Hadis-hadis tersebut menjelaskan dalil-dalil sunnah tentang wajibnya kekhilafahan. Hadis pertama menjelaskan bahwa orang yang mati tanpa baiat kepada khalifah dianggap mati dalam kejahiliah. Hadis kedua menyatakan bahwa tiga orang atau lebih yang bepergian wajib mengangkat seorang pemimpin, yang menunjukkan wajibnya kepemimpinan pada jamaah yang lebih besar.
2. Pokok Bahasan
DALIL – DALIL AS-SUNNAH WAJIBNYA
KHILAFAH
1) HR. Muslim No. 1852 Tentang Baiat
2) HR. Abu Dawud No. 2708 Tentang Amir
Safar
3) HR. Ahmad No. 6647 Tentang Amir Safar
4) HR Thabrani no. 7502 tentang Terurainya
Simpul-Simpul Islam
5) HR Ash-habus Sunan Tentang Kewajiban
Meneladani Khulafaur Rasyidin
6) Sunnah fi’liyah (hadis berupa perbuatan /
tindakan Nabi SAW) dalam urusan
pemerintahan.
4. HR. Muslim No.
1852 Tentang
Baiat ي
النب عن عنهما هللا ي
رضعمر بن هللا عبد عن
قال وسلم عليه هللا صىل
:
ي
ف وليس مات من
جاهلية ميتة مات بيعة عنقه
Dari Abdullah bin Umar RA dari Nabi
SAW,”Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya
tidak terdapat baiat (kepada seorang Khalifah/Imam)
maka matinya adalah mati jahiliyyah.”
(HR Muslim, no. 1851).
6. HR. Muslim No.
1852 Tentang
Baiat
Wajhul Istidlal (cara memahami dalil) dari hadis ini sbb:
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mensifati orang yang
mati sedang di lehernya tidak ada baiat, sebagai mati
jahiliyah. Padahal baiat itu tidak ada kecuali bagi khalifah
(Imam). Ini adalah dalil yang jelas untuk wajibnya
mengangkat seorang khalifah, sebab jika baiat ini tidak ada
pada leher setiap muslim, maka dia akan mati secara mati
mati jahiliah. Maka hadis ini adalah dalil untuk wajibnya
mengangkat seorang khalifah.
(Abdullah Ad Dumaiji, Al Imamah Al ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal
Jamaah, h. 47; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al
Islamiyyah, Juz II, hlm. 14).
7. HR. Muslim No.
1852 Tentang
Baiat
Analisis Wajhul Istidlal :
Cara memahami hadis ini, sehingga menghasilkan hukum
wajibnya mengangkat khalifah, menggunakan ilmu ushul fiqih
khususnya mengenai makna celaan (dzamm) terhadap perbuatan
yang ditinggalkan (tidak dilakukan).
Dalam ilmu ushul fiqh, jika terdapat celaan keras (dzamm
syadiid) untuk perbuatan yang tidak dilakukan, berarti perbuatan
itu hukumnya wajib.
Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan :
كه
تار عا ر
ش يذم الذيهو والواحب
Wajib adalah suatu perbuatan yang dicela secara syara’ orang
yang meninggalkan perbuatan itu. (Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah Juz
III, hlm. 39).
Contohnya, ada celaan syara’ bahwa orang yang tidak sholat,
akan masuk neraka Saqar.
َ
ص ُم
ْ
ٱل َ
ن ى
م
ُ
ك
َ
ن ْ
م
َ
ل
۟
وا
ُ
ال
َ
ق َ
ر
َ
ق َ
س ى
ف ْ
م
ُ
ك
َ
ك
َ
ل َ
س ا َم
َ
ن
ي
ل
8. HR. Muslim No.
1852 Tentang
Baiat
“Mereka bertanya kepada orang-orang kafir, “Apa yang
menjerumuskan kalian ke dalam Neraka?” Mereka menjawab: "Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”
(QS Al Muddatstsir : 42-43).
