3. Seni rupa modern di Indonesia, awalnya
dikembangkan oleh orang-orang Belanda yang
datang ke Indonesia. Perkembangan gaya terjadi
merupakan perpanjangan gaya abad pertengahan
dan romantisme yang berkembang di Eropa abab
ke -18. Di dalam perkembangan dunia seni rupa
Indonesia secara umum, terdapat dua tokoh
penting yaitu Raden Saleh Bustaman dan Raden
Ajeng Kartini. Karya-karya rupa yang dihasilkan
oleh dua pribumi ini telah diakui merupakan
pionir yang membuka khasanah nilai-nilai estetik
modern di zamannya. Hingga sampai pada
zaman kota Bandung dianggap sebagai salah
satu tempat berkembangnya seni rupa pada era
70-an
4. Sejak didirikannya Balai Pendidikan Guru Gambar di
lingkungan Technische Hogeschool (sekarang ITB)
pada tahun 1949 di Bandung, berkembanglah seni
rupa lingkungan akademis. Para mahasiswa
melakukan eksperimen dengan merombak objek
lukisan ke menjadi pola geometris dan membagi-
bagi bidang datar sesuai dengan komposisi garis
dan warna. Gaya semacam ini juga kemudian
menjadi ciri khas para pelukis yang belajar di ITB.
Pelukis beraliran Realisme dianggap sebagai gaya
estetis hasil ‘Laboratorium Barat’.
5. Selanjutnya, berkembang gaya abstrak di
lingkungan seniman ITB. Gaya ini dapat
dikatergoikan atas dua kelompok. Pertama gaya
abstrak tanpa objek, tetapi lebih menekankan
kepada olah bahasa rupa dan imajinasi si pelukis.
Kedua adalah abstrak non-figuratif, berupa
bentuk-bentuk figur yang mengalami
pengabstrakan.
Gaya seni abstrak, meskipun tak sepenuhnya
merujuk pada gaya yang dikembangkan oleh
Achmad Sadali, sempat menjadi kecenderungan
para pelukis akademik di kota Bandung. Hal itu
seperti terlihat pada lukisan A.D. Pirous, Umi
Dachlan, dan Heyi Makmun sebagai generasi yang
lebih muda. Di era 1970-an, para pelukis Bandung
mengembangkan gaya abstrak tersendiri yang
lebih ekspresif dengan objek yang masih dapat
“terbaca”.
6. “Modernisme” di Bandung atau “Mazhab
Bandung” dalam dunia kesenirupaan generasi
berikutnya, mencoba mengawinkan antara
unsur geometris dengan citra tradisional,
unsur mistis dan material alami. Hal itu bisa
terlihat pada diri Sunaryo dengan pencitraan
“Irian”, Hariadi Suadi dengan pencitraan
“Cirebonan”, Sutanto dengan karya grafis
bercitra mistis, serta Setiawan Sabana dengan
unsur pelapukan dan citra material alam.
7. Kita mengenal Pont, Lemei, Kartsen,
Schumacher, Citroen, dan kawan-kawan yang
bekerja membangun perkotaan di Bandung
dengan pelbagai wujud karya arsitekturalnya,
diantaranya yang paling monumental adalah
Gedung Kampus ITB, Vila Isola, Hotel Homan,
Hotel Preanger dan Gedung Sate.
8. (1) Diadopsinya Rasionalisme Eropa sebagai bagian dari
gerakan Modernisme dunia dalam berkarya, terutama
arsitektur yang semangat Fungsionalisme dan Logika
perancangan modern.
(2) Mengadopsi gaya besar dunia, diantaranya, “Neo
Klasik”, “Bauhaus”, “Art Deco”, “Bauhaus”, De Stijl”,
“International Style”, dlsb; yang kemudian memperkokoh
kehadiran Gaya Kolonial di wilayah jajahan;
(3) Berkembangnya tradisi akademik formal dalam
kegiatan kesenirupaan yang sebelumnya merupakan
kegiatan yang bersifat “sanggar” dan sporadis;
(4) Munculnya kesadaran pentingnya perpaduan antara
kebudayaan lokal (etnik) dengan kebudayaan Barat, seperti
dilakukan oleh Pont dalam memadukan pelbagai gaya
arsitekturnya.
