SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN
2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945
(NOMOR PERKARA 46/PUU-XII/2014)
Bahwa dengan ini saya Tito Arif Prasetya selaku Hakim Anggota Mahkamah
Konstitusi menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion) terhadap Pengujian Uji Materiil
(Judical Review) terhadap Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang pajak daerag dan retribusi
daerah yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan 28F UUD NRI 1945 atas nama
Farida Ismi Tri Hapsari yang berkedudukan di Jalan Kusuma No. 14, Jakarta Barat selaku
Direktur PT. Kame Komunikasi Indonesia . Adapun pendapat hukum (legal opinion) sebagai
berikut :
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang pemilihan umum”;
3. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
4. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan, bahwa secara hirarkis
kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap
ketentuan dari undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika
terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka
hal tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme “judicial review”
melalui Mahkamah Konstitusi;
5. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of
constitution). Apabila terdapat undang-undang yang berisi atau terbentuk bertentangan
dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya
dengan menyatakan tidak mengikat secara hukum undang-undang tersebut baik secara
menyeluruh ataupun per-Pasalnya;
6. Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan
penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian
dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas
pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter
of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang
memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/ atau multi tafsir dapat pula dimintakan
penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Dimilikinya kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh setiap Pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedudukan
hukum (legal standing) mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-
undang, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/ atau kewenangan
konstitusionaldengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam perkara ini ialah sebagai
berikut:
1. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas, diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal
3 PMK Nomor 06/ PMK/ 2005.
2. Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menjelaskan, bahwa yang dimaksud “Hak Konstitusional”
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan
pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya
suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/ PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/ PUU-V/ 2007, yakni sebagai berikut:
a. Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. Hak dan/ atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
c. Bahwa kerugian yang dimaksud harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
4. Meskipun demikian, tidak semua organisasi dapat mewakili kepentingan publik
(umum), akan tetapi hanya organisasi yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
berbagai undang-undang ataupun yurisprudensi, yaitu:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Dalam AD/ ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi tersebut;
c. Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamanatkan oleh AD/ ART nya
tersebut.
5. Bahwa dalam hal ini Pemohon adalah badan hukum privat yang berbentuk Perseroan
Terbatas, yang mana maksud dan tujuan didirikannya adalah bergerak dalam bidang
jasa telekomunikasi dan informasi sebagaimana tercermin dalam Akta Nomor 01
tanggal 29 Agustus 2013;
C. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah secara lengkap menyatakan
bahwa:
“Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi
dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum”;
2. Bahwa ketentuan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah
tersebut di atas, memiliki tafsir sebagai berikut:
“Bahwa ditetapkannya menara telekomunikasi sebagai objek retribusi karena adanya
pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan
umum. Untuk itu dibutuhkan suatu kerja bersifat pengawasan (monitoring) dari
Pemerintah Daerah”;
3. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah
sudah, bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi nantinya
harus murni didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengendalian
menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum (Pasal
124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa
penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan
penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian
biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan
untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah;
4. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi
ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan
Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah karena terbentur oleh penafsiran yang
diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan
pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi
ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara
telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan
pengendalian menara telekomunikasi tersebut”.
Dalam Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, secara
terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga
dengan alas an untuk mempermudah penghitungan dalam menetapkan tarif
digunakanlah batasan paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP (Nilai Jual Objek
Pajak).
5. Bahwa penetapan tarif menara telekomunikasi yang didasarkan pada 2% (dua persen)
dari NJOP berakibat beban ekonomi tinggi (high cost economics) yang akan berdampak
negatif bagi investasi daerah. Sebab dengan menggunakan ketentuan 2% (dua persen)
dari NJOP, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk 1 (satu) menara telekomunikasi
mencapai angka di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang diantaranya di
daerah Ciamis, Bangli, Dairi Surabaya, Bantul dan Karangasem (vide Bukti P-2).
Selain dari itu, terdapat beberapa daerah yang tarifnya di atas Rp. 20.000.000,00 (dua
puluh juta rupiah) diantaranya daerah Demak, Makasar, DKI Jakarta dan Batam (vide
Bukti P-3).
Padahal jika menggunakan ketentuan sesuai dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161
UU Pajak daerah dan retribusi daerah yang didasarkan pada biaya pengawasan, maka
tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu) menara tidak lebih
dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) saja. Perhitungan penetapan tarif yang
dimaksud dapat disimulasikan oleh Pemohon sebagai ilustrasi seperti berikut ini:
Perhitungan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Berbasis Biaya Pengawasan yang Dilakukan Pemerintah Daerah
DESKRIPSI BANYAK NILAI SATUAN JUMLAH KETERANGAN
Honorarium
Petugas Pengawas
2 3.000.000 1 6.000.000 1 bulan= 22 hari
Transportasi 1 100.000 22 2.200.000
Uang Makan 2 50.000 22 2.200.000
Alat Tulis Kantor 1 1.000.000 1 1.000.000
Biaya
Pengeluaran
11.4000.000
DESKRIPSI HARI
MENARA
PER HARI
1 BULAN
RETRIBUSI
PENGENDALIAN MENARA
(Biaya/ Kegiatan) per Menara
Kegiatan
Pengawasan dan
Pengendalian
Menara
22 3 66
= Rp. 11.400.000 : 66
= Rp. 172.728/ per menara/ per
bulan atau 2.072.728/ per
menara/ per tahun.
Dari ilustrasi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa biaya pengawasan dan
pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya tetap dapat
diperhitungkan. Item tersebut yaitu: biaya honorarium petugas pengawas (bisa
didasarkan pada Upah Minimum Regional). Transportasi dan uang makan (didasarkan
pada angka kewajaran) serta alat tulis kantor (juga didasarkan pada kebutuhan yang
wajar).
6. Bahwa dengan adanya biaya ekonomi tinggi dalam retribusi pengendalian menara
telekomunikasi faktanya telah mempersulit penyedia sarana prasarana telekomunikasi
(penyedia menara dan operator seluler) termasuk Pemohon untuk mewujudkan biaya
teelekomunikasi yang murah dan terjangkau kepada seluruh rakyat, padahal
komunikasi merupakan salah satu hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh Negara.
Dan itulah kenapa retribusi pengendalian menara dimasukkan kedalam kategori
retribusi jasa umum (bukan retribusi jasa usaha), karena tujuan utamanya memang
untuk pemenuhan kepentingan umum (rakyat) dibidang komunikasi.
Bahwa bagaimanapun Pemohon merupakan badan hukum yang oleh Negara diakui
sebagai salah satu penyelanggara pemenuhan kepentingan umum (pemenuhan hak
dasar rakyat dibidang komunikasi), dan apa yang dilakukan oleh Pemohon secara
langsung ikut membantu kewajiban Negara dalam pemenuhan hak dasar rakyat
tersebut. Oleh karena biaya ekonomi tinggi akibat penafsiran yang diberikan Penjelasan
Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah telah berakibat pada Pasal 124 yang
menjadi bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”;
7. Bahwa penerapan 2% (dua persen) dari NJOP dalam penetapan tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi juga tidak memberikan perlindungan dan keadilan
hukum bagi Pemohon, karena seharusnya tetap didasarkan pada kebutuhan biaya
pengawasan dan pengendalian, sehingga penafsiran yang diberikan dalam Penjelasan
Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah inkonsisten dengan Pasal 151, Pasal
152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah dan berakibat Pasal 124 UU
Pajak daerah dan retribusi daerah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang menyataknan bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindunagn, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapakan hukum”;
8. Bahwa Penjelasan Pasal 124 justru membuat ketidakjelasannorma yang terkandung
didalam Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, disatu sisi seolah-olah
penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian,
namun di sisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan
sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2% (dua persen) dari NJOP. Padahal biaya
pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi terbukti tidaklah sulit karena
Pemohon terbukti bias mengurai dan mensimulasikannya dalam rumusan yang jelas,
tegas dan benar-benar mengacu kepada biaya pengawasan dan pengendalian
sebagaimana yang telah Pemohon tuangkan dalam Table pada point 10 (sepuluh). Oleh
karena itu, Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah pada dasarnya
tidak dapat digunakan lagi sebagai tafsiran resmi norma yang terkandung dalam Pasal
124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, karena bunyi dari Penjelasan Pasal 124
justru mengaburkan dan membuat ketidakjelasan norma, bahkan bertentangan dengan
norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang diatur dalam Pasal
151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah.
9. Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah memberikan
kejelasan norma sehingga penetepan tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada
kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah
(ketentuan Pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka
Penjelasan Pasal 124 yang awalnya berbunyi:
“Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan
pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi
ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara
telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan
pengendalian menara telekomunikasi tersebut”.
Ketentuan tersebut harus diubah sebagai berikut:
“Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian
menara telekomunikasi”.
Dalam membuat Pendapat Hukum (Legal Opinion), Hakim memperhatikan :
1. Keterangan DPR
Nama : Anggita Ning tyas Sari
Tempat,tanggal lahir : Klaten, 23 Juli 1987
Agama : ISLAM
Pekerjaan : Dewan Perwakilan Rakyat
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat lengkap : Jl. Pahlawan No. 8 Jakarta Pusat.
Selaku wakil Dewan perwakilan Rakyat Komisi 3 terkait dengan Pengujian Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah terhadap
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya disebut sebagai ..............................................................................Pihak
terkait
Terhadap pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, DPR
menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Bahwa, DPR beranggapan permohonan yang diajukan Pemohon tidak tepat dan
keliru, karena pengujian materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
Undang terhadap UUD 1945, maka para Pemohon wajib menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan (vide Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) huruf b
UU MK). DPR berpandangan bahwa para Pemohon tidak berkedudukan dalam
posisi yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 124 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi:
"Obyek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara
telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan
kepentingan umum". untuk itu dibutuhkan suatu kerja yang bersifat pengawasan (
monitoring) dari pemerintah daerah.
