Kasus perceraian Cici Paramida dan Ahmad Suhaebi telah sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. Pengadilan Agama Jakarta Utara menerbitkan putusan cerai antara keduanya pada 2009 akibat adanya pertengkaran berkekerasan dan tidak bisa lagi bersatu. Putusan pengadilan menetapkan Suhaebi wajib membayar nafkah Cici sebesar Rp15 juta per bulan.
2. “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(Pasal 1 UUNomor 1 Tahun 1974)
3. Dalam ajaran agama Islam, tujuan dari perkawianan antara lain adalalah sebagai berikut:
1. Menjalankan Perintah Allah SWT.
Allah memberi perintah kepada manusia untuk menjalankan pernikahan agar tercipta rasa tentram,
dan damai dalam kehidupan ini. Perintah tersebut terdapat dalam Surah Ar Ruum:21.
2. Menjaga Diri Dari Perbuatan Maksiat
Tujuan pertama dari pernikahan menurut Islam adalah untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat.
3. Mendapatkan keturunan
Tujuan mulia dari pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Semua orang memiliki
kecenderungan dan perasaan senang dengan anak. “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan
(suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu,
serta memberimu rizki dari yang baik” (QS. An-Nahl: 72).
4. Membina Rumah Tangga Yang Sakinah, Mawaddah, dan Warrohmah
Tujuan terakhir pernikahan dalam agama Islam adalah untuk membina rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan warrohmah, yang artinya membangun sebuah keluarga yang harmonis,
penuh dengan ketentraman, jiwa yang tenang, penuh cinta dan kasih sayang.
4. Apabila tujuan dari pernikahan tersebut diatas
dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka
keluarga yang dibentuk dari perkawinan akan
berjalan dengan harmonis. Akan tetapi, dalam
perjalanan mengarungi biduk rumah tangga
kerap kali pasangan suami istri dihadapi oleh
berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari
luar rumah. Apabila pasangan suami istri tidak
bisa mengatasi masalah rumah tangganya, maka
percerian bisa menjadi solusi terakhir yang
diambil.
5. Masalah perceraian seharusnya menjadi masalah yang serius dalam
sebuah rumah tangga, ini tidak boleh diremehkan. Dampak dari
perceraian bukan hanya melibatkan kedua belah pihak, suami dan istri,
tetapi juga anak-anak dan keluarga. Berikut ini adalah beberapa
penyebab umum terjadinya perceraian dalam sebuah keluarga :
1. Minimnya ekonomi
Hidup dalam kekurangan membutuhkan kesabaran yang besar, banyak
orang yang tidak kuasa bertahan dalam kekurangan, khususnya wanita.
Syarat utama untuk menjalin pernikahan adalah mempunyai pekerjaan
layak dan ekonomi yang cukup. Jika keadaan ekonomi dalam rumah
tangga semakin menipis, tentu akan menyebabkan banyak masalah baru
sehingga menimbulkan cek-cok antara suami istri.
2. Komunikasi pasif
Komunikasi pasif antara suami dan istri juga sering menimbulkan
masalah yang merujuk pada perceraian. Banyak perceraian terjadi di
masyarakat karena kurangnya komunikasi antara suami dan istri.
6. 3. Perbedaan
Sering kali sebuah perbedaan menyebabkan seseorang melepas
hubungan dengan orang lain tanpa tolerasi terlebih dahulu.
Contoh perbedaan dalam masalah pernikahan bisa seperti :
Perbedaan faham dan keyakinan
Perbedaan ide dan pemikiran
Perbedaan status sosial dari masing-masing keluarga (kaya dan miskin).
Dan lain-lain
4. Tidak konsekuensi
Menikah adalah sebuah konsekuensi untuk saling setia, saling mencintai,
saling menyayangi, bertanggung jawab, saling menjaga, dan saling
menghargai. Jika rasa konsekuensi ini hilang, maka sangat mudah terjadi
perceraian. Contoh tindak tidak konsekuensi dalam pernikahan adalah :
Mencintai pihak ketiga
Suami mengabaikan tanggung jawab untuk mencari nafkah
Istri tidak menjaga kehormatan dan martabat keluarga
Dan lain-lain
7. 5. Perselingkuhan
Selingkuh adalah sebuah penghianatan dalam rumah tangga.
