SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Download to read offline
HALAMAN1
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)
Filsuf dan Ulama Tassawuf
dari Palembang
Oleh
Syamsul Noor Al-Sajidi


Halaqah Melayu
Sebangsa-Secita-Setuturan
2015
HALAMAN2
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M)
Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang
Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi
yaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 Hijriyah (1704 Masehi) di
Palembang. Di dalam buku Ensiklopedi Islam nama lengkap beliau ditulis Abdus Samad Al-
Jawi Al-Palimbani. Di dalam sumber-sumber berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip oleh
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), nama lengkap beliau dituliskan Abdul Samad bin
Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani.
Masih menurut Azyumardi, bila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap beliau adalah
Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palimbani. Azyumardi berpendapat nama
terakhir yang lebih mendekati kebenaran, yaitu Syeikh Abdus Samad. Sebagaimana tradisi
penyebutan nama orang di Arab dan Timur Tengah yang biasanya ditautkan dengan asal atau tempat
kelahiran, karena beliau berasal dari Palembang ditambahkanlah Al-Palembani pada akhir nama
beliau sehingga menjadi Abdus Samad Al-Palimbani .
Al-Palimbani lahir dari pasangan Syeikh Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahab bin Syaikh Ahmad
Al-Mahdani dengan Radin Ranti. Ayahnya (Syaikh Abdul Jalil) adalah mubaligh asal Yaman yang
pada abad ke-18 menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Kedah. Sedangkan ibunya (Radin Ranti)
adalah perempuan asal Palembang. Sebelum menikahi Radin Ranti, Syaikh Abdul Jalil sudah
memperisteri Wan Zainab putri Sultan Kedah, yaitu Dato Sri Maharaja Dewa.
Dari pernikahan dengan putri dari Kedah itu – berdasarkan sumber-sumber Melayu – Syaikh Abdul
Jalil mendapatkan dua anak, yaitu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir. Dari pernikahan dengan
Radin Ranti, Syeikh Abdul Jalil mendapatkan seorang anak bernama Abdus Samad. Puluhan tahun
kemudian pemikiran tasawuf filosofis Abdus Samad Al-Palimbani inilah yang berhasil menembus
batasan-batasan teritorial di dunia Islam, baik pada masanya maupun sekarang.
Ensiklopedi Islam yang beredar di Arab, Timur Tengah, dan Barat menempatkan kepopuleran Al-
Palimbani setara dengan Bung Karno Presiden ke-1 Republik Indonesia. Nama Al-Palimbani di
kalangan umat Islam di Arab dan Timur Tengah sangat dihormati dan disegani. Dalam data sejarah
di Masjid Al-Haram, Mekkah tercatat nama Al-Palimbani sebagai satu-satunya ulama dari
Nusantara yang mendapatkan kehormatan sebagai imam besar Masjid Al-Haram.
Beberapa kitab karangan Al-Palimbani sampai sekarang masih menjadi salah satu kitab pokok
tentang tassawuf yang dipelajari di berbagai pesantren di Thailand bagian selatan (terutama Patani)
dan Malaysia. Di Arab, Timur Tengah, Barat, dan Semenanjung Malaya ketenaran nama Al-
Palimbani sebagai ulama tassawuf boleh dianggap melampaui Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri,
Abdul Rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari, dan sebagainya.
S
HALAMAN3
Pendidikan
Al-Palimbani sejak balita hingga remaja mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syaikh
Abdul Jalil di Palembang. Dalam usia sekitar 14 tahun, Al-Palimbani sudah fasih berbahasa Arab
dan hafal Kitabullah Alquran. Dalam usia itu pula Al-Palimbani sudah terbiasa membahas kitab-
kitab tassawuf karangan para ulama terkemuka, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani, Syaikh Abdul
Rauf Singkel, Nuruddin Al-Raniri, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan lain-lain. Melihat minat,
kesungguhan, dan kecerdasan sang anak, Syaikh Abdul Jalil lalu mengantarkan Al-Palimbani
bersama saudara-saudaranya ke suatu pondok pesantren di Patani, Thailand. Pada masa itu Patani
memang cukup terkenal sebagai tempat yang kondusif untuk mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman
melalui sistem pendidikan berpola pondok pesantren.
Beberapa peneliti sejarah ke-Islaman menduga kuat Al-Palimbani bersama saudaranya seayah, yaitu
Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah mendapatkan gemblengan di pondok-pondok terkenal di
Patani, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik atau Pondok Kuala Bekah atau pun Pondok
Semala.
Salah seorang guru Al-Palimbani di Patani yang dapat diketahui adalah Syaikh Abdur Rahman bin
Abdul Mubin Pauh Bok. Para sesepuh Kampung Pauh Bok itu menuturkan perihal keutamaan Al-
Palimbani yang berasal dari Palembang sebagai murid dari Syaikh Abdur Rahman. Penuturan itu
sesuai dengan pernyataan yang tertulis dalam kitab terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa versi Syaikh
Abdus Samad bin Qunbul Al-Pathani. Menurut kitab itu Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok
menganjurkan/merekomendasikan Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani untuk melanjutkan
pendidikan ke Mekah dan Madinah. Data berkaitan dengan hal ini belum ditemukan pada sumber-
sumber tertulis lain.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syaikh Muhammad bin Samman, selain mendalami
kitab-kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani (dua ulama
ternama dari Nangroe Aceh). Sejak kecil Al-Palimbani memang lebih banyak mempelajari tasawuf.
Tidak mengherankan bila sejarah mencantumkan Al-Palimbani sebagai pemikir dan ulama yang
memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam tassawuf.
Saat masih menuntut ilmu di Patani, di mata para guru, teman-temannya, dan masyarakat yang
mengenalnya, Al-Palimbani dianggap alim. Dia mendapat amanat sebagai kepala thalaah (tutor) di
pondoknya. Dari Patani Al-Palimbani lalu melanjutkan pendidikannya ke Masjid Al-Haram di
Mekkah.
Di Mekkah dia bertemu dan bergaul dengan para pelajar/ulama lain dari berbagai pelosok
Nusantara. Teman seperguruan dia dalam menuntut ilmu yang berasal dari Nusantara, antara lain
Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud
Al-Fatani. Bersama teman-temannya di Mekah, Al-Palimbani menurut Azyumardi, selalu
memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak belajar di Mekkah, Al-Palimbani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas
dan spiritualitas. Beliau mendapatkan pencerahan-pencerahan dari para gurunya. Beberapa guru
yang sangat berpengaruh dalam menempa intelektualitas dan spiritualitas Al-Palimbani, antara lain
Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-
HALAMAN4
Mun´im Al-Damanhuri. Sejarah mencatat Al-Palimbani juga berguru kepada Ibrahim Al-Rais,
Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Memberantas Wujudiyah Mulhid
Pada pertengahan abad ke-18 di Palembang menyebar paham atau tarikat wujudiyah mulhid (WM).
Paham yang menyimpang dari Alquran dan Alhadits ini telah lebih dulu berkembang di Nangroe
Aceh pada akhir abad ke-17. Berkat usaha-usaha dakwah para ulama terutama Syaikh Nuruddin Al-
Raniri, umat Islam di Nangroe Aceh berhasil dibersihkan dari segala pengaruh wujudiyah mulhid.
Tak dinyana di belakang hari praktik WM ini telah pula ditemukan menyebar dan berkembang di
Palembang. Al-Palimbani yang bermukim di Mekah mengetahui di kota kelahirannya telah
berkembang paham WM. Beberapa pelajar dan jemaah haji asal Palembang menemui beliau dan
melaporkan perkara paham yang dapat menyesatkan umat Islam tersebut.
Penguasa Kesultanan Palembang Darussalam ketika itu berhasrat kuat memberantas paham WM
sedini mungkin sebelum menyebar lebih luas. Sultan yang memerintah pada saat itu diduga kuat
adalah Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) mengirim surat kepada Al-Palimbani melalui
jemaah haji. Sultan meminta fatwa kepada Al-Palimbani selaku ulama tasawuf tentang perkara WM
dan bagaimana ikhtiar umat Islam dalam mengatasinya.
Atas dasar tanggung sebagai ulama sekaligus berdasarkan permintaan sultan Palembang selaku
umara, pada tahun 1188 H bertepatan dengan tahun 1774 M Al-Palimbani menyelesaikan penulisan
kitab, berjudul Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat
al-Murtaddin. Di dalam kitab ini Al-Palimbani menyampaikan hujjah dan targib kepada seluruh
umat Islam agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran
tarikat yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen), paham wujudiyah mulhid.
Di dalam kitab ini Al-Palimbani juga menyatakan penulisan kitab tersebut atas permintaan sultan
Palembang.
Di Palembang ketika itu sebenarnya terdapat beberapa ulama yang dalam bidang fiqh, asbab al-
nuzul, asbab al-wurud, qiyas, bayan, dan lain-lain boleh dibilang juga sangat mumpuni. Para ulama
itu, antara lain Syihabudin bin Abdullah Muhammad (menulis kitab Haqiqat Al-Bayan), Muhammad
Muhyiddin bin Syihabuddin (mengarang Hikayat Syeikh Muhamad Saman), Kemas Fakhruddin
(menulis Fath Al-Rahman), dan Muhammad Ma‘ruf bin Abdullah (khatib Palembang yang menulis
Tariqah yang Dibangsakan kepada Qadariyah dan Nakshabandiyah).
Beberapa kitab berikut ini adalah karangan Al-Palimbani yang berhasil didata oleh para peneliti:
1. Zahrah Al-Murid fi Bayani Kalimah Al-Tauhid, selesai ditulis pada 1178 H atau 1764 M.
2. Risalah tentang Sebab-sebab yang Diharamkan untuk Pernikahan, selesai ditulis pada 1179 H
atau 1765 M.
3. Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat al-
Murtaddin, selesai ditulis pada 1188 H atau 1774 M;
4. Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin, selesai ditulis pada 1192 H/1778 M.
5. Kitab Mi’raj, selesai ditulis pada 1201 H/1786 M;
6. Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabb Al-‘Alamin, selesai ditulis pada 1194 H/1780 M-1203 H/1788
M.
7. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
HALAMAN5
8. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
9. Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-
Mujtahidina fi Sabilillah.
10. Al-Risalatu fi Kaifiyat Al-Ratib Lailatil Jum’ah
11. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
12. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabb Al-‘Alamin
13. Ilmut Tasawuf
14. Mulkhish At-Tuhbat Al-Mafdhah min Al-Rahmat Al-Mahdah ‘Alaihis Shalatu wa Al-Salam
15. Anis Al-Muttaqin
16. Puisi Kemenangan Kedah.
Beberapa kitab karya Al-Palimbanu yang kini menjadi monumental, terutama Sairus Salikin dan
Hidayatus Salikin diketahui tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Beberapa kitab lainnya
disimpan dan dirawat di Perpustakaan Nasional di Jakarta.
Kitab Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al-
Mujtahidina fi Sabilillah, sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan
penjajah Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya
Tengku Cik Ditiro merupakan kutipan dari kitab tersebut. Masalah jihad fi sabililiah memang sangat
banyak dibicarakan Al-Palimbani.
Pada 1772 M, Al-Palimbani mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hameng-kubuwono
I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka. Al-Palimbani secara arif dan bijaksana
mengimbau para pemimpin di Mataram agar secara terus-menerus melaksanakan jihad fi sabilillah
melawan kompeni Belanda.
Pokok Ajaran Tasawuf
(Telaah terhadap Kitab Sairus Salikin)
Pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Budha, maka
sejak abad ke-18 Palembang menjadi pusat ilmu dan syiar Islam (Faille, 1997 dan Gajahnata, 1986).
Dalam perkembangan berikutnya Palembang menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai
pengetahuan ke-Islaman di dunia Melayu, baik sastra maupun agama. Hal ini dibuktikan dari
banyaknya naskah keagamaan yang asal usulnya merujuk ke Palembang baik penulis maupun
scriptoriumnya. Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19.
Islam dengan aksara Arab merupakan gelombang budaya kedua yang memperkaya khasanah sastra
Nusantara. Sebagian masyarakat Nusantara mengeskpresikan pikirannya dalam suatu sistem tulisan,
mengadopsi sistem aksara baru (Arab) - disamping tetap menggunakan yang lama - dengan
menyesuaikannya dengan sistem bunyi dan keperluan masing-masing daerah. Adopsi tulisan Arab
dengan bunyi bahasa daerah di Nusantara ini disebut Pegon (Jawa dan Sunda), Jawi (Melayu),
Hurupa (Bugis-Makasar) dan sebagainya (Pudjiastuti, 2005).
Setelah kedatangan Islam di Palembang, kesusastraan di kawasan itu mengalami kelahiran kembali
dengan menggunakan tulisan Jawi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Iskandar (1995: 440)
mengatakan kesusastraan Palembang hidup kembali dan mengalami masa keemasannya setelah
Islam datang.
HALAMAN6
Tidak dapat dipungkiri pendorong timbulnya generasi baru ulama dan produktivitas keilmuan di
Palembang adalah Kesultanan Palembang dan ulama–ulama Arab yang diundang untuk mengajar
berbagai cabang studi Islam. Sejak awal abad ke 17 para Sultan Palembang telah menunjukkan
minat khususnya pada bidang keagaman Islam. Menjelang pertengahan abad ke 18 di kesultanan
Palembang telah hadir beberapa ulama Arab yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan
tradisi Islam di Palembang (Azra, 1994: 244). Lebih dari pada itu, mereka memberi kontribusi
terhadap munculnya istana Palembang sebagai pusat pengetahuan keislaman dan tempat koleksi
besar karya-karya keagamaan.
Catatan ini mencoba mengemukakan kembali ajaran tasawuf yang telah dituangkan oleh Al-
Palimbani dalam kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin. Kiranya dapatlah dimaklumi catatan ini
akan hanya menyentuh perkara-perkara mubtadi (dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih
berada di maqam permulaan atau awam).
Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin (Sairus
Salikin), ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-
masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat
permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan
(mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat
penghabisan (muntahi) saja.
Tasawuf mengistilahkan kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai suluk dan sang pencari Allah
sebagai salik (penempuh jalan spiritual). Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang
merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Tetapi
secara transversal, makna yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spritual” dan bukan
tindakan/gerakan dalam dimensi ruang.
Al-Palimbani mengambil sanad dalam Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-
Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri tarekat sammaniyah. Dalam tulisan-
tulisannya, khususnya dalam Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin, ia selalu menyebut dirinya
sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani.
Pokok-pokok ajaran tasawuf Al-Palimbani dekat dengan Al-Ghazali dalam Al-Arbain fi Ushul Al-
Dien, meliputi aspek sebagai berikut:
(a) Taubat
Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang
yang ingin menempuh jalan tasawuf. Menurut dia, taubat merupakan jalan bagi orang salik yang
menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah
Allah. Di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni “Suatu makna yang bersusun dari
tiga perkara: ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”.
Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan
tiga hal :
Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah
dan kepada manusia”.
HALAMAN7
Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang
yang berbuat maksiat”.
Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat”
nanti (Al-Palimbani, Jilid IV: 7 – 8).
Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan:
Pertama, taubat orang awam;
Kedua, taubat orang khawash;
Ketiga, taubat orang khawash al-khawash.
Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh,
merampas, mencuri, dan sebagainya; orang khawash taubat dari “maksiat batin”, seperti ujub, ria,
takabur, hasad, dan sebagainya; sedangkan orang khawash al-khawash, taubat dari segala yang
terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir
hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat
kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Ta’ala.
Tingkat taubat yang ketiga ini bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang
yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al-
khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat
pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di
ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan
panjang.
Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang
awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan
diri dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan
pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam
zuhud.
Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai berikut :
1 Banyak makan
2 Banyak berkata-kata,
3 Pemarah,
4 Dengki,
5 Kikir dan cinta harta
6 Cinta kemegahan dan kebesaran
7 Cinta dunia,
8 Tinggi hati,
9 Uzub,
10 Ria
Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping
itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu :
1 Menyekutukan Allah,
2 Mengekalkan berbuat maksiat,
3 Putus asa dari rahmat Allah,
4 Tidak takut siksa Allah.
HALAMAN8
Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi
sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan
kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan.
(b) Takut dan Harap
Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan
maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat yang
lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik
apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu
saja, hal itu termasuk ahwal.
Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa
takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada yang
lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-
Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia
oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-
tiap sesuatu”.
Lebih penting lagi, rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada
Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan
mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa
kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan mulia di dunia dan di akhirat melainkan
makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang
melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah.
Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai
perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja’).
Tetapi dua maqam ini menurut Al-Palimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf
(takut) dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat dahaga, maka air lebih
afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang
lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan.
Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang
dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut,
demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW:
“Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan
harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian, harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang
lebih tinggi dari pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah).
Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang
pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap
ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah
Taala” yang tidak terhingga banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni
ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
HALAMAN9
Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah),
tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun
tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam
lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud.
(c) Zuhud
Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk
mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang
akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya
harus dikeluarkan lebih dahulu. Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin
memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan
sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu,
seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau
kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap
salik. Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya.
Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di
dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah
meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan
gemar daripada sesuatu yang di dalam akhirat”.
Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam: Pertama, meninggalkan sesuatu karena
menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya; Kedua, meninggalkan keduniaan karena
mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan; dan Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain
Allah karena mencintai-Nya.
Al-Palimbani menjelaskan ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik
dalam menempuh kehidupan zuhud, yakni:
Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan
(kepada) makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan
cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsunya.
Kedua, “orang yang mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya
meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu”.
Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti
kotoran saja”, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat.
Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang “meninggalkan daripada hatinya
yang lain daripada Allah Taala,” baik dunia maupun akhirat.
Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang
salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal.
Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh
dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam
mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan
akan dia pada kehidupan badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi
kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk
menyangga kelangsungan hidupnya. Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga
tingkatan : “Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah).
HALAMAN10
Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak
mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal
untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh
hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan atau
kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di
tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin,
sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan.
Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling
rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk
keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran
sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan
sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki
rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan.
Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak
menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak
gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. 2) Orang yang memuji
dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa
lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99).
Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi
sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini,
nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim
yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi, sebelum
mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar.
(d) Sabar
Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam
kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi.
Sabar terbagi dalam tiga tingkatan:
Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung
kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah;
Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar
telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu”.
Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap-
sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiar (pilihan) Tuhannya.
Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar ini pun hanya
dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; ada pun maqam bagi orang-orang salik yang
belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua.
Menurut Al-Palimbani, maqam sabar ini pun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan
dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung “maslahat di
dalam agama” dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang
HALAMAN11
selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala
penderitaan yang dialaminya.
Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya
di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya
diperlukan kesabaran yang tinggi.
(e) Syukur
Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu
melainkan Allah Ta’ala jua, kemudian engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah
atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau
berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu, niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan
nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu”.
Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam
penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi,
misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya. Al-Qur’an pun mengatakan
bahwa “Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan
diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang
menyekutukan-Nya”.
Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam
kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar
merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang
yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat
yang dilimpahkan kepadanya.
Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan
dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota.
Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang
mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik
membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia
harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal
ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai
tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi
diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.
(f) Ikhlas
Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salik dalam
perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau
makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin
telah dicapai pada maqam syukur tadi.
Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi
SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah
selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya.
HALAMAN12
(g) Tawakkal
Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan :
Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada
wakilnya dalam suatu perkara.
Kedua, menyerahkan diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada
ibunya;
Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.
Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih berusaha dalam batas-batas tertentu
untuk mencapai tujuan yang diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus melakukan
usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari wakilnya, untuk memenangkan perkaranya.
Pada tingkat yang kedua orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta apa
yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan mengadu kepada ibunya.
Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk
apapun juga, bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, “karena ia telah berpegang kepada
kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu”
Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang yang bertawakal sama dengan
seorang fatalis yang menyerah diri kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa
orang yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik maupun pemikiran adalah
dugaan orang jahil yang tersesat atau kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat
Islam; orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang diperlukannya menurut batas-batas
yang wajar, seperti menjangkau makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok
tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti membawa perbekalan dalam
perjalanan, menghindari binatang buas, memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah,
mengembala hewan ternak dan sebagainya.
Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada
Allah, sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian dan sebagainya ia tidak
merasa sedih dan susah, di samping berusaha mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas
kemampuan yang ada padanya. Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak sampai ke
batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah.
Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang
dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang
muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti
tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya
bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq
dalam hati orang-orang tertentu.
(h) Mahabbah
Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti halnya Al-Ghazali adalah maqam yang
terakhir dan derajat yang paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala
HALAMAN13
maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapainya. Di samping itu ia juga
menambahkan bahwa “tiada derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah Allah
Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai kepada makrifah Allah; dan itulah
kesudahan martabat orang yang salik. Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang
salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak yang mendorong seseorang
bertaubat dari segala dosanya. Dalam perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu
satu persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaan-perasaan lain seperti takut,
harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran
batinnya, sehingga ia dikatakan berada pada maqam cinta.
Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu
hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang
masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda
sebagai berikut :
Kasih ia akan mati;
Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia
akan mengikuti hawa nafsunya; -Senantiasa ia melazimkan zikir Allah;
Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Qur’an dan mengekali
ia atas sembahyang tahajjud di malam yang sunyi;
Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Taala”
Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala -Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin
dan benci akan orang kafir-yaitu seteru Allah;
Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia; -Menyembunyikan ia akan kasihnya
akan Allah Taala itu dari pada orang yang bukan ahlinya;
Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Ta’ala dan ridha ia akan Allah Ta’ala di dalam sekalian
yang diperbuat Allah Ta’ala akan Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV: 124 – 130).
Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang
melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan
syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada
maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas, selalu berzikir, munajat, mengerjakan
sembahyang tahajjud, membaca Al-Qur’an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan
hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang
dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci-Nya.
(i) Ridha
Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah.
Menurutnya, arti ridha itu “tidak menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah
atasnya dan atas orang yang lain padanya; karena sekalian perbuatan yang wuqu’ (terjadi) di dalam
dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia
mengutip sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya, “Bilakah seorang hamba
Allah ridha kepada-Nya?” Jawabnya, “apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan
kegembirannya menerima nikmat.”
HALAMAN14
Dengan demikian, maqam ridha itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak
lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang terjadi di alam ini adalah
perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira.
Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena pengertian sabar itu masih terkandung di
dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah
berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang
disebut nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan.
Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa
seseorang harus ridha pula menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus
dipandang dari dua segi; segi pertama “kufur dan maksiat itu jadi daripada qadha Allah Taala dan
daripada qudrat-Nya” yang harus kita ridhai, tetapi dari segi lain, “kufur dan maksiat itu sifat bagi
hamba-Nya” yang tiada disuruh oleh Allah Taala” dan karena itu tidak boleh pula kita terima
dengan ridha.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua
yang diridhai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam
tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah
terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya.
Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar
yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih
tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala.
(j) Makrifah
Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena
hal itu menurut dia adalah “surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan
surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha
dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala. Intisari makrifah
hanya dapat dicapai setelah seorang salik melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua
maqam ini dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah.
Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar-
radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang
keindahan Allah yang mutlak dan “Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari
penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi
tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi.
(k) Fana dan Baqa
Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya Allah itu dikatakan “fana dalam
tauhid,” karena orang yang sudah mencapai pandangan itu “karam ia dengan syuhud akan Tuhan
Yang Maha Esa Yang Sebenarnya”. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan dalam arti “gugurnya
sifat-sifat tercela” dan istilah Baqa dalam arti “berdirinya sifat-sifat terpuji” orang yang sudah fana
(terhapus dari dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata lain, fana dan
baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua
aspek yang berbeda.
HALAMAN15
Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan makrifah meliputi tiga tingkatan.
Pertama, fananya segala perbuatan makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat
makhluk dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam wujud Tuhan.
Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai
tingkat nafs al-muthma’innah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang
yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah “fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di
dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala.
Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di
alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang
lain.
Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua
aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa
dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan.
Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya
tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif telah terhapus di
dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah
tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya.
Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik
dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam
keadaan fana segala perbuatannya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak
mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa
sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis keridhaan Allah, karena segala perbuatannya
tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri.
Untuk suluk dan dapat mencapai insan kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya,
sehingga jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk dapat berada di
sisi Tuhan, tulis Al-Palimbani, manusia harus dapat mengendalikan tujuh hawa nafsu yang ada di
dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah,
nafs al-radliyah, nafs al-mardliyah, dan nafs al-kamilah.
Kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin tidak dapat disebut sebagai terjemahan dari kitab karya
Al-Ghazali, yaitu Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat. Para peneliti yang pernah
membaca dua kitab monumental karya Al-Ghazali itu tentu dapat secara kontras membedakannya
dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin.
Al-Palimbani dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin telah secara sangat cerdas mengupas
Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat karya Al-Ghazali. Al-Palimbani tidak menempuh
jalur kritik kepada kelemahan-kelemahan karya Al-Ghazali, melainkan dia menyatakan kekaguman
kepada sang ulama ahli tasawuf akhlaqi yang masyhur itu. Untuk kekaguman itulah Al-Palimbani
menyempurnakan beberapa kelemahan itu, misalnya menjelaskan status Alhadits yang dipakai Al-
Ghazali sebagai dalil naqli di dalam dua kitab tersebut.
HALAMAN16
Patut pula diingat, pada zaman itu tak banyak ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang
asbab al-wuruz (ilmu tentang latar belakang atau asal-usul keberadaan suatu Alhadits Rasulullah
SAW). Sampai hari ini ulama yang paling popular dan diakui keakuratannya oleh banyak ulama lain
di bidang Alhadits adalah Al-Bukhari dan Muslim. Ulama yang pakar/mumpuni di bidang Alhadits
lazim disebut sebagai Al-Muhaditsin Alama. Di bidang Alhadits, melalui Sairus Salikin dan
Hidayatus Salikin paling tidak cukup membuktikan kemampuan Al-Palimbani sudah tidak lagi dapat
diragukan.
Selain itu, pilihan menerima sekaligus menyempurnakan membuktikan Al-Palimbani memiliki sikap
menghormati dan santun kepada sesame ulama. Boleh juga disetarakan dengan sikap Al-Bukhari
setiap kali menjumpai Alhadits palsu. Al-Bukhari tidak mengecam, melainkan menyatakan,
“Alhadits ini tidak dikenal.” Sungguh stereotype ulama besar yang sangat arif dan bijaksana.
Faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan pada Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin adalah
sumbangan berharga Al-Palimbani dalam mempertemukan dan mendamaikan dua perbedaan
mendasar antara ajaran tasawuf akhlaqi ala Al-Ghazali dan ajaran tasawuf filosofi ala Ibnu Arabi.
Dalam konteks ini kembali Al-Palimbani menunjukkan posisinya sebagai ulama yang berhikmat
kepada sesama ulama. Al-Palimbani melakukan rekonstruksi dan revitalisasi terhadap ajaran Al-
Ghazali dan secara sekaligus bisa menerima secara tertib/bersyarat untuk lalu membahas secara
sistematis dan komprehensif hakikat ajaran wahdah al-wujud yang berinti pada tasawuf filofis
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Arabi.
Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah
Al-Palimbani adalah ulama yang pertama kali yang mengenalkan tarekat Al-Sammaniyah di
Indonesia, yang juga mengikuti tarekat Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad Abd. Al-Karim Al-
Samman Al-Madani. (1132-1189 H/17181775 M). (Muhammad Marwan, 1999:51) Tarekat
Khalwatiyah merupakan cabang tarekat Suhrawardiyah menurut silsilah tarekat Khalwatiyah. Syekh
Muhammad Abd. Karim Al-Samman Al-Madani adalah murid Syekh Ibn Kamal Bakri Al-Dimasyqi
yang menerima ijazah darinya. Kemudian Syekh al-Samman pergi ke Mesir yang dilanjutkan ke
Madinah dan mempelajari tarekat hingga tarekat ini dikenal dengan namanya. Al-Palimbani yang
mengikuti tarekat ini terkadang menyebutkan Khalwatiyah, padahal yang dimaksud adalah Al-
Sammaniyah atau sebaliknya. Akan tetapi, dia mengenalkan tarekat ini di Indonesia dengan nama
Al-Sammaniyah (Alwi Shihab, 2009: 205-206).
Dalam sejarah perkembangan tarekat di Nusantara ini tidak bisa dipisahkan dengan peran tokoh
seorang ulama besar Al-Palimbani sebagai pelopor tarekat al-Sammaniyah di Indonesia. Namun, apa
dan bagaimana peranan al-Palimbani dalam penyebaran tarekat al-Sammaniyah ini. Hal ini menarik
perhatian penulis untuk mempelajarinya lebih lanjut tentang riwayat hidup serta latar belakang
kehidupan al-Palimbani serta karya tulis dan ajarannya, khususnya peranan Al-Palimbani di dalam
pengembangan dan penyebaran ajaran tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia.
Menurut Snouck Hurgronje yang dikutib oleh Alwi Shihab bahwa, ratib samman ini sangat terkenal
di Indonesia, namun telah mengelami modifikasi, terutama dalam pembacaan ism Allah dan kata
ganti ketiga (Huw. Ratib Samman ini tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat lain. Perbedaannya
hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya. Misalnya, Al-Ghazali
tidak mensyaratkan pada pembaca terpenuhinya gerakan badan dan ketenangan jiwa.
HALAMAN17
Al-Palimbani sangat dipengaruhi oleh ajaran Syaikh Muhammad Al-Saman Al-Madani, melalui Al-
Palimbanilah tarekat Al-Sammaniyah mendapat lahan subur bukan hanya di Palembang, tetapi juga
di bagian-bagian lain di wilayah Nusantara. Al-Samani dan tarekat Al-Sammaniyah menjadi subjek
utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya. Hal ini sesuai apa yang
diungkapkan oleh Muhammad Chotib Quzwaini dalam penelitiannya untuk mencapai gelar doctor
bahwa Al-Palimbani adalah orang pertama kali memperkenalkan Syaikh Muhammad Al-Samman
dan tarekat Al-Sammaniyah ke dalam literatur Melayu. Kemudian baru muncul Muhammad
Muhyiddin bin Syaikh Syihabuddin dan Kemas Muhammad bin Ahmad menerjemahkan kitab
Makib Syaikh Muhammad al-Samman. Sejak itulah berkembang tarekat Al-Sammaniyah di
Indonesia, yang sampai sekarang masih banyak ditemukan para pengikutnya.
Selain di Palembang, tarekat Sammaniyah juga menyebar ke daerah Kalimantan Selatan melalui M.
Nafis Al-Banjari. Beliau tidak sempat belajar langsung kepada Syaikh Al-Samman Al-Madani
karena beliau sampai di Hijjaz sesudah tahun 1775 M. Ia sempat belajar dengan Mahmud Al-Kurdi,
salah seorang tokoh tarekat Khalwatiyah yang terkenal dan mendapatkan ijazah dari guru yang sama
dengan Syaikh Al-Samman Al-Madani. Adapun Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang
teman dari al-Palimbani waktu belajar di Makkah, tampaknya bukan orang yang bersinggungan
langsung untuk menyebarkan tarekat Al-Sammaniyah, meskipun ia murid dari Syaikh Al-Samman
Al-Madani. Kecuali itu, Muhammad Arsyah Al-Banjari memang telah mempopulerkan qasidah
pujian Syaikh Al-Samman yang sampai sekarang masih dipakai. (Sri Mulyati,2004: 194)
Tarekat Al-Sammaniyah juga dapat ditemukan di Banten yang dibawa oleh Nawawi Al-Bantani
yang hidup satu abad sesudah Al-Palimbani. Ia pernah berguru dengan murid-murid al-Palimbani.
Seiring perjalanan waktu, tarekat Al-Sammaniyah di Banten sudah mulai dilupakan orang dan
banyak beralih kepada tarekat Rifa’iyyah, Naqsyabandiyah, dan Qadariyah wa Naqsyabandiyyah.
Selain itu tarekat Al-Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi
Selatan. Pengikutnya berasal dari komunitas Bugis dan Makassar yang bermukin di Kalimantan
Timur, Riau, Ambon, Papua dan Malaysia. Mereka selalu mempraktikkan ajaran tarekat Al-
Sammaniyah ini, dimana pusat gerakan tarekat ini terdapat di Sulawesi Selatan. Walaupun bagi
masyarakat Sulawesi Selatan tarekat Al-Sammaniyah lebih populer dengan nama tarekat
Khalwatiyah Sammaniyah, yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf Al-Makasari (1627-1699) dan Abdul
Bashir Tuang Rappang (wafat 1723) dengan nama tarekat Khalwatiyah Yusuf, yang muncul sejak
abad ke-17. Sementara Khalwatiyah Samman masuk ke wilayah Sulawesi Selatan pada awal abad
ke-19, dibawa oleh Abdullah Al-Munir, seorang bangsawan Bugis dari Bone.
Ketika tarekat Khalwatiyah Yusuf mengalami kemunduran, antara lain disebabkan oleh kurangnya
tokoh-tokohnya, tarekat Khalwatiah Samman muncul. Sebagainama perkembangan tarekat
Khalwatiyah Yusuf, Tarekat Al-Sammaniyah disambut baik oleh para bangsawan Bugis dan
Makassar, serta para peguasa setempat. Selain itu, pendekatan sosial keagamaan turut dipergunakan
dengan tetap mempertahankan ritus tradisional yang sebelumnya berlaku. Juga strategi yang
dipergunakan dalam penyeberan tarekat ini dilakukan melalui proses perkawinan.
Dengan demikian Tarekat al-Sammaniyah ini masih ada pada sebagian daerah di Indonesia, seperti
disebutkan diatas. Tarekat ini telah digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah, namun ratib
syaikh tarekat Muhammad alSamman masih tetap dibacakan di banyak wilayah di Indoinesia,
terlepas dari afiliasi yang bersangkutan kepada suatu tarekat.
HALAMAN18
Wafat
Para ahli sejarah sampai saat ini belum sepakat tentang kapan dan di mana Al-Palimbani wafat. Ada
pula pendapat yang menyatakan beliau belum wafat tetapi diangkat langsung oleh Allah ke surga
sesaat setelah berjihad bersama pasukan umat muslim di Kedah dan Patani melawan pasukan kafir
dari Siam.
Keberadaan makam di perbatasan Kampung Sekom dengan Cenak dalam kawasan Tiba, di Utara
Patani, yang disebut-sebut oleh beberapa penulis dari Melayu (Malaysia, Singapura, dan Thailand)
sebagai makam Al-Palimbani juga belum dapat dianggap sebagai akhir dari perbedaan pendapat di
kalangan para peneliti sejarah.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Al-Palimbani ada di Palembang. Tetapi Dr.
Azyumardi Azra secara tidak langsung menyangkal Quzwain dengan menyatakan, ““Walaupun Al-
Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal
di Arabia.”
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785 dan “… kemungkinan besar
setelah 1203/1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya terakhir dan paling masyhur,
Sairus Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, Al-Palimbani berusia 85 tahun.”
Referensi:
1. Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII
dan XVIII: Melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
2. Quzwain, M. Chatib, 1985, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh
Abdus-Samad al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang
3. Noor, Hasni, AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI (Telaah
terhadap Kitab Sayr al-Salikin), Makalah, IAIN (DPK) Universitas Islam Kalimantan Selatan
Banjarmasin Fakultas Agama Islam.
4. Marwan, Muhammad, (1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani Ratib, Tawasul
dan Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel: TB. Sahabat.
5. Ahmad, M. Kursani, 2010, Abd. Al-Shamad Al-Palimbani: Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah
di Indonesia, Itjihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2010.
6. Shihab, Alwi, (2009), Akar Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia,
Depok: Pustaka IIMaN.
7. Mulyati, Sri, (et.al), (2004), Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,
Dalam Tulisan Ahmad Abrori, Tarekat Sammaniyah Sejarah Perkembangan Ajarannya, Jakarta:
Kencana.
8. Behrend, T.E (ed) 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara: Naskah Perpustakaan
Nasional RI, Jakarta: Yayasan Obor.
9. Pudjiastuti, Titik, Memandang Palembang dari khazanah naskahnya, Makalah, Departemen
Ilmu Susastra FIB-UI.
10. Ekadjati, Edi, S, 2005, Pengetahuan Geografi Masyarakat Sunda: Tinjauan Berdasarkan
Naskah Sunda Kuna dan Catatan Perjalanan Orang Portugis, makalah disajikan dalam
Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara, Buton
HALAMAN19
11. Gajahnata, KHO, 1986, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI
Pres
12. Hanafiah, Djohan, 1995, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
13. Ikram, Achadiati dkk, 2004, Katalog Naskah Palembang. Jakarta/Tokyo: Yayasan Naskah
Nusantara dan Tokyo University of Foreign Studies
14. Iskandar, Teuku, 1986, Palembang Kraton manuscripts in A Man of Indonesian Letters in
Honour of Prof. Teeuw. Dordrecht: Foris Publication Series
15. Mulyadi, SWR, 1994, Kodikologi Melayu di Indonesia. edisi Khusus Lembaran Sastra No.
24. Jakarta: FSUI
16. Sedyawati, Edi dkk, 2004, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
17. Sutaarga, Amir dkk, 1973, Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta:
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional
18. Sutyani, Titut, 2000. Naskah Palembang Koleksi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia: Sebuah Tinjauan Kodikologis, Skripsi, Depok: FSUI
19. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo : Ramadhani, 1994) Cet. Ke-10
20. ----------------------- , Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994, cet. Ke-8
21. Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung: Mizan, 1992
22. An-Najar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawauf, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001
23. Next Magazine, Vol. 3