Dengan penjelasan sebagai berikut :
"Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan
pengendalaian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan tarif retribusi
ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan
sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi yang
besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian
menara telekomunikasi tersebut.”
Sebagaimana dijelaskan para Pemohon sehingga DPR berpendapat bahwa anggapan
pemohon merasa di rugikan tentang berlakunya penjelasan pasal 124 undang-
undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah adalah tidak
mendasar sama sekali karena pokok permasalahan yang di ajukan untuk di uji untuk
permohonan constitusional review adalah keberatan pemohon terhadap pengenaan
tarif pajak dan retribusi yang di tetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan
daerah sehingga hal ini bukan merupakan isu kontotusionalitas dari keberlakuan
norma.
2. Kemudian pertimbangan DPR dapat menentuan pasal 124 undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah adalah memngingat
banyaknya dampak negatif dari penggunaan sistem telekomunikasi seperti dampak
kesehatan ( efek radiasi dapat mengakhibatkan penyakit ) dan kemudian dampak lain
yang dapat merugikan masyarakat sehingga memicu anggota legislatif untuk
memberikan tarif obyek retribusi maksmimal 2% kepada perusahaan-perusahaan
yang bergerak dibidang telekomunikasi yang diharapkan dapat memberikan batasan
bagi pihak yang bersangkutan dalam mendirikan menara telekomunikasi dengan
memperhatikan aspek pemanfaatan ruang , keamanan dan kepentingan umum.
3. Bahwa DPR selaku dewan legislatif ( Pembentuk undang undang ) tidak setuju
apabila Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dihapus, apabila pasal tersebut di hapus tidak ada lagi batasan
pemerintah daerah menetapkan tarif retribusi,dan ini justru berdampak menimbulkan
kesewenang-wenangan oleh pihak korporasi untuk mendirikan menara
telekomunikasi untuk kepentingan pribadi yang merugikan bagi masyarakat.
4. Bahwa Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
Dan Retribusi Daerah sebagai digunakan sebagai batasan bagi pemerintah
daerah,sehingga nilainya tidak boleh melampaui 2% dari NJOP. Penetapan tarif
maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang
memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa,
pengendalian, pengawasan yang menjadi dasar penetapan tarif retribusi
kadang-kadang sulit diketahui kewajarannya
5. Bahwa prinsipnya pelayanan pemerintah daerah kepada wajib retribusi pengendalian
menara telekomunikasi adalah pengawasan dan pengendalian. Namun, praktiknya
penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pengawasan dan pengendalian sulit
ditentukan. Karenanya, demi kepastian hukum dan mempermudah penghitungan
ditetapkan tarif maksimal 2% (dua persen) itu. Maka, dalam permasalahan
penetapan tarif paling tinggi dua persen dari NJOP PBB menara telekomunikasi
bukan persoalan konstitusional Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi terkait implementasi norma yang
dituangkan dalam perda masing-masing
6. Bahwa, DPR berpandangan ketentuan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang
menyatakan:
Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 110 ayat (1) huruf adalah pemanfaatan ruang untuk menara
telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang ,keamanan dan
kepentingan umum.
dengan penjelasan pasal sebagai berikut :
”Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan
pengendalaian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan tarif retribusi
ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan
sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi yang
besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian
menara telekomunikasi tersebut.”
dalam implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian
maupun dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan.
2. Keterangan Pemerintah
Nama : Irfani Nurul Huda, SH.,MH
Tempat,tanggal lahir : Semarang, 15 Oktober 1987
Agama : ISLAM
Pekerjaan : Kepala Staf Kementrian Hukum dan HAM
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat lengkap : Jl. Papan Mas Blok F No.13 Tambun, Bekasi Timur
Terhadap pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo,
Pemerintah menyampaikan keterangan sebagai berikut:
“Apabila Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dihapus, tidak ada lagi batasan pemerintah daerah menetapkan tarif.
Dan Ini justru berdampak menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah daerah
yang merugikan bagi masyarakat. Menurut pemerintah prinsipnya pelayanan
pemerintah daerah kepada wajib retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah
pengawasan dan pengendalian. Namun, praktiknya penghitungan biaya yang
dibutuhkan untuk pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan. Karenanya, demi
kepastian hukum dan mempermudah penghitungan ditetapkan tarif maksimal 2 persen
itu. Maka, dalam permasalahan penetapan tarif paling tinggi dua persen dari NJOP PBB
menara telekomunikasi bukan persoalan konstitusional Pasal 124 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi terkait
implementasi norma yang dituangkan dalam perda masing-masing”.
Dengan berbagai keterangan parapihak terkait permohonan pemohon atas
Pengujian Uji Materiil (Judical Review) terhadap Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang
Perpajakan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan 28F UUD NRI 1945,
saya selaku hakim anggota Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat hukum (legal
opinion) dengan MENOLAK permohonan pemohon karena pasal 124 berikut
penjelasannya Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 28 F UUD 1945.
Bahwa penjelasan pasal 124 bukan merupakan masalah konstitusionalitas melainkan
masalah implementasi menurut perda masing- masing bagaimana pengaturan mengenai
kebijakan tarif teribusi pengendalian dan pengawasan jasa telekomunikasi dikarenakan
dengan adanya penetapan tarif retribusi paling tinggi 2% artinya bahwa Pemerintah
Daerah boleh menetapkan tarif retribusi dibawah 2% ataupun menetapkan 2% dianggap
sah, apabila dalam penetapan tarif retribusi Pemerintah Daerah melebihi 2% hal
tersebutlah yang menjadi permasalan. Walaupun dalam pasal 151,152, dan 161
dijelaskan mengenai sistematika tentang langkah- langkah perhitungan tarif retribusi,
apabila Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam melakukan perhitungan tarif
retribusi maka dalam penjelasan pasal 124 ditetapkan 2% dan hal itu merupakan
kewenangan dari Pemerintah Daerah

More Related Content

What's hot

Glosarium pemerintahan
Glosarium pemerintahanGlosarium pemerintahan
Glosarium pemerintahan
Ilham Ismail
 
legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum
torozzz
 

What's hot (20)

Glosarium pemerintahan
Glosarium pemerintahanGlosarium pemerintahan
Glosarium pemerintahan
 
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
 
Perbandingan UU Pemda
Perbandingan UU PemdaPerbandingan UU Pemda
Perbandingan UU Pemda
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi Negara
 
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
HUKUM PENGANGKUTAN Klik : https://www.masterfair.xyz/
 
Hukum acara perdata - Replik dan Duplik (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Replik dan Duplik (Idik Saeful Bahri)Hukum acara perdata - Replik dan Duplik (Idik Saeful Bahri)
Hukum acara perdata - Replik dan Duplik (Idik Saeful Bahri)
 
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita SariTugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
 
Hukum Pemerintah Daerah
Hukum Pemerintah DaerahHukum Pemerintah Daerah
Hukum Pemerintah Daerah
 
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum PertanahanDasar-Dasar Hukum Pertanahan
Dasar-Dasar Hukum Pertanahan
 
Sumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negaraSumber hukum administrasi negara
Sumber hukum administrasi negara
 
alih teknologi.pptx
alih teknologi.pptxalih teknologi.pptx
alih teknologi.pptx
 
Hukum perdata internasional - Instrumen hukum nasional mengenai hukum perdata...
Hukum perdata internasional - Instrumen hukum nasional mengenai hukum perdata...Hukum perdata internasional - Instrumen hukum nasional mengenai hukum perdata...
Hukum perdata internasional - Instrumen hukum nasional mengenai hukum perdata...
 
Bab Tata Hukum Indonesia
Bab  Tata Hukum IndonesiaBab  Tata Hukum Indonesia
Bab Tata Hukum Indonesia
 
Makalah hukum agraria di indonesia
Makalah hukum agraria di indonesiaMakalah hukum agraria di indonesia
Makalah hukum agraria di indonesia
 
Perbandingan metode penelitian hukum normatif dengan empiris
Perbandingan metode penelitian hukum normatif dengan empirisPerbandingan metode penelitian hukum normatif dengan empiris
Perbandingan metode penelitian hukum normatif dengan empiris
 
Jawaban gugatan
Jawaban gugatanJawaban gugatan
Jawaban gugatan
 
Hukum perdata internasional - Memahami status anak dari hasil perkawinan camp...
Hukum perdata internasional - Memahami status anak dari hasil perkawinan camp...Hukum perdata internasional - Memahami status anak dari hasil perkawinan camp...
Hukum perdata internasional - Memahami status anak dari hasil perkawinan camp...
 