Semua orang tidak menginginkan orang yang dicintai melakukan
perselingkuhan kepada orang lain. Tentu saja hal ini
menyebabkan luka dalam yang membekas di hati. Luka karena
merea dihianati akan menyebabkan keputusan dini tanpa
pertimbangan terlebih dahulu, yaitu perceraian.
6. Masalah nafkah batin
Nafkah batin atau seks adalah salah satu alasan penting
mengapa seseorang melangsungkan pernikahan. Selain
kebutuhan dhohir, kebutuhan batin pun harus terpenuhi agar
keutuhan rumah tangga tetap terjaga. Terkadang ketidakpuasan
dalam nafkah batin menyebabkan seseorang melakukan
perselingkuhan, dan tentu titik fatal dari masalah ini adalah
perceraian.
8. Kesibukan pekerjaan yang berlebihan
Sibuk bekerja membuat kedua pihak (suami dan istri) jarang
melakukan komunikasi aktif. Aktifitas pekerjaan yang berlebihan
membuat lelah, saat pulang bekerja keduanya mungkin akan
menghabiskan waktu untuk istirahat. Keadaan seperti ini
tentunya sangat tidak harmonis, apalagi ketika beban pekerjaan
semakin bertambah dan menumpuk. Beban pikiran karena
pekerjaan terkadang membuat keduanya mudah emosi sehingga
menimbulkan pertengkaran.
Kurangnya perhatian
Manusia memiliki watak senang diperhatikan, diakui, dicintai,
dan disayangi. Jika dalam keluarga salah satu pasangan
mendapatkan perhatian kurang, maka bunga kemesraan dalam
rumah tangga pun akan layu. Dan tentu saja hal ini bisa
memperbesar peluang perceraian antara keduanya.
9. 9. Saling curiga
Mencurigai pasangan adalah sebuah penyakit yang harus diobati karena
ini akan menimbulkan prasangka buruk, menuduh, dan fitnah dalam
keluarga. Sifat ini biasanya dimiliki oleh pasangan yang protektif.
10. Sering bertengkar
Pertengkaran dalam rumah tangga pasti dialami oleh banyak orang.
Pertengkaran kecil sebaiknya tidak dianggap remeh, apalagi jika watak
keduanya (suami dan istri) mudah tersinggung dan sulit untuk berdamai,
tentu ini akan sangat mudah untuk mengeluarkan kata-kata yang
bernada perceraian. Jika pertengkaran suami istri sering terjadi, maka
akan sangat mudah mereka untuk bercerai.
11. Intimidasi dan tindak kekerasan
Intimidasi atau perkataan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada istri
dapat mematikan keharmonisan dalam rumah tangga, apalagi jika
sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Seorang istri adalah
manusia yang mempunyai perasaan dan hati, intimidasi dan kekerasan
akan membuatnya lebih memilih memutuskan hubungan perkawinan
daripada bertahan.
10. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga, maka penyebab-
penyebab keretakan rumah tangga yang dijabarkan diatas
sedapat mungkin untuk dihindari atau dicari jalan keluar
dari permasalahan tersebut. Komitmen dari kedua belah
pihak untuk menjaga keutuhan rumah tangga sangat
dibutuhkan untuk kelanggengan dan keharmonisan suatu
rumah tangga.
Kita semua berharap idealnya dapat menjadikan rumah
sebagai tempat berteduh yang penuh kerukunan, dan
tempat berlindung dari dunia luar. Akan tetapi, ketika
perkawinan telah berubah menjadi ajang pertikaian maka
rumah serasa tidak lagi menjadi bersahabat. Beberapa
individu akan meninggalkan perkawinan itu untuk mencari
kedamaian, karenanya sangat penting mencari jalan untuk
mengakhiri pertengkaran yang berkepanjangan, sebelum
perkawinan menjadi begitu rapuh, sehingga tidak dapat
diteruskan.
