SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
DESA UNTUK RAPS
TIm ARuPA, LPPSLH, SD Inpers, PPLH Mangkubumi, LSPP/JPIK
Latarbelakang
• Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS)
merupakan salah satu agenda kerja Pemerintahan Jokowi-
JK 2015-2019. Dengan berbagai upaya, pemerintah telah
bekerja keras bersama stakeholder terkait untuk mencapai
target yang ditetapkan. Sampai dengan Februari 2018,
realisasi pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat
sebesar 2,2 juta dan izin PS terealisasi 1,5 juta hektar
(KLHK 2018). Harus diakui, capaian tersebut masih jauh
dari target yang ditetapkan.
• Daripada mengutuk pada kegelapan, lebih baik
menyalakan lilin. Banyak kalangan telah memberikan
solusi untuk percepatan pencapaian target RAPS. Selain
konsolidasi pendanaan yang saat ini tercecer di berbagai
instansi, ada pula pihak yang mengusulkan pelibatan Desa
sebagai garda utama pelaksana RAPS.
Permasalahan
• Pencapaian Kuantitatif RAPS belum optimal
• Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
belum menyelesaikan konflik agraria terutama
antara masyarakat dengan korporasi kehutanan.
PTSL hanya menyentuh tanah yang tidak
bermasalah.
• Perhutanan Sosial di Jawa paling utama yaitu ada
IPHPS dan Kemitraan PHBM. Dua skema itu saat
ini “berseteru” di lapangan. Kendati pada obyek
yang memiliki ciri berbeda, kedua pendukungnya
saling meniadakan.
• Penentuan Subyek dan Obyek PS, beberapa kasus
mengalami ketidaktepatan. Sebagai kasus, di Jawa
Timur, IPHPS di alokasikan pada tanah yang oleh
masyarakat setempat diklaim bukan kawasan
hutan.
Mengapa Desa?
• Desa adalah institusi negara paling bawah dan pemerintahan lingkup
terkecil yang dekat dan paling mengetahui kondisi bentang alam dan
sosial.
• Bersifat permanen, akan ada selama negara ini ada. Berbeda dengan
kelembagaan lain seperti kelompok tani, ataupun koperasi yang dari
berbagai pengalaman masa lalu cenderung akan bubar atau tidak aktif
mana kala program sudah berakhir atau karena tidak adanya sumber
daya untuk menggelola kelompok tersebut.
• Paradigma baru, Desa sebagai subyek pembangunan. Kedudukan
desa sebagai pemerintahan berbasis masyarakat, sebuah gabungan
dari komunitas yang mengatur dirinya sendiri (self governing
community) serta pemerintahan lokal (local self government).
• Kelembagaan yang mempunyai check and balance dan mekanisme
kontrol dan medium partisipasi yang cukup baik. Musyawarah desa
dilakukan berjenjang dari RT sampai desa. Dilakukan satu tahun
sekali. Pemilihan kepala desa 6 tahun sekali. Terdapat Badan
Permusyawaratan Desa sebagai patner kepala desa.
• Memiliki sumber pendanaan yang baik terutama setelah munculnya
UU 6/2014 tentang Desa
Relevansi Perhutanan
Sosial dalam UU Desa
Perluasan Akses
Masyarakat thd SDA
Penyelesaian
Konflik Tata Batas
Desa-Hutan
Strategi
Pembangunan&Pember
dayaan Desa
Konsolidasi
Aset Desa
Pasal 26
ayat (2)
butir j
Pasal 76
ayat (1)
Pasal 78
ayat (1):
Dalam melaksanakan tugasnya,
Kepala Desa berwenang
mengusulkan dan menerima
pelimpahan sebagian kekayaan
negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa.
Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa,
tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan,
tambatan perahu, bangunan Desa,
pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian,
hutan milik Desa, mata air milik Desa,
pemandian umum, dan aset lainnya milik
Desa.
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana
dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi
lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan.
PS sebagai instrumen
Pemberdayaan Masyarakat
Koordinasi
Musyawarah
Desa
SEVEN STEP POINTS
Pembentuk
POKJA RAPS
Pemetaan
Partisipatif &
Pendataan Subyek
Legalisasi oleh
Desa
Pengajuan
Hak & Izin
Komitmen
Pemerintahan Desa
dan Kelompok Tani
Tipe Lahan yang
berkonflik serta
pilihan skema RAPS
Rencana Kerja POKJA
RAPS Desa
(Lembaga Pengelola
Perhutanan Sosial)
Data Obyek Spasial
dan Subyek Petani
Kelembagaan
Pengelola Perhutanan
Sosial yang telah
disahkan oleh Desa
Diperolehnya Hak
Tanah dan Izin PS
Kelola
Rencana Kelola,
Pelaksanaan, M&E
kedungasri
BANYUWANGI
Tanah ini berada di pinggir hutan mangrove.
Awalnya dipenuhi dengan tanaman kehutanan
jati. Namun, penjarahan 2000an membuat gundul.
Masyarakat sejak saat itu mengolah dan
memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian
sawah dan palawija. Oleh masyarakat, tanah ini
akan diajukan Izin IPHPS
Tanah hutan yang tak luput dari penjarahan
hutan jati tahun 2000an. Penanaman kembali
cenderung berhasil di beberapa tempat,
masyarakat mengolah dan memanfaatkan
hasil dari penanaman tanaman pangan dan
palawija di sela-sela tanaman kehutanan.
Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan izin
Kemitraan.
Berdasar buku Letter C milik Pemerintah Desa Kedungasri,
seluruh wilayah Pondokasem yang mencapai 70 ha adalah
tanah milik masyarakat yang dihuni 2.000an jiwa. Selain itu,
telah terbit SPPT atas tanah tersebut sejak beberapa tahun
yang lalu. Di sisi lain, Perum Perhutani selalu mengklaim
wilayah tersebut sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi
Hutan Produksi. Kondisi wilayah tersebut saat ini adalah
berupa pemukiman permanen, pekarangan, tegalan dan
persawahan.
Berada pada kawasan hutan lindung, sebelum tahun
1980, mangrove alam ini kondisinya bagus. Lambat
laun rusak dan semakin rusak. Tahun 2000-04
masyarakat berupaya merehabilitasi 170 ha. Tahun
2010, pemerintah desa, masyarakat, DKP dan
berbagai pihak merehabilitasi 16.000 ha mangrove.
Saat ini, Pemerintah Desa kedungasri dan kelompok
masyarakat mempromosikan wisata mangrove dan
mengajukan areal itu menjadi Hutan Desa.
Grugu
CILACAP
MENGEMBALIKAN DESA YANG HILANG
Seiring dengan terbukanya ruang gerakan
masyarakat di tahun 2000an, desa yang hilang
kembali menggeliat bahkan telah terbentuk SATU
RT yang menginduk pada Desa Grugu "Baru"
Berdasarkan peta tahun 1934 telah ada Desa
Grugu "Lama" dengan segenap penduduk
dan pemerintahannya. Tapi karena "kejadian"
DI/ TII tahun 1957-1960 dan PKI tahun 1965-
1967, Desa Grugu "Lama" hilang. Hilangnya
desa ini dikatakan di"tukarguling" dengan
desa yang sekarang disebut dengan Desa
Grugu.
Berdasar tipologi yang ada, maka Desa Grugu mengajukan
desa sebagai subyek hukum bagi implementasi RAPS dengan
model:
Di Grugu "Baru" yang merupakan tanah sedimentasi
telah terbentuk pertanian (mina padi) yang
dikombinasikan dengan tanaman bakau, sayangnya
tanah tersebut diklaim oleh Perhutani. Padahal jika
masyarakat diberi hak/ akses yang luas niscaya akan
memberikan manfaat yang lebih besar untuk
kesejahteraan masyarakat dan pembangunan
pedesaan
1. Pengembalian wilayah kepada Desa Grugu dan
kemudian Desa akan memberikan hak milik kepada warga
sebagai ahli waris/ penerus/ penduduk yang telah
menempati wilayah tersebut semenjak 2000an
2. Pengembalian wilayah kepada Desa Grugu dan
kemudian akan dimanfaatkan oleh desa dengan skema
Perhutanan Sosial di mana warga diberi akses kelola,
terdapat hutan lindung dan pengelolaan oleh kelompok
maupun BUMDes
3. Wilayah sedimentasi ini menjadi tanah milik warga
Desa Grugu dengan model pengelolaan mina padi
dikombinasikan dengan tanaman bakau (Silvofishery)
Paket Konsolidasi RAPS Desa
No Desa TORA
Hutan
Desa
IPHPS Kemitraan
1 Kedungasri Banyuwangi x x x x
2 Sabrang Jember x x x x
3 Besuki Tulungagung x x
4
Tenggarejo
Tulungagung
x x
5 Ngrandu Trenggalek x x x
6 Timahan Trenggalek x
7 Grugu Cilacap x
Pemilik
(Owner)
Kepunyaan
(Proprietor)
Pemakai/Pen
yewa
(Claimant)
Pemanfaatan yang
diizinkan
(Authorized Users)
Hak atas akses
dan pemanfaatan
x x x x
Hak Pengelolaan x x x
Hak Pembatasan x x
Hak Pelepasan x
RAPS
TORA
Individu
TORA Desa HD IPHPS
Tabel 1. RAPS diukur dalam prinsip bundle of rights
Sumber: Schlager dan Ostrom 1992 dalam Afiff 2005 (dan modifikasi)
Tabel 2. Paket konsolidasi RAPS pada desa-desa Jateng & Jatim
redistribusi lahan iphps
Pengajuan IPHPS di Desa Besole yang telah diserahkan ke
Kementerian LHK awal bulan April 2018 memiliki beberapa
pembelajaran.
• Ketika dalam proses pendataan penggarap, ditemukan ada 1
orang penguasa lahan yang menguasai 80 hektar. Orang
tersebut mengaku merepresentasikan sebuah pondok
pesantren bernama PETA di Kediri. Pondok tersebut memiliki
kyai bernama Mustakim.
• Awal cerita, ada salah satu alumni pondok pesantren tersebut
yang berasal dari desa besole. Dia tergolong orang yang tidak
mampu secara ekonomi. Kemudian, dia dibantu oleh pondok
pesantren untuk mendapatkan lahan garapan di hutan besole.
Lalu berhasil menggarap lahan tersebut dan menghasilkan
uang. Lalu orang tersebut membeli atau mengganti rugi lahan-
lahan hutan yang di kuasai oleh warga dengan dalih untuk
kepentingan pondok pesantren. Itu terjadi sejak tahun 1997
hingga sekarang (akhir 2017 ketika warga besole mulai
menyiapkan pengajuan iphps).
• Ketika masyarakat besole mengajukan, maka PPL Mangkubumi
mengajak masyarakat untuk meredistribusi lahan 80 hektar tersebut.
Cara yang ditempuh, perwakilan kelompok tani hutan besole
mendatangi orang yang menguasai lahan 80 hektar tersebut untuk
menyampaikan tentang P39, bahwa warga besuki mennginginkan lahan
tersebut dan ada batasan maksimal penguasaan lahan per petani 2
hektar. Waktu itu, orang tersebut bertempat tinggal di Kediri dan sudah
menjadi kepala desa di kediri. Orang tersebut menolak dengan dalih
yang sama, yaitu itu lahan untuk kepentingan pondok pesantren.
