pemandangan umum fraksi
terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban
kepala daerah terhadap
pemandangan umum fraksi.
d. Pembahasan dalam rapat
komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan
bersama dengan kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya
Untuk Rancangan Perda berasal
dari legislatif maka urutan
kegiatannya adalah sebagai
berikut:
a. Penjelasan pimpinan komisi,
pimpinan gabungan komisi,
pimpinan Bapemperda, atau
pimpinan panitia khusus dalam
rapat paripurna mengenai
Rancangan Perda;
b. Pendapat kepala daerah
terhadap Rancangan Perda;
dan
c. Tanggapan dan/atau jawaban
fraksi terhadap pendapat
kepala daerah.
d. Pembahasan dalam rapat
komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan
bersama dengan kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk
untuk mewakilinya
2. Pembicaraan tingkat II, meliputi:
a. Pengambilan keputusan dalam
rapat paripurna yang didahului
dengan:
1) penyampaianlaporanpimpinan
komisi/pimpinan gabungan
komisi/ pimpinan panitia
khusus yang berisi pendapat
fraksi dan hasil pembahasan;
dan
2) Permintaan persetujuan dari
anggota secara lisan oleh
pimpinan rapat paripurna.
b. Pendapat akhir kepala daerah.
Rancangan Perda apabila disetujui
bersama oleh DPRD dan kepala
2928
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
16. Gambar 3. Diagram Alur Pembahasan Rancangan Perda
daerah, selanjutnya disampaikan oleh
pimpinan DPRD kepada kepala daerah
untukditetapkanmenjadiPerda.Dalam
hal persetujuan tidak dapat dicapai
secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak. Apabila Rancangan Perda
tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPRD dan kepala daerah, maka
Rancangan Perda tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPRD
masa itu.
Rancangan Perda dapat ditarik
kembali sebelum dibahas bersama
oleh DPRD dan kepala daerah.
Penarikan kembali Rancangan Perda
oleh kepala daerah, disampaikan
dengan surat kepala daerah disertai
dengan alasan penarikan. Begitu
pula apabila DPRD ingin melakukan
penarikan kembali Rancangan Perda,
dilakukan dengan keputusan pimpinan
DPRD disertai juga dengan alasan
penarikan. Rancangan Perda yang
sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan
bersama DPRD dan kepala daerah.
Penarikan kembali Rancangan Perda
hanya dapat dilakukan dalam rapat
paripurna DPRD yang dihadiri oleh
kepala daerah. Rancangan Perda yang
ditarik kembali tidak dapat diajukan
lagi pada masa sidang yang sama.
2.4 PENETAPAN
2.4.1 Pemberian Nomor Register
Setelah ada persetujuan bersama
antara DPRD dan kepala daerah
terkait Rancangan Perda yang
dibahas bersama, tahap selanjutnya
adalah pengesahan atau penetapan
Rancangan Perda. Namun demikian,
sebelum Rancangan Perda ditetapkan
menjadi suatu Perda, kepala
daerah wajib untuk menyampaikan
Rancangan Perda kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat paling
lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
menerima Rancangan Perda dari
pimpinan DPRD untuk mendapatkan
nomor register (noreg) Perda. Setelah
itu, noreg Rancangan Perda akan
diberikan oleh gubernur paling lama
7 (tujuh) hari sejak Rancangan Perda
tersebut diterima.
2.4.2 Penandatanganan
Rancangan Perda yang telah
mendapatkan noreg kemudian
disahkan oleh kepala daerah dengan
cara membubuhkan tanda tangan
pada naskah Rancangan Perda.
Penandatanganan tersebut dilakukan
oleh kepala daerah dalam jangka
waktu maksimal 30 hari terhitung
sejak tanggal Rancangan Perda
tersebut disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah. Jika kepala daerah
tidak menandatangani Rancangan
Perda tersebut sesuai waktu yang
ditetapkan, maka Rancangan Perda
tersebut otomatis menjadi Perda dan
wajib untuk diundangkan ke dalam
lembaran daerah.
3130
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
17. Penandatanganan dapat dilakukan
oleh pelaksana tugas, pelaksana
harian atau pejabat kepala daerah jika
kepala daerah berhalangan sementara
atau tetap. Penandatanganan tersebut
dibuat 4 (empat) rangkap, kemudian
naskah aslinya didokumentasikan oleh:
(1) DPRD; (2) sekretaris daerah; (3)
perangkat daerah yang membidangi
hukum; dan (4) perangkat daerah
pemrakarsa.