More Related Content

What's hot

khulafaur rasyidin
khulafaur rasyidinkhulafaur rasyidin
khulafaur rasyidinChaerul Uman
 
26.9.2012 hadis maudhu’
26.9.2012   hadis maudhu’26.9.2012   hadis maudhu’
26.9.2012 hadis maudhu’Angah Rahim
 
Kajian kitab qiraat
Kajian kitab qiraatKajian kitab qiraat
Kajian kitab qiraatShamsul Amir
 
Kemunduran umat islam
Kemunduran umat islamKemunduran umat islam
Kemunduran umat islamAl Alfandi
 
Assignment mukjizat al quran 3
Assignment mukjizat al quran 3Assignment mukjizat al quran 3
Assignment mukjizat al quran 3Rashidah Abd Wahab
 
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyah
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyahKemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyah
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyahNurWahid25
 
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al Falaq
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al FalaqTadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al Falaq
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al FalaqMasher Zen
 
Hadits Mutawatir, Ahad, dan Masyhur
Hadits Mutawatir, Ahad, dan MasyhurHadits Mutawatir, Ahad, dan Masyhur
Hadits Mutawatir, Ahad, dan MasyhurJimatul Arrobi
 
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Dinasti AbbasiyahBerdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Dinasti Abbasiyahhelmyshin1
 
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke Habasyah
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke HabasyahSirah Nabawiyah 49: Hijrah ke Habasyah
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke HabasyahAbuNailah
 
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkah
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkahKemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkah
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkahMiss Jia
 
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantara
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantaraBiografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantara
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantaraAsrori Asrori
 
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad Saw
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad SawSirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad Saw
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad SawAbuNailah
 
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyah
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyahPPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyah
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyahtriutaribismillah
 
Israiliyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam TafsirIsrailiyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam TafsirFarra Shahirra
 

What's hot (20)

khulafaur rasyidin
khulafaur rasyidinkhulafaur rasyidin
khulafaur rasyidin
 
26.9.2012 hadis maudhu’
26.9.2012   hadis maudhu’26.9.2012   hadis maudhu’
26.9.2012 hadis maudhu’
 
PPT Masa Bani umayyah
PPT Masa Bani umayyahPPT Masa Bani umayyah
PPT Masa Bani umayyah
 
ISLAM DI SPANYOL
ISLAM DI SPANYOLISLAM DI SPANYOL
ISLAM DI SPANYOL
 
Kajian kitab qiraat
Kajian kitab qiraatKajian kitab qiraat
Kajian kitab qiraat
 
Kemunduran umat islam
Kemunduran umat islamKemunduran umat islam
Kemunduran umat islam
 
Assignment mukjizat al quran 3
Assignment mukjizat al quran 3Assignment mukjizat al quran 3
Assignment mukjizat al quran 3
 
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyah
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyahKemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyah
Kemajuan di pelbagai bidang pada masa dinasti ayyubiyah
 
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al Falaq
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al FalaqTadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al Falaq
Tadabbur Surat Al Falaq | Tafsir Surat Al Falaq
 
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa MansukhUlumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
Ulumu-l-Qur'an Nasikh wa Mansukh
 
Hadits Mutawatir, Ahad, dan Masyhur
Hadits Mutawatir, Ahad, dan MasyhurHadits Mutawatir, Ahad, dan Masyhur
Hadits Mutawatir, Ahad, dan Masyhur
 
Topik 3 penghijrahan ke habsyah
Topik 3 penghijrahan ke habsyahTopik 3 penghijrahan ke habsyah
Topik 3 penghijrahan ke habsyah
 
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Dinasti AbbasiyahBerdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
 
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke Habasyah
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke HabasyahSirah Nabawiyah 49: Hijrah ke Habasyah
Sirah Nabawiyah 49: Hijrah ke Habasyah
 
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkah
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkahKemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkah
Kemunculan tamadun islam dan perkembangannya di makkah
 
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantara
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantaraBiografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantara
Biografi dan usaha dakwah ulama ulama nusantara
 
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad Saw
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad SawSirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad Saw
Sirah Nabawiyah 06: Silsilah Nabi Muhammad Saw
 
Munasabat al quran
Munasabat al quranMunasabat al quran
Munasabat al quran
 
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyah
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyahPPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyah
PPT perkembangan peradaban Islam masa abbasiyah
 
Israiliyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam TafsirIsrailiyat Dalam Tafsir
Israiliyat Dalam Tafsir
 

Similar to Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembani
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembaniBelajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembani
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembaniHamuza Hamuza
 
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdf
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdfTokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdf
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdfRizkiRioChandrawinta
 
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldun
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldunKonsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldun
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldunLtfltf
 
Ulama nusantara-palembang-di-haramain
Ulama nusantara-palembang-di-haramainUlama nusantara-palembang-di-haramain
Ulama nusantara-palembang-di-haramainALHAMA COMPANY
 
Buku fiqih 5 mazhab
Buku fiqih 5 mazhabBuku fiqih 5 mazhab
Buku fiqih 5 mazhabhusayn12
 
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal RahimahullahPend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal RahimahullahQhaiyum Shah
 
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
 KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAHannisa arsya wardani
 
Biografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiBiografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiSidqi Maulana
 
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptx
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptxPPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptx
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptxOktavia Ningrum
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...desi_aoi
 
Review tafsir al manar
Review tafsir al manarReview tafsir al manar
Review tafsir al manarDodyk Fallen
 
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomi
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomiSejarah peradaban dan pemikiran ekonomi
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomiAmalia Damayanti
 
Ilmuan dinasti Ayyubiyah
Ilmuan dinasti AyyubiyahIlmuan dinasti Ayyubiyah
Ilmuan dinasti AyyubiyahNurWahid25
 
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)wmkfirdaus
 
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxBagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxKhoirulikhsanNurarif
 

Similar to Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m) (20)

Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembani
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembaniBelajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembani
Belajar sejarah : syeikh abdush shamad alpalembani
 
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdf
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdfTokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdf
Tokoh-Tokoh Islam Presentasi PAI SMA/SMK.pdf
 
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldun
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldunKonsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldun
Konsep klasifikasi ilmu menurut ibnu khaldun
 
Doc 20161117-wa0040
Doc 20161117-wa0040Doc 20161117-wa0040
Doc 20161117-wa0040
 
Ulama nusantara-palembang-di-haramain
Ulama nusantara-palembang-di-haramainUlama nusantara-palembang-di-haramain
Ulama nusantara-palembang-di-haramain
 
Buku fiqih 5 mazhab
Buku fiqih 5 mazhabBuku fiqih 5 mazhab
Buku fiqih 5 mazhab
 
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal RahimahullahPend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
Pend. Agama Islam Tingkatan 4 - Sirah: Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah
 
13 26-1-pb
13 26-1-pb13 26-1-pb
13 26-1-pb
 
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
 KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
KONSEP PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
 
Biografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawiBiografi imam al baghawi
Biografi imam al baghawi
 
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptx
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptxPPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptx
PPT STUDI FIQH (Hanafi-Maliki).pptx
 
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
Penetapan Hukum Islam Pada Masa Abad Ke 2 H Hingga Pertengahan Abad Ke 4 H Da...
 
