SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Download to read offline
ARTIKEL ILMIAH
EFEK SUPLEMENTASI INSULIN TRANSFERIN SELENIUM PADA MEDIA VITRIFIKASI
EMBRIO MENCIT (Mus musculus)TAHAP MORULA TERHADAP VIABILITAS SEL
BLASTOMER DENGAN TEKNIK FLUORESCENCE PASCA WARMING
Oleh :
DIDI YUDHA PRAWIRA
NIM 061211133046
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
1
The Effects Of Insulin Transferin Selenium Supplementation on Mice (Mus musculus)
Embryos Vitrification Media at Morula Stage Towards The Viability of Blastomere Cells
Using Fluorescence Techniques After Warming
Didi Yudha Prawira1), Widjiati2), Arimbi3)
1)Mahasiswa, 2)Departemen Mikrobiologi Veteriner, 3)Departemen Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
ABSTRACT
This research aimed to evaluate the influence of Insulin Transferin Selenium (ITS)
supplementation on mice (Mus musculus) embryos vitrification media at morula stage towards
the viability of blastomere cells using fluorescence techniques after warming. The experimental
animals used were female mice strain Balb C which were superovulated using Pregnant Mare
Serum Gonadotropin (PMSG) and Human Chorionic Gonadotropin (hCG), subsequently
monomatting was carried out. Seventeen hours after vaginal plug examination, the mice were
sacrificed by cervicalis dislocation, next the tuba fallopii was removed and fertilization pockets
were torn. In Vitro Fertilization was done, then cultured for 72 hours to become morula stages.
The morula embryos were classified into four groups: without ITS, ITS with 5 μg/100 ml, 10
μg/100 ml, and 15 μg/100 ml of concentration. Each treatment group was put into 0,25 ml
ministraw and stored into liquid nitrogen for a week then warmed immediately. The post-
warmed embryos were colored using fluorescent mark (Hoechst and Propidium Iodide) and
cultured for 30 minutes. Observation of the viability of blastomere cells for morula ombryos
was done using fluorescent microscope. Based on the statistical analysis, it demonstrated that
there were no significant differences between the treatment group p>0,05, but significant
differences between P3 (15 μg/100 ml) and without ITS group p<0,05. Nevertheless, if it was
investigated based on the viability calculation of the blastomere cells morula embryo
development, it proved that 15 μg/100 ml of ITS could increase the viability of blastomere cells
morula embryo by 63% compared to 16% without ITS. In conclusion, the distribution of Insulin
Transferin Selenium (ITS) supplementation concentration on vitrification media had been
functioning optimally in increasing the viability of blastomere cells morula embryos after being
warmed.
Keywords: Vitrification, Insulin Transferin Selenium, Morula, Fluorescence.
Menyetujui untuk dipublikasikan dengan Author Didi Yudha Prawira,
Surabaya, 16 Februari 2016
Mahasiswa Menyetujui Menyetujui
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Didi Yudha Prawira Dr. Widjiati, drh., M.Si Arimbi , drh., M.Kes
NIM. 061211133046 NIP. 196209151990022001 NIP. 195608291986032001
Menyetujui Menyetujui Menyetujui
Dosen Terkait I Dosen Terkait II Dosen Terkait III
Dr. Rimayanti, drh., M.KesPPPProf. Dr. Rr. Sri Pantja Madyawati, drh.,M.Si Setiawati Sigit, drh., M.Si
NIP. 196303121988032003 NIP. 196310021989032003 NIP. 195106091980022001
2
Efek Suplementasi Insulin Transferin Selenium pada Media Vitrifikasi Embrio Mencit (Mus
musculus)Tahap Morula Terhadap Viabilitas Sel Blastomer Dengan Teknik Fluorescence
Pasca Warming
Didi Yudha Prawira1), Widjiati2), Arimbi3)
1)Mahasiswa, 2)Departemen Mikrobiologi Veteriner, 3)Departemen Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh splementasi Insulin
Transferin Selenium pada media vitrifikasi embrio mencit (Mus musculus) tahap morula
terhadap viabilitas sel blastomer dengan teknik fluorescence pasca warming. Hewan percobaan
yang digunakan adalah mencit betina strain Balb/C yang disuperovulasi menggunakan
Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) and Human Chorionic Gonadotropin (hCG), kemudian
dilakukan monomatting. Tujuh belas jam setelah pemeriksaan sumbat vagina, mencit betina
dikorbankan dengan cara dislocatio cervicalis berikutnya dilakukan pengambilan tuba fallopii
dan kantong fertilisasi dirobek. In Vitro Fertilization dilakukan, kemudian dikultur selama 72
jam hingga menjadi tahap morula. Embrio morula diklasifikasikan menjadi empat kelompok:
tanpa ITS, ITS dengan konsentrasi 5 μg/100 ml, 10 μg/100 ml, and 15 μg/100 ml. Setiap
kelompok perlakuan dimasukkan ke 0,25 ml ministraw dan disimpan ke dalam nitrogen cair
selama seminggu kemudian dilakukan warming. Embrio pasca warming diwarnai dengan
pewarna fluorescent (Hoechst and Propidium Iodide) dan dikultur selama 30 menit. Pengamatan
viabilitas sel blastomer untuk pada embrio morula dilakukan dengan menggunakan mikroskop
fluorescent. Berdasarkan analisis statistik, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok perlakuan (p>0,05), tetapi perbedaan yang signifikan antara P3 (15
ug / 100 ml) dan tanpa kelompok ITS (p<0,05). Akan tetapi, jika diperhatikan pada perhitungan
viabilitas sel blastomer pada embrio morula membuktikan bahwa 15 mg / 100 ml ITS dapat
meningkatkan kelangsungan hidup sel blastomer embrio morula sebesar 63% dibandingkan
dengan 16% tanpa ITS. Kesimpulannya, distribusi konsentrasi suplementasi Insulin Transferin
Selenium (ITS) pada media vitrifikasi telah berfungsi secara optimal dalam meningkatkan
viabilitas sel blastomer pada embrio morula pasca warming.
Key words: Vitrifikasi, Insulin Transferin Selenium, Morula, Fluorescence
Pendahuluan
Salah satu upaya dalam peningkatan jumlah populasi ternak diantaranya melalui
bioteknologi reproduksi (Widjiati dkk., 2012). Ruang lingkup bioteknologi reproduksi antara
lain meliputi in vitro fertilization (IVF), manipulasi embrio, pembekuan gamet dan embrio, serta
transfer embrio. Pada in vitro fertilization (IVF) terdapat dua kegiatan utama yaitu koleksi telur
in vitro dan pengembangan embrio in vitro (Widjiati dkk., 2011).
3
Aplikasi teknologi fertilisasi in vitro akan lebih fleksibel dan bermanfaat apabila dapat
memanfaatkan oosit beku (frozen oocyte) (Wahjuningsih et al., 2010). Teknik penyimpanan
embrio dalam bentuk beku untuk spesimen biologi dikenal dengan istilah kriopreservasi. Pada
saat ini telah dikembangkan teknik kriopreservasi yang mudah dilakukan dan sederhana dalam
pelaksanaannya yaitu metode vitrifikasi (Abdullah, 2012).
Vitrifikasi adalah proses pemadatan cairan menggunakan krioprotektan dengan
konsentrasi tinggi pada suhu –196 oC tanpa pembentukan kristal es sehingga terlihat seperti
kaca (Vatja, 2000). Keunggulan prosedur vitrifikasi adalah mampu mengeliminasi secara total
pembentukan kristal es baik secara intraselular maupun ekstraselular, protokol lebih sederhana
dan waktu pengerjaan yang lebih singkat (Liebermann and Tucker, 2002).
Kelemahan atau kekurangan dari teknik vitrifikasi adalah embrio yang disimpan
dengan cara dibekukan sering kali dapat menurunkan viabilitas embrio setelah warming, maka
perlu alternatif lain untuk mengurangi kerusakan yang terjadi setelah warming yaitu dengan
menggunakan konsentrasi krioprotektan yang tepat.
Perubahan temperatur yang cepat pada proses vitrifikasi juga dapat mengakibatkan sel
mengalami kerusakan yang disebabkan karena mekanisme pertahanan intraseluler yang hilang