• Lalu masyarakat dan PPLH mendatangi pihak pondok pesantren untuk
mengklarifikasi dua hal: pertama, apakah benar orang tersebut
merupakan pengurus pondok pesantren? kedua, apakah benar hasil
dari pengolahan lahan 80 hektar itu untuk kepentingan pondok
pesantren? atas dua pertanyaan tersebut, jawabannya TIDAK. Orang
tersebut memang pernah memberikan bantuan kepada pondok
pesantren tetapi tidak secara kontinyu dan tidak menerangkan bahwa itu
dari hasil lahan 80 hektar.
• Akhirnya, setelah mengkonfrontir kedua pihak ( orang tersebut dan
pihak pesantren), orang tersebut menerima tanahnya diredistribusi
kepada masyarakat.
pembelajaran lapangan
• Pada desa-desa tersebut, sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) tipologi lahan konflik yaitu (1). Tanah yg
secara historis ataupun fakta lapangan yang tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan PS tetapi
harus RA; (2). Lahan yang berpotensi untuk di PS kan; (3). Tanah negara yg belum jelas status
hukumnya. Sehingga perlu kehati-hatian dalam menentukan skema reform yang sesuai. Jangan
sampai merugikan subyek RAPS itu sendiri.
• Sangat penting pemahaman yang mumpuni tentang RAPS pada Pemerintah Desa dan Organisasi
Tani. Sehingga dalam koordinasi dan musyawarah desa dapat menyepakati Desa sebagai subyek
hukum penerima RAPS. Agar tidak elite capture dan meng-eksklusi masyarakat yang semestinya
berhak atas obyek RAPS, dalam koordinasi awal dan musyawarah desa, tentu saja organisasi tani
yang paling dominan karena mereka yang paling berkepentingan atas program ini. Dalam penentuan
subyek RAPS, diutamakan penggarap yang ada saat ini, dengan memperhatikan ketentuan luasan
maksimal, kondisi ekonomi keluarga, serta jarak domisili dengan lahan.
• Beberapa faedah Desa menjadi subyek hukum penerima RAPS: (1).mencegah konflik antar calon
subyek RAPS terutama saat ini antara pendukung IPHPS dan pendukung PHBM (P.39 & P.83);
(2).meminimalisir resiko kesalahan penentuan subyek dan obyek RAPS karena Desa institusi
pemerintahan terbawah yang memiliki data faktual kondisi desa; (3).menjadi pelindung dari investasi,
pengaruh, ancaman dari luar yang merugikan masyarakat; (4).memiliki struktur pemerintahan dan
anggaran yang dapat dialokasikan untuk RAPS misal kegiatan rapat, pendataan, dan pemetaan;
(5).jaminan keberlanjutan pertanggungjawaban obyek RAPS yang telah diterima.
Rancangan
Musyawarah Desa
Perdes
SK Kades
RPJMD
APBD
RPJMDes
APBDes Pemerintah Desa BPD
Lembaga Pengelola
Perhutanan Sosial
LPHD
Kelompok
IPHPS
Kelompok
Kemitraan
Badan Pengelola
Obyek RA
Individu Penerima
Obyek RA
STRUKTUR DESA SUBYEK HUKUM PENERIMA RAPS
SUPPORTING ASPECT KONTROL / ME
BPD & Social
Capital/Institution
Pilkades
Pemda, Pempus,
CSO, Swasta
Pemda, Pempus,
CSO, Media
Rekomendasi
Urgensi Kebijakan Agraria Desa (Shohibuddin 2018)
• Asas Rekognisi—yakni pengakuan negara terhadap hak asal usul
desa—sebaiknya dimaknai pengakuan negara secara aktif melalui
redistribusi aset-aset negara kepada desa. Dalam arti tidak hanya
kucuran dana, tetapi pemberian wewenang kepada desa atas
sumber-sumber agraria (termasuk hutan) karena secara asal usul
merupakan bagian dari sistem pemerintahan desa.
• Asas Subsidaritas—kewenangan skala lokal desa—sebaiknya
dimaknai termasuk tata pengurusan (governance) atas sumber-
sumber agraria (termasuk hutan). Kasus redistribusi ala IPHPS
tersebut akan lebih optimal jika desa dapat menjalankan land reform
skala lokal. Desa dapat mengatur tata guna hutan serta mengatur
hubungan antara warga dengan hutan serta hubungan warga
dengan warga tentang hubungannya dengan hutan.
• Demoktratisasi Desa dengan tujuan utama mencegah otonomi desa
yang tercermin dalam 2 asas tersebut di atas tidak menjadi pedang
bermata dua, di satu sisi memperluas akses masyarakat terhadap
hutan, tapi di sisi lain juga mengekslusi atau meniadakan kaum
miskin dan marginal yang seharusnya menjadi pihak yang berhak
atas program RAPS ini.
• Evaluasi dan kontrol atas otonomi desa ini terkait proses
diferensiasi manfaat, lima pertanyaan agraria kritis ini dapat
diajukan pada awal dan secara berkala ke depan: (1) siapa
menguasai apa; (2) siapa mengerjakan apa; (3) siapa memperoleh
hasil apa; (4) mereka gunakan untuk apa perolehan itu; (5) apa
yang mereka lakukan kepada satu sama lain.
Rekomendasi
Pengakuan Desa sebagai subyek hukum penerima
RAPS
Bentuk Kebijakan
- Revisi PermenLHK 39/2017 atau Pembuatan
Perdirjen Baru
- Permendesa PDTT tentang Desa subyek hukum
RAPS
Implikasi
- Penyerahan atau pengkonsultasian PITORA &
PIAPS kepada Desa (25 ribu Desa Indonesia atau 6
ribu Desa Jawa)
- Desa dapat mengajukan paket RAPS versi Desa
serta menjadi subyek hukum penerima RAPS
ULTIMATE GOAL