Review tafsir al manar
Review tafsir al manarReview tafsir al manar
Review tafsir al manar
 
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomi
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomiSejarah peradaban dan pemikiran ekonomi
Sejarah peradaban dan pemikiran ekonomi
 
Ilmuan dinasti Ayyubiyah
Ilmuan dinasti AyyubiyahIlmuan dinasti Ayyubiyah
Ilmuan dinasti Ayyubiyah
 
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
Bab 1 konsep fatwa dalam islam (1)
 
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docxBagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
Bagi_Makalah_biografi_4_Imam_Mazhab.docx
 
Iman malik lahir pada tahun 93
Iman malik lahir pada tahun 93Iman malik lahir pada tahun 93
Iman malik lahir pada tahun 93
 
Iman malik lahir pada tahun 93
Iman malik lahir pada tahun 93Iman malik lahir pada tahun 93
Iman malik lahir pada tahun 93
 
Biografi al makmun
Biografi al makmunBiografi al makmun
Biografi al makmun
 

More from Syamsul Noor

Mutiara hitam kho ping hoo
Mutiara hitam kho ping hooMutiara hitam kho ping hoo
Mutiara hitam kho ping hooSyamsul Noor
 
Cinta bernoda darah
Cinta bernoda darahCinta bernoda darah
Cinta bernoda darahSyamsul Noor
 
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuries
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuriesConstructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuries
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuriesSyamsul Noor
 
Pada suatu hari karya arifin c noer
Pada suatu hari karya arifin c noerPada suatu hari karya arifin c noer
Pada suatu hari karya arifin c noerSyamsul Noor
 
Manuskrip nusantara di saint petersburg
Manuskrip nusantara di saint petersburgManuskrip nusantara di saint petersburg
Manuskrip nusantara di saint petersburgSyamsul Noor
 
Kiyosaki retire young retire rich
Kiyosaki retire young retire richKiyosaki retire young retire rich
Kiyosaki retire young retire richSyamsul Noor
 
The cashflowquadrant
The cashflowquadrantThe cashflowquadrant
The cashflowquadrantSyamsul Noor
 
Berpikir dan berjiwa besar
Berpikir dan berjiwa besarBerpikir dan berjiwa besar
Berpikir dan berjiwa besarSyamsul Noor
 
Uu 32 2002_penyiaran
Uu 32 2002_penyiaranUu 32 2002_penyiaran
Uu 32 2002_penyiaranSyamsul Noor
 
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumen
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumenUu no 8 th1999 perlindungan konsumen
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumenSyamsul Noor
 
Uu32 2004 pemerintahan daerah
Uu32 2004 pemerintahan daerahUu32 2004 pemerintahan daerah
Uu32 2004 pemerintahan daerahSyamsul Noor
 
Uu1 1974 perkawinan
Uu1 1974 perkawinanUu1 1974 perkawinan
Uu1 1974 perkawinanSyamsul Noor
 
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaTenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaSyamsul Noor
 
Negara gagal mengelola_konflik_novri susan
Negara gagal mengelola_konflik_novri susanNegara gagal mengelola_konflik_novri susan
Negara gagal mengelola_konflik_novri susanSyamsul Noor
 
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udi
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udiMeadows of gold and mines of gems by el mas'udi
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udiSyamsul Noor
 
05 a modern history of the islamic world
05 a modern history of the islamic world05 a modern history of the islamic world
05 a modern history of the islamic worldSyamsul Noor
 
Malam terakhir karya yukio mishima
Malam terakhir karya yukio mishimaMalam terakhir karya yukio mishima
Malam terakhir karya yukio mishimaSyamsul Noor
 
Sumur tanpa dasar arifin c. noer
Sumur tanpa dasar arifin c. noerSumur tanpa dasar arifin c. noer
Sumur tanpa dasar arifin c. noerSyamsul Noor
 

More from Syamsul Noor (20)

Mutiara hitam kho ping hoo
Mutiara hitam kho ping hooMutiara hitam kho ping hoo
Mutiara hitam kho ping hoo
 
Cinta bernoda darah
Cinta bernoda darahCinta bernoda darah
Cinta bernoda darah
 
Suling emas
Suling emasSuling emas
Suling emas
 
Bu Kek Siansu
Bu Kek SiansuBu Kek Siansu
Bu Kek Siansu
 
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuries
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuriesConstructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuries
Constructing the polity of sriwijaya in the 7th – 8th centuries
 
Pada suatu hari karya arifin c noer
Pada suatu hari karya arifin c noerPada suatu hari karya arifin c noer
Pada suatu hari karya arifin c noer
 
Manuskrip nusantara di saint petersburg
Manuskrip nusantara di saint petersburgManuskrip nusantara di saint petersburg
Manuskrip nusantara di saint petersburg
 
Kiyosaki retire young retire rich
Kiyosaki retire young retire richKiyosaki retire young retire rich
Kiyosaki retire young retire rich
 
The cashflowquadrant
The cashflowquadrantThe cashflowquadrant
The cashflowquadrant
 
Berpikir dan berjiwa besar
Berpikir dan berjiwa besarBerpikir dan berjiwa besar
Berpikir dan berjiwa besar
 
Uu 32 2002_penyiaran
Uu 32 2002_penyiaranUu 32 2002_penyiaran
Uu 32 2002_penyiaran
 
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumen
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumenUu no 8 th1999 perlindungan konsumen
Uu no 8 th1999 perlindungan konsumen
 
Uu32 2004 pemerintahan daerah
Uu32 2004 pemerintahan daerahUu32 2004 pemerintahan daerah
Uu32 2004 pemerintahan daerah
 
Uu1 1974 perkawinan
Uu1 1974 perkawinanUu1 1974 perkawinan
Uu1 1974 perkawinan
 
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamkaTenggelamnya kapal van der wijck hamka
Tenggelamnya kapal van der wijck hamka
 
Negara gagal mengelola_konflik_novri susan
Negara gagal mengelola_konflik_novri susanNegara gagal mengelola_konflik_novri susan
Negara gagal mengelola_konflik_novri susan
 
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udi
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udiMeadows of gold and mines of gems by el mas'udi
Meadows of gold and mines of gems by el mas'udi
 
05 a modern history of the islamic world
05 a modern history of the islamic world05 a modern history of the islamic world
05 a modern history of the islamic world
 
Malam terakhir karya yukio mishima
Malam terakhir karya yukio mishimaMalam terakhir karya yukio mishima
Malam terakhir karya yukio mishima
 
Sumur tanpa dasar arifin c. noer
Sumur tanpa dasar arifin c. noerSumur tanpa dasar arifin c. noer
Sumur tanpa dasar arifin c. noer
 

Recently uploaded

APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024GilbertFibriyantAdan
 
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)ErnestBeardly1
 
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptx
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptxALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptx
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptxPutrielza1
 
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEISIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEIGilbertFibriyantAdan
 
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024milliantefraim
 
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptxHadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptxHerman022
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Adam Hiola
 

Recently uploaded (7)

APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
APA YANG TERJADI SEKARANG NEW.pptx BULAN MEI 2024
 
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
 
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptx
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptxALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptx
ALIRAN ALIRAN ILMU KALAMyang ada di indonesia .pptx
 
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEISIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
SIAPAKAH KITA DI DALAM KRISTUS.pptx BULAN MEI
 
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
 
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptxHadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
Hadits Arbain 35 tentang Sesama Muslim Bersaudara.pptx
 
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
 

Syeikh abdus samad al palembani (1704-1789 m)

  • 1. HALAMAN1 Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M) Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi   Halaqah Melayu Sebangsa-Secita-Setuturan 2015
  • 2. HALAMAN2 Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani (1704-1789 M) Filsuf dan Ulama Tassawuf dari Palembang Oleh Syamsul Noor Al-Sajidi yaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 Hijriyah (1704 Masehi) di Palembang. Di dalam buku Ensiklopedi Islam nama lengkap beliau ditulis Abdus Samad Al- Jawi Al-Palimbani. Di dalam sumber-sumber berbahasa Melayu, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), nama lengkap beliau dituliskan Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Masih menurut Azyumardi, bila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap beliau adalah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi Al-Palimbani. Azyumardi berpendapat nama terakhir yang lebih mendekati kebenaran, yaitu Syeikh Abdus Samad. Sebagaimana tradisi penyebutan nama orang di Arab dan Timur Tengah yang biasanya ditautkan dengan asal atau tempat kelahiran, karena beliau berasal dari Palembang ditambahkanlah Al-Palembani pada akhir nama beliau sehingga menjadi Abdus Samad Al-Palimbani . Al-Palimbani lahir dari pasangan Syeikh Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahab bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani dengan Radin Ranti. Ayahnya (Syaikh Abdul Jalil) adalah mubaligh asal Yaman yang pada abad ke-18 menjabat sebagai Mufti di Kesultanan Kedah. Sedangkan ibunya (Radin Ranti) adalah perempuan asal Palembang. Sebelum menikahi Radin Ranti, Syaikh Abdul Jalil sudah memperisteri Wan Zainab putri Sultan Kedah, yaitu Dato Sri Maharaja Dewa. Dari pernikahan dengan putri dari Kedah itu – berdasarkan sumber-sumber Melayu – Syaikh Abdul Jalil mendapatkan dua anak, yaitu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir. Dari pernikahan dengan Radin Ranti, Syeikh Abdul Jalil mendapatkan seorang anak bernama Abdus Samad. Puluhan tahun kemudian pemikiran tasawuf filosofis Abdus Samad Al-Palimbani inilah yang berhasil menembus batasan-batasan teritorial di dunia Islam, baik pada masanya maupun sekarang. Ensiklopedi Islam yang beredar di Arab, Timur Tengah, dan Barat menempatkan kepopuleran Al- Palimbani setara dengan Bung Karno Presiden ke-1 Republik Indonesia. Nama Al-Palimbani di kalangan umat Islam di Arab dan Timur Tengah sangat dihormati dan disegani. Dalam data sejarah di Masjid Al-Haram, Mekkah tercatat nama Al-Palimbani sebagai satu-satunya ulama dari Nusantara yang mendapatkan kehormatan sebagai imam besar Masjid Al-Haram. Beberapa kitab karangan Al-Palimbani sampai sekarang masih menjadi salah satu kitab pokok tentang tassawuf yang dipelajari di berbagai pesantren di Thailand bagian selatan (terutama Patani) dan Malaysia. Di Arab, Timur Tengah, Barat, dan Semenanjung Malaya ketenaran nama Al- Palimbani sebagai ulama tassawuf boleh dianggap melampaui Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul Rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari, dan sebagainya. S
  • 3. HALAMAN3 Pendidikan Al-Palimbani sejak balita hingga remaja mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syaikh Abdul Jalil di Palembang. Dalam usia sekitar 14 tahun, Al-Palimbani sudah fasih berbahasa Arab dan hafal Kitabullah Alquran. Dalam usia itu pula Al-Palimbani sudah terbiasa membahas kitab- kitab tassawuf karangan para ulama terkemuka, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani, Syaikh Abdul Rauf Singkel, Nuruddin Al-Raniri, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan lain-lain. Melihat minat, kesungguhan, dan kecerdasan sang anak, Syaikh Abdul Jalil lalu mengantarkan Al-Palimbani bersama saudara-saudaranya ke suatu pondok pesantren di Patani, Thailand. Pada masa itu Patani memang cukup terkenal sebagai tempat yang kondusif untuk mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman melalui sistem pendidikan berpola pondok pesantren. Beberapa peneliti sejarah ke-Islaman menduga kuat Al-Palimbani bersama saudaranya seayah, yaitu Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah mendapatkan gemblengan di pondok-pondok terkenal di Patani, seperti Pondok Bendang Gucil di Kerisik atau Pondok Kuala Bekah atau pun Pondok Semala. Salah seorang guru Al-Palimbani di Patani yang dapat diketahui adalah Syaikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Para sesepuh Kampung Pauh Bok itu menuturkan perihal keutamaan Al- Palimbani yang berasal dari Palembang sebagai murid dari Syaikh Abdur Rahman. Penuturan itu sesuai dengan pernyataan yang tertulis dalam kitab terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa versi Syaikh Abdus Samad bin Qunbul Al-Pathani. Menurut kitab itu Syaikh Abdur Rahman Pauh Bok menganjurkan/merekomendasikan Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani untuk melanjutkan pendidikan ke Mekah dan Madinah. Data berkaitan dengan hal ini belum ditemukan pada sumber- sumber tertulis lain. Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syaikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf karya Syaikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani (dua ulama ternama dari Nangroe Aceh). Sejak kecil Al-Palimbani memang lebih banyak mempelajari tasawuf. Tidak mengherankan bila sejarah mencantumkan Al-Palimbani sebagai pemikir dan ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam tassawuf. Saat masih menuntut ilmu di Patani, di mata para guru, teman-temannya, dan masyarakat yang mengenalnya, Al-Palimbani dianggap alim. Dia mendapat amanat sebagai kepala thalaah (tutor) di pondoknya. Dari Patani Al-Palimbani lalu melanjutkan pendidikannya ke Masjid Al-Haram di Mekkah. Di Mekkah dia bertemu dan bergaul dengan para pelajar/ulama lain dari berbagai pelosok Nusantara. Teman seperguruan dia dalam menuntut ilmu yang berasal dari Nusantara, antara lain Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Bersama teman-temannya di Mekah, Al-Palimbani menurut Azyumardi, selalu memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara. Sejak belajar di Mekkah, Al-Palimbani mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritualitas. Beliau mendapatkan pencerahan-pencerahan dari para gurunya. Beberapa guru yang sangat berpengaruh dalam menempa intelektualitas dan spiritualitas Al-Palimbani, antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-
  • 4. HALAMAN4 Mun´im Al-Damanhuri. Sejarah mencatat Al-Palimbani juga berguru kepada Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Memberantas Wujudiyah Mulhid Pada pertengahan abad ke-18 di Palembang menyebar paham atau tarikat wujudiyah mulhid (WM). Paham yang menyimpang dari Alquran dan Alhadits ini telah lebih dulu berkembang di Nangroe Aceh pada akhir abad ke-17. Berkat usaha-usaha dakwah para ulama terutama Syaikh Nuruddin Al- Raniri, umat Islam di Nangroe Aceh berhasil dibersihkan dari segala pengaruh wujudiyah mulhid. Tak dinyana di belakang hari praktik WM ini telah pula ditemukan menyebar dan berkembang di Palembang. Al-Palimbani yang bermukim di Mekah mengetahui di kota kelahirannya telah berkembang paham WM. Beberapa pelajar dan jemaah haji asal Palembang menemui beliau dan melaporkan perkara paham yang dapat menyesatkan umat Islam tersebut. Penguasa Kesultanan Palembang Darussalam ketika itu berhasrat kuat memberantas paham WM sedini mungkin sebelum menyebar lebih luas. Sultan yang memerintah pada saat itu diduga kuat adalah Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) mengirim surat kepada Al-Palimbani melalui jemaah haji. Sultan meminta fatwa kepada Al-Palimbani selaku ulama tasawuf tentang perkara WM dan bagaimana ikhtiar umat Islam dalam mengatasinya. Atas dasar tanggung sebagai ulama sekaligus berdasarkan permintaan sultan Palembang selaku umara, pada tahun 1188 H bertepatan dengan tahun 1774 M Al-Palimbani menyelesaikan penulisan kitab, berjudul Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat al-Murtaddin. Di dalam kitab ini Al-Palimbani menyampaikan hujjah dan targib kepada seluruh umat Islam agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tarikat yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen), paham wujudiyah mulhid. Di dalam kitab ini Al-Palimbani juga menyatakan penulisan kitab tersebut atas permintaan sultan Palembang. Di Palembang ketika itu sebenarnya terdapat beberapa ulama yang dalam bidang fiqh, asbab al- nuzul, asbab al-wurud, qiyas, bayan, dan lain-lain boleh dibilang juga sangat mumpuni. Para ulama itu, antara lain Syihabudin bin Abdullah Muhammad (menulis kitab Haqiqat Al-Bayan), Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin (mengarang Hikayat Syeikh Muhamad Saman), Kemas Fakhruddin (menulis Fath Al-Rahman), dan Muhammad Ma‘ruf bin Abdullah (khatib Palembang yang menulis Tariqah yang Dibangsakan kepada Qadariyah dan Nakshabandiyah). Beberapa kitab berikut ini adalah karangan Al-Palimbani yang berhasil didata oleh para peneliti: 1. Zahrah Al-Murid fi Bayani Kalimah Al-Tauhid, selesai ditulis pada 1178 H atau 1764 M. 2. Risalah tentang Sebab-sebab yang Diharamkan untuk Pernikahan, selesai ditulis pada 1179 H atau 1765 M. 3. Tuhfat al-Raghibin fi Bayan Ḥaqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddat al- Murtaddin, selesai ditulis pada 1188 H atau 1774 M; 4. Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin, selesai ditulis pada 1192 H/1778 M. 5. Kitab Mi’raj, selesai ditulis pada 1201 H/1786 M; 6. Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabb Al-‘Alamin, selesai ditulis pada 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M. 7. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
  • 5. HALAMAN5 8. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani. 9. Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al- Mujtahidina fi Sabilillah. 10. Al-Risalatu fi Kaifiyat Al-Ratib Lailatil Jum’ah 11. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah 12. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabb Al-‘Alamin 13. Ilmut Tasawuf 14. Mulkhish At-Tuhbat Al-Mafdhah min Al-Rahmat Al-Mahdah ‘Alaihis Shalatu wa Al-Salam 15. Anis Al-Muttaqin 16. Puisi Kemenangan Kedah. Beberapa kitab karya Al-Palimbanu yang kini menjadi monumental, terutama Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin diketahui tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Beberapa kitab lainnya disimpan dan dirawat di Perpustakaan Nasional di Jakarta. Kitab Nashihat Al-Muslimina wa Tazkirat Al-Mu’minina fi Fadhail Al-Jihadi wa Karaamat Al- Mujtahidina fi Sabilillah, sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajah Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik Ditiro merupakan kutipan dari kitab tersebut. Masalah jihad fi sabililiah memang sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada 1772 M, Al-Palimbani mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hameng-kubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka. Al-Palimbani secara arif dan bijaksana mengimbau para pemimpin di Mataram agar secara terus-menerus melaksanakan jihad fi sabilillah melawan kompeni Belanda. Pokok Ajaran Tasawuf (Telaah terhadap Kitab Sairus Salikin) Pada abad ke-7 hingga abad ke-9 Sriwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Budha, maka sejak abad ke-18 Palembang menjadi pusat ilmu dan syiar Islam (Faille, 1997 dan Gajahnata, 1986). Dalam perkembangan berikutnya Palembang menjadi salah satu pusat tumbuh suburnya berbagai pengetahuan ke-Islaman di dunia Melayu, baik sastra maupun agama. Hal ini dibuktikan dari banyaknya naskah keagamaan yang asal usulnya merujuk ke Palembang baik penulis maupun scriptoriumnya. Karya-karya tersebut umumnya ditulis pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Islam dengan aksara Arab merupakan gelombang budaya kedua yang memperkaya khasanah sastra Nusantara. Sebagian masyarakat Nusantara mengeskpresikan pikirannya dalam suatu sistem tulisan, mengadopsi sistem aksara baru (Arab) - disamping tetap menggunakan yang lama - dengan menyesuaikannya dengan sistem bunyi dan keperluan masing-masing daerah. Adopsi tulisan Arab dengan bunyi bahasa daerah di Nusantara ini disebut Pegon (Jawa dan Sunda), Jawi (Melayu), Hurupa (Bugis-Makasar) dan sebagainya (Pudjiastuti, 2005). Setelah kedatangan Islam di Palembang, kesusastraan di kawasan itu mengalami kelahiran kembali dengan menggunakan tulisan Jawi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Iskandar (1995: 440) mengatakan kesusastraan Palembang hidup kembali dan mengalami masa keemasannya setelah Islam datang.
  • 6. HALAMAN6 Tidak dapat dipungkiri pendorong timbulnya generasi baru ulama dan produktivitas keilmuan di Palembang adalah Kesultanan Palembang dan ulama–ulama Arab yang diundang untuk mengajar berbagai cabang studi Islam. Sejak awal abad ke 17 para Sultan Palembang telah menunjukkan minat khususnya pada bidang keagaman Islam. Menjelang pertengahan abad ke 18 di kesultanan Palembang telah hadir beberapa ulama Arab yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan tradisi Islam di Palembang (Azra, 1994: 244). Lebih dari pada itu, mereka memberi kontribusi terhadap munculnya istana Palembang sebagai pusat pengetahuan keislaman dan tempat koleksi besar karya-karya keagamaan. Catatan ini mencoba mengemukakan kembali ajaran tasawuf yang telah dituangkan oleh Al- Palimbani dalam kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin. Kiranya dapatlah dimaklumi catatan ini akan hanya menyentuh perkara-perkara mubtadi (dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di maqam permulaan atau awam). Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin (Sairus Salikin), ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing- masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan (mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan (muntahi) saja. Tasawuf mengistilahkan kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai suluk dan sang pencari Allah sebagai salik (penempuh jalan spiritual). Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Tetapi secara transversal, makna yang dimaksud suluk adalah “perjalanan spritual” dan bukan tindakan/gerakan dalam dimensi ruang. Al-Palimbani mengambil sanad dalam Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al- Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri tarekat sammaniyah. Dalam tulisan- tulisannya, khususnya dalam Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani. Pokok-pokok ajaran tasawuf Al-Palimbani dekat dengan Al-Ghazali dalam Al-Arbain fi Ushul Al- Dien, meliputi aspek sebagai berikut: (a) Taubat Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan tasawuf. Menurut dia, taubat merupakan jalan bagi orang salik yang menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah Allah. Di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni “Suatu makna yang bersusun dari tiga perkara: ilmu, hal, dan fi’il, yakni perbuatan”. Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan tiga hal : Pertama, “bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia”.