11. Fenomena perceraian tidak hanya berlangsung di negara maju
tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut
Singarimbun dan Permore (dalam Khisbiyah, 1994), rata-rata
perceraian diIndonesia lebih tinggi dari negara manapun di Asia.
Persentase pasangan bercerai di Indonesia meningkat setiap
tahunnya. Tahun 2000 persentase perceraian mencapai 6,9% dari
pasangan yang menikah, sedangkan pada tahun 2005 perceraian
telah meningkat hingga mencapai 8,5% (Ditjen PPA, 2008).
Salah satu contoh kasus perceraian dapat kita jumpai pada kasus
perceraian artis Cici Paramida dan Ahmad Suhaebi. Pada kasus
ini, Cici Paramida mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan
Agama Jakarta Utara. Hal ini dipicu karena Cici mendapati
suaminya sedang bersama seorang wanita di mobilnya di daerah
Puncak Jawa Barat. Cici langsung mengikuti mobil suaminya
tersebut. Saat Cici mencoba memberhentikan mobil tersebut,
Suhaebi justru menabraknya. Akibatnya Cici jatuh tersungkur
dan menderita luka-luka serta lebam di wajahnya.
12. Setelah menjalani proses persidangan beberapa
kali, pada tanggal 17 Desember 2009 Pengadilan
Agama Jakarta Utara resmi menetapkan Cici
Paramida dan Ahmad Suhaebi bercerai. Hakim
memutuskan Suhaebi wajib menafkahi Cici 15
juta per bulan. Sementara itu, berdasarkan
keterangan humas Pengadilan aagama Jakarta
Utara, Kaharuddin, alasan pokok keputusan
hakim adalah sudah tidak bisa lagi bersatu dan
sebelumnya terjadi pertengkaran yang diwarnai
kekerasan di Puncak Jawa Barat.
13. B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang diambil penulis dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
1) Apakah kasus perceraian Cici Paramida sudah memenuhi ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia?
2) Bagaimanakah akibat hukum dari perceraian terhadap isteri, anak,
dan harta kekayaan?
C. TUJUAN
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apakah kasus perceraian Cici Paramida sudah
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
2) Untuk mengetahui akibat hukum perceraian terhadap isteri, anak,
dan harta kekayaan.
14. A. ANALISA KASUS PERCERAIAN CICI PARAMIDA
Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan
di depan sidang Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non
muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam.
Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum perdata adalah
penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu
(Djumairi Achmad, 1990: 65).
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 38 UU No. 1 Th. 1974
yang memuat ketentuan fakultatif bahwa “Perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”.
Jadi secara yuridis, perceraian berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami isteri.
(Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian : Palembang : Sinar
Grafika, 2012, hal. 15)
15. Dalam putusnya sebuah perkawinan terdapat
3 (tiga) macam menurut Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, diantaranya :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan pengadilan
16. Perceraian sendiri terdapat 2 (dua) macam yang disimpulkan dari
Pasal 39 sampai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP No.
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, yakni :
1) Cerai Talak
Pengertian cerai talak dijelaskan dalam Pasal 117 Kompilasi
Hukum Islam yakni ikrar suami dihadapan Pengadilan agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Cerai Talak
sendiri hanya dilakukan oleh perkawinan menurut agama islam,
dimana cerai talak ini menurut pasal 14 PP Nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni
seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat
kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta Pengadilan agar
diadakannya sidang untuk keperluan itu.
17. 2) Cerai Gugat
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan serta dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
dikenal dengan istilah cerai gugat melainkan dikenal sebagai
perceraian karena gugatan atau gugatan perceraian. Pengertian
dari cerai gugat ini terdapat dalam Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun
1975, yang menerangkan bahwa cerai gugat merupakan
gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke
pengadilan daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat. Serta dijelaskan pula dalam Pasal 132 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa gugatan
perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada pengadilan
Agama daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali istri meniggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.
Suatu gugatan dapat diterima menurut Pasal 132 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam yakni apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tak mau lagi kembali kerumah kediaman
bersama.