9. Tokoh-tokoh intelektual Bandung seperti Oto
Iskandardinata, Dewi Sartika, dlsb, merupakan figur-figur
yang menjadi junjunan warga terutama patriotisme-
intelektualnya. Sejalan dengan hal itu, di Balai Pendidikan
Guru Gambar -THS ( ITB) yang masih dalam masa transisi
pengajaran dari orang-orang Belanda ke kaum pribumi,
kita mengenal figur Simon Admiral, J Hopman, Reis Mulder
mulai memperkenalkan teknik menggambar modern yang
mengkaji teori-teori perspektif dan filsafat estetika Barat.
Juga Jack Zeylemaker dan Piet Pijper yang
memperkenalkan desain dan kerajinan, Hans Frans untuk
gambar anatomi, serta Bernett Kempers untuk kuliah
Sejarah Kesenian Timur dan Beerling untuk kuliah filsafat.
10. (1) Melanjutkan tradisi akademis bergelar untuk
seniman yang terdidik di perguruan tinggi;
(2) Tidak fanatik pada satu gaya senilukis dunia
saja, namun dapat mengadopsi beberapa
gaya, dan tidak menutup kemungkinan
mengembangkan gaya “individual”;
(3) Seorang seniman harus memiliki wawasan
sejarah yang kuat karena ia adalah makhluk
kreatif yang menyerap fenomena
kebudayaan dunia.
11. Jika Soemardja adalah sosok yang membuka jalan,
serta membuka kebudayaan dunia itu masuk ke
ITB, maka Sadali, But Mukhtar, Edie K, Angkama,
Apin, Popo, Barli dan beberapa rekan segenerasi,
merupakan pembangun Mazhab Bandung
menjadi sebuah ideologi kebenaran estetika
modern di Indonesia. Universalisme dalam
mazhab berkesenian yang berkembang di
Bandung itu secara nasional dipertanyakan
eksistensinya karena dinilai kurang peduli dalam
mengekspresikan nasib rakyat bawah.
12. Abstrak Geometris; yang digali dari kaidah-kaidah
estetik dasar, seperti unsur geometri ;
Abstrak Ekspresionis yang mengekspresikan gaya
abstrak melalui torehan, tekstur,plototan cat,
permainan palet, dlsb;
Abstrak Non-Figuratif yang dikembangkan dari unsur
bentukan alam, benda, kaligrafi atau unsur geometris;
Abstrak Formalis dengan usaha mengeksploitasi
bentuk organik dan geometris habis-habisan, terutama
dalam seni patung dan seni keramik
Impresionistis, terutama mengeksploitasi torso, nudis
dan bersifat antroposentris;
13. Simplisiti Perfeksionis dalam berkarya,
mulai dari penerapan kaidah estetika,
pemilihan bahan, kesempurnaan pigura
hingga penyelenggaraan pameran;
Realisme Kerakyatan terutama
menampilkan suasana pasar, lorong dan
kemiskinan,
Dekoratif Kubistis yang menampilkan efek
kotak pada pelbagai obyek, baik fenomena
nelayan, pasar, tukang becak ataupun
kehidupan sehari-hari.
14. Generasi berikutnya adalah terjadinya suatu kondisi
terbentuknya almosfir intelektualitas di kota
Bandung, baik dalam bidang senirupa, profesi
desain, dunia arsitektur, pemikiran seni,
pendidikan seni, gagasan kebudayaan, dan
menyebar kepada bidang-bidang lainnya. Generasi
pengembang dalam bidang kesenirupaan sebagai
benang merah kesinambungan falsafah
kesenirupaan universal diantaranya AD Pirous,
Imam Buchori, Yusuf Affendi, Kaboel Suadi, Srihadi
Soedarsono, G.Sidharta, Soedjoko, Widagdo,
Sanento, Primadi, Rita W, Adjat Sakri, Wiyoso, dan
lain-lainnya. Kemudian generasi selanjutnya diikuti
oleh Umi Dachlan, Abay Subarna, Sunaryo, Surya
Pernawa, Hariadi, Sutanto, dan lain-lainnya,
mengalami proses transformasi lanjut adanya
15. Tradisi Bauhaus yang menerapkan konsep praktikal
dan teoritikal dalam pendidikan desain, berlangsung
secara sinergis dengan pendidikan senirupa dalam
proses pembelajaran, secara bertahap diterapkan
dalam proses pengajaran. Mazhab-mazhab estetika
dunia yang kuat, seperti “International Style”, “Good
Design”, “Simplicity”, “Fungsionalisme”, “Formalisme”,
“Etnisitity”, “Kejujuran Material” dlsb; dikawinkan dan
diadopsi sehingga melahirkan wajah estetika baru
yang kemudian membangun sebuah kekuatan gaya
estetika khas ITB. Hal itu ditunjukkan oleh pelbagai
karya pada pameran desain mebel di Taman Ismail
Mardjuki pada tahun 1970, Pameran 10 Seniman
Bandung di TIM, Ekspo Osaka 70, Interior Balai
Sidang Senayan, dan pelbagai karya yang tersebar
luas di pelosok tanah air, baik karya staf pengajar,
mahasiswa maupun alumninya.