sehingga tidak ada lagi dinding pertahanan pertama yang dapat melindungi sel terhadap
Reactive Oxygen Species (ROS) (Choi et al., 2009). Menurut Widjiati dkk. (2011) produksi Reactive
Oxygen Species (ROS) dalam proses vitrifikasi sering kali dapat menyebabkan penurunan
viabilitas embrio pasca warming sehingga dibutuhkan suatu senyawa antioksidan pada proses
vitrifikasi yang mampu menangkal efek negatif dari terbentuknya ROS dalam sel akibat
aktivitas metabolik. Oleh karena itu diperlukan studi untuk mengoptimalkan medium
vitrifikasi, sehingga mampu mengoptimalkan peran krioprotektan melindungi embrio akibat
stressor suhu metode vitrifikasi.
4
Suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) diketahui dapat digunakan sebagai
antioksidan karena mampu mengurangi tingkat ROS dalam sel (Das et al., 2013). Insulin
Transferin Selenium (ITS) sebagai suplemen media yang kompleks terdiri dari senyawa insulin,
transferin, dan selenium yang telah dijual secara komersial (Liu et al., 2014). Insulin Transferin
Selenium merupakan protein komplek yang dapat memacu perkembangan sel, mencegah
kerusakan sel karena peran antioksidan didalamnya, sehingga dapat mempertahankan
viabilitas embrio pasca warming. Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa dengan
penambahan suplemen Insulin Transferin Selenium (ITS) dapat mengurangi jumlah Reactive
Oxygen Species (ROS) pada embrio saat proses pembekuan dan warming.
Penelitian ini menggunakan tahap embrio yaitu embrio morula yang dikoleksi dengan
metode secara in vitro dan pemberian suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada proses
vitrifikasi yang diharapkan mampu meningkatkan daya hidup dari sel blastomer embrio
morula. Embrio morula atau blastula sering digunakan dalam teknik transfer embrio karena
memiliki daya tahan terhadap pembekuan yang lebih baik serta embrio tahap ini layak untuk
ditransfer ke resipien (Setiadi dan Karja, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Kristianti, (2014) pada embrio mencit menggunakan
suplementasi Insulin Transferin Selenium pada medium vitrifikasi dengan konsentrasi 10
μg/100ml dapat meningkatkan persentase kemampuan perkembangan embrio morula menjadi
blastula sebesar 54% dibandingkan dengan kontrol tanpa suplementasi Insulin Transferin
Selenium yang hanya 37%. Pada penelitian ini belum diperiksa viabilitas tiap sel blastomer pada
embrio morula yang dapat berkembang menjadi blastula.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai
suplementasi Insulin Transferin Selenium pada medium vitrifikasi embrio mencit tahap morula
terhadap viabilitas sel blastomer dengan pemeriksaan fluorescence.
5
Materi dan Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro dan Laboratorium Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Maret sampai
Agustus 2015.
Hewan Percobaan dan Sampel Penelitian
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) betina strain Balb/C
berumur 10 minggu dengan berat badan sekitar 30-35 gram dengan populasi sekitar 60 ekor.
Mencit jantan vasektomi berumur 12 minggu sebanyak 6 ekor dan mencit jantan fertil berumur
12 minggu sebanyak 6 ekor yang diperoleh dari Pusat Veterinaria Farma Surabaya.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah embrio tahap morula yang diperoleh
dari proses fertilisasi in vitro dengan jumlah minimal 5 embrio pada masing-masing kelompok
perlauan.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan penelitian yang digunakan meliputi: alkohol 70%, Phosphate Buffer Saline,
Bovine Serum Albumin 3%, aquadest steril, krioprotektan menggunakan propanediol 30% (p.a.
Merck) dan sukrosa 1 M, nitrogen cair (N2). Media kultur in vitro yang digunakan adalah MEM
yang dibuat drop di dalam petridish dispossible dan difiksasi dengan mineral oil. Bahan yang
digunakan dalam superovulasi mencit betina adalah Pregnant Mare Serum Gonodotropin (PMSG),
human Chorionic Gonadotropin (hCG). Larutan Hoechst dan Larutan Propidium Iodide sebagai
pewarna fluorescence. Insulin Transferin Selenium (ITS) digunakan sebagai antioksidan.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan coba , inkubator
CO2 5%, lemari es, kontener N2 cair, laminar air flow, gunting, selang infus, pinset, mikroskop
fluorescent, mikroskop inverted, scapel, bekker glass, syringe disposable (1 cc, 3 cc, 10 cc), pipet
6
pasteur, ministraw 0.25 ml, petridish dispossible (nuclon), spuit millipore, pembakar bunsen, tissue,
dan aluminium foil.
Superovulasi
Mencit betina dengan berat badan 30-35 gram disuperovulasi dengan injeksi PMSG 5 IU
secara intraperitoneal. Kerja hormon PMSG analog dengan FSH berperan dalam merangsang
pembentukan folikel dan sedikit berperan dalam pembentukan korpus luteum. Empat puluh
delapan jam kemudian menyuntikan hCG 5 IU yang analog dengan LH secara intraperitoneal,
hormon ini berperan dalam meningkatkan laju ovulasi (Widjiati dkk., 2012).
Mencit betina kemudian dikawinkan dengan mencit jantan vasektomi dengan
perbandingan 1 : 1 (monomatting) setelah penyuntikan hCG. Delapan belas jam setelah
monomatting dilakukan pemeriksaan vaginal plug, mencit betina yang positif terdapat vaginal
plug dianggap telah terjadi kopulasi (Widjiati dkk., 2012).
Fertilisasi In Vitro
Mencit betina yang positif sumbat vagina didekapitasi, di bedah dan dikeluarkan tuba
falofii. Selanjutnya tuba fallopii dicuci dengan larutan Phosphate Buffer Saline, kemudian
dilakukan flushing di bawah mikroskop inverted dengan merobek kantong fertilisasi. Sel telur
yang sudah dikoleksi selanjutnya dicuci berturut-turut sebanyak tiga kali pada medium MEM.
Sel telur yang sudah dicuci kemudian dipindahkan pada medium fertilisasi (MEM) dan
diinkubasi di dalam incubator untuk menunggu persiapan spermatozoa yang akan digunakan
untuk fertilisasi in vitro. Spermatozoa diambil dari cauda epididimis dari mencit jantan fertil,
kemudian dibenamkan pada medium fertilisasi yang sudah ada sel telurnya. Sel telur yang
sudah bercampur spermatozoa kemudian diinkubasi pada inkubator CO2 5% dengan suhu 37
C selama 7 jam, kemudian dirontokan sel granulosa untuk mengamati 2 pn.
Persiapan Medium Krioprotektan
7
Embrio morula hasil kultur dibilas dengan larutan Phosphate Buffer Saline dan diletakkan
pada petridish untuk dikelompokkan menjadi empat perlakuan. Masing-masing petridish berisi
PBS + PrOH 30% + Sukrosa 1 M tanpa Insulin Transferin Selenium (ITS) pada kontrol dan pada
masing-masing perlakuan berisi PBS + PrOH 30% + Sukrosa 1 M + ITS dengan konsentrasi 5
μg/100ml, 10 μg/100ml dan 15 μg/100ml medium krioprotektan.
Vitrifikasi Dan Pemaparan Krioprotektan
Embrio yang telah dikelompokkan kemudian dipapar pada medium krioprotektan
selama 15 menit sebelum divitrifikasi. Embrio kemudian dikemas ke dalam ministraw 0,25 ml
dan pada kedua ujung ministraw diberi sukrosa 1 M. Vitrifikasi dilakukan dengan cara
ministraw diuapkan pada nitrogen cair selama 10 detik dan langsung dimasukkan ke dalam
goblet pada kontainer N2 cair dengan suhu -196°C selama satu minggu (Wahjuningsih, 2008).
Pencairan Kembali (Warming)
Setelah dibekukan dan disimpan selama 7 hari, dilakukan warming dengan cara
memasukkan ministraw ke penangas air bersuhu 30°C sampai kristal es dalam diluen hilang.
Segera setelah hangat seluruh isi ministraw dikeluarkan ke dalam cawan petri (Widjiati, 2011).
Pembilasan Krioprotektan
Pembilasan krioprotektan dilakukan pada larutan sukrosa dengan konsentrasi
meningkat. Embrio morula dikultur satu menit dalam larutan sukrosa 0,25M, embrio morula