Adanya celaan syara’ ini, yaitu celaan yang keras (akan
masuk neraka Saqar), menunjukkan bahwa perbuatan yang
ditinggalkan (yaitu sholat), hukumnya wajib.
Demikian juga cara kita memahami hadis baiat di atas,
bahwa terdapat celaan yang keras (mati jahiliyah), terhadap
perbuatan yang tidak dilakukan, yaitu membaiat seorang
Khalifah.
Maka, hadis ini menunjukkan bahwa perbuatan yang
ditinggalkan itu (yaitu membaiat seorang khalifah),
hukumnya wajib menurut syara’.
10. HR ABU DAWUD
NO. 2708
TENTANG AMIR
SAFAR
ع هللا ي
رض ِّ
يِ
ر
ْ
د
ُ
خ
ْ
ال ٍ
يد ى
ع َ
س ي ى
ن
َ
أ عن
نه
:
َول ُ
س َ
ر
َّ
ن
َ
أ
ى
ه
اَّلل
ه
ل َ
س َ
و ىهْي
َ
ل
َ
ع ُ ه
اَّلل
ه
ىل َ
ص
َ
م
َال
َ
ق
:
َ
ث
َ
َل
َ
ث َ
جَ
ر
َ
خ ا
َ
ذىإ
ي ى
ف
ٌ
ة
ْ
م
ُ
ه
َ
د َ
ح
َ
أ وا ُ
ر ِّم
َ
ؤُي
ْ
ل
َ
ف ٍ
ر
َ
ف َ
س
.
أ رواه
داود بو
(
2708
)
Dari Abu Said Al Khudri RA, bahwa Rasulullah
SAW telah bersabda,”Jika keluar tiga orang dalam
sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka
mengangkat amir (pemimpin) salah satu dari
mereka.”
(HR Abu Dawud, no. 2708).
11. HR ABU DAWUD
NO. 2708
TENTANG AMIR
SAFAR
الحديث هذا من االستدالل ووجه
:
هللا رحمه تيمية ابن اإلسالم شيخ قال
:
أوجب قد كانفإذا
، أحدهم ي
يول أن ، االجتماعاتوأقرص الجماعات ِّأقل ي
ف
ذلك من ر
أكي هو فيما ذلك وجوب عىل ا ً
تشبيه هذا كان
ص تيمية ابن اإلسالم لشيخ الحسبة
11
Wajhul istidlal dari hadis ini :
Imam Ibnu Taimiyyah berkata,”Jika syara’ telah
mewajibkan pada jamaah yang paling sedikit dan
interaksi yang paling minimal, agar mengangkat
seorang pemimpin yang mengurus mereka, maka ini
adalah perumpamaan untuk wajibnya mengangkat
pemimpin pada jamaah yang lebih besar dari tiga
orang.” (Ibnu Taimiyyah, Al Hisbah, hlm. 11).
12. HR ABU DAWUD
NO. 2708
TENTANG AMIR
SAFAR
Analisis Wajhul Istidlal :
Cara memahami hadis ini, sebagaimana pemahaman
Imam Ibnu Taimiyyah di atas, disebut mengambil
makna secara mafhum muwafaqah.
Mafhum muwafaqah, adalah mengambil makna
implisit (tidak terucap) dari suatu teks yang sejalan
dengan makna ekspisit (terucap) dengan cakupan
atau jangkauan yang lebih besar (luas) daripada
makna eksplisitnya.
Sebagai contoh, firman Allah SWT :
ف
ُ
أ
ٓ
ا َم ُ
ه
ه
ل ل
ُ
ق
َ
ت
َ
َل
َ
ف
“Maka janganlah kamu mengucapkan,’Ah’ kepada
ibu bapamu.” (QS Al Isra` : 23).