16. (1) Tekstur Kaligrafis, mulai melibatkan aspek kaligrafi timbul dalam lukisan,
terutama kaligrafi Islam ;
(2) Keanekaan Bahan, digali pelbagai kemungkinan penggunaan bahan baru, mulai
dari gips, akrilik; hingga warna emas.
(3) Lukisan Tiga Dimensional, lukisan tidak lagi berupa karya 2 dimensi, tetapi
juga termasuk mencubit kanvas, menjahit, membuat cembung bahkan merobek
kanvas;
(4) Kolase, Lelehan dan Rekahan, efek-efek 3 dimensional dalam lukisan, bermain
bentuk dalam patung dan keramik digali dan dikembangkan kemungkinan-
kemungkinannya;
(5) Bersifat Strukturalis, tampak dalam mengkaji dan membahas karya seni dan
pembentukan istilah-istilah kebahasaan seni secara struktural, munculnya
kegandrungan terhadap kajian semiotis dan semantika.
(6) Tampil Cantik dan Elegan, terutama dalam penyelesaian akhir dan kesan
tampilan pada setiap karya seni yang dihasilkan, baik cara memberi pigura,
memilih merk cat, hingga pembukaan pameran;
mengupayakan terampil tinggi, prinsip-prinsip tersebut banyak dikaji dalam
bidang desain interior dan produk.
17. (7) Multi Media terutama mulai akrab dengan
penggunaan teknologi pertelevisian terbatas
(TVST), penggunaan video rekam dan kamera;
(8) Simbolistis, Mistis dan Mitologis, terutama
penggalian unsur mistik daerah dan kebudayaan
etnik beberapa suku yang memiliki bahasa rupa
unik, yang paling menonjol adalah penggunaan
“Gunungan” , “Makhluk Horor” dan “Pohon Hayat”,
“Unsur Rajah”, ‘Bahasa Jimat’, dsb;
(9) Spirit Bauhaus; serba rasional, berkonsep,
penerapan metodologi, mengupayakan terampil
tinggi, prinsip-prinsip tersebut banyak dikaji dalam
bidang desain interior dan produk.
18. Seni Pop di majalah Aktuil (majalah musik yang amat
populer tahun 70-an) yang diasuh oleh Sanento dan Jim
Supangkat, merupakan wahana para perupa muda untuk
menyalurkan ide-ide kreatifnya. Sejalan dengan itu dalam
dunia sastra, juga terjadi situasi yang sama, sehingga
memicu lahirnya kelompok Puisi Mbeling yang dimotori
oleh Remy Silado, Abdul Hadi WM, Yudistira, Slamet
Sukirnanto, dll; yang berpuncak pada Pengadilan Puisi di
Bandung. Ketika itu, iklim keberpikiran kaum muda
mengalami suasana kritis terhadap situasi politik nasional
yang kemudian memicu meledaknya peristiwa Malari pada
tahun 1974 di Jakarta. Pada saat itu, terdapat pula pra-
kondisi hubungan kurang harmonis antara “generasi tua”
dan “generasi muda” sehingga timbul‘perang dingin”, yang
kemudian meledak ketika terjadi penjurian lomba senilukis
Indonesia di ASRI -Yogyakarta (Desember Hitam).
19. Generasi kritis ini, kemudian membangun
pemikiran alternatif yang kemudian dikenal
sebagai Gerakan Senirupa Baru Indonesia.
Para pelaku dan pembela gerakan ini
diantaranya : Jim Supangkat, Sanento
Yuliman, Priyanto, Nyoman Nuarta, Prinka,
Pandu Sudewo, Hardi, Wagiono, Murni Adhi,
dan lain-lainnya. Gerakan ini kemudian
semakin mendapat simpati ke pelbagai kota,
20. (1) Demokratisasi Seni; hal itu terlihat dalam proses belajar-mengajar yang mengurangi aspek
“cantrikisme” dosen dalam menanamkan mazhab estetik
(2) Multi Disiplin; menghargai dan timbulnya spirit bekerjasama dengan disiplin ilmu lain,
terutama ilmu rekayasa dan ilmu sosial dalam berpikir dan pengkajian kesenirupaan;
(3) Terbuka terhadap aneka gaya kritis; menerima dengan tangan terbuka pelbagai gaya, baik
gaya yang berasal dari masyarakat internasional, gaya pop maupun gaya seni tradisional;
(4) Atmosfir Inovasi; tantangan yang tak habis-habisnya menyebabkan pentingnya inovasi
dalam berpikir maupun berkarya, terutama hadirnya aspek kebaruan dengan pelbagai wujud
kesenirupaan.
(5) “Good Design”; semangat “good design” yang diadopsi dari Modernisme Eropa dalam
pelbagai wujud desain, bahkan dalam gaya hidup para pengajar dan alumnus. Konsep
simplisiti, kejujuran bahan dan efesiensi menjadi landasan dalam berpikir desain.
(6) Detilisma; semangat menyelesaikan semua karya senirupa dan desain hingga unsur yang
sekecil-kecilnya dan tampil sesempurna mungkin.
(7) Senirupa kritis; tradisi Gerakan Senirupa Baru yang enggan melihat kemapanan,
menciptakan jiwa kritis dalam mengungkapkan kreatifitas maupun pemikiran.
(8) Gandrung gaya Eropa dingin; munculnya spirit mendesain yang ke-fnlan-finlanan, atau
gaya Skandinavia yang menggali warna, bentuk dan unsur plastisitas.
(9) Berpihak pada Industri; banyaknya karya desain yang berorientasi kepada industri, baik
industri kecil maupun industri canggih.
(10) Gandrung jatidiri; hal itu ditunjukkan oleh para seniman yang mangadakan pameran
restrospeksi dan penerbitan buku otobiografi edisi luks dengan biaya sendiri.
(11) Keranjingan mengutak-atik istilah, terutama istilah kesenirupaan modern yang dirujuk
dari sumber bahasa Indonesia Baku, Jawa Kawi, Sansekerta, atau sumber nasional lainnya.
(12) Bangga dengan estetik tradisi. Berusaha untuk mengangkat keberhasilan sejarah nenek
moyang dan senirupa tradisi.
21. Ketika generasi perintis mulai uzur, Mazhab Bandung pada
generasi kritis mengalami proses pemantapan melalui pelbagai
terobosan alternatif berekspresi seni kontemporer, diantaranya
Gaya ‘Realisme Kritis’, ‘Realisme Kerakyatan’, Sensualitas, Seni
Massa, Dekonstruksifis hingga Pop (Vulgaristik), ‘Multi Eklektik’ ,
‘Green Design’, ‘Posmo’, dan pelbagai gaya yang diadopsi dari
kebudayaan dunia kritis menjadi bagian kehidupan berekspresi.
Di paruh kedua tahun 90-an, Para pengajar, seniman, para
mahasiswa, di lingkungan pendidikan senirupa ITB mengalami
kebebasan yang luar biasa dalam menentukan gaya. Mazhab
Bandung yang berdomisili di lingkungan kampus ITB mengalami
pergeseran ke arah Multi Kultur, Multi Disiplin dan Pluralitas
secara radikal. Beberapa seniman dan perupa generasi
kebebasan ini, diantaranya Tisna Sanjaya, Setiawan Sabana,
Maman Noor, Hendrawan Riyanto, Asmudjo Irianto, dan lain
lainnya. Dalam bidang desain sejak akhir tahun 90-an, juga
muncul generasi baru yang lebih bebas dari pemikiran aliran
Bandung ‘posstrukturalis’, diantaranya Yasraf Amir Piliang,
Duddy Wiyancoko, Rizki Zaelani, dan lain-lain.