tersebut dipindahkan ke medium yang mengandung sukrosa 0,5M, kemudian 1M masing-
masing selama dua menit (Batan, 2009).
Pembuatan Media Pewarna Fluorescence
Larutan Hoechst dan larutan Propidium Iodide dibuat dengan konsentrasi 1:10.000, yaitu
tambahkan 1µL larutan Hoechst (Komponen A) dan 1µL Larutan PI (Komponen B) masing-
masing dilarutkan dalam 10mL PBS.
8
Penentuan Viabilitas Embrio dengan Metode Fluorescence
Morula dikultur dalam campuran larutan Hoechst dan Propidium Iodide didalam
inkubator CO2 selama 30 menit kemudian morula dipindahkan ke object glass dengan pipet
modifikasi, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop fluorescent dengan perbesaran 200x.
Diamati jumlah sel blastomer yang hidup dan mati. Apabila sel blastomer hidup di bawah
mikroskop flourescent akan tampak berwarna hijau. Bila sel blastomer mati akan tampak
berwarna merah. Kemudian dihitung berapa persentase jumlah sel blastomer yang hidup dan
mati.
Analisis Data
Data yang diperoleh dihitung dalam bentuk persentase ditransformasi ke arc sin
√persen untuk dianalisis menggunakan One Way Anova (Uji F). Apabila terdapat perbedaan
yang nyata dalam pengujian maka akan dilanjutkan ke Uji BNT untuk membandingkan
perbedaan antar perlakuan (Kusriningrum, 2008).
Hasil dan Pembahasan
Pemeriksaan viabilitas embrio morula di bawah mikroskop fluorescent dilakukan
berdasarkan kemampuan daya hidup dari sel blastomer embrio morula pasca warming, sebagai
berikut.
Tabel 1. Rerata, Simpangan Baku, dan Presentase Pengaruh suplementasi Insulin Transferin
Selenium (ITS) pada kemampuan hidup sel blastomer pada Embrio Morula pasca
warming.
Perlakuan
Embrio
Morula
Rata-rata Viabilitas
(x ± SD)
Hidup Mati
Kontrol 5 1(16%) 4(84%) 17,53a ± 20,74
P1 5 2(32%) 3(68%) 33,47ab ± 13,72
P2 5 4(46%) 1(54%) 42,04ab ± 19,24
P3 5 4(63%) 1(37%) 52,84b ± 32,94
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05)
Kontrol = Tanpa penambahan Insulin Transferin Selenium (ITS)
9
P1 = 5µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS)
P2 = 10µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS)
P3 = 15µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS)
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis One Way Anova (Uji F) dan
dilanjutkan dengan posthoc Duncan Alpha (0.05) untuk membandingkan perbedaan antar
perlakuan. Analisis One Way Anova dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan tiap
perlakuan.
Di bawah ini adalah hasil pengamatan morfologi embrio morula di bawah mikroskop
fluorescent :
.
Gambar 1. Hasil pemeriksaan viabilitas sel blastomer embrio morula dengan teknik
fluorescence pada mikroskop fluorescent. A : Filter fluorescence perbesaran 200x; B :
Natif perbesaran 200x.
Berdasarkan Tabel 4.1 hasil analisis menggunakan metode One Way Anova (Uji F) test
menunjukkan bahwa terdapat hasil yang berbeda nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.05),
dilanjutkan dengan Uji Duncan Alpha didapatkan Kontrol berbeda nyata dengan P3 (p<0.05),
tetapi tidak berbeda nyata dengan P1 dan P2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelompok
perlakuan penambahan Insulin Transferin Selenium (ITS) memiliki nilai signifikansi sebesar
0,135.
Insulin Transferin Selenium (ITS) terdiri dari tiga senyawa aktif yang memiliki fungsi
saling mendukung diantaranya insulin, transferin dan selenium. Insulin dapat membentuk
A B
10
Adenosine Triphosphate (ATP) dan glutathione peroxidase. Adanya Adenosine Triphosphate (ATP)
untuk membantu membran sel mengeluarkan ion kalsium (Ca2
+), H2O dan Na+ dari dalam sel
sehingga faktor apoptosis tidak terbentuk. Transferin bekerja memutus rantai pembentukan
radikal hidroksil (OH*) sebagai salah satu produk Reactive Oxygen Species (ROS) dengan cara
mengikat akumulasi Fe yang berlebih di dalam sel. Penambahan selenium pada medium vitrifikasi
dapat meningkatkan aktivitas enzim glutation peroksidase sehingga embrio morula dapat bertahan
terhadap Reactive Oxygen Species (ROS). Glutation peroksidase dapat membentuk pertahanan terhadap
radikal bebas di dalam sel dan mencegah kerusakan sel dengan cara mengkatalisa hidrolisis hidrogen
peroksida (H2O2) menjadi air (H2O) dan oksigen (O2).
Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang nyata pada kelompok perlakuan P3
dengan konsentrasi 15 μg/100ml sebagai konsentrasi yang optimum untuk meningkatkan
viabilitas sel blastomer embrio morula. Hal ini menunjukkan ketiga senyawa yang terkandung
dalam Insulin Transferin Selenium berperan optimum dalam mencegah defisiensi ATP saat
vitrifikasi dan meminimalisir terbentuknya ROS (Reactive Oxygen Species) pada konsentrasi 15
μg/100ml.
Kesimpulan
Pemberian suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada media vitrifikasi dapat
meningkatkan persentase viabilitas sel blastomer embrio morula pasca warming secara
signifikan pada konsentrasi 15 μg/100ml.
Daftar Pustaka
Abdullah, T. N. 2012. Pengaruh Lama Pemaparan Krioprotektan Propanediol pada Proses
Vitrifikasi terhadap Viabilitas Embrio Mencit pada Kultur In Vitro [Skripsi]. Fakultas
Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.
Batan, I. W., I. W. Suatha, W. E. Prasetyoningtyas, N. Handayani, I. Djuwita, dan A. Boediono.
2009. Vitrifikasi blastosis mencit dengan metode kriolup. Jurnal Veteriner Desember 10 (4)
: 219-226.
11
Choi, K., J. Kim, W. Gyung, Kim dan C. Chulhee. 2009. Oxidative stress-induced necrotic cell
death via mitochondira-dependent burst of reactive oxygen species. Current
Neurovascular Research 6 (4) : 213-222.
Das, Z. C., M. K. Gupta, S. J. Uhm and H. T. Lee. 2013. Supplementation of insulin–transferrin–
selenium to embryo culture medium improves the in vitro development of pig embryos.
Cambridge Journals Online (Abstract) 18 :1-8.
Kristianti, C. 2014. Efek Suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada Media
Pembekuan Embrio Tahap Morula terhadap Persentase Perkembangan Embrio Tahap
Blastula [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.
Kusriningrum, 2008. Perancangan Percobaan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Liebermann,J. And M.J. Tucker. 2002. Effect of Carrier System on The Yield of Human Oocytes
and Embryos as Assesed by Survival and Development Potential After Vitrification. J.
Reproduction. 124: 483-489.
Liu, X., J. Liu, N. Kang, L. Yan, Q. Wang, X. Fu, Y. Zhang, R. Xiao, and Y. Cao. 2014. Role of
insulin transferrin selenium in auricular chondrocyteproliferation and engineered
cartilage formation in vitro. International Journal of Molecular Sciences 15 : 1525-1537.
Vajta, G. 2000. Vitrification of the oocytes and embryos of domestic animals. Anim. Reprod, Sci.,
60-61 : 125-126.
Wahjuningsih, S. 2008. Sitoskeleton oosit sapi pasca vitrifikasi menggunakan krioprotektan
etilen glikol. Jurnal Kedokteran Hewan 2 (2).
Wahjuningsih, S., S. Hardjopranjoto, dan S.B. Sumitro. 2010. Pengaruh konsentrasi etilen glikol
dan lama paparan terhadap tingkat fertilitas in vitro oosit sapi. Jurnal Kedokteran
Hewan 4(2):61-64.
Widjiati, A. W. Ratri, dan M. Z. Arifin. 2011. Pengaruh berbagai konsentrasi krioprotektan
propanediol pada proses vitrifikasi terhadap viabilitas embrio mencit pasca thawing.
Veterinaria 4 (2).
Widjiati, S. E. Pusporini, M. Z. Arifin. 2012. Perbandingan angka fertilitas dan hambatan
perkembangan embrio mencit yang dikultur dalam medium M16 dan Human Tubal Fluid.
Jurnal Veteriner 13 (3) : 227-234.