18. Dalam sebuah pemutusan perkawinan atau perceraian terdapat alasan-alasan
yang mendukung dan telah ditentukan oleh Undang-Undang yakni yang terdapat
dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yakni :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagaimana yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
19. Alasan lain juga termuat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata pasal 208 yang
menyatakan bahwa sebuah pemutusan
perkawinan tidak hanya dengan persetujuan
bersama atau kedua belah pihak (suami isteri)
tetapi terdapat alasan yang dapat mengakibatkan
suatu perceraian, yakni :
a. Zina;
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan itikad buruk;
c. Dikenakan penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang berat lagi setelah dilangsungkan
perkawinan.
20. Sedangkan menurut islam sebab-sebab terjadinya perceraian (Samidjo,
1985 Pengantar Hukum Indonesia, Hlm. 131), meliputi :
a. Talaq atau Talak (perceraian)
Yang dimaksud dengan talak yakni membebaskan dari ikatan
perkawinan. Dalam Islam dikenal 3 (tiga) talak, yakni :
i. Talaq Baien atau dapat disebut juga talak yang tidak memungkinkan
rujuk;
ii. Talaq Rojie atau dapat disebut talak yang dapat rujuk kembali;
iii. Talaq Takliq atau dapat disebut sebagai pergantungan perceraian.
Dalam talak ini dapat diajukan talak jika tidak dipenuhinya perbuatan
tidak memberikan nafkah selama sekian bulan, menganiaya atau
menyiksa isteri, dan meninggalkan isteri dengan sengaja selama enam
bulan perjalanan laut atau satu tahun perjalanan darat.
b. Kematian
Talak kematian jika suami atau isteri meninggal dunia maka putus
perkawinan dan bagi seorang isteri yang ditinggalkan suaminya ,
diwajibkan menjalankan iddah selama tiga bulan
c. Murtad
Talak murtad terjadi apabila salah satu pihak telah murtad atau
berpindah agama dari islam ke agama lain, maka putuslah perkawinan
dikarenakan dalam islam perkawinan akan sah jika dilaksanakan oleh
kedua belah pihak beragama islam.
21. d. Chul (chulu) Talak Tebus
Suatu pemutusan ikatan perkawinan atas dasar persetujuan kedua belah pihak merupakan
suatu keistimewaan dari hukum islam. Bilamana suami isteri berselisih paham dan tidak
dapat mentaati batas-batas yang telah ditetapkan, maka isteri dapat membebaskan dirinya
dari ikatan itu dengan jalan mengembalikan sejumlah harta dan sebagai pertimbangan itu
suami memberikan kepada istrinya suatu chulu. Dan terdapat persyaratan yakni adanya
persetujuan antara suami-isteri dan pemberian ‘iwad (pengembalian, pergantian yang
berasal dari isteri dan diuntukkan kepada suami. Jika yang meminta adanya perceraian
adalah isteri maka dinamakan chul.
e. Fash / Chiyar
Kekuasaan seorang untuk membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak isteri
dengan keputusan Pengadilan. Hal yang menyebabkan isteri untuk bercerai seperti cacat,
impotent, dan lainnya.
f. Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami untuk meneguhkan tuduhannya bahwa istrinya telah
berzinah dengan laki-laki lain. Sumpah itu dilakukan karena istrinya telah menyanggah
tuduhan suaminya itu, sementara suami tidak memiliki bukti-bukti atas tuduhan zina
tersebut. Di sidang Pengadilan Agama, hakim karena jabatannya dapat menyuruh suami
untuk bersumpah Li’an.
g. Ila’ (lelaa)
Bentuk perceraian sebagai akibat dari hukum mulie yang dijatuhkan terhadap seorang
suami, karena sumpahnya untuk tidak menggauli isterinya selama empat bulan atau lebih.
h. Zihar
Bentuk perceraian sebagai akibat dari perkataan suami terhadap istri seperti dibelakang
ibunya.
22. Berdasarkan uraian di atas, analisa penulis terhadap
kasus perceraian Cici Paramida dan Ahmad Suhaebi
adalah sebagai berikut :
1) Kasus perceraian ini merupakan kasus cerai gugat,
dimana pihak yang mengajukan gugatan adalah Cici
Paramida, selaku isteri.
