SlideShare a Scribd company logo
1 of 128
Download to read offline
LAPORAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP
KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA
(KPBU)
STUDI KASUS TPPAS REGIONAL LULUT
NAMBO, KAB. BOGOR
Prodi MPWK – SAPPK Institut Teknologi Bandung
dengan
PUSBINDIKLATREN BAPPENAS
Bandung, 24 Juli – 4 Agustus 2017
DAFTAR ISI
Bab I Aspek Ekonomi dan Finansial............................................................................... 1
Bab II Aspek Teknik dan Desain................................................................................ 18
Bab III Aspek Hukum dan Regulasi ............................................................................ 38
Bab IV Aspek Sosial dan Kependudukan..................................................................... 49
Bab V Aspek Organisasi dan Kelembagaan ............................................................... 51
Bab VI Aspek Lingkungan dan Dampak Pencemaran ................................................. 96
1
Bab I Aspek Ekonomi dan Finansial
Oleh :
Gilang Bayu Erlangga, Se / Bappeda Prov. Jawa Barat
Ilma Berty, St, Me / Setda Kab. Bungo
Imilda Septiana, Se., Me / Bpkad Kab. Bungo
Sri Wahyuni Nur Ahmad, Sp, M.Eng / Bappeda Kab. Serdang Bedagai
2
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk
terbesar di Indonesia. Pada tahun 2016, jumlah penduduk Jawa Barat sebesar 47.789.739 jiwa
dengan luas wilayah 3.709.528,44 Ha. Jumlah penduduk yang besar merupakan potensi
positif bagi Provinsi Jawa Barat, namun demikian, hal ini dapat mendatangkan permasalahan
juga bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang salah satunya adalah masalah persampahan.
Gambar 1.1
Peta Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah yang melarang pembuangan terbuka (open dumping) dan data dari Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, menyebutkan bahwa total timbunan sampah di
Provinsi Jawa Barat sebesar 42.000 m³ per hari setara dengan 16.800 ton per hari, sementara
lahan TPA terutama di wilayah perkotaan terbatas. Dengan kondisi ini, maka Provinsi Jawa
Barat membutuhkan sarana infrastruktur persampahan yang memadai sebagai Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pengolahan Pembuangan Akhir Sampah
(TPPAS) agar tidak terjadi penimbunan jumlah sampah yang dapat berakibat pada
pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat.
Pembangunan infrastruktur TPPAS ini terkendala dalam hal pembiayaan
dikarenakan terbatasnya ketersediaan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD
Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan
sumber daya manusia, teknologi, serta aspek-aspek teknis lainnya. Karenanya Pemerintah
Provinsi Jawa Barat menginisiasi proyek TPPAS dengan skema PPP.
Tetapi pemerintah harus tetap memperhatikan unsur profitabilitas disamping
memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat, karena hal ini berkaitan dengan
Badan Usaha yang nantinya akan dibentuk melalui skema PPP tersebut.
Proyek PPP dimaksud diantaranya adalah TPPAS Lulut Nambo yang dipersiapkan
sebagai infrastruktur untuk mengatasi masalah persampahan regional. Adapun cakupan
pelayanan TPPAS Lulut Nambo meliputi 3 (tiga) kab./kota, yaitu Kab. Bogor, Kota Bogor,
dan Kota Depok.
3
Oleh karena itu, berdasarkan data dan kondisi di lapangan terkait beragam masalah
yang terjadi, serta solusi untuk membangun infrastruktur TPPAS Lulut nambo, maka
penyusun merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut terkait pembangunan TPPAS Lulut Nambo
pada aspek ekonomi dan finansial.
1.2 Landasan Hukum
Landasan hukum dalam pelaksanaan proyek PPP sebagai berikut:
– Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan perubahannya (Perpres 13/2010, Perpres
56/2011, Perpres 66/2013).;
– Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur
– Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur
– Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur
– Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah [menggantikan PP Nomor 38 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah]
– UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
– PP Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
– Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah
– Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
Daerah Dengan Pihak Luar Negeri
– Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
– Dan lain-lain yang merupakan Peraturan Sektoral.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud penyusunan laporan ini adalah untuk menuangkan hasil pengamatan /survey
lapangan dan FGD pembangunan TPPAS Lulut Nambo dari segi aspek ekonomi dan
finansial.
Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk memberikan informasi dan
rekomendasi terkait aspek ekonomi dan finansial TPPAS Lulut Nambo.
4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
TPPAS Lulut Nambo dibangun berdasarkan Kesepakatan Bersama Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, Pemkab. Bogor, Pemkot Bogor, dan Pemkot Depok pada Tanggal 29
Januari 2009, tentang Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional
Nambo, dan Keputusan Bersama pada Tanggal 29 Januari 2009 tentang Penunjukan Lokasi
TPPAS Regional di Desa Nambo dan Desa Lulut. Kesepakatan bersama tersebut
ditindaklanjuti dengan beberapa perjanjian kerjasama, yaitu :
1. Perjanjian Kerjasama Pemprov. Jabar, Pemkab. Bogor, PT. ITP dan PT. CCIE, 5 Januari
2012 tentang Penyediaan Jalan Akses.
2. Perjanjian Kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemkab. Bogor, Pemkot Bogor,
Pemkot Depok, 18 Agustus 2014 tentang Kerjasama pengolahan dan pemrosesan akhir
sampah regional Nambo.
3. Perjanjian Kerjasama Pemprov. Jabar dengan Perum Perhutani, 02 Desember 2014 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan seluas 40 Ha untuk TPPAS Regional Nambo
4. Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Pemprov Jabar dengan
PT. Jabar Bersih Lestari pada Tanggal 21 Juni 2017
Dalam perjanjian kerjasama pada tanggal 18 Agustus 2014, disebutkan bahwa
komponen pembiayaan TPPAS Regional Lulut Nambo meliputi Biaya investasi untuk sarana
dan prasarana TPPAS adalah sebesar lebih kurang Rp. 593.750.000.000. sedangkan untuk
biaya operasional dan pemeliharaan per tahun adalah sebesar Rp. 68.985.000.000.
Berdasarkan perhitungan biaya operasional dan pemeliharaan tersebut dan dibagi dengan
jumlah sampah rata-rata yang diangkut ke TPPAS, maka ditetapkan Kompensasi Jasa
Pelayanan (KJP) sebesar Rp. 126.000/Ton.
Tabel 1.1
Potensi Kuantitas Sampah TPPAS Regional Nambo
Proses pengolahan sampah di TPPAS Regional Nambo ini menghasilkan 2 (dua)
jenis output utama yang memiliki nilai jual, yaitu Refuse Derived Fuel (RDF) dan kompos.
Berdasarkan hasil kajian pra-Feasibility Study (Pra-FS), Penanganan Sampah yang dijadikan
RDF sudah ada rujukannya yaitu DG Khan Cement Plant di Pakistan yang sudah membuat
project design documentation (PDD) untuk mensubtitusi sebagian penggunaan batubara
sebanyak 6.714,8 ton per hari dari total penggunaan batubara sebesar 166.921 ton batu bara
dengan RDF yang berasal dari agriculture waste dan municipal solid waste (msw) dengan
potensi penyelamatan karbon sebesar 149.469 ton CO2/tahun. Sampah yang dipakai untuk
menciptakan RDF mempunyai total volume sebesar 168.839 metrik ton sampah setahun atau
5
462,57 metrik ton sampah per hari dengan potensi pengurangan emisi karbon sebesar 168.839
ton CO2/tahun.
Proyek sampah menjadi RDF untuk mensubtitusi penggunaan batubara menjadi
RDF di pabrik semen bisa mendapatkan karbon kredit dengan menggunakan metodologi
yang ada di UNFCCC dengan kode ACM 003 versi 07.3 reduksi emisi sebagian energy fossil
dengan energy alternative atau bahan bakar beremisi karbon rendah di pabrik semen. Karbon
kredit ini bisa berlaku dengan unsure additionality karena TPPAS di Nambo memerlukan
biaya investasi yang cukup besar sedangkan penjualan RDF dan composting saja masih
menghasilkan tingkat IRR yang rendah dan NPV yang negative sehingga harus dibantu
pemerintah dengan tipping fee sekitar 10 sampai dengan 18 dollar per metric ton sampah dan
juga perlu diberikan insentif tambahan melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM)
sehingga memperoleh karbon kredit agar proyek TPPAS Nambo ini bisa berjalan. Jika bisa
disetujui UNFCCC setelah proses verifikasi dan validasi serta monitoring yang akan
menghasilkan sertifikat pengurangan emisi, maka proyek di DG Khan Cement Plant Pakistan,
sebagai contoh, bisa menghasilkan karbon kredit sebesar 149.649 CER x 5 USD/CER =
748.245 USD atau 7,108 Miliar Rupiah setahun selama 10 tahun.
TPPAS Nambo dengan kapasitas sampah diproyeksikan sebesar 482 metrik ton per
hari pun akan menghasilkan jumlah karbon kredit yang diestimasikan sekitar 155.935 MT
karbon atau CER ekuivalen dengan 7,4 Miliar rupiah per tahun selama 10 tahun dengan
asumsi harga karbon kredit sekitar 5 USD per metric ton, adapun perhitungan ini masih harus
dikaji ulang karena perbedaan jenis sampah dengan proyek di Pakistan sehingga
menghasilkan potensi tonase reduksi karbon yang berbeda. Untuk memuluskan upaya ini
maka pihak pengelola TPPAS bekerja sama dengan pabrik semen sebagai end-user untuk
mendapatkan peluang yang lebih besar di dalam mendapatkan karbon kredit karena end user
yang akan menggunakan energi terbarukan dan rendah emisi yang sebenarnya berhak
mendapatkan dana karbon kredit sebagai insentif.
Dasar-dasar perhitungan tersebut di atas, menjadi salah satu bahan pertimbangan
dalam menentukan kelayakan proyek ini yang dituangkan sebagai berikut :
6
Tabel 1.2
Kelayakan Proyek TPPAS Regional Nambo
Dari
analisis
di atas
maka
dapat
disimpulkan bahwa kegiatan TPPAS Nambo ini memberikan efek positif/manfaat sebesar
460,45 Milyar Rupiah.
Selain analisa kelayakan, dalam dokumen pra-FS juga disajikan hasil analisa
pendapatan yang akan diperoleh apabila asumsi komposisi produksi yang akan dilakukan
adalah 10 persen kompos dan 90 persen RDF.
Penjualan Kompos
Dengan asumsi jumlah sampah yang masuk untuk diproduksi sebesar 10 persen
dari sampah yang keluar dari biodrying maka produksi kompos yang bisa dihasilkan adalah
sebesar 2.82 Ton/hari . Harga kompos di pasaran adalah senilai $38.89/ton maka bisa
diperkirakan penghasilan yang akan diterima dari hasil penjualan kompos adalah sebesar
1,015.2 x $38.89=$39,481.13/tahun.
Penjualan RDF
Pengelolaan limbah padat perkotaan ditandai sebagai salah satu masalah lingkungan
yang serius di Indonesia.Dalam hal ini, produksi dan pemanfaatan bahan bakar alternative
yang berasal dari pengolahan sampah yaitu (RDF) dapat memberikan kontribusi bagi
lingkungan global dan lokal. Dengan asumsi jumlah sampah yang masuk untuk diproduksi
sebagai RDF adalah sebesar 90 persen maka akan dihasilkan RDF sebanyak 415.8 ton/hari
dengan harga RDF di pasaran sebesar $23.68 /ton diperkirakan penghasilan yang akan
diterima dari hasil penjualan RDF adalah sebesar 149,668 ton/tahun x $23.68 =
$3,544,611.84/tahun.
Penjualan Recycle Material
Harga pasar untuk sampah plastic tergantung dari jenis tipe plastic ,namun berkisar
pada harga Rp.350-Rp.3000/kg..Namun bisa kita tentukan secara konservatif harga pasar dari
7
material daur ulang di kisaran rat-rata Rp.800/kg atau $88/ton. Apabila diperkirakan sampah
yang termasuk bahan yang bisa didaur ulang sebesar 34 ton maka potensi pendapatan yang
bisa diperoleh dari hasil penjualan material daur ulang adalah sebesar12,240 ton x $88
=$1,077,120
Tipping Fee
Nilai tipping fee yang sesuai target ditetapkan adalah $12/ton. Dengan
mempertimbangkan nilai pemasukan dari penjualan produk tersebut diatas, maka untuk
tipping fee termasuk PPn 10% dan target IRR minimal adalah 18% untuk Asset, maka
/tipping fee ditetapkan sebesar $12/ton sampah yang diolah.
Analisis kelayakan bisnis dari proyek TPPAS Nambo ini dengan melakukan
perhitungan sesuai dengan asumsi –asumsi yang telah disepakati bersama di awal. Untuk
mengetahui berapa jumlah nilai dukungan pemerintah yang perlu dikeluarkan di awal agar
proyek ini dinilai layak.
Tabel 1.3
Asumsi komposisi 9:1
Target Tipping Fee $12 USD/ton
Target IRR 18% per anum
RDF Composition 90 %
Compost Composition 10%
Government Investment Support / Subsidized
Investment ?
Komposisi produksi antara RDF dan kompos telah disepakati sejak awal yaitu
sebesar 10 % untuk kompos dan 90% untuk RDF. Apabila asumsi Tipping Fee tidak
dinaikkan atau sesuai target awal yaitu sebesar $12/ton serta nilai IRR yang diharapkan
dicapai adalah sebesar 18 % . Maka diketahui besarnya jumlah dukungan pemerintah yang
perlu dikeluarkan pemerintah adalah sebesar $.24,860,000, nilai NPV serta payback period
yang diperoleh adalah
Tabel 1.4
Hasil NPV dan IRR utama
NPV 10,432,271.80
IRR 18.00%
Payback Period 7 6
years months
Perhitungan-perhitungan di atas merupakan perhitungan yang tertulis pada dokumen
Pra FS, namun demikian, pada pelaksanaannya proyek TPPAS Regional Lulut Nambo ini
dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU)
Pemprov Jabar yaitu dengan PT. Jabar Bersih Lestari pada Tanggal 21 Juni 2017. Oleh
karena itu terdapat beberapa perubahan pada perhitungan-perhitungan yang dilakukan.
8
Tabel 1.5
Parameter Satuan Besaran
Lokasi Desa Nambo dan Lulut
Nilai Investasi +/- Rp. 600 milyar
Perkiraan BEP 8 Tahun
IRR 15%
Teknologi MBT dan proses lainnya
Waktu Penerimaan Sampah Hari/Tahun 365
Kapasitas Operasi Ton Sampah/Hari dalam 1 bulan 1500
Output RDF Ton/Hari 550
Output Kompos Ton/Hari 30
Waktu Operasi Jam/Tahun 6.000 s/d 8.000
Hari Operasi Hari/Tahun 250 s/d 330
Waktu Desain dan Konstruksi Bulan 18
Masa Operasi Komersial Tahun 25
Perusahaan/konsorsium pemenang lelang diwajibkan untuk bermitra dengan PT.
Jasa Sarana selaku BUMD yang ditunjuk oleh pihak Pemprov. Jawa Barat sebagai standing
partner dengan proporsi kepemilikan saham sebesar 20%, dan 80% untuk perusahaan
pemenang lelang.
Perusahaan pemenang lelang telah ditetapkan, yaitu konsorsium Panghegar Energy
dan Perusahaan asing dari Korea dan Malaysia. Badan usaha yang dibentuk untuk mengelola
TPPAS ini diberi nama PT. Jabar Bersih Lestari.
Cakupan dalam analisis ekonomi meliputi biaya-biaya tidak langsung yang terkait
dengan dampak negatif dari proyek dan sering disebut sebagai social and environment cost.
Adapun dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pembangunan TPPAS Nambo antara
lain adalah polusi pada areal sekitar TPPAS. Untuk mengatasi masalah di atas, melalui
Perjanjian Kerjasama antara Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bogor, Pemkot Bogor, dan
Pemkot Depok dihasilkan kesepakatan pembayaran Kompensasi Dampak Negatif (KDN)
dari Pemkot Bogor dan Pemkot Depok kepada Pemkab. Bogor dimana lokasi TPPAS Nambo
berada. Selain itu, masyarakat Kabupaten Bogor pada umumnya dan Desa Lulut dan Nambo
pada khususnya akan memperoleh bantuan dari dana CSR PT. Jabar Bersih Lestari.
Adapun manfaat yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan
dibangunnya TPPAS Nambo ini adalah menjawab permasalahan persampahan di wilayahnya
dan khusus untuk masyarakat Kabupaten Bogor akan membuka kesempatan kerja karena di
dalam perjanjian kerjasama antara Pemrov Jawa Barat dan PT. Jabar Bersih Lestari
disebutkan bahwa perusahaan wajib menggunakan tenaga kerja lokal.
9
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
1. Dalam aspek Finansial, proyek ini layak untuk dilaksanakan dengan skema PPP
berdasarkan perhitungan nilai benefit dan cost ratio.
2. Proyek ini sudah memperhitungkan social environment benefit dan cost, sehingga dapat
dikatakan layak pada aspek ekonomi.
Rekomendasi
1. Kesepakatan harga RDF dengan Indocement harus segera terealisasi, mengingat PT. JBL
terikat dalam komitmen untuk memproduksi 550 ton RDF.
2. Untuk menghindari wanpretasi baik dari pihak perusahaan maupun kab./kota, perlu
dirumuskan suatu bentuk kesepakatn tersendiri dalam kontrak kerjasama.
10
Refleksi Potensi Proyek dengan Skema Public Private Partnership (PPP)
di Provinsi Jawa Barat
Jenis Proyek : Pengembangan infrastruktur pemukiman (perumahan vertikal) di
kawasan Metropolitan Bandung Raya.
Lokasi Proyek : Kawasan Metropolitan Bandung Raya, yang meliputi Kab.
Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Sumedang, Kota Bandung, dan Kota
Cimahi.
Profil Kawasan Metropolitan Bandung Raya :
Kawasan Metropolitan Bandung Raya mencakup 56 kecamatan dalam 5
kabupaten/kota. kawasan ini merupakan kesatuan wilayah perkotaan yang terbentuk karena
aglomerasi kegiatan ekonomi, aglomerasi aktivitas sosial masyarakat, aglomerasi lahan
terbangun, dan aglomerasi penduduk yang mencapai 5,8 juta jiwa dengan total luas lahan
sekitar 102.598,80 ha.
Potensi dari kawasan Metropolitan Bandung Raya ini diantaranya adalah :
1. Keunggulan absolut, Kota Bandung merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat, dengan
aspek geografis, peninggalan sejarah, dan budaya yang sangat memadai.
2. Aksesibilitas menjadi salah satu keunggulan komparatif kawasan ini. Wilayah ini
mudah dijangkau dengan menggunakan berbagai moda transportasi. Ketersediaan
fasilitas perdagangan dan industri, serta tenaga kerja industri tekstil dan pengolahan
makanan sangat memadai.
3. Keunggulan kompetitif yang terdapat dalam hal SDM dan komunitas yang kreatif dan
inovatif, serta merupakan lokasi dari berbagai perguruan tinggi yang berkelas dunia
dari berbagai bidang ilmu serta fasilitas riset dan pengembangan yang memadai.
Argumentasi :
Tingkat urgensi dari proyek ini dapat dikatakan prioritas, karena dengan melihat
perkembangan penduduk di wilayah Metropolitan Bandung Raya dan diikuti dengan
munculnya isu dan permasalahan dari berbagai aspek, terutama dalam hal ketersediaan
infrastruktur. Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai infrastruktur modern yang dapat
mengakomodasi kegiatan perekonomian serta aktivitas penduduk. Infrastruktur yang
dibutuhkan berupa perumahan vertikal skala besar, sistem angkutan umum massal,
peningkatan kualitas pelayanan infrastruktur publik, dan ruang terbuka publik multifungsi.
11
Berdasarkan kondisi terkini dan kebutuhan akan sarana infrastruktur yang belum
tersedia, maka dapat dikatakan bahwa perumahan vertikal skala besar di kawasan
metropolitan bandung raya merupakan proyek prioritas, dengan tujuan :
1. menampung jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan sarana
permukiman yang sangat banyak pula dan tidak mungkin terpenuhi dengan luas lahan
yang tersedia
2. menata pemukiman kumuh yang masih banyak terdapat di kawasan metropolitan
bandung raya
3. menata kawasan metropolitan bandung raya berdasarkan aspek modernitas,
fungsionalitas, aksesibilitas dan estetika perkotaan
12
REFLEKSI
Rencana Proyek PPP di Kabupaten Bungo
Kabupaten Bungo adalah salah satu dari sebelas Kabupaten/Kota yang terdapat dalam
Provinsi Jambi.
Dengan Luas wilayah Kabupaten Bungo 4.659 km2
yang terdiri dari:
Peta Kabupaten Bungo
17 kecamatan dengan 141 desa dan 12 kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Bungo pada
tahun 2015 sebanyak 344.100 jiwa. Dimana supply air minum menjadi tanggung jawab
PDAM Pancuran Telago. Tetapi untuk saat ini PDAM Pancuran Telago baru dapat melayani
dalam kota Muara Bungo saja.
Dengan jumlah KK yang ada di kota Muara Bungo sebesar 23.515 sementara pelanggan yang
dapat dialiri oleh PDAM Pancuran Telago adalah 6.426, berarti hanya sekitar 27% saja dapat
dilayani oleh PDAM Pancuran Telago.
Sumber air yang dipakai untuk mensupply air minum ke pelanggan saat ini adalah Sungai
Batang Bungo menggunakan instalasi yang masih sedeharna.
13
Sementara untuk pembangunan infrastruktur SPAM itu sendiri membutuhkan anggaran yang
cukup besar, dan dana APBD Kabupaten Bungo sangat terbatas. Oleh sebab itu
dimungkinkan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur SPAM dengan metode atau
skema Public Private Partnership (PPP).
Melalui pembangunan infrastruktur skema PPP akan terbangun SPAM dengan cakupan yang
luas, teknologi yang lebih baru dan ramah lingkungan serta kualitas air yang memenuhi
standar mutu air.
Dengan memanfaatkan sumber mata air baru yaitu berlokasi di daerah Tanjung Menanti.
Dengan membangun proyek PPP SPAM di Tanjung Menanti ini multi flyer effect dapat
dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Bungo.
14
REFLEKSI KASUS TERHADAP PELUANG PENGEMBANGAN PPP DI WILAYAH
KERJA PESERTA:
Kabupaten Serdang Bedagai
Potensi pengembangan PPP di Kabupaten Serdang Bedagai berupa Sarana
Penyediaan Air Bersih. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi sumber daya air
permukaan yaitu sungai ular di Kecamatan Perbaungan dengan debit air mencapai
29,5 M3
/detik.
Adapun jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai adalah 600.000 jiwa dengan
kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Perbaungan.
Pada saat ini, mayoritas penduduk Kabupaten Serdang Bedagai memperoleh air bersih
dengan mengambil air tanah karena belum adanya PDAM.
15
DOKUMENTASI
Gerbang TPPAS Regional Lulut Nambo
Site Plan TPA Regional Nambo
16
Diskusi di Kantor TPPAS Regional Nambo
Kunjungan ke Sanitary Landfill
17
Sanitary landfill
Kelompok Ekonomi dan Finansial
18
Bab II Aspek Teknik dan Desain
Oleh:
Muhammad Arifuddin (Kementerian ESDM)
Novan Akhiriyanto (Kementerian ESDM)
Muhammad Adi Putra Sudiman (Kementerian ESDM)
Abdul Rahim (BP4D Kota Cirebon)
19
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Sampah dapat didefinisikan sebagai barang yang dibuang yang merupakan sisa hasil
dari aktivitas manusia. Berbagai aktivitas ekonomi manusia akan meninggalkan bahan atau
barang sisa yang tidak terpakai lagi yang kita sebut sebagai sampah. Dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas manusia tentunya sampah yang dihasilkan akan
semakin banyak. Keberadaan sampah ini tentunya akan menimbulkan permasalahan
lingkungan yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri seperti lingkungan
menjadi tidak nyaman (bau dan kotor) dan penurunan tingkat kesehatan. Oleh karenanya
maka sampah tersebut harus dapat dikelola secara baik agar dapat mengurangi dampak
negatif dan bahkan apabila dapat dimanfaatkan secara baik dapat menjadi peluang ekonomi
bagi pihak-pihak tertentu.
Hal tersebut di atas apabila dicermati secara ekonomi, menunjukkan adanya
eksternalitas dari aktivitas ekonomi yang diwujudkan dengan adanya sampah. Eksternalitas
tersebut merupakan sebagai salah satu wujud inefisiensi ekonomi. Peran pemerintah, swasta
dan masyarakau umum tentunya sangat diharapkan dalam upaya merubah sesuatu yang
inefisien menjadi sesuatu yang efisien secara ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut maka
infrastruktur pengelolaan sampah harus dapat dibangun, yang salah satunya yaitu Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS).
Untuk membangun suatu infrastruktur pengelolaan sampah (TPPAS) tentunya
membutuhkan investasi yang cukup besar. Di sisi lain kemampuan finansial pemerintah juga
terbatas karena banyak hal lain juga yang harus diurusi. Terkait dengan hal itu maka
keberadaan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) menjadi suatu angin segar
dalam penyediaan dan pengelolaan infrastruktur TPPAS.
Sebagai studi kasus saat ini telah ada TPPAS yang telah menggunakan skema KPBU
yaitu TPPAS Lulut Nambo yang berlokasi di Kabupaten Bogor. Saat ini TPPAS Lulut
Nambo ini sudah dalam tahap kontruksi. Desain teknis TPPAS Lulut Nambo ini sudah
ditentukan berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Teknologi pengolahan sampah:
biodrying mechanical – biological treatment (finalisasi desain Desember 2017) untuk
menghasilkan kompos dan RDF dengan teknologi dari Korsel (instalasi produksi), Jerman
(membran penutup) dan domestik. Pemilihan teknologi dan desain teknis ini tentunya sangat
menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut, mengingat ketepatan pemilihan teknologi dan
desain teknis akan mempengaruhi kelayakan dan keberlanjutan dari TPPAS ini.
2.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari laporan ini yaitu untuk mendeskripsikan desain teknis dan teknologi
yang digunakan di TPPAS Lulut Nambo beserta analisis resiko teknis yang mungkin timbul
disertai dengan usulan rekomendasinya.
Adapun tujuan laporan ini adalah sebagai wujud proses pembelajaran terkait skema
KPBU khususnya terkait desain dan teknis TPPAS, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis juga bagi pihak lainnya yang berminat mempelajari desain teknis TPPAS.
20
2.3 Perumusan Masalah
Beberapa hal yang dirumuskan dalam laporan ini sebagai berikut:
1. Bagaimana desain teknik TPPAS Lulut Nambo saat ini berdasarkan Kontrak KPBU yang
telah ditandatangani?
2. Apa saja resiko teknis yang akan dihadapi TPPAS Lulut Nambo dan bagaimana
rekomendasinya?
2.4 Sistematika Penulisan
Pada laporan ini terdapat 3 bab yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan dan bab
penutup. Pada bagian pendahuluan terdiri atas latab belakang, maksud dan tujuan, rumusan
masalah dan sistematika penulisan. Pada bagian pembahasan akan dibahas terkait desain dan
teknis TPPAS Lulut Nambo beserta analisis resiko dan rekomendasinya. Adapun pada bagian
penutup tersiri atas kesimpulan dan saran.
21
PEMBAHASAN
2.5. Lokasi Proyek
Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok
kesulitan untuk memperoleh lokasi TPA baru dan menyelenggarakan pengelolaan TPA sesuai
dengan Undang-undang Pengelolaan Sampah. Hal ini mendorong Pemerintah Provinsi Jawa
Barat turut serta mencari solusi penanganan sampah melalui rencana pembangunan Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Lulut Nambo.
Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah
Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok Nomor:
658.1/71/Otdaksm Tanggal 18 Agustus 2014. Garis besar isi perjanjian kerjasama yang akan
mempengaruhi rancang bangun dan rekayasa yang diterapkan di TPPAS Lulut Nambo, antara
lain:
1. Penetuan lokasi: berdasarkan hasil kajian teknik dan aspek sosial serta aspek lingkungan
melalui surat keputusan bersama PARA PIHAK;
2. Tujuan: menyelenggarakan pelayanan pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dari
wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok;
3. Biaya Operasional dan Pemeliharaan: bersumber dari Kompensasi Jasa Pelayanan (KJP)
sebesar Rp. 126.000/ton sampah yang dianggarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor,
Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur Jawa Barat;
4. Salah satu biaya operasional tetap (fixed) yang tercantum dalam perjanjian kerjasama
berupa Kompensasi Dampak Negatif (KDN) dengan proporsi 10% dari besaran KJP
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat;
5. Pembagian kuota kuantitas layanan terdapat pada tabel 1 di bawah.
Tabel 1. Kuota Kuantitas Berdasarkan Penerima Layanan
Luas lahan TPPAS Lulut Nambo adalah 55 Ha dimana 40 Ha diantaranya merupakan
lahan Perhutani yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui perjanjian
kerjasama kedua belah pihak pada Desember 2014. Lokasi TPPAS Lulut Nambo ditunjukkan
pada gambar 1 di bawah.
22
Gambar 1. Lokasi TPPAS Lulut Nambo
Lokasi Lulut Nambo jauh dari pemukiman, akses yang mudah setelah dijalin kerja
sama dengan PT Indocement Tunggal Perkasa dan di sekitarnya terdapat beberapa industri
semen yang berpotensi memanfaatkan hasil olahan sampah, sehingga pemilihan lokasi
TPPAS Lulut Nambo dinilai sudah tepat. Akses jalan menuju TPPAS Regional Lulut Nambo
ditunjukkan pada gambar 2 di bawah.
Gambar 2. Akses menuju TPPAS Lulut Nambo
Akses menuju lokasi TPPAS Lulut Nambo sekitar 6,6 km ini dibangun berdasarkan
perjanjian kerjasama antara Pemprov Jabar, Pemkab Bogor, PT Indocement Tunggal
Prakarsa, dan PT Cibinong Center Industrial Estate pada Januari 2012.
2.6. Desain Teknis
2.6.1. Karakteristik Sampah
23
Studi Pemprov Jabar menyebutkan bahwa timbulan sampah yang direncanakan
dikelola di TPPAS Regional Nambo yang berasal dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor
dan Kota Depok, sebanyak 976 ton/hari pada tahun 2012 dan akan menjadi 1.200
ton/hari pada tahun 2030. Rencana kapasitas awal dari TPPAS Regional adalah 1.000
ton/hari.
Berdasarkan studi JICA tahun 2012, karakteristik/komposisi sampah di wilayah
Bogor dan Depok adalah sebagai berikut:
Classification Composition Rate (%)
Organic Organic and Leaves/Garden
Residues
51,6%
8,7%
Plastic Recyclable Plastic
Non recyclable plastic over 50mm
12,3%
4,4%
Paper Paper 9,8%
Metal Metal 0,2%
Hazardous Waste Hazardous Waste 0,1%
Others -Mineral
-Textile
-Rubber
-Disposal Napies
-Composites
-Others
1,2%
3,8%
0,5%
6,6%
0,0%
0,6%
Total 100%
Tabel 2. Komposisi Sampah di Wilayah Bogor dan Depok
2.6.2. Pilihan Teknologi
Berdasarkan kebutuhan umur pakai TPPAS Regional yang lebih panjang,
ketersediaan pasar terhadap hasil olahan sampah dan keterjangkauan kemampuan
pembiayaan, maka konsep pengolahan dan pemrosesan akhir oleh Pemprov Jabar
diarahkan dengan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT). dan Refuse
Derived Fuel (RDF). MBT dan RDF adalah proses dimana sampah yang masuk
akan diproses mulai dari pemilahan manual, sampah yang dapat diaur ulang akan
dipisah sehingga dapat dijual kembali, sedangkan untuk sampah lain akan dicacah,
sehingga dapat mempercepat dalam proses fermentasi yang merupakan proses
selanjutnya. Setelah difermentasi sampah yang telah menjadi kompos dipilah
dengan pemilahan mekanis, produk kompos dapat dipisah dari residunya.
Manfaat lain produksi RDF adalah menurunkan jumlah residu sampah yang
ditempatkan pada landfill berupa fraksi ringan sampah salah satunya sampah
plastik yang merupakan bahan daur ulang yang masih memiliki nilai jual masih
tinggi, sehingga potensi para pemulung masuk ke dalam lokasi TPPAS Lulut
Nambo akan berkurang, karena plastik residu produksi di landfill berkurang jauh.
24