More Related Content

Similar to Artikel ilmiah didi yudha p. 061211133046 (1)

Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...UNESA
 
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakarta
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakartaKelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakarta
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakartaLiana Susanti SMPN 248
 
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "Liana Susanti SMPN 248
 
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversiFidara Aprionika
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisaulidya nurul habibah
 
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologi
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi BiologiBioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologi
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologiherawati847
 
Triploidisasi
TriploidisasiTriploidisasi
TriploidisasiIgna nada
 
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdfDESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdfXavierDharma
 
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdf
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdfKOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdf
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdfAgathaHaselvin
 
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...Repository Ipb
 
Modul 9 Praktik Kebid III
Modul 9 Praktik Kebid IIIModul 9 Praktik Kebid III
Modul 9 Praktik Kebid IIIpjj_kemenkes
 
referat-papp-a-dr-bambang
 referat-papp-a-dr-bambang referat-papp-a-dr-bambang
referat-papp-a-dr-bambangArya Ningrat
 

Similar to Artikel ilmiah didi yudha p. 061211133046 (1) (20)

Laporan in vitro maturasi
Laporan in vitro maturasiLaporan in vitro maturasi
Laporan in vitro maturasi
 
Kloning Nukleus
Kloning NukleusKloning Nukleus
Kloning Nukleus
 
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Hewan: Kultur Sel Embrio Ayam Menggunakan M...
 