2.4.3 Penomoran
Penomoran Perda dilakukan oleh
perangkat daerah yang membidangi
urusan hukum (dalam hal ini kepala
bagian hukum). Penomoran untuk
perda menggunakan nomor bulat.
2.5 PENGUNDANGAN
Pengundangan merupakan
pemberitahuan secara formal suatu
Perda sehingga mempunyai daya
ikat pada masyarakat.Perda yang
telah ditetapkan, diundangkan
dalam lembaran daerah, sedangkan
penjelasan Perda dimuat dalam
Tambahan Lembaran Daerah dan
ditetapkan bersamaan dengan
pengundangan Perda. Setelah Perda
diundangkan maka secara hukum
Perda tersebut mulai berlaku dan
mempunyai kekuatan mengikat
pada tanggal diundangkan kecuali
ditentukan lain di dalam Perda
tersebut.
Perda diundangkan oleh sekretaris
daerah dan disampaikan kepada
gubernur (atau ke Menteri Dalam
Negeri untuk Perda Provinsi). Apabila
sekretaris daerah berhalangan, maka
pengundangan Perda dilakukan oleh
pelaksana tugas atau pelaksana harian
sekretaris daerah. Selanjutnya Perda
dimuat dalam Jaringan Dokumentasi
dan Informasi Hukum.
AUTENTIFIKASI
Autentifikasi adalah salinan produk
hukum daerah sesuai dengan
aslinya. Setiap Perda yang sudah
ditandatangani dan diberikan
penomoran selanjutnya harus
dilakukan autentifikasi. Autentifikasi
Perda kabupaten/kota dilakukan oleh
kepala bagian hukum kabupaten/kota.
2.6 PENYEBARLUASAN
Secara prinsip, penyebarluasan
dilakukan semenjak tahapan
Penyusunan Propemperda,
Penyusunan Rancangan Perda,
Penyusunan Naskah Akademik dan
Pembahasan Rancangan Perda.
Penyebarluasan bertujuan untuk
dapat memberikan informasi dan
memperoleh masukan masyarakat
dan para pemangku kepentingan
mengenai rancangan perda yang
disusun.
Penyebarluasan pada tahapan
Penyusunan Propemperda,
pelaksanaannya dilakukan bersama
oleh pemerintah daerah dan
DPRD yang dikoordinasikan oleh
Bapemperda. Penyebarluasan
pada tahapan Penyusunan Naskah
Akademik dan Penyusunan
Rancangan Perda yang berasal dari
inisiatif legislatif, dilaksanakan oleh alat
kelengkapan DPRD, sedangkan untuk
yang berasal dari inisiatif eksekutif
dilaksanakan oleh sekretaris daerah
bersama dengan perangkat daerah
pemrakarsa.
Bagi perda yang telah diundangkan
maka penyebarluasan dilakukan
bersama oleh pemerintah daerah
dan DPRD. Naskah Perda yang
disebarluaskan tersebut harus
merupakan salinan naskah Perda
yang telah diautentifikasi dan
diundangkan dalam Lembaran Daerah
dan Tambahan Lembaran Daerah.
Secara khusus, kepala daerah memiliki
kewajiban untuk menyebarluaskan
Perda yang telah diundangkan, bagi
yang tidak melakukan, terdapat sanksi
secara administratif berupa teguran
tertulis.
3332
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
18. PENYUSUNAN NASKAH
AKADEMIK
3.1 UMUM
Kedudukan Peraturan Daerah menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu bahwa Peraturan
Daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh
sebab itu, sebagaimana menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penyusunan suatu Rancangan
Peraturan Daerah harus disertai dengan Naskah Akademik dan/atau penjelasan,
serta dilakukan sesuai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana termuat
dalam Lampiran UU No. 12 Tahun 2011.