More Related Content

Similar to RAPS Desa

Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agraria
Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agrariaEdit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agraria
Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agrariaPanji Kharisma Jaya
 
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaPemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaHabibullah
 
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdf
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdfPENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdf
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdfGeryToya
 
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialPeningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialRamlanNugraha3
 
Bunga rampai alamku 2007 hutan papua
Bunga rampai alamku 2007 hutan papuaBunga rampai alamku 2007 hutan papua
Bunga rampai alamku 2007 hutan papuasumardi basri
 
Menyoal reforma agraria ala jokowi
Menyoal reforma agraria ala jokowiMenyoal reforma agraria ala jokowi
Menyoal reforma agraria ala jokowiSiti Chaakimah
 
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdfoheokhr73
 
Hutan desa setengah hati
Hutan desa   setengah hatiHutan desa   setengah hati
Hutan desa setengah hatiZainuri Hasyim
 
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdfPT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdfSubditSumberdayaPend
 
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...MaxciYusminto
 
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptx
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptxH5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptx
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptxJimmyWilopo
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialRyadhi EthniCitizen
 
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatan
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatanKampung kuta dalam teropong antropologi kesehatan
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatanBocah Buana
 
Sustainability Ekologi
Sustainability EkologiSustainability Ekologi
Sustainability EkologiTri Cahyono
 