Teknologi Reproduksi Berbantu
Teknologi Reproduksi BerbantuTeknologi Reproduksi Berbantu
Teknologi Reproduksi Berbantu
 
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakarta
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakartaKelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakarta
Kelompok tulip 9i kelas 9 i smpn264 jakarta
 
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "
Kelompok tulip kelas 9I SMPN 264 Jakarta " BIOTENOLOGI Bab 6 "
 
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
16588 40402-1-sm (1)-dikonversi
 
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropisLaporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
Laporan praktikum bioteknologi reproduksi hewan tropis
 
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologi
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi BiologiBioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologi
Bioteknologi Peternakan Salah satu Materi Biologi
 
GMO - Bayi tabung
GMO - Bayi tabungGMO - Bayi tabung
GMO - Bayi tabung
 
Triploidisasi
TriploidisasiTriploidisasi
Triploidisasi
 
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdfDESI RAMADHANTI-FST.pdf
DESI RAMADHANTI-FST.pdf
 
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdf
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdfKOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdf
KOLONISASI_SEMUT_HITAM_(_Dolichoderus_thoracicus_Smith_).pdf
 
Chapter ii 2
Chapter ii 2Chapter ii 2
Chapter ii 2
 
Chapter ii 2
Chapter ii 2Chapter ii 2
Chapter ii 2
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...
INDUKSI TANAMAN HAPLOID Dianthus sp. MELALUI PSEUDOFERTILISASI MENGGUNAKAN PO...
 
Modul 9 Praktik Kebid III
Modul 9 Praktik Kebid IIIModul 9 Praktik Kebid III
Modul 9 Praktik Kebid III
 
referat-papp-a-dr-bambang
 referat-papp-a-dr-bambang referat-papp-a-dr-bambang
referat-papp-a-dr-bambang
 

Recently uploaded

Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfhsetraining040
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannandyyusrizal2
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptDwiBhaktiPertiwi1
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatSyarifahNurulMaulida1
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxfania35
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxkaiba5
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docxpuskesmasseigeringin
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxrachmatpawelloi
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar KepHaslianiBaharuddin
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptbambang62741
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxpuspapameswari
 

Recently uploaded (20)

Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx
2.8.2.a Bukti Pemantauan Kegiatan Evaluasi UKME.docx
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
2 Adaptasi Sel dan Jejas Sel.pptx Ilmu Dasar Kep
 
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).pptMATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
MATERI TENTANG STUNTING BAGI REMAJA (Materi sosialisasi).ppt
 
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptxPEMBUATAN STR  BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
PEMBUATAN STR BAGI APOTEKER PASCA UU 17-2023.pptx
 

Artikel ilmiah didi yudha p. 061211133046 (1)