Pengertian Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12
Tahun2011,adalahnaskahhasilpenelitianataupengkajianhukumdanhasilpenelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut, Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah, adalah naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap masalah air limbah
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan air
limbah dalam Rancangan Peraturan Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan
air limbah dan dasar hukum masyarakat baik bagi Pemerintah Daerah maupun
masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, secara umum Naskah Akademik memuat
gagasan pengaturan atau materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah yang telah ditinjau secara sistemik-holistik-futuristik
dari berbagai aspek ilmu yang terkait dilengkapi dengan referensi yang memuat
urgensi, konsepsi, landasan, atas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta
BAB 3 3534
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
19. pemikiran tentang norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal
dengan mengajukan beberapa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian yang
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan bidang ilmu
yang terkait dengan air limbah.
Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu Naskah Akademik urgensi dibentuknya
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah yang secara umum
menggambarkan sekurang-kurangnya:
a. Hasil inventarisasi peraturan perundang-undangan baik nasional maupun
daerah;
b. Hasil inventarisasi permasalahan air limbah yang dihadapi baik Pemerintah
Daerah maupun masyarakat saat ini dan akan datang;
c. Alasan diperlukannya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah;
d. Gagasan mengenai materi muatan yang dituangkan ke dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah;
e. Konsepsi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan;
f. Pemikiran mengenai norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-
pasal;
g. Gagasan awal naskah Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan: bab demi bab, serta pasal demi pasal.
3.2 SISTEMATIKA
Persyaratan membentuk suatu Peraturan Daerah menurut UU No. 12 Tahun 2011
harus disertai dengan Naskah Akademik, yaitu naskah hasil pengkajian hukum
terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Peraturan
Daerah sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat
serta dilakukan sesuai teknik penyusunan Naskah Akademik.
Untuk memudahkan dalam penyusunan Naskah Akademik, negara melalui UU
No. 12 Tahun 2011 memberikan pedoman Penyusunan Naskah Akademik dengan
sistematika sebagai berikut:
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
TERKAIT
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,
ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
BAB VI PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Uraian singkat setiap bagian diatas yang telah disesuaikan untuk naskah akademik
rancangan perda tentang pengelolaan air limbah domestik adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan
dan kegunaan, serta metode yang digunakan.
A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah
Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah. Latar belakang tersebut menjelaskan
mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Air Limbah memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi
3736
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
20. muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah.
Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi
filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah.
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan
ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya
identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat)
pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat
dalam pengelolaan air limbah serta bagaimana permasalahan tersebut
dapat diatasi?
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut,
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam
pengelolaanairlimbah,masyarakatsertacara-caramengatasipermasalahan
tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah, sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan
dalam pengelolaan air limbah.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan atau
referensi dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah.
D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
penelitian, sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum
dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
• Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal.
• Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah
(terutama) data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan
atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,
dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan
wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.
• Metodeyuridisempirisatausosiolegaladalahpenelitianyangdiawalidengan
penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-
undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam
serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum
yang terkait dan yang berpengaruh terhadap pengelolaan air limbah yang
akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan
pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan daerah dari
pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah. Bab
ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:
A. Kajian teoretis, memuat antara lain teori pengelolaan air limbah (baik domestik
maupun non domestik sesuai kebutuhan) disertai dengan aspek prasarana
dan sarana yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pengelolaan air limbah
tersebut berdasarkan teoritis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis
terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang
3938
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
21. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah yang dibentuk
dengan mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, landasan filosofis dibentuknya
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah, merupakan
harapan atau keinginan Pemerintah Daerah dan Masyarakat baik saat ini mapun
akan datang.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air
Limbah yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai
aspek antara lain aspek kesehatan dan lingkungan hidup. Landasan sosiologis
tersebut sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah air limbah saat ini dan kebutuhan atau keinginan masyarakat dan
Pemerintah Daerah dimasa mendatang.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah yang
dibentuk untuk mengatasi permasalahan air limbah atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah
atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah, sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang
kehidupan terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat,
yang berasal dari hasil penelitian.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan pengelolaan air limbah saat ini dan
akan datang serta permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah terhadap
aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan kehidupan masyarakat dan
dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah dan masyarakat.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
Memuat hasil harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait, keterkaitan
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri
dan Peraturan Daerah yang ada dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah.
