Dokumen ini merupakan prosiding seminar nasional pendidikan matematika yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Seminar ini membahas tentang pendidikan karakter bagi calon pendidik dan menerima makalah dari berbagai pemakalah. Dokumen ini memuat kata pengantar, sambutan ketua panitia, daftar isi, dan beberapa makalah yang dipresentasikan pada seminar tersebut.
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY R DENGAN M...Warnet Raha
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY R DENGAN MAKROSOMIA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAKOBALU
KECAMATAN KABANGKA KABUPATEN MUNA
TANGGAL 05 MEI 2015
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY R DENGAN M...Warnet Raha
MANAJEMEN DAN PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN INTRANATAL PADA NY R DENGAN MAKROSOMIA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAKOBALU
KECAMATAN KABANGKA KABUPATEN MUNA
TANGGAL 05 MEI 2015
3. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
i
KATA PENGANTAR
Dengan Senantiasa mengharap rahmat dan ridho Allah S.W.T, atas karunianya Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika I ini akhirnya dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan
Matematika insya Allah merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Program Studi
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung tiap tahun. Kegiatan ini merupakan sebuah
wadah bagi pendidik, peneliti dan pemerhati pendidikan matematika untuk mendifusikan kajian
ilmiah serta untuk meningkatkan kerjasama diantara peserta.
Persoalan budaya dan karakter bangsa belakangan ini menjadi sorotan masyarakat. Keprihatinan
terkait berbagai aspek kehidupan diungkap dan dibahas di media massa, Selain itu, para pemuka
masyarakat, ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial mengangkat persoalan budaya dan
karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, perilaku kekerasan dan
perusakan, kejahatan seksual, pola hidup yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif,
dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat. Berbagai alternatif penyelesaian telah diajukan
seperti peraturan, undang-undang, dan penegakan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang
banyak dikemukakan untuk mengatasi atau mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa
seperti itu adalah pendidikan. Oleh karena itu, Seminar nasional pendidikan matematika I
mengambil tema ―Membangun Pendidikan Karakter bagi Calon Pendidik‖ yang diselenggarakan di
Kampus STKIP Siliwangi Bandung pada tanggal 7 Desember 2011.
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi atas
penyelenggaraan Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini sehingga berhasil dengan baik,
khususnya kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi, Bapak Ketua STKIP Siliwangi Bandung
beserta jajarannya, Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika, Steering
Committee serta semua panitia yang telah membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
4. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
STKIP SILIWANGI BANDUNG
Assalamu’alaikum wr wb,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Bapak, Ibu, dan Saudara/I peserta seminar yang berbahagia.
Dengan senantiasa mengharapkan Rahmat dan Ridho Allah S.W.T karena telah mempertemukan
kita pada acara seminar nasional pendidikan matematika di STKIP SILIWANGI Bandung dalam
keadaan sehat wal‘afiat semoga seminar ini dapat berjalan dengan lancar dan memberikan manfaat
bagi kita semua, Amien.
Seminar Nasional Pendidikan Matematika ini dengan tema, ―Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran Matematika bagi Para Calon Pendidik‖, bertujuan untuk : 1) memberikan
pemahaman kepada kita semua tentang arti pentingnya karakter dan bagaimana mengintegrasikan
dalam pembelajaran matematika 2) mempublikasikan hasil-hasil penelitian atau kajian dalam
lingkup pendidikan matematika, dan 3) membangun kesinambungan antara lembaga pendidikan,
dan lembaga penelitian dalam mengembangkan dan mengaplikasikan karakter dalam pembelajaran
matematika menuju masyarakat Indonesia yang bernafaskan Iman, Ilmu, dan Ikhsan. Kegiatan
seminar ini diharapkan menjadi kegiatan tahunan Program Studi Pendidikan Matematika STKIP
Siliwangi Bandung.
Panitia seminar mengundang tiga narasumber sebagai pembicara utama, Ketiga orang tersebut
adalah Bapak Prof. Dr. H. Wahyudin, M.Pd, Ibu Prof. Dr. Utari Sumarmo, dan Prof. H.E.T.
Ruseffendi, PhD. Ketiga narasumber tersebut akan menyampaikan makalahnya dalam setiap sesi
yang berbeda, selain makalah dari ketiga pembicara utama, panitia menerima 35 abstrak dan 29
makalah dari pemakalah dari berbagai propinsi untuk dipresentasikan dalam sesi paralel, dari
kesemua pemakalah hanya 24 makalah yang akan dipresentasikan dalam sesi paralel tersebut.
Seminar ini juga dihadiri oleh peserta pendengar yang terdiri dari Mahasiswa, Dosen, Guru dan
Praktisi dunia pendidikan.
Seminar ini terselenggara berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ketua STKIP SILIWANGI beserta Jajarannya, Bapak
Ketua dan sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika. Sebagai ketua panitia, saya
menyampaikan penghargaan kepada segenap anggota panitia dan semua pihak yang telah
membantu demi terselenggaranya kegiatan seminar ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kesalahan, dan kehilafan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon keikhlasan
Bapak, Ibu Saudara/I peserta seminar untuk memaafkan kami.
Akhirnya, kami berharap seminar ini memberikan manfaat bagi kita yang hadir disini khususnya
dan dunia pendidikan pada umumnya.
Wassalmu’alaikum wr wb.
Bandung, 7 Desember 2011
Ketua Panitia Seminar Nasional
Rafiq Zulkarnaen, S.Pd., M.Pd.
5. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................. i
KATA SAMBUTAN ............................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... iii
PEMBICARA UTAMA
NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
OIeh : H.E.T. Ruseffendi .................................................................................................................... 1
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : Utari Sumarmo........................................................................................................................ 22
MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA YANG BERKUALITAS
Oleh : Wahyudin ................................................................................................................................ 33
MATEMATIKA PENDIDIKAN
PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER ALA JEPANG DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI INDONESIA
Oleh : Euis Eti Rohaeti....................................................................................................................... 43
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh : Asep Ikin Sugandi................................................................................................................... 50
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR STATISTIS MAHASISWA S-1 MELALUI
PEMBELAJARAN MEAS
YANG DIMODIFIKASI
Oleh : Bambang Avip Priatna Martadiputra(1)
, Didi Suryadi(2)
................................................... 57
PENINGKATAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI
PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Studi Eksperimen pada Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri Kelompok Pariwisata di kota Bandung
Oleh : Puji Lestari .............................................................................................................................. 64
KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI KOLABORASI
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN JIGSAW II PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
KEJURUAN
Oleh : Rudy Kurniawan..................................................................................................................... 73
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIK SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING
Oleh : Masta Hutajulu ....................................................................................................................... 83
MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA DALAM MATEMATIKA MELALUI
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
Oleh Nur Izzati ................................................................................................................................... 91
PENERAPAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI DAN REPRESENTASI MATEMATIK SISWA
SEKOLAH DASAR (Studi Kuasi Eksperimen di Kelas V Sekolah Dasar Kota Cimahi)
Oleh : Yuniawatika ............................................................................................................................ 97
6. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
iv
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI KOOPERATIF JIGSAW
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH
MENENGAH PERTAMA
Oleh : Nitta Puspitasari ....................................................................................................................107
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GENERALISASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN
MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING
Oleh : Anik Yuliani...........................................................................................................................115
BERPIKIR INTUITIF (INTUISI) SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) DALAM
MENGEMBANGKAN BERPIKIR KREATIF
Oleh : Aan Hasanah..........................................................................................................................122
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN BERPIKIR KREATIF
GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH BERBANTUAN PROGRAM CABRI GEOMETRY II
Oleh : Atik Krismiati ........................................................................................................................130
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN
DENGAN PENDEKATAN METAKOGNITIF
Oleh : Tata.........................................................................................................................................138
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS SISWA SMA MELALUI
PEMBELAJARAN INKUIRI MODEL ALBERTA
Oleh : Kartini ....................................................................................................................................145
PEMBELAJARAN ETNOMATEMATIKA DENGAN MEDIA LIDI DALAM OPERASI
PERKALIAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER KREATIF DAN CINTA
BUDAYA LOKAL MAHASISWA PGSD
Oleh : Supriadi ..................................................................................................................................154
INTUISI DALAM BERMATEMATIKA: FAKTA DAN IMPLIKASINYA PADA
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Oleh : Agus Sukmana .......................................................................................................................159
MENGENALKAN MATEMATIKA MELALUI PENGAMATAN ALAM SEMESTA (Menanamkan
Karakter Rasa Ingin Tahu, Peduli Lingkungan dan Menghargai Prestasi)
Oleh : Agung Prabowo .....................................................................................................................166
KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS MELALUI PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK PADA KONSEP PECAHAN DAN PECAHAN SENILAI
Oleh : Wahid Umar...........................................................................................................................177
PENGARUH KECEMASAN MATEMATIKA (MATHEMATICS ANXIETY) TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : Ika Wahyu Anita ...................................................................................................................186
PEROLEHAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF (IPK) MAHASISWA PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN MATEMATIKA UIN BANDUNG BERDASARKAN JALUR MASUK YANG
DITEMPUH DAN ASAL SEKOLAH
Oleh : Rahayu Kariadinata, Asep Jihad, Ni’ma Hilda Mahmudah .............................................194
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP
MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL CORE
Oleh : Ellisia Kumalasari .................................................................................................................221
7. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
v
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM
SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN ADAPTIF SISWA SMA
(Penelitian Kuasi Eksperimen pada Siswa Kelas X SMAN 6 Bandung)
Oleh : Ibrahim Sani Ali Manggala.................................................................................................. 229
PERBANDINGAN HASIL BELAJAR MATEMATIK SISWA ANTARA YANG
PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN TAHAP-TAHAP VAN HIELE DENGAN
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Oleh : Rita Rudita ............................................................................................................................ 235
PENDIDIKAN KARAKTER TERINTEGRASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
SEKOLAH
Oleh : Sony Hariana......................................................................................................................... 239
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERNUANSA GUIDANCE AND COUNSELING
Oleh : Sutirna.................................................................................................................................... 245
MENUMBUHKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
DENGAN PENDEKATAN KONTEKTUAL
Oleh : Kokom Komariah ................................................................................................................. 249
GURU DAN SISWA BERKARAKTER
Oleh : Reti Damayanti...................................................................................................................... 255
PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SMP
Oleh : R. Bambang Aryan Soekisno ............................................................................................... 261
MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIK SISWA SEKOLAH
MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIFTHINK-TALK-WRITE
(TTW)
Oleh : Wahyu Hidayat ..................................................................................................................... 272
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN ARIAS TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN
MATEMATIS SISWA SMP DITINJAU DARI TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL
Oleh : Hamidah ................................................................................................................................ 280
PENERAPAN METODE SAVI DENGAN PENDEKATAN INDUKTIF DAN PENINGKATAN
BERFIKIR KREATIF MATEMATIS
Oleh : Haerudin................................................................................................................................ 287
PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN PENDEKATAN SAVI BERBANTUAN WINGEOM
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP
Oleh : Harry Dwi Putra .................................................................................................................. 292
8.
9. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 1
NASKAH AKADEMIK MATEMATIKA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
OIeh : H.E.T. Ruseffendi
I. PENDAHULUAN
Naskah Akademik ini tidak memuat rasional umum dibuatnya Naskah Akademik itu, tetapi
langsung mengenai Pendidikan Matematika di jenjang SMP. Sebabnya ialah karena yang secara
umum itu sudah ditulis pada Naskah Akademik Satuan Pendidikan yang bersangkutan. Yang akan
diuraikan di bagian pendahuluan ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan dan
ketidakberhasilan siswa belajar. Faktor-faktor itu adalah: Tujuan Pendidikan Nasional sampai
dengan Tujuan Instruksional Khusus atau indikator, hakekat matematika, alasan matematika
diajarkan, matematika sekolah, yang berkepentingan dengan matematika, hakekat pendidikan
matematika, hakekat anak didik, teori belajar-mengajar matematika, guru dan LPTK, kebijaksanaan
penguasa, keadaan masyarakat umum, khususnya matematikawan dan pendidik matematika.
1.1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional kita sangat ideal sebab, selain agar manusia Indonesia sehat jasmani
dan rohani, cerdas, dan sebagainya tetapi juga agar manusia Indonesia bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Konsekuensinya, manusia Indonesia harus beragama. Sehingga bila hasil didikan
kita itu tidak berag:rma itu berarti pendidikan kita itu gagal. Bila manusia hasil didikan kita tidak
beragama, manusia-manusia Indonesia itu sama saja dengan hasil pendidikan yang sekuler.
Seperti kita ketahui, tujuan pendidikan nasional itu dijabarkan ke tujuan institusional, ke tujuan
kurikuler, dan ke tujuan instruksional; di yang lama tujuan instruksional umum dan khusus,
sedangkan di yang baru ke standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kedua-duanya
sama saja merupakan jabaran dari aliran tingkah laku (behaviorist). Dalam tujuan institusional
mengenai satuan pendidikan itu semestinya tercantum apakah sampai dengan SMP itu merupakan
jenjang wajib belajar? Dan pada tujuan kurikulernya sudah tercantum tujuan pembentukan
sikapnya. Masalahnya instrumen untuk melihat hasil belajar itu hampir semuanya hanya mengukur
daerah pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan daerah efektif sering terlupakan.
1.2. Hakekat Matematika
Matematika itu sebenarnya apa?
Matematika itu bisa berupa studi deduktif, ratunya ilmu, bahasa, seni, pelayan ilmu, dan aktivitas
manusia. Berpendapat bahwa matematika itu adalah itu (studi deduktif misalnya) akan berpengaruh
terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Bila kita berpendapat matematika itu studi deduktif
maka pembelajaran matematika di sekolah akan formal, miskin dari penerapan, di SMA-nya penuh
dengan bukti, dan tidak kontekstual. Apakah pengembangan matematika itu ada atau tidak ada
gunanya bagi orang yang berpendapat seperti itu tidak jadi masalah. Maksudnya, bila ada gunanya
syukur, bila tidak ada tidak jadi masalah. Jadi, pengembangan matematika itu tidak menyangkut
anak.
Begitu pula bila kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu. Matematika itu akan indah
sendiri, terpelihara dari kesalahan-kesalahan, dan akan maju sesuai dengan keinginan sendiri. Bila
kita berpendapat bahwa matematika itu ratunya ilmu, kata metematika, ―Bila perlu aku, datanglah
kepada ku‖.
Bila kita berpendapat, metematika itu sebagai bahasa, maka pembelajaran matematika di sekolah
itu bisa beragam. Bagi anak-anak yang kurang mampu harus tidak formal dan bagi yang mampu
bisa kepada yang formal dan bahkan bisa kepada sistem yang aksiomatik. Tetapi bagaimana pun
bahasanya itu bahasa internasional, hemat, padat, cermat, singkat, dan tidak mendua arti. Misalnya
untuk jumlah bilangan asli dari 1 sampai dengan l00 adalah l + 2 + 3 +... + l00 atau 𝑖100
𝑖=1 .
10. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
2 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Menunjukkan kebenaran jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah bisa seperti di sekolah
dasar yaitu memotong-motong sudutnya lalu menyambung-nyambungnya pada sebuah garis lurus,
bisa juga dengan bukti formal secara deduktif. Matematika itu adalah seni, maksudnya ialah
matematika itu sesuatu yang indah. Indahnya itu bukan saja pada bentuk-bentuk geometri yang
indah seperti persegi atau persegipanjang padajendela, tabung pada penyanggah bangunan, bentuk
simetris pada pintu dan lain-lain juga pada pembuktian yang secara deduktif. Pembuktian secara
deduktif itu misalnya pembuktian jumlah sudut-sudut pada sebuah segitiga adalah 180o dan
pembuktian jumlah dua buah bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pada kedua cara itu, bukti bisa
diselesaikan dalam satu-dua kalimat sedangkan dengan bukti cara biasa, sampai kiamat pun tidak
akan selesai. Bila kita berpendapat matematika itu sebagai seni, pembelajaran matematikanya bisa
tidak formal dan bisa formal juga.
Matematika adalah pelayan ilmu artinya matematika itu harus melayani bidang-bidang studi lain;
melayani fisika, kimia, akutansi, dan lain-lain. Dalam hal ini, matematika yang diberikan di sekolah
harus matematika sebagai ilmu terapan; bukan yang teori.
Kemudian matematika disebut kegiatan manusia karena matematika digunakan oleh manusia di
segala lini kehidupan, seperti orang awam di pasar, supir angkot, pengemudi beca, siswa,
mahasiswa, kantor-kantor, bidang studi lain, dan manusia dalam pengembangan teknologi tingkat
tinggi. Bila demikian maka pembelajaran matematika di tingkat bawah harus kontekstual seperti
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia).
Demikian sedikit uraian mengenai hakekat matematika.
1.3. Alasan Makanya Matematika Diajarkan di Sekolah
Mengapa Matematika diajarkan di Sekolah?
Alasan makanya matematika diajarkan di sekolah itu banyak. Pertama kegunaan dalam penerapan.
Seperti sebagian sudah diuraikan di bagian l.2, matematika itu untuk orang-orang awam dalam
kehidupan sehari-hari, untuk studi lanjut, untuk kenaikan kelas atau jenjang, sebagai pelajaran atau
kuliah prasyarat, untuk membantu bidang studi lain, dan untuk pengembangan teknologi tingkat
tinggi. Kedua, untuk mencerdaskan bangsa. Mengenai untuk mencerdaskan bangsa ini paling tidak
terdapat tiga orang ahli yang pendapatnya bisa diacu: Hebb, Cattell, dan Thurstone. (Ruseffendi,
2006, h.111-112).
Hebb mengatakan, bahwa kecerdasan manusia itu tergantung dari turunan dan lingkungan.
Mengenai turunan, saya kira tidak diragukan lagi. Seorang anak cerdas karena orang tuanya cerdas.
Kemudian lingkungan dapat mencerdaskan manusia ialah berdasarkan pengalaman orang-orang
yang berwarna kulit hitam di Amerika Serikat. Selama beratus tahun mereka ada dalam keadaan
sebagai budak belian dan ada diskriminasi; lingkungannya sangat jelek dan keadaannya
terbelakang. Tetapi kemudian setelah mereka menjadi manusia bebas, banyak dari mereka yang
menjadi politikus terkenal, dokter, ahli hukum, penyanyi, petinju, dan olahragawan lainnya. Dan
matematika terutama untuk tingkat bawah dapat memperkaya lingkungan seperti mainan banyak
yang bentuknya geometris, alat peraga dan media lainnya, dan permainan matematika.
Cattell berpendapat bahwa dalam otak manusia itu ada bagian yang Kristal dan bagian cair. Bagian
yang kristal hanya dapat menyelesaikan soal-soal rutin yaitu sa'al-soal yang algoritmenya sudah
ada. Sedangkan soal pemecahan masalah dan yang berkenaan dengan kreativitas hanya bisa
diselesaikan dengan otak bagian cair. Dan soal-soal pemecahan masalah dan yang kreatif dalam
matematika itu banyak. Selain itu dengan diberikannya soal-soal pemecahan masalah dan yang
kreatif, kemampuan siswa dalam pemecahan soal itu akan optimal.
Thustone berpendapat ada 7 kemampuan dasar yang dapat dipakai untuk memilah-milah anak-anak
pandai dari yang tidak. Tujuh kemampuan mental dasar itu adalah: kecepatan mengamati, fasih
dalam kata-kata, penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, kemampuan verbal, dan
kemampuan mengenai bilangan. Katanya bila kita membuat soal-soal berdasarkan ketujuh
komponen kemampuan mental pokok itu dan andaikan seorang siswa memperoleh jawaban yang
11. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 3
benar lebih banyak daripada temannya, maka anak yang bisa menjawab lebih banyak benarnya itu
adalah anak yang lebih cerdas. Karena dari tujuh komponen itu paling tidak
empat buah mengenai matematika (penalaran, ingatan, kemampuan tilikan ruang, dan kemampuan
mengenai bilangan), maka dapat disimpulkan bahwa matematika itu diajarkan di sekolah adalah
untuk mencerdaskan bangsa.
1.4. Matematika untuk Sekolah Itu yang Mana?
Matematika sekolah itu yang mana?
Bila diperhatikan, matematika sekolah di Amerika Serikat itu ada matematika tradisional, New
Math atau Matematika Modern, Back to The Basics, dan Matematika Kontemporer. Kemudian di
sekolah dasar Belanda banyak yang menerapkan PMR (Pendidikan Matematika Realistik).
Seperti kita ketahui, matematika tradisional itu diberikan pada tahun 50-an ke belakang. Ciri-
cirinya itu adalah materinya sedikit, penekanan pembelajarannya stimulus-respon yang
menekankan kepada kecepatan, hafalan, hafalnya algoritma, dan yang serupa. Pada waktu itu
karena alat-alat hitung cepat dan tepat belum banyak, cepatnya dan benamya kita menyelesaikan
soal harus yang utama. Seperti kita ketahui rumus-rumus bagi sekolah dasar seperti luas lingkaran,
keliling linekaran, isi bola, luas bola, dan isi kerucut harus dihapalkan tarrya adanya pengertian.
Seperti kita ketahui tokohnya itu Thorndike.
Kemudian pada awal tahun 50-an timbul untuk pertama kali idea New Math yang kemudian di
negara-negara lain yang menerapkannya berganti nama menjadi matematika Modern. Hampir
semua negara di dunia menerapkannya. yang tidak menerapkan antara lain adalah Negeri Belanda.
Seperti kita ketahui juga ciri-ciri pengajaran matematika modern itu adalah materinya sangat
banyak, penekanan pada pengertian, penekanan pada istilah dan notasi yang ditepatkan, penekanan
pada proses juga, menggunakan metode penemuan dan adanya permainan, dan banyak
menggunakan alat peraga dan media pendidikan lainnya. Tokoh-tokohnya antara lain dalah J.
Piaget, J.S. Bruner, dan J.P. Dienes. Bila dibandingkan banyak buku di SD kita di jaman
Matematika tradisional dengan di jaman matematika modern, di jaman radisional itu hanya sebuah
buku sedangkan di jaman matematika modern 25 buah (per semester sebuah buku siswa, per
semester sebuah buku pedoman khusus, dan sebuah buku pedoman umum).
Pada tahun 1970 sewaktu matematika modern sedang berjalan, skor hasil belajar siswa Amerika
Serikat dalam matematika menumn. Kesempatan ini oleh orang-orang yang tidak suka matematika
modern dipakai alasan untuk menuduh matematika modern sebagai penyebabnya dan diusulkan
tmtuk diganti. pada waktu itu para pendukung matematika modern membantah bahwa rendahnya
hasil belajar anak-anak dalam matematika itu bukan karena matematika modern sebab dalam
pelajaran-pelajaran lain pun skor siswa itu menurun. Walaupun begitu gerakan Back to The Basics
tetap dilaksanakan. Hasilnya adalah sama tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Karena itu
hidupnya hanya setahun. Dan setelah itu hilang. Selain itu tidak seperti matematika modern,
gerakan back to the basics itu tidak ada falsafahnya, hanya meninggalkan topik-topik tertentu dari
matematika modern seperti himpunan sebagai ilmu, bilangan dasar selain dua dan sepuluh, dan
keketatan dalam istilatr dan notasi.
Oleh orang-orang Indonesia yang tidak menyukai metematika modern gerakan back to the basics
itu dengan sengaja diartikan salah bahwa gerakan itu dipelesetkan menjadi gerakan meninggalkan
metematika modern. Sehingga timbul isu dalam bentuk pertanyaan, "Bila di Negara asalnya
matematika modern sudah ditinggalkan, mengapa kita sebaliknya?". Buku karangan M. Kline yang
bedudul ―Why Johny can‘t add‖, dijadikan alasan agar di sekolah dasar diberikan Berhitung
(matematika lama). Padahal M. Kline itu berpendapat juga bahwa matematika tradisional itu tidak
baik. Yang ia tidak setujui ialah pengajaran matematika modern sebagai pengganti matematika
tradisional tidak baik juga.
Pemerintah kita waktu itu terpengaruh oleh isu itu sehingga slogan CALISTUNG (dari baCa tuLIS
hiTUNG) timbul. Padahal di Amerika Serikat slogan CALISTUNG itu diramaikan di jaman dulu,
sewaktu yang mau bekerja di pabrik-Pabrik itu belum bisa membaca, manulis, dan berhitung.
12. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
4 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Seperti dikatakan Doll (1993, h.I74), ―The three R's ... were late-nineteenth-and early twentieth
century creation to the needs of a developing industrial society‖. Sedangkan waktu itu (tahun 80-
an) keadaan di kita lain. Sehingga slogannya, tepatnya bukan CALISTUNG tetapi CALISMAT.
Akibat dari isu itu di kita terjadi perubahan ke Kurikulum 1984 kemudian ke Kurikulum 1994,
yang kekhasannya berbau matematika tradisional sehingga buku-buku lama yang sudah mati (tidak
dipakai), bermunculan kembali. Sedangkan di negara-negara maju waktu itu tetap pengajaran
matematika modern. Bahkan sudah dilibatkan kalkulator dalam pembelajaran matematika.
Mengingat telah ditemukannya hasil teknologi canggih seperti kalkulator dan komputer, pada tahun
80-an Amerika Serikat menerapkan kedua alat itu dalam pengajaran matematika. Menurut
ceriteranya hasil penelitian penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika sudah
dikumpulkan: oleh Suydam pada tahun 1977 sebanyak 40 buah, oleh Marylindquist pada tahun
1984 sebanyak 150 buah, dan oleh Reys pada tahun 1987 sebanyak 200 buah. Hasilnya konsisten:
47,5% keunggulan bagi pengguna kalkulator, 45% sama saja, dan hanya 7,5% keunggulan bagi
yang tidak menggunakan kalkultor (Ruseffendi, 1990a, h.74-75). Di Inggris pun demikian pula.
Linggard, Johnson, dan O‘Brien mengatakan, ―pada ulangan/ujian pada umunnya, kalkulator boleh
dipergunakan....Yang penting ialah kita harus menghasilkan anak-anak yang dapat berpikir, mampu
menyelesaikan soal pemecahan masalah (problem solving), kreatif dapat memilih matematika
mana yang diperlukan dan mara yang tidak, dan semacamnya‖. (Ruseffendi, 1990b, h. 38-39).
Mengenai penggunaan kalkulator dalam pengajaran matematika pernah timbul pro dan kontra
seperti dikemukakan oleh majalah Tempo dan Koran harian Pikiran Rakyat.
Majalah Tempo pada tanggal 16 Juli 1983 mengetengahkan pendapat dari beberapa guru SD,
Kepala Sekolah SD, dosen IKIP, dan dosen Non-IKIP. Mereka itu adalah: Lasmaria guru SD
simpang Limun Medan, purnomo sidi kepala SD Ungaran III Jawa Tengah, Wirasto dosen UGM,
Suwarsono dosen IKIP Sanata Dharma Andi Hakirn Nasution guru besar IPB, dan Gunarso guru
besar ITB. Tempo menyimpulkan,
Singkat kata yang cenderung pro maupun kontra pemakaian kalkulator terutama untuk siswa
SD masih mengajukan persyaratan. Ialah, minimal, para murid itu telah menguasai konsep
hitung-menghitung. Bila belum, tidak saja bisa ‗membuat anak malas berpikir', tetapi bisa
mengacaukan konsep matematika pula. (1983, h.27).
Pada tanggal 24 Agustus 1987, Pikiran Rakyat mengemukakan pendapat yang berbeda dari
pendapat-pendapat di atas. Menurut Ruseffendi,
Kalkulator itu tidak akan membuat siswa malas berpikir, bodoh, tidak kreatif dan tidak
terampil berhitung. Tetapi sebaliknya akan membuat siswa menjadi cerdas, kreatif,
pengetahuannya menjadi lebih luas dan dalam, serta berjiwa eksploratif. Penggunaan
kalkulaior dapat dimulai di kelas 1 sekolah dasar (Pikiran Rakyat, l987).
Mengenai penggunaan komputer di Amerika Serikat, di Sekolah Dasar digunakan bahasa komputer
LOGO dan di sekolah lanjutannya dalam menyelesaikan soal-soal matematika waktu itu
menggunakan bahasa komputer Basic.
Selanjutnya, cirri-ciri pengajaran matematika tahun 80-an di Amerika Serikat itu (Ruseffendi,
2006, h. 80-81).
1. Masalah menjadi sentralnya pengajaran matematika.
2. Keterampilan dasar harus lebih daripada keterampilan berhitung.
3. Untuk semua tingkat, pengajaran matematika harus menggunakan kalkulator dan komputer
sedini mungkin.
4. Efektivitas dan efisiensi pengajaran matematika harus diterapkan.
5. Pengukuran hasil belajar siswa harus lebih daripada hanya dengan alat evaluasi yang
tradisional.
6. Semua siswa harus diberi matematika yang lebih banyak melalui program-program yang
lebih fleksibel.
13. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 5
7. Guru-guru dan teman-temannya supaya meningkatkan diri dalam keprofesionalannya.
8. Masyarakat luas sesuai dengan keperluannya supaya mendukung matematika diberikan di
sekolah.
Mengingat dapat diterapkannya komputer dalam pengajaran matematika, apakah matematika yang
akan dikembangkan itu matematika kontinu (dengan batang kalkulus) atau matematika deskrit.
salah satu keuntungan matematika deskrit, kita bisa menghitung/menyelesaikan soal-soal seperti
berikut dengan kalkulus tidak. Soal-soal itu misalnya:
𝑒 𝑥2
𝑑𝑥 𝑑𝑎𝑛
1
1 + 𝑥4
𝑑𝑥 (𝑅𝑢𝑠𝑠𝑒𝑓𝑓𝑒𝑛𝑑𝑖, 1990, . 35)
Sekarang akan disampaikan pengajaran matematika yang lain, yaitu matematika realistik di Negeri
Belanda. Mereka mengembangkannya sejak tahun 70-an dimulai di sekolah dasar. Jadi sewaktu
Negara-negara di dunia menerapkan pengajaran matematika modern, mereka tidak. Kata Treffers,
Negeri Belanda tidak menerapkan matematika modern, ―Contrary to most other countries in the
Western World, New Math did not get an opportunity to manifest in Dutch primary school‖. (1991,
h. 13).
Kita lihat sepintas sasaran atau tujuan pembelajaran matematika untuk siswasiswa sekolah dasar di
Negeri Belanda.
1. General ability
1) The students can count forward and backward with changing units.
2) The students can do addition tables and multiplication up to ten.
3) The students can do easy mental-arithmetic problem in a quick way with insight in the
operations.
4) The students can estimate by determining the answers globally, also with fractions and
decimals.
5) The students have insight in the structure of whole numbers and the place-value sistem of
decimals.
6) The students can use the calculator with insight.
7) The students can convert into a mathematical problem, simple problems which are not
presented in a mathematical way.
2. Written algorithms
8) The students can apply the standard algorithms, or variation of these, for the basic
operations addition, substraction, multiplication and division, in easy context situations.
3. Ratio and percentage
9) The students can compare ratio and percentages.
10) The students can do simple problems on ratio.
11) The students have understanding ofthe concept percentage and can carry out practical
calculations with percentages presented in simple context situation.
12) The students undestand the relation between ratios, fractions, and decimals.
4. Fractions
13) The students know that fractions and decimals several different situalions.
14) The students can locate fractions and decimals on a number line and can convert fractions
into decimals; also with calculator.
15) The students can compare, add, substract, devide, and multiply simple fractions in simple
context situations by means of models.
5. Measurement
16) The students can read the time and calculate time intervals; also with the help of a
calculator.
17) The students can do calculations with money in daily_life context situations.
18) The students know the current units of measurement for length, area, volume, time,
speed, weight, and temperature, and can apply these in simple context situations.
19) The students can read simple tabres and diagrams and produce them based on own
investigations of simpre coitext situations.
14. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
6 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
6. Geometry
20) The students have some basic cohcepts with which they can organize and describe space
in a geometiical way.
21) The students can reason geometrically using block building, ground plans, maps pictures,
and data about place, directions, distance, and scale.
22) The students can explain shadow images, can compound shape, and can divise and
identify nets of reguler objects.
Tujuan pembelajatan matematika di atas bukan untuk SMP tetapi untuk SD. Walaupun begitu kita
bisa memanfaatkannya.
1. Tujuan pembelajaran matematika disana ditulis secara sederhana; tidak menjelimet.
2. Kita akan mengetahui dimulainya topik-topik untuk SMp.
3. Siswa harus dapat menggunakan kalkulator.
4. Soal-soal/permasalahannya harus kontekstual
Mengapa mereka menerapkan PMR, karena menurut Treffers , dilihat dari segi matematisasi
horizontal dan vertikal, PMR itu memiliki kedua-duanya sedang yang mekanistik, empiristik dan
strukturalis tidak. Treffers menggambarkannya dalam sebuah bagan sebagai berikut. (1991, h. 32).
Matematisasi horizontal maksudnya ialah bila kita akan menanamkan konsep matematika, konsep
itu terwujud dalam dunia nyata. Contoh konsep pecahan dibawakan dengan menyajikan serabi
yang dipotong-potong. Sedangkan matematisasi vertical adalah penerapan sifat-sifat dari
matematika itu sendiri. Misalnya 2 + 3 = 3 + 2; 45 = 40 + 5.
Matematisasi
horizontal Vertical
Mekanistik - -
Empiris + -
Strukturalis - +
realistik + +
Catatan: + Artinya ada
- Artinya tidak ada
Mengenai pengelompokan matematika sekolah yang lain adalah dari Keitel (dalam Ernest, 1991, h.
218). Menurut dia, penelompokan matematika sekolah itu,
1. New Math, concerned largely with the introduction of modern mathematical content into the
curriculum, pure or applied.
2. Behaviorist, based on behaviorist psychology, the analisys of content into behavioural
objectives, and in some cases, the use of program instruction.
3. Structuralist, based on the psychological acquisition of the structures and processes of
mathematics, typified by approaches of bruner and dienes.
4. Formative, based on the psychological structures of personal develovement (e.g. Piaget‘s
theory).
5. Integrated-environment, an approach using a multi-disciplinary context, and using the
environment both as a resource and motivating factor.
Berdasarkan kapada pendapat Keitel itu kita melihat bahwa nomor 5 diatas sesuai dengan
pembelajaran tematik yang diterapkan di kelas 1, 2, dan 3 sekolah dasar. Jadi pembelajaran di kelas
1, 2 dan 3 itu harus tematik. Sedangkan dalam PMR (I) yang belum tentu sama dengan
pembelajaran yang tematik. Selain itu yang dimaksud dengan realistik pada PMR (I) itu tidak
selalu harus ada di dunia nyata seperti dikatakan heuvel-Panhuizen (1998),
...the Dutch reform of mathematics education was called ‗realistic‘ is not just connection with
the real-world, but related to the emphasis that RME puts on offering the students problem
situations which they can imagine....For the problems Jo be presented to the students this
means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy
world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for
a problem, as long as they are real in the student‘s mind.
15. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 7
Dari uraian yang agak panjang itu kita mengetahui bahwa matematika yang dapat diberikan itu
banyak; beragam. Mulai dari yang tidak formal sampai dengan yang sangat formal, mulai dari yang
penerapannya banyak sampai kepada yang penerapannya minim. Yang berikutnya yang akan
diuraikan itu adalah menganai yang berkepentingan dengan matematika.
1.5. Yang Berkepentingan dengan Matematika
Seperti telah disinggung pada sub judul alasan matematika diajarkan di sekolah, yang
berkepentingan itu banyak. Tetapi ada dua kelompok yang berkepentingan yang bisaaanya
terlupakan yaitu pemerintah dan matematika itu sendiri.
Di bagian depan sudah disampaikan yang berkepentingan dengan matematika yaitu manusia pada
umumnya atau orang awam, siswa, mahasiswa, bidang-bidang studi lain, petugas di kantor dan
lapangan, para peneliti, dan manusia di tingkat tinggi yang tugasnya mengembangkan teknologi
tingkat tinggi. yang dua lagi yang telah disebutkan di bagian atas adalah pemerintah dan
matematika itu sendiri.
Perhatikan sebuah hasil pertandingan intemasional tingkat SMP dalam matematika yang disebut
TIMSS. Peringkat Indonesia di lomba itu adalah 34 dari 38. Sedangkan peringkat 1 adalah
Singapur dan peringkat 5 adalah Jepang. Dan diantara kedua negara itu adalah Korea, Taiwan, dan
Hongkong.
Alasan apa pun untuk dapat diterima mengapa nilai matematika kita itu rendah dibandingkan nilai
mereka, tidak ada. Misalnya karena kita orangnya kecil dan pendek, bagitu pula mereka; karena
rambut kita berwama hitam, bagitu pula warna rambut mereka; karena kita makan nasi, bagitu pula
mereka. Berbeda dengan bila kita bermain sepak bola dengan orang bule dan kita kalah. Orang-
orang akan menerima alasan itu bila dikatakan karena orang kita kecil-kecil dan pendek.
Dalam keadaan seperti di atas karena secara internasional peringkat matematika anak-anak kita itu
rendah, yang berwajib (dalam hal ini pemerintah) harus segera mencari solusinya. Sebab selain
berkewajiban juga paling mungkin dan berwenang untuk berbuat. Jadi pemerintah termasuk yang
berkepentingan karena pemerintah harus memperbaikinya.
Terakhir yang berkepentingan itu matematika itu sendiri. Kata matematika, ―Agar aku tidak hilang
dari peredaran, pelajarilah aku‖. Bila tidak dipelajari, sesuatu itu bisa hilang. Sebagai contoh dulu
anak-anak SD di JABAR mengetahui Aksara Sunda. Sekarang hilang dari peredaran karena tidak
dipelajari. Contoh kedua, dulu kami siswa SMA mengetahui dan menguasai Ilmu Ukur Lukis.
Sekarang anak-anak SMA tidak mengetahuinya karena Ilmu Ukur Lukis itu tidak dipelajari.
Berikutnya yang akan diuraikan itu adalah pendidikan matematika. Apakah itu disiplin ilmu atau
ilmu rekayasa.
1.6. Apakah Pendidikan Matematika Itu Suatu Disiplin Ilmu?
Apakah pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu atau suatu ilmu rekayasa? Sesuatu itu
disebut ilmu rekayasa bila ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu lain sehingga kombinasinya menjadi
serasi. Seperti arsitektur, adalah ilmu rekayasa. Dalam arsitektur, kita mengaitkan yang satu dengan
yang lain agar bentuknya atau profilnya menarik. Bagitu pula seorang disainer (designer). Ia bukan
seorang pengembang ilmu tetapi seorang perekayasa. Kembali kepada pertanyaan di atas apakah
pendidikan matematika itu disiplin ilmu atau ilmu rekayasa.
Bila pendidikan matematika itu ilmu rekayasa, maka seorang ahli pendidikan matematika itu
menghubungkan topik-topik matematika dengan cara mengajar, alat bantu dan lain-lain sehingga
pembelajarnya berhasil. Jaman dahulu, saya kira sebelum terwujudnya Kurikulum PGBK memang
pendidikan matematika itu seperti itu. Jadi pendidikan matematika itu suatu ilmu rekayasa. Tetapi
sekarang, dalam mengembangkan sesuatu, model pembelajaran misalnya, untuk dapat melihat
cocok tidaknya model pembelajaran itu kita harus melakukan penelitian; seperti kita ketahui. dalam
penelitian itu kita menggunakan metode ilmiah. Seperti kita ketahui juga sesuatu itu disebut metode
16. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
8 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
ilmiah bila ada masalah, studi literatur, hipotesis dan atau pertanyaan-pertanyaan yang operasional,
pengumpulan data, pengolahan data, dan kesimpulan. Jadi, karena dalam pengembangannya itu
pendidikan matematika memerlukan penelitian, pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu.
1.4. Hakekat Anak Didik
Apakah seorang anak itu bentuk mikro seorang dewasa?
Bila anak itu bentuk mikro dari orang dewasa, tentunya seorang anak dan seorang dewasa
segalanya sama. Bedanya hanya dalam besar-kecilnya tubuh. Tetapi kenyataanya tidak begitu.
Antara lain, berpikir anak itu lain dari berpikirnya orang dewasa Perhatikan, misalnya dalam
contoh-contoh berikut.
Seorang anak yang hukum kekelan materinya belum ada, akan mengatakan
banyak air dalam gelas kecil tetapi tinggi itu lebih banyak daripada yang ada
dalam gelas besar dan pendek walaupun ia melihat air dalam gelas kecil itu
dicurahkan dari gelas besar dan pendek yang sama. Seorang anak yang hukum
kekelan bilangannya belum ada, akan mengatakan kelereng yang ada di atas lebih
banyak daripada yang di bawah.
Berikutnya, anak kecil yang diminta untuk mengambilkan sebuah potlot dari
seonggokan potlot dan pulpen akan mengambilnya dengan benar. Tetapi bila
seluruhnya ―Ambil potlot yang pendek‖ mungkin ia akan mendapat kesukaran.
Apalagi bila suruhannya misalnya, ―Ambil potlot pendek yang berwarna merah‖.
Jadi variabel-variabel yang ada pada anak kecil itu banyaknya masih terbatas.
1.8. Teori Belajar-Mengajar Matematika
Apa teori belajar-mengajar itu?
Teori belajar adalah ilmu yang berbicara mengenai kesiapan siswa untuk belajar. misalnya dalam
teori belajar matematika dibicarakan usia berapa tahun anak dapat memahami bilangan, dalam usia
berapa tahun siswa dapat menjumlahkan bilangan dalam usia berapa tahun siswa dapat berpikir
formal, dalam berapa tahun usia dapat berpikir deduktif dan lain-lain.
sedangkan teori mengajar adarah ilmu yang berbicara mengenai cara membawa anak untuk bisa
mbnjadi dapat sesuatu setelah ia siap untuk dapat sesuatu itu. Contoh, andaikan seorang anak pada
usia 5 tahun sudah memiliki hukum kekekalan bilangan. Daram teori mengajar anak, kita itu
berpikir bagaimana caranya mengajar anak itu agar ia lebih memahami bilangan. Seperti dalam
kehidupan sehari-hari andaikan seorang anak yang berusia satu tahun sudah mulai siap untuk bias
berjalan, maka bapaknya itu bisaanya mencarikan kendaraan roda tiga atau empat untuk
menempatkan/mendudukkan anak itu di tengah-tengahnya. Berpikir menyediakan kendaraan itulah
yang disebut teori mengajar.
Teori belajar-mengajar dalam matematika itu banyak, ada yang sejaran, ada yang tidak sejalan,
bahkan dalam hal tertentu ada yang bertentangan. Teori belajar mengajar dalam pembelajaran
matematika yang sering digunakan antaralain adalah dari Piaget, Bruner, Dienes, Gagne, Skinner,
vigotsky, dan van Hiele. Teori konstruktivisme dari piaget dan Vigotsky adalah cocok untuk
pembelajaran matematika seperti PMR(I) tetapi dalam hal tenentu bertentangan dengan aliran
tingkah laku dari skinner, sebab dalam PMR(I) pembelajaran matematika itu dari bawah ke atas
(bottom up) sedangkan pembel ajaran matematika yang berdasarkan aliran tingkah laku adarah dari
atas ke bawah (top down). Selain itu pada pembelajaran seperti PMR(I) interaksi siswa dapat ke
semua arah (gambar (1)), sedangkan pada pemberajaran dari aliran tingkah laku dapat seperti
gambar (2) (dua arah) dan bahkan bisa.seperti gambar (3) (satu arah). Gambar_gambar itu nampak
di bawah ini.
17. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 9
Berikutnya yang akan diuraikan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa adalah guru dan
LPTK-nya; termasuk di dalamnya siswa dan mahasiswa, dosen, dan sekolah sebagai lembaga.
1.9. Guru dan LPTK
Dalam suatu pembelajaran kita tidak bisa lepas dari kurikulum sekolah
yang direncanakan (C), kurikulum yang diajarkan guru (J), dan hasil
belajar siswa (kurikulum yang diserap siswa (S)). Begitu juga di LPTK
antara kurikulum yang direncanakan (C), kurikulum yang dosen
kuliahkan (J), dan yang mahasiswa peroleh (S). Hubungan antara C, J,
dan S dalam keadaan normal/baik pun dapat seperti di samping ini. Di
LPTK misalnya, tidak semua materi kurikulum bisa diajarkan dosen
kepada mahasiswa, dan tidak semua materi dapat dicernakan oleh calon
guru. Apalagi bila ada dalam keadaan tidak normal, misalnya dosen
tidak memberi kuliah sepenuhnya, cara mengevaluasinya asal-asalan,
dan mahasiswa calon gurunya tidak diseleksi secara ketat (seadanya). Bila demikian mutu guru
yang dihasilkan oleh LPTK seperti itu akan besar dampak negatifnya ke mutu siswa tamatan
sekolah.
Kurikulum LPTK yang betul-betul solid untuk pengembangan pendidikan bidang studi menurut
saya adalah PGBK yang disusun oleh dosen LPTK tahun 1980. Dengan kurikulum itu jelas LPTK
bukan pengembang ilmu rekayasa lagi. Tetapi sayang baru berusia lima tahun, yaitu baru
menghasilkan satu angkatan, kurikulum itu dituduh sebagai biang rendahnya mutu siswa SL.
Menurut saya, tuduhan itu salah sasaran. Kurikulum yang berpengaruh waktu itu adalah kurikulum
LPTK sebelumnya yang justru bobot bidang studinya sangat banyak.
Sebagai pengganti kurikulum PGBK adalah kurikulum Team Basic Science LPTK yang
diprakarsai oleh FMIPA ITB; kerjasama dengan IKIP Bandung. Bedanya antara Kurikulum PGBK
dengan Kurikulum Team Basic Science antara lain adalah: Kurikulum PGBK (KPGBK) memuat
mata kuliah Kapita Selekta Matematika SL sedangkan Kurikulum Team Basic Science (KTBS)
tidak; bobot bidang studi di KPGBK 40% sedangkan di KTBS 60% lebih; KTBS memuat mata
kuliah bersama dari matematika, fisika, kimia dan biologi, sedangkan KPGBK tidak. Tetapi KTBS
ydng dianggap sebagai penyelamat mutu hasil belajar MIPA di SL sampai sekarang belum ada
hasilnya padahal usianya sudah 20 tahun (sudah 15 angkatan).
Adanya perbedaan penekanan bidang studi.di negara lain pun ada misalnya di Negeri Belanda. Di
Twente, mahasiswa tamatan PGBK kita setelah mengambil beberapa mata kuliah-di sana yang non
matematika lanjut dibolehkan mengambil gelar doktor setelah menulis disertasi. Sedangkan di
Utrecht, syarat untuk menjadi mahasiswa 52 pendidikan matematika saja harus bergelar BA dalam
matematika. Materi di S2nya ialah dalam satu tahun hanya matematika, dalam satu semester
berikutnya masih matematika. Baru dalam semester berikutnya menempuh pendidikan matematika
18. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
10 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
yang tidak ada mata kuliah pendidikan umum. Barangkali itulah yang disebut demokrasi di sana;
kedua-duanya disebut ahli pendidikan matematika tetapi matematika yang dimilikinya jauh
berbeda.
sewaktu saya mengambil gelar doktor di osu Amerika Serikat, saya bercerita mengenai visi dan
misi IKIP-IKIP di Indonesia beserta perannya dibandingkan dengan Universitas. Ketua program
pendidikan matematika berkomentar, ―Bila Amerika Serikat memiliki IKIP-IKIP seperti Indonesia,
banyak masalah pendidikan matematika di Amerika Serikat yang bisa dipecahkan‖, katanya.
Sedangkan kebijaksanaan kita terbalik; IKIP-IKIP yang sudah ada dilebur menjadi Fakuitas
Pendidikan Bidang Studi atau Program Pendidikan Bidang Studi di Universitas. Tidaklah
kebijaksanaan kita itu akan bernasib sama seperti di Amerika Serikat?
Mengapa ketua program itu mengatakan begitu karena peran dan pendidikan guru di sana, menurut
saya ―menyedihkan‖ seperti dikatakan Gardner,‖One-fifth of all 4 year colleges in the United
States must accept every high school graduate within the State regardless of program followed or
grade...even if they do not follow a demanding course of study in high school or perform well‖.
(1983, h. 20). Selanjutnya dikatakan, ‖Too many teachers are being drawn from the bottom quarter
of graduating high school and colege students‖. (h.22).
Lebih-lebih, menurut saya, bila kepada tamatan Sl calon guru itu diembel-embeli dengan harus
menempuh pendidikan profesi dalam jangka waktu tertentu. Dan tamatan Sl murninya pun akan
diberi kesempatan mengambil sejumlah mata kuliah untuk bisa menjadi guru. Adilnya kepada
tamatan S1 LPTK pun harus diberi kesempatan untuk menjadi S1 matematikawan.
Alasan kepada diharuskannya Sl tamatan LPTK menempuh program khusus bila ingin menjadi
guru, mungkin karena tamatan fukuitu, kedokteran pun diharuskan seperti itu. Saya kira ini tidak
bisa disamakan sebab bila seorang dokter membuat kesalahan, akibalnya akan sangat fatal. Selain
itu, saya kira, pendidikan kedokteran Sl menjadi 7 tahun pun saya kira peminat menjadi dokter itu
tidak akan berkurang, sebab tamat fakultas kedokteran itu menjanjikan. Sedangkan tamat LPTK,
lain.
Menurut saya bila tamatan Sl LPTK itu tidak atau kurang menguasai bidang studi, solusinya bukan
ditambah jenjang untuk pendidikan profesi, tetapi pertama penggarapan Kapita Selektanya lebih
lama dan setiap calon guru itu sewaktu selesai SMP-nya harus nilainya baik dalam matematika
IPA, dan bahasa. Dididik bagaimana pun kalau tidak memiliki potensi, hasilnya akan tetap jelek.
Kemudian, menurut saya pendidikan matematika itu suatu disiplin ilmu bukan ilmu rekayasa
sehingga programnya itu mestinya menyatu (concurrent). Dan sebaiknya, selama waktu tertenfu
mereka (calon guru) itu harus diasramakan. Sehingga pembentukan kepribadian guru dan
pendidikan karakter budaya bangsa terwujud. Terwujudnya pendidikan karakter itu memerlukan
waktu yang lama. Jadi dalam program yang menyatu itu calon-calon guru akan melihat perilaku,
cara mengajar, cara penilaian, sikap, dan sebagainya yang baik dari seorang dosen yang baik.
Jangan seperti berikut. Kata Bapak dosen senior (alm), ―Saya menatar guru sekolah dasar mengenai
materi baru dalam matematika modern antara lain himpunan. Salah seorang guru bertanya kepada
saya bagaimana caranya mengajarkan himpunan di sekolah dasar‖. Kemudian beliau jawab sambil
marah, kok tanya sama saya, semestinya Anda yang seharusnya lebih mengetahui‖. Jawaban beliau
itu wajar sebab baliau tidak pernah memperoleh pendidikan guru yang sebenarnya.
Selain perlunya dimiliki kepribadian guru oleh seorang guru dan karakter budaya bangsa, yang
dihadapi guru sekarang-sekarang ini lebih berat. Sebab, yang bersekolah dan yang berkemampuan
kurang itu makin banyak. Bila jaman saya dulu yang diterima di SMP dari kelas VI SD yang
banyaknya sekitar 90 orang itu hanya 2 orang, sekarang?
Menurut saya selain karena kualitas tamatan yang masuk ke LPTK itu rendah, bisa jadi juga karena
ulah dari beberapa LPTK sendiri: lamanya/banyak kali kuliah dalam satu set4ester sering paling
lama 8X yang seharusnya 16X; karena kekurangan pelamar, ada yang menerima seluruhnya; dalam
UAS ada yang membiarkan mahasiswa saling meniru; dan ada yang meluluskan semua yang ikut
UAS dengan berpikir nanti pun kalau sudah jadi guru akan bisa. Benarkah itu?
19. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 11
1.10. Kebijaksanaan Penguasa
Peran penguasa dalam pengambilan keputusan bagi pelaksanaan sesuatu itu sangat besar. Bahkan
sering lebih kuat daripada hasil penelitian. Sebagai contoh keunggulan siswa sebagai pengguna
kalkulator dalam pengajaran matematika dibandingkan dengan yang tidak, menurut penelitan
adalah 6:1. Walauprin begitu, karena penguasa tidiak memberi lampu hijau kalkulator boleh
digunakan di sekolah, di sekolah-sekolah kita kalkulator itu tidak digunakan, sampai sekarang.
Contoh kedua, pada tahun 80-an pemerintah menginginkan agar dalam kurikulum matematika itu
ada unsur ―Tung‖. Kebijaksanaan ini diambil dari slogan CALISTUNG. Saya kira, pemerintah
waktu itu terpengaruh oleh isu bahwa Amerika Serikat dan Inggris sudah meninggalkan
matematika modem. Padahal khususnya di Amerika Serikat hanya ada gerakan Back to the Basic
yang usianya hanya satu tahun. Dan di Inggris waktu itu tetap pengajaran matematika modern;
buku-buku yang kita sadur, waktu itu di sana tetap dipakai. Akibat dari kebijaksantan itu – yang
mengrut saya keliru - buku-buku matematika lama dan buku-buku berhitung lama yang semasa
matematika modern sudah dikubur, bermunculan kembali.
Seperti sudah disampaikan peran penguasa (pemerintah) itu sangat penting dan menentukan.
Karena itu pembantu-pembantunya yang akan menjadi pembisik-pembisiknya harus orang-orang
yang ahli dalam bidangnya.
1.11. Matematikawan dan Pendidik Matematika (math educators)
Para matematikawan dan pendidik matematika (mathematics educators) dalam pendidikan
matematika di sekolah dapat berperan besar dan dapat sedikit. Pada tahun 70-an sewaktu
matematika lama diganti oleh matematika modern peran para matematikawan dan pendidik
matematika sangat besar. Perannya itu adalah merumuskan digantinya matematika lama dengan
matematika modern, memilih atau menulis buku sumber, melakukan pemilihan buku sumber,
penggarapan yang harus didahulukan buku siswa atau penguasaan guru. Selain itu besar perannya
itu dalam menentukan bentuk penataran bagi guru-guru; serempak (masal) seperti pengajaran
matematika modern atau bertahap seperti PMRI.
Tetapi bila di DEPDIKNAS sudah banyak ahlinya, baik matematikawan, pendidik matematika dan
para penelitinya maka peran para matematikawan dan pendidik matematika dari universitas itu
akan sangat mengurang; mungkin satu sama lain akan menjadi pelengkap atau pesaing.
II. KEADAAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DI KITA SEKARANG
Pendidikan matematika di kita itu sudah melalui berbagai jaman dan berbagai kebijaksanaan.
Tetapi apa yang sudah kita lakukan itu nampaknya tanpa bekas. Pengajaran matematika modern
yang menekankan kepada pengertian, proses, dan penemuan tidak berbekas. CBSA yang pernah
diproyekkan, dilupakan saja. Hasilnya, guru tetap mengajar dengan ceramah atau ekspositori, siswa
belajar pasif, dan hasil belajar siswa tetap minim. Mengapa? Mungkinkah karena: materi
matematikanya salah, gurunya kurang profesional, suasana belajar tidak konduksif, siswanya
kurang dibina, materi kurikulumnya tidak sesuai dengan kemampuan siswa atau mungkin karena
suasana masyarakat kita itu sedang kacau? Bila yang direncanakan dan dilaksanakan secara besar-
besaran hasilnya seperti itu, bagaimana rencana kita dalam pemolesan kurikulum dengan sasaran
budaya karakter bangsa, kewirausahaan, manusia aktif dan ekonomi keratif? Nanti kita lihat
melalui uraian dengan butiran-butiran permasalahan di atas.
2.1. Salahkah Materi Matematika Sekolah Kita?
Perubahan yang paling besar dilihat dari berbagai segi termasuk materi matematika adalah pada
perubahan dari matematika tradisional ke matematika modern. Karena itu perubahan dari
20. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
12 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
matematika tradisional ke matematika modem itu sering disebut revolusi; revolusi pertama. Dan
sejak itu kurikulum matematika kita tidak banyak berubah. Yang terjadi adalah masuknya topik-
topik geometri Euclids kedalam geometri transformasi yang sudah ada. Pemasukan itu sering
menyebabkan konsep dan pembelajaran geometri menjadi rancu. Sebagai contoh seorang pendidik
matematika secara kebetulan berkeliling ke beberapa kota besar di Indonesia dan pada setiap
kesempatan mengajukan pertanyaan, "Apakah setiap persegipanjang itu jajaran genjang?".
Katanya, tidak ada seorang pun yang menjawabnya ,,ya,,. Disimpulkan pemahaman
mahasiswa/guru matematika mengenai geometri itu sangat lemah. Benarkah kesimpulan itu?
Contoh kedua masih mengenai masalah ini.
Pada suatu waktu sekitar tahun 2009, seorang Dosen senior berceritera kirakira, "Pak Rus saya
mengajn mahasiswa ITB sebanyak 30 orang lalu saya menggambar sebuah lingkaran di papan tulis.
Saya penyuruh mereka mencari titik pusat. Seorang pun tidak ada yang bisa. Bila mahasiswa ITB
tidak bisa, apalagi mahasiswa PT lain", katanya. Dapatkah dari contoh 2 ini disimpulkan bahwa
mahasiswa kita makin bodoh?
Menurut saya yang salah di kedua contoh itu bukan mahasiswa atau yang menjawab, tetapi kedua
dosennya. Masalahnya, selama ini generasi muda itu belajar geometrinya terutama geometri
transformasi. Untuk pertanyaan yang pertama, bila dalam geometri Euclids benar bahwa setiap
persegipanjang itu adalah jajarangenjang. Tetapi dalam geometri rransformasi harus pikir-pikir
dulu.
Mengenai pertanyaan kedua juga sama, mereka (mahasiswa) itu tidak mengetahui geometri Euclids
apalagi yang deduktif seperti mencari pusat lingkaran. Generasi tua mengenai hal itu menguasai
karena sejak di SMP pun masalah itu sudah diterima.
Perubahan besar kedua walaupun tidak sebesar revolusi kesatu antara lain ialah mengenai
diterapkannya hasil teknologi canggih sedini mungkin dan masalah menjadi sentralnya pengajaran
matematika. Di negara asalnya revolusi itu terjadi pada awal tahun 80-an. Di kita tidak banyak
berubah karena pertama kalkulator tidak pemah secara resmj dibolehkan dipakai, kedua komputer
di sekolah-sekolah masih belum banyak.
Di negara-negara maju, penggunaan komputer dalam pengajaran matematika itu ada dampaknya
‖yaitu‖ apakah batang tubuh matemaiika itu mau tetap kalkulus atau matematika diskret.
2.2. Gurunya Kurang Profesional
Bagaimana guru yang profesional itu?
Guru professional adalah guru yang pekerjaannya memang guru. Sebagai gurunya itu ia bukan
amatir. Seperti pemain bola ada yang professional karena profesinya memang sebagai pemain
sepak bola. Tetapi ada jugl pemain sepak bola amatir. Pemain bola amatir adalah pemain bola yang
bermain bolanya itu kadangkadang saja. Kalau pun ia sering atau selalu sepak bola bila bermain
bolanya itu tidak menghasilkan uang, maka ia tetap menjadi pemain bola amatiran. Jadi menurut
saya, bila seorang itu PNS dan pekarjaarurya mengajar, maka pasti ia sebagai petugas professional
dengan pekerjaan guru. Bahkan yang bukan PNS pun kalau pencahariannya itu mengajar (guru)
maka ia itu petugas professional. Karena itu saya akan menggunakan kata ―guru efektif‖.
21. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 13
Gambaran dari guru efektif adalah seperti di bawah ini. (Ruseffendi, 206, h.42).
Jadi, menurut saya seseorang yang menguasai bidang studi tertentu dan memiliki sifat-sifat
keguruan serta pekerjaarulya mengajar ia dapat disebut guru professional, walaupun tidak
sempurna. Sedangkan seorang guru professional yang sempurna adalah guru pada tahap IV di
diagramkan di atas.
2.3. Suasana Belajar Kurang Kondusif
Suasana belajar kurang kondusif itu penyebabnya banyak, bisa: ruangannya panas, ruangannya
pengap, bising dari luar, bising dari dalam kelas, gurunya bukan guru yang efektif (profesional)
atau keprofesionalannya kurang, dan sekolahnya ada di lingkungan yang gersang. semuanya itu
akan mengurangi konsentrasi siswa belajar sehingga hasil belajar siswa tidak optimal. Suasana
yang demikian itu dampak jeleknya akan makin besar dalam pelajaran yang memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi seperti pelajaran matematika. Kita lihat beberapa saja yaitu yang
langsung bisa diatasi.
Pertama mengindarkan terjadinya kebisingan atau kegaduhan di dalam kelas. Kegaduhan di dalam
kelas itu bisa terjadi karena ucapan guru tidak jelas. Tidak jelasnya itu mungkin karena bakatnya
begitu (kurang lancar berbicara), ukuran kelasnya besar, dan karena adanya siswa yang suka
merusak suasana belajar mengajar Untuk mengatasinya guru harus pandai mengelola kelas:
memperbaiki diri dan menegur yang berulah tidak baik itu. Kedua, karena guru kurang menguasai
materi pelajaran. Mengatasinya ialah dengan mempelajari materi itu sebelumnya;
lebih lama, lebih luas, dan lebih dalam.
2.4. Siswa Kurang Dibina
Di SMP ini pembinaan siswa harus lebih efektif karena siswanya adalah siswa wajib belajar Besar
kemungkinan siswanya itu ada yang tidak mau melanjutkan bersekolah atau siswa yang bila dibina
secara biasa, belajarnya tidak berhasil. siswa pada kelompok wajib belajar itu mungkin ada yang
bila disuruh belajar itu akan menjawab, "saya ini dari dulu pun tidak mau belajar lagi. Kok
disuruh_suruh. Mau masuk sekolah pun, saya termasuk yang sudah berbuat baik‖.
Selain itu seperti sudah diuraikan, sejak rama prosentase yang masuk ke SMP dari SD itu makin
besar. Sehingga kemungkin annya, banyak siswa yang tidak mampu didik di SMP itu makin besar.
Agar berhasil belajar, pembinaannya harus khusus. Pembinaan khusus itu misalnya, guru
mengajarnya harus lebih lambat, guru harus lebih sabar dan setelah selesai pelajaran guru harus
menyediakan waktu khusus bagi mereka. waktu khusus itu dipakai oleh guru untuk menjelaskan
hal-hal yang belum dimengerti oleh siswa. Sehingga kumulatif karena tidak memahaminya tidak
terlalu bertumpuk.
22. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
14 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
2.5. Materi Matematika di Kurikulum tidak Cocok bagi Siswa
Tidak cocoknya materi kurikulum matematika di SMP ini menurut saya disebabkan adanya wajib
belajar. Siswa SMP yang jaman dulu tidak memenuhi syarat untuk diterima di SMP menjadi
terpaksa/harus diterima. Seperti di negara-negara maju, usia wajib belajar itu makin tua.
Maksudnya, belajar di sekolahnya harus makin lama. Lebih jelas lagi, bila usia wajib belajar itu
sampai dengan di SMP, maka mereka yang usianya sekitar 15 tahun ke bawah harus bersekolah.
Sedangkan bila usia wajib belajar itu sampai dengan SMA maka mereka yang usianya 18 tahun ke
bawah harus bersekolah. Itu yang dimaksud usia belajar itu makin tua.
Mengingat hal itu makin maju suatu usia wajib belajar, prosentase siswa yang tidak mampu didik
di jenjang wajib belajar itu makin banyak. Seperti di Inggris misalnya, wajib belajar itu sampai
dengan usia 16 tahun. Ini menyebabkan makin banyak siswa yang kurang memahami topik
tertentu. Topik-topik atau tahap deduktif, di sana hanya dipahami oleh 5% siswa SMA. Karena itu
geometri yang diberikan di sana bukan geometri Euclids tetapi geometri Transformasi. (Elliott
dalam Ruseffendi, 1990c, h.l7). Untung di kita karena kita menggunakan buku mereka masalah itu
tidak begitu banyak terjadi.
Karena hadirnya siswa wajib belajar di SMP, apakah tidak lebih baik bila programnya dibagi dua?
Misalnya program akademik dan non akademik.
2.6. Suasana Masyarakat Luas
Masyarakat kita sekarang, menurut saya sedang sakit. Sedang menderita tekanan darah tinggi: lekas
tersinggung. Kalah bertanding sepak bola mengamuk; sampai-sampai wasitnya dikejar, kereta api
dilempari, dan stadionnya dibakar. Merasa diliciki dalam pemilihan, rakyat protes; panitia
pemilihan lurah misalnya, dikejar karena menghitung suaranya diduga tidak benar. Kampung
dengan kampong berkelahi karena masalah kecil. Dan kadang-kadang wakil rakyat pun bertengkar.
Keadaan seperti itu dapat memberi contoh yang tidak baik kepada generasi muda. Yang sering
dicontoh oleh manusia itu bukan perilaku baik tetapi perilaku yang jelek dan terutama yang bakal
menguntungkan. Perhalikan Percobaan Baruda. Pada percobaannya ia menyediakan 3 ruang
percobaan A, B, dan C dan sebuah ruangan lain D yang berisi orang-orangan; kecuali D isi ruangan
bisa dilihat dari luar.
Di ruang A ada orang yang sedang memukul-mukul orang-orangan. Di ruangan B ada orang dan
orang-orangan yang sama tetapi orang itu tidak memukulinya. Dan di raungan C tidak ada apa-apa
(kosong). Kemudian ada 3 kelompok siswa andaikan kelompok X, Y, dan Z. Mereka masing-
masing dibawa untuk melihat dari luar ruangan A, B, dan C; X ke A saja, Y ke B saja, dan Z ke C
saja. Setelah itu masing-masing secara bergilir disuruh masuk ruangan D. Dari ketiga kelompok
siswa itu ada yang berbuat aneh yaitu kelompok X. Mereka memukuli orang-orangan yang ada di
ruangan D sedangkan kelompok Y dan Z tidak. Di situ kelihatan bahwa mereka berbuat itu karena
meniru. (dalam Ruseffendi 2006,h.171).
Jadi, agar peniruan itu terjadi kepada yang baik-baik, manusia-menusia di masyarakat itu harus
berperilaku baik.
2.7. Bagaimana Bisa Terwujudnya Pendidikan Karakter Budaya Bangsa, Kewirausahaan. Ekonomi
Kreatif dan kepribadian yang aktif?
Dalam Pendidikan Matematik a, adaobjek langsung dan objek tidak langsung. (Gagne dalam
Reseffendi 2006, h. 163). Objek langsung adalah materi matematika yang diberikan. Sedangkan
objek tidak langsung ialah perilaku atau sikap orang yang telah memperoleh objek langsung itu.
Karena matematika itu rasional, hemat, cermat, tepat, indah, dan tidak ambiguity, maka sifat yang
tumbuh itu yaitu objek tidak langsung pada orang yang memperoleh matematika itu. Selain seperti
itu yaitu rasional, hemat, dan sebagainya itu juga akan menjadi manusia yang kreatif dan mampu
memecahkan masalah.
Tentu saja, pembelajarannya pun harus mendorong terhadap terwujudnya objek tidak langsung itu.
Bila objek langsungnya matematika tradisional maka objek tidak langsung yang akan tumbuh itu
23. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 15
akan minim sekali. Begitu pula soal-soalnya harus yang menyebabkan manusia kita berpikir, bukan
dengan soal-soal rutin. Soal-soal yang sifatnya menantang terdapat antara lain pada soal-soal GRE.
Contoh-contoh soalnya seperti sebagai berikut. (Ruseffendi, l99l h.346-349).
cara menjawab: Tulis di titik-titik A bila bersama di A lebih besar, B bila besaran di B lebih besar,
C bila kedua besaran sarna, dan D bila hubungan tidak bisa ditentukan menurut informasi yang di
ketahui.
Soal No. 4-6 didasarkan kepada gambar kubus berikut. Isi titik-titik dengan nama gambar.
4. Gambar yang ada pada alas gambar (3) adalah ...
5. Gambar di seberang gambar lingkaran adalah ...
6. Gambar di seberang gambar bujursangkar adalah ...
Soal no. 7 - 8 didasarkan kepada uraian berikut. Isilah titik-titik. Andaikan kita menggunakan
sistem numerasi baru dengan angka-angka *, I, <, H, ⊡, E, Λ, V, X, dan ∅ yang berturut-turut
sebagai pengganti 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9.
7. Jumlah dari V + Λ + H = ....
8. Hitunglah I< Λ+
<⊡
⊡
−⊡ 𝑉
9. Andaikan dari sekolah kita untuk menyebrang itu sukar karena banyak kendaraan yang lewat
dan jalannya cepat-cepat. Ditanyakan:
1) Bagaiman kita bisa meyakinkan petugas LLAJR bahwa di depan sekolah kita itu sudah
perlu dipasang jalan penyeberangan.
2) Jalan penyeberangan apa yang bisa kita buat? Beri alasan masing-masing.
10. Berapa cm kubik volum badan Anda? Bagaimana menghitungnya?
Itulah beberapa contoh yang dapat membantu sifat kreatif siswa dalam mewujudkan ekonomi.
Berikutnya ialah bagaimana bisa membentuk budaya karakter bangsa.
Tujuan pendidikan nasional kita antata lain adalah membentuk manusia yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya orang-orang Indonesia itu harus beragama. Kemudian
demi mewujudkan manusia Indonesia yang beragama itu bisa melalui pendidikan pancasila dan
pendidikan agama. Jadi dengan berpegang kepada dua hal itu kepribadian bangsa kita yang agamis
dapat terbentuk. Apakah dengan kedua hal itu karakter budaya bangsa Indonesia dijamin bisa
terwujud? Menurut saya sudah sebab kepribadian kita yang diwujudkan oleh agama itu kepribadian
24. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
16 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
yang ideal bagi setiap bangsa mana pun. Jusku bila kita lterobsesi oleh kebudayaan bangsa kita,
kepribadian agama kita itu bisa tercemar, misalnya kita bisa menjadi syirik, kita bisa berbangga,
kita bisa mengutamakan urusan dunia daripada urusan akhirat, dan lain-lain.
Terakhir mengenai kewirausahaan. Kelihatannya masalah ini sukar dijangkau oleh pendidikan
matematika. Satu-satunya yang mungkin ada kontribusinya kepada kewirausahaan adalah
pembentukan sikap yang diharapkan terjadi pada para kewirausahaan agar kewirausahaannya itu
berhasil. Sifat-sifat itu, seperti sudah disampaikan, mampu memecahkan masalah, kreati{ cermat,
rasional/nalar, ekonomis, dan hemat. Ini sesuai dengan kepribadian yang tumbuh kepada mereka
yang mempelaj ari matematika.
Singkatnya uraian mengenai pembelajaran matematika di SMP sekarang adalah sebagai berikut.
Tetapi ini hanya berupa sinyalemen. Tidak bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang kebenarannya
pasti. Sebab kesimpulan yang baik itu harus dilakukan berdasarkan penelitian. Kelihatannya adalah
sebagai berikut.
Permasalahan pembelajaran geometri itu terjadi karena adanya masukan topik-topik geometri
Euclids kepada geometri transformasi. Pembelajarannya seperti pembelajaran matematika
tradisional karena pemah ada kebijaksanaan TUNG pada Kurikulum 1984 dan terutama pada
Kurikulum 1994. Mutunya rendah disebabkan karena tidak sedikit guru dan siswanya kurang
berkualitas. Dan suasananya agar siswa belajar aktif tidak kondusif. Tetapi sebenarnya, sesuai
dengan hakekat matematika, bila pembelajarannya baik manusia aktif dan kreatif itu bisa terjadi.
III. BAGAIMANA PENDIDIKAN MATEMATIKA DI WAKTU YANG AKAN DATANG?
Bagaimana semestinya pendidikan matematika di SMP yang juga membawa empat buah misi itu
yaitu karakter budaya bangsa, kewirausahaan, ekonomi yang kreatif, dan kepribadian yang aktif.
Agar pendidikan matematika kita, khususnya di SMP, terwujud dengan baik terdapat empat pilar
yang harus diyakini bahwa semuanya itu benar. Pertama percaya kepada matematika untuk siswa
dan bahwa matematika itu benar dan berguna. Kedua percaya kepada pendidikan matematika yang
harus dikembangkan secara ilmiah. Ketiga percaya bahwa cara belajar siswa dan cara mengajar kita
itu benar. Dan keempat percaya bahwa kehidupan yang harus diutamakan itu kehidupan beragama.
Apakah setiap orang yang menjadi guru akan dapat berpikir seperti itu? Tentu saja tidak. Yang bisa
berpikir seperti itu hanya orang yang cukup pintar. Menurut saya harus orang yang nilai
matematika, IPA, dan bahasanya baik di jenjang sebelum adarrya pengelompokan ke dalam MIPA
dan NON-MIPA. Dengan singkat, calon guru itu harus orang yang nilai matematika, IPA, dan
bahasanya baik.
3.1. Percaya kepada Matematika yang Baik bagi Siswa
Dalam pendahuluan sudah diuraikan bahwa matematika sekolah itu beragam. Kita harus yakin
bahwa matematika sekolah yang kita pilih itu benar dan cocok bagi siswa kita. Sesuai dengan
keadaan siswa wajib belajar, matematikanya masih perlu ada yang tidak formal dan programnya
beragam atau terbagi dalam dua program; program akademik dan program non akademik.
Walaupun begitu untuk program akademik atau siswa pandai pendekatan deduktifnya yang secara
penuh harus dibatasi. Bila kita akan menerapkan PMRI misalnya maka matematisasi horizontal dan
vertical di SD, SLTP, dan SLTA adalah sebagai berikut.
25. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 17
Menurut saya bila kita akan menerapkan PMRI di sekolah, makin tinggi jenjangnya makin sedikit
matematisasi horizontal diperlukan. Dan bila ingin melihat dari segi keformalannya, pembelajaran
matematika di SMP itu campuran antara yang tidak formal dan yang formal. Di SD tidak formal
sedangkan di SMA formal setelah sistem aksiomatiknya dikeluarkan untuk jadi pelajaran pilihan.
Mengapa kita harus yakin bahwa matematika yang kita pilih itu benar dan berguna bagi siswa,
sebab bila tidak bisa salah seperti dalam contoh berikut.
Pertama seorang ahli PMR dari Negeri Belanda mengatakan dalam ceramahnya bahwa matematika
modern itu maia petaka. Padahal Bell (1978,h. 64) mengatakan, ―In balancing the positive and
negative assessments of the new math revolution, most well - informed people arrive at the
conclusion that new math is neither dismal failure nor an overwhelming success‖.
Ada lagi yang mengatakan, "Bila PMRI kita ingin berhasil kita harus membuang matematika
modern jauh-jauh". Padahal waktu saya menyajikan kegiatan lapangan yang topiknya dan
penyajiannya dari matematika modem (Ruseffendi, 2006, h. 536) seorang ahli PMR dari Belanda
memujinya.
Seorang lagi mengatakan, ―Dalam pengajaran matematika sebelum PMRI rumus-rumus seperti
rumus panjang keliling lingkaran 2𝜋R harus dihapalkan tanpa penjelasan sedangkan dalam PMRI
dijelaskan‖. Pernyataan itu benar, bila bicaranya di Negeri Belanda sebab sebelum PMR di Negeri
Belanda diterapkan pengajaran matematikanya'itu yang mekanistik (matematika lama). Sedangkan
di kita, yang begitu itu sejak pengajaran matematika modern sudah dijelaskan.
orang berikutnya dari Pusat (Jakarta). Katanya,‖siswa tidak bisa menyelesaikan soal seperti
1
4
: 2
1
2
Berarti penguasaan matematika dari siswa itu jelek‖. Kata Heuvel-Panhuizen, di Belanda operasi
hitung formal dengan pecahan tidak lagi termasuk dalam kurikulum inti. Tetapi operasi dengan
pecahan itu supaya terjadi pada masalah kontekstual yang sederhana. Bila dikontekstualkan tentu
saja bisa. Misalnya, ada
1
4
karung pupuk. Lalu dimasukkan kedalam sebuah karung yang besarnya
2
1
2
kali lebih besar. Berapa bagian dari isi karung yang besarnya 2
1
2
kali itu? Tetapi menurut saya
itu adalah soal yang dibuat-buat sehingga menjadi kontekstual.
Berikutnya lagi, seorang doctor dan guru besar dari Negeri Belanda memberitahu saya bahwa ia
kedatangan orang kunci dalam kurikulum di DEPDIKNAS. Ia membawa sebongkah buku-buku
matematika yang pemah digunakan di kita (Indonesia) sewaktu jaman Belanda. Ia bilang, ―Saya
ingin agar matematika yang diberikan di sekolah Indonesia itu seperti ini (menunjuk kepada buku-
buku yang dibawanya) sehingga siswa menjadi pandai dalam matematika seperti saya‖.
Saya Tanya, ―Apa komentar Anda?‖.
26. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
18 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Jawabnya, "Saya tidak memberi komentar, tetapi saya berkata dalam hati,"orang ini tidak
mengetahui bahwa Belanda sendiri sudah berubah", katanya. Orang-orangyangdisebutkan di atas (5
orang) dan dua orang lagi yang sudah dibicarakan di bagian depan sama-sama menyukai
matematika. Yang keliru adalah pemahamannya tentang sesuatu dalam matematika. Dengan kata
lain premisnya salah.
Yang berikut ini dua orang yang cenderung untuk tidak menyukai matematika karena persepsinya
terhadap matematika dan matematikawan itu tidak benar.
Pertama seorang ahli agama terkenal yang bernama Al-Ghazali. Ia mengatakan, "Tidak satu pun
hasil-hasil matematika,katanya,terkait dengan agama. Karena itu, matematika bukanlah subjek
yang diharamkan. Walaupun demikian, kata Al-Ghazali, matematika menyebabkan banyak bahaya
dan sangat seling menjadi penyebab kekafrran". (dalam Hoodbhoy, 1996, h. 184).
Kedua adalah sikap seorang delegasi Saudi pada suatu konperensi tingkat tinggi di Kuwait pada
tahun 1983. Dikatakan, "Delegasi Saudi mengatakan bahwa sains murni condong menghasilkan
'kecenderungan Mu'tazilah' yang secara potensial merupakan keyakinan bid'ah. Sains adalah
sesuatu yang profane karena bersifat sekuler; menurut pendapat mereka, sains menentang
keyakinan Islam. Walaupun..., sains mumi seharusnya dihambat, demikian menurut
delegasi.Saudi". (Hoodbhoy, 1996, h. 66-67). Padahal mereka berbicaranya itu pada konperensi
mengenali dan menyingkirkan kemacetan perkembangan sains dan teknologi di dunia Arab.
Dari pendapat kedua orang terakhir itu kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana orang akan
dapat berhasil membawakan pembelajaran matematika bila ia berpendapat seperti mereka di atas
atau meragukan kegunaannya.
3.2. Percaya bahwa Pendidikan Matematika itu Suatu Disiplin Ilmu
Bahwa pendidikan matematika itu adalah suatu disiplin ilmu dan bukan suatu ilmu rekayasa sudah
diuraikan. Dosen, guru, dan orang-orang yang berkepentingan harus mempercayainya. Dengan
demikian pengembangannya harus dilakukan secara ilmiah dan paling tidak melibatkan anak didik,
matematika yang diajarkan calon guru, guru, dan dosennya. Bahwa untuk menjadi guru yang
professional itu calon guru harus belpengalaman guru sedini mungkin dan terus menerus calon
guru itu memperoleh berbagai ilmu dan pengalaman sehingga ia menjadi seorang guru yang utuh.
Dan seperti sudah disampaikan, dalam jangka waktu tertentu, calon guru itu harus diasramakan.
Karena itu program gurunya bukan program konsekutif tetapi program simultan (concurrent).
Kita yang terlibat di dalamnya harus sepakat untuk melakukan pembelajaran pendidikan untuk
bangsa kita itu bukan hanya melalui impor saja sebab belum tentu hasil penelitian di sana akan
cocok bagi anak-anak kita. Misalnya: apakah perkembangan mental anak-anak kita sesuai dengan
hasil penelitian Piaget bagi bangsanya? Apakah tipe belajar anak-anak kita sesuai dengan yang
Gagne temukan? Apakah tahap-tahap pemaham siswa dalam geometri di kita sama dengan yang
ditemukan Van Hiele? Apakah prosentase siswa SMA yang dapat memahami sistem deduktif
hanya 50lo seperti di Inggris? dan lain-lain.
Masalahnya di kita, penguasa itu sering lebih percaya kepada pemikirannya sendiri daripada
kepada hasil penelitian. Mungkin hasil penelitian orang-orang kita itu dianggapnya belum benar?
3.3. Percaya bahwa Cara Siswa Belajar dan Cara Guru Mengajar yang Dilaksanakan adalah yang
Terbaik
Pada masa sekarang strategi pembelajaran yang guru bawakan itu sangat kurang yaitu: pembawa
materi adalah guru sendiri dengan materi pelajaran yang sempit, penyaji materinya adalah guru
sendiri, pendekatannya kalau tidak formal yang formal, dan ukuran kelasnya pada umumnya adalah
sangat besar. Padahal warna atau macam strategi belajar mengajar itu lebih dari 1400 macam.
Kemungkinannya makanya strategi pembelajaran yang guru gunakan itu hanya sebuah, mungkin
karena guru tidak megnetahui atau mengetahui hanya untuk melakukannya malas, tidak mau cape-
cape. Bila alasannya yang kedua, itu berani strategi pembelajaran yang guru bawakan itu bukan
27. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 19
yang terbaik. Jadi semestinya warna strategi belajar-mengajar yang guru bawakan itu yang terbaik
dan guru yang bersangkutan harus yakin bahwa strategi yang dipilihnya benar.
Dalam melaksanakan tugasnya itu ada kekurangannya. Mungkin karena guru tidak diberi
peluangan untuk itu. Semestinya kalau tugas guru mengajar itu 24 jam per minggu, jangan
seluruhnya dipakai untuk mengajar. Tetapi sebagian daripadanya dipakai untuk responsl: Misalnya
18 jam mengajar dan 6 jam respons/ Enam jam untuk respong dipakai oleh guru setelah guru
memberi pelajaran dan digunakan oleh setiap siswa yang memerlukan. Jadi setelah guru itu
mengajar, waktu itu juga ia masuk kantor dan menerima siswa yang dalam pelajaran tadi siswa
belum mengerti. Dengan demikian ketidakmengertian siswa itu tidak akan kumulatif. Dan, bila
terjadi kumulatif, kemungkinan besar siswa yang bersangkutan menjadi tidak menguasai
matematika.
Kemudian dalam membawakan pembelajarannya guru tidak bisa lepas dari membuat instrumen
sebagai alat evaluasi. Di sini pun guru harus yakin bahwa instrumen yang dibuatnya itu benar dan
baik. Seperti sudah disampaikan untuk tumbuhnya sifat kreatif, nalar, dan mampu memecahkan
masalah siswa supaya diberi soal-soal yang menantang. Sedangkan di kita sering yang rutin-rutin
saja. Dalam menyelesaikan soal sebagai berikut 24 x 17 misalnya perhatikan perbedaan antara
anak-anak di kita pada umumnya dengan anak-anak di Inggris sewaktu saya berkunjung ke London
tahun 1994. waktu saya berkunjung ke sana itu saya
mempunyai kesempatan membuka-buka buku pekerjaannya. Tidak ada seorang pun yang
mengerjakannya seperti di kita. Nampak dengan cara di London itu siswa lebih tejadi mengerti
daripada cara-cara anak-anak kita. Selain itu di sana sudah jarang sekali mengerjakan soal-soal
rutin dalam operasi hitung dengan bilangan-bilangan besar. Sedangkan di kita sewaktu saya
berkunjung ke suatu sekolah dasar, banyak. siswa bedam-jam mengerjakannya sedangkan guru
bertugas sewaktu siswa menyerahkan jawabannya saja; di luar itu nganggur. soal-soal itu misalnya:
274+325+144=;315x86=; dan 39796 : 64
Mengenai tingkat kesukaran soal-soal pun harus dibedakan. Sesuai dengan normalnya kemampuan
sekelompok siswa, maka dalam satu set soal itu yang mudah, sedang, dan sukarnya masing-masing
sekitu 30%, 50%, dan 20%. Begitu pula masing-masing di setiap kelompok lemah, sedang, dan
kuat sekitar itu.
3.4. Dalam Hidup Ini Kita Harus Mendahulukan Kepentingan Agama daripada Urusan Dunia
Seperti sudah disampaikan Tujuan Pendidikan Nasional kita itu antara lain adalah membentuk
manusia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Konsekuensinya manusia Indonesia itu
harus beragama. Dalam setiap hgama kita tidak boleh mencuri, membunuh, menyakiti makhluk
Tuhan dsb. tetapi harus sebaliknya kita harus menyayangi, membantu, menolong dsb. satu sama
lain. Di dunia, khususnya di kita sekarang-sekarang ini tidak sedikit ada pencurian, perampokan,
pembunuhan, tindakan anarkhis, perbuatan sadis, perbuatan tidak manusiawi, pengrusakan,
pembobolan uang Negara, dan lain-lain. Tindakan perbuatan yang jelek-jelek itu perbuatan orang
yang tidak beragama atau yang agamanya hanya pengakuan saja?
28. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
20 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
Mendahulukan urusan agama itu artinya bukan kita hanya melakukan urusan agama dan
meninggalkan urusan dunia, tetapi berbuat dalam urusan dunia itu karena amanah Tuhan. Dengan
kata lain bila kita menjabat, itu bukannya kita mendapat kekuasaan, tetapi memperoleh amanah
dari Tuhan.
Bila kita berpegang kepada prinsip itu dan melaksanakannya, insyaallah dunia ini akan aman.
Sebab bila orang memeluk agana dengan sebagaimana mestinya ia akan menjadi manusia yang
jujur, adil, akan acuh kepada orang lain, akan memegang jabatan sebagai amanah, akan berpikir
rasional dan objektif, dan sebagainya Adanya orang yang berpikir aneh seperti Al-Ghazali dan
wakil Saudi mengenai sains murni (termasuk matematika) adalah karena ketidakpahamannya.
orang-orang yang seperti itu pandangannya mengenai sains harus diluruskan.
Selain dari pihak agama yang berpandangan kolot, dari pihak komunis dan atheis pun harus dijaga.
Bila golongan agama yang berpandangan kolot cenderung untuk menghambat kemajuan
matematika, golongan komunis dan atheis menghalangi kita untuk beragama seperli disampaikan
oleh Habeyb,
Komunisme...paham yang menghendaki kehidupan manusia bersendikan kepunyaan bgrsama
dari segala sesuatunya (lanjutan dari sosialisme). . . .Ffikum-hukum alam, katanya, sudah
terkandung dalam cosmos dan tidak ada hubungannya sarirasekali dengan apa yang disebut
Tuhan. Segala sesuatu dan kepercayaan tentang Tuhan hanyalah khayalan manusia saja yang
harus dibasmi sampai ke akir-akamya. Karena ini adalah musuh besar dari ajaran Komunisme.
(1981, h. l98-199).
Selanjutnya dikatakan,
Dalam hubungannya dengan agama menurut Lenin, Marxisme memandang semua agama
modern dengan segala tempat ibadahnya dan semua organisasi agama sebagai alat-alat dari
kaum borjuis untuk mempertahankan penjajahan mereka dan untuk meracuni masyarakat kelas
buruh.
Agama sebagaimana di-definisikan oleh Marx adalah candu bagi rakyat. Setiap pikiran tentang
agama dan tentang Tuhan dan setiap detik sangkaan bahwa Tuhan itu ada merupakan suatu
kejahatan yang paling berbahaya, suatu penyakit yang paling gila di dunia ini... (1981 ,h.228).
Bila kita beragamanya dengan benar tentunya kita akan mampu menjelaskan kepada orang-orang
komunis dan atheis bahwa Tuhan itu ada. Bahwa agama samawi itu, paling tidak sumbernya adalah
Tuhan yang Maha Esa. Demikianlah sedikit uraian mengenai Naskah Akademik Matematika SMP.
Mudah-mudahan ada gunanya. Amin!
29. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 21
DAFTAR PUSTAKA
Doll, M.E.Jr. (1993). A post-modem perspective on curriculum. New york: Teacher
College Press.
Ernes, P. (1991). The philosophy of mathematics education. Great Britain: The Palmer Press
Gardner, D.P. (1983). A nation at risk. Washington, D.C.: U.S.Government printing Press.
Habeyb, S.F. (1981). Kamus popular. Jakarta: Centra.
Heuvel-Panhuizen, Maja van den (1998). Realistic mathematics education. Bon: Wed-site
Freudenthal Institute http/iwww.fi .uu.nl.
Hoodbhoy, P. (1996). Ikhtiar menegakan rasionalitas antara sains dan ortodoksi Islam. Bandung:
Mizan
Pikiran Rakyat (1997). Tanggal 24 Agustus 1987.
Ruseffendi, H.E.T. (2006). Pengantar kepada membantu guru mengembangkan kompetensinya
dalam pengajaran matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito
Ruseffendi, E.T. (1990a). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.
Seri 5. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1990b). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.
Seri …. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E.T. (1990c). Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan PGSD D2.
Seri 6. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, H.E.T. (1991). Penilaian pendidikan dan hasil belajar siswa khususnya dalam
pengajaran matematika. Bandung: Tarsito.
Tempo (1983). Tanggal 16 Juli 1983.
Treffers, A. (1991). Realistic mathematics edutacion in the Netherland 1980-1990. In L. Streefland
(ed). Realistic mathematics education in primary school. The Netherlands : Freudenthal
Institue.
30. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
22 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : Utari Sumarmo
Abstrak
Pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari
pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam
tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter meliputi: religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab. Pada dasarnya pendidikan karakter tidak diajarkan secara tersendiri namun
bersamaan waktu dengan pembelajaran tiap bidang studi termasuk matematika, melalui: pemahaman,
pembiasaan, keteladanan dan contoh, serta pembelajaran yang berkelanjutan. Pembelajaran tidak dapat
disederhanakan dalam bentuk resep, karena melibatkan beragam unsur antara lain: pengetahuan bidang studi
dan dan pedagogi pembelajarannya, siswa dan karakteristiknya, dan diskursus atau lingkungan belajar.
Melalui pendekatan pembelajaran apapun, perlu diupayakan agar siswa belajar secara aktif, mencapai belajar
matematika secara bermakna serta memiliki karakter yang terpuji.
Kata kunci: pendidikan karakter dan nilai, pemahaman, pembiasaan, keteladanan dan contoh, pembelajaran
yang berkelanjutan, belajar aktif, belajar bermakna, tugas matematik, diskursus
A. Pendidikan Budaya dan Karakter
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai
budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang sesuai dengan
kehidupan masa kini dan masa datang. Pendidikan juga merupakan usaha sadar suatu masyarakat
dan bangsa dalam mempersiapkan generasinya untuk menghadapi tantangan demi
keberlangsungan hidup di masa datang. Proses di atas merupakan proses penting dan berkelanjutan
yang harus dilakukan dalam semua mata pelajaran.
Beberapa alasan esensialnya Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa dikembangkan pada siswa
dikemukakan oleh Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia (ALPTKI)
sebagai berikut (Ghozi, 2010):
1) Karakter sebagai perekat kultural yang memuat nilai-nilai: kerja leras, kejujuran, disiplin, etika,
estetika, komitmen, rasa kebangsaan dll.
2) Pendidikan Karakter merupakan proses berkelanjutan
3) Pendidikan Karakter sebagai landasan legal formal untuk tujuan pendidikan dalam ketiga
ranah
4) Proses pembelajaran sebagai wahana pengembangan karakter dan IPTEKS
5) Melibatkan beragam aspek pengembangan peserta didik
6) Sekolah sebagai lingkungan pembudayaan peserta didik
Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan berfungsi: (1) pemersatu bangsa, (2)
penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 tercantum sebagai berikut: ― Pendidikan Nasional
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Rumusan tujuan di atas
merupakan rujukan utama untuk penyelenggaraan pembelajaran bidang studi apapun, yang selain
memuat kemampuan kognitif yang disesuaikan dengan bidang studi juga menekankan pada
pengembangan budaya, dan karakter bangsa. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
31. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung 23
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum).
Dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing yang semakin ketat, pengembangan
kemampuan dalam bidang studi dan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa di atas
merupakan suatu keniscayaan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran setiap bidang studi
demikian juga dalam pembelajaran matematika. Pengembangan kemampuan matematika dan
nilai di atas termuat dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika yaitu: a) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma
secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, b) menggunakan penalaran
pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, c) memecahkan masalah; d)
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah, dan e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah (KTSP, 2006).
Butir-butir a) sampai dengan d) dalam rumusan tujuan pembelajaran matematika di atas
menggambarkan kemampuan matematik dalam ranah kognitif, sedang butir e) melukiskan ranah
afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika. Dalam pembelajaran matematika
pembinaan komponen ranah afektif akan membentuk disposisi matematik yaitu: keinginan,
kesadaran, dedikasi dan kecenderungan yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat
secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia.
Pengertian disposisi matematik seperti di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang
terkandung dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan demikian pengembangan
budaya dan karakter, kemampuan berpikir dan disposisi matematik pada dasarnya dapat
ditumbuhkan pada siswa secara bersama-sama.
Polking (1998) mengemukakan bahwa disposisi matematik meliputi sikap atau sifat: 1) rasa
percaya diri dalam menerapkan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan
mengkomunikasikan gagasan, 2) lentur dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha
mencari beragam cara memecahkan masalah; 3) tekun mengerjakan tugas matematik; 4) minat,
rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; 5) cenderung memonitor dan
menilai penalaran sendiri; 6) mengaplikasikan matematika dalam bidang studi lain dan kehidupan
sehari-hari; 7) apresiasi terhadap peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat,
dan sebagai bahasa. Hampir serupa dengan pendapat Polking (1998), Standard 10 (NCTM, 2000)
mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan: rasa percaya diri, ekspektasi dan
metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi
dan menyelesaikan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat
dengan orang lain.
Pengertian disposisi matematik di atas pada dasarnya sejalan dengan makna yang terkandung
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu
mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter, kemampuan
berpikir dan disposisi matematik yang terintegrasi dan dilaksanakan secara bersamaan.
Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan upaya menyiapkan
lulusan yang kelak diharapkan dapat memenuhi tuntutan kemajuan IPTEKS dan suasana bersaing
yang semakin ketat, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.
32. Volume 1, Tahun 2011. ISBN 978-602-19541-0-2
24 Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung
B. Pembelajaran Matematika Berbasis Pendidikan Karakter
Pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur
seperti guru, siswa, matematika dan karakteristiknya, dan situasi belajar yang berlangsung. Oleh
karena itulah pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu siswa
belajar. Paling sedikit terdapat dua hal yang menjadi alasan bahwa pembelajaran tidak dapat
dirumuskan dalam bentuk resep. Pertama, pembelajaran melibatkan pengetahuan tentang: topik
matematika yang akan diajarkan, perbedaan siswa, cara siswa belajar, lingkungan kelas, lembaga
pendidikan dan masyarakat. Selain hal umum seperti di atas, guru juga harus mempertimbangkan
hal-hal khusus misalnya: karakteristik topik yang akan diajarkan dan pedagogi mengajarkannya.
Kedua, sebagai implikasi bahwa pembelajaran melibatkan berbagai domain, maka guru juga harus
menetapkan: cara mengajukan dan merespons pertanyaan, cara menyajikan idea matematika secara
tepat, berapa lama diskusi perlu dilaksanakan, jenis dan kedalaman tugas matematika, dan
keseimbangan antara tujuan dan pertimbangan.
Adalah rasional bahwa tak ada satu pembelajaran yang paling sesuai untuk mengembangkan
semua kemampuan, proses, dan disposisi matematik. Namun demikian, dalam pendekatan dan
strategi pembelajaran apapun yang perlu mendapat perhatian adalah ketercapaian belajar bermakna
pada siswa. NCTM (Webb dan Coxford, Eds, 1993) mengemukakan beberapa saran kepada guru
untuk melaksanakan pembelajaran matematika secara bermakna antara lain: memilih tugas
matematik yang tepat, mendorong berlangsungnya belajar bermakna, mengatur diskursus
(discourse), dan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran sehingga tercipta suasana belajar yang
kondusif.
a) Memilih tugas hendaknya memperhatikan: topik-topik matematika yang relevan,
pemahaman, minat, dan pengalaman belajar siswa yang sebelumnya, dan mendorong
tercapainya belajar bermakna,
b) Memilih tugas ditujukan untuk: mengembangkan pemahaman dan keterampilan matematik,
menstimulasi tersusunnya hubungan matematik, mendorong untuk formulasi masalah,
pemecahan masalah dan penalaran matematik, memajukan komunikasi matematik,
menggambarkan matematika sebagai kegiatan manusia, mendorong tumbuhnya disposisi
matematik.
c) Mengatur diskursus dengan cara: memperkenalkan notasi dan bahasa matematika yang tepat,
menyajikan informasi, menjelaskan isu, membuat model, dan memberi kesempatan siswa
mengatasi kesulitan serta meyakinkan diri siswa; mendorong partisipasi siswa untuk
menciptakan suasana kelas yang kondusif; mendengarkan, merespon, dan bertanya melalui
berbagai cara untuk bernalar, membuat koneksi, menyelesaikan masalah, dan saling
berkomunikasi; mengajukan pertanyaan/masalah, contoh dan lawan contoh, konjektur.
d) Menciptakan suasana belajar untuk mendorong pengembangan daya matematik siswa dengan
cara: mengajukan pertanyaan dan menyusun konjektur, idea dan masalah kontekstual yang
sesuai; menghargai idea, cara berfikir dan disposisi matematik siswa melalui belajar
individual atau kolaboratif
e) Menganalisis partisipasi belajar siswa melalui: observasi terhadap apa yang telah dipelajari
siswa.
Untuk mendukung berlangsungnya saran pembelajaran di atas, perlu adanya perubahan
pandangan terhadap pembelajaran seperti tercantum pada Tabel 1.