  • 1. ARTIKEL ILMIAH EFEK SUPLEMENTASI INSULIN TRANSFERIN SELENIUM PADA MEDIA VITRIFIKASI EMBRIO MENCIT (Mus musculus)TAHAP MORULA TERHADAP VIABILITAS SEL BLASTOMER DENGAN TEKNIK FLUORESCENCE PASCA WARMING Oleh : DIDI YUDHA PRAWIRA NIM 061211133046 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016
  • 2. 1 The Effects Of Insulin Transferin Selenium Supplementation on Mice (Mus musculus) Embryos Vitrification Media at Morula Stage Towards The Viability of Blastomere Cells Using Fluorescence Techniques After Warming Didi Yudha Prawira1), Widjiati2), Arimbi3) 1)Mahasiswa, 2)Departemen Mikrobiologi Veteriner, 3)Departemen Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRACT This research aimed to evaluate the influence of Insulin Transferin Selenium (ITS) supplementation on mice (Mus musculus) embryos vitrification media at morula stage towards the viability of blastomere cells using fluorescence techniques after warming. The experimental animals used were female mice strain Balb C which were superovulated using Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) and Human Chorionic Gonadotropin (hCG), subsequently monomatting was carried out. Seventeen hours after vaginal plug examination, the mice were sacrificed by cervicalis dislocation, next the tuba fallopii was removed and fertilization pockets were torn. In Vitro Fertilization was done, then cultured for 72 hours to become morula stages. The morula embryos were classified into four groups: without ITS, ITS with 5 μg/100 ml, 10 μg/100 ml, and 15 μg/100 ml of concentration. Each treatment group was put into 0,25 ml ministraw and stored into liquid nitrogen for a week then warmed immediately. The post- warmed embryos were colored using fluorescent mark (Hoechst and Propidium Iodide) and cultured for 30 minutes. Observation of the viability of blastomere cells for morula ombryos was done using fluorescent microscope. Based on the statistical analysis, it demonstrated that there were no significant differences between the treatment group p>0,05, but significant differences between P3 (15 μg/100 ml) and without ITS group p<0,05. Nevertheless, if it was investigated based on the viability calculation of the blastomere cells morula embryo development, it proved that 15 μg/100 ml of ITS could increase the viability of blastomere cells morula embryo by 63% compared to 16% without ITS. In conclusion, the distribution of Insulin Transferin Selenium (ITS) supplementation concentration on vitrification media had been functioning optimally in increasing the viability of blastomere cells morula embryos after being warmed. Keywords: Vitrification, Insulin Transferin Selenium, Morula, Fluorescence. Menyetujui untuk dipublikasikan dengan Author Didi Yudha Prawira, Surabaya, 16 Februari 2016 Mahasiswa Menyetujui Menyetujui Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Didi Yudha Prawira Dr. Widjiati, drh., M.Si Arimbi , drh., M.Kes NIM. 061211133046 NIP. 196209151990022001 NIP. 195608291986032001 Menyetujui Menyetujui Menyetujui Dosen Terkait I Dosen Terkait II Dosen Terkait III Dr. Rimayanti, drh., M.KesPPPProf. Dr. Rr. Sri Pantja Madyawati, drh.,M.Si Setiawati Sigit, drh., M.Si NIP. 196303121988032003 NIP. 196310021989032003 NIP. 195106091980022001
  • 3. 2 Efek Suplementasi Insulin Transferin Selenium pada Media Vitrifikasi Embrio Mencit (Mus musculus)Tahap Morula Terhadap Viabilitas Sel Blastomer Dengan Teknik Fluorescence Pasca Warming Didi Yudha Prawira1), Widjiati2), Arimbi3) 1)Mahasiswa, 2)Departemen Mikrobiologi Veteriner, 3)Departemen Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh splementasi Insulin Transferin Selenium pada media vitrifikasi embrio mencit (Mus musculus) tahap morula terhadap viabilitas sel blastomer dengan teknik fluorescence pasca warming. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit betina strain Balb/C yang disuperovulasi menggunakan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) and Human Chorionic Gonadotropin (hCG), kemudian dilakukan monomatting. Tujuh belas jam setelah pemeriksaan sumbat vagina, mencit betina dikorbankan dengan cara dislocatio cervicalis berikutnya dilakukan pengambilan tuba fallopii dan kantong fertilisasi dirobek. In Vitro Fertilization dilakukan, kemudian dikultur selama 72 jam hingga menjadi tahap morula. Embrio morula diklasifikasikan menjadi empat kelompok: tanpa ITS, ITS dengan konsentrasi 5 μg/100 ml, 10 μg/100 ml, and 15 μg/100 ml. Setiap kelompok perlakuan dimasukkan ke 0,25 ml ministraw dan disimpan ke dalam nitrogen cair selama seminggu kemudian dilakukan warming. Embrio pasca warming diwarnai dengan pewarna fluorescent (Hoechst and Propidium Iodide) dan dikultur selama 30 menit. Pengamatan viabilitas sel blastomer untuk pada embrio morula dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluorescent. Berdasarkan analisis statistik, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p>0,05), tetapi perbedaan yang signifikan antara P3 (15 ug / 100 ml) dan tanpa kelompok ITS (p<0,05). Akan tetapi, jika diperhatikan pada perhitungan viabilitas sel blastomer pada embrio morula membuktikan bahwa 15 mg / 100 ml ITS dapat meningkatkan kelangsungan hidup sel blastomer embrio morula sebesar 63% dibandingkan dengan 16% tanpa ITS. Kesimpulannya, distribusi konsentrasi suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada media vitrifikasi telah berfungsi secara optimal dalam meningkatkan viabilitas sel blastomer pada embrio morula pasca warming. Key words: Vitrifikasi, Insulin Transferin Selenium, Morula, Fluorescence Pendahuluan Salah satu upaya dalam peningkatan jumlah populasi ternak diantaranya melalui bioteknologi reproduksi (Widjiati dkk., 2012). Ruang lingkup bioteknologi reproduksi antara lain meliputi in vitro fertilization (IVF), manipulasi embrio, pembekuan gamet dan embrio, serta transfer embrio. Pada in vitro fertilization (IVF) terdapat dua kegiatan utama yaitu koleksi telur in vitro dan pengembangan embrio in vitro (Widjiati dkk., 2011).
  • 4. 3 Aplikasi teknologi fertilisasi in vitro akan lebih fleksibel dan bermanfaat apabila dapat memanfaatkan oosit beku (frozen oocyte) (Wahjuningsih et al., 2010). Teknik penyimpanan embrio dalam bentuk beku untuk spesimen biologi dikenal dengan istilah kriopreservasi. Pada saat ini telah dikembangkan teknik kriopreservasi yang mudah dilakukan dan sederhana dalam pelaksanaannya yaitu metode vitrifikasi (Abdullah, 2012). Vitrifikasi adalah proses pemadatan cairan menggunakan krioprotektan dengan konsentrasi tinggi pada suhu –196 oC tanpa pembentukan kristal es sehingga terlihat seperti kaca (Vatja, 2000). Keunggulan prosedur vitrifikasi adalah mampu mengeliminasi secara total pembentukan kristal es baik secara intraselular maupun ekstraselular, protokol lebih sederhana dan waktu pengerjaan yang lebih singkat (Liebermann and Tucker, 2002). Kelemahan atau kekurangan dari teknik vitrifikasi adalah embrio yang disimpan dengan cara dibekukan sering kali dapat menurunkan viabilitas embrio setelah warming, maka perlu alternatif lain untuk mengurangi kerusakan yang terjadi setelah warming yaitu dengan menggunakan konsentrasi krioprotektan yang tepat. Perubahan temperatur yang cepat pada proses vitrifikasi juga dapat mengakibatkan sel mengalami kerusakan yang disebabkan karena mekanisme pertahanan intraseluler yang hilang sehingga tidak ada lagi dinding pertahanan pertama yang dapat melindungi sel terhadap Reactive Oxygen Species (ROS) (Choi et al., 2009). Menurut Widjiati dkk. (2011) produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dalam proses vitrifikasi sering kali dapat menyebabkan penurunan viabilitas embrio pasca warming sehingga dibutuhkan suatu senyawa antioksidan pada proses vitrifikasi yang mampu menangkal efek negatif dari terbentuknya ROS dalam sel akibat aktivitas metabolik. Oleh karena itu diperlukan studi untuk mengoptimalkan medium vitrifikasi, sehingga mampu mengoptimalkan peran krioprotektan melindungi embrio akibat stressor suhu metode vitrifikasi.