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan dimaksudkan di atas ditujukan
untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait baik lingkup
nasionalmaupundaerahantaralainpenyelenggaraanpemerintahan,ketataruangan,
bangunan gedung, lingkungan hidup, kesehatan, prasarana dan sarana pengelolaan
air limbah, keuangan daerah, kelembagaan, kerjasama dan kemitraan, perizinan,
bentuk pelibatan masyarakat dan pelaku usaha, yang kesemuanya menjadi materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah. Dalam
kajian ini diketahui posisi dari Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan
Air Limbah.
Analisis ini dapat menggambarkan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang ada serta posisi dari Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian tersebut menjadi bahan bagi
penyusunan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah yang akan dibentuk.
4140
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
22. Pengelolaan Air Limbah. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan
yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama
sekali belum ada.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah. Dalam Bab
ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang
akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan
yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.
Materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah
sekurang-kurangnya memuat:
a. tujuan dan sasaran;
b. hak dan kewajiban masyarakat dan pelaku usaha;
c. tugas, wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan dan pengembangan sistem pengelolaan air limbah (SPAL
setempat, SPAL terpusat, penyelenggaraan SPAL seperti: perencanaan,
pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana pengolahan air
limbah);
e. perizinan;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. insentif dan disinsentif;
h. kelembagaan;
i. retribusi pelayanan air limbah;
j. pembiayaan;
k. peran serta masyarakat;
l. larangan;
m. pembinaan dan pengawasan;
n. sanksi administratif; dan
o. ketentuan pidana (bila diperlukan)..
BAB VI PENUTUP
Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran.
A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik
penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya.
B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah di bawahnya berupa
Peraturan Bupati/Walikota.
2. Rekomendasi skala prioritas penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
dalam Program Legislasi Daerah.
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka memuat buku, peraturan perundang-undangan yang menjadi
bahan penyusunan Naskah Akademik.
LAMPIRAN
KONSEP RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR
LIMBAH
4342
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
23. 3.3 TAHAPAN PENYUSUNAN
Mekanisme penyusunan naskah akademik sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, sebagai
berikut:
1. Pemrakarsa menyiapkan/menyusun naskah akademik. Dalam menyusun naskah
akademik, pemrakarsa mengikutsertakan perangkat daerah yang membidangi
hukum (bagian hukum).
2. Naskah akademik yang telah disusun oleh pemrakarsa kemudian disampaikan
kepada perangkat daerah yang membidangi hukum untuk dilakukan
penyelarasan.
3. Penyelarasan dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum
dan diselenggarakan dalam bentuk rapat penyelarasan yang mengundang
(mengikutsertakan) para pemangku kepentingan.
4. Perangkat daerah yang membidangi hukum menyampaikan naskah akademik
hasil penyelarasan kepada sekretaris daerah.
5. Sekretaris daerah kemudian menyampaikan kembali naskah akademik
hasil penyelarasan kepada perangkat daerah (pemrakarsa) disertai dengan
penjelasan hasil penyelarasan. (Alur penyusunan naskah akademik seperti
pada Gambar dibawah)
Gambar 4. Alur Penyusunan Naskah Akademik di Lingkungan Pemerintah Daerah
4544
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
24. PENYUSUNAN RANCANGAN
PERDA PENGELOLAAN AIR LIMBAH
4.1 TEKNIK PENYUSUNAN
4.1.1 Bahasa Peraturan Daerah
Bahasa Peraturan Daerah pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa
Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun
pengejaannya.Namun mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai
dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.
Tata bahasa yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu Rancangan
Peraturan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagai
berikut:
1. Ciri-ciri bahasa peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan
tujuan atau maksud);
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten;
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam
bentuk tunggal;
Contoh:
WWkawasan-kawasan ditulis kawasan
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama
institusi, lembaga pemerintah atau ketatanegaraan, dan jenis peraturan
perundang-undangan dan rancangan peraturan perundang-undangan
dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.
BAB 4 4746
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
25. Contoh:
- Pemerintah Daerah
- DPRD
- Rancangan Peraturan Daerah
2. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah digunakan kalimat yang
tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Walikota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Daerah ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1) Permohonan kepada Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
3. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya
dalam kalimat tidak jelas.
4. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Daerah gunakan kaidah tata bahasa
Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut izin usahanya.
5. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui
umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan
blanko;
b. jumlah blanko yang dicetak; dan
c. jumlah dokumen yang diterbitkan.
6. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum
tanpa membuat definisi baru.
7. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu
menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari.
Contoh:
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik:
Pertanian meliputi perkebunan, perternakan, dan perikanan.
8. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan:
a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang
sama.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian
penghasilan.Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal
telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan
menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian
penghasilan.
b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda.
Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan
atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan
pengertian pengamanan.
Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan
frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang
dari.
9. Untuk menghindari perubahan nama Dinas, penyebutan Dinas menggunakan
penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud.
Contoh:
Dinas adalah Dinas yang menyelenggarakan sub urusan persampahan.
4948
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
26. 10. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah
disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: (a)
mempunyai konotasi yang cocok; (b) lebih singkat bila dibandingkan dengan
padanannya dalam Bahasa Indonesia; (c) mempunyai corak internasional; (d)
lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau (e) lebih mudah dipahami
daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
1. devaluasi (penurunan nilai uang)
2. devisa (alat pembayaran luar negeri)
11. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam
penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa
asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring,
dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ).
Contoh:
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court)
2. penggabungan (merger)
12. Gunakan kata paling untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum
dalam menentukan ancaman ketentuan pidana atau batasan waktu.
Contoh:
… dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan
jangka waktu;
Contoh 1:
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Contoh 2:
Walikota menugasi Sekretaris Daerah yang mewakili untuk membahas
Rancangan Peraturan Daerah bersama DPRD dalam waktu paling lama 60
(enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPRD diterima.
b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan
batas waktu.
Contoh:
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada Dinas paling lambat
tanggal 22 Juli 2011.
c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak;
d. jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi.
13. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 29
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat,
dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana,
atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini.
14. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan
dibatasi hanya kata yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1 angka 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak
alat angkut.
15. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh:
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76,
RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi,
atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta
RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi
dalam rapat.
5150
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
27. 16. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika,
apabila, atau frasa dalam hal.
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden
menjadi Presiden.
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa
jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4),
yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa
jabatannya.
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan,
keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak
tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri.
17. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan
terjadi di masa depan.
Contoh:
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan
mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun.
18. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan.
Contoh:
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan
kiriman.
19. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau.
Contoh:
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara
Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian
dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan
Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala
pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan
oleh seluruh peserta upacara.
20. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.
Contoh:
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan
Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner,
pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan
jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa kesehatan hewan
5352
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
28. atau pos kesehatan hewan.
21. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat
negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi
kepentingan bangsa dan negara.
22. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang.
Contoh:
Pasal 313 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil
tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.
23. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan
kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan
usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi
produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28 ayat (2)
Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap
peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh
instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
24. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan gunakan
kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi.
Contoh 1:
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki
Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi
Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 17 ayat (1)
Setiap penduduk wajib memiliki NIK.
25.Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan
kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak
memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi
kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik
Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah;
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam
5554
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
29. Pasal 3;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan
Publik;
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
Menteri; dan
h. tidak berada dalam pengampuan.
26. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas
rumah umum kepada pihak lain.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 tentang
Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan
Pasal 11
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang:
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat
terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan
menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau
alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm.
27. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa
mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan
rumusan digunakan teknik pengacuan.
28. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan
Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang–
undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … .
Contoh 1:
Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh
penyidik BNN.
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala BNN.
Contoh 2:
Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi
vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan administrasi kependudukan.
29. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan
tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi
huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
5756
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
30. Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran
dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 57 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37 ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
30. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada
ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut
diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a.
31. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu
ayat dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 8 Rumusan yang tidak tepat:
Pasal 8
(1) … .
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam
puluh) hari.
32. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat
dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau
ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1) … .
(2) … .
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4),
Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
33. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok
yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan
oleh … .
34. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
35. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat
bersangkutan.
Contoh:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
36. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal
atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau
pasal tersebut di atas.
5958
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
31. 37. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan
Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang–undangan.
38. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang–
undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
39. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku
hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang–undangan tersebut,
gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor …
Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor … ,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan tetap
berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
40. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman
Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
4.1.2 Judul Rancangan Peraturan Daerah
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, Judul Rancangan Peraturan Daerah memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan
nama Rancangan Peraturan Daerah. Nama Rancangan Peraturan Daerah dibuat
secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara
esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Rancangan Peraturan Daerah.
