1. Menelaah Kasus LP Cebongan
Dari perspektif Ekonomi dan Politik
(Syarief Aryfa’id)1
Misteri Sabtu 23 Maret 2013 dinihari di LP Cebongan- Sleman, Yogyakarta, yang awalnya
menimbulkan banyak spekulasi terkait siapa belasan orang bertopeng tersebut yang melakukan aksi
penyerangan penembakan terhadap empat tahanan titipan Polda DIY hingga tewas di tempat.
Empat orang itu antara lain bernama Hendrik Angel Sahetapi alias Deki (31), Yohanes Juan Manbait
(38), Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi (33).
Keempatnya diduga pelaku penganiayaan hingga menewaskan anggota TNI AD, Sersan Satu
Santoso, di Hugo's Kafe, akhirnya terjawabnya sudah. Berbagai media, lokal, nasional bahkan
internasional telah dan masih terus mewartakan kasus tersebut, dan bahkan akhirnya kita dapatkan
kesimpulan sementara yang dibuat oleh TIM 9 TNI, bahwa yang menyerang adalah 11 orang anggota
KOPASUS Group 2. dalam kesimpulan tersebut juga menyebutkan klausul soal 4 korban adalah
"PREMAN". Berbagai reaksi-pun muncul kepermukaan, ada sebagian masyarakat yang mendukung
KOPASUS (yang direpresentasikan 11 anggota), dan ada juga kelompok yang menolak dan menutut
"cara-cara" 11 orang anggota KOPASUS tersebut. Dan bahkan ada fenomena menarik yang bisa
dilihat langsung di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu terpampangnya berbagai ukuran
spanduk yang berisikan tulisan yang mengkonfrontasikan dua stakeholders negara, yaitu
“mendukung KOPASUS” dan “BASMI PREMAN” terkait tragedi kemanusiaan tersebut.
Berdasarkan persoalan tersebut, penulis mencoba melakukan analisa dengan menggunaka dua
perspektif, yaitu ekonomi dan politik. Menurut penulis bahwa kedua perspektif tersebut sangat
penting dan relevan digunakan, agar masyarakat tidak hanya disuguhi informasi dari perspektif
hukum saja, yang kemudian berimbas pada “justifikasi isu” serta partsialisme dalam melakukan
kajian terhadap persoalan tersebut.
Penulis memulai dengan mengajukan dengan beberapa pertanyaan kritis. Pertama, bagaimana
prosedur dan mekanisme kebijakan pendirian dan atau pemberian ijin tempata usaha hiburan
malam di wilayah Yogyakarta?. Kedua, Bagaimana sistem pengamanan dan keamanan yang
diterapkan oleh pemerintahan daerah terkait pemberian ijin penyelenggaraan tempat hiburan
malam (night club) tersebut? Ketiga, Mengapa dan bagaimana bisa ada oknum TNI dan Polisi
ditempat night club?
Ketiga pertanyaan tersebut diatas, tidak saja berfungsi sebagai metodelogi dalam sebuah kajian,
akan tetapi, juga merepresentasikan “kegalauan” penulis tentang opini, wacana, berita dan
informasi yang beredar di masyarakat sejak peristiwa tersebut terjadi. Dimana menurut penulis, ada
banyak aspek yang belum terkuak (muncul) kepermukaan, sebagai suatu peristiwa yang saling
beririsan antara satu aspek dengan aspek yang lain dalam satu sistem tata kelola pemerintahan.
Bahkan sebagai akibat hanya menggunakan satu perspektif (hukum) dalam mengkaji dan membuat
kesimpulan atas kasus LP Cebongan tersebut, justru menimbulkan persoalan baru di masyarakat,
1
Penulis adalah, Direktur Lembaga Strategi Nasional (LSN), sebuah lembaga yang konsen pada bidang
advokasi dan inisiasi kebijakan, politik, ekonomi, sosial, dan pemberdayaan kemasyarakat. Mahasiswa S2 Ilmu
Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. yaitu adalah gejala fragmentasi sosial dalam bentuk dukung-mendukung antara satu kelompok
dengan kelompok lain (baca spanduk dukungan terhadap TNI dan KOPASUS). Jika hal ini tidak segera
di selesaikan secara tuntas, maka bisa terjadi kasus ini akan menjadi instrument bagi regime tertentu
sebagai domain politik yang lebih luas spektrumnya untuk dua hal, pertama , jika regimenya buruk,
maka ia bekerja dalam ranah “meng-amputasi negara”, dan kedua, jika regime-nya baik, ia
menggunakan instrument ini untuk “melegitimasi” kekuatan dan kekuasaan.
Dua Perspektif untuk Menelaah Peritiwa LP Cebongan.