  • 5. 4 Suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) diketahui dapat digunakan sebagai antioksidan karena mampu mengurangi tingkat ROS dalam sel (Das et al., 2013). Insulin Transferin Selenium (ITS) sebagai suplemen media yang kompleks terdiri dari senyawa insulin, transferin, dan selenium yang telah dijual secara komersial (Liu et al., 2014). Insulin Transferin Selenium merupakan protein komplek yang dapat memacu perkembangan sel, mencegah kerusakan sel karena peran antioksidan didalamnya, sehingga dapat mempertahankan viabilitas embrio pasca warming. Berdasarkan uraian di atas menunjukan bahwa dengan penambahan suplemen Insulin Transferin Selenium (ITS) dapat mengurangi jumlah Reactive Oxygen Species (ROS) pada embrio saat proses pembekuan dan warming. Penelitian ini menggunakan tahap embrio yaitu embrio morula yang dikoleksi dengan metode secara in vitro dan pemberian suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada proses vitrifikasi yang diharapkan mampu meningkatkan daya hidup dari sel blastomer embrio morula. Embrio morula atau blastula sering digunakan dalam teknik transfer embrio karena memiliki daya tahan terhadap pembekuan yang lebih baik serta embrio tahap ini layak untuk ditransfer ke resipien (Setiadi dan Karja, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Kristianti, (2014) pada embrio mencit menggunakan suplementasi Insulin Transferin Selenium pada medium vitrifikasi dengan konsentrasi 10 μg/100ml dapat meningkatkan persentase kemampuan perkembangan embrio morula menjadi blastula sebesar 54% dibandingkan dengan kontrol tanpa suplementasi Insulin Transferin Selenium yang hanya 37%. Pada penelitian ini belum diperiksa viabilitas tiap sel blastomer pada embrio morula yang dapat berkembang menjadi blastula. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai suplementasi Insulin Transferin Selenium pada medium vitrifikasi embrio mencit tahap morula terhadap viabilitas sel blastomer dengan pemeriksaan fluorescence.
  • 6. 5 Materi dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fertilisasi In Vitro dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Maret sampai Agustus 2015. Hewan Percobaan dan Sampel Penelitian Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit (Mus musculus) betina strain Balb/C berumur 10 minggu dengan berat badan sekitar 30-35 gram dengan populasi sekitar 60 ekor. Mencit jantan vasektomi berumur 12 minggu sebanyak 6 ekor dan mencit jantan fertil berumur 12 minggu sebanyak 6 ekor yang diperoleh dari Pusat Veterinaria Farma Surabaya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah embrio tahap morula yang diperoleh dari proses fertilisasi in vitro dengan jumlah minimal 5 embrio pada masing-masing kelompok perlauan. Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan penelitian yang digunakan meliputi: alkohol 70%, Phosphate Buffer Saline, Bovine Serum Albumin 3%, aquadest steril, krioprotektan menggunakan propanediol 30% (p.a. Merck) dan sukrosa 1 M, nitrogen cair (N2). Media kultur in vitro yang digunakan adalah MEM yang dibuat drop di dalam petridish dispossible dan difiksasi dengan mineral oil. Bahan yang digunakan dalam superovulasi mencit betina adalah Pregnant Mare Serum Gonodotropin (PMSG), human Chorionic Gonadotropin (hCG). Larutan Hoechst dan Larutan Propidium Iodide sebagai pewarna fluorescence. Insulin Transferin Selenium (ITS) digunakan sebagai antioksidan. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan coba , inkubator CO2 5%, lemari es, kontener N2 cair, laminar air flow, gunting, selang infus, pinset, mikroskop fluorescent, mikroskop inverted, scapel, bekker glass, syringe disposable (1 cc, 3 cc, 10 cc), pipet
  • 7. 6 pasteur, ministraw 0.25 ml, petridish dispossible (nuclon), spuit millipore, pembakar bunsen, tissue, dan aluminium foil. Superovulasi Mencit betina dengan berat badan 30-35 gram disuperovulasi dengan injeksi PMSG 5 IU secara intraperitoneal. Kerja hormon PMSG analog dengan FSH berperan dalam merangsang pembentukan folikel dan sedikit berperan dalam pembentukan korpus luteum. Empat puluh delapan jam kemudian menyuntikan hCG 5 IU yang analog dengan LH secara intraperitoneal, hormon ini berperan dalam meningkatkan laju ovulasi (Widjiati dkk., 2012). Mencit betina kemudian dikawinkan dengan mencit jantan vasektomi dengan perbandingan 1 : 1 (monomatting) setelah penyuntikan hCG. Delapan belas jam setelah monomatting dilakukan pemeriksaan vaginal plug, mencit betina yang positif terdapat vaginal plug dianggap telah terjadi kopulasi (Widjiati dkk., 2012). Fertilisasi In Vitro Mencit betina yang positif sumbat vagina didekapitasi, di bedah dan dikeluarkan tuba falofii. Selanjutnya tuba fallopii dicuci dengan larutan Phosphate Buffer Saline, kemudian dilakukan flushing di bawah mikroskop inverted dengan merobek kantong fertilisasi. Sel telur yang sudah dikoleksi selanjutnya dicuci berturut-turut sebanyak tiga kali pada medium MEM. Sel telur yang sudah dicuci kemudian dipindahkan pada medium fertilisasi (MEM) dan diinkubasi di dalam incubator untuk menunggu persiapan spermatozoa yang akan digunakan untuk fertilisasi in vitro. Spermatozoa diambil dari cauda epididimis dari mencit jantan fertil, kemudian dibenamkan pada medium fertilisasi yang sudah ada sel telurnya. Sel telur yang sudah bercampur spermatozoa kemudian diinkubasi pada inkubator CO2 5% dengan suhu 37 C selama 7 jam, kemudian dirontokan sel granulosa untuk mengamati 2 pn. Persiapan Medium Krioprotektan
  • 8. 7 Embrio morula hasil kultur dibilas dengan larutan Phosphate Buffer Saline dan diletakkan pada petridish untuk dikelompokkan menjadi empat perlakuan. Masing-masing petridish berisi PBS + PrOH 30% + Sukrosa 1 M tanpa Insulin Transferin Selenium (ITS) pada kontrol dan pada masing-masing perlakuan berisi PBS + PrOH 30% + Sukrosa 1 M + ITS dengan konsentrasi 5 μg/100ml, 10 μg/100ml dan 15 μg/100ml medium krioprotektan. Vitrifikasi Dan Pemaparan Krioprotektan Embrio yang telah dikelompokkan kemudian dipapar pada medium krioprotektan selama 15 menit sebelum divitrifikasi. Embrio kemudian dikemas ke dalam ministraw 0,25 ml dan pada kedua ujung ministraw diberi sukrosa 1 M. Vitrifikasi dilakukan dengan cara ministraw diuapkan pada nitrogen cair selama 10 detik dan langsung dimasukkan ke dalam goblet pada kontainer N2 cair dengan suhu -196°C selama satu minggu (Wahjuningsih, 2008). Pencairan Kembali (Warming) Setelah dibekukan dan disimpan selama 7 hari, dilakukan warming dengan cara memasukkan ministraw ke penangas air bersuhu 30°C sampai kristal es dalam diluen hilang. Segera setelah hangat seluruh isi ministraw dikeluarkan ke dalam cawan petri (Widjiati, 2011). Pembilasan Krioprotektan Pembilasan krioprotektan dilakukan pada larutan sukrosa dengan konsentrasi meningkat. Embrio morula dikultur satu menit dalam larutan sukrosa 0,25M, embrio morula tersebut dipindahkan ke medium yang mengandung sukrosa 0,5M, kemudian 1M masing- masing selama dua menit (Batan, 2009). Pembuatan Media Pewarna Fluorescence Larutan Hoechst dan larutan Propidium Iodide dibuat dengan konsentrasi 1:10.000, yaitu tambahkan 1µL larutan Hoechst (Komponen A) dan 1µL Larutan PI (Komponen B) masing- masing dilarutkan dalam 10mL PBS.
