Dokumen tersebut membahas tentang etnopsikiatri yang merupakan studi tentang penyakit jiwa dalam konteks budaya. Ia menjelaskan bahwa konsep penyakit jiwa berbeda antara budaya Barat dan non-Barat. Etnopsikiatri berfokus pada definisi normal dan abnormal, etiologi, penanganan, dan prevalensi penyakit jiwa dalam berbagai budaya. Dokumen ini menunjukkan bahwa penyakit jiwa dipengaruhi
1. ETNOPSIKIATRI
KELOMPOK 5 :
- DANTY NOVITASARI
- SETIAWATI
- TRI SETYO PRABOWO
2. PENDAHULUAN
Konsep-konsep tentang sebab-sebab penyakit
dalam masyarakat rumpun dan petani, sebagaimana
yang telah kita lihat, berbeda mendasar dengan konsep-
konsep ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini kita telah
mengamati perwujudan sistem-sistem kepercayaan itu,
terutama dalam konteks penyakit akut, penyakit infeksi,
dan penyakit yang melemahkan, yang terbanyak
mengambil korban penduduk dunia. Namun etnomedisin
juga mencakup studi tentang penyakit jiwa. Dalam bab
ini perhatian ditunjukkan kepada bidang pokok kedua
yang merupakan perhatian dari etnomedisin, suatu
bidang yang biasanya disebut sebagai “psikiatri
transkultural” atau “psikiatri lintas-budaya” atau
etnopsikiatri (Kiev, 1972)
3. AWAL DARI ETNOPSIKIATRI
Perhatian awal dari para ahli antropologi terhadap
penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang
etnomedisin, perhatian mereka itu mulai dari pemahaman
atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan-
kekuatan budaya yang berpengaruh membentuk
kepribadian. Perhatian utama para peneliti tersebut
bukanlah mengenai masa kini, melainkan mengenai
“normal” dan “abnormal” definisi penyakit dalam
berbagai masyarakat, pengobatannya, demografi dari
penyakit mental dan sebagainya, namun lebih
merupakan masalah “struktur kepribadian dasar” dan
“kepribadian moral”. Istilah-istilah “etnopsikiatri”,
“etnopsikiatri lintas-budaya”, dan “psikiatri transkultural”,
namun sebagai ahli antropologi mereka menaruh
perhatian mereka terhadap serangkaian pertanyaan
yang berhubungan dengan konsep “normal” dan
“abnormal” dalam lingkungan lintas-budaya, dengan
konsep-konsep pribumi dan mengenai gangguan psikiatri,
cara-cara penyembuhan, dan topik-topik lain yang
berhubungan.
4. Dalam rangka perhatian ini para peneliti
sepenuhnya berpegang pada data dan teori aliran,
“kebudayaan dan kepribadian”. Khususnya, ada
beberapa pertanyaan yang ditangani oleh para ahli
antropologi, antara lain sebagai berikut:
1. Defini budaya tentang “normal” dan “abnormal”
2. Penjelasan non-barat tentang penyakit jiwa
3. Cara-cara dari segi budaya untuk menangani
tingkahlaku menyimpang yang abnormal
4. Terjadinya penyakit jiwa dalam masyarakat dengan
kompleksitasyang berbeda
5. Demografi penyakit jiwa
5. DEFINISI BUDAYA TENTANG NORMAL DAN
ABNORMAL
Berbagai tingkah laku luar biasa yang dianggap psikiater
Barat sebagai penyakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai
masyarakat non-Barat. Tidak semua jenis tingkahlaku luar biasa yang
dikenal dalam masyarakat (Amerika) terdapat dalam setiap
masyarakat lain, dan dalam beberapa kebudayaan, telah
dideskripsikan adanya sindroma yang asing bagi sistem klasifikasi.
1. Kasus “teori label”
Adanya variasa yang luas dari kelompok sindroma dan
nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat
dunia, telah mendorong para ilmuan mengenai tingkahlaku untuk
menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu “mitos”, suatu
fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota masyarakat yang
“beres” yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk
menjelaskan, memberikan sanksi dan mengendalikan tingkah laku
sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkah
laku yang kadang-kadang hanya “berbeda” dengan tingkah laku
mereka sendiri. Argumen pokok yang mereka kemukakan adalah
bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang,
betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap
dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan.
6. 2. Argumentasi terhadap pemberian label
Walaupun teori label menarik sebagai suatu
pendekatan untuk memahami dan menangani penyakit
jiwa, namun teori itu tidak banYak diterima oleh para ahli
antopologi yang bekerja dalam bidang lintas-budaya
edgerton, misalnya tidak menyukai label psikiatri yang
bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasi sakit.
Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa menurut
pendapatnya, merupakan bentuk dari suatu proses
negosiasi suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus
ekstensif dalam masyarakat. Edgerton mempelajari proses
negoisasi diantara pasien, penyembuh, kerabat dan
handaitolan dalam pemberian label untuk penyakit jiwa
pada empat kelompok masyarakat di Afrika dan
menyimpulkan bahwa “Akibat tekanan negoisasi sosial,
mudah sekali timbul presepsi tentang sakit jiwa tanpa
pemberian cap selanjutnya, memberi cap pada tindakan
selanjutnya, bahkan ada pula psikosis tanpa presepsi”.
7. ETIOLOGI-ETIOLOGI PENYAKIT JIWA NON-BARAT
Diantara orang Eskimo di pulau St. Lawrence yang
telah terakumulasi, kesurupan dihubungkan dengan
shamanisme, namun tidak dengan gangguan spikiatrik berat,
walaupun hal ini berlaku di kalangan penduduk Eskimo lainnya
yang kurang terakumulasi, magi dan ilmu sihir merupakan
penjelasan, sebagai mana halnya dengan faktor stres yang
dikatakan akibat “terlalu khawatir” dan “mudah takut” dan
sebagainya. Faktor keturunan dijelaskan dengan sindroma
“lamban belajar” yang dideskripsikan informan sebagai
terdapat dalam keluarga-keluarga. Pelanggaran tabu,
termasuk kawin sumbang, seringkali disebut-sebut sebagai
penyebab ketidakwarasan. Seperti dapat dilihat, suatu
karakteristik dari banyak kebudayaan non-Barat adalah
adanya suatu sintesis dari suatu sistem medis dengan sistem
kepercayaan lainnya, dalam hal ini merupakan masalah
analitis yang serius bagi para pengamat Barat. Apabila dibuat
generalisasi atas perbedaan etiologi kejiwaaan Barat dan
non-Barat, faktor psikologis, pengalaman hidup dan stres
nampak kurang memainkan peranan dibandingkan dengan
yang terdapat dalam masyarakat Barat.
8. CARA-CARA BUDAYA DALAM MENANGANI
PENYAKIT JIWA
1. Siapa yang menyembuhkan?
Walaupun banyak bentuk tingkah laku menyimpang
nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya,
nilai sosial yang diberikan untuk tingkah laku yang menyimpang,
dan pengobatannya sangat bervariasi. Para ahli antropologi
terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial
dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia istilah
tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang
telah memiliki kekuatan supranatural dan kontak dengan roh-roh,
biasanya diperoleh melalui “pemilihan” oleh para roh. Dalam
pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan
kesurupan, dimana mereka berhubungan dengan roh
pembinanya untuk mendiagnosa penyakit. Para penganut
paham kebudayaan relativisme dengan ekstrim menggunakan
contoh shamanisme sebagai hambatan utama dalam
argumentasi mereka. Bahwa apa yang disebut penyakit jiwa
adalah sesuatu yang bersifat khas kebudayaan. Banyak tulisan
antropologi menyebutkan bahwa shaman adalah seorang yang
tidak satabil dan sering mengalami delusi&mungkin ia adalah
9. 2. Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa
Dalam banyak masyarakat non-Barat, mayoritas
orang yang menunjukkan tingkah laku abnormal, kalau
mereka tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan
gerak dalam masyarakat mereka; kebutuhan mereka
dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Menurut Lambo
dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis
berat dan cacat mentalpun diberi tempat sebagai warga
masyarakat yang menjalankan fungsinya dalam
masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus diri
mereka sendiri sampai pada tingkatan kecukupan
tertentu. Kontras antara tingkah laku ahli terapi Barat dan
penyembuh tradisional juga menyolok. Penyembuh Barat
tidak boleh terlibat secara pribadi dengan pasiennya, ia
harus bersikap empati, tidak boleh memvonis, harus
bersifat hangat dan manusiawi, serta menunjukkan
tingkah laku yang menuntuk keterlibatan pasien dengan
penyembuh itu melalui fenomena penyerahan. Seorang
ahli terapi Barat, nyatanya sangat berbeda dalam
pendekatannya kepada pasien daripada dokter biasa.
Sebaliknya, seorang penyembuh jiwa non-Barat yang
terlibat dalam penyembuhan utama bertindak saat
halnya seperti ketika ia mengobati penyakit fisik.
10. 3. Tujuan perawatan
Tujuan perawatan pada kedua pasien juga sangat
berbeda. Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari
perawatan simptomatik, dari hal-hal seperti gerakan tics dan
fobia sampai “pemongkaran besar-besaran kepribadian
pasien”. Terapi Barat dalam arti tertentu, adalah redukasi;
pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan
baru tentang dirinya sendiri, dengan harga diri yang lebih
besar, agar ia bebas dari rasa sakit subjektif, kekhawatiran
dan stres, mungkin untuk mencapai kebebasan yang lebih
besar dan dapat berfungsi lebih efektif lagi dalam
masyarakat. Sebaliknya, ahli-ahli terapi non-Barat sedikit
sekali menggunakan reduksi, memperkuat ego, dan
modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam
pendekatannya, bertujuan mendapat hasil yang lebih
cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala
abnormal yang dibawa pasien kepadanya. Perbedaan
lainnya lagi adalah hubungan verbal antara ahli terapi
dengan pasien merupakan dasar bagi perawatan Barat,
maka pada bagian terbesar masyarakat non-Barat, banyak
komunikasi verbal yang berlangsung adalah antara
penyembah dengan roh-roh, dan melibatkan pasien secara
langsung, komunikasi itu ditujukan padanya dan tidak selalu
memerlukan jawaban.
11. PERBANDINGAN TIMBULNYA PENYAKIT JIWA
DALAM MASYARAKAT YANG BEBEDA
1. Mitos eksistensi “primitif” yang bebas-stres
Orang Barat sejak lama percaya dan ingin
mempercayai bahwa dalam masyarakat sederhana yang
belum dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam
hubungan alami satu sama lain, suatu hubungan yang
ditandai dengan kasih-sayang, kerjasama dan gotong
royong. Logikanya, karena tingkatan stres mestinya rendah
dalam suatu masyarakat yang demikian, maka penyakit
kejiwaan yang berasal dari kehidupan yang penuh stres
tentunya juga jarang. Stereotip “nobel savage” (Si Liar
yang Agung) mengenai kehidupan yang primitif ini telah
lama sirna oleh fakta etnografis, namun bayangan itu
masih tertinggal dan mewarnai pandangan mengenai
penyakit jiwa. Para ahli antropolgi psikiater yang telah
melakukan studi terhadap berbagai masyarakat tradisional
sependapat bahwa cara-cara bagaimana penderita sakit
jiwa dirawat nampaknya mengurangi besarnya masalah
itu; mereka juga sependapat bahwa, terpisah dari stres
yang diakibatkan oleh perubahan sosial-budaya yang
cepat, masyarakat tersebut bukannya asing terhadap
tingkah laku abnormal.
12. 2. Variasi dalam pola-pola pokok tingkah laku
abnormal
Psikiater dan ahli antropologi yang percaya bahwa pola-
pola dari tingkah laku abnormal yang diakui oleh para psikiater
Barat dapat ditemukan diseluruh dunia. Ada variasi penting
dalam bentuk, frekuensi, distribusi dan implikasi sosial dari tingkah
laku demikian. Leighton misalnya, menemukan bahwa banyak
sekali pola-pola gejala yang ditunjukan oleh para pasien Yoruba
adalah yang dikenal dalam ilmu psikiatri. Namun ia juga
menemukan kesenjangan yang penting, terutama gejala-gejala
fobia yang komplusif-obsesi, yang hampir tak ada. Gejala-gejala
tersebut tidak ditentukan seperti itu, walaupun komponen-
komponen dari sindroma seperti kehilangan gairah hidup,
kekhawatiran yang ekstrim, vitalitas yang lemah, dan sebagainya,
muncul dalam konteks lain. Psikofisiologi, psikoneurosis,
kepribadian dan gejala kekacauan sosiopati, setuju bahwa
gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap
tidak cukup serius untuk diberi cap “penyakit”. Banyak studi
didasarkan pada statistik rumah sakit, namun di negara-negara
Dunia Ketiga, dengan pelayanan kesehatan jiwa yang kurang
berkembang, angka pendaftaran masuk rumah sakit hampir tidak
13. PENYAKIT JIWA DAN PERUBAHAN
Apabila bukti tidak cukup baik mengenai perbandingan
frekuensi dari berbagai jenis penyakit jiwa yang berbeda-beda
dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya, maka
para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik,
sejauh yang berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan
sosial-budaya yang cepat: perubahan yang demikian itu
menghasilakan angka rata-rata yang tinggi tentang terjadinya
insiden penyakit. Ada berbagai masyarakat yang memiliki
kapasitas yang mengagumkan dalam menyerap stres dan
menyediakan kesempatan alternatif dalam menghadapi
kemalangan yang ekstrim dalam situasi yang berubah. Misalnya,
dikalangan pemukim Jepang di California pada Perang Dunia II,
“Komunitas dan keluarga etnis-struktur mereka, fungsi mereka,
nilai mereka anut, dan „kebudayaan‟ mereka,” merupakan
sumber-sumber kekuatan yang memungkinkan mereka bertahan
dalam kehidupan di kamp tahanan dengan jumlah minuman
dari mereka yang mengalami kehancuran mental. Namun,
setelah orang Jepang telah semakin berakumulasi dan hampir
sama dengan penduduk Amerika lainnya, ada bukti yang
menunjukkan tentang adanya peningkatan patologi dari
14. GANGGUAN-GANGGUAN BUDAYA KHUSUS
Dalam bidang penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang
sedemikian menarik bagi ahli-ahli antropologi daripada yang disebut
sebagai penyakit budaya khusus. Salah satu dari penyakit-penyakit
yang terkenal itu „Histeria kutub utara‟ atau arctic hysteria (dikenal
sebagai pibloktoq oleh orang eskimo) windigo, suatu obsesi
kanibalistik di kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian
timur laut; running amok, pembunuhan yang membabi buta antara
kaum laki-laki Malaysia; latah, suatu reaksi histeria yang bersifat
meniru, hampir serupa dengan histeria Kutub orang Siberia; koro,
ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya dikalangan orang
laki-laki Cina; dan sustro, suatu kondisi kecemasan-depresif yang
dilukiskan dibanyak daerah di Amerika Latin. Foulks mengenal dua
sindroma pokok: yang pertama ditandai oleh suatu mania meniru
yang tanpa pemikiran, yang hanya ditemukan di Siberia, keadaan
disosiasif gila yang ditemukan pada semua kelompok penduduk
Kutub Utara. Kedua bentuk ditandai oleh serangan tiba-tiba dari
tingkah laku ganjil yang berlangsung hanya sebentar, diikuti oleh
hilangnya gejala-gejala akut dan kembali keadaan normal. Para
penderita pibloktoq merobek-robek baju mereka sendiri, sering
bergumul dengan orang lain dengan memiliki tenaga yang melebihi
kekuatan manusia, menjatuhkan diri ketumpukan salju atau meniru
15. Kesimpulan
Kesimpulan Foulks menampilkan suatu kemajuan besar karena,
para ahli antropologi umumnya bersalah karena mengikuti secara
membabi buta model yang terdahulu tentang kebudayaan dan
kepribadian sebagai cara untuk menjelaskan penyakit jiwa dan
mereka gagal untuk mengakui bahwa banyak kerusakan organik yang
diketahui telah melahirkan gejala-gejala, yang pada dasarnya tidak
bisa dibedakan dari gejala yang bisa pula dihasilkan oleh mekanisme
psikososial. Suatu kerangka berpikir psikososial bagi studi tentang
penyakit jiwa, dibandingkan dengan kerangka fisiologis, tentu saja
lebih lazim bagi para antropologi, karena metode penelitiannya –
terutama metode observasi – serata data itu sendiri yang
“menjelaskan” tentang tingkahlaku adalah yang paling dikenal oleh
mereka. Wallace menjelaskan kebutaan itu melalui presfektif sejarah:
Sewaktu ahli antropologi, yang diawali dengan makalah Sapir tahun
1927, “The Unconscious Patterning of Behavior in Society” secara serius
mulai meneliti tingkahlaku dan individu, dan pada teori psikiatri,
khususnya teori Freud, telah dikembangkan dengan baik,
pengetahuan tentang genetik dan struktur biokimia yang berkenaan
dengan tingkah laku masih sedemikian kurangnya dikembangkan,
sehingga tidak amat berpengaruh terhadap perkembangan teori.
Kemajuan besar telah terjadi dalam hal membuka rahasia
kimia otak. Banyak penelitian berpusat pada transmiter syaraf, zat
yang disebut sebagai acetylcholine, dopamine, dan neropinephrine,
yang merupakan utusan kimia dimana sel otak yang jumlahnya jutaan
bisa berkomunikasi satu sama lain.