  • 7. HALAMAN7 Kedua, harus diingat “betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat”. Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk “menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat” nanti (Al-Palimbani, Jilid IV: 7 – 8). Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan: Pertama, taubat orang awam; Kedua, taubat orang khawash; Ketiga, taubat orang khawash al-khawash. Taubat dari “maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri, dan sebagainya; orang khawash taubat dari “maksiat batin”, seperti ujub, ria, takabur, hasad, dan sebagainya; sedangkan orang khawash al-khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Ta’ala. Tingkat taubat yang ketiga ini bukan lagi “permulaan jalan bagi orang yang salik” karena orang yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al- khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan panjang. Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang awam dan taubat orang khawash, yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan diri dari “maksiat lahir” dan “maksiat batin.” Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam zuhud. Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin “tersimpan” dalam sepuluh perkara sebagai berikut : 1 Banyak makan 2 Banyak berkata-kata, 3 Pemarah, 4 Dengki, 5 Kikir dan cinta harta 6 Cinta kemegahan dan kebesaran 7 Cinta dunia, 8 Tinggi hati, 9 Uzub, 10 Ria Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu : 1 Menyekutukan Allah, 2 Mengekalkan berbuat maksiat, 3 Putus asa dari rahmat Allah, 4 Tidak takut siksa Allah.
  • 8. HALAMAN8 Perasaan “Cinta dunia” itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan. (b) Takut dan Harap Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat yang lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik apabila perasaan-perasaan ini mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu saja, hal itu termasuk ahwal. Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada yang lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al- Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : “Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap- tiap sesuatu”. Lebih penting lagi, rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala” membanyakkan dzikir akan melazimkan mahabbah (cinta) Allah” yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan mulia di dunia dan di akhirat melainkan makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah. Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja’). Tetapi dua maqam ini menurut Al-Palimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. “Khauf (takut) dan raja’ (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat dahaga, maka air lebih afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja’ lebih afdhal baginya. Mana yang lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan. Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut, demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW: “Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala” yakni membanyakkan harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian, harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang lebih tinggi dari pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah). Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan “memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah Taala” yang tidak terhingga banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
  • 9. HALAMAN9 Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Qur’an “Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun tiada bersedih”. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud. (c) Zuhud Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan lebih dahulu. Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu, seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap salik. Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya. Karena itu sikap seseorang yang “meninggalkan kasih akan dunia” karena menginginkan “sesuatu di dalam akhirat,” dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah meninggalkan “gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada sesuatu yang di dalam akhirat”. Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam: Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya; Kedua, meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan; dan Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya. Al-Palimbani menjelaskan ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud, yakni: Pertama, zuhud “orang mubtadi” (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan Allah itu, “yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsunya. Kedua, “orang yang mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu”. Ketiga, orang yang muntahi, yakni ‘arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu “seperti kotoran saja”, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat. Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang “meninggalkan daripada hatinya yang lain daripada Allah Taala,” baik dunia maupun akhirat. Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal. Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah “bahwa orang yang zuhud, dalam mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan akan dia pada kehidupan badannya”. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk menyangga kelangsungan hidupnya. Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga tingkatan : “Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah).
  • 10. HALAMAN10 Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan atau kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin, sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan. Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan. Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. 2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam mentaati-Nya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99). Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini, nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi, sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar. (d) Sabar Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi. Sabar terbagi dalam tiga tingkatan: Pertama, sabar “orang awam” yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu “menanggung kesusahan dan menahan kesakitan” dalam menerima hukum Allah; Kedua, sabar “orang yang menjalani tarikat,” yaitu “jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu”. Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu “bersedap- sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiar (pilihan) Tuhannya. Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar ini pun hanya dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; ada pun maqam bagi orang-orang salik yang belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua. Menurut Al-Palimbani, maqam sabar ini pun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung “maslahat di dalam agama” dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang
  • 11. HALAMAN11 selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala penderitaan yang dialaminya. Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya diperlukan kesabaran yang tinggi. (e) Syukur Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah “engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu melainkan Allah Ta’ala jua, kemudian engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu, niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu”. Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi, misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya. Al-Qur’an pun mengatakan bahwa “Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang menyekutukan-Nya”. Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota. Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas. (f) Ikhlas Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salik dalam perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin telah dicapai pada maqam syukur tadi. Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya.
  • 12. HALAMAN12 (g) Tawakkal Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan : Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya dalam suatu perkara. Kedua, menyerahkan diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada ibunya; Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya. Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih berusaha dalam batas-batas tertentu untuk mencapai tujuan yang diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus melakukan usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari wakilnya, untuk memenangkan perkaranya. Pada tingkat yang kedua orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta apa yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan mengadu kepada ibunya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk apapun juga, bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, “karena ia telah berpegang kepada kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu” Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang yang bertawakal sama dengan seorang fatalis yang menyerah diri kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa orang yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik maupun pemikiran adalah dugaan orang jahil yang tersesat atau kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam; orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang diperlukannya menurut batas-batas yang wajar, seperti menjangkau makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti membawa perbekalan dalam perjalanan, menghindari binatang buas, memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah, mengembala hewan ternak dan sebagainya. Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada Allah, sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian dan sebagainya ia tidak merasa sedih dan susah, di samping berusaha mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas kemampuan yang ada padanya. Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak sampai ke batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah. Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq dalam hati orang-orang tertentu. (h) Mahabbah Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti halnya Al-Ghazali adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala
  • 13. HALAMAN13 maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapainya. Di samping itu ia juga menambahkan bahwa “tiada derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah Allah Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai kepada makrifah Allah; dan itulah kesudahan martabat orang yang salik. Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Dalam perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu satu persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaan-perasaan lain seperti takut, harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran batinnya, sehingga ia dikatakan berada pada maqam cinta. Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut : Kasih ia akan mati; Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia akan mengikuti hawa nafsunya; -Senantiasa ia melazimkan zikir Allah; Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Qur’an dan mengekali ia atas sembahyang tahajjud di malam yang sunyi; Tidak menyesal kehilangan “sesuatu yang lain daripada Allah Taala” Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala -Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin dan benci akan orang kafir-yaitu seteru Allah; Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia; -Menyembunyikan ia akan kasihnya akan Allah Taala itu dari pada orang yang bukan ahlinya; Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Ta’ala dan ridha ia akan Allah Ta’ala di dalam sekalian yang diperbuat Allah Ta’ala akan Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV: 124 – 130). Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas, selalu berzikir, munajat, mengerjakan sembahyang tahajjud, membaca Al-Qur’an, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci-Nya. (i) Ridha Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah. Menurutnya, arti ridha itu “tidak menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah atasnya dan atas orang yang lain padanya; karena sekalian perbuatan yang wuqu’ (terjadi) di dalam dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia mengutip sebuah cerita bahwa Rabi’ah Al-Adawiyyah pernah ditanya, “Bilakah seorang hamba Allah ridha kepada-Nya?” Jawabnya, “apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan kegembirannya menerima nikmat.”
  • 14. HALAMAN14 Dengan demikian, maqam ridha itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang terjadi di alam ini adalah perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira. Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena pengertian sabar itu masih terkandung di dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang disebut nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan. Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa seseorang harus ridha pula menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus dipandang dari dua segi; segi pertama “kufur dan maksiat itu jadi daripada qadha Allah Taala dan daripada qudrat-Nya” yang harus kita ridhai, tetapi dari segi lain, “kufur dan maksiat itu sifat bagi hamba-Nya” yang tiada disuruh oleh Allah Taala” dan karena itu tidak boleh pula kita terima dengan ridha. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua yang diridhai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya. Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Ta’ala, dan merupakan maqam yang terlebih tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Ta’ala. (j) Makrifah Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena hal itu menurut dia adalah “surga”, “barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan surga yang di akhirat” nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Ta’ala. Intisari makrifah hanya dapat dicapai setelah seorang salik melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua maqam ini dianggapnya sebagai “jalan” menuju makrifah. Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar- radliyah – tingkat nafs yang kelima – ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang keindahan Allah yang mutlak dan “Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi. (k) Fana dan Baqa Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya Allah itu dikatakan “fana dalam tauhid,” karena orang yang sudah mencapai pandangan itu “karam ia dengan syuhud akan Tuhan Yang Maha Esa Yang Sebenarnya”. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan dalam arti “gugurnya sifat-sifat tercela” dan istilah Baqa dalam arti “berdirinya sifat-sifat terpuji” orang yang sudah fana (terhapus dari dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata lain, fana dan baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua aspek yang berbeda.
  • 15. HALAMAN15 Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan makrifah meliputi tiga tingkatan. Pertama, fananya segala perbuatan makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat makhluk dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam wujud Tuhan. Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai tingkat nafs al-muthma’innah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah “fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala. Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang lain. Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan. Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif telah terhapus di dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya. Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam keadaan fana segala perbuatannya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis keridhaan Allah, karena segala perbuatannya tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri. Untuk suluk dan dapat mencapai insan kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya, sehingga jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk dapat berada di sisi Tuhan, tulis Al-Palimbani, manusia harus dapat mengendalikan tujuh hawa nafsu yang ada di dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthma’innah, nafs al-radliyah, nafs al-mardliyah, dan nafs al-kamilah. Kitab Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin tidak dapat disebut sebagai terjemahan dari kitab karya Al-Ghazali, yaitu Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat. Para peneliti yang pernah membaca dua kitab monumental karya Al-Ghazali itu tentu dapat secara kontras membedakannya dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin. Al-Palimbani dengan Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin telah secara sangat cerdas mengupas Lubab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayat karya Al-Ghazali. Al-Palimbani tidak menempuh jalur kritik kepada kelemahan-kelemahan karya Al-Ghazali, melainkan dia menyatakan kekaguman kepada sang ulama ahli tasawuf akhlaqi yang masyhur itu. Untuk kekaguman itulah Al-Palimbani menyempurnakan beberapa kelemahan itu, misalnya menjelaskan status Alhadits yang dipakai Al- Ghazali sebagai dalil naqli di dalam dua kitab tersebut.
  • 16. HALAMAN16 Patut pula diingat, pada zaman itu tak banyak ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang asbab al-wuruz (ilmu tentang latar belakang atau asal-usul keberadaan suatu Alhadits Rasulullah SAW). Sampai hari ini ulama yang paling popular dan diakui keakuratannya oleh banyak ulama lain di bidang Alhadits adalah Al-Bukhari dan Muslim. Ulama yang pakar/mumpuni di bidang Alhadits lazim disebut sebagai Al-Muhaditsin Alama. Di bidang Alhadits, melalui Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin paling tidak cukup membuktikan kemampuan Al-Palimbani sudah tidak lagi dapat diragukan. Selain itu, pilihan menerima sekaligus menyempurnakan membuktikan Al-Palimbani memiliki sikap menghormati dan santun kepada sesame ulama. Boleh juga disetarakan dengan sikap Al-Bukhari setiap kali menjumpai Alhadits palsu. Al-Bukhari tidak mengecam, melainkan menyatakan, “Alhadits ini tidak dikenal.” Sungguh stereotype ulama besar yang sangat arif dan bijaksana. Faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan pada Sairus Salikin dan Hidayatus Salikin adalah sumbangan berharga Al-Palimbani dalam mempertemukan dan mendamaikan dua perbedaan mendasar antara ajaran tasawuf akhlaqi ala Al-Ghazali dan ajaran tasawuf filosofi ala Ibnu Arabi. Dalam konteks ini kembali Al-Palimbani menunjukkan posisinya sebagai ulama yang berhikmat kepada sesama ulama. Al-Palimbani melakukan rekonstruksi dan revitalisasi terhadap ajaran Al- Ghazali dan secara sekaligus bisa menerima secara tertib/bersyarat untuk lalu membahas secara sistematis dan komprehensif hakikat ajaran wahdah al-wujud yang berinti pada tasawuf filofis sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Arabi. Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah Al-Palimbani adalah ulama yang pertama kali yang mengenalkan tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia, yang juga mengikuti tarekat Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad Abd. Al-Karim Al- Samman Al-Madani. (1132-1189 H/17181775 M). (Muhammad Marwan, 1999:51) Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang tarekat Suhrawardiyah menurut silsilah tarekat Khalwatiyah. Syekh Muhammad Abd. Karim Al-Samman Al-Madani adalah murid Syekh Ibn Kamal Bakri Al-Dimasyqi yang menerima ijazah darinya. Kemudian Syekh al-Samman pergi ke Mesir yang dilanjutkan ke Madinah dan mempelajari tarekat hingga tarekat ini dikenal dengan namanya. Al-Palimbani yang mengikuti tarekat ini terkadang menyebutkan Khalwatiyah, padahal yang dimaksud adalah Al- Sammaniyah atau sebaliknya. Akan tetapi, dia mengenalkan tarekat ini di Indonesia dengan nama Al-Sammaniyah (Alwi Shihab, 2009: 205-206). Dalam sejarah perkembangan tarekat di Nusantara ini tidak bisa dipisahkan dengan peran tokoh seorang ulama besar Al-Palimbani sebagai pelopor tarekat al-Sammaniyah di Indonesia. Namun, apa dan bagaimana peranan al-Palimbani dalam penyebaran tarekat al-Sammaniyah ini. Hal ini menarik perhatian penulis untuk mempelajarinya lebih lanjut tentang riwayat hidup serta latar belakang kehidupan al-Palimbani serta karya tulis dan ajarannya, khususnya peranan Al-Palimbani di dalam pengembangan dan penyebaran ajaran tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia. Menurut Snouck Hurgronje yang dikutib oleh Alwi Shihab bahwa, ratib samman ini sangat terkenal di Indonesia, namun telah mengelami modifikasi, terutama dalam pembacaan ism Allah dan kata ganti ketiga (Huw. Ratib Samman ini tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat lain. Perbedaannya hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya. Misalnya, Al-Ghazali tidak mensyaratkan pada pembaca terpenuhinya gerakan badan dan ketenangan jiwa.
  • 17. HALAMAN17 Al-Palimbani sangat dipengaruhi oleh ajaran Syaikh Muhammad Al-Saman Al-Madani, melalui Al- Palimbanilah tarekat Al-Sammaniyah mendapat lahan subur bukan hanya di Palembang, tetapi juga di bagian-bagian lain di wilayah Nusantara. Al-Samani dan tarekat Al-Sammaniyah menjadi subjek utama dalam tulisan-tulisan para ulama Palembang sesudahnya. Hal ini sesuai apa yang diungkapkan oleh Muhammad Chotib Quzwaini dalam penelitiannya untuk mencapai gelar doctor bahwa Al-Palimbani adalah orang pertama kali memperkenalkan Syaikh Muhammad Al-Samman dan tarekat Al-Sammaniyah ke dalam literatur Melayu. Kemudian baru muncul Muhammad Muhyiddin bin Syaikh Syihabuddin dan Kemas Muhammad bin Ahmad menerjemahkan kitab Makib Syaikh Muhammad al-Samman. Sejak itulah berkembang tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia, yang sampai sekarang masih banyak ditemukan para pengikutnya. Selain di Palembang, tarekat Sammaniyah juga menyebar ke daerah Kalimantan Selatan melalui M. Nafis Al-Banjari. Beliau tidak sempat belajar langsung kepada Syaikh Al-Samman Al-Madani karena beliau sampai di Hijjaz sesudah tahun 1775 M. Ia sempat belajar dengan Mahmud Al-Kurdi, salah seorang tokoh tarekat Khalwatiyah yang terkenal dan mendapatkan ijazah dari guru yang sama dengan Syaikh Al-Samman Al-Madani. Adapun Muhammad Arsyad Al-Banjari, salah seorang teman dari al-Palimbani waktu belajar di Makkah, tampaknya bukan orang yang bersinggungan langsung untuk menyebarkan tarekat Al-Sammaniyah, meskipun ia murid dari Syaikh Al-Samman Al-Madani. Kecuali itu, Muhammad Arsyah Al-Banjari memang telah mempopulerkan qasidah pujian Syaikh Al-Samman yang sampai sekarang masih dipakai. (Sri Mulyati,2004: 194) Tarekat Al-Sammaniyah juga dapat ditemukan di Banten yang dibawa oleh Nawawi Al-Bantani yang hidup satu abad sesudah Al-Palimbani. Ia pernah berguru dengan murid-murid al-Palimbani. Seiring perjalanan waktu, tarekat Al-Sammaniyah di Banten sudah mulai dilupakan orang dan banyak beralih kepada tarekat Rifa’iyyah, Naqsyabandiyah, dan Qadariyah wa Naqsyabandiyyah. Selain itu tarekat Al-Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi Selatan. Pengikutnya berasal dari komunitas Bugis dan Makassar yang bermukin di Kalimantan Timur, Riau, Ambon, Papua dan Malaysia. Mereka selalu mempraktikkan ajaran tarekat Al- Sammaniyah ini, dimana pusat gerakan tarekat ini terdapat di Sulawesi Selatan. Walaupun bagi masyarakat Sulawesi Selatan tarekat Al-Sammaniyah lebih populer dengan nama tarekat Khalwatiyah Sammaniyah, yang dipelopori oleh Syaikh Yusuf Al-Makasari (1627-1699) dan Abdul Bashir Tuang Rappang (wafat 1723) dengan nama tarekat Khalwatiyah Yusuf, yang muncul sejak abad ke-17. Sementara Khalwatiyah Samman masuk ke wilayah Sulawesi Selatan pada awal abad ke-19, dibawa oleh Abdullah Al-Munir, seorang bangsawan Bugis dari Bone. Ketika tarekat Khalwatiyah Yusuf mengalami kemunduran, antara lain disebabkan oleh kurangnya tokoh-tokohnya, tarekat Khalwatiah Samman muncul. Sebagainama perkembangan tarekat Khalwatiyah Yusuf, Tarekat Al-Sammaniyah disambut baik oleh para bangsawan Bugis dan Makassar, serta para peguasa setempat. Selain itu, pendekatan sosial keagamaan turut dipergunakan dengan tetap mempertahankan ritus tradisional yang sebelumnya berlaku. Juga strategi yang dipergunakan dalam penyeberan tarekat ini dilakukan melalui proses perkawinan. Dengan demikian Tarekat al-Sammaniyah ini masih ada pada sebagian daerah di Indonesia, seperti disebutkan diatas. Tarekat ini telah digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah, namun ratib syaikh tarekat Muhammad alSamman masih tetap dibacakan di banyak wilayah di Indoinesia, terlepas dari afiliasi yang bersangkutan kepada suatu tarekat.
  • 18. HALAMAN18 Wafat Para ahli sejarah sampai saat ini belum sepakat tentang kapan dan di mana Al-Palimbani wafat. Ada pula pendapat yang menyatakan beliau belum wafat tetapi diangkat langsung oleh Allah ke surga sesaat setelah berjihad bersama pasukan umat muslim di Kedah dan Patani melawan pasukan kafir dari Siam. Keberadaan makam di perbatasan Kampung Sekom dengan Cenak dalam kawasan Tiba, di Utara Patani, yang disebut-sebut oleh beberapa penulis dari Melayu (Malaysia, Singapura, dan Thailand) sebagai makam Al-Palimbani juga belum dapat dianggap sebagai akhir dari perbedaan pendapat di kalangan para peneliti sejarah. Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Al-Palimbani ada di Palembang. Tetapi Dr. Azyumardi Azra secara tidak langsung menyangkal Quzwain dengan menyatakan, ““Walaupun Al- Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia.” Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785 dan “… kemungkinan besar setelah 1203/1789, yaitu tahun ketika dia menyelesaikan karyanya terakhir dan paling masyhur, Sairus Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, Al-Palimbani berusia 85 tahun.” Referensi: 1. Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: Melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan 2. Quzwain, M. Chatib, 1985, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani, Jakarta: Bulan Bintang 3. Noor, Hasni, AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI (Telaah terhadap Kitab Sayr al-Salikin), Makalah, IAIN (DPK) Universitas Islam Kalimantan Selatan Banjarmasin Fakultas Agama Islam. 4. Marwan, Muhammad, (1999), Manakib Syekh Muhammad Samman al-Madani Ratib, Tawasul dan Wasiatnya, Kandangan Kal.Sel: TB. Sahabat. 5. Ahmad, M. Kursani, 2010, Abd. Al-Shamad Al-Palimbani: Pelopor Tarekat Al-Sammaniyah di Indonesia, Itjihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2010. 6. Shihab, Alwi, (2009), Akar Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Depok: Pustaka IIMaN. 7. Mulyati, Sri, (et.al), (2004), Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Dalam Tulisan Ahmad Abrori, Tarekat Sammaniyah Sejarah Perkembangan Ajarannya, Jakarta: Kencana. 8. Behrend, T.E (ed) 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara: Naskah Perpustakaan Nasional RI, Jakarta: Yayasan Obor. 9. Pudjiastuti, Titik, Memandang Palembang dari khazanah naskahnya, Makalah, Departemen Ilmu Susastra FIB-UI. 10. Ekadjati, Edi, S, 2005, Pengetahuan Geografi Masyarakat Sunda: Tinjauan Berdasarkan Naskah Sunda Kuna dan Catatan Perjalanan Orang Portugis, makalah disajikan dalam Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara, Buton
  • 19. HALAMAN19 11. Gajahnata, KHO, 1986, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI Pres 12. Hanafiah, Djohan, 1995, Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang, Jakarta: Raja Grafindo Persada 13. Ikram, Achadiati dkk, 2004, Katalog Naskah Palembang. Jakarta/Tokyo: Yayasan Naskah Nusantara dan Tokyo University of Foreign Studies 14. Iskandar, Teuku, 1986, Palembang Kraton manuscripts in A Man of Indonesian Letters in Honour of Prof. Teeuw. Dordrecht: Foris Publication Series 15. Mulyadi, SWR, 1994, Kodikologi Melayu di Indonesia. edisi Khusus Lembaran Sastra No. 24. Jakarta: FSUI 16. Sedyawati, Edi dkk, 2004, Sastra Melayu Lintas Daerah, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 17. Sutaarga, Amir dkk, 1973, Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional 18. Sutyani, Titut, 2000. Naskah Palembang Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Sebuah Tinjauan Kodikologis, Skripsi, Depok: FSUI 19. Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo : Ramadhani, 1994) Cet. Ke-10 20. ----------------------- , Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994, cet. Ke-8 21. Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Bandung: Mizan, 1992 22. An-Najar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawauf, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001 23. Next Magazine, Vol. 3