Kompos yang telah dipisah dapat dikemas dan dijual, sedangkan residunya
dapat dimasukan dalam insinerator, dimana panas yang dihasilkan dapat
dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang nantinya listrik tersebut dapat dijual
atau untuk digunakan sendiri. Sedangkan untuk abu dari sisa insinerator akan
dibuang ke tempat pembuangan akhir. Laju reduksi sampah yang dapat dicapai dari
opsi ini adalah 96%. Tahapan yang dilakukan pada TPPAS Lulut Nambo, sebagai
berikut:
 Pemilahan sampah anorganik untuk mengambil material sampah yang memiliki
nilai ekonomi sebagai bahan daur ulang;
 Pengolahan sampah organik menjadi kompos;
 Pengolahan sampah anorganik menjadi bahan bakar RDF;
 Pemrosesan akhir residu dari pengolahan melalui sanitary landfill.
Asumsi harga produk keluaran berupa bahan yang dapat didaur ulang,
kompos dan RDF dengan mempertimbangkan harga pasar yang digunakan dalam
kajian Pra Studi Kelayakan TPPAS Regional Lulut Nambo, ditunjukkan dalam
tabel 3 di bawah.
Initial year Recycled Material Price 88.00 USD/ton
Initial year Compost Price 38.89 USD/ton
Initial year RDF Price 23.68 USD/ton
Initial Year Tipping Fee
Untuk ditentukan
kemudian
USD/ton
Tabel 3. Harga Produk Keluaran TPPAS Lulut Nambo
2.6.3. Standar Kinerja
Berdasarkan beberapa referensi, Standar Kinerja Input (kapasitas operasi,
tonase sampah yang akan dikelola) dan Standar Kinerja Output (TPPAS Lulut
Nambo mengalami perubahan beberapa kali, sebagai berikut:
1) Standar Kinerja Input / Kapasitas Operasi
 Studi Pemrov Jabar tahun 2012: 1.000 ton/hari
 PPP Book 2013: 1.000 ton/hari
 Kunlap Tim 2017 (info BPSR): 1.500 ton/hari
2) Standar Kinerja Output
 Studi Pemrov Jabar tahun 2012: Kompos 40 ton/hari; RDF 480
ton/hari; material daur ulang 66 ton/hari;
 PPP Book 2013: Kompos 45,4 ton/hari; RDF 408,6 ton/hari.
 Kunlap Tim 2017 (info BPSR): Kompos 30 ton/hari; RDF 550 ton/hari;
dan residu yang dibuang ke landfill maksimal 10% (150 ton)
2.6.4. Resiko Rancang Bangun dan Rekayasa Teknis
25
Dari hasil wawancara dengan perwakilan pihak Badan Pengelola Sampah Regional
(BPSR) didapatkan keterangan bahwa pihak PT Indocement Tunggal Perkasa diberikan
kesempatan sebagai pembeli prioritas untuk menyerap produksi RDF karena faktor kerjasama
pengadaan lahan akses jalan menuju TPPAS Regional Lulut Nambo sehingga memungkinkan
dump truck pembawa muatan sampah mencapai TPPAS Lulut Nambo dengan waktu yang
cukup singkat.
PT Indocement Tunggal Perkasa dikabarkan telah melakukan kontak dengan pihak
pemenang lelang (PT Jabar Bersh Lestari) namun kesepakatan harga belum ada kejelasan
begitu juga jika RDF tidak dapat diserap oleh industri semen di sekitarnya (PT Holcim),
sehingga jika kesepakatan harga RDF belum ada untuk diserap industri semen di sekitar
TPPAS Lulut Nambo, maka potensi resiko yang dapat terjadi adalah PT Jabar Bersih Lestari
nantnya akan melakukan perhitungan ulang investasi atas pembangunan instalasi produksi
RDF dengan menambah investasi untuk fasilitas pendistribusian RDF agar dapat dijual keluar
wilayah sekitarnya sehingga PT Jabar Bersih Lestari (PT JBL) meminta kepada Pemerintah
Povinsi Jawa Barat selaku PJPK KPBU untuk melakukan perubahan desain denah untuk
menambah peruntukan parkir fasilitas pendistribusian RDF.
Pendugaan kelayakan finansial yang dapat mempengaruhi desain, misalnya besaran
KJP atau tipping fee yang dikenakan sebesar Rp. 125.000/ton sampah sebagai salah satu
komponen pendapatan badan usaha pengelola (PT JBL) mungkin juga secara bisnis memiliki
margin yang besar, sehingga sangat menguntungkan hanya dengan mengandalkan tipping fee
saja disamping kewajibannya untuk memproduksi kompos 30 ton/hari. Opini ini didasarkan
pada fakta bahwa sebelum penetapan pemenang lelang KPBU, terdapat badan usaha
konsorsium swasta yang berani menawarkan tipping fee sebesar Rp. 97.680/ton. Sedangkan
kajian-kajian yang ada juga memberikan asumsi tipping fee di bawah Rp. 125.000/ton untuk
TPST Bantargebang milik DKI Jakarta yaitu sebesar minimal Rp. 115.000/ton jika
pengolahan sampah dilakukan dengan menambah komponen pendapatan melalui teknologi
Gasification Landfill Anaerobic Digestion (GALFAD) dan Rp. 315.000/ton untuk
penggunaan teknologi MBT serta untuk teknologi insinerasi sebesar Rp. 450.000/ton.
Sehingga besaran tipping fee mungkin perlu dikaji kembali untuk memberikan pelayanan
yang optimal dengan harga yang wajar di 3 (tiga) wilayah tersebut.
Potensi resiko di sisi PT JBL jika skenario produksi RDF tidak bisa dijalankan, maka
PT JBL akan meminta target kinerja berupa produksi RDF akan diganti kepada opsi untuk
pembangkitan listrik maupun penerapan Clean Development Mechanism (CDM) melalui
perdagangan karbon menggunakan Certified Emission Reductions (CERs) sehingga dari
aspek desain akan berubah.
CER adalah sertifikasi dari pengurangan emisi yang telah dilakukan oleh suatu proyek
CDM. Data operasional dari sebuah proyek CDM harus terlebih dahulu di audit
(VERIFIKASI) oleh pihak ketiga independent untuk bisa kemudian diterbitkan sertifikat
pengurangan emisi atau CER. 1 (satu) ton pengurangan emisi memiliki harga sekitar 10 USD
Jika memanfaatkan opsi untuk pembangkitan listrik, maka pemilihan teknologi dapat
menggunakan insinerasi dengan membakar sampah secara langsung, MBT dengan
memanfaatkan produksi RDF sehingga masih dapat memenuhi spesifikasi keluaran namun
desain peruntukan akan menambah lokasi untuk penempatan genset (PLTG) maupun
GALFAD sehingga desain peruntukan akan menambah lokasi untuk penempatan genset
26
(PLTMG) serta berpotensi menurunkan produksi kompos. Studi kelayakan finansial yang
pernah dilakukan pada TPST Bantargebang dengan tipping fee yang berbeda-beda tergantung
teknologi yang digunakan (insinerasi Rp. 450.000/ton; MBT+RDF Rp. 315.000/ton; dan
GALFAD Rp. 115.000/ton) serta tarif listrik sampah kota dengan mekanisme feed in tariff
sampai dengan kapasitas 10 MW (zero waste untuk insinerasi dan MBT+RDF sebesar Rp.
1.050/kWh dan landfill untuk GALFAD sebesar Rp. 850/kWh) ditunjukkan pada tabel 4 di
bawah.
Tabel 4. Parameter Kelayakan Finansial Teknologi Pembangkitan Listrik
Dari 3 (tiga) teknologi ini, sebenarnya yang sangat berpeluang untuk diterapkan
adalah teknologi GALFAD karena dapat memfasilitasi keberlanjutan pertumbuhan volume
sampah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, permasalahan/kelemahan yang sering dihadapi oleh PLTMG sampah (PLTSa)
adalah kontinyuitas produksi gas metan. Teknologi yang paling optimal dalam memproduksi
gas metan adalah kompogas (tabel 5) dengan komposisi gas metan sebesar 60%. Di samping
itu mudah pemeliharaannya dan tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak.
Tabel 5. Pemilihan Teknologi Penimbunan Sampah pada GALFAD
Pada teknologi landfill cell pada tabel 5, terjadi infiltrasi O2 ke dalam sel karena
terdapat kebocoran pada dinding dan penutup sehingga menurunkan komposisi gas metan
menjadi 33.23%. Pada teknologi sanitary landfill saat musim kemarau terjadi perengkahan
tanah penutup sehingga terjadi kebocoran yang menyebabkan gas terbang keluar sehingga
komposisi gas metan menjadi kecil yaitu 28.28%.
Jika memafaatkan opsi penerapan CDM, maka desain harus diubah dengan
mengadakan peruntukan lahan untuk instalasi LFG Flaring System. Teknologi untuk hal ini
dimungkinkan teknologi dapat diproduksi dalam negeri, baik peralatan LFG Flaring System
27
maupun membran HDPE penutup timbulan sampah pada landfill. Cara kerja LFG Flaring
System ditunjukkan pada gambar 3 di bawah.
Gambar 3. Cara Kerja LFG Flaring System
Penerapan CDM telah dilakukan di TPA Sumur Batu Bekasi dengan mempekerjakan
PT Gikoko Kogyo Indonesia (PT GKI). Kelemahan dari penerapan CDM adalah proses
verifikasi dan audit CERs yang panjang, karena melibatkan verifikator dan auditor dari World
Bank. Timeline volume gas metan yang dapat dijadikan sebagai CERs oleh PT GKI dengan
penambahan jumlah lubang/sumur (well) pada landfill ditunjukkan pada tabel 6 di bawah.
Tabel 6. Progres Penangkapan Gas Metan di TPA Sumur Batu
Month
Average flow to
flare (m3
/hour)
Number
of well(s)
February 2010 122 4
March 2010 137 9
April 2010 118 11
May 2010 126 14
June 2010 178 16
July 2010 133 18
August 2010 158 18
September 2010 133 18
October 2010 148 19
November 2010 174 21
December 2010 244 26
January 2011 288 28
February 2011 447 31
March 2011 591 32
April 2011 604 32
May 2011 708 34
June 2011 802 35
July 2011 889 36
August 2011 887 37
September 2011 864 38
October 2011 866 38
28
PENUTUP
Kondisi yang ada pada saat kunjungan lapangan masih dalam tahap konstruksi
infrastruktur dasar berupa pembangunan landfill. Progres landfill baru mencapai sekitar 6 Ha
(cell F dan ABC). Jalan akses ke lokasi TPPAS Regional Lulut Nambo merupakan
kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan PT Indocement Tunggal Perkasa
sepanjang 6,6 km, baru selesai 2 (dua) lajur dari 4 (empat) lajur.
Pilihan desain teknologi TPPAS Regional Lulut Nambo diputuskan menggunakan
MBT+RDF dengan produksi RDF 550 ton/hari dan kompos 30 ton/hari berdasarkan hasil
kontrak terakhir tanggal 21 Juni 2017. Desain mengalami 3 (tiga) kali perubahan, desain
terakhir yang disusun oleh PT JBL ditargetkan selesai pada Desember 2017 (6 bulan setelah
tandatngan kontrak).
29
DAFTAR RUJUKAN
1) Pra FS TPPAS Regional Lulut Nambo 2012 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat
2) Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten
Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok Nomor: 658.1/71/Otdaksm
Tanggal 18 Agustus 2014
3) Dokumen Review DED 2013 Pemerintah Provinsi Jawa Barat
4) http://www.antarajabar.com/berita/57476/pemenang-lelang-pembangunan-tppas-nambo-bogor-dikritik
5) Apriyadi, Darmawan, “Analisis Pemilihan Teknologi Tepat Guna Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Untuk Sampah DKI Jakarta ”, FT Magister Teknik Elektro, UI
Salemba, 2013
6) http://www.litbang.esdm.go.id/berita/pemanfaatan-gas-metan-dari-sanitary-landfill-tpa-sampah-untuk-
bahan-bakar-dan-pembangkit-listrik-
7) Paparan “Progress Kegiatan Penangkapan, Penghancuran dan Pemanfaatan Gas Metana di
TPA Sumur Batu” oleh PT Gikoko Kogyo Indonesia, 2012
30
Proyek Potensial KPBU
1). Muhammad Adi Putra Sudiman (Kementerian ESDM)
Nama
Proyek
: Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) Wilayah Jakarta
Lokasi : Jakarta (dengan sosioekonomi Jakarta bisa dijadikan sebagai model pengembangan
pemanfaatan kendaraan listrik)
Deskripsi : Saat ini pemerintah berupaya untuk mempercepat penggunaan mobil listrik di Indonesia
dengan pertimbangan dua hal, pertama pelaksanaan efisiensi energi untuk transportasi, dan
kedua untuk terwujudnya udara bersih dari penggunaan energi. Berikut adalah penjelasan
terkait hal tersebut:
• Pertumbuhan kendaraan terus meningkat dengan rata-rata 11,5% pertahun selama 10
tahun terakhir, yang sejalan juga dengan peningkatan Penggunaan BBM transportasi
darat sebesar 5% Pertahun dimana sebagian besar BBM yang dikonsumsi merupakan
BBM impor
• Penurunan Indeks kualitas udara, rata-rata kota besar Indonesia telah mendekati level
“tidak sehat”. DKI Jakarta pada level “tidak sehat” (sumber: world air quality index-
www.aqcn.org)
31
The Electric Vehicles Initiative (EVI) adalah forum kebijakan multilateral yang
didedikasikan untuk percepatan memperkenalkan dan mengadopsi kendaraan listrik agar
mendunia. Penggunaan kendaraan listrik secara global merupakan komponen kunci dari
tujuan Forum CEM (Clean Energy Ministerial), untuk meningkatkan supply energy yang
bersih dan meningkatkan efisiensi energi. EVI akan memfasilitasi pengembangan secara
global 20 juta kendaraan dan komponennya pada tahun 2020 (termasuk kendaraan listrik
hibrida plug-in dan kendaraan fuel cell).
Percepatan penggunaan tenaga listrik untuk transportasi jalan sebenarnya sudah tertuang
dalam Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, dengan target sebagai
berikut:
 Mobil listrik pada tahun 2025 sebanyak 2.200 unit dan 4,2 juta unit pada tahun 2050
 Motor listrik sebanyak 2,13 juta unit pada tahun 2025 dan pada tahun 2050 sebanyak
13,3 juta
 Pembangunan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) sebanyak 1000 unit pada
tahun 2025 dan ±10.000 unit pada tahun 2050
Salah satu hal yang menghambat belum berkembangnya kendaraan listrik di Indonesia
yaitu adalah belum adanya fasilitas catu daya salah satunya berupa SPLU. Dengan
terbatasnya dana pemerintah dan juga dalam rangka meningkatkan peran swasta (Badan
Usaha) maka SPLU ini cukup potensial untuk di KPBU-kan.
Lingkup : Lingkup kerjasama yang di KPBU-kan mulai dari penyediaan SPLU dan juga
operasionalnya selama 25 tahun
Skema
Kerjasama
: BOT
Manfaat :  Penurunan penggunaan BBM impor
 Peningkatan kualitas udara
 Mendorong berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia
 Transfer teknologi
2). Novan Akhiriyanto (Kementerian ESDM)
Nama
Proyek
: Sistem Penyaluran LNG Skala Kecil untuk Bahan Bakar Pembangkit Listrik Tenaga
Gas di wilayah Indonesia Timur
Lokasi : Indonesia Timur
Deskripsi : Konsep distribusi gas yang ditawarkan
32
Dalam hal distribusi gas/LNG, Indonesia membutuhkan “virtual pipeline” untuk
memasuki era energi baru dengan menggunakan Floating Power Plant (FPP) dan/atau
Mini LNG Shuttle dan/atau FSU/FSRU dan/atau Global LNG Carrier. Secara
keseluruhan mampu untuk menyediakan solusi dan teknologi.
Keunggulan konsep distribusi di atas, antara lain:
 Secara ekonomi, mampu menampung pengadaan dan penyimpanan gas skala besar pada
sisi hub menggunakan FPP dan Global LNG Carrier serta FSU/FSRU skala menengah;
 Terukur dan fleksibel, jaringan distribusi gas skala kecil menuju sisi permintaan dapat
menggunakan mini shuttle/TAG dan FPP kecil; dan
 Optimasi, mengoptimalkan pengadaan dan manajemen distribusi dengan monitoring
kebutuhan.
Studi kasus
Studi kelayakan ekonomi dilakukan untuk rute distribusi dengan studi kasus, berikut:
 Menuju 6 PLTG/PLTMG (Seram, Langgur, Tidore, Tobelo, Halmahera, Sorong) dan
Sulbagut 1 sebagai kandidat hub. Dengan sumber pasokan LNG dari Tangguh, Bontang,
dll. Terdiri dari 1 unit LNG-C 10.000 m3
; 1 unit FSRU 170.000 m3
; dan 6 unit FSRU
kecil 10.000 m3
. Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi sebesar 6,6
US$/mmbtu. Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu;
 Menuju 13 PLTG/PLTMG (Seram, Langgur, Tidore, Tobelo, Halmahera, Sorong,
Ambon, Ternate 2, Waingapu, Bima 2, Kupang, Timor 1, Sulsel) dan 2 kandidat hub
(Kalsel dan Sulbagut 1). Terdiri dari 2 unit LNG-C 10.000 m3
; 2 unit FSRU 170.000 m3
;
dan 13 unit FSRU kecil 10.000 m3
. Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi
sebesar 5,6 US$/mmbtu. Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu;
33
 Menuju seluruh PLTG/PLTMG di wilayah Maluku dan Papua, mencapai 54 sites.
Terdiri dari 4 unit LNG-C 10.000 m3
; 1 unit FSRU 170.000 m3
; dan 33 unit FSRU kecil
10.000 m3
. Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi sebesar 4,6 US$/mmbtu.
Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu.
Alternatif sistem logistik dapat menggunakan milk run maupun hub & spoke. Milk run
hanya membutuhkan 1 unit LNG-C dari hub (FSU/FSRU) menuju ke tiap end
sites/pembangkit membentuk suatu loop logistic namun membutuhkan fasilitas
penyimpanan/tanker lebih besar tapi dapat dilakukan optimalisasi biaya distribusi
sedangkan Hub & Spoke membutuhkan beberapa unit LNG-C sesuai jumlah
sites/pembangkit dengan rute dari hub (FSU/FSRU) menuju ke masing-masing end
sites/pembangkit dengan pengoperasian yang sederhana, penjelasan sistem logistik seperti
gambar di bawah.
Biaya modal (Capex) dan biaya operasi dan pemelihaaan (Opex) dipertimbangkan untuk
memperkirakan BPP, Capex terdiri dari belanja FPP (FPP kecil, menengah, besar dan
tanpa tangki); FSU/FSRU (FSRU kecil dan global/besar); LNG-C (kecil dan
global/besar); serta fasilitas penerima darat (jetty). Sedangkan Opex terdiri dari belanja
gas (harga FOB LNG, transportasi dan regasifikasi. Jika masih menanggung biaya
transportasi maka jenis transaksi merupakan harga FOB shipping point); bahan bakar
untuk FSRU dan LNG-C; tenaga kerja (kru/operator); pemeliharaan rutin; asuransi; serta
administrasi.
– CEO/BPP
Dari uraian studi kasus di atas, maka didapatkan kesimpulan bahwa BPP Wilayah Papua,
Suluttenggo dan Maluku dapat dikurangi dengan penggunaan sistem distribusi mini
LNG/FSRU kecil dan Floating Power Plant (FPP). Kapasitas distribusi lebih besar
dengan penambahan kebutuhan non-listrik (industri, perumahan, dsb) lainnya mampu
34
menghasilkan BPP yang lebih ekonomis, hasil perhitungan BPP dapat dilihat di bawah.
– Tahapan pilot project (2018-2020)
Pengiriman dari sumber BP Tangguh menuju PLTMG Sorong dengan kebutuhan
fasilitas, meliputi: 1 unit FPP 25 MW; serta 2 unit mini LNG-C (1 unit untuk transportasi
dan 1 unit untuk penyimpanan). Implementasi pengusahaan MOU dapat ditandatangani
untuk dukungan teknis dari Jepang ke Indonesia untuk pembuatan kapal dan peningkatan
jumlah awak kapal yang terampil (penanganan LNG), jika perlu ada kemungkinan
menggunakan JCM pada skema JBIC jika diperkirakan terjadi pengurangan CO2 dengan
perluasan penggunaan gas.
Lingkup : Lingkup kerjasama yang di KPBU-kan mulai dari penyediaan infrastruktur distribusi LNG
dan juga operasionalnya dengan mempertimbangkan umur operasi pasar (PLTG/PLTMG)
biasanya selama 15-20 tahun
Skema
Kerjasama
: BOT
Manfaat :  Efisiensi biaya penyaluran LNG dibandingkan melalui APBN
 Efisiensi operasi penyaluran LNG
 Mendorong berkembangnyasistem logistik penyaluran LNG untuk pembangkit gas di
wilayah Indonesia Timur
 Transfer teknologi
3). M. Arifuddin (Kementerian ESDM)
Nama
Proyek
: Penyediaan Listrik pada Area Isolated melalui Kerjasama Infrastrukur
Telekomunikasi
Lokasi : Daerah tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan pulau kecil, khususnya di Wilayah Timur
Indonesia yang sulit dijangkau oleh PT PLN
Deskripsi : Kondisi infrastruktur perdesaan saat ini:
 Rasio Elektrifikasi nasional sudah melebihi 90%, namun masih terjadi ketimpangan
penyediaan energi listrik, khususnya di daerah tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan
pulau kecil.
 Berdasarkan data BPS 12.659 desa yg belum sepenuhnya menikmati listrik (jumlah
KK 2.527.469 dengan jumlah penduduk sekitar 9.970.286 jiwa), bahkan 2.519 desa
35
terdepan masih gelap gulita.
 Masih banyak desa yang belum menikmati layanan telekomunikasi. Pemerintah
berusaha memperluas akses telekomunikasi lewat pembangunan Base Transceiver
Station (BTS), terutama di wilayah blankspot.
 Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI)
Kominfo menargetkan perluasan jangkauan jaringan seluler ke 5.000 desa di daerah
terluar pada 2019.
Pemerintah telah menerapkan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran dimana pelanggan >
900 VA sudah tidak mendapatkan subsidi, bahkan sebagian dari pelanggan 900 VA,
khususnya yang mampu, juga sudah tidak mendapatkan subsidi, sehingga terdapat
penghematan subsidi listrik lebih dari Rp20 triliun.
Sementara, BTS di daerah tertinggal jika menggunakan energy dari genset/diesel akan
memakan biaya yang sangat mahal. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Aswani Dadeh,
efisiensi penggunaan energy listrik dengan menggunakan batere (CDC) dibandingkan
menggunakan 2 mesin diesel bisa mencapai 75% selama 4 tahun.
Anggaran Pemerintah untuk melistriki dan memberi layanan telekomunikasi di daerah
tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan pulau kecil tersebut terbatas, sementara kebutuhan
infrastruktur masih sangat tinggi.
Potensi KPBU: Penyediaan Tenaga Listrik dan Infrastruktur Telekomunikasi.
Strategi :
 Mengidentifikasi lokasi desa tertinggal yang belum berlistrik.
36
 Mengidentifiksi potensi EBT setempat.
 Memperioritaskan lokasi yang beririsan antara rencana KESDM (listrik desa) dengan
rencana Kominfo (pembangunan BTS).
 Memprioritaskan lokasi dengan kerapatan penduduknya tinggi sehingga
memungkinkan pengembangan pembangkit EBT bersifat komunal.
Stakeholders yang terkait, antara lain:
 KESDM
 BP3TI Kominfo
 Bappenas
 Kementerian Keuangan
 PT SMI
 PT PII
 PT PLN
 Pemda
Peran KESDM:
 Dapat melakukan fasilitasi pelepasan wilayah usaha PT PLN (sebagaimana
diamanahkan di Permen ESDM 38/2016).
 Mendorong Pemerintah (Kemenkeu) untuk dapat mengalokasikan sebagian
penghematan subsidi untuk membayar ketersediaan layanan energy listrik oleh BU
KPBU kepada masyarakat melalui mekanisme Availability Payment ataupun Viability
Gap Fund.
Peran Kominfo:
 Mendorong Pemerintah (Kemenkeu) untuk dapat mengalokasikan sebagian PSO
telekomunikasi untuk membayar ketersediaan layanan energy listrik oleh BU KPBU
untuk infrastruktur telekomunikasi melalui mekanisme Availability Payment ataupun
Viability Gap Fund.
Peran Kemenkeu:
 Pemberian fasilitas pembayaran ketersediaan layanan/availability payment dan
Performance Based Annuity Scheme (PBAS)
Peran Pemerintah Daerah:
 Menyediakan lahan yang pada masa akhir perjanjian akan dihibahkan kepada
Pemerintah (c.q. PT PLN)
Sumber Pendanaan Availibility Payment ataupun Viability Gap Fund:
 Sebagian dana iuran BU Telekomunikasi sebagai bentuk PSO.
 Sebagian dana hasil penghematan subsidi listrik.
 Hibah Luar Negeri
 APBN (pajak)
Sumber revenue dari BU KPBU:
 Tarif listrik kepada masyarakat sesuai golongan tariff (sesuai tariff PLN sesuai amanah
Permen ESDM 38/2016).
 Availibility Payment ataupun Viability Gap Fund dari pemerintah.
Lingkup :  Penyediaan infrastruktur dan pelayanan ketenagalistrikan dengan menggunakan
potensi energi setempat (Energi Baru Terbarukan / EBT)
 Penyediaan Infrastruktur Telekomunikasi (BTS)
37
Skema
Kerjasama
: BOT 25 tahun
Manfaat :  Meningkatkan Rasio Elektrifikasi Nasional
 Meningkatkan akses masyarakat akan energy listrik dan juga layanan telekomunikasi
 Mengurangi kesenjangan pelayanan energy listrik dan telekomunikasi antar wilayah
4). Abdul Rahim (BP4D Kota Cirebon)
Nama
Proyek
: Penyediaan Transpotasi Masal
Lokasi : Kota Cirebon
Deskripsi : Proyek ini akan ditawarkan kepada badan usaha yang berpotensi untuk membiayai,
merancang, membangun, mengoperasikan dan memelihara sarana transpotasi dan
menyerahkan kembali infrastruktur pada akhir masa kerja sama.
Mengakomodir dan menata angkutan umum yang sudah ada untuk bergabung menjadi
system transpotasi umum yang tetpadu.
Lingkup : Lingkup kerjasama KPBU adalah penyediaan Sarana Transpotasi dan Operasional selama
15 tahun
Skema
Kerjasama
: BOT
Manfaat :  Pengurangan Kemacetan sehingga mengurangi tingkat polusi danwaktu tempuh.
 Penurunan penggunaan energy BBM
 Tertatanya Transpotasi Umum
 Keamanan terjamin
 Kenyamanan yang memadai
 Biaya perjalanan terjangkau
 Aksesibilitas tinggi
38
Bab III Aspek Hukum dan Regulasi
Oleh :
Awaludin Hamdani
Sofyan Budiarto
Fitriawati
39
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi serta pembangunan
di suatu daerah selain mempunyai dampak positif juga menimbulkan dampak negatif.
Indonesia yang merupakan negara nomor empat terpadat di dunia menghadapi banyak
permasalahan terkait sanitasi lingkungan terutama masalah pengelolaan sampah.
Dampak dari pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat
menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam.
Pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah
yang berwawasan lingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan serta tidak mendukung pembangunan Daerah yang berkelanjutan.
Pengelolaan sampah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar
memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan,
serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
Dengan besarnya beban pengelolaan sampah khususnya di kota besar dan
metropolitan, maka berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menjawab permasalahan tersebut.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan adanya
kerjasama dan kemitraan antar pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat dalam
melakukan pengelolaan sampah. Pasal 26 ayat 1 menyebutkan “Pemerintah daerah dapat
melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah”.
Sementara pada pasal 27 ayat (1) menyebutkan: “Pemerintah daerah kabupaten/kota secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah
dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah”. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya menindaklanjuti amanat Undang-undang tersebut
dengan mengeluarkan kebijakan pengelolaan TPA diperkotaan dilaksanakan dengan
menggunakan TPA Regional. Selain itu Pemerintah juga mendorong kerjasama antar
pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Provinsi
Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Sampah di Jawa Barat. Saat ini Pemerintah Jawa Barat telah mengoperasikan 6 TPPST
dengan model pengelolaan persampahan yang berbeda di tiap regional.
40
Gambar 1. Lokasi TPPAS Regional Jawa Barat
Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok sebagai sebuah kawasan yang
memiliki jumlah penduduk besar memiliki permasalahan terkait sanitasi lingkungan terutama
pengelolaan sampah, tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang jumlah sampah yang
dihasilkan oleh ketiga wilayah tersebut
Gambar 2. TPA Distrik Level Kota Bogor, Kota Depok
Kondisi kedua TPA di ketiga wilayah tersebut yang sudah overload mengindikasikan
perlu dibangun lagi TPA baru yang bisa mengganti dan membantu sebagian fungsi dari TPA
yang sudah ada. TPPAS Lulut Nambo yang berlokasi di Kabupaten Bogor merupakan bagian
proyek strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat merupakan solusi atas permasalahan sampah
di ketiga wilayah tersebut.
41
3.1Landasan Hukum Pengelolaan Persampahan :
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-
SPP)
• UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
• PP 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga
• Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan perubahannya
(Perpres 13/2010, Perpres 56/2011, Perpres 66/2013
• Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan
Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan
Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2014 Tentang Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat
• Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI
No. 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
• Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 690/3726/SJ Tanggal 10 Juli 2015
Perihal Optimalisasi Pengelolaan Air Minum Dan Persampahan
3.2Pembahasan :
Regulasi Pemerintah Daerah Jawa Barat dalam Pengolahan Sampah:
 Pergub 31 Tahun 2007 dibentuk Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat
(P3JB) namun tidak berjalan lancar karena terkendala pertanggungjawaban
anggaran
 Pergub 12 tahun 2009 perubahan dari P3JB menjadi Balai Pengelolaan
Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat sebagai unit pelaksana teknis dibawah
Dinas Perumahan dan Pemukiman
 Perda no. 12/2010, Pengolaan Sampah, pasal 32 yaitu sebagai berikut :
1. Pemerintah Daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah
regional.
2. Penyelenggaraan pengelolaan sampah regional berupa pelayanan jasa TPPAS
Regional, dibiayai bersama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota, dengan ketentuan :
o Pemerintah Daerah bersama dengan Pemerintah membiayai investasi
pembangunan dan pengadaan peralatan TPPAS Regional
42
o Pemerintah Kabupaten/Kota pengguna jasa, membiayai
pengelolaanoperasional dan pemeliharaan TPPAS Regional sebagai
kompensasi jasa pelayanan kepada Pemerintah Daerah.
3. Pembiayaan investasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan badan usaha,
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penetapan besaran dan mekanisme kompensasi jasa pelayanan diatur dan
disepakati dalam kesepakatan bersama dan/atau perjanjian kerjasama antara
Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota
Regulasi/Peraturan Terkait Pembangunan TPPST Nambo
Beberapa perjanjian kerjasama dalam Pembangunan TPPST Naembo adalah perjanjian
antara Gubernur Jawa Barat, Walikota Depok, Walikota Bogor dan Bupati Bogor; Perjanjian
Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Perum Perhutani: Perjanjian
Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT Indocement
Gamber 3. Skema Kerjasama Pengelolaan TPPAS Regional Lulut Nambo
1. Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota
Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Tertanggal 18 Agustus 2014. Didalamnya
berisi kerjasama penyelengaraan pelayanan, pengolahan dan pemrosesan akhir
sampah dari wilayah Kabupaten Bogor, kota bogor dan kota depok di TPPAS
Regional Desa Nambo dan Desa Lulut Kecamatan Kelapa Nungal Kabupaten Bogor.
Ruang lingkup kerjasama meliputi penyediaan lahan, pembangunan fasilitas TPPAS
Regional, Pengelolaan, pelayanan, pembiayaan, kompensasi jasa pelayanan,
kompensasi dampak negatif, dan kerjasama badan usaha.
43
Gamber 4. PKS Gubernur Jawa Barat, Walikota Depok, Walikota Bogor dan
Bupati Bogor
2. Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Perum Perhutani
Devisi Regional Unit Jabar Banten, tanggal 02 Desember 2014, Dalam Perjanjian ini
dimaksudkan dari PKS adalah menyelenggarakan pelayanan publik dan usaha dalam
penyediaan tempat pembuangan dan pengelolaan sampah secara regional di wilayah
Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan kota Depok dengan obyek kerjasama lahan dan
kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani yang digunakan sebagai TP
Gunung Karang, BKPH Jonggol KPH Bogor. Ruang lingkup kerjasama :
a. Penyediaan lahan kawasan hutan, untuk TPAS Regional Nambo
b. Pembangunan sarana dan prasarana TPAS
c. Pelaksanaan kegiatan pelayanan
d. Pemanfaatan produk akhir berupa kompos dan biogas
e. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
44
Gambar 5. PKS Pemerintah Prrovinsi Jawa Barat dan Perum Perhutani

3. Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, PT Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk dan PT Cibinong Center Industrian Estate, tanggal 5 bulan Januari 2012
tentang Penyediaan Akses jalan menuju Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir
Sampah (TPPAS) Regional Nambo dan Lulut Kabupaten Bogor. Tujuan PKS tersebut
adalah mensinergikan penyediaan akses jalan menuju TPPAS Regional Nambo dan
45
rencana operasional TPPAS Regional Nambo. Obyek kerjasama meliputi akses jalan
menuju lokasi TPPAS Regional Nambo sepanjang 6.62 Km. Ruang lingkup
Kerjasama meliputi :
a. Penyediaan lahan untuk pembangunan akses jalan menuju TPPAS Regional
Nambo
b. Pembangunan dan peningkatan akses jalan
c. Pengendalian dan peanfaatan ruang di sekitar akses jalan dan TPPAS Regional
Nambo
d. Operasional, pemeliharaan dan perbaikan akses jalan.
Gambar 6. PKS Pemprov Jawa Barat dan PT Indocement dan PT CCIE
46
3.3 Struktur KPBU Pengelolaan Sampak TPPST Nambo
Gamber 7. Struktur Proyek TPSST Nambo
3.4 Permasalahan terkait Masalah Hukum yang Belum Selesai
 Sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan
Perum Perhutani tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk TPPAS Regional Nambo
pada Pasal 7 Ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa Perum Perhutani berkewajiban
menyediakan lahan kawasan hutan untuk dimanfaatkan sebagai TPPAS Regional Nambo
dalam keadaan bebas dari penggunaan, pemanfaatan, penggarapan dan/atau penguasaan
pihak lain.
 Dalam Pasal 6 Ayat (2) huruf f menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat
berkewajiban menanggung biaya lain yang muncul akibat dari perencanaan dan
pelaksanaan kerjasama ini, oleh karena itu dalam DPA Dinas Permukiman dan
Perumahan Provinsi Jawa Barat Kegiatan Pembangunan TPPAS Regional Nambo
terdapat anggaran pembayaran ganti rugi (kerohiman) kepada para penggarap yang telah
bekerjasama dengan Perum Perhutani disebut sebagai Lembaga Masyarakat Desa Hutan
(LMDH) Lulut Lestari sebesar Rp. 658.000.000,- (enam ratus lima puluh delapan juta
rupiah).
 Jumlah tersebut merupakan hasil perhitungan Perum Perhutani KPH Bogor yang
didasarkan pada Harga Komoditi Pertanian dan Perkebunan sesuai dengan Keputusan
Bupati Bogor Tahun 2003 dan asumsi pemanfaatan tumpang sari untuk tanaman padi dan
jagung masa tanam dua tahun.
 Namun setelah dilaksanakan musyawarah sebanyak tiga kali para penggarap masih belum
menerima hasil perhitungan Perum Perhutani tersebut dan meminta pembayaran seperti
47
yang telah diberikan oleh PT. Indocement dan PT. Holcim pada tahun 2013 yaitu sebesar
Rp. 35.000/m2.
 Sampai akhir tahun 2015 proses pembayaran ganti rugi belum dapat dilaksanakan
sehingga dana yang telah dialokasikan dikembalikan kembali ke Kas Daerah Provinsi
Jawa Barat. Selanjutnya akan dilaksanakan perhitungan ulang oleh Perum Perhutani,
diharapkan dapat ditentukan harga baru untuk komoditi pertanian dan perkebunan
sehingga besaran nilai ganti rugi kepada penggarap dapat ditingkatkan.
 Pekerjaan fisik pada tahun 2015 masih dapat dilaksanakan, namun masih terhambat oleh
permasalahan ganti rugi penggarap dan kepemilikan lahan.
 Pada DPA Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat Kegiatan
Pembangunan TPPAS Regional Nambo telah dialokasikan anggaran untuk pembayaran
ganti rugi/kerohiman sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah),
diharapkan pada tahun 2016 proses pembayaran dapat diselesaikan.
 Sesuai dengan arahan Tim Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, proses pembayaran kepada
penggarap harus dilakukan dengan addendum perjanjian kerjasama terlebih dahulu agar
jelas pihak-pihak yang mengeluarkan dan menerima biaya ganti rugi kepada penggarap,
proses addendum masih dalam pembahasan bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
Perum Perhutani dengan pendampingan teknis dari Tim Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
48
REFLEKSI
Aspek Perencanaan merupakan titik krusial dalam program pengembangan KPBU dalam
kasus Pembangunan TPPST Nambo Lulut. Komitmen Pemerintah Daerah peran serta Pihak
Swasta dalam Pembangunan Daerah di Provinsi Banten. Beberapa Proyek yang bisa di
KPBU kan di Provinsi Banten diantaranya Proyek SPAM Sindang Heula, Proyek Monorail
Bandara Serpong, Proyek SPAM Waduk Karian, Proyek Pembangunan Bandara Panimbang.
Diklat ini sangat bermanfaat dalam sharing Knowledge terkait PPP dan sharing diantara
Pemerintah Daerah.
Pembangunan infrastruktur di Kota Bandung selama ini masih menggunakan pembiayaan
konvensional dan bersifat solicited project. Dengan skema tersebut, masih banyak kebutuhan
infrastruktur Kota Bandung yang belum terpenuhi karena kekurangan dana. Untuk menutupi
kekurangan tersebut, pemerintah kota bandung mencoba mencari alternative pembiayaan
lainnya yaitu melalui kerjasama dengan pihak swasta. Salah satu pembangunan infrastruktur
yang akan dilaksanakan melalui kerjasama dengan badan usaha (KPBU) yaitu pengadaan
PJU.
Pemenuhan kebutuhan infrastruktur lainnya yang rencananya akan melalui KPBU yaitu
rumah susun. Rumah yang merupakan kebutuhan primer masyarakat akan menjadi proyek
strategis baik secara social maupun bisnis. Lahan kota yang semakin sempit menuntut
pembangunan rumah secara vertical yang salah satunya adalah pembangunan rumuh susun.
Dengan KPBU diharapkan terjadi akselerasi pembangunan rumah susun untuk memenuhi
kebutuhan hunian masyarakat Kota Bandung.
49
Bab IV Aspek Sosial dan Kependudukan
Oleh :
Sismadani, ST
Tasha Adiza, ST
Kausar, SH
50
KATA PENGANTAR
Penyusunan Laporan Diklat Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) –
Public Private Partnership (PPP) sebagai simulasi atau praktek bagi para peserta diklat untuk
merencanakan proyek KPBU di daerah masing-masing dengan studi kasus yang diambil
adalah contoh nyata praktek KPBU dalam Pembangunan TPPAS Regional Nambo
Kabupaten Bogor.
Salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pembangunan infrastruktur adalah
aspek sosial. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan, mengingat banyak proyek
infrastruktur di Indonesia baik dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
(KPBU) ataupun murni dari APBN/APBD yang terhambat karena masalah social yang tidak
diantisipasi sebelumnya dan belum terselesaikan. Pengkajian dalam aspek social harus
dilakukan sebagai antisipasi dari biaya sosial yang timbul akibat pembangunan yang dapat
menjadi penghambat dalam proses perencanaan, kontruksi, dan opersional infrastruktur yang
dibangun.
Proses penyusunan laporan ini tentunya jauh dari sempurna mengingat keterbatasan
waktu untuk menggali lebih jauh permasalahan yang ada serta keterbatasan data dan
informasi yang diperoleh dan dianalisis. Untuk itu, kami mengharapkan masukan konstruktif
dari para dosen dan rekan-rekan sekalian. Atas kerjasama dan bantuan para pihak khususnya
para dosen staf pengajar, kami ucapkan terima kasih.
Bandung, 3 Agustus 2017
Tim Penyusun
51
PENDAHULUAN
4.1 Latar Belakang
Pengelolaan persampahan merupakan salah satu urusan yang cukup penting dalam
pembangunan prasarana dan sarana wilayah di Provinsi Jawa Barat. Wilayah perkotaan di
Provinsi Jawa Barat akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk
dan aktivitasnya yang berkonsekuensi terhadap peningkatan beban timbulan sampah yang
harus dikelola dengan baik dan benar. Selama ini pelaksanaan pelayanan pengelolaan
persampahan dan pembangunan prasarana dan sarana persampahan menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota.
Investasi Pengelolaan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS)
Regional Nambo merupakan penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan
swasta. Pelaksanaan kerjasama pemerintah dan swasta dalam Investasi Pengelolaan Tempat
Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo merupakan jenis
perjanjian kerjasama infrastruktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun
2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur (Permen PPN/Bappenas 3 Tahun 2012), yaitu infrastruktur
sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan.
Salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pembangunan infrastruktur adalah
aspek sosial. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan, mengingat banyak proyek
infrastruktur di Indonesia baik dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha
(KPBU) ataupun murni dari APBN/APBD yang terhambat karena masalah social yang tidak
diantisipasi sebelumnya dan belum terselesaikan. Pengkajian dalam aspek social harus
dilakukan sebagai antisipasi dari biaya sosial yang timbul akibat pembangunan yang dapat
menjadi penghambat dalam proses perencanaan, kontruksi, dan opersional infrastruktur yang
dibangun.
4.2 Rumusan Masalah
Dalam pembahasan laporan ini, rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah gambaran kondisi sosial kependudukan di wilayah sekitar TPPAS
Nambo;
2. Bagaimana konflik sosial yang pernah terjadi di wilayah sekitar TPPAS Nambo;
3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap sekitar terhadap pembangunan TPPAS
Nambo berdasarkan kajian yang sudah ada;
4. Bagaimana konflik sosial yang sudah dan berpotensi muncul dalam pembangunan
TPPAS Regional Nambo serta pihak mana saja yang terlibat atau terdampak?
5. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi konflik social yang sudah dan
upaya mitigasi terhadap potensi konflik yang akan muncul?
6. Seberapa besar pengaruh konflik sosial yang timbul terhadap pembangunan
TPPAS Nambo?
7. Bagaimana analisis biaya manfaat sosial yang sudah dilakukan, asumsi social apa
yang menjadi pertimbangan?
52
4.3 Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan laporan ini adalah untuk mengkaji aspek sosial yang terjadi dalam
pembangunan TPPAS Nambo, sedangkan tujuan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi gambaran kondisi sosial kependudukan di wilayah sekitar TPPAS
Nambo;
2. Mengidentifikasi konflik sosial yang pernah terjadi di wilayah sekitar TPPAS Nambo;
3. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap sekitar terhadap pembangunan TPPAS
Nambo berdasarkan kajian yang sudah ada;
4. Mengetahui konflik sosial yang sudah dan akan muncul dalam pembangunan TPPAS
nambo serta pihak yang terdampak
5. Mengetahui paya yang dilakukan dalam mengatasi konflik social yang sudah timbul
serta upaya mitigasi terhadap potensi konflik yang akan timbul?
6. Mengetahui seberapa besar dampak sosial yang timbul menjadi hambatan dalam
proses pembangunan TPPAS Nambo;
7. Mengetahui asumsi atau pertimbangan apa yang digunakan dalam analisis biaya
manfaat sosial kelayakan proyek TPPAS Regional Nambo;
8. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam penanganan dampak sosial kependudukan
pembangunan TPPAS Nambo
4.4 Batasan Masalah
Laporan ini membahas aspek sosial kependudukan yang terjadi dalam pembangunan
TPPAS Nambo, yang hanya didasarkan pada pengamatan dan diskusi langsung di lokasi studi
dan Focus Group Discusion (FGD) bersama Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR)
Provinsi Jawa Barat dan Perwakilan Kab. Bogor serta data pendukung lainnya yang diperoleh
dari pihak terkait selama 2 (dua) hari.
Wilayah terdampak pembangunan TPPAS Nambo merujuk hasil Studi AMDAL yang
sudah dilakukan, kami batasi hanya pada 5 (lima) Desa, yaitu: Desa Lulut, Desa Nambo,
Desa Leuwi Karet, Desa Gunungputri dan Desa Bantar Jati
4.5 Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Laporan ini adalah metode kualitatif.
Data yang dikumpulkan diperoleh berasal dari:
1. Studi lapangan (Field Research) dengan mengamati secara langsung pada lokasi TPPAS
Nambo;
2. Studi pusaka merujuk kepada dokumen-dokumen yang sudah dibuat dalam proses
perencanaan TPPAS Nambo, dan
3. Melakukan Focus Group Discusion (FGD) kepada beberapa stakeholders yaitu pihak
Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat dan Pemkab. Bogor
53
4.6 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, maksud dan
tujuan serta metodologi penulisan serta sistematika penulisan
PEMBAHASAN
Bab ini memuat mengenai gambaran umum sosial kependudukan di wilayah sekitar
TPPAS Nambo, pembahasan yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan,
wawancara melalui FGD yang sudah dilakukan serta mengenai pihak-pihak yang
terkena dampak dalam pembangunan TPPAS Nambo, konflik sosial yang muncul
serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya dan tanggungjawab para pihak dan
bagaimana mekanisme pembiayaannya
PENUTUP
Bab ini memuat tentang kesimpulan serta rekomendasi kebijakan untuk mengatasi
permasalahan sosial yang timbul dalam pembangunan TPPAS Nambo
54
PEMBAHASAN
4.7 Gambaran Umum Sosial Kependudukan
A. Luas dan Kepadatan Penduduk
Lokasi proyek terletak di Desa Nambo dan Desa Lulut yang tergabung di
Kec. Klapa Nunggal Kab. Bogor. Selain kedua desa tersebut, terdapat dua desa yang
akan dilalui oleh kendaraan pengangkut sampah serta satu desa yang berada di
sebelah selatan desa Lulut. Desa yang akan dilalui kendaran pengangkut sampah
adalah Desa Bantarjati dan Desa Gunungputri sedangkan desa sebelah selatan desa
Lulut adalah Desa Leuwikaret. Desa Bantarjati dan Leuwikaret tergabung ke dalam
Kec. Klapanunggal, sedangkan Desa Gunungputri, masuk dalam wilayah Kec.
Gunungputri, Kab. Bogor.
Luas wilayah ke lima desa tersebut yaitu 22,46 km2
, dengan jumlah penduduk
sebesar 47.822 jiwa, yang terdiri dari 24 185 jiwa laki–laki dan 23 637 jiwa
perempuan. Dengan jumlah tersebut maka rata-rata kepadatan per kilometer persegi
adalah 2129 jiwa. Apabila mengacu kepada standar WHO (1999) dengan standar
duaribu jiwa perkm2
merupakan garis kepadatan penduduk tinggi, maka kepadatan
penduduk di wilayah studi rata-rata cukup tinggi, kecuali penduduk Desa Bantarjati
dan Nambo yang belum melewati standar tersebut (Tabel 2.1)
Tabel 1
Luas dan Kepadatan Penduduk di Lokasi Studi
No. Nama Desa Luas
(km2)
Jumlah Penduduk Kepadatan
penduduk
(Jiwa/km2)
Jumlah
KKLaki Perempuan Jumlah
1 Bantarjati 3.67 3608 3526 7134 1944 2099
2 Gunungputri 3.73 5983 6579 12562 3368 2375
3 Lulut 2.27 6769 6171 12940 5700 3415
4 Nambo 10.14 4519 4323 8842 872 4500
5 Leuwikaret 2.65 3306 3038 6344 2394 1533
Jumlah 22.46 24185 23637 47822 2129 13922
Sumber : Profil Desa Bantarjati, Gunungputri , Lulut, Nambo dan Leuwikaret 2009
Dari segi jumlah kepala keluarga, maka diketahui bahwa rata-rata jumlah
anggota keluarga per rumah adalah 4 orang jiwa. Jumlah tersebut, terdiri dari
pasangan suami dan isteri beserta dua anak. Jumlah anggota keluarga tersebut relative
kecil.
Dilihat dari aspek penghidupan perekonomian rumah tangga (livehood),
jumlah anggota rumah tangga yang relatif kecil, sangat menguntungkan untuk
membangun penghidupan ekonomi rumah tangga yang relatif kecil itu, dapat menjadi
kendala bagi rumah tangga yang bersangkutan untuk membangun penghidupan
perekonomian yang baik atau kecukupan.
Karena dapat diperkirakan bahwa kondisi perekonomian rumah tangga mereka
sangat tergantung pada Kepala Keluarga dan atau karena jumlah angkatan kerja dalam
55
rumah tangga relatif kecil. Selain faktor jumlah angkatan kerja, faktor-faktor lain
yang turut mempengaruhi peluang untuk pengembangan kondisi perekonomian rumah
tangga, adalah kualitas SDM, peluang usaha/kerja di dalam dan ke luar desa.
B. Jenis Pekerjaan Penduduk
Komposisi jenis pekerjaan dibahas berdasarkan kategori desa-desa lokasi
TPPAS dan desa yang berbatasan, serta desa-desa yang direncanakan akan dilalui
jalan akses (keluar-masuk) kendaraan pengangkut sampah pada saat kegiatan
konstruksi dan operasi. Untuk desa-desa yang merupakan lokasi serta perbatasan
adalah Desa Nambo Lulut dan Desa Leuwikaret, sedangkan desa-desa jalan akses
adalah Desa Gunungputri dan Desa Bantarjati.
Pada desa –desa lokasi serta perbatasan TPPAS jenis mata pencaharian
penduduk minimal dapat dibagi menjadi limabelas jenis mata pencaharian. Data
yang disajikan pada Tabel 2.2 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan penduduk yang
paling banyak adalah penduduk yang bekerja sebagai buruh pabrik (11.1%).
Mereka adalah kelompok penduduk yang bekerja di industri di wilayah Kec.
Gunungputri dan Klapanunggal. Setelah itu, kelompok penduduk yang bekerja
sebagai wiraswasta, menempati peringkat kedua sebanyak 9,8%, kemudian jenis
pekerjaan dengan jumlah yang cukup siginifikan, yaitu pedagang sebanyak 3,8 % dan
kelompok pedagang sebanyak 3,1%.
Tabel 2
Jenis Pekerjaan Penduduk di desa-desa lokasi dan perbatasan TPPAS
Nambo
NO. Mata Pencaharian Nama Desa Jumlah %
Nambo Lulut Leuwikaret
1 Petani 153 591 1374 2118 7.5
2 Pedagang 268 548 263 1079 3.8
3 Pegawai negeri sipil 19 21 9 49 0.2
4 TNI/Polri 6 2 1 9 0.0
5 Pensiunan 5 6 9 20 0.1
6 Wiraswasta 1478 625 641 2744 9.8
7 Buruh pabrik 1321 1596 212 3129 11.1
8 Pengrajin 11 10 8 29 0.1
9 Tukang bangunan 97 415 365 877 3.1
10 Penjahit 6 15 1 22 0.1
11 Tukang las 81 10 2 93 0.3
12 Tukang ojeg 314 120 54 488 1.7
13 Bengkel 4 11 2 17 0.1
14 Supir angkutan 136 72 24 232 0.8
15 Belum bekerja 1471 5272 769 7512 26.7
16
Anak-anak usia
sekolah 2636 3221 2450 8307 29.5
56
17 Pemulung 9 3 12 0.0
18 Lain lain 827 405 147 1379 4.9
Jumlah 8842 12940 6334 28116 100.0
Sumber : Profil desa 2009
Sementara itu, jenis pekerjaan yang berdimensi kegiatan pertanian, ”hanya”
ditekuni oleh 7,5% penduduk. Pola pertanian penduduk antara lain adalah bercocok
tanam padi, palawija dan sayur-sayuran.
Bagian lain dari Tabel 2.2 menunjukkan bahwa terdapat kelompok penduduk
yang belum bekerja (26,7%). Mereka adalah kelompok penduduk usia produktif
(antara 15 – 60 tahun) yang belum mendapatkan pekerjaan. Kelompok tersebut
menunjukkan angka ketergantungan nyata dan tingkat pengangguran di ketiga desa
tersebut.
Kondisi matapencaharian di desa–desa jalan akses relatif tidak jauh berbeda,
jenis pekerjaan penduduk yang paling banyak ditekuni adalah penduduk yang
bekerja sebagai buruh pabrik (16%). Setelah itu, menempati peringkat kedua adalah
kelompok pedagang (6%), sedangkan kelompok –kelompok pekerjaan lainnya
dengan jumlah yang cukup signifikan adalah tukang bangunan/buruh konstruksi
(2,3%) dan jasa ojeg sepeda motor (1,1%).
Adapun kegiatan pertanian seperti cocok tanam padi, palawija dan sayur-
sayuran, hanya berjumlah 1,3 % saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa masyarakat
di lokasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan non-pertanian, yang mencirikan
masyarakat urban perkotaan. Hal ini ditandai dengan kecendrungan menurunnya
sumberdaya pertanian serta meningkatnya spesialisasi pekerjaan penduduk, terutama
pada bidang jasa dan bahkan sektor informal.
Pada sisi lain, jumlah penduduk yang bekerja berjumlah 34,6%. Jumlah ini
lebih tinggi apabila dibandingkann dengan desa-desa yang direncanakan menjadi
lokasi TPPAS dan sekitarnya.
Perlu disampaikan, bahwa sebagian usaha penduduk di seluruh wilayah studi
ada yang berprofesi menampung limbah bekas pabrik dan rumah tangga yang
diserahkan oleh pemulung, Mereka mengumpulkan limbah seperti palstik bekas
benang, besi dan lain – lain untuk dijual lagi ke bandar yang lebih besar kapasitas
usahanya.
C. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan di desa-desa lokasi TTPAS dan perbatasannya sebagian besar
adalah lulusan SD (50,78%), kemudian lulusan SMP sebanyak 5,95%% dan SMA
sebanyak 5,91%. Lulusan sarjana kurang dari satu persen, meskipun ada penduduk
yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang master (S-2).
Rendahnya pendidikan penduduk juga dapat dilihat dari penduduk yang tidak
menamatkan pendidikan SD (6,24%) dan bahkan penduduk yang belum pernah
sekolah (10,6%). Menurut keterangan, rendahnya tingkat pendidikan penduduk
57
adalah karena alasan ekonomi/ketiadaan biaya, terutama bagi penduduk yang telah
berusia dewasa.
Tabel 3
Tingkat Pendidikan di Desa-Desa Lokasi dan Perbatasan TPAS Nambo
No. Tingkat Pendidikan Lulut Nambo Leuwikaret Jumlah %
1 Belum pernah sekolah 102 87 109 298 1.06
2 Sedang sekolah di SD 3542 2376 2494 8412 29.91
3 SD Tidak tamat 776 503 476 1755 6.24
4 Tamat SD 6653 4976 2654 14283 50.78
5 Tamat SMP 873 432 369 1674 5.95
6 Tamat SMA 987 445 231 1663 5.91
7 Lulusan akademi 5 11 7 23 0.08
8
Lulusan Perguruan
tinggi 2 12 4 18 0.06
Jumlah 12940 8842 6344 28126 100.00
Sumber : Profil Desa , 2009
Meskipun demikian kecenderungan penduduk untuk menempuh pendidikan
semakin tinggi terutama bagi penduduk usia sekolah. Untuk mendukung kapasitas
pendidikan penduduk, Pemerintah Kab. Bogor telah mencanangkan program wajib
belajar sembilan tahun. Untuk mendukung program tersebut Pemerintah Kab.
Bogor telah menyediakan sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP serta SMU di
tingkat kecamatan Cisarua.
Sedangkan desa-desa yang menjadi jalan akses kondisi penduduknya juga
relatif sama, yaitu 52,93 % adalah lulusan SD adapun lulusan SMP mencakup
3,94% dan lulusan SMA 2,78%. Penduduk yang menamatkan akademi dan
perguruan tinggi, masing-masing kurang dari saru persen.
D. Tingkat Kesejahteraan Penduduk
Untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi penduduk, dilakukan survey
pendapatan kemudian diperhitungkan tingkat sosial ekonominya dengan mengacu
pada hasil kajian BPS (Biro Pusat Statistik) Maret 2008. Hasil survey selanjutnya
diolah untuk mengetahui pola atau sumber-sumber penghasilan rumah tangga.
Penghitungan penghasilan rumah tangga responden, dilakukan sesuai dengan
sumber pendapatan mereka. Artinya, untuk penghasilan dari sektor pertanian
diperhitungkan sesuai jadwal panen. Kemudian untuk penghasilan dari berburuh
diperhitungkan/satu minggu terakhir, demikian seterusnya dengan sumber pendapatan
yang lain, seperti: dagang, warungan dan lain sebagainya. Teknik perhitungan ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran relatif ‘baik’ tentang sumber dan besar
penghasilan rumah tangga responden.
58
Tabel 3
Tingkat Pendapatan Pekapita Penduduk di desa-desa Lokasi TPPAS Nambo
No.
Tingkat Penghasilan
Perkapita
Nambo % Lulut % Leuwikaret %
1 < 195 000 5 11.11 6 17.65 4 26.67
2 195 000- 300 000 11 24.44 8 23.53 3 20.00
3 301 000 - 400 000 8 17.78 4 11.76 2 13.33
4 401 000 - 500 000 8 17.78 5 14.71 2 13.33
5 501 000 - 600 000 7 15.56 8 23.53 3 20.00
6 > 600 000 6 13.33 3 8.82 1 6.67
Jumlah 45 100 34 100.00 15
Sumber : Studi ANDAL, 2009
Untuk desa- desa yang berdekatan dengan lokasi TPPAS (Tabel 2.3), jumlah
penduduk yang dibawah garis kemiskinan adalah antara 11,1% sampai dengan
26,67%. Ditinjau dari aspek wilayah, maka desa Nambo adalah desa dengan
penduduk miskin paling kecil diantara tiga desa, sedangkan desa Leuwikaret adalah
yang terbesar. Perbedaan diantara ketiga desa tersebut diperkirakan perbedaan
peluang–peluang sumber-sumber penghasilan diantara ketiga desa tersebut.
Untuk desa-desa yang dilalui jalan akses menuju lokasi TPPAS Nambo
(Tabel 2.4), nampak bahwa di desa Gunungputri tingkat kemiskinan mencapai 8,33%
sedangkan di Bantar jati mencapai 14,29%. Apabila dibandingkan dengan desa-desa
lokasi TPPAS, nampak bahwa desa-desa di jalan akses sedikit lebih baik. Apabila
meninjau jenis - jenis pekerjaan penduduk (dibahas dalam sub-bab sebelumnya),
maka diperkirakan sumber - sumber penghasilan di kedua desa tersebut relatif lebih
banyak.
Tabel 4
Tingkat Pendapatan Perkapita di desa-desa Jalan Akses Menuju Lokasi TPPAS
Nambo
No.
Tingkat
Penghasilan
Perkapita
Gunungputri % Bantarjati %
1 < 195 000 2 8,33 3 14,29
2 195.000- 300.000 5 20,83 5 23,81
3 301.000 – 400.000 5 20,83 4 19,05
4 401.000 – 500.000 4 16,67 4 19,05
5 501.000 – 600.000 4 16,67 2 9,52
6 > 600.000 4 16,67 3 14,29
Jumlah 24 100,00 21 100,00
Sumber : Studi ANDAL, 2009
Meskipun demikian, nampak bahwa kelompok penduduk yang berpenghasilan
sedikit diatas garis standar kemiskinan, cukup besar, yaitu 20,83% di Gunungputri
59
dan 23,81% di Bantarjati. Dengan demikian, besarnya peluang–peluang penghasilan
di kedua desa belum diiringi dengan potensi yang siginifikan untuk mengangkat
kesejahtearan penduduk yang menekuni pekerjaan/usaha tersebut. Hal itu merupakan
salah satu ciri pekerjaan sektor informal di perkotaan.
E. Sumber-Sumber Penghasilan
Adanya kelompok–kelompok berdasarkan tingkat penghasilan, dapat
menunjukkan bahwa sumber sumber penghasilan penduduk cukup beragam, baik dari
kapasitas penghasilan yang didapatkan maupun kontribusinya terhadap penghasilan
rumahtangga. Data yang disajikan pada Tabel 2.5 menunjukkan bawa di tiga desa
lokasi TPPAS Nambo penghasilan dari sektor pertanian mencakup 35,43%
sedangkan kontribusi dari sektor non-pertanian mencapai 64,66%. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa sumbangan dari kegiatan non–pertanian lebih dominan. Sektor
tersebut mencakup sebelas jenis pekerjaan, dengan pekerjaan sebagai karyawan
swasta yang merupakan jenis pekerjaan dengan kontribusi tertinggi mencapai 28,22%.
Jenis pekerjaan yang memberikan kontribusi yang cukup penting adalah dari
pekerjaan sebagai pedagang (22,32%) dan buruh pabrik (9,71%). Selain ketiga jenis
pekerjaan tersebut, maka kontribusi dari pekerjaan lain di sektor non pertanian rata-
rata kurang dari 1%.
Tabel 5
Persentase Sumber-sumber Penghasilan Rumahtangga
di desa-desa Lokasi TPPAS Nambo
NO. Mata Pencaharian
Sumber-sumber penghasilan (%)
Nambo Lulut
Leuwi
Karet Jumlah
Pertanian :
1 Petani 4.48 7.06 12.65 24.20
2 Buruh tani 1.51 2.38 3.31 7.20
3 Peternakan 1.44 0.80 1.71 3.95
Sub Jumlah pertanian 7.42 10.24 17.67 35.34
Non Pertanian :
4 Pedagang 10.84 7.73 3.75 22.32
5 Pegawai negeri sipil 0.40 0.13 0.07 0.60
6 TNI/Polri 0.23 0.07 0.07 0.37
7 Karyawan Swasta 15.60 10.41 2.54 28.55
8 Buruh pabrik 3.92 3.31 2.48 9.71
9 Pengrajin 0.20 0.07 0.07 0.33
10 Tukang bangunan 0.27 0.10 0.17 0.54
11 Penjahit 0.37 0.07 0.03 0.47
12 Tukang las 0.30 0.13 0.03 0.47
13 Tukang ojeg 0.40 0.23 0.03 0.67
14 Bengkel 0.40 0.17 0.07 0.64
Sub Jumlah non 32.93 22.42 9.30 64.66
60
NO. Mata Pencaharian
Sumber-sumber penghasilan (%)
Nambo Lulut
Leuwi
Karet Jumlah
pertanian
Total 40.36 32.66 26.97 100
Sumber : Studi ANDAL, 2009
Data diatas juga menunjukkan bahwa kontribusi hasil pertanian terutama
adalah desa Leuwikaret yang mencakup 17,6% dari seluruh penghasilan penduduk
di tiga desa. Penduduk desa ini nampak mengandalkan kegiatan pertanian dibanding
penghasilan di luar pertanian. Kondisi tersebut nampak dari lebih kecilnya
persentase dari kegiatan non-pertanian yang mencakup 9,23% saja.
Untuk desa-desa yang dalam rencana dilewati jalan akses menuju TPPAS, Nambo
(Tabel 2.6) sumbangan non pertanian lebih besar lagi, yaitu mencakup 80,65% dari
seluruh penghasilan penduduk. Besarnya sumbangan non-pertanian tidak terluas
dari kontribusi penduduk desa Gunung Putri yang mencakup 55,66% dari seluruh
penghasilan penduduk. Dari aspek jenis pekerjaan, maka kontribusi penghasilan di
kedua desa adalah dari sektor perdagangan yang mencakup 30,62% dan penduduk
yang bekerja sebagai buruh pabrik (25,67%). Jenis sumber penghasilan lainnya yang
cukup signifikan adalah karyawan swasta yang mencakup 19,45% dari seluruh
penghasilan. Diluar ketiga pekerjaan tersebut, maka kontribusi sebelas pekerjaan
lainnya rata-rata dibawah satu persen.
Tabel 6
Persentase Sumber-sumber Penghasilan Penduduk
di Jalan Akses TPPAS Nambo
NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber Penghasilan (%)
Gunungputri Bantarjati Jumlah
Pertanian :
1 Petani 1.54 9.59 11.13
2 Buruh tani 2.04 3.23 5.27
3 Peternakan 1.95 1.09 3.04
Sub Jumlah pertanian 5.54 13.90 19.45
Non Pertanian :
2 Pedagang 20.13 10.50 30.62
3 Pegawai negeri sipil 0.55 0.18 0.73
4 TNI/Polri 0.32 0.09 0.41
6 Karyawan Swasta 5.32 14.13 19.45
7 Buruh pabrik 21.17 4.50 25.67
8 Pengrajin 0.27 0.09 0.36
9 Tukang bangunan 0.36 0.14 0.50
61
NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber Penghasilan (%)
Gunungputri Bantarjati Jumlah
10 Penjahit 0.50 0.09 0.59
11 Tukang las 0.41 0.18 0.59
12 Tukang ojeg 0.55 0.32 0.86
13 Bengkel 0.55 0.23 0.77
Sub Jumlah non pertanian 50.11 30.44 80.55
Total 55.66 44.34 100
Sumber : Studi ANDAL, 2009
4.8 Gambaran Peristiwa Konflik Dengan Kelembagaan di Luar Desa yang
Pernah Terjadi
Peristiwa konflik merupakan galian dari gejala sosial dalam masyarakat yang
dapat menunjukkan perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Pertentangan dapat
muncul apabila tidak ada kesepahaman antar warga atau dengan warga dari luar desa.
Bentuk konflik dapat berupa demontrasi dan unjukrasa, boikot terhadap fasilitas
umum bahkan dapat terjadi kekerasan.
Persitiwa konflik untuk dicatat baik jenisnya, latar belakang mapun cara
penduduk untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dari hasil survei dan wawancara
dalam proses penyusunan AMDAL, dengan penduduk lokal desa-desa yang
berbatasan dengan lokasi TPPAS Nambo, maka dapat diketahui bahwa jenis konflik
yang diingat masyarakat antara lain adalah peristiwa pertentangan dengan perusahaan
tambang di sekitar desa dan pertentangan antar warga dalam perebutan batas lahan.
Latar belakang yang menyebabkan konflik dengan perusahaan tambang
adanya konsentrasi debu dari kegiatan pengangkutan bahan tambang (berupa clay)
yang menyebabkan penecemaran debu dan dianggap menimbulkan gangguan
kesehatan bagi penduduk. Alasan lainnya adalah kecemburuan warga atas minimnya
tenaga lokal pendududk desa yang dapat bekerja di perusahaan tambang tersebut.
Cara penyelesaian konflik yang ditempuh tidak terlepas dari upaya Pemerintah
dan perusahaan tambang untuk berkomunikasi dalam mencari pemecahan masalah
yang timbul. Upaya yang ditempuh menurut penduduk antara lain adalah perbaikan
sistem pengangkutan oleh perusahaan tambang, pemberian kompensasi, bantuan
pembangunan fasilitas umum sampai adanya rekruitmen khusus tenaga kerja lokal.
62
Tabel 7
Frekuensi Pertentangan dengan Lembaga di Luar Masyarakat
di Desa-desa dekat TPPAS Nambo
No. Luas lahan (ha) Nambo Lulut
Leuwi
Karet Total
Jml % Jml % Jml % Jml %
1
Konflik dengan
Perusahaan Tambang 2 2.13 6 6.38 4 4.26 12 12.77
2
Konflik akibat perebutan
lahan 5 5.32 4 4.26 3 3.19 12 12.77
3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47
Total 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100
Alasan Konflik :
1
Dengan Perusahaan
tambang :
Pencemaran lingkungan
debu 0 0.00 4 4.26 4 4.26 8 8.51
Kecemburuan sosial
untuk masalah tenaga
kerja 2 2.13 2 2.13 0 0.00 4 4.26
2 Konflik masalah lahan :
Tumpangtindih batas
lahan 5 5.32 4 4.26 3 3.19 12 12.77
3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47
Jumlah 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100
Cara penyelesaian
konflik
1
Dengan Perush tambang
:
Perbaikan fasilitas
tambang 0 0.00 2 2.13 3 3.19 5 5.32
kompensasi untuk
penduduk local 0 0.00 2 2.13 1 1.06 3 3.19
Program pemberdayaan
masyarakat 0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06
Rekrutmen tenaga kerja 2 2.13 1 1.06 0 0.00 3 3.19
2 Konflik masalah lahan :
Musyawarah tingkat
desa 3 3.19 2 2.13 2 2.13 7 7.45
Musyawarah tingkat
Kec. 2 2.13 1 1.06 1 1.06 4 4.26
Pengadilan 0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06
3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47
63
No. Luas lahan (ha) Nambo Lulut
Leuwi
Karet Total
Jml % Jml % Jml % Jml %
Jumlah 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100
Sumnber : Studi ANDAL,
2009
Untuk masyarakat di desa-desa yang dilewati jalur akses ke TPPAS Nambo,
penduduk yang mengetahui adanya konflik antar warga dengan penduduk atau
lembaga di luar desa berjumlah 31, 3% (lihat Tabel 2.8).
Jenis konflik di desa Gunungputri dan Bantarjati nampak ada perbedaan yang
disebabkan oleh latar belakang terjadinya konflik. Di desa Bantarjati, jenis koflik
realtif sama dengan desa-desa di dekat lokasi TPPAS (Nambo, Lulut dan
Leuwikaret).
Jenis konflik tersebut adalah perselisihan dengan perusahaan tambang akibat
ketidakpuasan penduduk akibat pencemaran debu dari truk pengangkut bahan
tambang. Di desa Gunungputri, perselisihan dengan perusahaan tambang tidak ada,
bentuk konflik nampak sesuai dengan karakter sosial ekonomi masyarakat, yaitu
tuntutan kenaikan gaji oleh para buruh terhadap manajemen pabrik tempat mereka
bekerja. Ada pula konflik akibat kecelakaan lalulintas.
Cara penyelesaian konflik dengan perushaan tambang (di Bantarjati) relatif sama
dengan desa- desa lain, yaitu perbaikan fasilitas tambang degan cara pelebaran jalan
dan penyiraman rutin oleh perusahaan, pemberian kompensasi uang untuk penduduk
dan rekrutmen tenaga kerja.
Untuk desa Gunungputri, cara penyelesaian konflik adalah dengan cara musyawarah
dan sebelumnya sempat dilakukan demontstrasi oleh kelompok buruh, sedangkan
tumpang tindih masalah batas kepemilikan lahan dilakukan dengan musyawarah
tingkat desa dan kecamatan dan ada pula yang dilanjutkan lewat putusan pengadilan.
Perlu disampaikan bahwa diantara jenis konflik ada yang berbentuk kecelakaan
lalulintas. Menurut responden, kecelakaan lalulintas terjadi akibat kendaraan yang
melintasi jalan raya di Gunungputri menabrak warga yang sedang menyeberang.
Peristiwa ini dianggap sebagai kelalaian pengemudi dan secara spontanitas warga di
sekitar kejadian melakukan pemukulan terhadap pengemudi. Setelah itu pengemudi
diserahkan kepada pihak kepolisian.
Tabel 8
Frekuensi Pertentangan dengan Lembaga di Luar Masyarakat
di Desa-desa Jalur akses ke TPPAS Nambo
No. Jenis Konflik
Gunungputri Bantarjati Total
Jml % Jml % Jml %
1 Perselisihan perburuhan 2 4.44 0 0.00 2 4.44
2 Akibat kecelakaan lalulintas 1 2.22 2 4.44 3 6.67
3 Dengan perusahaan tambang: 0 0.00 4 8.89 4 8.89
64
No. Jenis Konflik
Gunungputri Bantarjati Total
Jml % Jml % Jml %
4
Tumpang tindih batas
kepemilikan 3 6.67 2 4.44 5 11.11
5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89
Total 24 53.33 21 46.67 45 100
Latar belakang terjadinya
konflik:
1 Perselisihan perburuhan :
Tuntutan kenaikan UMR 2 4.44 0 0.00 2 4.44
2 Akibat kecelakaan lalulintas :
Kesalahpahaman dengan pelaku 1 2.22 2 4.44 3 6.67
3 Dengan Perusahaan tambang
Pencemaran lingkungan 0 0.00 3 6.67 3 6.67
Kecemburuan sosial masalah
tenaga kerja 0 0.00 1 2.22 1 2.22
4
Tumpangtindih batas
kepemilikan 3 6.67 2 4.44 5 11.11
5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89
Jumlah 24 53.33 21 46.67 45 100
Cara penyelesaian konflik :
1 Perselisihan perburuhan:
Demo dan musyawarah 2 4.44 0 0.00 2 4.44
2 Akibat kecelakaan lalulintas
Tindak kekerasan oleh
masyarakat 1 2.22 2 4.44 3 6.67
3 Dengan perusahaan tambang
Pelebaran jalan tambang 0 0.00 1 2.22 1 2.22
kompensasi untuk penduduk
local 0 0.00 1 2.22 1 2.22
Rekrutmen tenaga kerja 0 0.00 2 4.44 2 4.44
4 Konflik masalah lahan
Musyawarah tingkat desa 1 2.22 2 4.44 3 6.67
Musyawarah tingkat Kec. 0 0.00 0 0.00 0 0.00
Pengadilan 2 4.44 0 0.00 2 4.44
5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89
Jumlah 24 53.33 21 46.67 45 100
Sumber : Studi ANDAL, 2009
4.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Kegiatan TPPAS Nambo
Berdasarkan Kajian AMDAL yang sudah disusun, persepsi masyarakat pada
penelitian difokuskan pada pernyataan sikap terhadap rencana kegiatan pembangunan
65
TPPAS menunjukkan bahwa Jumlah penduduk yang menyatakan setuju adalah 47,87%.
Alasan yang mendasari pendapat mereka terutama adalah karena mendukung program
pemerintah (27,66%) serta mengharapkan peluang kerja dari kegiatan ini (13,83%).
Sebaliknya bagi penduduk yang tidak setuju beralasan pada lima masalah, antara
lain karena akan menimbulkan konflik dengan pengelola (6,38%). Konflik dapat terjadi
apabila dampak-dampak dari penimbunan sampah dapat beresiko kepada masyarakat
seperti gangguan penyakit dan bencana. Pendapat lain yang berhubungan dengan konflik
adalah potensi terjadinya konflik dengan pendatang. Menurut penduduk, konflik dengan
pendatang dapat terjadi akibat perebutan limbah sebagai komoditi bernilai ekonomis serta
kesalahpahaman dalam pergaulan sehari-hari.
Kemudian ada pula pendapat bahwa kegiatan ini akan menggusur rumah milik
warga, lahan produktif dan bahkan mata air yang sangat diperlukan oleh penduduk lokal.
Pada pihak lain, adapula penduduk yang menyatakan setuju namun dengan syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi. Syarat tersebut antara lain adalah bahwa bila kegiatan ini
dilaksanakan, maka harus dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan resiko bagi
penduduk seperti gangguan penyakit, potensi konflik serta penduduk yang kehilangan
sumber penghasilan akibat tergusurnya lahan pertanian. Syarat lain yang diajukan oleh
kelompok ini adalah bahwa kegiatan proyek harus memberikan peluang kerja bagi
penduduk di desa sekitar.
Tabel 2.9
Persepsi Penduduk Tentang Rencana TPPAS Nambo
di desa-desa dekat Lokasi
No
.
Pendapat Penduduk
Nambo Lulut
Leuwi
Karet
Total
Jm
l
%
Jm
l
%
Jm
l
%
Jm
l
%
Penduduk yang setuju :
1
Setuju, karena mendatangkan
peluang Kerja
7 7.45 3 3.19 3 3.19 13
13.8
3
2
Setuju, karena mendatangkan
peluang Usaha
2 2.13 2 2.13 2 2.13 6 6.38
3
Setuju, untuk mendukung
program Pemerintah
11
11.7
0
9 9.57 6 6.38 26
27.6
6
Jumlah penduduk setuju 20
21.2
8 14
14.8
9 11
11.7
0 45
47.8
7
Penduduk yang tidak setuju :
4
Tidak setuju, karena menggusur
rumah milik warga
0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06
5
Tidak setuju, karena
menggunakan Lahan produktif
dan mata air
2 2.13 3 3.19 1 1.06 6 6.38
6
Tidak setuju , karena
menimbulkan Konflik dengan
pengelola
1 1.06 0 0.00 0 0.00 1 1.06
66
No
.
Pendapat Penduduk
Nambo Lulut
Leuwi
Karet
Total
Jm
l
%
Jm
l
%
Jm
l
%
Jm
l
%
7
Tidak setuju, karena
menimbulkan Konflik dengan
warga pendatang
1 1.06 0 0.00 0 0.00 1 1.06
8
Tidak setuju, karena
menimbulkan gangguan
penyakit
1 1.06 2 2.13 0 0.00 3 3.19
Jumlah penduduk tidak setuju 5 5.32 6 6.38 1 1.06 12
12.7
7
Penduduk setuju dengan syarat
9
Setuju asal warga diberi peluang
kerja
2 2.13 2 2.13 0 0.00 4 4.26
10 Setuju asal dikelola dengan baik 7 7.45 6 6.38 2 2.13 15
15.9
6
11
Setuju asal pendatang dari luar
desa dibatasi
2 2.13 1 1.06 0 0.00 3 3.19
Jumlah Penduduk setuju
dengan Syarat
11
11.7
0
9 9.57 2 2.13 22
23.4
0
12 Tidak menjawab 9 9.57 5 5.32 1 1.06 15
15.9
6
Total 45
47.8
7 34
36.1
7 15
15.9
6 94 100
Sumber : Studi ANDAL, 2009
4.10 Konflik Sosial yang Sudah dan Berpotensi Timbul serta Pihak-pihak yang
terlibat
Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi di lapangan serta Focus Group Discusion
(FGD) yang sudah dilakukan, kami menyimpulkan ada beberapa pihak yang terdampak
dalam aspek sosial dalam pembangunan TPPAS Nambo sebagai berikut:
a. Konflik Sebelum pelaksanaan konstruksi dan Operasionalisasi berupa konflik dengan
petani Penggarap Lahan Perhutani
Terdapat 15 orang petani penggarap pada lahan Perhutani yang menjadi lokasi
TPPAS Nambo, namun 2 (dua) orang diantaranya mengaku memiliki Akta Jual Beli
(AJB) pada lahan yang akan dibangun, sehingga proses pembangunan pada lahan
yang disengketakan ini belum dapat dilakukan. Berdasarkan hasil diskusi penolakan
oleh 15 orang penggarap lahan ini cukup menghambat proses penyediaan lahan,
Konflik terjadi karena 15 orang petani penggarap ini sudah melakukan kontrak
penggunaan lahan dengan pihak perhutani yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH) sehingga untuk mengeluarkan 15 orang petani penggarap ini
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI
TPPAS EKONOMI