Judul Rancangan Peraturan Daerah ada 2 (dua) alternatif:
Alternatif Pertama, Judul Rancangan Pengelolaan Air Limbah adalah Pengelolaan
Air Limbah Domestik, maka materi muatan Rancangan Peraturan Daerah hanya
mengatur jenis air limbah tersebut. Sedangkan Air Limbah Non Domestik diatur
dengan Peraturan Daerah tersendiri. Dengan demikian, Pemerintah Daerah memiliki
2 (dua) Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah
Domestik dan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah Non Domestik.
Contoh Peraturan Daerah Kabupaten:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
Contoh Peraturan Daerah Kota:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
Alternatif Kedua, Judul Rancangan Peraturan Daerah adalah Pengelolaan Air
Limbah. Dengan demikian materi muatan atau isi Rancangan Peraturan Daerah
mengatur penyelenggaraan pengelolaan air limbah domestik dan air limbah non
domestik.
6160
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
32. Contoh Peraturan Daerah Kabupaten:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN AIR LIMBAH
Contoh Peraturan Daerah Kota:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA ……..
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGELOLAAN AIR LIMBAH
Alternatif judul Rancangan Peraturan Daerah tersebut di atas, diberikan alasan
dalam Naskah Akademik. Mengingat buku panduan ini adalah mengenai rancangan
perda air limbah domestik, maka disarankan untuk menggunakan alternatif
pertama sebagai judul rancangan perda.
4.1.3 Pembukaan
Pembukaan Peraturan Daerah menurut ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011,
terdiri atas:
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis Rancangan Peraturan Daerah dicantumkan Frasa
Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin.
b. Jabatan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah
Jabatan pembentuk Rancangan Peraturan Daerah ditulis seluruhnya dengan
huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca
koma. Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten:
BUPATI GUNUNG KIDUL,
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota:
WALIKOTA MANADO,
c. Konsiderans Menimbang
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Pokok
pikiran pada konsiderans Rancangan Peraturan Daerah menurut UU No.
12 Tahun 2011, memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah yang
penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan
yuridis.
Ada 2 (dua) alternatif Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah.
Alternatif Pertama memuat sebagai berikut:
1. Unsur filosofis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah atau nama lain dibentuk dengan
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber
dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah atau nama lain dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
6362
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
33. 3. Unsur yuridis menggambarkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah atau nama lain dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akandicabutgunamenjaminkepastianhukumdanrasakeadilanmasyarakat.
Contoh, Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang baik, diperlukan kejelasan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah serta kewajiban masyarakat
dalam pengelolaan air limbah;
b. bahwa air limbah permukiman yang tidak dikelola dengan benar berpotensi
menimbulkan pencemaran air baku serta kerusakan lingkungan yang dapat
mengakibatkan kerugian berupa timbulnya penyakit dan turunnya produktifitas
kegiatan masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun
2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah;
Contoh 2, Konsiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
Menimbang :
a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap
warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H
Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan lingkungan yang bebas dari air limbah
yang dapat menimbulkan pencemaran air dan lingkungan, maka perlu
dilakukan pengelolaan air limbah secara komprehensif dan terpadu dari
hulu ke hilir;
c. bahwa dalam pengelolaan air limbah diperlukan kepastian hukum,
kejelasan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah serta hak dan kewajiban
masyarakat dan pelaku usaha sehingga pengelolaan air limbah dapat
berjalan secara proporsional, efektif dan efisien;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan pelaksanaan sub urusan air limbah sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah.
Alternatif Kedua, cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas
mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari
peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan
Daerah. Mengingat saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah untuk pengelolaan air limbah
secara tegas, maka dapat digunakan peraturan perundang-undangan yang
terkait langsung seperti misalnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan, Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dan
Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air
Minum.
6564
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
34. Contoh:
Menimbang :
bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 huruf d, Pasal 24, dan Pasal 43
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Air Limbah;
Muatan Kondiderans Menimbang Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah atau nama lain diuraikan secara singkat baik secara
filosofis dan sosiologis maupun yuridis dalam Penjelasan Umum.
d. Dasar Hukum
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: (1) dasar
kewenangan Pemerintah Daerah pembentukan Peraturan Daerah; (2) peraturan
perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah.
Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum
dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara
tanda baca kurung.
e. Diktum.
Diktum terdiri atas:
a. kata Memutuskan;
b. kata Menetapkan; dan
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara
suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah
marjin.
Contoh:
Peraturan Daerah
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BINTAN
dan
BUPATI BINTAN
MEMUTUSKAN:
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke
bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat.Huruf awal kata Menetapkan
ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan
lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Kabupaten atau Kota, serta ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR
LIMBAH.
4.1.4 Batang Tubuh Rancangan Peraturan Daerah
Batang tubuh Peraturan Daerah memuat semua materi muatan Peraturan Daerah
tentang Pengelolaan Air Limbah yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa
pasal.Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
1. Ketentuan Umum
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, bahwa Ketentuan umum diletakkan dalam bab
satu dan dapat memuat lebih dari satu pasal. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau
6766
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
35. definisi; dan/atau
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa
pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud,
dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Batasan pengertian atau definisi yang termuat dalam Ketentuan Umum
menurut UU No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut:
a. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan
atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor
urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik.
b. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
selanjutnya.
c. Apabila rumusan definisi dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri dirumuskan kembali dalam
Peraturan Daerah, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan
definisi dengan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku
tersebut.
d. Rumusan batasan pengertian dari Peraturan Daerah dapat berbeda dengan
rumusan dalam Peraturan Daerah yang ada karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
e. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau
istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf
tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
f. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam
ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan
pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama
dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
g. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi
untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian
atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan
karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda.
h. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau
diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf
kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam
lampiran.
i. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
1) pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih
dahulu dari yang berlingkup khusus;
2) pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
3) pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
2. Materi Pokok yang Diatur
Materi pokok yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengelolaan Air Limbah sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. tujuan dan sasaran;
b. hak dan kewajiban masyarakat dan pelaku usaha;
c. tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah;
d. pengelolaan dan pengembangan sistem pengolahan air limbah (SPAL
setempat, SPAL terpusat, penyelenggaraan SPAL seperti: perencanaan,
pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan, prasarana dan sarana pengolahan
air limbah)
e. perizinan;
f. kerjasama dan kemitraan;
g. insentif dan disinsentif;
h. kelembagaan;
i. retribusi pelayanan air limbah;
j. pembiayaan;
k. peran serta masyarakat;
l. larangan;
m. pembinaan dan pengawasan
n. sanksi administratif; dan
6968
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK
36. o. ketentuan pidana (bila diperlukan)..
3. Ketentuan Pidana
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan
atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa
pasal yang memuat norma tersebut. Dalam merumuskan Ketentuan Pidana
yang perlu dihindari, antara lain kualifikasi pidana yang dijatuhkan sudah
ditetapkan dalam Undang-Undang.
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Daerah yang lama
(bila ada) terhadap Peraturan Daerah yang baru, dengan bertujuan untuk: (a)
menghindari terjadinya kekosongan hukum; (b) menjamin kepastian hukum; (c)
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan yang termuat dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sampah;
(d) mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
5. Ketentuan Penutup
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan
pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau
beberapa pasal terakhir. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan
mengenai: (a) penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
Peraturan Daerah; (b) nama singkat Peraturan Daerah (bila diperlukan); (c)
status Peraturan Daerah yang sudah ada; (d) saat mulai berlaku Peraturan
Daerah.
4.1.5 Penutup
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Daerah yang memuat: (a) rumusan
perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam Lembaran
Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Kabupaten/Kota; (b) penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Daerah; (c) pengundangan atau Penetapan
Peraturan Daerah; (d) akhir bagian penutup.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Daerah dalam
Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tanah
Bumbu.
4.1.6 Penjelasan
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, bahwa peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat
diberi penjelasan jika diperlukan. Artinya, Peraturan Daerah diberikan penjelasan
yang berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Daerah atas norma
tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian
terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang
dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan
dari norma yang dimaksud.
Ketentuan mengenai penjelasan menurut UU No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut:
a. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat
peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi
norma.
b. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan
terselubung terhadap ketentuan Peraturan Daerah.
Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Daerah yang diawali dengan frasa
penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN
NOMOR … TAHUN …
7170
PANDUAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK