SlideShare a Scribd company logo
1 of 16
ETNOPSIKIATRI
             KELOMPOK 5 :
    -    DANTY NOVITASARI
           - SETIAWATI
-       TRI SETYO PRABOWO
PENDAHULUAN
        Konsep-konsep tentang sebab-sebab penyakit
 dalam masyarakat rumpun dan petani, sebagaimana
 yang telah kita lihat, berbeda mendasar dengan konsep-
 konsep ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini kita telah
 mengamati perwujudan sistem-sistem kepercayaan itu,
 terutama dalam konteks penyakit akut, penyakit infeksi,
 dan penyakit yang melemahkan, yang terbanyak
 mengambil korban penduduk dunia. Namun etnomedisin
 juga mencakup studi tentang penyakit jiwa. Dalam bab
 ini perhatian ditunjukkan kepada bidang pokok kedua
 yang merupakan perhatian dari etnomedisin, suatu
 bidang yang biasanya disebut sebagai “psikiatri
 transkultural”    atau     “psikiatri lintas-budaya” atau
 etnopsikiatri (Kiev, 1972)
AWAL DARI ETNOPSIKIATRI
         Perhatian awal dari para ahli antropologi terhadap
  penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang
  etnomedisin, perhatian mereka itu mulai dari pemahaman
  atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan-
  kekuatan budaya yang berpengaruh membentuk
  kepribadian. Perhatian utama para peneliti tersebut
  bukanlah mengenai masa kini, melainkan mengenai
  “normal” dan “abnormal” definisi penyakit dalam
  berbagai masyarakat, pengobatannya, demografi dari
  penyakit mental dan sebagainya, namun lebih
  merupakan masalah “struktur kepribadian dasar” dan
  “kepribadian       moral”.   Istilah-istilah “etnopsikiatri”,
  “etnopsikiatri lintas-budaya”, dan “psikiatri transkultural”,
  namun sebagai ahli antropologi mereka menaruh
  perhatian mereka terhadap serangkaian pertanyaan
  yang berhubungan dengan konsep “normal” dan
  “abnormal” dalam lingkungan lintas-budaya, dengan
  konsep-konsep pribumi dan mengenai gangguan psikiatri,
  cara-cara penyembuhan, dan topik-topik lain yang
  berhubungan.
Dalam    rangka     perhatian    ini  para peneliti
sepenuhnya berpegang pada data dan teori aliran,
“kebudayaan dan kepribadian”. Khususnya, ada
beberapa pertanyaan yang ditangani oleh para ahli
antropologi, antara lain sebagai berikut:
  1.   Defini budaya tentang “normal” dan “abnormal”
  2.   Penjelasan non-barat tentang penyakit jiwa
  3.   Cara-cara dari segi budaya untuk menangani
       tingkahlaku menyimpang yang abnormal
  4.   Terjadinya penyakit jiwa dalam masyarakat dengan
       kompleksitasyang berbeda
  5.   Demografi penyakit jiwa
DEFINISI BUDAYA TENTANG NORMAL DAN
ABNORMAL
          Berbagai tingkah laku luar biasa yang dianggap psikiater
  Barat sebagai penyakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai
  masyarakat non-Barat. Tidak semua jenis tingkahlaku luar biasa yang
  dikenal dalam     masyarakat (Amerika) terdapat dalam setiap
  masyarakat lain, dan dalam beberapa kebudayaan, telah
  dideskripsikan adanya sindroma yang asing bagi sistem klasifikasi.

  1. Kasus “teori label”
          Adanya variasa yang luas dari kelompok sindroma dan
  nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat
  dunia, telah mendorong para ilmuan mengenai tingkahlaku untuk
  menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu “mitos”, suatu
  fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota masyarakat yang
  “beres” yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk
  menjelaskan, memberikan sanksi dan mengendalikan tingkah laku
  sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkah
  laku yang kadang-kadang hanya “berbeda” dengan tingkah laku
  mereka sendiri. Argumen pokok yang mereka kemukakan adalah
  bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang,
  betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap
  dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan.
2. Argumentasi terhadap pemberian label
       Walaupun teori label menarik sebagai suatu
pendekatan untuk memahami dan menangani penyakit
jiwa, namun teori itu tidak banYak diterima oleh para ahli
antopologi yang bekerja dalam bidang lintas-budaya
edgerton, misalnya tidak menyukai label psikiatri yang
bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasi sakit.
Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa menurut
pendapatnya, merupakan bentuk dari suatu proses
negosiasi suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus
ekstensif dalam masyarakat. Edgerton mempelajari proses
negoisasi diantara pasien, penyembuh, kerabat dan
handaitolan dalam pemberian label untuk penyakit jiwa
pada empat kelompok masyarakat di Afrika dan
menyimpulkan bahwa “Akibat tekanan negoisasi sosial,
mudah sekali timbul presepsi tentang sakit jiwa tanpa
pemberian cap selanjutnya, memberi cap pada tindakan
selanjutnya, bahkan ada pula psikosis tanpa presepsi”.
ETIOLOGI-ETIOLOGI PENYAKIT JIWA NON-BARAT
          Diantara orang Eskimo di pulau St. Lawrence yang
 telah     terakumulasi,   kesurupan   dihubungkan    dengan
 shamanisme, namun tidak dengan gangguan spikiatrik berat,
 walaupun hal ini berlaku di kalangan penduduk Eskimo lainnya
 yang kurang terakumulasi, magi dan ilmu sihir merupakan
 penjelasan, sebagai mana halnya dengan faktor stres yang
 dikatakan akibat “terlalu khawatir” dan “mudah takut” dan
 sebagainya. Faktor keturunan dijelaskan dengan sindroma
 “lamban belajar” yang dideskripsikan informan sebagai
 terdapat dalam keluarga-keluarga. Pelanggaran tabu,
 termasuk kawin sumbang, seringkali disebut-sebut sebagai
 penyebab ketidakwarasan. Seperti dapat dilihat, suatu
 karakteristik dari banyak kebudayaan non-Barat adalah
 adanya suatu sintesis dari suatu sistem medis dengan sistem
 kepercayaan lainnya, dalam hal ini merupakan masalah
 analitis yang serius bagi para pengamat Barat. Apabila dibuat
 generalisasi atas perbedaan etiologi kejiwaaan Barat dan
 non-Barat, faktor psikologis, pengalaman hidup dan stres
 nampak kurang memainkan peranan dibandingkan dengan
 yang terdapat dalam masyarakat Barat.
CARA-CARA BUDAYA DALAM MENANGANI
PENYAKIT JIWA
        1. Siapa yang menyembuhkan?
          Walaupun banyak bentuk tingkah laku menyimpang
 nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya,
 nilai sosial yang diberikan untuk tingkah laku yang menyimpang,
 dan pengobatannya sangat bervariasi. Para ahli antropologi
 terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial
 dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia istilah
 tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang
 telah memiliki kekuatan supranatural dan kontak dengan roh-roh,
 biasanya diperoleh melalui “pemilihan” oleh para roh. Dalam
 pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan
 kesurupan, dimana mereka berhubungan dengan roh
 pembinanya untuk mendiagnosa penyakit. Para penganut
 paham kebudayaan relativisme dengan ekstrim menggunakan
 contoh shamanisme sebagai hambatan utama dalam
 argumentasi mereka. Bahwa apa yang disebut penyakit jiwa
 adalah sesuatu yang bersifat khas kebudayaan. Banyak tulisan
 antropologi menyebutkan bahwa shaman adalah seorang yang
 tidak satabil dan sering mengalami delusi&mungkin ia adalah
2. Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa
        Dalam banyak masyarakat non-Barat, mayoritas
orang yang menunjukkan tingkah laku abnormal, kalau
mereka tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan
gerak dalam masyarakat mereka; kebutuhan mereka
dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Menurut Lambo
dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis
berat dan cacat mentalpun diberi tempat sebagai warga
masyarakat      yang     menjalankan    fungsinya    dalam
masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus diri
mereka sendiri sampai pada tingkatan kecukupan
tertentu. Kontras antara tingkah laku ahli terapi Barat dan
penyembuh tradisional juga menyolok. Penyembuh Barat
tidak boleh terlibat secara pribadi dengan pasiennya, ia
harus bersikap empati, tidak boleh memvonis, harus
bersifat hangat dan manusiawi, serta menunjukkan
tingkah laku yang menuntuk keterlibatan pasien dengan
penyembuh itu melalui fenomena penyerahan. Seorang
ahli terapi Barat, nyatanya sangat berbeda dalam
pendekatannya kepada pasien daripada dokter biasa.
Sebaliknya, seorang penyembuh jiwa non-Barat yang
terlibat dalam penyembuhan utama bertindak saat
halnya seperti ketika ia mengobati penyakit fisik.
3. Tujuan perawatan
       Tujuan perawatan pada kedua pasien juga sangat
berbeda. Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari
perawatan simptomatik, dari hal-hal seperti gerakan tics dan
fobia sampai “pemongkaran besar-besaran kepribadian
pasien”. Terapi Barat dalam arti tertentu, adalah redukasi;
pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan
baru tentang dirinya sendiri, dengan harga diri yang lebih
besar, agar ia bebas dari rasa sakit subjektif, kekhawatiran
dan stres, mungkin untuk mencapai kebebasan yang lebih
besar dan dapat berfungsi lebih efektif lagi dalam
masyarakat. Sebaliknya, ahli-ahli terapi non-Barat sedikit
sekali menggunakan reduksi, memperkuat ego, dan
modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam
pendekatannya, bertujuan mendapat hasil yang lebih
cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala
abnormal yang dibawa pasien kepadanya. Perbedaan
lainnya lagi adalah hubungan verbal antara ahli terapi
dengan pasien merupakan dasar bagi perawatan Barat,
maka pada bagian terbesar masyarakat non-Barat, banyak
komunikasi verbal yang berlangsung adalah antara
penyembah dengan roh-roh, dan melibatkan pasien secara
langsung, komunikasi itu ditujukan padanya dan tidak selalu
memerlukan jawaban.