13. HR ABU DAWUD
NO. 2708
TENTANG AMIR
SAFAR
Secara eksplisit (manthuq), yaitu yang terucap, haram
hukumnya mengucapkan “ah” kepada kedua orang tua
(ibu bapa).
Makna secara mafhum (implisit / tak terucap), dengan
mafhum muwafaqah, yaitu makna yang sejalan dengan
manthuq yang cakupannya lebih besar, hukumnya juga
haram memukul kedua orang tua.
Demikian juga cara memahami hadis Nabi SAW di
atas.
Jika untuk tiga orang dalam perjalanan saja wajib ada
pemimpinnya, maka tentu lebih wajib lagi jika ada
sejumlah orang yang lebih dari tiga orang.
Inilah salah satu dalil hadis yang menjadi dalil
wajibnya Khilafah, yaitu nashbul khalifah (mengangkat
seorang khalifah), bagi kaum muslimin.
15. HR AHMAD NO.
6647 TENTANG
AMIR SAFAR
َ
ي ى
ض َ
روٍ
ر ْم
َ
ع ِ
نْب ى
ه
اَّلل ى
دْب
َ
ع ْ
ن
َ
ع
َّ
ي ى
ب
َّ
الن
َّ
ن
َ
أ
ُ
ه
ْ
ن
َ
ع ُ ه
اَّلل
ه
ىل َ
ص
َال
َ
ق َ
م
ه
ل َ
س َ
و ىهْي
َ
ل
َ
ع ُ ه
اَّلل
:
َي
َ
َل
ُ
ن ْ
و
ُ
كَي ٍة
َ
ث
َ
َل
َ
ثىل ُّل ى
ح
ٍة
َ
َل
َ
فىب
َ
ن ْ
و
ْ
م ىهْي
َ
ل
َ
ع ا ْ
و ُ
ر َّم
َ
أ
َّ
َلىإ ِ
ض ْ
ر
َ ْ
األ َ
ن ى
م
ْ
م
ُ
ه
َ
د َ
ح
َ
أ
أحمد رواه
Dari Abdullah bin ‘Amar RA, bahwa Nabi SAW telah
bersabda,”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di
suatu tempat (wilayah) di muka bumi, kecuali
mereka mengangkat seorang amir (pemimpin) untuk
mereka dari salah satu dari mereka.” (HR Ahmad, no.
2708).
16. HR AHMAD NO.
6647 TENTANG
AMIR SAFAR
الحديث هذا من االستدالل ووجه
:
ي
الشوكان اإلمام قال
:
…
المسلمن عىل يجب قال من لقول دليل ذلك ي
وف
المسلمن من ثالثة عىل ع ر
الش حرم إذا ألنه ،والحكام والوالة األئمة نصب
أمي بدون كلهااإلسالمية األمة ببقاء فكيف ،أمي بال يظلوا أن
.
(
ج ي
للشوكان األوطار نيل
9
ص
157
)
Wajhul istidlal dari hadis ini :
Imam Syaukani berkata,”…dalam hadis tersebut
terdapat dalil bagi orang yang mengatakan wajib
hukumnya mengangkat pemimpin pada jamaah yang
lebih besar dari tiga orang, karena jika syara’
mengharamkan atas tiga orang dari kaum muslimin
tanpa seorang pemimpin, maka bagaimana dengan
umat Islam seluruhnya tanpa seorang pemimpin?”
(Imam Syaukani, Nailul Authar, 9/157).
17. HR AHMAD NO.
6647 TENTANG
AMIR SAFAR
Analisis Wajhul Istidlal :
Cara memahami hadis ini, sebagaimana
pemahaman Imam Syaukani di atas, sama
dengan cara memahami hadis sebelumnya,
yaitu mengambil makna secara mafhum
muwafaqah.
Berdasarkan mafhum muwafaqah, maka wajib
juga hukumnya mengangkat pemimpin pada
jamaah yang lebih besar dari tiga orang, yaitu
umat Islam yang ada saat sekarang.