22. (1) Multi kultur; berkarya dan berpikir bertitik tolak dari pelintasan aneka
budaya, baik budaya industrial, budaya ekonomi, budaya teknologis, budaya
tradisi hingga budaya antar bangsa.
(2) Semangat menginternasional; hal itu ditunjukkan oleh seringnya pameran di
pelbagai negara dan kerjasama dengan pelbagai universitas antar negara.
(3) Posmodernitas; marak diadopsinya trend gaya Memphis dan Posmodern
dalam dunia visual serta ikutan bahasa rupa Posmodern, baik dalam karya
mahasiswa maupun dosen.
(4) Gandrung komputer grafis; semakin canggihnya komputer grafis, secara
bertahap fenomena meja gambar mulai beralih kepada media digital :
menggambar dan berekspresi melalui komputer.
(5) Peduli lingkungan; terutama sejalan dengan spirit deklarasi Rio, Isu Eko
Labeling dan “Green Product” menjadi trend para mahasiswa dan alumni dalam
berkarya.
(6) Keranjingan budaya “Hiper Realitas”; mengadopsi pelbagai macam pemikiran
barat, terutama Baudrillard dalam pelbagai kajian wacana kesenirupaan dan
desain.
(7) Senirupa kritis; berekspresi dalam bentuk bahasa rupa yang bertitik tolak
dari situasi anomali sosiologis masyarakat Indonesia dan kemuakan terhadap
situasi politik nasional.
23. (8) Semiotika rupa; mengadopsi dari teori semiotik Pierce dan
Umberto Eco dalam membedah aneka bahasa, teori ini
banyak dirujuk dalam penelitian para mahasiswa pascasarjana
senirupa dan desain.
(9) Seni Instalasi; teknik dan media berekspresi yang amat
bebas dapat mennggunakan apa saja untuk mengungkapkan
sesuatu;
(10) Wirausaha Seni; tumbuhnya semangat untuk
berwirausaha (bukan menjadi karyawan atau pekerja) serta
kemandirian dalam pelbagai kegiatan kesenirupaan dan
desain.
(11) Hukum Sebagai Panglima; tumbuhnya spirit kepedulian
terhadap undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual dan
mulai dibukanya perkuliahan hukum di lingkungan
pendidikan senirupa.
(12) Mengilmiahkan Seni; semangat yang besar dan usaha
yang tak pernah henti untuk mendekati fenomena kesenian
dari sudut ilmiah agar dapat setara dengan keilmuan yang
lain.
24. Mazhab Bandung dalam kurun lebih setengah abad, hakikatnya telah
“mengideologi” menjadi satu wacana falsafah kemajemukan yang terjadi
pada proses pendidikan, proses kreasi maupun dialog keberpikiran dalam
dunia kesenirupaan di Indonesia. Ciri-ciri yang berhasil direkam oleh
penulis, mungkin merupakan sebagian saja dan tidak lengkap, namun
pengaruhnya kepada kelangsungan kebudayaan nasional tetap terlihat. Hal
ini terlepas dari para alumni senirupa ITB yang bekerja sebagai pengajar di
pelbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dan membawa “aspek-
aspek” keilmuan dan ideologi Mazhab Bandung itu menyebar ke pelbagai
wilayah. Hal yang paling kita sadari, tentunya disamping “Tradisi
Akademis”, “ITB-isme” dan ikatan kebersamaan, Mazhab Bandung telah
mengalami transmutasi generik ke dalam idiom-idiom yang lebih kecil.
Idiom Sanentoisme, ke-Tisna-tisnaan, Yasrafian, dan sejenisnya.
Ketika dunia seni di luar ‘tradisi akademis’ telah tumbuh demikian besar,
melalui berkembangnya ‘agen-agen’ kesenian, serta maraknya seniman-
seniman berkaliber internasional berpameran dan bertransaksi, maka di
lingkungan akademis terjadi kebalikannya. Pendidikan senirupa telah
menjadi ‘usang’ dan ‘mengenas’ karena kekurangan dana, lemahnya
kepedulian masyarakat dan lambat berkembang. Meskipun minat
masyarakat terhadap pendidikan kesenirupaan senantiasa ada.