Rencana pengembangan kawasan desa
Rencana pengembangan kawasan desaRencana pengembangan kawasan desa
Rencana pengembangan kawasan desaTeguh Kristyanto
 
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan MasyarakatAndhika Vega Praputra
 

Similar to RAPS Desa (20)

Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agraria
Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agrariaEdit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agraria
Edit 5 25102017 optimalisasi pemanfaatan lahan reforma agraria
 
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat DesaPemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
Pemanfataan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Masyarakat Desa
 
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdf
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdfPENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdf
PENGUATAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA (LPMD) menuju desa mandiri.pdf
 
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan SosialPeningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Perhutanan Sosial
 
Bunga rampai alamku 2007 hutan papua
Bunga rampai alamku 2007 hutan papuaBunga rampai alamku 2007 hutan papua
Bunga rampai alamku 2007 hutan papua
 
Pp lumbung desa
Pp lumbung desaPp lumbung desa
Pp lumbung desa
 
Menyoal reforma agraria ala jokowi
Menyoal reforma agraria ala jokowiMenyoal reforma agraria ala jokowi
Menyoal reforma agraria ala jokowi
 
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
20190410111348-program-dlh-kabupaten-bandung.pdf
 
Hutan desa setengah hati
Hutan desa   setengah hatiHutan desa   setengah hati
Hutan desa setengah hati
 
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdfPT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem  di Jambi.pdf
PT. REKI_Tantangan dan Peluang Restorasi Ekosistem di Jambi.pdf
 
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...
Pertemuan ke 6 (5. Fungsi Kearifan Lokal 6.Contoh Kearifan Lokal 7. Tantangan...
 
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptx
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptxH5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptx
H5. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif.pptx
 
POLA KERUANGAN DESA.pptx
POLA KERUANGAN DESA.pptxPOLA KERUANGAN DESA.pptx
POLA KERUANGAN DESA.pptx
 
2690621.ppt
2690621.ppt2690621.ppt
2690621.ppt
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
 
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatan
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatanKampung kuta dalam teropong antropologi kesehatan
Kampung kuta dalam teropong antropologi kesehatan
 
Sustainability Ekologi
Sustainability EkologiSustainability Ekologi
Sustainability Ekologi
 
Rencana pengembangan kawasan desa
Rencana pengembangan kawasan desaRencana pengembangan kawasan desa
Rencana pengembangan kawasan desa
 
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
150116 Policy Brief_Menata Era Baru Kehutanan Masyarakat
 

RAPS Desa

  • 1. DESA UNTUK RAPS TIm ARuPA, LPPSLH, SD Inpers, PPLH Mangkubumi, LSPP/JPIK
  • 2. Latarbelakang • Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) merupakan salah satu agenda kerja Pemerintahan Jokowi- JK 2015-2019. Dengan berbagai upaya, pemerintah telah bekerja keras bersama stakeholder terkait untuk mencapai target yang ditetapkan. Sampai dengan Februari 2018, realisasi pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat sebesar 2,2 juta dan izin PS terealisasi 1,5 juta hektar (KLHK 2018). Harus diakui, capaian tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan. • Daripada mengutuk pada kegelapan, lebih baik menyalakan lilin. Banyak kalangan telah memberikan solusi untuk percepatan pencapaian target RAPS. Selain konsolidasi pendanaan yang saat ini tercecer di berbagai instansi, ada pula pihak yang mengusulkan pelibatan Desa sebagai garda utama pelaksana RAPS.
  • 3. Permasalahan • Pencapaian Kuantitatif RAPS belum optimal • Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap belum menyelesaikan konflik agraria terutama antara masyarakat dengan korporasi kehutanan. PTSL hanya menyentuh tanah yang tidak bermasalah. • Perhutanan Sosial di Jawa paling utama yaitu ada IPHPS dan Kemitraan PHBM. Dua skema itu saat ini “berseteru” di lapangan. Kendati pada obyek yang memiliki ciri berbeda, kedua pendukungnya saling meniadakan. • Penentuan Subyek dan Obyek PS, beberapa kasus mengalami ketidaktepatan. Sebagai kasus, di Jawa Timur, IPHPS di alokasikan pada tanah yang oleh masyarakat setempat diklaim bukan kawasan hutan.
  • 4. Mengapa Desa? • Desa adalah institusi negara paling bawah dan pemerintahan lingkup terkecil yang dekat dan paling mengetahui kondisi bentang alam dan sosial. • Bersifat permanen, akan ada selama negara ini ada. Berbeda dengan kelembagaan lain seperti kelompok tani, ataupun koperasi yang dari berbagai pengalaman masa lalu cenderung akan bubar atau tidak aktif mana kala program sudah berakhir atau karena tidak adanya sumber daya untuk menggelola kelompok tersebut. • Paradigma baru, Desa sebagai subyek pembangunan. Kedudukan desa sebagai pemerintahan berbasis masyarakat, sebuah gabungan dari komunitas yang mengatur dirinya sendiri (self governing community) serta pemerintahan lokal (local self government). • Kelembagaan yang mempunyai check and balance dan mekanisme kontrol dan medium partisipasi yang cukup baik. Musyawarah desa dilakukan berjenjang dari RT sampai desa. Dilakukan satu tahun sekali. Pemilihan kepala desa 6 tahun sekali. Terdapat Badan Permusyawaratan Desa sebagai patner kepala desa. • Memiliki sumber pendanaan yang baik terutama setelah munculnya UU 6/2014 tentang Desa
  • 5. Relevansi Perhutanan Sosial dalam UU Desa Perluasan Akses Masyarakat thd SDA Penyelesaian Konflik Tata Batas Desa-Hutan Strategi Pembangunan&Pember dayaan Desa Konsolidasi Aset Desa Pasal 26 ayat (2) butir j Pasal 76 ayat (1) Pasal 78 ayat (1): Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa berwenang mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa. Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. PS sebagai instrumen Pemberdayaan Masyarakat
  • 6. Koordinasi Musyawarah Desa SEVEN STEP POINTS Pembentuk POKJA RAPS Pemetaan Partisipatif & Pendataan Subyek Legalisasi oleh Desa Pengajuan Hak & Izin Komitmen Pemerintahan Desa dan Kelompok Tani Tipe Lahan yang berkonflik serta pilihan skema RAPS Rencana Kerja POKJA RAPS Desa (Lembaga Pengelola Perhutanan Sosial) Data Obyek Spasial dan Subyek Petani Kelembagaan Pengelola Perhutanan Sosial yang telah disahkan oleh Desa Diperolehnya Hak Tanah dan Izin PS Kelola Rencana Kelola, Pelaksanaan, M&E
  • 8.
  • 9. Tanah ini berada di pinggir hutan mangrove. Awalnya dipenuhi dengan tanaman kehutanan jati. Namun, penjarahan 2000an membuat gundul. Masyarakat sejak saat itu mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian sawah dan palawija. Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan Izin IPHPS Tanah hutan yang tak luput dari penjarahan hutan jati tahun 2000an. Penanaman kembali cenderung berhasil di beberapa tempat, masyarakat mengolah dan memanfaatkan hasil dari penanaman tanaman pangan dan palawija di sela-sela tanaman kehutanan. Oleh masyarakat, tanah ini akan diajukan izin Kemitraan.
  • 10. Berdasar buku Letter C milik Pemerintah Desa Kedungasri, seluruh wilayah Pondokasem yang mencapai 70 ha adalah tanah milik masyarakat yang dihuni 2.000an jiwa. Selain itu, telah terbit SPPT atas tanah tersebut sejak beberapa tahun yang lalu. Di sisi lain, Perum Perhutani selalu mengklaim wilayah tersebut sebagai kawasan hutan negara dengan fungsi Hutan Produksi. Kondisi wilayah tersebut saat ini adalah berupa pemukiman permanen, pekarangan, tegalan dan persawahan. Berada pada kawasan hutan lindung, sebelum tahun 1980, mangrove alam ini kondisinya bagus. Lambat laun rusak dan semakin rusak. Tahun 2000-04 masyarakat berupaya merehabilitasi 170 ha. Tahun 2010, pemerintah desa, masyarakat, DKP dan berbagai pihak merehabilitasi 16.000 ha mangrove. Saat ini, Pemerintah Desa kedungasri dan kelompok masyarakat mempromosikan wisata mangrove dan mengajukan areal itu menjadi Hutan Desa.
  • 13. Seiring dengan terbukanya ruang gerakan masyarakat di tahun 2000an, desa yang hilang kembali menggeliat bahkan telah terbentuk SATU RT yang menginduk pada Desa Grugu "Baru" Berdasarkan peta tahun 1934 telah ada Desa Grugu "Lama" dengan segenap penduduk dan pemerintahannya. Tapi karena "kejadian" DI/ TII tahun 1957-1960 dan PKI tahun 1965- 1967, Desa Grugu "Lama" hilang. Hilangnya desa ini dikatakan di"tukarguling" dengan desa yang sekarang disebut dengan Desa Grugu.
  • 14. Berdasar tipologi yang ada, maka Desa Grugu mengajukan desa sebagai subyek hukum bagi implementasi RAPS dengan model: Di Grugu "Baru" yang merupakan tanah sedimentasi telah terbentuk pertanian (mina padi) yang dikombinasikan dengan tanaman bakau, sayangnya tanah tersebut diklaim oleh Perhutani. Padahal jika masyarakat diberi hak/ akses yang luas niscaya akan memberikan manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan pedesaan 1. Pengembalian wilayah kepada Desa Grugu dan kemudian Desa akan memberikan hak milik kepada warga sebagai ahli waris/ penerus/ penduduk yang telah menempati wilayah tersebut semenjak 2000an 2. Pengembalian wilayah kepada Desa Grugu dan kemudian akan dimanfaatkan oleh desa dengan skema Perhutanan Sosial di mana warga diberi akses kelola, terdapat hutan lindung dan pengelolaan oleh kelompok maupun BUMDes 3. Wilayah sedimentasi ini menjadi tanah milik warga Desa Grugu dengan model pengelolaan mina padi dikombinasikan dengan tanaman bakau (Silvofishery)
  • 15. Paket Konsolidasi RAPS Desa No Desa TORA Hutan Desa IPHPS Kemitraan 1 Kedungasri Banyuwangi x x x x 2 Sabrang Jember x x x x 3 Besuki Tulungagung x x 4 Tenggarejo Tulungagung x x 5 Ngrandu Trenggalek x x x 6 Timahan Trenggalek x 7 Grugu Cilacap x Pemilik (Owner) Kepunyaan (Proprietor) Pemakai/Pen yewa (Claimant) Pemanfaatan yang diizinkan (Authorized Users) Hak atas akses dan pemanfaatan x x x x Hak Pengelolaan x x x Hak Pembatasan x x Hak Pelepasan x RAPS TORA Individu TORA Desa HD IPHPS Tabel 1. RAPS diukur dalam prinsip bundle of rights Sumber: Schlager dan Ostrom 1992 dalam Afiff 2005 (dan modifikasi) Tabel 2. Paket konsolidasi RAPS pada desa-desa Jateng & Jatim
  • 16. redistribusi lahan iphps Pengajuan IPHPS di Desa Besole yang telah diserahkan ke Kementerian LHK awal bulan April 2018 memiliki beberapa pembelajaran. • Ketika dalam proses pendataan penggarap, ditemukan ada 1 orang penguasa lahan yang menguasai 80 hektar. Orang tersebut mengaku merepresentasikan sebuah pondok pesantren bernama PETA di Kediri. Pondok tersebut memiliki kyai bernama Mustakim. • Awal cerita, ada salah satu alumni pondok pesantren tersebut yang berasal dari desa besole. Dia tergolong orang yang tidak mampu secara ekonomi. Kemudian, dia dibantu oleh pondok pesantren untuk mendapatkan lahan garapan di hutan besole. Lalu berhasil menggarap lahan tersebut dan menghasilkan uang. Lalu orang tersebut membeli atau mengganti rugi lahan- lahan hutan yang di kuasai oleh warga dengan dalih untuk kepentingan pondok pesantren. Itu terjadi sejak tahun 1997 hingga sekarang (akhir 2017 ketika warga besole mulai menyiapkan pengajuan iphps). • Ketika masyarakat besole mengajukan, maka PPL Mangkubumi mengajak masyarakat untuk meredistribusi lahan 80 hektar tersebut. Cara yang ditempuh, perwakilan kelompok tani hutan besole mendatangi orang yang menguasai lahan 80 hektar tersebut untuk menyampaikan tentang P39, bahwa warga besuki mennginginkan lahan tersebut dan ada batasan maksimal penguasaan lahan per petani 2 hektar. Waktu itu, orang tersebut bertempat tinggal di Kediri dan sudah menjadi kepala desa di kediri. Orang tersebut menolak dengan dalih yang sama, yaitu itu lahan untuk kepentingan pondok pesantren. • Lalu masyarakat dan PPLH mendatangi pihak pondok pesantren untuk mengklarifikasi dua hal: pertama, apakah benar orang tersebut merupakan pengurus pondok pesantren? kedua, apakah benar hasil dari pengolahan lahan 80 hektar itu untuk kepentingan pondok pesantren? atas dua pertanyaan tersebut, jawabannya TIDAK. Orang tersebut memang pernah memberikan bantuan kepada pondok pesantren tetapi tidak secara kontinyu dan tidak menerangkan bahwa itu dari hasil lahan 80 hektar. • Akhirnya, setelah mengkonfrontir kedua pihak ( orang tersebut dan pihak pesantren), orang tersebut menerima tanahnya diredistribusi kepada masyarakat.
  • 17. pembelajaran lapangan • Pada desa-desa tersebut, sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) tipologi lahan konflik yaitu (1). Tanah yg secara historis ataupun fakta lapangan yang tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan PS tetapi harus RA; (2). Lahan yang berpotensi untuk di PS kan; (3). Tanah negara yg belum jelas status hukumnya. Sehingga perlu kehati-hatian dalam menentukan skema reform yang sesuai. Jangan sampai merugikan subyek RAPS itu sendiri. • Sangat penting pemahaman yang mumpuni tentang RAPS pada Pemerintah Desa dan Organisasi Tani. Sehingga dalam koordinasi dan musyawarah desa dapat menyepakati Desa sebagai subyek hukum penerima RAPS. Agar tidak elite capture dan meng-eksklusi masyarakat yang semestinya berhak atas obyek RAPS, dalam koordinasi awal dan musyawarah desa, tentu saja organisasi tani yang paling dominan karena mereka yang paling berkepentingan atas program ini. Dalam penentuan subyek RAPS, diutamakan penggarap yang ada saat ini, dengan memperhatikan ketentuan luasan maksimal, kondisi ekonomi keluarga, serta jarak domisili dengan lahan. • Beberapa faedah Desa menjadi subyek hukum penerima RAPS: (1).mencegah konflik antar calon subyek RAPS terutama saat ini antara pendukung IPHPS dan pendukung PHBM (P.39 & P.83); (2).meminimalisir resiko kesalahan penentuan subyek dan obyek RAPS karena Desa institusi pemerintahan terbawah yang memiliki data faktual kondisi desa; (3).menjadi pelindung dari investasi, pengaruh, ancaman dari luar yang merugikan masyarakat; (4).memiliki struktur pemerintahan dan anggaran yang dapat dialokasikan untuk RAPS misal kegiatan rapat, pendataan, dan pemetaan; (5).jaminan keberlanjutan pertanggungjawaban obyek RAPS yang telah diterima.
  • 18. Rancangan Musyawarah Desa Perdes SK Kades RPJMD APBD RPJMDes APBDes Pemerintah Desa BPD Lembaga Pengelola Perhutanan Sosial LPHD Kelompok IPHPS Kelompok Kemitraan Badan Pengelola Obyek RA Individu Penerima Obyek RA STRUKTUR DESA SUBYEK HUKUM PENERIMA RAPS SUPPORTING ASPECT KONTROL / ME BPD & Social Capital/Institution Pilkades Pemda, Pempus, CSO, Swasta Pemda, Pempus, CSO, Media
  • 19. Rekomendasi Urgensi Kebijakan Agraria Desa (Shohibuddin 2018) • Asas Rekognisi—yakni pengakuan negara terhadap hak asal usul desa—sebaiknya dimaknai pengakuan negara secara aktif melalui redistribusi aset-aset negara kepada desa. Dalam arti tidak hanya kucuran dana, tetapi pemberian wewenang kepada desa atas sumber-sumber agraria (termasuk hutan) karena secara asal usul merupakan bagian dari sistem pemerintahan desa. • Asas Subsidaritas—kewenangan skala lokal desa—sebaiknya dimaknai termasuk tata pengurusan (governance) atas sumber- sumber agraria (termasuk hutan). Kasus redistribusi ala IPHPS tersebut akan lebih optimal jika desa dapat menjalankan land reform skala lokal. Desa dapat mengatur tata guna hutan serta mengatur hubungan antara warga dengan hutan serta hubungan warga dengan warga tentang hubungannya dengan hutan. • Demoktratisasi Desa dengan tujuan utama mencegah otonomi desa yang tercermin dalam 2 asas tersebut di atas tidak menjadi pedang bermata dua, di satu sisi memperluas akses masyarakat terhadap hutan, tapi di sisi lain juga mengekslusi atau meniadakan kaum miskin dan marginal yang seharusnya menjadi pihak yang berhak atas program RAPS ini. • Evaluasi dan kontrol atas otonomi desa ini terkait proses diferensiasi manfaat, lima pertanyaan agraria kritis ini dapat diajukan pada awal dan secara berkala ke depan: (1) siapa menguasai apa; (2) siapa mengerjakan apa; (3) siapa memperoleh hasil apa; (4) mereka gunakan untuk apa perolehan itu; (5) apa yang mereka lakukan kepada satu sama lain. Rekomendasi Pengakuan Desa sebagai subyek hukum penerima RAPS Bentuk Kebijakan - Revisi PermenLHK 39/2017 atau Pembuatan Perdirjen Baru - Permendesa PDTT tentang Desa subyek hukum RAPS Implikasi - Penyerahan atau pengkonsultasian PITORA & PIAPS kepada Desa (25 ribu Desa Indonesia atau 6 ribu Desa Jawa) - Desa dapat mengajukan paket RAPS versi Desa serta menjadi subyek hukum penerima RAPS ULTIMATE GOAL