Hanya saja, pada hadis HR Ahmad ini, ada
sedikit tambahan yang berbeda dengan HR
Abu Dawud sebelumnya.
18. HR AHMAD NO.
6647 TENTANG
AMIR SAFAR
Dalam HR Ahmad ini, ada qarinah (petunjuk)
yang tegas, bahwa mengangkat pemimpin bagi
tiga orang itu hukumnya wajib, bukan sunnah.
Sebab jika tidak mengangkat pemimpin, berarti
tiga orang itu telah melakukan “yang tidak
halal” (yaklni melakukan yang haram):
َ
َل
َ
فىب
َ
ن ْ
و
ُ
ن ْ
و
ُ
كَي ٍة
َ
ث
َ
َل
َ
ثىل ُّل ى
حَي
َ
َل
ض ْ
ر
َ ْ
األ َ
ن ى
م ٍة
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu
tempat (wilayah) di muka bumi…”
20. HR THABRANI NO.
7502 TENTANG
TERURAINYA
SIMPUL-SIMPUL
ISLAM
قال أنه وسلم عليه هللا صىل ي
النب عن ي
الباهىل أمامة ي
أن عن
:
ان فكلما ،
ً
روة
ُ
ع
ً
روة
ُ
ع ى
اإلسالم رى
ُ
ع َّ
ن
َ
ض
َ
نق
ُ
ت
َ
ل
ٌ
روة
ُ
ع ت
َ
تقض
ً
نقض َّ
هن
ُ
ل َّ
و
َ
فأ ، تليها ي
بالب ُ
الناس
ُ
ثَّتشب
َّ
وآخرهن ، ُ
الحكم ا
ُ
الصالة
Dari Abu Umamah al Bahili RA, bahwa Nabi SAW telah
bersabda :
“Sungguh akan terurai simpul-simpul [ajaran] Islam, satu
simpul demi satu simpul. Maka tiap kali satu simpul terurai,
manusia akan berpegangan dengan simpul selanjutnya. Yang
pertama kali terurai adalah pemerintahan, sedang yang
paling terakhir adalah sholat.”
(HR Thabrani, no. 7502; Ibnu Hibban, no. 6715; Al Hakim 4/104. Kata
Al Albani ini hadis sahih. Lihat Shahih Al Jami’, no. 1575).
22. HR THABRANI NO.
7502 TENTANG
TERURAINYA
SIMPUL-SIMPUL
ISLAM
Wajhul istidlal dari hadis ini :
Telah berkata Ustadz Abdul Karim Zaidan :
“Yang dimaksud dengan pemerintahan dalam
hadis tersebut (al hukm), adalah pemerintahan
yang sesuai dengan ajaran Islam, dan tentu
termasuk di dalamnya adalah khalifah yang
melaksanakan pemerintahan ini. Yang dimaksud
ajaran ini akan terurai, adalah akan terlepas dan
tidak dipegang lagi. Ajaran pemerintahan ini telah
disebut bersamaan dengan sholat, padahal sholat
itu wajib, maka ini menunjukkan wajibnya
pemerintahan Islam.”
Abdul Karim Zaidan, Ushûl Ad Da’wah, hlm. 195
23. HR THABRANI NO.
7502 TENTANG
TERURAINYA
SIMPUL-SIMPUL
ISLAM
Analisi Wajhul istidlal dari hadis ini :
Cara penyimpulan hukum syara’ yang
digunakan oleh Syekh Abdul Karim Zaidan ini,
disebut dengan dalâlah iqtirân, yaitu :
اناالقي داللة
:
الأو ِ
األمر ي
ف ٍأشياءأو شيئن بن ع َم ْ
جُي أن ي
ه
، ِي
نه
ثم
،هما ى
أحد ُ
حكم ُ َّ
نَبُي
ذلك ى
ثبوت عىل ى
انَ
ر ى
بالق فيستدل
لآلخر ى
م
ْ
ك ُ
الح
Dalâlah iqtirân adalah menggabungkan dua atau beberapa
fakta ke dalam satu perintah atau satu larangan,
kemudian memberi hukum pada salah satunya, maka
dengan penyebutan secara bersama, hukum untuk fakta
yang satu diterapkan untuk fakta yang lain.”
https://www.alukah.net/sharia/0/39605/
24. HR THABRANI NO.
7502 TENTANG
TERURAINYA
SIMPUL-SIMPUL
ISLAM
Contoh pengamalan dalâlah iqtirân, sabda
Rasulullah SAW :
ٍ
مىل ْ
س ُم ِّل
ُ
ك
َ
ىل
َ
ع
ٌّ
ق َ
ح
ٌ
ث
َ
ال
َ
ث
:
ُل ْ
س
ُ
الغ
،
ُ
اك َ
و ِّ
الس َ
و ، ى
ة َع ُم ُ
الج َ
م ْ
وَي
َ
د ى
ج ُ
و
ْ
نىإ ٍ
يب ى
ط ْ
ن ى
م ُّ
س َمَي َ
و
“Ada tiga hal yang merupakan hak atas setiap muslim;
mandi pada hari Jumat, bersiwak, dan memakai minyak
wangi jika ada.” (HR Ahmad).
Hukum bersiwak dan memakai minyak wangi
adalah sunnah (tidak wajib), maka demikian
pula, mandi hari Jumat, hukumnya juga
sunnah (tidak wajib).
Demikian juga cara memahami hadis Nabi
SAW dari HR Thabrani di atas.
25. HR THABRANI NO.
7502 TENTANG
TERURAINYA
SIMPUL-SIMPUL
ISLAM
Ketika disebutkan bahwa ajaran Islam yang
terurai pertama kali adalah pemerintahan
Islam (al hukm), dan ajaran yang terakhir
terurai adalah sholat,
Maka hadis ini menunjukkan wajibnya
pemerintahan Islam (Khilafah),
Karena secara bersama ajaran “pemerintahan”
disebut bersama dengan ajaran “sholat”.
Maka jika “sholat” wajib hukumnya, berarti
“pemerintahan” juga wajib hukumnya.
29. HR ASH-HABUS
SUNAN TENTANG
KEWAJIBAN
MENELADANI
KHULAFAUR
RASYIDIN
Wajhul istidlal dari hadis ini :
Hadis ini menunjukkan wajibnya meneladani
sunnah (thariqah/jalan) Khulafaur Rasyidin
Di antara sunnah mereka, adalah mengangkat
seorang khalifah, sebagaimana diriwayatkan
secara mutawatir bahwa para shahabat telah
membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Maka, hadis ini
menunjukkan wajibnya mengangkat seorang
khalifah bagi kaum muslimin.
(Abdullah Ad Dumaiji, Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 51-
52).
30. HR ASH-HABUS
SUNAN TENTANG
KEWAJIBAN
MENELADANI
KHULAFAUR
RASYIDIN
Analisis wajhul istidlal :
Cara pengambilan kesimpulan hukum dari
hadis ini, disebut berhujjah dengan keumuman
dalil, sesuai kaidah ushuliyah :
التخصيص دليل يرد لم ما عمومه عىل يبق العام
“Lafal umum tetap dalam keumumannya,
selama tidak terdapat dalil yang
mengkhususkan.”
Kata “sunnah al Khulafaur Rasyidin” dalam
hadis di atas adalah kata yang bermakna
umum, yang mencakup sunnah mereka yang
berupa nashbul khalifah (mengangkat
khalifah).
31. HR ASH-HABUS
SUNAN TENTANG
KEWAJIBAN
MENELADANI
KHULAFAUR
RASYIDIN
Namun demikian, sunnah Khulafaur Rasyidin ini
bermakna umum, sehingga meliputi segala i’tiqad
(keyakinan) atau amal (perbuatan) yang dilakukan
oleh para Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib.
Sunnah Khulafaur Rasyidin yang bermakna umum
itu, misalnya pengamalan hukum jihad oleh mereka
untuk futuhat, pengamalan hukum-hukum Baitul
Mal, termasuk juga pengangkatan khalifah (nashbul
khalifah).
Dalam ilmu ushul fiqih, salah bentuk kata umum,
adalah isim mufrad yang di-idhofatkan (kata benda
tunggal yang disandarkan kepada kata lain).
32. HR ASH-HABUS
SUNAN TENTANG
KEWAJIBAN
MENELADANI
KHULAFAUR
RASYIDIN
Syekh Muhammad Nashir As Sa’di dalam kitabnya
Al Qawâ’id Al Hisân li Tafsîr Al Qur`ân, mengatakan
:
الجمع كاسمالعموم يفيد المضاف المفرد
“Isim mufrad yang di-idhofatkan [kepada kata yang
lain] memberikan arti umum, sebagaimana isim
jamak.” (Muhammad Nashir As Sa’di, Al Qawâ’id Al
Hisân li Tafsîr Al Qur`ân, hlm. 18)
Contohnya :
ا َّم
َ
أ َ
و
َ
كِّب َ
ر ىة َم ْعىنىب
ْ
ث
ِّ
د َ
ح
َ
ف
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah
kamu siarkan.” (QS Adh Dhuha : 11).
Kata “ni’matu” merupakan isim mufrad, yang di-
idhofatkan kepada kata “rabbika”,
33. HR ASH-HABUS
SUNAN TENTANG
KEWAJIBAN
MENELADANI
KHULAFAUR
RASYIDIN
Maka kata “ni’mat” di situ memberikan arti umum, yaitu
meliputi segala macam bentuk kenikmatan dari Allah, baik
kenikmatan duniawiyah maupun kenikmatan diiniyyah.
(Muhammad Nashir As Sa’di, Al Qawâ’id Al Hisân li Tafsîr Al Qur`ân, hlm. 18)
Demikian juga ketika kita memahami sabda Rasulullah
SAW
ى
اشَّ
الر ىاء
َ
ف
ُ
ل
ُ
خ
ْ
ال ىة
َّ
ن ُ
س َ
و ي
ب
َّ
ن ُ
بس ْ
م
ُ
كْي
َ
ل َع
َ
ف
نِّي ى
د ْ
ه َم
ْ
ال َ
ين ى
د
“maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku,
dan juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk.”
Kata “sunnah” merupakan isim mufrad, yang di-
idhofatkan kepada kata “al khulafaur rasyidin.”
Maka kata “sunnah” di sini mempunyai makna umum,
yakni meliputi segala macam sunnah, yaitu jalan
(thariqah) baik berupa I’tiqad (keyakinan) maupun ‘amal
(perbuatan) yang dilakukan oleh al khulafaur rasyidin,
termasuk mengangkat seorang khalifah.
35. SUNNAH FI’LIYAH
(HADIS BERUPA
PERBUATAN /
TINDAKAN NABI SAW)
DALAM URUSAN
PEMERINTAHAN.
ي
الدميج هللا عبد الشيخ قال
:
هللا صىل الرسول إن
، المدينة ي
ف إسالمية حكومة أول أقام وسلم عليه
لت إمام أول وسلم عليه هللا صىل هللا رسول وصار
لك
الحكومة
....
Syekh Abdullah Dumaiji berkata,
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendirikan
pemerintahan Islam yang pertama di Madinah, sehingga
Rasulullah yang menjadi Imam pertama untuk
pemerintahan Islam itu… Beliau melakukan berbagai tugas
sebagai kepala pemerintahan, seperti mengadakan berbagai
perjanjian, memimpin pasukan perang, mengirim duta dan
utusan, dan sebagainya.” (Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 52).