PERBANDINGAN TIMBULNYA PENYAKIT JIWA
DALAM MASYARAKAT YANG BEBEDA
        1. Mitos eksistensi “primitif” yang bebas-stres
        Orang Barat sejak lama percaya dan ingin
 mempercayai bahwa dalam masyarakat sederhana yang
 belum dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam
 hubungan alami satu sama lain, suatu hubungan yang
 ditandai dengan kasih-sayang, kerjasama dan gotong
 royong. Logikanya, karena tingkatan stres mestinya rendah
 dalam suatu masyarakat yang demikian, maka penyakit
 kejiwaan yang berasal dari kehidupan yang penuh stres
 tentunya juga jarang. Stereotip “nobel savage” (Si Liar
 yang Agung) mengenai kehidupan yang primitif ini telah
 lama sirna oleh fakta etnografis, namun bayangan itu
 masih tertinggal dan mewarnai pandangan mengenai
 penyakit jiwa. Para ahli antropolgi psikiater yang telah
 melakukan studi terhadap berbagai masyarakat tradisional
 sependapat bahwa cara-cara bagaimana penderita sakit
 jiwa dirawat nampaknya mengurangi besarnya masalah
 itu; mereka juga sependapat bahwa, terpisah dari stres
 yang diakibatkan oleh perubahan sosial-budaya yang
 cepat, masyarakat tersebut bukannya asing terhadap
 tingkah laku abnormal.
2. Variasi dalam pola-pola pokok tingkah laku
abnormal
        Psikiater dan ahli antropologi yang percaya bahwa pola-
pola dari tingkah laku abnormal yang diakui oleh para psikiater
Barat dapat ditemukan diseluruh dunia. Ada variasi penting
dalam bentuk, frekuensi, distribusi dan implikasi sosial dari tingkah
laku demikian. Leighton misalnya, menemukan bahwa banyak
sekali pola-pola gejala yang ditunjukan oleh para pasien Yoruba
adalah yang dikenal dalam ilmu psikiatri. Namun ia juga
menemukan kesenjangan yang penting, terutama gejala-gejala
fobia yang komplusif-obsesi, yang hampir tak ada. Gejala-gejala
tersebut tidak ditentukan seperti itu, walaupun komponen-
komponen dari sindroma seperti kehilangan gairah hidup,
kekhawatiran yang ekstrim, vitalitas yang lemah, dan sebagainya,
muncul dalam konteks lain. Psikofisiologi, psikoneurosis,
kepribadian dan gejala kekacauan sosiopati, setuju bahwa
gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap
tidak cukup serius untuk diberi cap “penyakit”. Banyak studi
didasarkan pada statistik rumah sakit, namun di negara-negara
Dunia Ketiga, dengan pelayanan kesehatan jiwa yang kurang
berkembang, angka pendaftaran masuk rumah sakit hampir tidak
PENYAKIT JIWA DAN PERUBAHAN
         Apabila bukti tidak cukup baik mengenai perbandingan
 frekuensi dari berbagai jenis penyakit jiwa yang berbeda-beda
 dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya, maka
 para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik,
 sejauh yang berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan
 sosial-budaya yang cepat: perubahan yang demikian itu
 menghasilakan angka rata-rata yang tinggi tentang terjadinya
 insiden penyakit. Ada berbagai masyarakat yang memiliki
 kapasitas yang mengagumkan dalam menyerap stres dan
 menyediakan kesempatan alternatif dalam menghadapi
 kemalangan yang ekstrim dalam situasi yang berubah. Misalnya,
 dikalangan pemukim Jepang di California pada Perang Dunia II,
 “Komunitas dan keluarga etnis-struktur mereka, fungsi mereka,
 nilai mereka anut, dan „kebudayaan‟ mereka,” merupakan
 sumber-sumber kekuatan yang memungkinkan mereka bertahan
 dalam kehidupan di kamp tahanan dengan jumlah minuman
 dari mereka yang mengalami kehancuran mental. Namun,
 setelah orang Jepang telah semakin berakumulasi dan hampir
 sama dengan penduduk Amerika lainnya, ada bukti yang
 menunjukkan tentang adanya peningkatan patologi dari
GANGGUAN-GANGGUAN BUDAYA KHUSUS
           Dalam bidang penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang
 sedemikian menarik bagi ahli-ahli antropologi daripada yang disebut
 sebagai penyakit budaya khusus. Salah satu dari penyakit-penyakit
 yang terkenal itu „Histeria kutub utara‟ atau arctic hysteria (dikenal
 sebagai pibloktoq oleh orang eskimo) windigo, suatu obsesi
 kanibalistik di kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian
 timur laut; running amok, pembunuhan yang membabi buta antara
 kaum laki-laki Malaysia; latah, suatu reaksi histeria yang bersifat
 meniru, hampir serupa dengan histeria Kutub orang Siberia; koro,
 ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya dikalangan orang
 laki-laki Cina; dan sustro, suatu kondisi kecemasan-depresif yang
 dilukiskan dibanyak daerah di Amerika Latin. Foulks mengenal dua
 sindroma pokok: yang pertama ditandai oleh suatu mania meniru
 yang tanpa pemikiran, yang hanya ditemukan di Siberia, keadaan
 disosiasif gila yang ditemukan pada semua kelompok penduduk
 Kutub Utara. Kedua bentuk ditandai oleh serangan tiba-tiba dari
 tingkah laku ganjil yang berlangsung hanya sebentar, diikuti oleh
 hilangnya gejala-gejala akut dan kembali keadaan normal. Para
 penderita pibloktoq merobek-robek baju mereka sendiri, sering
 bergumul dengan orang lain dengan memiliki tenaga yang melebihi
 kekuatan manusia, menjatuhkan diri ketumpukan salju atau meniru
Kesimpulan
        Kesimpulan Foulks menampilkan suatu kemajuan besar karena,
para ahli antropologi umumnya bersalah karena mengikuti secara
membabi buta model yang terdahulu tentang kebudayaan dan
kepribadian sebagai cara untuk menjelaskan penyakit jiwa dan
mereka gagal untuk mengakui bahwa banyak kerusakan organik yang
diketahui telah melahirkan gejala-gejala, yang pada dasarnya tidak
bisa dibedakan dari gejala yang bisa pula dihasilkan oleh mekanisme
psikososial. Suatu kerangka berpikir psikososial bagi studi tentang
penyakit jiwa, dibandingkan dengan kerangka fisiologis, tentu saja
lebih lazim bagi para antropologi, karena metode penelitiannya –
terutama metode observasi – serata data itu sendiri yang
“menjelaskan” tentang tingkahlaku adalah yang paling dikenal oleh
mereka. Wallace menjelaskan kebutaan itu melalui presfektif sejarah:
Sewaktu ahli antropologi, yang diawali dengan makalah Sapir tahun
1927, “The Unconscious Patterning of Behavior in Society” secara serius
mulai meneliti tingkahlaku dan individu, dan pada teori psikiatri,
khususnya teori Freud, telah dikembangkan dengan baik,
pengetahuan tentang genetik dan struktur biokimia yang berkenaan
dengan tingkah laku masih sedemikian kurangnya dikembangkan,
sehingga tidak amat berpengaruh terhadap perkembangan teori.
        Kemajuan besar telah terjadi dalam hal membuka rahasia
kimia otak. Banyak penelitian berpusat pada transmiter syaraf, zat
yang disebut sebagai acetylcholine, dopamine, dan neropinephrine,
yang merupakan utusan kimia dimana sel otak yang jumlahnya jutaan
bisa berkomunikasi satu sama lain.
Thank you
    

More Related Content

What's hot

Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7
tristyanto
 
Jenis dan model organisasi kesehatan
Jenis dan model organisasi kesehatanJenis dan model organisasi kesehatan
Jenis dan model organisasi kesehatan
Nova Ci Necis
 
12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan
Agus Candra
 
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman SejawatHubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Agustin Malianti
 
Surveillans epidemiologi
Surveillans epidemiologiSurveillans epidemiologi
Surveillans epidemiologi
raysa hasdi
 
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwaKomunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
-Yusie Aprilia-
 
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
Thonce Thesia
 

What's hot (20)

Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7Konsep penyebab penyakit bag.7
Konsep penyebab penyakit bag.7
 
Jenis dan model organisasi kesehatan
Jenis dan model organisasi kesehatanJenis dan model organisasi kesehatan
Jenis dan model organisasi kesehatan
 
Dasar surveilans
Dasar surveilansDasar surveilans
Dasar surveilans
 
Konsepsehat sakit
Konsepsehat sakitKonsepsehat sakit
Konsepsehat sakit
 
Promosi kesehatan pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan pelayanan kesehatanPromosi kesehatan pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan pelayanan kesehatan
 
Etnomedisin
EtnomedisinEtnomedisin
Etnomedisin
 
12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan12. evaluasi program promosi kesehatan
12. evaluasi program promosi kesehatan
 
Perencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan Lingkungan
Perencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan LingkunganPerencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan Lingkungan
Perencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan Lingkungan
 
Bab i epidemiologi dasar (part ii konsep sehat sakit dan triad)
Bab i epidemiologi dasar (part ii konsep sehat sakit dan triad)Bab i epidemiologi dasar (part ii konsep sehat sakit dan triad)
Bab i epidemiologi dasar (part ii konsep sehat sakit dan triad)
 
PPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi KesehatanPPT Promosi Kesehatan
PPT Promosi Kesehatan
 
Bab viii surveilans epid
Bab viii surveilans epidBab viii surveilans epid
Bab viii surveilans epid
 
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman SejawatHubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
 
Makalah patient safety
Makalah patient safetyMakalah patient safety
Makalah patient safety
 
Surveillans epidemiologi
Surveillans epidemiologiSurveillans epidemiologi
Surveillans epidemiologi
 
Epid k3
Epid k3Epid k3
Epid k3
 
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
141050362 kasus-pelanggaran-etika-keperawatan(1)
 
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwaKomunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa
 
Makalah sehat sakit
Makalah sehat sakitMakalah sehat sakit
Makalah sehat sakit
 
Soal pengkajian penderita hiv
Soal pengkajian penderita hivSoal pengkajian penderita hiv
Soal pengkajian penderita hiv
 
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
Epidemiologi kesehatan-lingkungan1
 

Similar to Etnopsikiatri

Antropologi 1
Antropologi 1Antropologi 1
Antropologi 1
ridhar
 
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUMPENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
FitriAmaliyah
 
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
Pangestu S
 
Konsep transkultural
Konsep transkulturalKonsep transkultural
Konsep transkultural
Efan Porto
 

Similar to Etnopsikiatri (20)

(TM 11) Etnomedisin.pdf
(TM 11) Etnomedisin.pdf(TM 11) Etnomedisin.pdf
(TM 11) Etnomedisin.pdf
 
(TM 11) Etnomedisin.pdf
(TM 11) Etnomedisin.pdf(TM 11) Etnomedisin.pdf
(TM 11) Etnomedisin.pdf
 
Perilaku ab
Perilaku abPerilaku ab
Perilaku ab
 
Perilaku ab
Perilaku abPerilaku ab
Perilaku ab
 
Perilaku ab
Perilaku abPerilaku ab
Perilaku ab
 
Perilaku ab
Perilaku abPerilaku ab
Perilaku ab
 
Perilaku ab
Perilaku abPerilaku ab
Perilaku ab
 
Gangguan Psikologis dari Tinjauan Psikologi Lintas
Gangguan Psikologis dari Tinjauan Psikologi LintasGangguan Psikologis dari Tinjauan Psikologi Lintas
Gangguan Psikologis dari Tinjauan Psikologi Lintas
 
Antropologi 1
Antropologi 1Antropologi 1
Antropologi 1
 
kesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.pptkesehatan-mental.ppt
kesehatan-mental.ppt
 
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUMPENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
PENGANTAR PSIKOLOGI UMUM
 
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
Perilaku Sehat Sakit Masyarakat Melayu Kepulauan Riau. Sosiologi. By. Pangest...
 
Konsep transkultural
Konsep transkulturalKonsep transkultural
Konsep transkultural
 
Ruqyah & Perubatan Moden (Psikiatri)
Ruqyah & Perubatan Moden (Psikiatri)Ruqyah & Perubatan Moden (Psikiatri)
Ruqyah & Perubatan Moden (Psikiatri)
 
Antropologi,Kebudayaan dan Kesehatan
Antropologi,Kebudayaan dan KesehatanAntropologi,Kebudayaan dan Kesehatan
Antropologi,Kebudayaan dan Kesehatan
 
Gangguan ansietas
Gangguan ansietasGangguan ansietas
Gangguan ansietas
 
reza nopalia
reza nopaliareza nopalia
reza nopalia
 
KESMEN 1.pptx
KESMEN 1.pptxKESMEN 1.pptx
KESMEN 1.pptx
 
Agama dan kesehatan
Agama dan kesehatanAgama dan kesehatan
Agama dan kesehatan
 
Wawasan sosial budaya
Wawasan sosial budayaWawasan sosial budaya
Wawasan sosial budaya
 

More from ridhar

Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
ridhar
 
Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
ridhar
 
Sayuran
SayuranSayuran
Sayuran
ridhar
 
Lemak dan-minyak
Lemak dan-minyakLemak dan-minyak
Lemak dan-minyak
ridhar
 
Kacang kacangan
Kacang kacanganKacang kacangan
Kacang kacangan
ridhar
 
Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
ridhar
 

More from ridhar (6)

Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
 
Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
 
Sayuran
SayuranSayuran
Sayuran
 
Lemak dan-minyak
Lemak dan-minyakLemak dan-minyak
Lemak dan-minyak
 
Kacang kacangan
Kacang kacanganKacang kacangan
Kacang kacangan
 
Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2Ikan & sea food ibm 2
Ikan & sea food ibm 2
 

Etnopsikiatri

  • 1. ETNOPSIKIATRI KELOMPOK 5 : - DANTY NOVITASARI - SETIAWATI - TRI SETYO PRABOWO
  • 2. PENDAHULUAN Konsep-konsep tentang sebab-sebab penyakit dalam masyarakat rumpun dan petani, sebagaimana yang telah kita lihat, berbeda mendasar dengan konsep- konsep ciri pengobatan ilmiah. Sejauh ini kita telah mengamati perwujudan sistem-sistem kepercayaan itu, terutama dalam konteks penyakit akut, penyakit infeksi, dan penyakit yang melemahkan, yang terbanyak mengambil korban penduduk dunia. Namun etnomedisin juga mencakup studi tentang penyakit jiwa. Dalam bab ini perhatian ditunjukkan kepada bidang pokok kedua yang merupakan perhatian dari etnomedisin, suatu bidang yang biasanya disebut sebagai “psikiatri transkultural” atau “psikiatri lintas-budaya” atau etnopsikiatri (Kiev, 1972)
  • 3. AWAL DARI ETNOPSIKIATRI Perhatian awal dari para ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang etnomedisin, perhatian mereka itu mulai dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan- kekuatan budaya yang berpengaruh membentuk kepribadian. Perhatian utama para peneliti tersebut bukanlah mengenai masa kini, melainkan mengenai “normal” dan “abnormal” definisi penyakit dalam berbagai masyarakat, pengobatannya, demografi dari penyakit mental dan sebagainya, namun lebih merupakan masalah “struktur kepribadian dasar” dan “kepribadian moral”. Istilah-istilah “etnopsikiatri”, “etnopsikiatri lintas-budaya”, dan “psikiatri transkultural”, namun sebagai ahli antropologi mereka menaruh perhatian mereka terhadap serangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan konsep “normal” dan “abnormal” dalam lingkungan lintas-budaya, dengan konsep-konsep pribumi dan mengenai gangguan psikiatri, cara-cara penyembuhan, dan topik-topik lain yang berhubungan.
  • 4. Dalam rangka perhatian ini para peneliti sepenuhnya berpegang pada data dan teori aliran, “kebudayaan dan kepribadian”. Khususnya, ada beberapa pertanyaan yang ditangani oleh para ahli antropologi, antara lain sebagai berikut: 1. Defini budaya tentang “normal” dan “abnormal” 2. Penjelasan non-barat tentang penyakit jiwa 3. Cara-cara dari segi budaya untuk menangani tingkahlaku menyimpang yang abnormal 4. Terjadinya penyakit jiwa dalam masyarakat dengan kompleksitasyang berbeda 5. Demografi penyakit jiwa
  • 5. DEFINISI BUDAYA TENTANG NORMAL DAN ABNORMAL Berbagai tingkah laku luar biasa yang dianggap psikiater Barat sebagai penyakit jiwa ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-Barat. Tidak semua jenis tingkahlaku luar biasa yang dikenal dalam masyarakat (Amerika) terdapat dalam setiap masyarakat lain, dan dalam beberapa kebudayaan, telah dideskripsikan adanya sindroma yang asing bagi sistem klasifikasi. 1. Kasus “teori label” Adanya variasa yang luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat dunia, telah mendorong para ilmuan mengenai tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu “mitos”, suatu fenomena sosiologis, suatu hasil dari anggota masyarakat yang “beres” yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberikan sanksi dan mengendalikan tingkah laku sesama mereka yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkah laku yang kadang-kadang hanya “berbeda” dengan tingkah laku mereka sendiri. Argumen pokok yang mereka kemukakan adalah bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip dan stigma bagi yang bersangkutan.
  • 6. 2. Argumentasi terhadap pemberian label Walaupun teori label menarik sebagai suatu pendekatan untuk memahami dan menangani penyakit jiwa, namun teori itu tidak banYak diterima oleh para ahli antopologi yang bekerja dalam bidang lintas-budaya edgerton, misalnya tidak menyukai label psikiatri yang bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasi sakit. Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa menurut pendapatnya, merupakan bentuk dari suatu proses negosiasi suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus ekstensif dalam masyarakat. Edgerton mempelajari proses negoisasi diantara pasien, penyembuh, kerabat dan handaitolan dalam pemberian label untuk penyakit jiwa pada empat kelompok masyarakat di Afrika dan menyimpulkan bahwa “Akibat tekanan negoisasi sosial, mudah sekali timbul presepsi tentang sakit jiwa tanpa pemberian cap selanjutnya, memberi cap pada tindakan selanjutnya, bahkan ada pula psikosis tanpa presepsi”.
  • 7. ETIOLOGI-ETIOLOGI PENYAKIT JIWA NON-BARAT Diantara orang Eskimo di pulau St. Lawrence yang telah terakumulasi, kesurupan dihubungkan dengan shamanisme, namun tidak dengan gangguan spikiatrik berat, walaupun hal ini berlaku di kalangan penduduk Eskimo lainnya yang kurang terakumulasi, magi dan ilmu sihir merupakan penjelasan, sebagai mana halnya dengan faktor stres yang dikatakan akibat “terlalu khawatir” dan “mudah takut” dan sebagainya. Faktor keturunan dijelaskan dengan sindroma “lamban belajar” yang dideskripsikan informan sebagai terdapat dalam keluarga-keluarga. Pelanggaran tabu, termasuk kawin sumbang, seringkali disebut-sebut sebagai penyebab ketidakwarasan. Seperti dapat dilihat, suatu karakteristik dari banyak kebudayaan non-Barat adalah adanya suatu sintesis dari suatu sistem medis dengan sistem kepercayaan lainnya, dalam hal ini merupakan masalah analitis yang serius bagi para pengamat Barat. Apabila dibuat generalisasi atas perbedaan etiologi kejiwaaan Barat dan non-Barat, faktor psikologis, pengalaman hidup dan stres nampak kurang memainkan peranan dibandingkan dengan yang terdapat dalam masyarakat Barat.
  • 8. CARA-CARA BUDAYA DALAM MENANGANI PENYAKIT JIWA 1. Siapa yang menyembuhkan? Walaupun banyak bentuk tingkah laku menyimpang nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya, nilai sosial yang diberikan untuk tingkah laku yang menyimpang, dan pengobatannya sangat bervariasi. Para ahli antropologi terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia istilah tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang telah memiliki kekuatan supranatural dan kontak dengan roh-roh, biasanya diperoleh melalui “pemilihan” oleh para roh. Dalam pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan kesurupan, dimana mereka berhubungan dengan roh pembinanya untuk mendiagnosa penyakit. Para penganut paham kebudayaan relativisme dengan ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambatan utama dalam argumentasi mereka. Bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu yang bersifat khas kebudayaan. Banyak tulisan antropologi menyebutkan bahwa shaman adalah seorang yang tidak satabil dan sering mengalami delusi&mungkin ia adalah
  • 9. 2. Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa Dalam banyak masyarakat non-Barat, mayoritas orang yang menunjukkan tingkah laku abnormal, kalau mereka tidak bersifat galak, lebih sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka; kebutuhan mereka dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Menurut Lambo dalam masyarakat Afrika, bahkan yang menderita psikosis berat dan cacat mentalpun diberi tempat sebagai warga masyarakat yang menjalankan fungsinya dalam masyarakatnya, apabila mereka dapat mengurus diri mereka sendiri sampai pada tingkatan kecukupan tertentu. Kontras antara tingkah laku ahli terapi Barat dan penyembuh tradisional juga menyolok. Penyembuh Barat tidak boleh terlibat secara pribadi dengan pasiennya, ia harus bersikap empati, tidak boleh memvonis, harus bersifat hangat dan manusiawi, serta menunjukkan tingkah laku yang menuntuk keterlibatan pasien dengan penyembuh itu melalui fenomena penyerahan. Seorang ahli terapi Barat, nyatanya sangat berbeda dalam pendekatannya kepada pasien daripada dokter biasa. Sebaliknya, seorang penyembuh jiwa non-Barat yang terlibat dalam penyembuhan utama bertindak saat halnya seperti ketika ia mengobati penyakit fisik.
  • 10. 3. Tujuan perawatan Tujuan perawatan pada kedua pasien juga sangat berbeda. Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari perawatan simptomatik, dari hal-hal seperti gerakan tics dan fobia sampai “pemongkaran besar-besaran kepribadian pasien”. Terapi Barat dalam arti tertentu, adalah redukasi; pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan baru tentang dirinya sendiri, dengan harga diri yang lebih besar, agar ia bebas dari rasa sakit subjektif, kekhawatiran dan stres, mungkin untuk mencapai kebebasan yang lebih besar dan dapat berfungsi lebih efektif lagi dalam masyarakat. Sebaliknya, ahli-ahli terapi non-Barat sedikit sekali menggunakan reduksi, memperkuat ego, dan modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam pendekatannya, bertujuan mendapat hasil yang lebih cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala abnormal yang dibawa pasien kepadanya. Perbedaan lainnya lagi adalah hubungan verbal antara ahli terapi dengan pasien merupakan dasar bagi perawatan Barat, maka pada bagian terbesar masyarakat non-Barat, banyak komunikasi verbal yang berlangsung adalah antara penyembah dengan roh-roh, dan melibatkan pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan padanya dan tidak selalu memerlukan jawaban.
  • 11. PERBANDINGAN TIMBULNYA PENYAKIT JIWA DALAM MASYARAKAT YANG BEBEDA 1. Mitos eksistensi “primitif” yang bebas-stres Orang Barat sejak lama percaya dan ingin mempercayai bahwa dalam masyarakat sederhana yang belum dirusak oleh peradaban manusia hidup dalam hubungan alami satu sama lain, suatu hubungan yang ditandai dengan kasih-sayang, kerjasama dan gotong royong. Logikanya, karena tingkatan stres mestinya rendah dalam suatu masyarakat yang demikian, maka penyakit kejiwaan yang berasal dari kehidupan yang penuh stres tentunya juga jarang. Stereotip “nobel savage” (Si Liar yang Agung) mengenai kehidupan yang primitif ini telah lama sirna oleh fakta etnografis, namun bayangan itu masih tertinggal dan mewarnai pandangan mengenai penyakit jiwa. Para ahli antropolgi psikiater yang telah melakukan studi terhadap berbagai masyarakat tradisional sependapat bahwa cara-cara bagaimana penderita sakit jiwa dirawat nampaknya mengurangi besarnya masalah itu; mereka juga sependapat bahwa, terpisah dari stres yang diakibatkan oleh perubahan sosial-budaya yang cepat, masyarakat tersebut bukannya asing terhadap tingkah laku abnormal.
  • 12. 2. Variasi dalam pola-pola pokok tingkah laku abnormal Psikiater dan ahli antropologi yang percaya bahwa pola- pola dari tingkah laku abnormal yang diakui oleh para psikiater Barat dapat ditemukan diseluruh dunia. Ada variasi penting dalam bentuk, frekuensi, distribusi dan implikasi sosial dari tingkah laku demikian. Leighton misalnya, menemukan bahwa banyak sekali pola-pola gejala yang ditunjukan oleh para pasien Yoruba adalah yang dikenal dalam ilmu psikiatri. Namun ia juga menemukan kesenjangan yang penting, terutama gejala-gejala fobia yang komplusif-obsesi, yang hampir tak ada. Gejala-gejala tersebut tidak ditentukan seperti itu, walaupun komponen- komponen dari sindroma seperti kehilangan gairah hidup, kekhawatiran yang ekstrim, vitalitas yang lemah, dan sebagainya, muncul dalam konteks lain. Psikofisiologi, psikoneurosis, kepribadian dan gejala kekacauan sosiopati, setuju bahwa gejala-gejala itu memang ada, tetapi pada umumnya dianggap tidak cukup serius untuk diberi cap “penyakit”. Banyak studi didasarkan pada statistik rumah sakit, namun di negara-negara Dunia Ketiga, dengan pelayanan kesehatan jiwa yang kurang berkembang, angka pendaftaran masuk rumah sakit hampir tidak
  • 13. PENYAKIT JIWA DAN PERUBAHAN Apabila bukti tidak cukup baik mengenai perbandingan frekuensi dari berbagai jenis penyakit jiwa yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda-beda kompleksitasnya, maka para ahli antropologi dan psikiater sepakat bahwa bukti itu baik, sejauh yang berkenaan dengan konsekuensi dari perubahan sosial-budaya yang cepat: perubahan yang demikian itu menghasilakan angka rata-rata yang tinggi tentang terjadinya insiden penyakit. Ada berbagai masyarakat yang memiliki kapasitas yang mengagumkan dalam menyerap stres dan menyediakan kesempatan alternatif dalam menghadapi kemalangan yang ekstrim dalam situasi yang berubah. Misalnya, dikalangan pemukim Jepang di California pada Perang Dunia II, “Komunitas dan keluarga etnis-struktur mereka, fungsi mereka, nilai mereka anut, dan „kebudayaan‟ mereka,” merupakan sumber-sumber kekuatan yang memungkinkan mereka bertahan dalam kehidupan di kamp tahanan dengan jumlah minuman dari mereka yang mengalami kehancuran mental. Namun, setelah orang Jepang telah semakin berakumulasi dan hampir sama dengan penduduk Amerika lainnya, ada bukti yang menunjukkan tentang adanya peningkatan patologi dari
  • 14. GANGGUAN-GANGGUAN BUDAYA KHUSUS Dalam bidang penyakit jiwa, tidak ada topik lain yang sedemikian menarik bagi ahli-ahli antropologi daripada yang disebut sebagai penyakit budaya khusus. Salah satu dari penyakit-penyakit yang terkenal itu „Histeria kutub utara‟ atau arctic hysteria (dikenal sebagai pibloktoq oleh orang eskimo) windigo, suatu obsesi kanibalistik di kalangan masyarakat Indian di Amerika Utara bagian timur laut; running amok, pembunuhan yang membabi buta antara kaum laki-laki Malaysia; latah, suatu reaksi histeria yang bersifat meniru, hampir serupa dengan histeria Kutub orang Siberia; koro, ketakutan terhadap akan mengkerutnya penisnya dikalangan orang laki-laki Cina; dan sustro, suatu kondisi kecemasan-depresif yang dilukiskan dibanyak daerah di Amerika Latin. Foulks mengenal dua sindroma pokok: yang pertama ditandai oleh suatu mania meniru yang tanpa pemikiran, yang hanya ditemukan di Siberia, keadaan disosiasif gila yang ditemukan pada semua kelompok penduduk Kutub Utara. Kedua bentuk ditandai oleh serangan tiba-tiba dari tingkah laku ganjil yang berlangsung hanya sebentar, diikuti oleh hilangnya gejala-gejala akut dan kembali keadaan normal. Para penderita pibloktoq merobek-robek baju mereka sendiri, sering bergumul dengan orang lain dengan memiliki tenaga yang melebihi kekuatan manusia, menjatuhkan diri ketumpukan salju atau meniru
  • 15. Kesimpulan Kesimpulan Foulks menampilkan suatu kemajuan besar karena, para ahli antropologi umumnya bersalah karena mengikuti secara membabi buta model yang terdahulu tentang kebudayaan dan kepribadian sebagai cara untuk menjelaskan penyakit jiwa dan mereka gagal untuk mengakui bahwa banyak kerusakan organik yang diketahui telah melahirkan gejala-gejala, yang pada dasarnya tidak bisa dibedakan dari gejala yang bisa pula dihasilkan oleh mekanisme psikososial. Suatu kerangka berpikir psikososial bagi studi tentang penyakit jiwa, dibandingkan dengan kerangka fisiologis, tentu saja lebih lazim bagi para antropologi, karena metode penelitiannya – terutama metode observasi – serata data itu sendiri yang “menjelaskan” tentang tingkahlaku adalah yang paling dikenal oleh mereka. Wallace menjelaskan kebutaan itu melalui presfektif sejarah: Sewaktu ahli antropologi, yang diawali dengan makalah Sapir tahun 1927, “The Unconscious Patterning of Behavior in Society” secara serius mulai meneliti tingkahlaku dan individu, dan pada teori psikiatri, khususnya teori Freud, telah dikembangkan dengan baik, pengetahuan tentang genetik dan struktur biokimia yang berkenaan dengan tingkah laku masih sedemikian kurangnya dikembangkan, sehingga tidak amat berpengaruh terhadap perkembangan teori. Kemajuan besar telah terjadi dalam hal membuka rahasia kimia otak. Banyak penelitian berpusat pada transmiter syaraf, zat yang disebut sebagai acetylcholine, dopamine, dan neropinephrine, yang merupakan utusan kimia dimana sel otak yang jumlahnya jutaan bisa berkomunikasi satu sama lain.
  • 16. Thank you