2) Alasan perceraian yang diajukan adalah karena
adanya kekerasan dalam rumah tangga yaitu suami
menabrak istrinya sehingga isterinya mengalami luka-
luka dan lebam di wajahnya. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 19(d) PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
23. 3) Prosedur perceraian yang ditempuh oleh Cici Paramida sudah
sesuai dengan ketentuan Pasal 132 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
yaitu “gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada
pengadilan agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami“. Dalam kasus perceraian Cici Paramida
ini istri, selaku penggugat sudah benar dalam mengajukan
gugatannya ke Pengadialan Agama, Jakarta Utara karena sesuai
dengan daerah hukum yang mewilayahi tempat tinggalnya.
4) Putusan Hakim yang mengabulkan gugatan Cici Paramida
sudah benar karena sesuai dengan ketentuan UU No. 1 tahun
1974, pasal 39, ayat 2, bahwa “Untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri”. Dimana alasan perceraian
kasus ini yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga dan hal ini
juga termasuk salah satu yang disebutkan dalam ketentuan Pasal
19(d) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
24. B. AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP PARA PIHAK, ANAK, DAN HARTA
1. MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
Terdapat beberapa akibat hukum yang ditimbulkan akibat suatu
perceraian, diantaranya :
a. Akibat Perceraian Terhadap Para Pihak
Dalam sebuah perceraian mengakibatkan suatu keadaan yang tidak
sama dengan masih dilangsungnya perkawinan, dimulai dari hilangnya
hak dan kewajiban suami isteri antara kedua belah pihak yang bercerai.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan akibat
yang terjadi putusnya perkawinan akibat perceraian, diantaranya :
i. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member
keputusannya
ii. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
iii. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri
25. b. Akibat Perceraian Terhadap Anak
Kedudukan anak dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Jika terjadi suatu perceraian Pasal
41 Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1974 memberikan
penjelasan kewajiban suami isteri kepada anak tidak akan
pernah putus walaupun adanya perceraian. Dalam hal ini
suami isteri berkewajiban untuk mengurus, mendidik, dan
melindungi hak-hak dan kewajiban anak demi
kepentingan anak tersebut walaupun salah satu pihak
tidak memperoleh kekuasaan atas anak tersebut dalam
putusan perceraian. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 49 ayat
(2) yang menyebutkan bahwa meskipun orang tua dicabut
kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
26. c. Akibat Perceraian Terhadap Harta Benda
Pengertian harta benda dalam perkawinan dijelaskan dalam Pasal 35
ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan yakni harta benda yang
diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama, serta dalam
ayat (2) bahwa harta bawaan dari amsing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain. Dalam hal bertindak, harta bersama
ditentukan atas persetujuan bersama sednagkan harta bawaan masing-
masing secara penuh mempunyai hak atas harta bawaan masing-masing
hal ini dijelaskan dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2). Sedangkan jika
kedua pihak yakni suami isteri terjadi perceraian telah diatur dalam Pasal
37 maka harta bersama akan diatur menurut hukum masing-masing.
Dalam sebuah hukum masing-masing dijelaskan dalam Penjelasan Pasal
37 yakni hukum agama, hukum adat atau hukum-hukum lainnya.
Undnag-Undang tentang Perkawinan dalam hal pembagian harta
bersama jika terjadi perceraian menyerahkan secara penuh kepada
kedua belah pihak dalam menentukan hukum apa yang digunakan.
27. C. MENURUT HUKUM ISLAM
Akibat perceraian ialah bahwa suami dan isteri hidup
sendiri-sendiri, isteri / suami dapat bebas untuk menikah lagi
dengan orang lain. Perceraian membawa konsekwensi yuridis
yang berhubungan dengan status isteri, status suami, status anak
dan status harta kekayaan. Sesudah perceraian bekas isteri dapat
bebas untuk menikah setelah masa iddah berakhir. Persetubuhan
antara bekas suami dan bekas isteri dilarang, sebab mereka
sudah tidak terikat dalam pernikahan yang sah lagi.
Menurut Hukum Islam isteri dapat menikah kembali setelah masa
iddah berakhir baik dengan bekas suami ataupun dengan orang
lain. Tentang lamanya masa iddah seorang wanita dapat dihitung
:
1. Tiga quru jika ia mempunyai haid ;
2. tiga bulan, jika tidak mendapat haid lagi ;
3. sampai lahir bayinya jika ia hamil ;
4. empat bulan sepuluh hari, jika ia ditinggal mati suaminya .
Jika isteri yang diceraikan oleh suaminya belum pernah dicampuri
maka tidak ada iddahnya.
28. akibat-akibat perceraian antara lain adalah sebagai berikut:
1. Persetubuhan.
Setelah perceraian berlaku, persetubuhan suami - isteri menjadi terlarang. Sungguhpun
demikian dalam keadaan yang tertentu, kedua pihak dapat kawin kembali dengan syahnya .
2. Perkawinan kembali, rujuk.
Suami-isteri yang telah bercerai, tidak selalu dapat kawin kembali
3. Perkawinan baru .
a) Bilamana perkawinan telah berakhir si isteri haruslah sampai habis jangka waktu iddah
sebelum dapat kawin kembali. Si suami jika ia mempunyai 4 (empat) isteri haruslah
menantikan ( sebelum ia kawin lagi ) sampai berakhir jangka waktu iddah isteri yang
diceraikannya .
b) Bila perkawinan itu tidak diakhiri, kedua pihak dapat lantas kawin kembali dan tidak
usah menanti berakhirnya waktu iddah.
4. Mas kawin.
Jika kedudukan perkawinan itu telah disempurnakan, maka seluruh mas kawin harus
dilunaskan dengan segera, jika tidak seperdua dari mas kawin itu haruslah dibayar.
5. Pemeliharaan.
Si-suami haruslah memberikan nafkah pemeliharaan selama jangka waktu iddah .
6. Warisan.
Selama perceraian itu dapat dicabut kembali, pada waktu meninggalnya salah seorang dari
suami - isteri, yang satu dapat mewarisi dari yang lain, tetapi jika perceraian itu tidak dapat
diatur kembali, maka hak untuk mewaris, berakhir. Jika ayah dan ibu bercerai, anak-anak
tetap menjadi kewajiban ayah dan ibunya.
29. Didalam undang - undang perkawinan yaitu Undang - Undang
No. 1/1974 didalam pasal 41 dinyatakan bahwa akibat putusnya
perkawinan karena perceraian, ialah :
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
men¬didik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan
anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, Pengadilan memberi keputusannya ;
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana
bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut .
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
30. A. KESIMPULAN
Dari penjabaran pada pembahasan di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kasus perceraian Cici Paramida dan Ahmad Suhaebi sudah sesuai
dengan UU No. 1 th 1974 dan Kompilasi Hukum Islam baik alasan
maupun tata cara dalam perceraian.
2. Perceraian memiliki akibat hukum terhadap para pihak, anak, dan
harta bersama. Akibat perceraian ialah bahwa suami dan isteri hidup
sendiri-sendiri, isteri / suami dapat bebas untuk menikah lagi dengan
orang lain. Perceraian membawa konsekwensi yuridis yang berhubungan
dengan status isteri, status suami, status anak dan status harta
kekayaan. Sesudah perceraian bekas isteri dapat bebas untuk menikah
setelah masa iddah berakhir. Persetubuhan antara bekas suami dan
bekas isteri dilarang, sebab mereka sudah tidak terikat dalam
pernikahan yang sah lagi. Terhadap isteri, sebagai akibat terjadinya
perceraian, isteri dapat menikah kembali setelah masa iddah berakhir
baik dengan bekas suami ataupun dengan orang lain.
31. B. SARAN
Merujuk kesimpulan dari perumusan masalah
dan pembahasan diatas maka penulis
menyarankan agar kerukunan dalam perkawinan
dijaga sebaik baiknya. Apabila permasalahan
hendaknya segera diselesaikan oleh suami istri
sehingga permasalahan tidak larut
berkepanjangan yang dapat memicu
pertengkaran yang terus menerus yang memicu
terjadinya perceraian. Mengingat dalam Hukum
Islam perceraian adalah perbuatan yang dibenci
oleh Allah meskipun tidak larang.