1. Politik Adi Daya “Di Negeri Garuda”
Oleh: Irvanuddin
Jika dalam dunia Internasional, kekuatan politik adidaya sangat identik dengan Amerika serikat
dan sekutunya, maka dalam kancah perpolitikan Indonesia, kekuatan politik adidaya tersebut
sangat identik dengan Pusat (Jakarta) secara khusus dan Jawa (kekuatan politik) secara umum.
Fenomena kekuatan politik adidaya tersebut sebenarnya telah terlihat dalam politik Indonesia,
bukan hanya belakangan ini, tetapi sesungguhnya telah terjadi sejak era pra pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Betapa tidak mulai dari tokoh, pemikiran, simbol, hingga strategi,
tehnik dan taktik pergerakan kebangsaan dan kenegaraan, Jakarta secara khusus dan Jawa secara
umum adalah entitas politik yang sangat dominan dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Sehingga tidak heran jika kemudian, Indonesia selalu di identikkan dengan Jakarta atau Jawa.
Fenomena kekuatan politik adidaya ini disatu sisi memang mengandung maksud yang positif
khususnya ketika kita membicarakan teori integrasi dalam ilmu politik. Bahwa harus ada
kekuatan dominan atau sentral yang dijadikan rujukan untuk mengelola sumber daya politik
periperi, sehingga disintegrasi bisa diminimalisir.
Tetapi disisi yang lain fenomena lahirnya kekuatan politik adidaya khususnya di era neo hibrida
post modernisme seperti sekarang ini justru akan melahirkan perasaan xenophobia bagi sebagian
wilayah lain di Indonesia, apalagi jika wilayah tersebut masih jauh terbelakang dari segi
ekonomi, pendidikan, dan politik dibanding dengan pusat. Hal inilah yang kadangkala menyulut
api pemberontakan sebagai bentuk pengingkaran politik atas kekuatan politik adidaya tersebut.
Dan ini pula yang telah menggerogoti tokoh-tokoh politik dan pemikir Indonesia dari berbagai
lintas klan pemikiran di daerah yang tergolong periferi, khususnya setelah terlihat banyaknya
kegagalan, keragu-raguan dan kelemahan yang dilakukan baik oleh tokoh, pemikiran, maupun
strategi, tehnik dan taktik pusat (jakarta dan jawa) dalam menyelesaikan berbagai problem hidup
dan kehidupan kebangsaan dan kenegraaan.
Parahnya kekuatan politik adidaya tersebut membuat para tokoh (pengamat, praktisi, politisi,
ulama, dll) , pemikiran dan tindakannya justru semakin mengamini perasaan akan kehebatan
kekuatan tersebut. Sehingga perasan tersebut akhirnya menjelma menjadi arogansi,
kesombongan dan keangkuhan, yang telah menyelinap dalam elemen-elemen kekuatan
masyarakat Jakarta secara khusus dan Jawa secara umum. Perasaan ini bertambah kuat,
2. mengingat hampir semua pimpinan lembaga suprasrtuktur politik (eksekutif, legislatif dan
yudikatif) dipegang oleh orang Jawa. Akhirnya meski sudah diketahui, tetapi kita sebagai
masyarakat Indonesia, senantiasa bertanya-tanya tentang apa sebenarnya yang sedang
mendominasi atmosfir politik Indonesia.
Jawa adalah sumber dan penjaga institusi Demokrasi di Indonesia. Jakarta dan Jawa di masa
transisi politik demokrasi sekarang ini tengah menikmati keadidayaan yang bahkan belum
pernah dirasakan oleh emperium terbesar dikawasan nusantara sekalipun pada permulan sejarah
(majapahit). Dengan Jumlah penduduk yang sangat besar serta tersebar ke seluruh wilayah
Indonesia yang tentunya sangat sinergi dengan sistem politik demokrasi (suara terbanyak), maka
kemungkinan besar kekuatan politik kekuasaan mulai dari domain eksekutif, legislatif dan
yudikatif masih tetap menjadi nama permanen bagi kekuatan politik Jawa.
Selain itu, Jawa bisa menguasai sistem politik kekuasaan Indonesia dengan kucuran akumulasi
modal politik, sosial, budaya dan ekonomi yang jauh lebih besar. Sehingga kadang kala
kebudayaan Jawa juga menjadi standar wacana dan laku bagi manusia Indonesia di seluruh
pelosok Indonesia.
Politik polaritas Jawa sebagai kekuatan politik (bukan sebagai suku bangsa) dijaman sekarang
mengalami metamorfosa yang sangat cepat dibanding dengan jaman sebelumnya. Di zaman
dahulu (pra kemerdekaan dan kemerdekaan), meski para tokoh dan pemikirannya sangat
berorientasi Java-sentris tetapi tujuan mereka sangat egaliter dalam hal ini mengangkat harkat
dan martabat manusia Indonesia dari sabang sampai merauke. Ironisnya dijaman sekarang hal
tersebut tidak terjadi, justru politik popularitas kekuatan politik adidaya tersebut benar-benar
telanjang yang sangat identik dengan arogansi dan keangkuhan. Ketimpangan pembangunan
ekosopop (ekonomi, sosial, politik dan pendidikan) adalah realisasi dari keangkuhan tersebut.
Sehingga tidak salah jika kemudian banyak kalangan yang berpendapat bahwa Jakarta dan
daerah sekitarnya saja yang selalu dijadikan titik sentral pembangunan, sedangkan daerah lain
hanyalah penyuplai pembangunan melalui kekayaan alam daerahnya.
Anehnya logika arogansi dan pandangan sebelah mata terhadap daerah khususnya mengenai
pembangunan ini, serta akibat lanjutannya (separatisme dan lain-lain) justru menjadi justifikasi
bagi pemerintah pusat untuk menjauhkan keterlibatannya dalam pembangunan dengan
mengorbitkan investor asing untuk menggarap sumber daya alam daerah agar peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah bisa mengalami peningkatan. Hal inilah yang dijadikan sebagai
3. jawaban atas ketimpangan yang ada. Bahkan ada upaya dari pemerintah pusat untuk berusaha
melakukan penyelarasan dan penyeragaman pola kesejahteraan dan gaya hidup antara pusat dan
daerah. Bahwa daerah harus meningkatkan gaya, taraf hidup dan kesejahteraannya agar
mencapai gaya, taraf hidup dan kesejahteraan pusat.
Akhirnya tidak heran jika kemudian orang-orang daerah terkesan tengah memainkan peranan
sebagai pembantu rumah.
Pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah Apakah daerah-daerah lain di luar Jawa
benar-benar telah mengetahui politik cengkraman kekuatan yang dijalankan oleh pusat dan
Jawa untuk mencengkram konsep kebangsaan dan kenegaraan?
Dan apakah pusat dan Jawa sebagai kekuatan politik benar-benar sadar tentang apa yang telah
mereka lakuakan?.
Mengenai pertanyaan pertama, jika kemudian mereka tidak mengetahuinya, maka bagaimana
bisa muncul gerakan pemberontakan di daerah. Dan mengenai pertanyaan kedua, jika kemudian
mereka sadar dalam melakukan tarian politik kekuatan adidaya, maka bukankah model hubungan
entitas politik yang dibangun berdasarkan cengkraman satu kekuatan tidak akan berumur
panjang.
Pertanyaan dan Jawaban diatas memang merupakan penolakan realitas, tetapi penolakan yang
dimaksud penulis lebih mirip pernyataan filsuf dan orang bijak ketimbang pernyataan para
politisi. Proposisi pertanyaan dan jawaban menyandarkan penolakan kepada masa depan dan
logika sejarah. Artinya, ini merupakan pernyataan yang mengindikasikan bahwa daerah tidak
akan melakukan tindakan apapun untuk menghentikan politik polarisasi ini.
Dengan demikian jelas, bahwa pusat telah memasuki dunia dengan titik tolak keIndonesiaan
baru. Indikasi-indikasi titik tolak ini terlihat dengan jelas dan sangat cepat, khususnya setelah
keberhasilan politik kekuasaan dilembaga suprastruktur politik dan kepatuhan daerah dinusantara
kepadanya serta tidak adanya perlawanan apapun yang layak disebutkan. Hal yang membuat
pusat semakin serius untuk mencengkram daerah dan menanam investasi untuk kekuatan politik
sebagaimana yang ditunjukkan pada maraknya fenomena terorisme dan separatisme.
Hanya saja, politik polaritas yang arogan ini akan mengundang permusuhan terselubung dan
akan mengorganisir permusuhan tersebut untuk melawannya. Disamping akan mengubah relasi
antar entitas politik yang semakin dingin, kelak daerah akan memukulnya dengan pukulan yang
lebih dahsyat.
4. Logika kekuatan otot akan memicu pihak lain merasa dendam serta kebencian dan permusuhan
yang sesungguhnya. Jika tidak ada ruang untuk mengartikulasikan perasaan ini, yaitu perasaan
menjadi pemikiran, kemudian aksi, maka hasilnya pasti akan negatif, bahkan sangat destruktif.
Jika tidak ada pembenahan politik secara total, maka bisa jadi Pusat akan jatuh dari
ketinggiannya, sementara tidak akan ada siapapun yang akan mengasihaninya.
Salam Diskusi,
Irvanuddin