More Related Content

What's hot

Dlh Perling dan Pertek
Dlh   Perling dan PertekDlh   Perling dan Pertek
Dlh Perling dan PertekEra Wibowo
 
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi Mansur
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi MansurTata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi Mansur
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi MansurH2O Management
 
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...GLC
 
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Persampahan
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang PersampahanKebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Persampahan
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang PersampahanOswar Mungkasa
 
Sistem pengelolaan persampahan
Sistem pengelolaan persampahanSistem pengelolaan persampahan
Sistem pengelolaan persampahanJoy Irman
 
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi Dadang Solihin
 
Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan
Perencanaan Teknis dan Manajemen PersampahanPerencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan
Perencanaan Teknis dan Manajemen PersampahanJoy Irman
 
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatTPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatJoy Irman
 
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)Heri Romansyah
 
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahPerhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahNurul Angreliany
 
PPT PERMEN 4 2017.pptx
PPT PERMEN 4 2017.pptxPPT PERMEN 4 2017.pptx
PPT PERMEN 4 2017.pptxlifa16
 
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Batam
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota BatamLaporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Batam
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota BatamOswar Mungkasa
 
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUPresentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUH2O Management
 
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari PerkebunanPola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari PerkebunanRaflis Ssi
 
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...infosanitasi
 
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainaseIsyyatul Aufa
 
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...Anjas Asmara, S.Si
 
Peraturan Penataan Ruang RDTR
Peraturan Penataan Ruang  RDTRPeraturan Penataan Ruang  RDTR
Peraturan Penataan Ruang RDTRhenny ferniza
 
Sni terkait sanitasi
Sni terkait sanitasiSni terkait sanitasi
Sni terkait sanitasiIwan Kusuma
 
Usman penegakan hukun tata ruang
Usman penegakan hukun tata ruangUsman penegakan hukun tata ruang
Usman penegakan hukun tata ruangYayasan CAPPA
 

What's hot (20)

Dlh Perling dan Pertek
Dlh   Perling dan PertekDlh   Perling dan Pertek
Dlh Perling dan Pertek
 
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi Mansur
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi MansurTata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi Mansur
Tata Cara Kerjasama SPAM oleh Effendi Mansur
 
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...
Contoh Perjanjian Kerjasama UKL UPL Terbaru (Beli Kontrak, Hub: 08118887270 (...
 
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Persampahan
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang PersampahanKebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Persampahan
Kebijakan dan Strategi Pembangunan Bidang Persampahan
 
Sistem pengelolaan persampahan
Sistem pengelolaan persampahanSistem pengelolaan persampahan
Sistem pengelolaan persampahan
 
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi
Kebijakan Pertanahan dan Penataan Ruang dalam Kerangka Investasi
 
Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan
Perencanaan Teknis dan Manajemen PersampahanPerencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan
Perencanaan Teknis dan Manajemen Persampahan
 
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis MasyarakatTPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
TPS 3R (Reduce, Reuse & Recycle) Berbasis Masyarakat
 
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)
Sosialisasi muatan PP 22 tahun 2021 (terkait pl)
 
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampahPerhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
Perhitungan jumlah trip kendaraan pengangkut sampah
 
PPT PERMEN 4 2017.pptx
PPT PERMEN 4 2017.pptxPPT PERMEN 4 2017.pptx
PPT PERMEN 4 2017.pptx
 
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Batam
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota BatamLaporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Batam
Laporan Pra Kelayakan. Manajemen Pengelolaan Persampahan Kota Batam
 
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBUPresentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
Presentasi Panduan Umum Pelaksana KPBU
 
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari PerkebunanPola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
Pola pemanfaatan ruang dan permasalahan yang timbul dari Perkebunan
 
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
Permen PU 01 2014 Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataa...
 
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase
58721516 kerangka-acuan-kerja-drainase
 
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
 
Peraturan Penataan Ruang RDTR
Peraturan Penataan Ruang  RDTRPeraturan Penataan Ruang  RDTR
Peraturan Penataan Ruang RDTR
 
Sni terkait sanitasi
Sni terkait sanitasiSni terkait sanitasi
Sni terkait sanitasi
 
Usman penegakan hukun tata ruang
Usman penegakan hukun tata ruangUsman penegakan hukun tata ruang
Usman penegakan hukun tata ruang
 

Similar to TPPAS EKONOMI

Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupaten
Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan KabupatenSumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupaten
Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupateninfosanitasi
 
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptx
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptxHORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptx
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptxssuser58c7a6
 
3. PERAN BPN PPT.pptx
3.  PERAN BPN PPT.pptx3.  PERAN BPN PPT.pptx
3. PERAN BPN PPT.pptxsutrisno831
 
pengantar klinik fpr.pptx
pengantar klinik fpr.pptxpengantar klinik fpr.pptx
pengantar klinik fpr.pptxssusera3eeca
 
BENGKAYANG PERUMDA .pptx
BENGKAYANG PERUMDA .pptxBENGKAYANG PERUMDA .pptx
BENGKAYANG PERUMDA .pptxbandi2340
 
Rapat Pokja Sanitasi Gresik
Rapat Pokja Sanitasi GresikRapat Pokja Sanitasi Gresik
Rapat Pokja Sanitasi GresikM Handoko
 
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptx
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptxEkspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptx
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptxanggiemagie14
 
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013Sigit Pramulia
 
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxPaparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxHartantyUtami1
 
Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Rini Sucahyo
 
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...Oswar Mungkasa
 
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdf
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdfPAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdf
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdfrifkaamila36
 
Retribusi Persampahan.pptx
Retribusi Persampahan.pptxRetribusi Persampahan.pptx
Retribusi Persampahan.pptxannaprimadona
 

Similar to TPPAS EKONOMI (20)

Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupaten
Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan KabupatenSumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupaten
Sumber Pendanaan Hibah untuk Program Sanitasi Kota dan Kabupaten
 
Iptek pada pertambangan
Iptek pada pertambanganIptek pada pertambangan
Iptek pada pertambangan
 
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptx
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptxHORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptx
HORAS MAURITS DIREKTUR PATDA SOS 96 2016.pptx
 
3. PERAN BPN PPT.pptx
3.  PERAN BPN PPT.pptx3.  PERAN BPN PPT.pptx
3. PERAN BPN PPT.pptx
 
Lapas
LapasLapas
Lapas
 
Pentingnya perda bg
Pentingnya perda bgPentingnya perda bg
Pentingnya perda bg
 
pengantar klinik fpr.pptx
pengantar klinik fpr.pptxpengantar klinik fpr.pptx
pengantar klinik fpr.pptx
 
BENGKAYANG PERUMDA .pptx
BENGKAYANG PERUMDA .pptxBENGKAYANG PERUMDA .pptx
BENGKAYANG PERUMDA .pptx
 
Rapat Pokja Sanitasi Gresik
Rapat Pokja Sanitasi GresikRapat Pokja Sanitasi Gresik
Rapat Pokja Sanitasi Gresik
 
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptx
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptxEkspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptx
Ekspose LapAntara Sampah Banggai Laut.pptx
 
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013
Permendagri 54-direktur-ok-sri varita 5 maret 2013
 
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptxPaparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
Paparan Penyediaan Akses Air Minum Layak dan Aman Rev-3.pptx
 
Kerangka acuan kerja
Kerangka acuan kerjaKerangka acuan kerja
Kerangka acuan kerja
 
Sumardi penyusunan rpjmd_kab kebumen
Sumardi penyusunan rpjmd_kab kebumenSumardi penyusunan rpjmd_kab kebumen
Sumardi penyusunan rpjmd_kab kebumen
 
Materi sosialisasi dak 2022
Materi sosialisasi dak 2022Materi sosialisasi dak 2022
Materi sosialisasi dak 2022
 
Open Data Kontrak bagi Daerah Kaya Migas
Open Data Kontrak bagi Daerah Kaya MigasOpen Data Kontrak bagi Daerah Kaya Migas
Open Data Kontrak bagi Daerah Kaya Migas
 
Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1Pedoman Proyek Karbon v1
Pedoman Proyek Karbon v1
 
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Mengefektifkan dan Mempercep...
 
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdf
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdfPAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdf
PAPARAN KERJA SAMA SMK DENGAN DUNIA USAHA-edit.pptx-2.pdf
 
Retribusi Persampahan.pptx
Retribusi Persampahan.pptxRetribusi Persampahan.pptx
Retribusi Persampahan.pptx
 

TPPAS EKONOMI

  • 1. LAPORAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA (KPBU) STUDI KASUS TPPAS REGIONAL LULUT NAMBO, KAB. BOGOR Prodi MPWK – SAPPK Institut Teknologi Bandung dengan PUSBINDIKLATREN BAPPENAS Bandung, 24 Juli – 4 Agustus 2017
  • 2. DAFTAR ISI Bab I Aspek Ekonomi dan Finansial............................................................................... 1 Bab II Aspek Teknik dan Desain................................................................................ 18 Bab III Aspek Hukum dan Regulasi ............................................................................ 38 Bab IV Aspek Sosial dan Kependudukan..................................................................... 49 Bab V Aspek Organisasi dan Kelembagaan ............................................................... 51 Bab VI Aspek Lingkungan dan Dampak Pencemaran ................................................. 96
  • 3. 1 Bab I Aspek Ekonomi dan Finansial Oleh : Gilang Bayu Erlangga, Se / Bappeda Prov. Jawa Barat Ilma Berty, St, Me / Setda Kab. Bungo Imilda Septiana, Se., Me / Bpkad Kab. Bungo Sri Wahyuni Nur Ahmad, Sp, M.Eng / Bappeda Kab. Serdang Bedagai
  • 4. 2 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Pada tahun 2016, jumlah penduduk Jawa Barat sebesar 47.789.739 jiwa dengan luas wilayah 3.709.528,44 Ha. Jumlah penduduk yang besar merupakan potensi positif bagi Provinsi Jawa Barat, namun demikian, hal ini dapat mendatangkan permasalahan juga bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang salah satunya adalah masalah persampahan. Gambar 1.1 Peta Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang melarang pembuangan terbuka (open dumping) dan data dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, menyebutkan bahwa total timbunan sampah di Provinsi Jawa Barat sebesar 42.000 m³ per hari setara dengan 16.800 ton per hari, sementara lahan TPA terutama di wilayah perkotaan terbatas. Dengan kondisi ini, maka Provinsi Jawa Barat membutuhkan sarana infrastruktur persampahan yang memadai sebagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Tempat Pengolahan Pembuangan Akhir Sampah (TPPAS) agar tidak terjadi penimbunan jumlah sampah yang dapat berakibat pada pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat. Pembangunan infrastruktur TPPAS ini terkendala dalam hal pembiayaan dikarenakan terbatasnya ketersediaan anggaran pemerintah baik APBN maupun APBD Provinsi Jawa Barat. Selain itu juga menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan sumber daya manusia, teknologi, serta aspek-aspek teknis lainnya. Karenanya Pemerintah Provinsi Jawa Barat menginisiasi proyek TPPAS dengan skema PPP. Tetapi pemerintah harus tetap memperhatikan unsur profitabilitas disamping memberikan pelayanan terhadap kepentingan masyarakat, karena hal ini berkaitan dengan Badan Usaha yang nantinya akan dibentuk melalui skema PPP tersebut. Proyek PPP dimaksud diantaranya adalah TPPAS Lulut Nambo yang dipersiapkan sebagai infrastruktur untuk mengatasi masalah persampahan regional. Adapun cakupan pelayanan TPPAS Lulut Nambo meliputi 3 (tiga) kab./kota, yaitu Kab. Bogor, Kota Bogor, dan Kota Depok.
  • 5. 3 Oleh karena itu, berdasarkan data dan kondisi di lapangan terkait beragam masalah yang terjadi, serta solusi untuk membangun infrastruktur TPPAS Lulut nambo, maka penyusun merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut terkait pembangunan TPPAS Lulut Nambo pada aspek ekonomi dan finansial. 1.2 Landasan Hukum Landasan hukum dalam pelaksanaan proyek PPP sebagai berikut: – Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan perubahannya (Perpres 13/2010, Perpres 56/2011, Perpres 66/2013).; – Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur – Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur – Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur – Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah [menggantikan PP Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah] – UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara – PP Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah – Permendagri Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah – Permendagri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah Dengan Pihak Luar Negeri – Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. – Dan lain-lain yang merupakan Peraturan Sektoral. 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan laporan ini adalah untuk menuangkan hasil pengamatan /survey lapangan dan FGD pembangunan TPPAS Lulut Nambo dari segi aspek ekonomi dan finansial. Adapun tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk memberikan informasi dan rekomendasi terkait aspek ekonomi dan finansial TPPAS Lulut Nambo.
  • 6. 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN TPPAS Lulut Nambo dibangun berdasarkan Kesepakatan Bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemkab. Bogor, Pemkot Bogor, dan Pemkot Depok pada Tanggal 29 Januari 2009, tentang Kerjasama Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Regional Nambo, dan Keputusan Bersama pada Tanggal 29 Januari 2009 tentang Penunjukan Lokasi TPPAS Regional di Desa Nambo dan Desa Lulut. Kesepakatan bersama tersebut ditindaklanjuti dengan beberapa perjanjian kerjasama, yaitu : 1. Perjanjian Kerjasama Pemprov. Jabar, Pemkab. Bogor, PT. ITP dan PT. CCIE, 5 Januari 2012 tentang Penyediaan Jalan Akses. 2. Perjanjian Kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemkab. Bogor, Pemkot Bogor, Pemkot Depok, 18 Agustus 2014 tentang Kerjasama pengolahan dan pemrosesan akhir sampah regional Nambo. 3. Perjanjian Kerjasama Pemprov. Jabar dengan Perum Perhutani, 02 Desember 2014 tentang Penggunaan Kawasan Hutan seluas 40 Ha untuk TPPAS Regional Nambo 4. Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Pemprov Jabar dengan PT. Jabar Bersih Lestari pada Tanggal 21 Juni 2017 Dalam perjanjian kerjasama pada tanggal 18 Agustus 2014, disebutkan bahwa komponen pembiayaan TPPAS Regional Lulut Nambo meliputi Biaya investasi untuk sarana dan prasarana TPPAS adalah sebesar lebih kurang Rp. 593.750.000.000. sedangkan untuk biaya operasional dan pemeliharaan per tahun adalah sebesar Rp. 68.985.000.000. Berdasarkan perhitungan biaya operasional dan pemeliharaan tersebut dan dibagi dengan jumlah sampah rata-rata yang diangkut ke TPPAS, maka ditetapkan Kompensasi Jasa Pelayanan (KJP) sebesar Rp. 126.000/Ton. Tabel 1.1 Potensi Kuantitas Sampah TPPAS Regional Nambo Proses pengolahan sampah di TPPAS Regional Nambo ini menghasilkan 2 (dua) jenis output utama yang memiliki nilai jual, yaitu Refuse Derived Fuel (RDF) dan kompos. Berdasarkan hasil kajian pra-Feasibility Study (Pra-FS), Penanganan Sampah yang dijadikan RDF sudah ada rujukannya yaitu DG Khan Cement Plant di Pakistan yang sudah membuat project design documentation (PDD) untuk mensubtitusi sebagian penggunaan batubara sebanyak 6.714,8 ton per hari dari total penggunaan batubara sebesar 166.921 ton batu bara dengan RDF yang berasal dari agriculture waste dan municipal solid waste (msw) dengan potensi penyelamatan karbon sebesar 149.469 ton CO2/tahun. Sampah yang dipakai untuk menciptakan RDF mempunyai total volume sebesar 168.839 metrik ton sampah setahun atau
  • 7. 5 462,57 metrik ton sampah per hari dengan potensi pengurangan emisi karbon sebesar 168.839 ton CO2/tahun. Proyek sampah menjadi RDF untuk mensubtitusi penggunaan batubara menjadi RDF di pabrik semen bisa mendapatkan karbon kredit dengan menggunakan metodologi yang ada di UNFCCC dengan kode ACM 003 versi 07.3 reduksi emisi sebagian energy fossil dengan energy alternative atau bahan bakar beremisi karbon rendah di pabrik semen. Karbon kredit ini bisa berlaku dengan unsure additionality karena TPPAS di Nambo memerlukan biaya investasi yang cukup besar sedangkan penjualan RDF dan composting saja masih menghasilkan tingkat IRR yang rendah dan NPV yang negative sehingga harus dibantu pemerintah dengan tipping fee sekitar 10 sampai dengan 18 dollar per metric ton sampah dan juga perlu diberikan insentif tambahan melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM) sehingga memperoleh karbon kredit agar proyek TPPAS Nambo ini bisa berjalan. Jika bisa disetujui UNFCCC setelah proses verifikasi dan validasi serta monitoring yang akan menghasilkan sertifikat pengurangan emisi, maka proyek di DG Khan Cement Plant Pakistan, sebagai contoh, bisa menghasilkan karbon kredit sebesar 149.649 CER x 5 USD/CER = 748.245 USD atau 7,108 Miliar Rupiah setahun selama 10 tahun. TPPAS Nambo dengan kapasitas sampah diproyeksikan sebesar 482 metrik ton per hari pun akan menghasilkan jumlah karbon kredit yang diestimasikan sekitar 155.935 MT karbon atau CER ekuivalen dengan 7,4 Miliar rupiah per tahun selama 10 tahun dengan asumsi harga karbon kredit sekitar 5 USD per metric ton, adapun perhitungan ini masih harus dikaji ulang karena perbedaan jenis sampah dengan proyek di Pakistan sehingga menghasilkan potensi tonase reduksi karbon yang berbeda. Untuk memuluskan upaya ini maka pihak pengelola TPPAS bekerja sama dengan pabrik semen sebagai end-user untuk mendapatkan peluang yang lebih besar di dalam mendapatkan karbon kredit karena end user yang akan menggunakan energi terbarukan dan rendah emisi yang sebenarnya berhak mendapatkan dana karbon kredit sebagai insentif. Dasar-dasar perhitungan tersebut di atas, menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menentukan kelayakan proyek ini yang dituangkan sebagai berikut :
  • 8. 6 Tabel 1.2 Kelayakan Proyek TPPAS Regional Nambo Dari analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan TPPAS Nambo ini memberikan efek positif/manfaat sebesar 460,45 Milyar Rupiah. Selain analisa kelayakan, dalam dokumen pra-FS juga disajikan hasil analisa pendapatan yang akan diperoleh apabila asumsi komposisi produksi yang akan dilakukan adalah 10 persen kompos dan 90 persen RDF. Penjualan Kompos Dengan asumsi jumlah sampah yang masuk untuk diproduksi sebesar 10 persen dari sampah yang keluar dari biodrying maka produksi kompos yang bisa dihasilkan adalah sebesar 2.82 Ton/hari . Harga kompos di pasaran adalah senilai $38.89/ton maka bisa diperkirakan penghasilan yang akan diterima dari hasil penjualan kompos adalah sebesar 1,015.2 x $38.89=$39,481.13/tahun. Penjualan RDF Pengelolaan limbah padat perkotaan ditandai sebagai salah satu masalah lingkungan yang serius di Indonesia.Dalam hal ini, produksi dan pemanfaatan bahan bakar alternative yang berasal dari pengolahan sampah yaitu (RDF) dapat memberikan kontribusi bagi lingkungan global dan lokal. Dengan asumsi jumlah sampah yang masuk untuk diproduksi sebagai RDF adalah sebesar 90 persen maka akan dihasilkan RDF sebanyak 415.8 ton/hari dengan harga RDF di pasaran sebesar $23.68 /ton diperkirakan penghasilan yang akan diterima dari hasil penjualan RDF adalah sebesar 149,668 ton/tahun x $23.68 = $3,544,611.84/tahun. Penjualan Recycle Material Harga pasar untuk sampah plastic tergantung dari jenis tipe plastic ,namun berkisar pada harga Rp.350-Rp.3000/kg..Namun bisa kita tentukan secara konservatif harga pasar dari
  • 9. 7 material daur ulang di kisaran rat-rata Rp.800/kg atau $88/ton. Apabila diperkirakan sampah yang termasuk bahan yang bisa didaur ulang sebesar 34 ton maka potensi pendapatan yang bisa diperoleh dari hasil penjualan material daur ulang adalah sebesar12,240 ton x $88 =$1,077,120 Tipping Fee Nilai tipping fee yang sesuai target ditetapkan adalah $12/ton. Dengan mempertimbangkan nilai pemasukan dari penjualan produk tersebut diatas, maka untuk tipping fee termasuk PPn 10% dan target IRR minimal adalah 18% untuk Asset, maka /tipping fee ditetapkan sebesar $12/ton sampah yang diolah. Analisis kelayakan bisnis dari proyek TPPAS Nambo ini dengan melakukan perhitungan sesuai dengan asumsi –asumsi yang telah disepakati bersama di awal. Untuk mengetahui berapa jumlah nilai dukungan pemerintah yang perlu dikeluarkan di awal agar proyek ini dinilai layak. Tabel 1.3 Asumsi komposisi 9:1 Target Tipping Fee $12 USD/ton Target IRR 18% per anum RDF Composition 90 % Compost Composition 10% Government Investment Support / Subsidized Investment ? Komposisi produksi antara RDF dan kompos telah disepakati sejak awal yaitu sebesar 10 % untuk kompos dan 90% untuk RDF. Apabila asumsi Tipping Fee tidak dinaikkan atau sesuai target awal yaitu sebesar $12/ton serta nilai IRR yang diharapkan dicapai adalah sebesar 18 % . Maka diketahui besarnya jumlah dukungan pemerintah yang perlu dikeluarkan pemerintah adalah sebesar $.24,860,000, nilai NPV serta payback period yang diperoleh adalah Tabel 1.4 Hasil NPV dan IRR utama NPV 10,432,271.80 IRR 18.00% Payback Period 7 6 years months Perhitungan-perhitungan di atas merupakan perhitungan yang tertulis pada dokumen Pra FS, namun demikian, pada pelaksanaannya proyek TPPAS Regional Lulut Nambo ini dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Pemprov Jabar yaitu dengan PT. Jabar Bersih Lestari pada Tanggal 21 Juni 2017. Oleh karena itu terdapat beberapa perubahan pada perhitungan-perhitungan yang dilakukan.
  • 10. 8 Tabel 1.5 Parameter Satuan Besaran Lokasi Desa Nambo dan Lulut Nilai Investasi +/- Rp. 600 milyar Perkiraan BEP 8 Tahun IRR 15% Teknologi MBT dan proses lainnya Waktu Penerimaan Sampah Hari/Tahun 365 Kapasitas Operasi Ton Sampah/Hari dalam 1 bulan 1500 Output RDF Ton/Hari 550 Output Kompos Ton/Hari 30 Waktu Operasi Jam/Tahun 6.000 s/d 8.000 Hari Operasi Hari/Tahun 250 s/d 330 Waktu Desain dan Konstruksi Bulan 18 Masa Operasi Komersial Tahun 25 Perusahaan/konsorsium pemenang lelang diwajibkan untuk bermitra dengan PT. Jasa Sarana selaku BUMD yang ditunjuk oleh pihak Pemprov. Jawa Barat sebagai standing partner dengan proporsi kepemilikan saham sebesar 20%, dan 80% untuk perusahaan pemenang lelang. Perusahaan pemenang lelang telah ditetapkan, yaitu konsorsium Panghegar Energy dan Perusahaan asing dari Korea dan Malaysia. Badan usaha yang dibentuk untuk mengelola TPPAS ini diberi nama PT. Jabar Bersih Lestari. Cakupan dalam analisis ekonomi meliputi biaya-biaya tidak langsung yang terkait dengan dampak negatif dari proyek dan sering disebut sebagai social and environment cost. Adapun dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pembangunan TPPAS Nambo antara lain adalah polusi pada areal sekitar TPPAS. Untuk mengatasi masalah di atas, melalui Perjanjian Kerjasama antara Pemprov Jawa Barat, Pemkab Bogor, Pemkot Bogor, dan Pemkot Depok dihasilkan kesepakatan pembayaran Kompensasi Dampak Negatif (KDN) dari Pemkot Bogor dan Pemkot Depok kepada Pemkab. Bogor dimana lokasi TPPAS Nambo berada. Selain itu, masyarakat Kabupaten Bogor pada umumnya dan Desa Lulut dan Nambo pada khususnya akan memperoleh bantuan dari dana CSR PT. Jabar Bersih Lestari. Adapun manfaat yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan dibangunnya TPPAS Nambo ini adalah menjawab permasalahan persampahan di wilayahnya dan khusus untuk masyarakat Kabupaten Bogor akan membuka kesempatan kerja karena di dalam perjanjian kerjasama antara Pemrov Jawa Barat dan PT. Jabar Bersih Lestari disebutkan bahwa perusahaan wajib menggunakan tenaga kerja lokal.
  • 11. 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Dalam aspek Finansial, proyek ini layak untuk dilaksanakan dengan skema PPP berdasarkan perhitungan nilai benefit dan cost ratio. 2. Proyek ini sudah memperhitungkan social environment benefit dan cost, sehingga dapat dikatakan layak pada aspek ekonomi. Rekomendasi 1. Kesepakatan harga RDF dengan Indocement harus segera terealisasi, mengingat PT. JBL terikat dalam komitmen untuk memproduksi 550 ton RDF. 2. Untuk menghindari wanpretasi baik dari pihak perusahaan maupun kab./kota, perlu dirumuskan suatu bentuk kesepakatn tersendiri dalam kontrak kerjasama.
  • 12. 10 Refleksi Potensi Proyek dengan Skema Public Private Partnership (PPP) di Provinsi Jawa Barat Jenis Proyek : Pengembangan infrastruktur pemukiman (perumahan vertikal) di kawasan Metropolitan Bandung Raya. Lokasi Proyek : Kawasan Metropolitan Bandung Raya, yang meliputi Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Profil Kawasan Metropolitan Bandung Raya : Kawasan Metropolitan Bandung Raya mencakup 56 kecamatan dalam 5 kabupaten/kota. kawasan ini merupakan kesatuan wilayah perkotaan yang terbentuk karena aglomerasi kegiatan ekonomi, aglomerasi aktivitas sosial masyarakat, aglomerasi lahan terbangun, dan aglomerasi penduduk yang mencapai 5,8 juta jiwa dengan total luas lahan sekitar 102.598,80 ha. Potensi dari kawasan Metropolitan Bandung Raya ini diantaranya adalah : 1. Keunggulan absolut, Kota Bandung merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat, dengan aspek geografis, peninggalan sejarah, dan budaya yang sangat memadai. 2. Aksesibilitas menjadi salah satu keunggulan komparatif kawasan ini. Wilayah ini mudah dijangkau dengan menggunakan berbagai moda transportasi. Ketersediaan fasilitas perdagangan dan industri, serta tenaga kerja industri tekstil dan pengolahan makanan sangat memadai. 3. Keunggulan kompetitif yang terdapat dalam hal SDM dan komunitas yang kreatif dan inovatif, serta merupakan lokasi dari berbagai perguruan tinggi yang berkelas dunia dari berbagai bidang ilmu serta fasilitas riset dan pengembangan yang memadai. Argumentasi : Tingkat urgensi dari proyek ini dapat dikatakan prioritas, karena dengan melihat perkembangan penduduk di wilayah Metropolitan Bandung Raya dan diikuti dengan munculnya isu dan permasalahan dari berbagai aspek, terutama dalam hal ketersediaan infrastruktur. Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai infrastruktur modern yang dapat mengakomodasi kegiatan perekonomian serta aktivitas penduduk. Infrastruktur yang dibutuhkan berupa perumahan vertikal skala besar, sistem angkutan umum massal, peningkatan kualitas pelayanan infrastruktur publik, dan ruang terbuka publik multifungsi.
  • 13. 11 Berdasarkan kondisi terkini dan kebutuhan akan sarana infrastruktur yang belum tersedia, maka dapat dikatakan bahwa perumahan vertikal skala besar di kawasan metropolitan bandung raya merupakan proyek prioritas, dengan tujuan : 1. menampung jumlah penduduk yang banyak, sehingga membutuhkan sarana permukiman yang sangat banyak pula dan tidak mungkin terpenuhi dengan luas lahan yang tersedia 2. menata pemukiman kumuh yang masih banyak terdapat di kawasan metropolitan bandung raya 3. menata kawasan metropolitan bandung raya berdasarkan aspek modernitas, fungsionalitas, aksesibilitas dan estetika perkotaan
  • 14. 12 REFLEKSI Rencana Proyek PPP di Kabupaten Bungo Kabupaten Bungo adalah salah satu dari sebelas Kabupaten/Kota yang terdapat dalam Provinsi Jambi. Dengan Luas wilayah Kabupaten Bungo 4.659 km2 yang terdiri dari: Peta Kabupaten Bungo 17 kecamatan dengan 141 desa dan 12 kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Bungo pada tahun 2015 sebanyak 344.100 jiwa. Dimana supply air minum menjadi tanggung jawab PDAM Pancuran Telago. Tetapi untuk saat ini PDAM Pancuran Telago baru dapat melayani dalam kota Muara Bungo saja. Dengan jumlah KK yang ada di kota Muara Bungo sebesar 23.515 sementara pelanggan yang dapat dialiri oleh PDAM Pancuran Telago adalah 6.426, berarti hanya sekitar 27% saja dapat dilayani oleh PDAM Pancuran Telago. Sumber air yang dipakai untuk mensupply air minum ke pelanggan saat ini adalah Sungai Batang Bungo menggunakan instalasi yang masih sedeharna.
  • 15. 13 Sementara untuk pembangunan infrastruktur SPAM itu sendiri membutuhkan anggaran yang cukup besar, dan dana APBD Kabupaten Bungo sangat terbatas. Oleh sebab itu dimungkinkan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur SPAM dengan metode atau skema Public Private Partnership (PPP). Melalui pembangunan infrastruktur skema PPP akan terbangun SPAM dengan cakupan yang luas, teknologi yang lebih baru dan ramah lingkungan serta kualitas air yang memenuhi standar mutu air. Dengan memanfaatkan sumber mata air baru yaitu berlokasi di daerah Tanjung Menanti. Dengan membangun proyek PPP SPAM di Tanjung Menanti ini multi flyer effect dapat dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Bungo.
  • 16. 14 REFLEKSI KASUS TERHADAP PELUANG PENGEMBANGAN PPP DI WILAYAH KERJA PESERTA: Kabupaten Serdang Bedagai Potensi pengembangan PPP di Kabupaten Serdang Bedagai berupa Sarana Penyediaan Air Bersih. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi sumber daya air permukaan yaitu sungai ular di Kecamatan Perbaungan dengan debit air mencapai 29,5 M3 /detik. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai adalah 600.000 jiwa dengan kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Perbaungan. Pada saat ini, mayoritas penduduk Kabupaten Serdang Bedagai memperoleh air bersih dengan mengambil air tanah karena belum adanya PDAM.
  • 17. 15 DOKUMENTASI Gerbang TPPAS Regional Lulut Nambo Site Plan TPA Regional Nambo
  • 18. 16 Diskusi di Kantor TPPAS Regional Nambo Kunjungan ke Sanitary Landfill
  • 20. 18 Bab II Aspek Teknik dan Desain Oleh: Muhammad Arifuddin (Kementerian ESDM) Novan Akhiriyanto (Kementerian ESDM) Muhammad Adi Putra Sudiman (Kementerian ESDM) Abdul Rahim (BP4D Kota Cirebon)
  • 21. 19 PENDAHULUAN 2.1 Latar Belakang Sampah dapat didefinisikan sebagai barang yang dibuang yang merupakan sisa hasil dari aktivitas manusia. Berbagai aktivitas ekonomi manusia akan meninggalkan bahan atau barang sisa yang tidak terpakai lagi yang kita sebut sebagai sampah. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas manusia tentunya sampah yang dihasilkan akan semakin banyak. Keberadaan sampah ini tentunya akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri seperti lingkungan menjadi tidak nyaman (bau dan kotor) dan penurunan tingkat kesehatan. Oleh karenanya maka sampah tersebut harus dapat dikelola secara baik agar dapat mengurangi dampak negatif dan bahkan apabila dapat dimanfaatkan secara baik dapat menjadi peluang ekonomi bagi pihak-pihak tertentu. Hal tersebut di atas apabila dicermati secara ekonomi, menunjukkan adanya eksternalitas dari aktivitas ekonomi yang diwujudkan dengan adanya sampah. Eksternalitas tersebut merupakan sebagai salah satu wujud inefisiensi ekonomi. Peran pemerintah, swasta dan masyarakau umum tentunya sangat diharapkan dalam upaya merubah sesuatu yang inefisien menjadi sesuatu yang efisien secara ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut maka infrastruktur pengelolaan sampah harus dapat dibangun, yang salah satunya yaitu Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS). Untuk membangun suatu infrastruktur pengelolaan sampah (TPPAS) tentunya membutuhkan investasi yang cukup besar. Di sisi lain kemampuan finansial pemerintah juga terbatas karena banyak hal lain juga yang harus diurusi. Terkait dengan hal itu maka keberadaan skema kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU) menjadi suatu angin segar dalam penyediaan dan pengelolaan infrastruktur TPPAS. Sebagai studi kasus saat ini telah ada TPPAS yang telah menggunakan skema KPBU yaitu TPPAS Lulut Nambo yang berlokasi di Kabupaten Bogor. Saat ini TPPAS Lulut Nambo ini sudah dalam tahap kontruksi. Desain teknis TPPAS Lulut Nambo ini sudah ditentukan berdasarkan kontrak yang telah disepakati. Teknologi pengolahan sampah: biodrying mechanical – biological treatment (finalisasi desain Desember 2017) untuk menghasilkan kompos dan RDF dengan teknologi dari Korsel (instalasi produksi), Jerman (membran penutup) dan domestik. Pemilihan teknologi dan desain teknis ini tentunya sangat menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut, mengingat ketepatan pemilihan teknologi dan desain teknis akan mempengaruhi kelayakan dan keberlanjutan dari TPPAS ini. 2.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari laporan ini yaitu untuk mendeskripsikan desain teknis dan teknologi yang digunakan di TPPAS Lulut Nambo beserta analisis resiko teknis yang mungkin timbul disertai dengan usulan rekomendasinya. Adapun tujuan laporan ini adalah sebagai wujud proses pembelajaran terkait skema KPBU khususnya terkait desain dan teknis TPPAS, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis juga bagi pihak lainnya yang berminat mempelajari desain teknis TPPAS.
  • 22. 20 2.3 Perumusan Masalah Beberapa hal yang dirumuskan dalam laporan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana desain teknik TPPAS Lulut Nambo saat ini berdasarkan Kontrak KPBU yang telah ditandatangani? 2. Apa saja resiko teknis yang akan dihadapi TPPAS Lulut Nambo dan bagaimana rekomendasinya? 2.4 Sistematika Penulisan Pada laporan ini terdapat 3 bab yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan dan bab penutup. Pada bagian pendahuluan terdiri atas latab belakang, maksud dan tujuan, rumusan masalah dan sistematika penulisan. Pada bagian pembahasan akan dibahas terkait desain dan teknis TPPAS Lulut Nambo beserta analisis resiko dan rekomendasinya. Adapun pada bagian penutup tersiri atas kesimpulan dan saran.
  • 23. 21 PEMBAHASAN 2.5. Lokasi Proyek Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok kesulitan untuk memperoleh lokasi TPA baru dan menyelenggarakan pengelolaan TPA sesuai dengan Undang-undang Pengelolaan Sampah. Hal ini mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat turut serta mencari solusi penanganan sampah melalui rencana pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Lulut Nambo. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok Nomor: 658.1/71/Otdaksm Tanggal 18 Agustus 2014. Garis besar isi perjanjian kerjasama yang akan mempengaruhi rancang bangun dan rekayasa yang diterapkan di TPPAS Lulut Nambo, antara lain: 1. Penetuan lokasi: berdasarkan hasil kajian teknik dan aspek sosial serta aspek lingkungan melalui surat keputusan bersama PARA PIHAK; 2. Tujuan: menyelenggarakan pelayanan pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dari wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok; 3. Biaya Operasional dan Pemeliharaan: bersumber dari Kompensasi Jasa Pelayanan (KJP) sebesar Rp. 126.000/ton sampah yang dianggarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat; 4. Salah satu biaya operasional tetap (fixed) yang tercantum dalam perjanjian kerjasama berupa Kompensasi Dampak Negatif (KDN) dengan proporsi 10% dari besaran KJP ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Jawa Barat; 5. Pembagian kuota kuantitas layanan terdapat pada tabel 1 di bawah. Tabel 1. Kuota Kuantitas Berdasarkan Penerima Layanan Luas lahan TPPAS Lulut Nambo adalah 55 Ha dimana 40 Ha diantaranya merupakan lahan Perhutani yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui perjanjian kerjasama kedua belah pihak pada Desember 2014. Lokasi TPPAS Lulut Nambo ditunjukkan pada gambar 1 di bawah.
  • 24. 22 Gambar 1. Lokasi TPPAS Lulut Nambo Lokasi Lulut Nambo jauh dari pemukiman, akses yang mudah setelah dijalin kerja sama dengan PT Indocement Tunggal Perkasa dan di sekitarnya terdapat beberapa industri semen yang berpotensi memanfaatkan hasil olahan sampah, sehingga pemilihan lokasi TPPAS Lulut Nambo dinilai sudah tepat. Akses jalan menuju TPPAS Regional Lulut Nambo ditunjukkan pada gambar 2 di bawah. Gambar 2. Akses menuju TPPAS Lulut Nambo Akses menuju lokasi TPPAS Lulut Nambo sekitar 6,6 km ini dibangun berdasarkan perjanjian kerjasama antara Pemprov Jabar, Pemkab Bogor, PT Indocement Tunggal Prakarsa, dan PT Cibinong Center Industrial Estate pada Januari 2012. 2.6. Desain Teknis 2.6.1. Karakteristik Sampah
  • 25. 23 Studi Pemprov Jabar menyebutkan bahwa timbulan sampah yang direncanakan dikelola di TPPAS Regional Nambo yang berasal dari Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok, sebanyak 976 ton/hari pada tahun 2012 dan akan menjadi 1.200 ton/hari pada tahun 2030. Rencana kapasitas awal dari TPPAS Regional adalah 1.000 ton/hari. Berdasarkan studi JICA tahun 2012, karakteristik/komposisi sampah di wilayah Bogor dan Depok adalah sebagai berikut: Classification Composition Rate (%) Organic Organic and Leaves/Garden Residues 51,6% 8,7% Plastic Recyclable Plastic Non recyclable plastic over 50mm 12,3% 4,4% Paper Paper 9,8% Metal Metal 0,2% Hazardous Waste Hazardous Waste 0,1% Others -Mineral -Textile -Rubber -Disposal Napies -Composites -Others 1,2% 3,8% 0,5% 6,6% 0,0% 0,6% Total 100% Tabel 2. Komposisi Sampah di Wilayah Bogor dan Depok 2.6.2. Pilihan Teknologi Berdasarkan kebutuhan umur pakai TPPAS Regional yang lebih panjang, ketersediaan pasar terhadap hasil olahan sampah dan keterjangkauan kemampuan pembiayaan, maka konsep pengolahan dan pemrosesan akhir oleh Pemprov Jabar diarahkan dengan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT). dan Refuse Derived Fuel (RDF). MBT dan RDF adalah proses dimana sampah yang masuk akan diproses mulai dari pemilahan manual, sampah yang dapat diaur ulang akan dipisah sehingga dapat dijual kembali, sedangkan untuk sampah lain akan dicacah, sehingga dapat mempercepat dalam proses fermentasi yang merupakan proses selanjutnya. Setelah difermentasi sampah yang telah menjadi kompos dipilah dengan pemilahan mekanis, produk kompos dapat dipisah dari residunya. Manfaat lain produksi RDF adalah menurunkan jumlah residu sampah yang ditempatkan pada landfill berupa fraksi ringan sampah salah satunya sampah plastik yang merupakan bahan daur ulang yang masih memiliki nilai jual masih tinggi, sehingga potensi para pemulung masuk ke dalam lokasi TPPAS Lulut Nambo akan berkurang, karena plastik residu produksi di landfill berkurang jauh.
  • 26. 24 Kompos yang telah dipisah dapat dikemas dan dijual, sedangkan residunya dapat dimasukan dalam insinerator, dimana panas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik yang nantinya listrik tersebut dapat dijual atau untuk digunakan sendiri. Sedangkan untuk abu dari sisa insinerator akan dibuang ke tempat pembuangan akhir. Laju reduksi sampah yang dapat dicapai dari opsi ini adalah 96%. Tahapan yang dilakukan pada TPPAS Lulut Nambo, sebagai berikut:  Pemilahan sampah anorganik untuk mengambil material sampah yang memiliki nilai ekonomi sebagai bahan daur ulang;  Pengolahan sampah organik menjadi kompos;  Pengolahan sampah anorganik menjadi bahan bakar RDF;  Pemrosesan akhir residu dari pengolahan melalui sanitary landfill. Asumsi harga produk keluaran berupa bahan yang dapat didaur ulang, kompos dan RDF dengan mempertimbangkan harga pasar yang digunakan dalam kajian Pra Studi Kelayakan TPPAS Regional Lulut Nambo, ditunjukkan dalam tabel 3 di bawah. Initial year Recycled Material Price 88.00 USD/ton Initial year Compost Price 38.89 USD/ton Initial year RDF Price 23.68 USD/ton Initial Year Tipping Fee Untuk ditentukan kemudian USD/ton Tabel 3. Harga Produk Keluaran TPPAS Lulut Nambo 2.6.3. Standar Kinerja Berdasarkan beberapa referensi, Standar Kinerja Input (kapasitas operasi, tonase sampah yang akan dikelola) dan Standar Kinerja Output (TPPAS Lulut Nambo mengalami perubahan beberapa kali, sebagai berikut: 1) Standar Kinerja Input / Kapasitas Operasi  Studi Pemrov Jabar tahun 2012: 1.000 ton/hari  PPP Book 2013: 1.000 ton/hari  Kunlap Tim 2017 (info BPSR): 1.500 ton/hari 2) Standar Kinerja Output  Studi Pemrov Jabar tahun 2012: Kompos 40 ton/hari; RDF 480 ton/hari; material daur ulang 66 ton/hari;  PPP Book 2013: Kompos 45,4 ton/hari; RDF 408,6 ton/hari.  Kunlap Tim 2017 (info BPSR): Kompos 30 ton/hari; RDF 550 ton/hari; dan residu yang dibuang ke landfill maksimal 10% (150 ton) 2.6.4. Resiko Rancang Bangun dan Rekayasa Teknis
  • 27. 25 Dari hasil wawancara dengan perwakilan pihak Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR) didapatkan keterangan bahwa pihak PT Indocement Tunggal Perkasa diberikan kesempatan sebagai pembeli prioritas untuk menyerap produksi RDF karena faktor kerjasama pengadaan lahan akses jalan menuju TPPAS Regional Lulut Nambo sehingga memungkinkan dump truck pembawa muatan sampah mencapai TPPAS Lulut Nambo dengan waktu yang cukup singkat. PT Indocement Tunggal Perkasa dikabarkan telah melakukan kontak dengan pihak pemenang lelang (PT Jabar Bersh Lestari) namun kesepakatan harga belum ada kejelasan begitu juga jika RDF tidak dapat diserap oleh industri semen di sekitarnya (PT Holcim), sehingga jika kesepakatan harga RDF belum ada untuk diserap industri semen di sekitar TPPAS Lulut Nambo, maka potensi resiko yang dapat terjadi adalah PT Jabar Bersih Lestari nantnya akan melakukan perhitungan ulang investasi atas pembangunan instalasi produksi RDF dengan menambah investasi untuk fasilitas pendistribusian RDF agar dapat dijual keluar wilayah sekitarnya sehingga PT Jabar Bersih Lestari (PT JBL) meminta kepada Pemerintah Povinsi Jawa Barat selaku PJPK KPBU untuk melakukan perubahan desain denah untuk menambah peruntukan parkir fasilitas pendistribusian RDF. Pendugaan kelayakan finansial yang dapat mempengaruhi desain, misalnya besaran KJP atau tipping fee yang dikenakan sebesar Rp. 125.000/ton sampah sebagai salah satu komponen pendapatan badan usaha pengelola (PT JBL) mungkin juga secara bisnis memiliki margin yang besar, sehingga sangat menguntungkan hanya dengan mengandalkan tipping fee saja disamping kewajibannya untuk memproduksi kompos 30 ton/hari. Opini ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum penetapan pemenang lelang KPBU, terdapat badan usaha konsorsium swasta yang berani menawarkan tipping fee sebesar Rp. 97.680/ton. Sedangkan kajian-kajian yang ada juga memberikan asumsi tipping fee di bawah Rp. 125.000/ton untuk TPST Bantargebang milik DKI Jakarta yaitu sebesar minimal Rp. 115.000/ton jika pengolahan sampah dilakukan dengan menambah komponen pendapatan melalui teknologi Gasification Landfill Anaerobic Digestion (GALFAD) dan Rp. 315.000/ton untuk penggunaan teknologi MBT serta untuk teknologi insinerasi sebesar Rp. 450.000/ton. Sehingga besaran tipping fee mungkin perlu dikaji kembali untuk memberikan pelayanan yang optimal dengan harga yang wajar di 3 (tiga) wilayah tersebut. Potensi resiko di sisi PT JBL jika skenario produksi RDF tidak bisa dijalankan, maka PT JBL akan meminta target kinerja berupa produksi RDF akan diganti kepada opsi untuk pembangkitan listrik maupun penerapan Clean Development Mechanism (CDM) melalui perdagangan karbon menggunakan Certified Emission Reductions (CERs) sehingga dari aspek desain akan berubah. CER adalah sertifikasi dari pengurangan emisi yang telah dilakukan oleh suatu proyek CDM. Data operasional dari sebuah proyek CDM harus terlebih dahulu di audit (VERIFIKASI) oleh pihak ketiga independent untuk bisa kemudian diterbitkan sertifikat pengurangan emisi atau CER. 1 (satu) ton pengurangan emisi memiliki harga sekitar 10 USD Jika memanfaatkan opsi untuk pembangkitan listrik, maka pemilihan teknologi dapat menggunakan insinerasi dengan membakar sampah secara langsung, MBT dengan memanfaatkan produksi RDF sehingga masih dapat memenuhi spesifikasi keluaran namun desain peruntukan akan menambah lokasi untuk penempatan genset (PLTG) maupun GALFAD sehingga desain peruntukan akan menambah lokasi untuk penempatan genset
  • 28. 26 (PLTMG) serta berpotensi menurunkan produksi kompos. Studi kelayakan finansial yang pernah dilakukan pada TPST Bantargebang dengan tipping fee yang berbeda-beda tergantung teknologi yang digunakan (insinerasi Rp. 450.000/ton; MBT+RDF Rp. 315.000/ton; dan GALFAD Rp. 115.000/ton) serta tarif listrik sampah kota dengan mekanisme feed in tariff sampai dengan kapasitas 10 MW (zero waste untuk insinerasi dan MBT+RDF sebesar Rp. 1.050/kWh dan landfill untuk GALFAD sebesar Rp. 850/kWh) ditunjukkan pada tabel 4 di bawah. Tabel 4. Parameter Kelayakan Finansial Teknologi Pembangkitan Listrik Dari 3 (tiga) teknologi ini, sebenarnya yang sangat berpeluang untuk diterapkan adalah teknologi GALFAD karena dapat memfasilitasi keberlanjutan pertumbuhan volume sampah seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, permasalahan/kelemahan yang sering dihadapi oleh PLTMG sampah (PLTSa) adalah kontinyuitas produksi gas metan. Teknologi yang paling optimal dalam memproduksi gas metan adalah kompogas (tabel 5) dengan komposisi gas metan sebesar 60%. Di samping itu mudah pemeliharaannya dan tidak memerlukan tenaga kerja yang banyak. Tabel 5. Pemilihan Teknologi Penimbunan Sampah pada GALFAD Pada teknologi landfill cell pada tabel 5, terjadi infiltrasi O2 ke dalam sel karena terdapat kebocoran pada dinding dan penutup sehingga menurunkan komposisi gas metan menjadi 33.23%. Pada teknologi sanitary landfill saat musim kemarau terjadi perengkahan tanah penutup sehingga terjadi kebocoran yang menyebabkan gas terbang keluar sehingga komposisi gas metan menjadi kecil yaitu 28.28%. Jika memafaatkan opsi penerapan CDM, maka desain harus diubah dengan mengadakan peruntukan lahan untuk instalasi LFG Flaring System. Teknologi untuk hal ini dimungkinkan teknologi dapat diproduksi dalam negeri, baik peralatan LFG Flaring System
  • 29. 27 maupun membran HDPE penutup timbulan sampah pada landfill. Cara kerja LFG Flaring System ditunjukkan pada gambar 3 di bawah. Gambar 3. Cara Kerja LFG Flaring System Penerapan CDM telah dilakukan di TPA Sumur Batu Bekasi dengan mempekerjakan PT Gikoko Kogyo Indonesia (PT GKI). Kelemahan dari penerapan CDM adalah proses verifikasi dan audit CERs yang panjang, karena melibatkan verifikator dan auditor dari World Bank. Timeline volume gas metan yang dapat dijadikan sebagai CERs oleh PT GKI dengan penambahan jumlah lubang/sumur (well) pada landfill ditunjukkan pada tabel 6 di bawah. Tabel 6. Progres Penangkapan Gas Metan di TPA Sumur Batu Month Average flow to flare (m3 /hour) Number of well(s) February 2010 122 4 March 2010 137 9 April 2010 118 11 May 2010 126 14 June 2010 178 16 July 2010 133 18 August 2010 158 18 September 2010 133 18 October 2010 148 19 November 2010 174 21 December 2010 244 26 January 2011 288 28 February 2011 447 31 March 2011 591 32 April 2011 604 32 May 2011 708 34 June 2011 802 35 July 2011 889 36 August 2011 887 37 September 2011 864 38 October 2011 866 38
  • 30. 28 PENUTUP Kondisi yang ada pada saat kunjungan lapangan masih dalam tahap konstruksi infrastruktur dasar berupa pembangunan landfill. Progres landfill baru mencapai sekitar 6 Ha (cell F dan ABC). Jalan akses ke lokasi TPPAS Regional Lulut Nambo merupakan kerjasama Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan PT Indocement Tunggal Perkasa sepanjang 6,6 km, baru selesai 2 (dua) lajur dari 4 (empat) lajur. Pilihan desain teknologi TPPAS Regional Lulut Nambo diputuskan menggunakan MBT+RDF dengan produksi RDF 550 ton/hari dan kompos 30 ton/hari berdasarkan hasil kontrak terakhir tanggal 21 Juni 2017. Desain mengalami 3 (tiga) kali perubahan, desain terakhir yang disusun oleh PT JBL ditargetkan selesai pada Desember 2017 (6 bulan setelah tandatngan kontrak).
  • 31. 29 DAFTAR RUJUKAN 1) Pra FS TPPAS Regional Lulut Nambo 2012 oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2) Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok Nomor: 658.1/71/Otdaksm Tanggal 18 Agustus 2014 3) Dokumen Review DED 2013 Pemerintah Provinsi Jawa Barat 4) http://www.antarajabar.com/berita/57476/pemenang-lelang-pembangunan-tppas-nambo-bogor-dikritik 5) Apriyadi, Darmawan, “Analisis Pemilihan Teknologi Tepat Guna Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Untuk Sampah DKI Jakarta ”, FT Magister Teknik Elektro, UI Salemba, 2013 6) http://www.litbang.esdm.go.id/berita/pemanfaatan-gas-metan-dari-sanitary-landfill-tpa-sampah-untuk- bahan-bakar-dan-pembangkit-listrik- 7) Paparan “Progress Kegiatan Penangkapan, Penghancuran dan Pemanfaatan Gas Metana di TPA Sumur Batu” oleh PT Gikoko Kogyo Indonesia, 2012
  • 32. 30 Proyek Potensial KPBU 1). Muhammad Adi Putra Sudiman (Kementerian ESDM) Nama Proyek : Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) Wilayah Jakarta Lokasi : Jakarta (dengan sosioekonomi Jakarta bisa dijadikan sebagai model pengembangan pemanfaatan kendaraan listrik) Deskripsi : Saat ini pemerintah berupaya untuk mempercepat penggunaan mobil listrik di Indonesia dengan pertimbangan dua hal, pertama pelaksanaan efisiensi energi untuk transportasi, dan kedua untuk terwujudnya udara bersih dari penggunaan energi. Berikut adalah penjelasan terkait hal tersebut: • Pertumbuhan kendaraan terus meningkat dengan rata-rata 11,5% pertahun selama 10 tahun terakhir, yang sejalan juga dengan peningkatan Penggunaan BBM transportasi darat sebesar 5% Pertahun dimana sebagian besar BBM yang dikonsumsi merupakan BBM impor • Penurunan Indeks kualitas udara, rata-rata kota besar Indonesia telah mendekati level “tidak sehat”. DKI Jakarta pada level “tidak sehat” (sumber: world air quality index- www.aqcn.org)
  • 33. 31 The Electric Vehicles Initiative (EVI) adalah forum kebijakan multilateral yang didedikasikan untuk percepatan memperkenalkan dan mengadopsi kendaraan listrik agar mendunia. Penggunaan kendaraan listrik secara global merupakan komponen kunci dari tujuan Forum CEM (Clean Energy Ministerial), untuk meningkatkan supply energy yang bersih dan meningkatkan efisiensi energi. EVI akan memfasilitasi pengembangan secara global 20 juta kendaraan dan komponennya pada tahun 2020 (termasuk kendaraan listrik hibrida plug-in dan kendaraan fuel cell). Percepatan penggunaan tenaga listrik untuk transportasi jalan sebenarnya sudah tertuang dalam Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, dengan target sebagai berikut:  Mobil listrik pada tahun 2025 sebanyak 2.200 unit dan 4,2 juta unit pada tahun 2050  Motor listrik sebanyak 2,13 juta unit pada tahun 2025 dan pada tahun 2050 sebanyak 13,3 juta  Pembangunan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) sebanyak 1000 unit pada tahun 2025 dan ±10.000 unit pada tahun 2050 Salah satu hal yang menghambat belum berkembangnya kendaraan listrik di Indonesia yaitu adalah belum adanya fasilitas catu daya salah satunya berupa SPLU. Dengan terbatasnya dana pemerintah dan juga dalam rangka meningkatkan peran swasta (Badan Usaha) maka SPLU ini cukup potensial untuk di KPBU-kan. Lingkup : Lingkup kerjasama yang di KPBU-kan mulai dari penyediaan SPLU dan juga operasionalnya selama 25 tahun Skema Kerjasama : BOT Manfaat :  Penurunan penggunaan BBM impor  Peningkatan kualitas udara  Mendorong berkembangnya industri kendaraan listrik di Indonesia  Transfer teknologi 2). Novan Akhiriyanto (Kementerian ESDM) Nama Proyek : Sistem Penyaluran LNG Skala Kecil untuk Bahan Bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas di wilayah Indonesia Timur Lokasi : Indonesia Timur Deskripsi : Konsep distribusi gas yang ditawarkan
  • 34. 32 Dalam hal distribusi gas/LNG, Indonesia membutuhkan “virtual pipeline” untuk memasuki era energi baru dengan menggunakan Floating Power Plant (FPP) dan/atau Mini LNG Shuttle dan/atau FSU/FSRU dan/atau Global LNG Carrier. Secara keseluruhan mampu untuk menyediakan solusi dan teknologi. Keunggulan konsep distribusi di atas, antara lain:  Secara ekonomi, mampu menampung pengadaan dan penyimpanan gas skala besar pada sisi hub menggunakan FPP dan Global LNG Carrier serta FSU/FSRU skala menengah;  Terukur dan fleksibel, jaringan distribusi gas skala kecil menuju sisi permintaan dapat menggunakan mini shuttle/TAG dan FPP kecil; dan  Optimasi, mengoptimalkan pengadaan dan manajemen distribusi dengan monitoring kebutuhan. Studi kasus Studi kelayakan ekonomi dilakukan untuk rute distribusi dengan studi kasus, berikut:  Menuju 6 PLTG/PLTMG (Seram, Langgur, Tidore, Tobelo, Halmahera, Sorong) dan Sulbagut 1 sebagai kandidat hub. Dengan sumber pasokan LNG dari Tangguh, Bontang, dll. Terdiri dari 1 unit LNG-C 10.000 m3 ; 1 unit FSRU 170.000 m3 ; dan 6 unit FSRU kecil 10.000 m3 . Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi sebesar 6,6 US$/mmbtu. Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu;  Menuju 13 PLTG/PLTMG (Seram, Langgur, Tidore, Tobelo, Halmahera, Sorong, Ambon, Ternate 2, Waingapu, Bima 2, Kupang, Timor 1, Sulsel) dan 2 kandidat hub (Kalsel dan Sulbagut 1). Terdiri dari 2 unit LNG-C 10.000 m3 ; 2 unit FSRU 170.000 m3 ; dan 13 unit FSRU kecil 10.000 m3 . Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi sebesar 5,6 US$/mmbtu. Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu;
  • 35. 33  Menuju seluruh PLTG/PLTMG di wilayah Maluku dan Papua, mencapai 54 sites. Terdiri dari 4 unit LNG-C 10.000 m3 ; 1 unit FSRU 170.000 m3 ; dan 33 unit FSRU kecil 10.000 m3 . Biaya total penyimpanan (storage) dan transportasi sebesar 4,6 US$/mmbtu. Harga LNG FOB (Free on Board) diasumsikan 6 US$/mmbtu. Alternatif sistem logistik dapat menggunakan milk run maupun hub & spoke. Milk run hanya membutuhkan 1 unit LNG-C dari hub (FSU/FSRU) menuju ke tiap end sites/pembangkit membentuk suatu loop logistic namun membutuhkan fasilitas penyimpanan/tanker lebih besar tapi dapat dilakukan optimalisasi biaya distribusi sedangkan Hub & Spoke membutuhkan beberapa unit LNG-C sesuai jumlah sites/pembangkit dengan rute dari hub (FSU/FSRU) menuju ke masing-masing end sites/pembangkit dengan pengoperasian yang sederhana, penjelasan sistem logistik seperti gambar di bawah. Biaya modal (Capex) dan biaya operasi dan pemelihaaan (Opex) dipertimbangkan untuk memperkirakan BPP, Capex terdiri dari belanja FPP (FPP kecil, menengah, besar dan tanpa tangki); FSU/FSRU (FSRU kecil dan global/besar); LNG-C (kecil dan global/besar); serta fasilitas penerima darat (jetty). Sedangkan Opex terdiri dari belanja gas (harga FOB LNG, transportasi dan regasifikasi. Jika masih menanggung biaya transportasi maka jenis transaksi merupakan harga FOB shipping point); bahan bakar untuk FSRU dan LNG-C; tenaga kerja (kru/operator); pemeliharaan rutin; asuransi; serta administrasi. – CEO/BPP Dari uraian studi kasus di atas, maka didapatkan kesimpulan bahwa BPP Wilayah Papua, Suluttenggo dan Maluku dapat dikurangi dengan penggunaan sistem distribusi mini LNG/FSRU kecil dan Floating Power Plant (FPP). Kapasitas distribusi lebih besar dengan penambahan kebutuhan non-listrik (industri, perumahan, dsb) lainnya mampu
  • 36. 34 menghasilkan BPP yang lebih ekonomis, hasil perhitungan BPP dapat dilihat di bawah. – Tahapan pilot project (2018-2020) Pengiriman dari sumber BP Tangguh menuju PLTMG Sorong dengan kebutuhan fasilitas, meliputi: 1 unit FPP 25 MW; serta 2 unit mini LNG-C (1 unit untuk transportasi dan 1 unit untuk penyimpanan). Implementasi pengusahaan MOU dapat ditandatangani untuk dukungan teknis dari Jepang ke Indonesia untuk pembuatan kapal dan peningkatan jumlah awak kapal yang terampil (penanganan LNG), jika perlu ada kemungkinan menggunakan JCM pada skema JBIC jika diperkirakan terjadi pengurangan CO2 dengan perluasan penggunaan gas. Lingkup : Lingkup kerjasama yang di KPBU-kan mulai dari penyediaan infrastruktur distribusi LNG dan juga operasionalnya dengan mempertimbangkan umur operasi pasar (PLTG/PLTMG) biasanya selama 15-20 tahun Skema Kerjasama : BOT Manfaat :  Efisiensi biaya penyaluran LNG dibandingkan melalui APBN  Efisiensi operasi penyaluran LNG  Mendorong berkembangnyasistem logistik penyaluran LNG untuk pembangkit gas di wilayah Indonesia Timur  Transfer teknologi 3). M. Arifuddin (Kementerian ESDM) Nama Proyek : Penyediaan Listrik pada Area Isolated melalui Kerjasama Infrastrukur Telekomunikasi Lokasi : Daerah tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan pulau kecil, khususnya di Wilayah Timur Indonesia yang sulit dijangkau oleh PT PLN Deskripsi : Kondisi infrastruktur perdesaan saat ini:  Rasio Elektrifikasi nasional sudah melebihi 90%, namun masih terjadi ketimpangan penyediaan energi listrik, khususnya di daerah tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan pulau kecil.  Berdasarkan data BPS 12.659 desa yg belum sepenuhnya menikmati listrik (jumlah KK 2.527.469 dengan jumlah penduduk sekitar 9.970.286 jiwa), bahkan 2.519 desa
  • 37. 35 terdepan masih gelap gulita.  Masih banyak desa yang belum menikmati layanan telekomunikasi. Pemerintah berusaha memperluas akses telekomunikasi lewat pembangunan Base Transceiver Station (BTS), terutama di wilayah blankspot.  Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Kominfo menargetkan perluasan jangkauan jaringan seluler ke 5.000 desa di daerah terluar pada 2019. Pemerintah telah menerapkan kebijakan subsidi listrik tepat sasaran dimana pelanggan > 900 VA sudah tidak mendapatkan subsidi, bahkan sebagian dari pelanggan 900 VA, khususnya yang mampu, juga sudah tidak mendapatkan subsidi, sehingga terdapat penghematan subsidi listrik lebih dari Rp20 triliun. Sementara, BTS di daerah tertinggal jika menggunakan energy dari genset/diesel akan memakan biaya yang sangat mahal. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Aswani Dadeh, efisiensi penggunaan energy listrik dengan menggunakan batere (CDC) dibandingkan menggunakan 2 mesin diesel bisa mencapai 75% selama 4 tahun. Anggaran Pemerintah untuk melistriki dan memberi layanan telekomunikasi di daerah tertinggal/terisolasi, perbatasan, dan pulau kecil tersebut terbatas, sementara kebutuhan infrastruktur masih sangat tinggi. Potensi KPBU: Penyediaan Tenaga Listrik dan Infrastruktur Telekomunikasi. Strategi :  Mengidentifikasi lokasi desa tertinggal yang belum berlistrik.
  • 38. 36  Mengidentifiksi potensi EBT setempat.  Memperioritaskan lokasi yang beririsan antara rencana KESDM (listrik desa) dengan rencana Kominfo (pembangunan BTS).  Memprioritaskan lokasi dengan kerapatan penduduknya tinggi sehingga memungkinkan pengembangan pembangkit EBT bersifat komunal. Stakeholders yang terkait, antara lain:  KESDM  BP3TI Kominfo  Bappenas  Kementerian Keuangan  PT SMI  PT PII  PT PLN  Pemda Peran KESDM:  Dapat melakukan fasilitasi pelepasan wilayah usaha PT PLN (sebagaimana diamanahkan di Permen ESDM 38/2016).  Mendorong Pemerintah (Kemenkeu) untuk dapat mengalokasikan sebagian penghematan subsidi untuk membayar ketersediaan layanan energy listrik oleh BU KPBU kepada masyarakat melalui mekanisme Availability Payment ataupun Viability Gap Fund. Peran Kominfo:  Mendorong Pemerintah (Kemenkeu) untuk dapat mengalokasikan sebagian PSO telekomunikasi untuk membayar ketersediaan layanan energy listrik oleh BU KPBU untuk infrastruktur telekomunikasi melalui mekanisme Availability Payment ataupun Viability Gap Fund. Peran Kemenkeu:  Pemberian fasilitas pembayaran ketersediaan layanan/availability payment dan Performance Based Annuity Scheme (PBAS) Peran Pemerintah Daerah:  Menyediakan lahan yang pada masa akhir perjanjian akan dihibahkan kepada Pemerintah (c.q. PT PLN) Sumber Pendanaan Availibility Payment ataupun Viability Gap Fund:  Sebagian dana iuran BU Telekomunikasi sebagai bentuk PSO.  Sebagian dana hasil penghematan subsidi listrik.  Hibah Luar Negeri  APBN (pajak) Sumber revenue dari BU KPBU:  Tarif listrik kepada masyarakat sesuai golongan tariff (sesuai tariff PLN sesuai amanah Permen ESDM 38/2016).  Availibility Payment ataupun Viability Gap Fund dari pemerintah. Lingkup :  Penyediaan infrastruktur dan pelayanan ketenagalistrikan dengan menggunakan potensi energi setempat (Energi Baru Terbarukan / EBT)  Penyediaan Infrastruktur Telekomunikasi (BTS)
  • 39. 37 Skema Kerjasama : BOT 25 tahun Manfaat :  Meningkatkan Rasio Elektrifikasi Nasional  Meningkatkan akses masyarakat akan energy listrik dan juga layanan telekomunikasi  Mengurangi kesenjangan pelayanan energy listrik dan telekomunikasi antar wilayah 4). Abdul Rahim (BP4D Kota Cirebon) Nama Proyek : Penyediaan Transpotasi Masal Lokasi : Kota Cirebon Deskripsi : Proyek ini akan ditawarkan kepada badan usaha yang berpotensi untuk membiayai, merancang, membangun, mengoperasikan dan memelihara sarana transpotasi dan menyerahkan kembali infrastruktur pada akhir masa kerja sama. Mengakomodir dan menata angkutan umum yang sudah ada untuk bergabung menjadi system transpotasi umum yang tetpadu. Lingkup : Lingkup kerjasama KPBU adalah penyediaan Sarana Transpotasi dan Operasional selama 15 tahun Skema Kerjasama : BOT Manfaat :  Pengurangan Kemacetan sehingga mengurangi tingkat polusi danwaktu tempuh.  Penurunan penggunaan energy BBM  Tertatanya Transpotasi Umum  Keamanan terjamin  Kenyamanan yang memadai  Biaya perjalanan terjangkau  Aksesibilitas tinggi
  • 40. 38 Bab III Aspek Hukum dan Regulasi Oleh : Awaludin Hamdani Sofyan Budiarto Fitriawati
  • 41. 39 PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi serta pembangunan di suatu daerah selain mempunyai dampak positif juga menimbulkan dampak negatif. Indonesia yang merupakan negara nomor empat terpadat di dunia menghadapi banyak permasalahan terkait sanitasi lingkungan terutama masalah pengelolaan sampah. Dampak dari pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan serta tidak mendukung pembangunan Daerah yang berkelanjutan. Pengelolaan sampah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Dengan besarnya beban pengelolaan sampah khususnya di kota besar dan metropolitan, maka berbagai kebijakan dikeluarkan untuk menjawab permasalahan tersebut. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan adanya kerjasama dan kemitraan antar pemerintah daerah, badan usaha dan masyarakat dalam melakukan pengelolaan sampah. Pasal 26 ayat 1 menyebutkan “Pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama antar pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah”. Sementara pada pasal 27 ayat (1) menyebutkan: “Pemerintah daerah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dapat bermitra dengan badan usaha pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah”. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya menindaklanjuti amanat Undang-undang tersebut dengan mengeluarkan kebijakan pengelolaan TPA diperkotaan dilaksanakan dengan menggunakan TPA Regional. Selain itu Pemerintah juga mendorong kerjasama antar pemerintah daerah, swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat. Saat ini Pemerintah Jawa Barat telah mengoperasikan 6 TPPST dengan model pengelolaan persampahan yang berbeda di tiap regional.
  • 42. 40 Gambar 1. Lokasi TPPAS Regional Jawa Barat Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok sebagai sebuah kawasan yang memiliki jumlah penduduk besar memiliki permasalahan terkait sanitasi lingkungan terutama pengelolaan sampah, tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang jumlah sampah yang dihasilkan oleh ketiga wilayah tersebut Gambar 2. TPA Distrik Level Kota Bogor, Kota Depok Kondisi kedua TPA di ketiga wilayah tersebut yang sudah overload mengindikasikan perlu dibangun lagi TPA baru yang bisa mengganti dan membantu sebagian fungsi dari TPA yang sudah ada. TPPAS Lulut Nambo yang berlokasi di Kabupaten Bogor merupakan bagian proyek strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat merupakan solusi atas permasalahan sampah di ketiga wilayah tersebut.
  • 43. 41 3.1Landasan Hukum Pengelolaan Persampahan : • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP- SPP) • UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah • PP 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga • Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan perubahannya (Perpres 13/2010, Perpres 56/2011, Perpres 66/2013 • Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2014 Tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat • Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas RI No. 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. • Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 690/3726/SJ Tanggal 10 Juli 2015 Perihal Optimalisasi Pengelolaan Air Minum Dan Persampahan 3.2Pembahasan : Regulasi Pemerintah Daerah Jawa Barat dalam Pengolahan Sampah:  Pergub 31 Tahun 2007 dibentuk Pusat Pengelolaan Persampahan Jawa Barat (P3JB) namun tidak berjalan lancar karena terkendala pertanggungjawaban anggaran  Pergub 12 tahun 2009 perubahan dari P3JB menjadi Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat sebagai unit pelaksana teknis dibawah Dinas Perumahan dan Pemukiman  Perda no. 12/2010, Pengolaan Sampah, pasal 32 yaitu sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah regional. 2. Penyelenggaraan pengelolaan sampah regional berupa pelayanan jasa TPPAS Regional, dibiayai bersama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan ketentuan : o Pemerintah Daerah bersama dengan Pemerintah membiayai investasi pembangunan dan pengadaan peralatan TPPAS Regional
  • 44. 42 o Pemerintah Kabupaten/Kota pengguna jasa, membiayai pengelolaanoperasional dan pemeliharaan TPPAS Regional sebagai kompensasi jasa pelayanan kepada Pemerintah Daerah. 3. Pembiayaan investasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan badan usaha, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Penetapan besaran dan mekanisme kompensasi jasa pelayanan diatur dan disepakati dalam kesepakatan bersama dan/atau perjanjian kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Kabupaten/Kota Regulasi/Peraturan Terkait Pembangunan TPPST Nambo Beberapa perjanjian kerjasama dalam Pembangunan TPPST Naembo adalah perjanjian antara Gubernur Jawa Barat, Walikota Depok, Walikota Bogor dan Bupati Bogor; Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Perum Perhutani: Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan PT Indocement Gamber 3. Skema Kerjasama Pengelolaan TPPAS Regional Lulut Nambo 1. Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kota Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Tertanggal 18 Agustus 2014. Didalamnya berisi kerjasama penyelengaraan pelayanan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah dari wilayah Kabupaten Bogor, kota bogor dan kota depok di TPPAS Regional Desa Nambo dan Desa Lulut Kecamatan Kelapa Nungal Kabupaten Bogor. Ruang lingkup kerjasama meliputi penyediaan lahan, pembangunan fasilitas TPPAS Regional, Pengelolaan, pelayanan, pembiayaan, kompensasi jasa pelayanan, kompensasi dampak negatif, dan kerjasama badan usaha.
  • 45. 43 Gamber 4. PKS Gubernur Jawa Barat, Walikota Depok, Walikota Bogor dan Bupati Bogor 2. Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Perum Perhutani Devisi Regional Unit Jabar Banten, tanggal 02 Desember 2014, Dalam Perjanjian ini dimaksudkan dari PKS adalah menyelenggarakan pelayanan publik dan usaha dalam penyediaan tempat pembuangan dan pengelolaan sampah secara regional di wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan kota Depok dengan obyek kerjasama lahan dan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani yang digunakan sebagai TP Gunung Karang, BKPH Jonggol KPH Bogor. Ruang lingkup kerjasama : a. Penyediaan lahan kawasan hutan, untuk TPAS Regional Nambo b. Pembangunan sarana dan prasarana TPAS c. Pelaksanaan kegiatan pelayanan d. Pemanfaatan produk akhir berupa kompos dan biogas e. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
  • 46. 44 Gambar 5. PKS Pemerintah Prrovinsi Jawa Barat dan Perum Perhutani  3. Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dan PT Cibinong Center Industrian Estate, tanggal 5 bulan Januari 2012 tentang Penyediaan Akses jalan menuju Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo dan Lulut Kabupaten Bogor. Tujuan PKS tersebut adalah mensinergikan penyediaan akses jalan menuju TPPAS Regional Nambo dan
  • 47. 45 rencana operasional TPPAS Regional Nambo. Obyek kerjasama meliputi akses jalan menuju lokasi TPPAS Regional Nambo sepanjang 6.62 Km. Ruang lingkup Kerjasama meliputi : a. Penyediaan lahan untuk pembangunan akses jalan menuju TPPAS Regional Nambo b. Pembangunan dan peningkatan akses jalan c. Pengendalian dan peanfaatan ruang di sekitar akses jalan dan TPPAS Regional Nambo d. Operasional, pemeliharaan dan perbaikan akses jalan. Gambar 6. PKS Pemprov Jawa Barat dan PT Indocement dan PT CCIE
  • 48. 46 3.3 Struktur KPBU Pengelolaan Sampak TPPST Nambo Gamber 7. Struktur Proyek TPSST Nambo 3.4 Permasalahan terkait Masalah Hukum yang Belum Selesai  Sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Perum Perhutani tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk TPPAS Regional Nambo pada Pasal 7 Ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa Perum Perhutani berkewajiban menyediakan lahan kawasan hutan untuk dimanfaatkan sebagai TPPAS Regional Nambo dalam keadaan bebas dari penggunaan, pemanfaatan, penggarapan dan/atau penguasaan pihak lain.  Dalam Pasal 6 Ayat (2) huruf f menyebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat berkewajiban menanggung biaya lain yang muncul akibat dari perencanaan dan pelaksanaan kerjasama ini, oleh karena itu dalam DPA Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat Kegiatan Pembangunan TPPAS Regional Nambo terdapat anggaran pembayaran ganti rugi (kerohiman) kepada para penggarap yang telah bekerjasama dengan Perum Perhutani disebut sebagai Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lulut Lestari sebesar Rp. 658.000.000,- (enam ratus lima puluh delapan juta rupiah).  Jumlah tersebut merupakan hasil perhitungan Perum Perhutani KPH Bogor yang didasarkan pada Harga Komoditi Pertanian dan Perkebunan sesuai dengan Keputusan Bupati Bogor Tahun 2003 dan asumsi pemanfaatan tumpang sari untuk tanaman padi dan jagung masa tanam dua tahun.  Namun setelah dilaksanakan musyawarah sebanyak tiga kali para penggarap masih belum menerima hasil perhitungan Perum Perhutani tersebut dan meminta pembayaran seperti
  • 49. 47 yang telah diberikan oleh PT. Indocement dan PT. Holcim pada tahun 2013 yaitu sebesar Rp. 35.000/m2.  Sampai akhir tahun 2015 proses pembayaran ganti rugi belum dapat dilaksanakan sehingga dana yang telah dialokasikan dikembalikan kembali ke Kas Daerah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya akan dilaksanakan perhitungan ulang oleh Perum Perhutani, diharapkan dapat ditentukan harga baru untuk komoditi pertanian dan perkebunan sehingga besaran nilai ganti rugi kepada penggarap dapat ditingkatkan.  Pekerjaan fisik pada tahun 2015 masih dapat dilaksanakan, namun masih terhambat oleh permasalahan ganti rugi penggarap dan kepemilikan lahan.  Pada DPA Dinas Permukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat Kegiatan Pembangunan TPPAS Regional Nambo telah dialokasikan anggaran untuk pembayaran ganti rugi/kerohiman sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah), diharapkan pada tahun 2016 proses pembayaran dapat diselesaikan.  Sesuai dengan arahan Tim Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, proses pembayaran kepada penggarap harus dilakukan dengan addendum perjanjian kerjasama terlebih dahulu agar jelas pihak-pihak yang mengeluarkan dan menerima biaya ganti rugi kepada penggarap, proses addendum masih dalam pembahasan bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Perum Perhutani dengan pendampingan teknis dari Tim Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
  • 50. 48 REFLEKSI Aspek Perencanaan merupakan titik krusial dalam program pengembangan KPBU dalam kasus Pembangunan TPPST Nambo Lulut. Komitmen Pemerintah Daerah peran serta Pihak Swasta dalam Pembangunan Daerah di Provinsi Banten. Beberapa Proyek yang bisa di KPBU kan di Provinsi Banten diantaranya Proyek SPAM Sindang Heula, Proyek Monorail Bandara Serpong, Proyek SPAM Waduk Karian, Proyek Pembangunan Bandara Panimbang. Diklat ini sangat bermanfaat dalam sharing Knowledge terkait PPP dan sharing diantara Pemerintah Daerah. Pembangunan infrastruktur di Kota Bandung selama ini masih menggunakan pembiayaan konvensional dan bersifat solicited project. Dengan skema tersebut, masih banyak kebutuhan infrastruktur Kota Bandung yang belum terpenuhi karena kekurangan dana. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah kota bandung mencoba mencari alternative pembiayaan lainnya yaitu melalui kerjasama dengan pihak swasta. Salah satu pembangunan infrastruktur yang akan dilaksanakan melalui kerjasama dengan badan usaha (KPBU) yaitu pengadaan PJU. Pemenuhan kebutuhan infrastruktur lainnya yang rencananya akan melalui KPBU yaitu rumah susun. Rumah yang merupakan kebutuhan primer masyarakat akan menjadi proyek strategis baik secara social maupun bisnis. Lahan kota yang semakin sempit menuntut pembangunan rumah secara vertical yang salah satunya adalah pembangunan rumuh susun. Dengan KPBU diharapkan terjadi akselerasi pembangunan rumah susun untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat Kota Bandung.
  • 51. 49 Bab IV Aspek Sosial dan Kependudukan Oleh : Sismadani, ST Tasha Adiza, ST Kausar, SH
  • 52. 50 KATA PENGANTAR Penyusunan Laporan Diklat Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) – Public Private Partnership (PPP) sebagai simulasi atau praktek bagi para peserta diklat untuk merencanakan proyek KPBU di daerah masing-masing dengan studi kasus yang diambil adalah contoh nyata praktek KPBU dalam Pembangunan TPPAS Regional Nambo Kabupaten Bogor. Salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pembangunan infrastruktur adalah aspek sosial. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan, mengingat banyak proyek infrastruktur di Indonesia baik dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) ataupun murni dari APBN/APBD yang terhambat karena masalah social yang tidak diantisipasi sebelumnya dan belum terselesaikan. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan sebagai antisipasi dari biaya sosial yang timbul akibat pembangunan yang dapat menjadi penghambat dalam proses perencanaan, kontruksi, dan opersional infrastruktur yang dibangun. Proses penyusunan laporan ini tentunya jauh dari sempurna mengingat keterbatasan waktu untuk menggali lebih jauh permasalahan yang ada serta keterbatasan data dan informasi yang diperoleh dan dianalisis. Untuk itu, kami mengharapkan masukan konstruktif dari para dosen dan rekan-rekan sekalian. Atas kerjasama dan bantuan para pihak khususnya para dosen staf pengajar, kami ucapkan terima kasih. Bandung, 3 Agustus 2017 Tim Penyusun
  • 53. 51 PENDAHULUAN 4.1 Latar Belakang Pengelolaan persampahan merupakan salah satu urusan yang cukup penting dalam pembangunan prasarana dan sarana wilayah di Provinsi Jawa Barat. Wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitasnya yang berkonsekuensi terhadap peningkatan beban timbulan sampah yang harus dikelola dengan baik dan benar. Selama ini pelaksanaan pelayanan pengelolaan persampahan dan pembangunan prasarana dan sarana persampahan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Investasi Pengelolaan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo merupakan penyediaan infrastruktur melalui kerjasama pemerintah dan swasta. Pelaksanaan kerjasama pemerintah dan swasta dalam Investasi Pengelolaan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo merupakan jenis perjanjian kerjasama infrastruktur sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Permen PPN/Bappenas 3 Tahun 2012), yaitu infrastruktur sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan. Salah satu aspek yang sangat penting dalam proses pembangunan infrastruktur adalah aspek sosial. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan, mengingat banyak proyek infrastruktur di Indonesia baik dalam skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) ataupun murni dari APBN/APBD yang terhambat karena masalah social yang tidak diantisipasi sebelumnya dan belum terselesaikan. Pengkajian dalam aspek social harus dilakukan sebagai antisipasi dari biaya sosial yang timbul akibat pembangunan yang dapat menjadi penghambat dalam proses perencanaan, kontruksi, dan opersional infrastruktur yang dibangun. 4.2 Rumusan Masalah Dalam pembahasan laporan ini, rumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah gambaran kondisi sosial kependudukan di wilayah sekitar TPPAS Nambo; 2. Bagaimana konflik sosial yang pernah terjadi di wilayah sekitar TPPAS Nambo; 3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap sekitar terhadap pembangunan TPPAS Nambo berdasarkan kajian yang sudah ada; 4. Bagaimana konflik sosial yang sudah dan berpotensi muncul dalam pembangunan TPPAS Regional Nambo serta pihak mana saja yang terlibat atau terdampak? 5. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi konflik social yang sudah dan upaya mitigasi terhadap potensi konflik yang akan muncul? 6. Seberapa besar pengaruh konflik sosial yang timbul terhadap pembangunan TPPAS Nambo? 7. Bagaimana analisis biaya manfaat sosial yang sudah dilakukan, asumsi social apa yang menjadi pertimbangan?
  • 54. 52 4.3 Maksud dan Tujuan Maksud penulisan laporan ini adalah untuk mengkaji aspek sosial yang terjadi dalam pembangunan TPPAS Nambo, sedangkan tujuan laporan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi gambaran kondisi sosial kependudukan di wilayah sekitar TPPAS Nambo; 2. Mengidentifikasi konflik sosial yang pernah terjadi di wilayah sekitar TPPAS Nambo; 3. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap sekitar terhadap pembangunan TPPAS Nambo berdasarkan kajian yang sudah ada; 4. Mengetahui konflik sosial yang sudah dan akan muncul dalam pembangunan TPPAS nambo serta pihak yang terdampak 5. Mengetahui paya yang dilakukan dalam mengatasi konflik social yang sudah timbul serta upaya mitigasi terhadap potensi konflik yang akan timbul? 6. Mengetahui seberapa besar dampak sosial yang timbul menjadi hambatan dalam proses pembangunan TPPAS Nambo; 7. Mengetahui asumsi atau pertimbangan apa yang digunakan dalam analisis biaya manfaat sosial kelayakan proyek TPPAS Regional Nambo; 8. Merumuskan rekomendasi kebijakan dalam penanganan dampak sosial kependudukan pembangunan TPPAS Nambo 4.4 Batasan Masalah Laporan ini membahas aspek sosial kependudukan yang terjadi dalam pembangunan TPPAS Nambo, yang hanya didasarkan pada pengamatan dan diskusi langsung di lokasi studi dan Focus Group Discusion (FGD) bersama Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat dan Perwakilan Kab. Bogor serta data pendukung lainnya yang diperoleh dari pihak terkait selama 2 (dua) hari. Wilayah terdampak pembangunan TPPAS Nambo merujuk hasil Studi AMDAL yang sudah dilakukan, kami batasi hanya pada 5 (lima) Desa, yaitu: Desa Lulut, Desa Nambo, Desa Leuwi Karet, Desa Gunungputri dan Desa Bantar Jati 4.5 Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penyusunan Laporan ini adalah metode kualitatif. Data yang dikumpulkan diperoleh berasal dari: 1. Studi lapangan (Field Research) dengan mengamati secara langsung pada lokasi TPPAS Nambo; 2. Studi pusaka merujuk kepada dokumen-dokumen yang sudah dibuat dalam proses perencanaan TPPAS Nambo, dan 3. Melakukan Focus Group Discusion (FGD) kepada beberapa stakeholders yaitu pihak Badan Pengelola Sampah Regional (BPSR) Provinsi Jawa Barat dan Pemkab. Bogor
  • 55. 53 4.6 Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan serta metodologi penulisan serta sistematika penulisan PEMBAHASAN Bab ini memuat mengenai gambaran umum sosial kependudukan di wilayah sekitar TPPAS Nambo, pembahasan yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan, wawancara melalui FGD yang sudah dilakukan serta mengenai pihak-pihak yang terkena dampak dalam pembangunan TPPAS Nambo, konflik sosial yang muncul serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya dan tanggungjawab para pihak dan bagaimana mekanisme pembiayaannya PENUTUP Bab ini memuat tentang kesimpulan serta rekomendasi kebijakan untuk mengatasi permasalahan sosial yang timbul dalam pembangunan TPPAS Nambo
  • 56. 54 PEMBAHASAN 4.7 Gambaran Umum Sosial Kependudukan A. Luas dan Kepadatan Penduduk Lokasi proyek terletak di Desa Nambo dan Desa Lulut yang tergabung di Kec. Klapa Nunggal Kab. Bogor. Selain kedua desa tersebut, terdapat dua desa yang akan dilalui oleh kendaraan pengangkut sampah serta satu desa yang berada di sebelah selatan desa Lulut. Desa yang akan dilalui kendaran pengangkut sampah adalah Desa Bantarjati dan Desa Gunungputri sedangkan desa sebelah selatan desa Lulut adalah Desa Leuwikaret. Desa Bantarjati dan Leuwikaret tergabung ke dalam Kec. Klapanunggal, sedangkan Desa Gunungputri, masuk dalam wilayah Kec. Gunungputri, Kab. Bogor. Luas wilayah ke lima desa tersebut yaitu 22,46 km2 , dengan jumlah penduduk sebesar 47.822 jiwa, yang terdiri dari 24 185 jiwa laki–laki dan 23 637 jiwa perempuan. Dengan jumlah tersebut maka rata-rata kepadatan per kilometer persegi adalah 2129 jiwa. Apabila mengacu kepada standar WHO (1999) dengan standar duaribu jiwa perkm2 merupakan garis kepadatan penduduk tinggi, maka kepadatan penduduk di wilayah studi rata-rata cukup tinggi, kecuali penduduk Desa Bantarjati dan Nambo yang belum melewati standar tersebut (Tabel 2.1) Tabel 1 Luas dan Kepadatan Penduduk di Lokasi Studi No. Nama Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk (Jiwa/km2) Jumlah KKLaki Perempuan Jumlah 1 Bantarjati 3.67 3608 3526 7134 1944 2099 2 Gunungputri 3.73 5983 6579 12562 3368 2375 3 Lulut 2.27 6769 6171 12940 5700 3415 4 Nambo 10.14 4519 4323 8842 872 4500 5 Leuwikaret 2.65 3306 3038 6344 2394 1533 Jumlah 22.46 24185 23637 47822 2129 13922 Sumber : Profil Desa Bantarjati, Gunungputri , Lulut, Nambo dan Leuwikaret 2009 Dari segi jumlah kepala keluarga, maka diketahui bahwa rata-rata jumlah anggota keluarga per rumah adalah 4 orang jiwa. Jumlah tersebut, terdiri dari pasangan suami dan isteri beserta dua anak. Jumlah anggota keluarga tersebut relative kecil. Dilihat dari aspek penghidupan perekonomian rumah tangga (livehood), jumlah anggota rumah tangga yang relatif kecil, sangat menguntungkan untuk membangun penghidupan ekonomi rumah tangga yang relatif kecil itu, dapat menjadi kendala bagi rumah tangga yang bersangkutan untuk membangun penghidupan perekonomian yang baik atau kecukupan. Karena dapat diperkirakan bahwa kondisi perekonomian rumah tangga mereka sangat tergantung pada Kepala Keluarga dan atau karena jumlah angkatan kerja dalam
  • 57. 55 rumah tangga relatif kecil. Selain faktor jumlah angkatan kerja, faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi peluang untuk pengembangan kondisi perekonomian rumah tangga, adalah kualitas SDM, peluang usaha/kerja di dalam dan ke luar desa. B. Jenis Pekerjaan Penduduk Komposisi jenis pekerjaan dibahas berdasarkan kategori desa-desa lokasi TPPAS dan desa yang berbatasan, serta desa-desa yang direncanakan akan dilalui jalan akses (keluar-masuk) kendaraan pengangkut sampah pada saat kegiatan konstruksi dan operasi. Untuk desa-desa yang merupakan lokasi serta perbatasan adalah Desa Nambo Lulut dan Desa Leuwikaret, sedangkan desa-desa jalan akses adalah Desa Gunungputri dan Desa Bantarjati. Pada desa –desa lokasi serta perbatasan TPPAS jenis mata pencaharian penduduk minimal dapat dibagi menjadi limabelas jenis mata pencaharian. Data yang disajikan pada Tabel 2.2 menunjukkan bahwa jenis pekerjaan penduduk yang paling banyak adalah penduduk yang bekerja sebagai buruh pabrik (11.1%). Mereka adalah kelompok penduduk yang bekerja di industri di wilayah Kec. Gunungputri dan Klapanunggal. Setelah itu, kelompok penduduk yang bekerja sebagai wiraswasta, menempati peringkat kedua sebanyak 9,8%, kemudian jenis pekerjaan dengan jumlah yang cukup siginifikan, yaitu pedagang sebanyak 3,8 % dan kelompok pedagang sebanyak 3,1%. Tabel 2 Jenis Pekerjaan Penduduk di desa-desa lokasi dan perbatasan TPPAS Nambo NO. Mata Pencaharian Nama Desa Jumlah % Nambo Lulut Leuwikaret 1 Petani 153 591 1374 2118 7.5 2 Pedagang 268 548 263 1079 3.8 3 Pegawai negeri sipil 19 21 9 49 0.2 4 TNI/Polri 6 2 1 9 0.0 5 Pensiunan 5 6 9 20 0.1 6 Wiraswasta 1478 625 641 2744 9.8 7 Buruh pabrik 1321 1596 212 3129 11.1 8 Pengrajin 11 10 8 29 0.1 9 Tukang bangunan 97 415 365 877 3.1 10 Penjahit 6 15 1 22 0.1 11 Tukang las 81 10 2 93 0.3 12 Tukang ojeg 314 120 54 488 1.7 13 Bengkel 4 11 2 17 0.1 14 Supir angkutan 136 72 24 232 0.8 15 Belum bekerja 1471 5272 769 7512 26.7 16 Anak-anak usia sekolah 2636 3221 2450 8307 29.5
  • 58. 56 17 Pemulung 9 3 12 0.0 18 Lain lain 827 405 147 1379 4.9 Jumlah 8842 12940 6334 28116 100.0 Sumber : Profil desa 2009 Sementara itu, jenis pekerjaan yang berdimensi kegiatan pertanian, ”hanya” ditekuni oleh 7,5% penduduk. Pola pertanian penduduk antara lain adalah bercocok tanam padi, palawija dan sayur-sayuran. Bagian lain dari Tabel 2.2 menunjukkan bahwa terdapat kelompok penduduk yang belum bekerja (26,7%). Mereka adalah kelompok penduduk usia produktif (antara 15 – 60 tahun) yang belum mendapatkan pekerjaan. Kelompok tersebut menunjukkan angka ketergantungan nyata dan tingkat pengangguran di ketiga desa tersebut. Kondisi matapencaharian di desa–desa jalan akses relatif tidak jauh berbeda, jenis pekerjaan penduduk yang paling banyak ditekuni adalah penduduk yang bekerja sebagai buruh pabrik (16%). Setelah itu, menempati peringkat kedua adalah kelompok pedagang (6%), sedangkan kelompok –kelompok pekerjaan lainnya dengan jumlah yang cukup signifikan adalah tukang bangunan/buruh konstruksi (2,3%) dan jasa ojeg sepeda motor (1,1%). Adapun kegiatan pertanian seperti cocok tanam padi, palawija dan sayur- sayuran, hanya berjumlah 1,3 % saja. Keadaan ini menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh kegiatan non-pertanian, yang mencirikan masyarakat urban perkotaan. Hal ini ditandai dengan kecendrungan menurunnya sumberdaya pertanian serta meningkatnya spesialisasi pekerjaan penduduk, terutama pada bidang jasa dan bahkan sektor informal. Pada sisi lain, jumlah penduduk yang bekerja berjumlah 34,6%. Jumlah ini lebih tinggi apabila dibandingkann dengan desa-desa yang direncanakan menjadi lokasi TPPAS dan sekitarnya. Perlu disampaikan, bahwa sebagian usaha penduduk di seluruh wilayah studi ada yang berprofesi menampung limbah bekas pabrik dan rumah tangga yang diserahkan oleh pemulung, Mereka mengumpulkan limbah seperti palstik bekas benang, besi dan lain – lain untuk dijual lagi ke bandar yang lebih besar kapasitas usahanya. C. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan di desa-desa lokasi TTPAS dan perbatasannya sebagian besar adalah lulusan SD (50,78%), kemudian lulusan SMP sebanyak 5,95%% dan SMA sebanyak 5,91%. Lulusan sarjana kurang dari satu persen, meskipun ada penduduk yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang master (S-2). Rendahnya pendidikan penduduk juga dapat dilihat dari penduduk yang tidak menamatkan pendidikan SD (6,24%) dan bahkan penduduk yang belum pernah sekolah (10,6%). Menurut keterangan, rendahnya tingkat pendidikan penduduk
  • 59. 57 adalah karena alasan ekonomi/ketiadaan biaya, terutama bagi penduduk yang telah berusia dewasa. Tabel 3 Tingkat Pendidikan di Desa-Desa Lokasi dan Perbatasan TPAS Nambo No. Tingkat Pendidikan Lulut Nambo Leuwikaret Jumlah % 1 Belum pernah sekolah 102 87 109 298 1.06 2 Sedang sekolah di SD 3542 2376 2494 8412 29.91 3 SD Tidak tamat 776 503 476 1755 6.24 4 Tamat SD 6653 4976 2654 14283 50.78 5 Tamat SMP 873 432 369 1674 5.95 6 Tamat SMA 987 445 231 1663 5.91 7 Lulusan akademi 5 11 7 23 0.08 8 Lulusan Perguruan tinggi 2 12 4 18 0.06 Jumlah 12940 8842 6344 28126 100.00 Sumber : Profil Desa , 2009 Meskipun demikian kecenderungan penduduk untuk menempuh pendidikan semakin tinggi terutama bagi penduduk usia sekolah. Untuk mendukung kapasitas pendidikan penduduk, Pemerintah Kab. Bogor telah mencanangkan program wajib belajar sembilan tahun. Untuk mendukung program tersebut Pemerintah Kab. Bogor telah menyediakan sekolah-sekolah tingkat SD dan SMP serta SMU di tingkat kecamatan Cisarua. Sedangkan desa-desa yang menjadi jalan akses kondisi penduduknya juga relatif sama, yaitu 52,93 % adalah lulusan SD adapun lulusan SMP mencakup 3,94% dan lulusan SMA 2,78%. Penduduk yang menamatkan akademi dan perguruan tinggi, masing-masing kurang dari saru persen. D. Tingkat Kesejahteraan Penduduk Untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi penduduk, dilakukan survey pendapatan kemudian diperhitungkan tingkat sosial ekonominya dengan mengacu pada hasil kajian BPS (Biro Pusat Statistik) Maret 2008. Hasil survey selanjutnya diolah untuk mengetahui pola atau sumber-sumber penghasilan rumah tangga. Penghitungan penghasilan rumah tangga responden, dilakukan sesuai dengan sumber pendapatan mereka. Artinya, untuk penghasilan dari sektor pertanian diperhitungkan sesuai jadwal panen. Kemudian untuk penghasilan dari berburuh diperhitungkan/satu minggu terakhir, demikian seterusnya dengan sumber pendapatan yang lain, seperti: dagang, warungan dan lain sebagainya. Teknik perhitungan ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran relatif ‘baik’ tentang sumber dan besar penghasilan rumah tangga responden.
  • 60. 58 Tabel 3 Tingkat Pendapatan Pekapita Penduduk di desa-desa Lokasi TPPAS Nambo No. Tingkat Penghasilan Perkapita Nambo % Lulut % Leuwikaret % 1 < 195 000 5 11.11 6 17.65 4 26.67 2 195 000- 300 000 11 24.44 8 23.53 3 20.00 3 301 000 - 400 000 8 17.78 4 11.76 2 13.33 4 401 000 - 500 000 8 17.78 5 14.71 2 13.33 5 501 000 - 600 000 7 15.56 8 23.53 3 20.00 6 > 600 000 6 13.33 3 8.82 1 6.67 Jumlah 45 100 34 100.00 15 Sumber : Studi ANDAL, 2009 Untuk desa- desa yang berdekatan dengan lokasi TPPAS (Tabel 2.3), jumlah penduduk yang dibawah garis kemiskinan adalah antara 11,1% sampai dengan 26,67%. Ditinjau dari aspek wilayah, maka desa Nambo adalah desa dengan penduduk miskin paling kecil diantara tiga desa, sedangkan desa Leuwikaret adalah yang terbesar. Perbedaan diantara ketiga desa tersebut diperkirakan perbedaan peluang–peluang sumber-sumber penghasilan diantara ketiga desa tersebut. Untuk desa-desa yang dilalui jalan akses menuju lokasi TPPAS Nambo (Tabel 2.4), nampak bahwa di desa Gunungputri tingkat kemiskinan mencapai 8,33% sedangkan di Bantar jati mencapai 14,29%. Apabila dibandingkan dengan desa-desa lokasi TPPAS, nampak bahwa desa-desa di jalan akses sedikit lebih baik. Apabila meninjau jenis - jenis pekerjaan penduduk (dibahas dalam sub-bab sebelumnya), maka diperkirakan sumber - sumber penghasilan di kedua desa tersebut relatif lebih banyak. Tabel 4 Tingkat Pendapatan Perkapita di desa-desa Jalan Akses Menuju Lokasi TPPAS Nambo No. Tingkat Penghasilan Perkapita Gunungputri % Bantarjati % 1 < 195 000 2 8,33 3 14,29 2 195.000- 300.000 5 20,83 5 23,81 3 301.000 – 400.000 5 20,83 4 19,05 4 401.000 – 500.000 4 16,67 4 19,05 5 501.000 – 600.000 4 16,67 2 9,52 6 > 600.000 4 16,67 3 14,29 Jumlah 24 100,00 21 100,00 Sumber : Studi ANDAL, 2009 Meskipun demikian, nampak bahwa kelompok penduduk yang berpenghasilan sedikit diatas garis standar kemiskinan, cukup besar, yaitu 20,83% di Gunungputri
  • 61. 59 dan 23,81% di Bantarjati. Dengan demikian, besarnya peluang–peluang penghasilan di kedua desa belum diiringi dengan potensi yang siginifikan untuk mengangkat kesejahtearan penduduk yang menekuni pekerjaan/usaha tersebut. Hal itu merupakan salah satu ciri pekerjaan sektor informal di perkotaan. E. Sumber-Sumber Penghasilan Adanya kelompok–kelompok berdasarkan tingkat penghasilan, dapat menunjukkan bahwa sumber sumber penghasilan penduduk cukup beragam, baik dari kapasitas penghasilan yang didapatkan maupun kontribusinya terhadap penghasilan rumahtangga. Data yang disajikan pada Tabel 2.5 menunjukkan bawa di tiga desa lokasi TPPAS Nambo penghasilan dari sektor pertanian mencakup 35,43% sedangkan kontribusi dari sektor non-pertanian mencapai 64,66%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sumbangan dari kegiatan non–pertanian lebih dominan. Sektor tersebut mencakup sebelas jenis pekerjaan, dengan pekerjaan sebagai karyawan swasta yang merupakan jenis pekerjaan dengan kontribusi tertinggi mencapai 28,22%. Jenis pekerjaan yang memberikan kontribusi yang cukup penting adalah dari pekerjaan sebagai pedagang (22,32%) dan buruh pabrik (9,71%). Selain ketiga jenis pekerjaan tersebut, maka kontribusi dari pekerjaan lain di sektor non pertanian rata- rata kurang dari 1%. Tabel 5 Persentase Sumber-sumber Penghasilan Rumahtangga di desa-desa Lokasi TPPAS Nambo NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber penghasilan (%) Nambo Lulut Leuwi Karet Jumlah Pertanian : 1 Petani 4.48 7.06 12.65 24.20 2 Buruh tani 1.51 2.38 3.31 7.20 3 Peternakan 1.44 0.80 1.71 3.95 Sub Jumlah pertanian 7.42 10.24 17.67 35.34 Non Pertanian : 4 Pedagang 10.84 7.73 3.75 22.32 5 Pegawai negeri sipil 0.40 0.13 0.07 0.60 6 TNI/Polri 0.23 0.07 0.07 0.37 7 Karyawan Swasta 15.60 10.41 2.54 28.55 8 Buruh pabrik 3.92 3.31 2.48 9.71 9 Pengrajin 0.20 0.07 0.07 0.33 10 Tukang bangunan 0.27 0.10 0.17 0.54 11 Penjahit 0.37 0.07 0.03 0.47 12 Tukang las 0.30 0.13 0.03 0.47 13 Tukang ojeg 0.40 0.23 0.03 0.67 14 Bengkel 0.40 0.17 0.07 0.64 Sub Jumlah non 32.93 22.42 9.30 64.66
  • 62. 60 NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber penghasilan (%) Nambo Lulut Leuwi Karet Jumlah pertanian Total 40.36 32.66 26.97 100 Sumber : Studi ANDAL, 2009 Data diatas juga menunjukkan bahwa kontribusi hasil pertanian terutama adalah desa Leuwikaret yang mencakup 17,6% dari seluruh penghasilan penduduk di tiga desa. Penduduk desa ini nampak mengandalkan kegiatan pertanian dibanding penghasilan di luar pertanian. Kondisi tersebut nampak dari lebih kecilnya persentase dari kegiatan non-pertanian yang mencakup 9,23% saja. Untuk desa-desa yang dalam rencana dilewati jalan akses menuju TPPAS, Nambo (Tabel 2.6) sumbangan non pertanian lebih besar lagi, yaitu mencakup 80,65% dari seluruh penghasilan penduduk. Besarnya sumbangan non-pertanian tidak terluas dari kontribusi penduduk desa Gunung Putri yang mencakup 55,66% dari seluruh penghasilan penduduk. Dari aspek jenis pekerjaan, maka kontribusi penghasilan di kedua desa adalah dari sektor perdagangan yang mencakup 30,62% dan penduduk yang bekerja sebagai buruh pabrik (25,67%). Jenis sumber penghasilan lainnya yang cukup signifikan adalah karyawan swasta yang mencakup 19,45% dari seluruh penghasilan. Diluar ketiga pekerjaan tersebut, maka kontribusi sebelas pekerjaan lainnya rata-rata dibawah satu persen. Tabel 6 Persentase Sumber-sumber Penghasilan Penduduk di Jalan Akses TPPAS Nambo NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber Penghasilan (%) Gunungputri Bantarjati Jumlah Pertanian : 1 Petani 1.54 9.59 11.13 2 Buruh tani 2.04 3.23 5.27 3 Peternakan 1.95 1.09 3.04 Sub Jumlah pertanian 5.54 13.90 19.45 Non Pertanian : 2 Pedagang 20.13 10.50 30.62 3 Pegawai negeri sipil 0.55 0.18 0.73 4 TNI/Polri 0.32 0.09 0.41 6 Karyawan Swasta 5.32 14.13 19.45 7 Buruh pabrik 21.17 4.50 25.67 8 Pengrajin 0.27 0.09 0.36 9 Tukang bangunan 0.36 0.14 0.50
  • 63. 61 NO. Mata Pencaharian Sumber-sumber Penghasilan (%) Gunungputri Bantarjati Jumlah 10 Penjahit 0.50 0.09 0.59 11 Tukang las 0.41 0.18 0.59 12 Tukang ojeg 0.55 0.32 0.86 13 Bengkel 0.55 0.23 0.77 Sub Jumlah non pertanian 50.11 30.44 80.55 Total 55.66 44.34 100 Sumber : Studi ANDAL, 2009 4.8 Gambaran Peristiwa Konflik Dengan Kelembagaan di Luar Desa yang Pernah Terjadi Peristiwa konflik merupakan galian dari gejala sosial dalam masyarakat yang dapat menunjukkan perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Pertentangan dapat muncul apabila tidak ada kesepahaman antar warga atau dengan warga dari luar desa. Bentuk konflik dapat berupa demontrasi dan unjukrasa, boikot terhadap fasilitas umum bahkan dapat terjadi kekerasan. Persitiwa konflik untuk dicatat baik jenisnya, latar belakang mapun cara penduduk untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dari hasil survei dan wawancara dalam proses penyusunan AMDAL, dengan penduduk lokal desa-desa yang berbatasan dengan lokasi TPPAS Nambo, maka dapat diketahui bahwa jenis konflik yang diingat masyarakat antara lain adalah peristiwa pertentangan dengan perusahaan tambang di sekitar desa dan pertentangan antar warga dalam perebutan batas lahan. Latar belakang yang menyebabkan konflik dengan perusahaan tambang adanya konsentrasi debu dari kegiatan pengangkutan bahan tambang (berupa clay) yang menyebabkan penecemaran debu dan dianggap menimbulkan gangguan kesehatan bagi penduduk. Alasan lainnya adalah kecemburuan warga atas minimnya tenaga lokal pendududk desa yang dapat bekerja di perusahaan tambang tersebut. Cara penyelesaian konflik yang ditempuh tidak terlepas dari upaya Pemerintah dan perusahaan tambang untuk berkomunikasi dalam mencari pemecahan masalah yang timbul. Upaya yang ditempuh menurut penduduk antara lain adalah perbaikan sistem pengangkutan oleh perusahaan tambang, pemberian kompensasi, bantuan pembangunan fasilitas umum sampai adanya rekruitmen khusus tenaga kerja lokal.
  • 64. 62 Tabel 7 Frekuensi Pertentangan dengan Lembaga di Luar Masyarakat di Desa-desa dekat TPPAS Nambo No. Luas lahan (ha) Nambo Lulut Leuwi Karet Total Jml % Jml % Jml % Jml % 1 Konflik dengan Perusahaan Tambang 2 2.13 6 6.38 4 4.26 12 12.77 2 Konflik akibat perebutan lahan 5 5.32 4 4.26 3 3.19 12 12.77 3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47 Total 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100 Alasan Konflik : 1 Dengan Perusahaan tambang : Pencemaran lingkungan debu 0 0.00 4 4.26 4 4.26 8 8.51 Kecemburuan sosial untuk masalah tenaga kerja 2 2.13 2 2.13 0 0.00 4 4.26 2 Konflik masalah lahan : Tumpangtindih batas lahan 5 5.32 4 4.26 3 3.19 12 12.77 3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47 Jumlah 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100 Cara penyelesaian konflik 1 Dengan Perush tambang : Perbaikan fasilitas tambang 0 0.00 2 2.13 3 3.19 5 5.32 kompensasi untuk penduduk local 0 0.00 2 2.13 1 1.06 3 3.19 Program pemberdayaan masyarakat 0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06 Rekrutmen tenaga kerja 2 2.13 1 1.06 0 0.00 3 3.19 2 Konflik masalah lahan : Musyawarah tingkat desa 3 3.19 2 2.13 2 2.13 7 7.45 Musyawarah tingkat Kec. 2 2.13 1 1.06 1 1.06 4 4.26 Pengadilan 0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06 3 Tidak pernah konflik 38 40.43 24 25.53 8 8.51 70 74.47
  • 65. 63 No. Luas lahan (ha) Nambo Lulut Leuwi Karet Total Jml % Jml % Jml % Jml % Jumlah 45 47.87 34 36.17 15 15.96 94 100 Sumnber : Studi ANDAL, 2009 Untuk masyarakat di desa-desa yang dilewati jalur akses ke TPPAS Nambo, penduduk yang mengetahui adanya konflik antar warga dengan penduduk atau lembaga di luar desa berjumlah 31, 3% (lihat Tabel 2.8). Jenis konflik di desa Gunungputri dan Bantarjati nampak ada perbedaan yang disebabkan oleh latar belakang terjadinya konflik. Di desa Bantarjati, jenis koflik realtif sama dengan desa-desa di dekat lokasi TPPAS (Nambo, Lulut dan Leuwikaret). Jenis konflik tersebut adalah perselisihan dengan perusahaan tambang akibat ketidakpuasan penduduk akibat pencemaran debu dari truk pengangkut bahan tambang. Di desa Gunungputri, perselisihan dengan perusahaan tambang tidak ada, bentuk konflik nampak sesuai dengan karakter sosial ekonomi masyarakat, yaitu tuntutan kenaikan gaji oleh para buruh terhadap manajemen pabrik tempat mereka bekerja. Ada pula konflik akibat kecelakaan lalulintas. Cara penyelesaian konflik dengan perushaan tambang (di Bantarjati) relatif sama dengan desa- desa lain, yaitu perbaikan fasilitas tambang degan cara pelebaran jalan dan penyiraman rutin oleh perusahaan, pemberian kompensasi uang untuk penduduk dan rekrutmen tenaga kerja. Untuk desa Gunungputri, cara penyelesaian konflik adalah dengan cara musyawarah dan sebelumnya sempat dilakukan demontstrasi oleh kelompok buruh, sedangkan tumpang tindih masalah batas kepemilikan lahan dilakukan dengan musyawarah tingkat desa dan kecamatan dan ada pula yang dilanjutkan lewat putusan pengadilan. Perlu disampaikan bahwa diantara jenis konflik ada yang berbentuk kecelakaan lalulintas. Menurut responden, kecelakaan lalulintas terjadi akibat kendaraan yang melintasi jalan raya di Gunungputri menabrak warga yang sedang menyeberang. Peristiwa ini dianggap sebagai kelalaian pengemudi dan secara spontanitas warga di sekitar kejadian melakukan pemukulan terhadap pengemudi. Setelah itu pengemudi diserahkan kepada pihak kepolisian. Tabel 8 Frekuensi Pertentangan dengan Lembaga di Luar Masyarakat di Desa-desa Jalur akses ke TPPAS Nambo No. Jenis Konflik Gunungputri Bantarjati Total Jml % Jml % Jml % 1 Perselisihan perburuhan 2 4.44 0 0.00 2 4.44 2 Akibat kecelakaan lalulintas 1 2.22 2 4.44 3 6.67 3 Dengan perusahaan tambang: 0 0.00 4 8.89 4 8.89
  • 66. 64 No. Jenis Konflik Gunungputri Bantarjati Total Jml % Jml % Jml % 4 Tumpang tindih batas kepemilikan 3 6.67 2 4.44 5 11.11 5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89 Total 24 53.33 21 46.67 45 100 Latar belakang terjadinya konflik: 1 Perselisihan perburuhan : Tuntutan kenaikan UMR 2 4.44 0 0.00 2 4.44 2 Akibat kecelakaan lalulintas : Kesalahpahaman dengan pelaku 1 2.22 2 4.44 3 6.67 3 Dengan Perusahaan tambang Pencemaran lingkungan 0 0.00 3 6.67 3 6.67 Kecemburuan sosial masalah tenaga kerja 0 0.00 1 2.22 1 2.22 4 Tumpangtindih batas kepemilikan 3 6.67 2 4.44 5 11.11 5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89 Jumlah 24 53.33 21 46.67 45 100 Cara penyelesaian konflik : 1 Perselisihan perburuhan: Demo dan musyawarah 2 4.44 0 0.00 2 4.44 2 Akibat kecelakaan lalulintas Tindak kekerasan oleh masyarakat 1 2.22 2 4.44 3 6.67 3 Dengan perusahaan tambang Pelebaran jalan tambang 0 0.00 1 2.22 1 2.22 kompensasi untuk penduduk local 0 0.00 1 2.22 1 2.22 Rekrutmen tenaga kerja 0 0.00 2 4.44 2 4.44 4 Konflik masalah lahan Musyawarah tingkat desa 1 2.22 2 4.44 3 6.67 Musyawarah tingkat Kec. 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Pengadilan 2 4.44 0 0.00 2 4.44 5 Tidak pernah konflik 18 40.00 13 28.89 31 68.89 Jumlah 24 53.33 21 46.67 45 100 Sumber : Studi ANDAL, 2009 4.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Kegiatan TPPAS Nambo Berdasarkan Kajian AMDAL yang sudah disusun, persepsi masyarakat pada penelitian difokuskan pada pernyataan sikap terhadap rencana kegiatan pembangunan
  • 67. 65 TPPAS menunjukkan bahwa Jumlah penduduk yang menyatakan setuju adalah 47,87%. Alasan yang mendasari pendapat mereka terutama adalah karena mendukung program pemerintah (27,66%) serta mengharapkan peluang kerja dari kegiatan ini (13,83%). Sebaliknya bagi penduduk yang tidak setuju beralasan pada lima masalah, antara lain karena akan menimbulkan konflik dengan pengelola (6,38%). Konflik dapat terjadi apabila dampak-dampak dari penimbunan sampah dapat beresiko kepada masyarakat seperti gangguan penyakit dan bencana. Pendapat lain yang berhubungan dengan konflik adalah potensi terjadinya konflik dengan pendatang. Menurut penduduk, konflik dengan pendatang dapat terjadi akibat perebutan limbah sebagai komoditi bernilai ekonomis serta kesalahpahaman dalam pergaulan sehari-hari. Kemudian ada pula pendapat bahwa kegiatan ini akan menggusur rumah milik warga, lahan produktif dan bahkan mata air yang sangat diperlukan oleh penduduk lokal. Pada pihak lain, adapula penduduk yang menyatakan setuju namun dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Syarat tersebut antara lain adalah bahwa bila kegiatan ini dilaksanakan, maka harus dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan resiko bagi penduduk seperti gangguan penyakit, potensi konflik serta penduduk yang kehilangan sumber penghasilan akibat tergusurnya lahan pertanian. Syarat lain yang diajukan oleh kelompok ini adalah bahwa kegiatan proyek harus memberikan peluang kerja bagi penduduk di desa sekitar. Tabel 2.9 Persepsi Penduduk Tentang Rencana TPPAS Nambo di desa-desa dekat Lokasi No . Pendapat Penduduk Nambo Lulut Leuwi Karet Total Jm l % Jm l % Jm l % Jm l % Penduduk yang setuju : 1 Setuju, karena mendatangkan peluang Kerja 7 7.45 3 3.19 3 3.19 13 13.8 3 2 Setuju, karena mendatangkan peluang Usaha 2 2.13 2 2.13 2 2.13 6 6.38 3 Setuju, untuk mendukung program Pemerintah 11 11.7 0 9 9.57 6 6.38 26 27.6 6 Jumlah penduduk setuju 20 21.2 8 14 14.8 9 11 11.7 0 45 47.8 7 Penduduk yang tidak setuju : 4 Tidak setuju, karena menggusur rumah milik warga 0 0.00 1 1.06 0 0.00 1 1.06 5 Tidak setuju, karena menggunakan Lahan produktif dan mata air 2 2.13 3 3.19 1 1.06 6 6.38 6 Tidak setuju , karena menimbulkan Konflik dengan pengelola 1 1.06 0 0.00 0 0.00 1 1.06
  • 68. 66 No . Pendapat Penduduk Nambo Lulut Leuwi Karet Total Jm l % Jm l % Jm l % Jm l % 7 Tidak setuju, karena menimbulkan Konflik dengan warga pendatang 1 1.06 0 0.00 0 0.00 1 1.06 8 Tidak setuju, karena menimbulkan gangguan penyakit 1 1.06 2 2.13 0 0.00 3 3.19 Jumlah penduduk tidak setuju 5 5.32 6 6.38 1 1.06 12 12.7 7 Penduduk setuju dengan syarat 9 Setuju asal warga diberi peluang kerja 2 2.13 2 2.13 0 0.00 4 4.26 10 Setuju asal dikelola dengan baik 7 7.45 6 6.38 2 2.13 15 15.9 6 11 Setuju asal pendatang dari luar desa dibatasi 2 2.13 1 1.06 0 0.00 3 3.19 Jumlah Penduduk setuju dengan Syarat 11 11.7 0 9 9.57 2 2.13 22 23.4 0 12 Tidak menjawab 9 9.57 5 5.32 1 1.06 15 15.9 6 Total 45 47.8 7 34 36.1 7 15 15.9 6 94 100 Sumber : Studi ANDAL, 2009 4.10 Konflik Sosial yang Sudah dan Berpotensi Timbul serta Pihak-pihak yang terlibat Berdasarkan hasil pengamatan dan diskusi di lapangan serta Focus Group Discusion (FGD) yang sudah dilakukan, kami menyimpulkan ada beberapa pihak yang terdampak dalam aspek sosial dalam pembangunan TPPAS Nambo sebagai berikut: a. Konflik Sebelum pelaksanaan konstruksi dan Operasionalisasi berupa konflik dengan petani Penggarap Lahan Perhutani Terdapat 15 orang petani penggarap pada lahan Perhutani yang menjadi lokasi TPPAS Nambo, namun 2 (dua) orang diantaranya mengaku memiliki Akta Jual Beli (AJB) pada lahan yang akan dibangun, sehingga proses pembangunan pada lahan yang disengketakan ini belum dapat dilakukan. Berdasarkan hasil diskusi penolakan oleh 15 orang penggarap lahan ini cukup menghambat proses penyediaan lahan, Konflik terjadi karena 15 orang petani penggarap ini sudah melakukan kontrak penggunaan lahan dengan pihak perhutani yang diwakili oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sehingga untuk mengeluarkan 15 orang petani penggarap ini