Pertama, Perspektif ekonomi. DIY yang telah mendekritkan diri sebagai Kota Pelajar, merupakan
salah satu daerah tujuan calon sarjana dari seluruh penjuru daerah di Indonesia untuk melanjutkan
studi di DIY. Kehadiran para calon pemimpin masa depan ini, secara linear telah memberikan
kontribusi positif dalam menggeliatkan perekonomian DIY untuk 5 wilayah kabupaten/kota. Geliat
ekonomi tersebut dapat dilihat dari berbagai aktifitas; bisnis rumah makan, bisnis kos-kos-an, bisnis
foto copy, bisnis rental komputer, bisnis percetakan, bisnis toko buku, bisnis, alat-lat elekronik;
komputer,laptop, bisnis jasa service elektronik dan lain sebagainya. Selain itu, Geliat ekonomi di
wilayah DIY, juga dapat dilihat dari aspek pengelolaan hotel dan tempat hiburan (malam), dimana
DIY, khususnya wilayah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, bisa dikatakan geliat bisnis hiburan
(malam) sangat potensial. Tentu kedua aspek geliat ekonomi tersebut di atas, menjadi peluang bagi
pemerintahan daerah di wilayah DIY, dalam mengelola perencanaan pembangunan daerah,
khususnya pada aspek Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kehadiran para calon pemimpin masa depan
ini (mahasiswa) tentu sangat berpengaruh dalam lanjunya berbagai model bisnis ekonomi di wilayah
DIY, sehingga menurut analisa penulis bahwa mahasiswa yang masuk ke wilayah DIY telah
memberikan kontribusi positif bagi “keberlangsungan dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing
pemerintahan daerah kabupaten/kota di DIY.
Peristiwa penembakan di LP Cebongan tersebut, jika menggunakan pendekatan ekonomi-politik,
merupakan ekses dan atau small efect dari konstelasi geliat bisnis ekonomi yang melibatakan relasi
corporate, state (local governance) dengan masyarakat. Corporate dalam hal ini diwakili oleh
kelompok pebisnis hiburan malam (night club), state, yang wikili oleh pemerintahan daerah, dan
pihak kemanan. Khusus pada model bisnis tempat hiburan malam, pemerintah daerah, polisi dan
corporate tentu paham dan mengerti betul bagaimana kontribusi ekonomi terkait bisnis tersebut.
Relasi bisnis hiburan ini, tentu saja tidak hanya memberikan efect ekonomi semata, akan tetapi juga
memberikan “efect domino” terhadap model bisnis lanjutan, yaitu terkait “jasa keamanan atau jasa
pengaman” atau dengan katalain jasa security. Efect Domino inilah yang harus dikaji dan telah oleh
berbagai pihak dalam membedah kasus LP Cebongan tersebut, sehingga kasus tersebut, tidak
melahirkan kesimpulan yang partialisme (sempit), yang justru men-justifikasi salah satu pihak.
Menurut penulis, bahwa efect domino ini menjadi domain dan tanggungjawab negara
(pemerintahan daerah dan Polisi), dimana secara prosedur berdasarkan tugas pokok dan fungsi,
ketika pemerintahan daerah mengeluarkan kebijakan perijinan bisnis tempat hiburan malam (night
club), tentu tidak saja melakukan anasis ekonomi, akan tetapi harus dan “wajib melakukan analisis
dampak sosial, budaya dan keamanan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dibanyak tempat di
seluruh wilayah Indonesia, seperti halnya di DIY, bisnis hiburan malam (night club), juga
menggeliatkan bisnis lanjutan (efect domino) jasa pengamanan, baik jasa pengamanan yang secara
legal menggunakan alat-alat/perangkat negara, maupun menggunakan jasa lain diluar negara
( masyarakat dan corporate). Dari perspektif ini penulis kemudian berargumentasi bahwa kasus yang
3. terjadi, baik di Hugos Caffe, maupun di LP Cebongan merupakan ekses atau efect domino dari
menggeliatnya ekonomi dari aspek bisnis hiburan malam (night club).
Kedua, Telaah aspek Politik Kebijakan. Dalam dokumen APBD kabupaten Sleman Tahun (2010, 2011,
2012), penulis melihat bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi berasal dari sektor
pajak dan retribusi Hotel dan tempat hiburan, bahkan laju pertumbuhan pembangunan bisnis hotel
dan tempat hiburan di wilayah DIY, khususnya kabupaten Sleman sangat signifikan. Artinya bahwa
secara power of authority , negara (pemerintahan daerah) tidak hanya memiliki kemampuan untuk
melahirkan kebijakan-kebijakan (memberi ijin bisnis hiburan malam), akan tetapi juga memiliki
kekuasaan dan kewenangan dalam mengatur dan menata relasi bisnis tersebut, sehingga tidak
menimbulkan resistensi dan konflik terbuka, khususnya yang berkaitan dengan bisnis jasa
pengamanan tempat hiburan. Saya kira disinilah peranan penting pemerintahan daerah, yang tidak
hanya memikirkan soal aspek politik Anggaran, akan tetapi impact dari kebijakan politik anggaran
tersebut, juga harus di pertanggungjawabkan. Penulis menilai kasus Hugos Caffe dan LP Cebongan
harus menjadi domain pemerintahan daerah (dalam hal ini pemerintahan kabupaten Sleman)
sebagai teritorial administrasi kekuasaan dan kewenangan politik. Sangat tidak wise (bijak) jika para
pengambil kebijakan di level local governance, hanya menyerahkan begitu saja tanggungjawab
penyelesaian kasus tersebut ke ranah hukum. Pertanyaan kemudian adalah, dimana peran dan
tanggungjawab pemerintah daerah terkait ekses atau efect domino dari relasi bisnis tersebut?
Bagaimana model pengaturan bisnis hiburan malam dan bisnis jasa pengamanan yang dilakukan
oleh pemerintahan daerah setempat?. Saya kira dua pertanyaan tersebut, tidak saja ingin
menggugah negara, akan tetapi untuk mendorong adanya kajian yang komprehensif terhadap kasus
yang terjadi, sehingga negara, khususnya pemerintahan daerah memiliki early warning system dalam
mengantisipasti ekses yang sama dikemudian hari.
.