  • 9. 8 Penentuan Viabilitas Embrio dengan Metode Fluorescence Morula dikultur dalam campuran larutan Hoechst dan Propidium Iodide didalam inkubator CO2 selama 30 menit kemudian morula dipindahkan ke object glass dengan pipet modifikasi, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop fluorescent dengan perbesaran 200x. Diamati jumlah sel blastomer yang hidup dan mati. Apabila sel blastomer hidup di bawah mikroskop flourescent akan tampak berwarna hijau. Bila sel blastomer mati akan tampak berwarna merah. Kemudian dihitung berapa persentase jumlah sel blastomer yang hidup dan mati. Analisis Data Data yang diperoleh dihitung dalam bentuk persentase ditransformasi ke arc sin √persen untuk dianalisis menggunakan One Way Anova (Uji F). Apabila terdapat perbedaan yang nyata dalam pengujian maka akan dilanjutkan ke Uji BNT untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan (Kusriningrum, 2008). Hasil dan Pembahasan Pemeriksaan viabilitas embrio morula di bawah mikroskop fluorescent dilakukan berdasarkan kemampuan daya hidup dari sel blastomer embrio morula pasca warming, sebagai berikut. Tabel 1. Rerata, Simpangan Baku, dan Presentase Pengaruh suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada kemampuan hidup sel blastomer pada Embrio Morula pasca warming. Perlakuan Embrio Morula Rata-rata Viabilitas (x ± SD) Hidup Mati Kontrol 5 1(16%) 4(84%) 17,53a ± 20,74 P1 5 2(32%) 3(68%) 33,47ab ± 13,72 P2 5 4(46%) 1(54%) 42,04ab ± 19,24 P3 5 4(63%) 1(37%) 52,84b ± 32,94 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) Kontrol = Tanpa penambahan Insulin Transferin Selenium (ITS)
  • 10. 9 P1 = 5µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS) P2 = 10µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS) P3 = 15µg/100ml Insulin Transferin Selenium (ITS) Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis One Way Anova (Uji F) dan dilanjutkan dengan posthoc Duncan Alpha (0.05) untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan. Analisis One Way Anova dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbedaan tiap perlakuan. Di bawah ini adalah hasil pengamatan morfologi embrio morula di bawah mikroskop fluorescent : . Gambar 1. Hasil pemeriksaan viabilitas sel blastomer embrio morula dengan teknik fluorescence pada mikroskop fluorescent. A : Filter fluorescence perbesaran 200x; B : Natif perbesaran 200x. Berdasarkan Tabel 4.1 hasil analisis menggunakan metode One Way Anova (Uji F) test menunjukkan bahwa terdapat hasil yang berbeda nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.05), dilanjutkan dengan Uji Duncan Alpha didapatkan Kontrol berbeda nyata dengan P3 (p<0.05), tetapi tidak berbeda nyata dengan P1 dan P2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan penambahan Insulin Transferin Selenium (ITS) memiliki nilai signifikansi sebesar 0,135. Insulin Transferin Selenium (ITS) terdiri dari tiga senyawa aktif yang memiliki fungsi saling mendukung diantaranya insulin, transferin dan selenium. Insulin dapat membentuk A B
  • 11. 10 Adenosine Triphosphate (ATP) dan glutathione peroxidase. Adanya Adenosine Triphosphate (ATP) untuk membantu membran sel mengeluarkan ion kalsium (Ca2 +), H2O dan Na+ dari dalam sel sehingga faktor apoptosis tidak terbentuk. Transferin bekerja memutus rantai pembentukan radikal hidroksil (OH*) sebagai salah satu produk Reactive Oxygen Species (ROS) dengan cara mengikat akumulasi Fe yang berlebih di dalam sel. Penambahan selenium pada medium vitrifikasi dapat meningkatkan aktivitas enzim glutation peroksidase sehingga embrio morula dapat bertahan terhadap Reactive Oxygen Species (ROS). Glutation peroksidase dapat membentuk pertahanan terhadap radikal bebas di dalam sel dan mencegah kerusakan sel dengan cara mengkatalisa hidrolisis hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air (H2O) dan oksigen (O2). Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang nyata pada kelompok perlakuan P3 dengan konsentrasi 15 μg/100ml sebagai konsentrasi yang optimum untuk meningkatkan viabilitas sel blastomer embrio morula. Hal ini menunjukkan ketiga senyawa yang terkandung dalam Insulin Transferin Selenium berperan optimum dalam mencegah defisiensi ATP saat vitrifikasi dan meminimalisir terbentuknya ROS (Reactive Oxygen Species) pada konsentrasi 15 μg/100ml. Kesimpulan Pemberian suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada media vitrifikasi dapat meningkatkan persentase viabilitas sel blastomer embrio morula pasca warming secara signifikan pada konsentrasi 15 μg/100ml. Daftar Pustaka Abdullah, T. N. 2012. Pengaruh Lama Pemaparan Krioprotektan Propanediol pada Proses Vitrifikasi terhadap Viabilitas Embrio Mencit pada Kultur In Vitro [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Batan, I. W., I. W. Suatha, W. E. Prasetyoningtyas, N. Handayani, I. Djuwita, dan A. Boediono. 2009. Vitrifikasi blastosis mencit dengan metode kriolup. Jurnal Veteriner Desember 10 (4) : 219-226.
  • 12. 11 Choi, K., J. Kim, W. Gyung, Kim dan C. Chulhee. 2009. Oxidative stress-induced necrotic cell death via mitochondira-dependent burst of reactive oxygen species. Current Neurovascular Research 6 (4) : 213-222. Das, Z. C., M. K. Gupta, S. J. Uhm and H. T. Lee. 2013. Supplementation of insulin–transferrin– selenium to embryo culture medium improves the in vitro development of pig embryos. Cambridge Journals Online (Abstract) 18 :1-8. Kristianti, C. 2014. Efek Suplementasi Insulin Transferin Selenium (ITS) pada Media Pembekuan Embrio Tahap Morula terhadap Persentase Perkembangan Embrio Tahap Blastula [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Kusriningrum, 2008. Perancangan Percobaan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Liebermann,J. And M.J. Tucker. 2002. Effect of Carrier System on The Yield of Human Oocytes and Embryos as Assesed by Survival and Development Potential After Vitrification. J. Reproduction. 124: 483-489. Liu, X., J. Liu, N. Kang, L. Yan, Q. Wang, X. Fu, Y. Zhang, R. Xiao, and Y. Cao. 2014. Role of insulin transferrin selenium in auricular chondrocyteproliferation and engineered cartilage formation in vitro. International Journal of Molecular Sciences 15 : 1525-1537. Vajta, G. 2000. Vitrification of the oocytes and embryos of domestic animals. Anim. Reprod, Sci., 60-61 : 125-126. Wahjuningsih, S. 2008. Sitoskeleton oosit sapi pasca vitrifikasi menggunakan krioprotektan etilen glikol. Jurnal Kedokteran Hewan 2 (2). Wahjuningsih, S., S. Hardjopranjoto, dan S.B. Sumitro. 2010. Pengaruh konsentrasi etilen glikol dan lama paparan terhadap tingkat fertilitas in vitro oosit sapi. Jurnal Kedokteran Hewan 4(2):61-64. Widjiati, A. W. Ratri, dan M. Z. Arifin. 2011. Pengaruh berbagai konsentrasi krioprotektan propanediol pada proses vitrifikasi terhadap viabilitas embrio mencit pasca thawing. Veterinaria 4 (2). Widjiati, S. E. Pusporini, M. Z. Arifin. 2012. Perbandingan angka fertilitas dan hambatan perkembangan embrio mencit yang dikultur dalam medium M16 dan Human Tubal Fluid. Jurnal Veteriner 13 (3) : 227-234.