Perancangan kontrak
Perancangan kontrakPerancangan kontrak
Perancangan kontrak
 
legal memorandum
legal memorandum legal memorandum
legal memorandum
 
Contoh Kasus Pertanahan By Ivor Pasaribu
Contoh Kasus Pertanahan By Ivor PasaribuContoh Kasus Pertanahan By Ivor Pasaribu
Contoh Kasus Pertanahan By Ivor Pasaribu
 

Similar to Pendapat hukum konstitusi

Peraturan mk tata cara beracara
Peraturan mk tata cara beracaraPeraturan mk tata cara beracara
Peraturan mk tata cara beracara
annatasyamaryana
 
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
Panji Setiawan
 
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptxMK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
dnsstore
 
Makalah silvikultur
Makalah silvikulturMakalah silvikultur
Makalah silvikultur
FadLi AmiGo
 
Hasanuddin rachman putusan mk no 012 i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
Hasanuddin rachman putusan mk no 012  i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011Hasanuddin rachman putusan mk no 012  i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
Hasanuddin rachman putusan mk no 012 i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
biladwitama
 
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptx
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptxKelompok 4 hukum konstitusi.pptx
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptx
CepUle
 
Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004
Nasria Ika
 
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Shalahuddin Al Ayoubi
 

Similar to Pendapat hukum konstitusi (20)

Resume perkara 1190_perkara no 46
Resume perkara 1190_perkara no 46Resume perkara 1190_perkara no 46
Resume perkara 1190_perkara no 46
 
Salinan Permohonan_3357
Salinan Permohonan_3357Salinan Permohonan_3357
Salinan Permohonan_3357
 
Peraturan mk tata cara beracara
Peraturan mk tata cara beracaraPeraturan mk tata cara beracara
Peraturan mk tata cara beracara
 
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
Putusan sidang 2050_48 puu 2013-uu-keuangan_negara-telahucap-18sept2014- wmac...
 
MK dan Karakteristik Hukum Acara MK (1).pdf
MK dan Karakteristik Hukum Acara MK (1).pdfMK dan Karakteristik Hukum Acara MK (1).pdf
MK dan Karakteristik Hukum Acara MK (1).pdf
 
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptxMK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
MK dan Hukum Acara PUU.pptx Univ Balitar 13 januari 2023.pptx
 
Uu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 PjlsUu 04 2004 Pjls
Uu 04 2004 Pjls
 
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
Hasil Pemantauan Kejaksaan Periode 2003-2004
 
Makalah silvikultur
Makalah silvikulturMakalah silvikultur
Makalah silvikultur
 
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptxMAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
MAHKAMAH KONSTITUSI kelompok 5 mahasiswa fakultas hukum universitas jambi.pptx
 
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
Ilmu Perundang-undangan, UU Korupsi dan Perundang-undangan, Perumusan Pidana ...
 
Hukum acara mahkamah konstitusi presentari
Hukum acara mahkamah konstitusi presentariHukum acara mahkamah konstitusi presentari
Hukum acara mahkamah konstitusi presentari
 
Hasanuddin rachman putusan mk no 012 i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
Hasanuddin rachman putusan mk no 012  i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011Hasanuddin rachman putusan mk no 012  i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
Hasanuddin rachman putusan mk no 012 i 2003 dan no 115 puu rakerkonas 2011
 
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptx
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptxKelompok 4 hukum konstitusi.pptx
Kelompok 4 hukum konstitusi.pptx
 
UU MK (Mahkamah Konstitusi) dan Perubahannya
UU MK (Mahkamah Konstitusi) dan PerubahannyaUU MK (Mahkamah Konstitusi) dan Perubahannya
UU MK (Mahkamah Konstitusi) dan Perubahannya
 
Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha NegaraKeputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara
 
Putusan sidang mk pembatalan uu koperasi telahucap-28-mei2014
Putusan sidang mk pembatalan uu koperasi telahucap-28-mei2014Putusan sidang mk pembatalan uu koperasi telahucap-28-mei2014
Putusan sidang mk pembatalan uu koperasi telahucap-28-mei2014
 
Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004Uu no 22 th 2004
Uu no 22 th 2004
 
Uu 04 04
Uu 04 04Uu 04 04
Uu 04 04
 
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
Penerapan asas asas hukum acara peradilan dalam pengujian peraturan perundang...
 

Recently uploaded

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
Sumardi Arahbani
 

Recently uploaded (10)

UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forumpilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
pilihan hukum dan perjanjian internasional dan pilihan forum
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
Naskah Akademik Tentang Desa Adat Tahun 2023
 
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 

Pendapat hukum konstitusi

  • 1. PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) DALAM PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945 (NOMOR PERKARA 46/PUU-XII/2014) Bahwa dengan ini saya Tito Arif Prasetya selaku Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion) terhadap Pengujian Uji Materiil (Judical Review) terhadap Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang pajak daerag dan retribusi daerah yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan 28F UUD NRI 1945 atas nama Farida Ismi Tri Hapsari yang berkedudukan di Jalan Kusuma No. 14, Jakarta Barat selaku Direktur PT. Kame Komunikasi Indonesia . Adapun pendapat hukum (legal opinion) sebagai berikut : A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi”; 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjelaskan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum”; 3. Dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menjelaskan bahwa:
  • 2. “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; 4. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan, bahwa secara hirarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari undang-undang, oleh karenanya setiap ketentuan dari undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme “judicial review” melalui Mahkamah Konstitusi; 5. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat undang-undang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan menyatakan tidak mengikat secara hukum undang-undang tersebut baik secara menyeluruh ataupun per-Pasalnya; 6. Sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum, sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/ atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi; B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Dimilikinya kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh setiap Pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedudukan hukum (legal standing) mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang- undang, dan syarat materiil yaitu kerugian hak dan/ atau kewenangan konstitusionaldengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam perkara ini ialah sebagai berikut: 1. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
  • 3. “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara. Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/ PMK/ 2005. 2. Dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjelaskan, bahwa yang dimaksud “Hak Konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/ PUU-III/ 2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/ PUU-V/ 2007, yakni sebagai berikut: a. Adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. Hak dan/ atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; c. Bahwa kerugian yang dimaksud harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 4. Meskipun demikian, tidak semua organisasi dapat mewakili kepentingan publik (umum), akan tetapi hanya organisasi yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh berbagai undang-undang ataupun yurisprudensi, yaitu:
  • 4. a. Berbentuk badan hukum; b. Dalam AD/ ART secara tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi tersebut; c. Secara rutin telah melakukan kegiatan yang telah diamanatkan oleh AD/ ART nya tersebut. 5. Bahwa dalam hal ini Pemohon adalah badan hukum privat yang berbentuk Perseroan Terbatas, yang mana maksud dan tujuan didirikannya adalah bergerak dalam bidang jasa telekomunikasi dan informasi sebagaimana tercermin dalam Akta Nomor 01 tanggal 29 Agustus 2013; C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah secara lengkap menyatakan bahwa: “Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum”; 2. Bahwa ketentuan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah tersebut di atas, memiliki tafsir sebagai berikut: “Bahwa ditetapkannya menara telekomunikasi sebagai objek retribusi karena adanya pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum. Untuk itu dibutuhkan suatu kerja bersifat pengawasan (monitoring) dari Pemerintah Daerah”; 3. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah, bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi nantinya harus murni didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; 4. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah karena terbentur oleh penafsiran yang
  • 5. diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut”. Dalam Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alas an untuk mempermudah penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). 5. Bahwa penetapan tarif menara telekomunikasi yang didasarkan pada 2% (dua persen) dari NJOP berakibat beban ekonomi tinggi (high cost economics) yang akan berdampak negatif bagi investasi daerah. Sebab dengan menggunakan ketentuan 2% (dua persen) dari NJOP, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk 1 (satu) menara telekomunikasi mencapai angka di atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang diantaranya di daerah Ciamis, Bangli, Dairi Surabaya, Bantul dan Karangasem (vide Bukti P-2). Selain dari itu, terdapat beberapa daerah yang tarifnya di atas Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) diantaranya daerah Demak, Makasar, DKI Jakarta dan Batam (vide Bukti P-3). Padahal jika menggunakan ketentuan sesuai dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah yang didasarkan pada biaya pengawasan, maka tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu) menara tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) saja. Perhitungan penetapan tarif yang dimaksud dapat disimulasikan oleh Pemohon sebagai ilustrasi seperti berikut ini: Perhitungan Tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berbasis Biaya Pengawasan yang Dilakukan Pemerintah Daerah DESKRIPSI BANYAK NILAI SATUAN JUMLAH KETERANGAN
  • 6. Honorarium Petugas Pengawas 2 3.000.000 1 6.000.000 1 bulan= 22 hari Transportasi 1 100.000 22 2.200.000 Uang Makan 2 50.000 22 2.200.000 Alat Tulis Kantor 1 1.000.000 1 1.000.000 Biaya Pengeluaran 11.4000.000 DESKRIPSI HARI MENARA PER HARI 1 BULAN RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA (Biaya/ Kegiatan) per Menara Kegiatan Pengawasan dan Pengendalian Menara 22 3 66 = Rp. 11.400.000 : 66 = Rp. 172.728/ per menara/ per bulan atau 2.072.728/ per menara/ per tahun. Dari ilustrasi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya tetap dapat diperhitungkan. Item tersebut yaitu: biaya honorarium petugas pengawas (bisa didasarkan pada Upah Minimum Regional). Transportasi dan uang makan (didasarkan pada angka kewajaran) serta alat tulis kantor (juga didasarkan pada kebutuhan yang wajar). 6. Bahwa dengan adanya biaya ekonomi tinggi dalam retribusi pengendalian menara telekomunikasi faktanya telah mempersulit penyedia sarana prasarana telekomunikasi (penyedia menara dan operator seluler) termasuk Pemohon untuk mewujudkan biaya teelekomunikasi yang murah dan terjangkau kepada seluruh rakyat, padahal komunikasi merupakan salah satu hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh Negara. Dan itulah kenapa retribusi pengendalian menara dimasukkan kedalam kategori retribusi jasa umum (bukan retribusi jasa usaha), karena tujuan utamanya memang untuk pemenuhan kepentingan umum (rakyat) dibidang komunikasi. Bahwa bagaimanapun Pemohon merupakan badan hukum yang oleh Negara diakui sebagai salah satu penyelanggara pemenuhan kepentingan umum (pemenuhan hak dasar rakyat dibidang komunikasi), dan apa yang dilakukan oleh Pemohon secara
  • 7. langsung ikut membantu kewajiban Negara dalam pemenuhan hak dasar rakyat tersebut. Oleh karena biaya ekonomi tinggi akibat penafsiran yang diberikan Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah telah berakibat pada Pasal 124 yang menjadi bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”; 7. Bahwa penerapan 2% (dua persen) dari NJOP dalam penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi juga tidak memberikan perlindungan dan keadilan hukum bagi Pemohon, karena seharusnya tetap didasarkan pada kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian, sehingga penafsiran yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah inkonsisten dengan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah dan berakibat Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyataknan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindunagn, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapakan hukum”; 8. Bahwa Penjelasan Pasal 124 justru membuat ketidakjelasannorma yang terkandung didalam Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, disatu sisi seolah-olah penetapan tarif retribusi tetap mengacu pada biaya pengawasan dan pengendalian, namun di sisi lain biaya pengawasan dan pengendalian dinyatakan sulit dilakukan sehingga digunakan batasan tarif tertinggi 2% (dua persen) dari NJOP. Padahal biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi terbukti tidaklah sulit karena Pemohon terbukti bias mengurai dan mensimulasikannya dalam rumusan yang jelas, tegas dan benar-benar mengacu kepada biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang telah Pemohon tuangkan dalam Table pada point 10 (sepuluh). Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah pada dasarnya tidak dapat digunakan lagi sebagai tafsiran resmi norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah, karena bunyi dari Penjelasan Pasal 124 justru mengaburkan dan membuat ketidakjelasan norma, bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang diatur dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah.
  • 8. 9. Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 UU Pajak daerah dan retribusi daerah memberikan kejelasan norma sehingga penetepan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak daerah dan retribusi daerah (ketentuan Pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka Penjelasan Pasal 124 yang awalnya berbunyi: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut”. Ketentuan tersebut harus diubah sebagai berikut: “Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi”. Dalam membuat Pendapat Hukum (Legal Opinion), Hakim memperhatikan : 1. Keterangan DPR Nama : Anggita Ning tyas Sari Tempat,tanggal lahir : Klaten, 23 Juli 1987 Agama : ISLAM Pekerjaan : Dewan Perwakilan Rakyat Kewarganegaraan : Indonesia Alamat lengkap : Jl. Pahlawan No. 8 Jakarta Pusat. Selaku wakil Dewan perwakilan Rakyat Komisi 3 terkait dengan Pengujian Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya disebut sebagai ..............................................................................Pihak terkait Terhadap pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: 1. Bahwa, DPR beranggapan permohonan yang diajukan Pemohon tidak tepat dan keliru, karena pengujian materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-
  • 9. Undang terhadap UUD 1945, maka para Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan (vide Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) huruf b UU MK). DPR berpandangan bahwa para Pemohon tidak berkedudukan dalam posisi yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Pasal 124 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi: "Obyek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum". untuk itu dibutuhkan suatu kerja yang bersifat pengawasan ( monitoring) dari pemerintah daerah. Dengan penjelasan sebagai berikut : "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalaian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” Sebagaimana dijelaskan para Pemohon sehingga DPR berpendapat bahwa anggapan pemohon merasa di rugikan tentang berlakunya penjelasan pasal 124 undang- undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah adalah tidak mendasar sama sekali karena pokok permasalahan yang di ajukan untuk di uji untuk permohonan constitusional review adalah keberatan pemohon terhadap pengenaan tarif pajak dan retribusi yang di tetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah sehingga hal ini bukan merupakan isu kontotusionalitas dari keberlakuan norma. 2. Kemudian pertimbangan DPR dapat menentuan pasal 124 undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah adalah memngingat banyaknya dampak negatif dari penggunaan sistem telekomunikasi seperti dampak kesehatan ( efek radiasi dapat mengakhibatkan penyakit ) dan kemudian dampak lain yang dapat merugikan masyarakat sehingga memicu anggota legislatif untuk memberikan tarif obyek retribusi maksmimal 2% kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang telekomunikasi yang diharapkan dapat memberikan batasan
  • 10. bagi pihak yang bersangkutan dalam mendirikan menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek pemanfaatan ruang , keamanan dan kepentingan umum. 3. Bahwa DPR selaku dewan legislatif ( Pembentuk undang undang ) tidak setuju apabila Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dihapus, apabila pasal tersebut di hapus tidak ada lagi batasan pemerintah daerah menetapkan tarif retribusi,dan ini justru berdampak menimbulkan kesewenang-wenangan oleh pihak korporasi untuk mendirikan menara telekomunikasi untuk kepentingan pribadi yang merugikan bagi masyarakat. 4. Bahwa Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagai digunakan sebagai batasan bagi pemerintah daerah,sehingga nilainya tidak boleh melampaui 2% dari NJOP. Penetapan tarif maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa, pengendalian, pengawasan yang menjadi dasar penetapan tarif retribusi kadang-kadang sulit diketahui kewajarannya 5. Bahwa prinsipnya pelayanan pemerintah daerah kepada wajib retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pengawasan dan pengendalian. Namun, praktiknya penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan. Karenanya, demi kepastian hukum dan mempermudah penghitungan ditetapkan tarif maksimal 2% (dua persen) itu. Maka, dalam permasalahan penetapan tarif paling tinggi dua persen dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan persoalan konstitusional Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi terkait implementasi norma yang dituangkan dalam perda masing-masing 6. Bahwa, DPR berpandangan ketentuan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang menyatakan: Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 110 ayat (1) huruf adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang ,keamanan dan kepentingan umum. dengan penjelasan pasal sebagai berikut : ”Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalaian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan
  • 11. sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” dalam implementasinya tidak menimbulkan keraguan, kerancuan, kerugian maupun dalam posisi yang tidak dapat dilaksanakan. 2. Keterangan Pemerintah Nama : Irfani Nurul Huda, SH.,MH Tempat,tanggal lahir : Semarang, 15 Oktober 1987 Agama : ISLAM Pekerjaan : Kepala Staf Kementrian Hukum dan HAM Kewarganegaraan : Indonesia Alamat lengkap : Jl. Papan Mas Blok F No.13 Tambun, Bekasi Timur Terhadap pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, Pemerintah menyampaikan keterangan sebagai berikut: “Apabila Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dihapus, tidak ada lagi batasan pemerintah daerah menetapkan tarif. Dan Ini justru berdampak menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah daerah yang merugikan bagi masyarakat. Menurut pemerintah prinsipnya pelayanan pemerintah daerah kepada wajib retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pengawasan dan pengendalian. Namun, praktiknya penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan. Karenanya, demi kepastian hukum dan mempermudah penghitungan ditetapkan tarif maksimal 2 persen itu. Maka, dalam permasalahan penetapan tarif paling tinggi dua persen dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan persoalan konstitusional Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tetapi terkait implementasi norma yang dituangkan dalam perda masing-masing”. Dengan berbagai keterangan parapihak terkait permohonan pemohon atas Pengujian Uji Materiil (Judical Review) terhadap Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Perpajakan yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D dan 28F UUD NRI 1945, saya selaku hakim anggota Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat hukum (legal opinion) dengan MENOLAK permohonan pemohon karena pasal 124 berikut penjelasannya Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak bertentangan dengan Pasal 28 D dan Pasal 28 F UUD 1945.
  • 12. Bahwa penjelasan pasal 124 bukan merupakan masalah konstitusionalitas melainkan masalah implementasi menurut perda masing- masing bagaimana pengaturan mengenai kebijakan tarif teribusi pengendalian dan pengawasan jasa telekomunikasi dikarenakan dengan adanya penetapan tarif retribusi paling tinggi 2% artinya bahwa Pemerintah Daerah boleh menetapkan tarif retribusi dibawah 2% ataupun menetapkan 2% dianggap sah, apabila dalam penetapan tarif retribusi Pemerintah Daerah melebihi 2% hal tersebutlah yang menjadi permasalan. Walaupun dalam pasal 151,152, dan 161 dijelaskan mengenai sistematika tentang langkah- langkah perhitungan tarif retribusi, apabila Pemerintah Daerah mengalami kesulitan dalam melakukan perhitungan tarif retribusi maka dalam penjelasan pasal 124 ditetapkan 2% dan hal itu merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah