SlideShare a Scribd company logo
1




                                    BAB IV


              PROFIL LINGKUNGAN KEBAHASAAN ANAK




4.1 Lingkungan Kebahasaan Keluarga


      Putu Lila dilahirkan di Singaraja, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah

Singaraja pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 00:05 WITA. Lila lahir dalam keadaan

normal dengan berat badan 2,8 kilogram dan panjang 50 cm. Desmita (2009: 102)

mengungkapkan bahwa pada waktu bayi masih berada dalam kandungan ibunya,

badannya telah membentuk sekitar 1.5 milyar sel-sel saraf permenit. Jadi, saat

dilahirkan, bayi kemungkinan telah memiliki semua sel otak yang akan dimiliki

sepanjang hidupnya. Namun, keberadaan otak bayi belum matang. Oleh karena

itu, otak bayi terus berkembang sampai anak berusia 2 tahun seiring dengan

pertumbuhan fisiknya. Myer yang dikutip Desmita (2009) menyatakan bahwa

pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25%

dari berat otak dewasanya, maka pada ulang tahun yang kedua, otak bayi sudah

mencapai kira-kira75% dari otak dewasanya. Keberadaan otak bayi dan

perkembangannya sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak seperti yang

digagas oleh Chomsky (2002) yang dalam teori pemerolehan bahasanya

mengungkapkan bahwa bahasa merupakan objek alami, suatu komponen

intelektual manusia yang secara fisik direpresentasikan di dalam otak dan

merupakan bagian dari perkembangan biologisnya.
2




       Menurut Taylor (1990: 230) pemerolehan bahasa dipengaruhi oleh tiga

variabel penting, yaitu bahasa yang diperoleh, anak yang memeroleh bahasa

tersebut, dan lingkungan tempat bahasa itu diperoleh. Seorang anak bisa

memeroleh bahasa karena dilengkapi dengan keadaan fisik yang memungkinkan

dia menggunakan bahasa serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Di samping

itu, anak juga tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebahasaan yang

digunakan penuturnya secara aktif. Berikut ini adalah gambaran lingkungan

kebahasaan tempat Lila dibesarkan yang akan dibahas berdasarkan lingkungan

kebahasaan keluarga dan lingkungan kebahasaan teman sebaya.


     Sejak lahir, Lila tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Celukbuluh,

Desa kalibukbuk Kecamatan Buleleng. Dia lahir dari seorang ibu yang berasal

dari Bali yang merupakan wanita etnis Bali yang berasal dari Kabupaten

Karangasem, namun sudah tinggal di Kabupaten Buleleng sejak berusia 15 tahun

karena mengikuti ayah yang dipindah tugaskan. Ibu Lila merupakan wanita yang

lahir dengan bahasa ibu, bahasa Bali. Selain Bahasa Bali, bahasa Indonesia juga

dikuasainya melalui jenjang bangku sekolah formal. Bahasa ketiga yang dikuasai

adalah bahasa Inggris yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal Strata 1.

Jadi, ibu Lila fasih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Ibu Lila

bertemu dengan ayah Lila, Frank (bukan nama sebenarnya), pada tahun 2003.

Ketika bertemu dengan ayah Lila, ibu Lila sedikit demi sedikit mulai belajar

bahasa Jerman secara otodidak.


       Ayah Lila merupakan seorang laki-laki yang berasal dari Jerman yang

lahir dengan bahasa ibu bahasa Jerman. Selain bahasa Jerman, dia juga fasih
3




menggunakan bahasa Inggris. Sejak tahun 2003, ayah Lila sudah tinggal di Bali

meskipun dia masih sering mengunjungi negeri asalnya kurang lebih dua kali

dalam setahun. Frank memutuskan untuk mulai belajar bahasa Indonesia untuk

dapat berkomunikasi dengan masyarakat lokal karena dia tinggal di Bali. Bahasa

Indonesia dipilih untuk dipelajari karena dia ingin dapat berkomunikasi bukan

hanya dengan orang Bali, tetapi juga dengan orang Indonesia dari etnis lain yang

tinggal di Bali dan dari informsai yang dia peroleh kebanyakan orang Bali juga

mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dia memutuskan untuk tidak

mempelajari bahasa Bali karena dia tidak mau dibingungkan oleh dua bahasa

yang berbeda. Ayah Lila menganggap bahasa Bali lebih sukar untuk dipelajari

karena adanya perbedaan tingkatan dan dia tidak mau dibingungkan oleh

perbedaan-perbedaan tingkatan tersebut. Ayah Lila mempelajari bahasa Indonesia

dengan sangat serius dan bahkan dia memiliki guru bahasa Indonesia yang

memiliki latar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Saat ini, dia sudah fasih

menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap dengan orang-orang di

sekitarnya.


       Sejak sebelum Lila dilahirkan, orang tuanya sudah mendiskusikan tentang

bahasa-bahasa yang nanti akan digunakan untuk berkomunikasi dengannya.

Mereka akhirnya memutuskan bahwa ketika berbicara dengan Lila, ayah Lila

menggunakan bahasa Jerman dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia.

Mengapa bahasa Jerman? Bahasa Jerman digunakan karena merupakan bahasa

Ibu ayah Lila dengan harapan Lila juga bisa menggunakan bahasa tersebut.

Namun, pada kenyataanya, karena juga belajar dan senang menggunakan bahasa
4




Indonesia secara tidak sadar ayah Lila sering menggunakan bahasa Indonesia

ketika berbicara dengan Lila. Ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia, ini

dimaksudkan agar percakapan-percakapan yang terjadi antara Lila dan ibunya

bisa dimengerti oleh ayah Lila. Pada kenyataanya ibu Lila tidak hanya

menggunakan bahasa Indonesia saja, namun kadang-kadang digunakan juga

bahasa Bali pada saat –saat tertentu, misalnya ketika Lila melakukan sesuatu yang

nakal dan ibunya menjadi marah.


       Seiring dengan perkembangan umur Lila, ketika dia sudah dapat merespon

kata-kata orang tuanya, percakapan-percakan antara orang tua dan anak sering

terjadi dalam bahasa Indonesia dan Jerman. Kadang-kadang ibu Lila juga

menggunakan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman yang sering

digunakan oleh ayah Lila dan Lila ketika berbicara satu dengan yang lainnya.

Dalam keluarga, orang tua Lila juga memiliki komitmen bahwa dalam

berkomunikasi dengan anak seberapa kecil pun anak, orang tua harus

menggunakan bahasa `normal`, menggunakan kata-kata yang sesungguhnya dan

bukan mengikuti bahasa bayi; seperti yang dilakukan para orangtua pada

umumnya.


       Pada umumnya, ayah dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia ketika

berkomunikasi satu sama lain, namun jika percakapan-percakapan menyangkut

hal-hal yang lebih dalam atau diskusi-diskusi tentang topik-topik atau isu-isu

tertentu, percakapan-percakapan sering sekali terjadi dalam bahasa Inggris.

Namun, Lila tidak disuguhi bahasa Inggris secara langsung dan tidak diajak

berkomunikasi dalam bahasa tersebut meskipun sejak dilahirkan dia juga sudah
5




            terbiasa mendengar kata-kata atau ucapan–ucapan dalam bahasa Inggris.

            Pengaruh bahasa Inggris pun hampir tidak terlihat dalam perkembangan

            bahasanya. Di samping itu, Lila sama sekali tidak disuguhi bahasa Inggris karena

            orang tuanya tidak mau, Lila dibingungkan oleh kebanyakan bahasa sekitar. Jadi

            dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tuanya untuk

            berkomunikasi dengan Lila adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman.


                    Taylor (1990: 227) mengungkapkan bahwa, ketika anak sejak lahir sampai

            pada umur dua tahun pusat dari perkembangan bahasanya adalah orang tuanya,

            terutama ibunya. Dalam keluarga inti Lila, percakapan-percakapan terjadi dalam

            bahasa-bahasa, seperti yang digambarkan dalam diagram berikut


                                        Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris




                    Ibu                                                                 ayah


                                         Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris


                                                                   Bahasa Jerman dan kadang-kadang Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia, kadang-kadang B.Jerman, B.Bali
6




                                        Lila


               Bagan 4.1: Lingkungan Kebahasaan Keluarga Inti


       Pada prinsipnya, Lila hanya tinggal dengan keluarga inti, yaitu ayah dan

ibu. Dalam keluarga tersebut, dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu ada

seorang pengasuh anak yang bekerja paruh waktu, yaitu seorang wanita etnis Bali

yang bernama Warti. Warti hanya bekerja selama 6 jam, per hari, yaitu dari pukul

08.00 sampai dengan pukul 14.00. Ketika berbicara dengan Lila, Warti

menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga ketika berbicara dengan ayah Lila.

Namun, ketika berbicara dengan ibu Lila, Warti menggunakan bahasa Bali. Selain

seorang pengasuh anak, keluarga juga dibantu oleh seseorang yang mengurus

kebun. Dia adalah seoarang lelaki, yang juga merupakan etnis Bali, yang bernama

Ketut. Ketut juga bekerja paruh waktu, yaitu dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00

dari hari senin sampai sabtu. Bahasa yang digunakan oleh Ketut dalam keluarga

tersebut sama dengan bahasa yang digunakan oleh Warti.


       Di samping lingkungan kebahasaan keluarga inti dan orang orang yang

membantu keluarga tersebut setiap harinya, Lila juga memiliki hubungan dengan

keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun pihak ayah. Dari pihak ibu, Lila

memiliki seorang nenek etnis Bali, dua orang paman dan seorang bibi kandung.

Baik nenek maupun paman dan bibinya bertemu dengan Lila secara reguler.

Dengan nenek dari pihak ibu, Lila bertemu hampir setiap bulan selama 2 hari

sampai satu minggu. Hal ini disebabkan oleh neneknya tinggal jauh di kabupaten

lain, yaitu Kabupaten Karangasem. Nenek Lila menggunakan bahasa Indonesia
7




dan bahasa Bali ketika berbicara dengan Lila. Salah satu paman dan bibinya

berjumpa atau mengunjungi keluarga tersebut hampir setiap minggu sementara

paman yang lain bertemu dengan Lila hampir setiap bulan. Bahasa yang

digunakan oleh mereka ketika berkomunikasi dengan si kecil Lila sama dengan

bahasa yang digunakan oleh nenek mereka. Sementara di antara mereka sendiri

menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi satu sama lain.


       Dari pihak ayah, Lila memiliki seorang nenek dan seorang paman. Nenek

Lila tinggal di Jerman dan sejak kelahiran Lila neneknya sudah datang ke

Indonesia sebanyak dua kali dengan rentang waktu dua bulan dan tiga bulan.

Ketika berkomunikasi dengan Lila, nenek menggunakan bahasa Jerman.

Sementara dengan paman dari pihak ayah, Lila baru bertemu sekali saja. Ketika

berumur 1;10, Lila untuk pertama kalinya diajak ke Jerman oleh orang tuanya.

Ketika di Jerman, keluarga tersebut tinggal di rumah neneknya. Mereka tinggal di

Jerman selama enam minggu dan selama di sana, Lila disuguhi bahasa Jerman

sangat intensif, baik oleh neneknya maupun anggota keluarga lain.


       Sejak masih bayi, Lila juga sudah diperkenalkan pada buku-buku bayi baik

dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Indonesia. Buku-buku bayi yang

dimaksudkan adalah buku-buku yang memiliki kertas-kertas yang tebal dan sulit

untuk dirobek anak. Ayah Lila khususnya, hampir setiap hari memperlihatkan

gambar-gambar yang ada di buku dan memberitahukan kata-kata yang ada dalam

buku-buku tersebut dalam bahasa Jerman. Ini dilakukan ayahnya secara natural

dan bukan untuk tujuan penelitian ini. Di antara buku-buku yang sering digunakan

untuk bermain dan berlatih berbicara adalah buku-buku anak karangan Helmut
8




Spanner yang berjudul Erste Bilder Erste Wörter dan Mein Bärenbuch. Buku-

buku lain, misalnya berjudul Kennst Du das? Die Farben, Kennst Du Das? Dein

Körperr. Buku-buku dalam bahasa Indonesia juga diperkenalkan kepada Lila,

khususnya buku-buku cerita anak yang biasanya dibacakan kepada Lila menjelang

tidur pada malam atau siang hari. Buku-buku tersebut, misalnya Kisah Si Rusa

Kecil, Periuk Bunbuku, Pindy dan Pinky, Georgia Abott dan lain-lain.




4.2 Lingkungan Kebahasaan Teman Sebaya


       Meskipun ketika berumur satu sampai dua tahun Lila lebih banyak berada

di lingkungan rumah, namun secara bertahap seiring dengan perjalanan umurnya,

dia mulai memiliki kelompok teman sebaya, meskipun masih sangat terbatas.

Dalam perkembangan kebahasaan anak, Taylor (1990:227) juga melukiskan

bahwa ketika berumur sekitar 2-3 tahun, anak mulai bisa mengkomunikasikan

kebanyakan dari keinginan fisik maupun sosialnya dengan menggunakan bahasa.

Di samping itu, lingkaran komunikasi anak juga semakin luas dengan mulai

dimilikinya lingkaran komunikasi teman sebaya.


       Lokasi tempat tinggal keluarga Lila yang berada di sebuah gang yang

kecil, yang terdiri atas sebelas buah rumah, membuat suasana atau hubungan

antara tetangga yang satu dengan yang lainnya cukup akrab. Di gang kecil

tersebut ada tiga pasang keluarga yang memiliki anak-anak yang sering bermain-

main dengan Lila. Hampir semua keluarga yang tinggal di gang tersebut

merupakan keluarga etnis Bali dan hanya satu keluarga yang merupakan keluarga
9




yang berasal dari Jawa yang sudah lama tinggal di Gilimanuk dan pindah tinggal

di dekat rumah keluarga Lila tepat ketika Lila merayakan ulang tahunnya yang

pertama. Dari sembilan orang anak yang berumur sekitar 1;5 sampai 6;0, lima dari

mereka sangat akrab dengan Lila. Anak- anak tersebut bernama Koming, Angel,

Erlin, Nita dan Restu. Ketika Lila berumur 1 tahun, Koming berumur sekitar 4;0,

Angel 4;5, Erlin 1;5, Nita 5;5 dan Restu 3;0.




                   Gambar 4.1: Bermain dengan teman-teman
10




                  Gambar 4.2: Bercengkrama dengan Koming




               Gambar 4.3: Lila bermain dengan Nita dan Restu


      Kelompok teman tersebut bertemu setiap hari di sepanjang gang. Mereka

biasannya berkumpul di sepanjang gang pada sore hari. Mereka bermain bersama

dan meskipun saat itu, dari segi umur, Lila merupakan anak paling kecil, namun

dia sudah sering diikutkan dalam berbagai aktivitas oleh teman-temannya
11




tersebut. Di samping itu, Lila juga leluasa bermain di rumah mereka, pun anak-

anak lain juga terbiasa bermain di rumah Lila. Karena mereka bertemu setiap hari,

maka tentu percakapan-percakapan atau celotehan-celotehan anak juga sering

terdengar di antara mereka. Koming, Angel, dan Erlin merupakan anak dari

keluarga etnis Bali, namun Nita dan Restu merupakan anak yang berasal dari

keluarga etnis Jawa yang sudah tinggal lama di Bali. Jadi, ketika mereka bermain

dan bercakap-cakap, percakapanpun terjadi dalam dua bahasa, yaitu bahasa Bali

dan Bahasa Indonesia. Anak-anak Bali mendengar dan mendapat kata-kata dalam

bahasa Indonesia dari Nita dan Restu, sementara Restu dan Nita belajar bahasa

Bali juga dari kawan-kawannya, dan secara otomatis Lila juga dihadapkan pada

lingkungan bahasa teman sebaya yang menggunakan bahasa Bali dan Bahasa

Indonesia.


       Di samping lingkungan teman sebaya tersebut, Lila juga sering diajak

bermain oleh seorang anak yang berumur 11 tahun yang bernama Windi. Windi

adalah anak kedua Warti. Sejak Lila lahir, Windi sudah sering bersama Lila dan

Lila selalu senang kalau diajak bermain oleh Windi. Windi dan Lila juga bermain

bersama hampir setiap hari. Dalam berkomunikasi dengan Lila pada umumnya

Windi menggunakan bahasa Indonesia dan kadang-kadang juga menggunakan

bahasa Bali. Jadi, dengan lingkungan teman sebaya, Lila berada pada lingkungan

dwi bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia.


       Dari uraian yang telah didiskusikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa

anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bahasa Indonesia, Jerman, Bali

dan bahasa Inggris. Namun, bahasa yang digunakan berkomunikasi kepada anak
12




atau, bahasa yang ditujukan kepada anak pada umumnya, adalah bahasa Indonesia

dan bahasa Jerman. Sementara dalam penelitian ini yang dilihat adalah bahasa

anak itu sendiri, yang terfokus pada bunyi bahasa yang diproduksi oleh anak.

Dilihat dari kuantitas orang-orang yang berkomunikasi dengan anak, dapat

dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dominan didengar dan

diproduksi oleh anak.




4.3 Sekilas Bahasan Pemahaman Bahasa Anak


       Sebelum anak mampu memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang dapat

dikaitkan dengan makna tertentu, anak lebih dahulu      memiliki pemahaman

tentang masukan-masukan yang didapatkan dari orang-orang di lingkungannya.

Dardjowidjojo (2000:75) menyatakan bahwa setelah bayi lahir dan mendapatkan

masukan dari orang-orang di sekitarnya, dia mengembangkan pemahaman

terlebih dahulu, bahkan dikatakan bahwa pemahaman lima kali lipat daripada

produksinya.


       Clark dan Clark (1977: 43) memaparkan bahwa pemahaman memiliki

makna yang sempit dan makna yang lebih luas. Dalam arti sempit, pemahaman

mengacu pada proses mental ketika pendengar menyimak bunyi yang dikeluarkan

oleh pembicara dan menggunakan bunyi tersebut untuk mengonstruksi suatu

interpretasi tentang apa yang dimaksud oleh pembicara. Secara lebih sederhana,
13




pemahaman adalah membangun makna dari bunyi yang terdengar. Dalam arti

yang lebih luas, pemahaman yang berawal dari interpretasi terhadap bunyi yang

didengar tidaklah berhenti dalam tahap ini saja. Ketika mendengar suatu

pernyataan, pendengar menyimak informasi yang mereka dengar dan kemudian

menyimpannya dalam ingatan mereka. Ketika mendengar suatu pertanyaan,

mereka biasanya mencari tentang informasi yang diinginkan dan mecari jawaban

dari pertanyaan tersebut. Ketika mendengar perintah atau permintaan, mereka

biasanya memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan akhirnya melakukan

sesuatu.


       Masih berkaitan dengan pemahaman, Dardjowidjojo (2000) menyebutkan

bahwa Hirsch-Pasek dan Golinkoff mendefinisikan komprehensi sebagai suatu

proses interaktif yang melibatkan berbagai koalisi atau korespondensi antara lima

faktor: sintaktik, konteks lingkungan, konteks sosial, informasi leksikal dan

prosodi. Hirsch-Pasek dan Golinkoff memberikan beberapa alasan tentang

mengapa komprehensi mendahului produksi. Pertama, untuk komprehensi, anak

hanya perlu mengenali masukan yang datang dan tidak perlu memanggil ulang

apa pun yang telah masuk seperti halnya pada produksi. Kedua, komprehensi

memerlukan hanya penerimaan paket informasi yang masuk, sedangkan produksi

memerlukan pembuatan informasi tersebut. Ketiga, komprehensi memerlukan

pengaktifan pilihan-pilihan leksikal, tetapi bentuk leksikal itu telah dipilih oleh

pembicara sedangkan dalam produksi pilihan ini harus dibuat oleh interlokutor.


       Tahap pemahaman yang mengawali tahap produksi sangat dipengaruhi

oleh topik-topik yang dibicarakan kepada anak. Pada tahap-tahap awal
14




perkembangan bahasa anak, topik-topik biasanya berkaitan dengan hal-hal yang

berada di sekitar lingkungan anak. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitarnya,

benda-benda, gambar ataupun mainan yang mereka miliki. Clark dan Clark (1977)

menyebutnya sebagai konsep here and now yang diterjemahkan oleh Dardjowijojo

(2000) menjadi konsep sini dan kini.


       Dalam kasus Lila, yang tumbuh dalam lingkungan bilingual, juga terlihat

bahwa komprehensinya lebih berkembang daripada produksinya. Sejak usia dini

Lila sudah menyimpan informasi-informasi, baik dalam bahasa Indonesia ataupun

dalam bahasa Jerman. Meskipun lebih banyak masukan yang diterima dalam

bahasa Indonesia, namun informasi dalam bahasa Jerman pun terekam dalam

memori Lila. Ini terlihat ketika Lila diajak bercakap-cakap oleh ayahnya dalam

bahasa Jerman, Lila meresponnya dengan nonverbal ataupun verbal. Pada suatu

hari, ketika berumur 1;7, Lila mendapatkan makanan ringan yang terbungkus

plastik. Setelah makanan ringan tersebut habis, Lila membuang pembungkusnya

di teras rumah. Ketika ayah Lila melihat hal itu, dia mengatakan, “Tun das rein in

die abfall eimer!” (“Buang itu di tempat sampah!”) sambil menunjuk plastik

pembungkus yang tergeletak di lantai. Mendengar apa yang dikatakan ayahnya,

Lila memungut plastik tersebut dan berlari ke dapur ke tempat terletak sebuah

tong sampah, kemudian dia membuang plastik pembungkus tersebut ke dalam

tong sampah. Di samping itu, sering, ungkapan-ungkapan, pertanyaan, atau

suruhan dalam bahasa Jerman dibalas oleh Lila menggunakan bahasa Indonesia.

Misalnya, ketika Lila berumur 1;8, ayahnya bertanya, “Wo ist dein buch?” (“Di

mana bukumu?”) Lila menjawab, ana- ‘di sana’, sambil menunjuk ke arah
15




meja. Ketika Lila menginjak umur dua tahun, komprehensinya semakin

berkembang dan disertai dengan respon-respon yang mulai bercampur antara

bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Suatu hari, saat Lila berumur 2;1, ayahnya

bermain dengan Lila membuat benda-benda dari duplo (mainan bongkar pasang).

Ayahnya menunjukkan bagaimana caranya membuat kursi dan meja dari duplo-

duplo yang bisa dipasang dan dibongkar. Dalam bahasa Indonesia, mainan ini

sering dikenal dengan nama mainan bongkar pasang. Percakapan antara ayah dan

anak terjadi seperti di bawah ini:




(1)        Papa    : Was machen wir jetzt? ‘Apa yang kita lakukan sekarang?’
           Lila    :  ‘so’

           Lila    :  ‘jetzt’

           Papa    : gleich
           Lila    :  ‘mana meja’

           Papa    : Mejanya, o mejanya.
           Lila    :  ‘mau lagi buat’




           Begitu pula ketika Lila bercakap-cakap dengan neneknya yang berasal dari

Jerman. Sering Lila merespon tuturan neneknya dengan bahasa Indonesia atau

mencampur ekspresi bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Misalnya, ketika suatu




     was                 apa                 jetzt            sekarang
     machen            membuat             so           akhirnya, ayo
     wir                kita                gleich  segera
16




hari mereka akan jalan-jalan ke luar dan neneknya bertanya apakah Lila sudah

siap.


          (2)      Nenek      : Bist du fertig? ‘Apa kamu sudah selesai?’
                   Lila       :  ‘belum’

                   Nenek      : Oma ist fertig. ‘Oma sudah selesai’
                   Lila       :  ‘mama auch’ ‘mama juga’




     du          kamu                       fertig       selesai
     oma         nenek                      ist             aux
     auch        juga


          Melihat respon yang diberikan oleh Lila, dapat dikatakan bahwa Lila

memiliki pemahaman baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman.

Meskipun bahasa Jerman masih jarang diproduksi, namun informasi atau

masukan-masukan yang ada di sekitarnya sudah disimpan oleh Lila dalam

memorinya.


          Di samping itu, dapat dikatakan bahwa sampai usia 2;6, Lila belum bisa

membedakan dua sistem bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan

Jerman. Ini ditandai dengan adanya respon bahasa Jerman dalam bahasa Indonesia

atau sebaliknya. Bahkan dengan teman-teman sebayanya yang tidak mengerti

bahasa Jerman, Lila sering mengatakan  nein ‘jangan’ ketika dia tidak mau

mainannya dipakai orang. Atau ketika dia melihat mainan miliknya digunakan

oleh seorang teman dan Lila merebutnya sambil mengatakan  nein
17




‘jangan’. Ini membuktikan bahwa pada umur itu, Lila belum mengerti bahwa

ketika berkomunikasi dengan teman-temannya dia seharusnya menggunakan

bahasa Indonesia.


       Dalam kasus-kasus studi perkembangan bahasa dini anak yang disuguhi

lingkungan bahasa yang bilingual, sering anak-anak pada awalnya belum bisa

membedakan dua sistem linguistik yang berbeda. Hal ini juga dialami oleh

Hildegard, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan bahasa Inggris dan

Jerman yang perkembangan bahasanya diteliti oleh orangtuanya (Hakuta,

1974:49). Hakuta yang mewawancarai Leopod, ayah Hildegard, mendapat

informasi bahwa dari penelitian yang dilakukan Leopold baru pada umur tiga

tahun Hildegard memperlakukan kedua bahasa yang diperolehnya sebagai dua

sistem linguistik yang berbeda. Dia menggunakan kedua bahasa tersebut secara

berbeda ketika berkomunikasi dengan orang tuanya. Kepada ayahnya dia

menggunakan bahasa Jerman dan kepada ibunya menggunakan bahasa Inggris.

Kasus yang serupa juga terjadi pada Ingrid seperti yang dipaparkan Grosjean

(1982:167). Pada mulanya Ingrid yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa

Swedia dan bahasa Inggris (ayah berbahasa Inggris dan ibu berbahasa Swedia)

memroduksi bahasa yang bercampur antara kedua bahasa tersebut, namun ketika

Ingrid berumur tiga tahun dia bisa menggunakan kedua bahasa tersebut secara

terpisah.


       Dilihat dari perkembangan bunyi bahasa yang muncul pada Lila, dapat

dikatakan bahwa Lila memeroleh baik kompetensi maupun performasi dalam

berbahasa. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah pengetahuan anak tentang
18




bahasa yang diperolehnya yang direalisasikan dengan performasi bahasa, yaitu

dalam bentuk-bentuk fonologis yang mampu diucapkan oleh Lila. Pada awalnya,

bentuk-bentuk fonologis belum mampu diucapkan secara sempurna, namun dapat

dilihat bahwa bentuk-bentuk yang dilafalkan mengarah pada kata-kata tertentu

yang mengacu pada makna-makna tertentu. Perkembangan bahasa yang diperoleh

Lila sesuai dengan hipotesis nurani yang dicetuskan oleh kaum nativisme yang

salah satu penggagasnya adalah Chomsky. Penganut nativisme berpendapat semua

kanak-kanak di dunia akan memeroleh bahasa Ibunya asal mereka diperkenalkan

atau diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Lust (2006) yang mengadaptasi

teori Chomsky mengatakan anak-anak memeroleh bahasa secara alami meskipun

kadang-kadang mereka disuguhi lebih dari satu bahasa sekaligus.
19




                                     BAB V


                 ELEMEN BUNYI DAN VARIASI UCAPAN




5.1 Elemen Bunyi dan Urutan Perkembangan Bunyi


       Anak yang belajar bahasa atau bahasa-bahasa pertamanya sama sekali

tidak “mengetahui” apakah ia akan mendengar bahasa Indonesia, Jepang, Rusia,

Inggris atau Hongaria (Schane, 1992: 9). Selanjutnya Schane juga berargumen

bahwa meskipun anak tidak mengetahui tentang bahasa yang mereka dengar,

dengan adanya fakta bahwa mekanisme suara semua manusia itu sama, anak

mempunyai potensi untuk menghasilkan segala bunyi yang signifikan dalam

bahasa tertentu atau bahasa yang akan dipakai anak tersebut.


       Watson     (1992:32)    memaparkan      bahwa    meskipun     tahap    awal

perkembangan bunyi anak bilingual dipengaruhi oleh berbagai faktor, anak

bilingual tidak begitu dapat dibedakan dengan anak monolingual pada tahap

produksi satu kata satu frasa. Mayoritas dari anak bilingual di dunia yang disuguhi
20




lebih dari satu bahasa mengalami dominasi pada satu bahasa tertentu sehingga

kata-kata pertama yang diproduksi biasanya merupakan bagian dari satu bahasa

tersebut. Di samping itu, bahkan dalam kasus-kasus anak yang dianggap bilingual

primer yang disuguhi dua bahasa secara bersamaan dengan kuantitas yang sama

sejak anak dilahirkan dan terus berkelanjutan, biasanya anak tidak sadar bahwa

mereka disuguhi dua sistem linguistik yang berbeda.      Gejala perkembangan

kebahasaan seperti yang dituturkan Watson juga ditemui pada kasus

perkembangan bahasa, khususnya pada tahap perkembangan bunyi bahasa Lila

pada usia dini, yaitu pada usia 1;2 sampai 2;6. Penelitian yang melihat

perkembangan bunyi anak bilingual bahasa Indonesia dan Jerman ini dimulai

ketika anak berumur 1;2.


      Pada umur 1; 2, Lila telah memproduksi bunyi-bunyi, baik bunyi vokal

maupun bunyi konsonan. Bunyi vokal yang paling sering muncul adalah bunyi

vokal-depan-rendah . Bunyi vokal lain yang muncul kemudian adalah bunyi

vokal-depan-tinggi i, vokal-belakang-tinggi u, vokal-depan-tengah e, dan

bunyi yang kedengaran seperti bunyi vokal- pusat-tengah . Dari kelima bunyi

vokal yang muncul pada usia tersebut, bunyi yang paling dominan dan paling

sering muncul adalah bunyi , baru kemudian diikuti bunyi i dan u. Ketiga

bunyi vokal tersebut adalah pola tiga-vokal dasar yang ditemukan dalam hampir

semua bahasa (Schane, 1992: 10). Produksi ketiga vokal tersebut yang dikuasai

oleh Lila sesuai dengan teori yang dicetuskan Jakobson (dalam Schane, 1992: 11)

yang menyatakan bahwa i, a dan u secara menyeluruh merupakan fonem vokal
21




pertama yang muncul dalam bahasa anak-anak. Jokobson mengulas bahwa ketiga

vokal tersebut dirujuk sebagai vokal paling dasar yang muncul sebagai segmen

dalam hampir semua bahasa dan sebagai segmen pertama dalam bahasa anak-

anak. Vokal-vokal tersebut sangat bertolak belakang. Dalam hal ini, vokal a

sebagai vokal rendah bertolak belakang dengan vokal i dan u yang merupakan

vokal tinggi. Sementara itu, vokal i dan u bertolak belakang atau berkontras

dilihat dari segi perbedaan titinada. Vokal i memiliki karakter bertiti nada tinggi

sementara vokal u bertiti nada terendah.


       Dominasi bunyi vokal-depan-rendah  juga dapat dilihat dalam contoh

yang digambarkan dalam spektrogram di bawah ini.




               Gambar 5.1: Bunyi vokal  yang diproduksi anak
22




                           Gambar 5.2: Bunyi 


       Pada gambar 5.1, terlihat bahwa Lila mengeluarkan bunyi        yang

panjang dan diulang. Bunyi  tersebut diucapkan dengan durasi yang cukup

lama, yaitu antara 700-800 ms dengan frekuensi, yang berkisar antara 24 Hz-30

Hz. Frekuensi bunyi yang terdeteksi dalam gelombang suara tersebut cukup kecil

karena ketika sedang direkam posisi alat perekam tidak bisa diletakkan terlalu

dekat dengan anak, untuk menghindari anak merasa terganggu dengan alat

tersebut. Pada gambar 5.1, dominasi bunyi  juga terlihat dibandingkan dengan

bunyi nasal-alveolar . Dibandingkan dengan bunyi , bunyi  memiliki

frekuensi lebih tinggi dan durasi yang lebih panjang. Bunyi  memiliki

frekuensi sekitar 20 Hz – 25 Hz, sementara bunyi n hanya 4 Hz-8 Hz. Durasi

yang diperlukan untuk mengeluarkan bunyi  sekitar 250 ms – 300 ms,

sedangkan durasi yang dibutuhkan untuk produksi bunyi n berkisar antara 150

ms – 160 ms.
23




       Bunyi  sering muncul dan dikombinasikan dengan bunyi konsonan

bilabial hambat ,  serta bunyi nasal  dan  sehingga muncullah

bentuk fonologis , ,  dan  yang sering direduplikasi oleh anak.

Pada grafik gelombang suara yang diproduksi anak, yang terlihat dalam kedua

gambar di atas, dapat terlihat bahwa bunyi vokal  memiliki gelombang suara

yang besar dan durasi yang panjang.


       Dari bunyi-bunyi vokal yang dikembangkan oleh Lila pada umur 1;2,

salah satu bunyi yang diperoleh di luar bunyi vokal dasar yang dicetuskan

Jakobson adalah bunyi . Ketika bunyi  pertama kali muncul, Lila selalu

mengatakan  sambil menunjuk-nunjuk gambar seekor kucing, yang sering

diperkenalkan dengan kata miao atau katze kats dalam bahasa Jerman oleh

orang tuanya. Berikut adalah gambar gelombang bunyi ketika Lila memproduksi

bentuk fonologis .
24




                     Gambar 5.3: Spektrogram bunyi 


       Bunyi  pada gambar 5.3 hanya memiliki frekuensi sekitar 4 Hz -6 Hz

dan durasi yang pendek, yaitu sekitar 70 ms – 85 ms. Kemunculan bunyi  ini

dapat dimengerti karena bunyi  adalah bunyi vokal yang keluar yang

memerlukan energi yang paling lemah. dan frekuensi kemunculan bunyi tersebut

baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali serta Bahasa Jerman cukup

tinggi sehingga pada akhirnya anak juga belajar untuk memproduksi bunyi

tersebut. Dalam bahasa Jerman khususnya, bunyi  sangat sering muncul

diakhir kata seperti dalam kata  meine ‘punya saya’, k ecke ‘pojok’,

 ente ‘bebek’,  alle ‘semua’,  kette ‘kalung’,  jede

‘setiap’,  danke ‘terima kasih,  bitte, ‘tolong/silakan’. Dalam

http://www.vistawide.com termuat bahwa sekitar 89% kata-kata dengan gender

maskulin, 74% kata-kata dengan gender netral dan 25% kata-kata dengan gender

feminim memiliki bentuk plural –e yang sering dilafalkan dengan bunyi .

Kata-kata tersebut sering didengar oleh Lila. Jadi bunyi  dikembangkan oleh

anak karena anak menerima banyak masukan kata-kata yang mengandung bunyi

tersebut.


       Oleh karena itu, jika digambarkan dengan bagan, maka fonem vokal yang

secara regular muncul pada umur 1;2 dalam kasus Lila adalah sebagai berikut:
25




                                                


                                   


                                    


                         Bagan 5.1: Fonem Vokal Umur 1;2


       Bunyi-bunyi konsonan yang muncul adalah bunyi bilabial-hambat-tak

bersuara , bilabial- hambat-bersuara , bilabial-nasal- bersuara ,

alveolar-nasal-bersuara , bunyi dental-hambat- tak bersuara  dan bunyi

dental-hambat- bersuara  sehingga suku kata yang sering muncul pada umur

ini adalah , , , , , , . Kebanyakan bentuk-bentuk

fonologis yang terdengar belum bisa dikaitkan dengan makna tertentu yang

berhubungan dengan orang, objek maupun perbuatan. Beberapa ahli menamai

tahap ini sebagai tahap ocehan bayi atau dalam bahasa Inggris sering disebut

sebagai babbling period. Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa;

mengungkapkan isyarat emosi; memproduksi kata-kata pertama (Desmita, 2009:

114). Sering kali bentuk-bentuk fonologis yang sama muncul ketika dia sedang

bermain sendiri, bermain dengan orang lain, ketika dia sedang dimandikan, makan

dan melakukan aktivitas lain. Bunyi-bunyi yang dikeluarkan pada umur ini lebih

sebagai latihan alat ucap anak. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul misalnya:


       (1)                     

                            

                             
26




                               

                            

                              

                              

                                  

                            




        Sehubungan dengan periode ocehan bayi ini,        Clark & Clark (1977)

menyebutkan bahwa ocehan bayi memberikan kesan mulai munculnya bunyi

bahasa dibandingkan suara tangisan bayi. Hal ini karena pada tahap ocehan bayi

sering muncul gabungan antara vokal dan konsonan, seperti misalnya bababa,

mamama, mememe, papapa. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode ini mulai

menurun ketika anak-anak mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya yang dapat

dihubungkan dengan makna.


        Anak memproduksi kata-kata pertama yang mengacu pada makna sekitar

umur satu sampai satu setengah tahun (Clark & Clark, 1977: 391). Sementara

Desmita (2009:114) mengungkapkan bahwa pada ulang tahun pertama, anak

menguasai kira-kira 12 kata dan penguasaan ini meningkat secara dramatis hingga

diperkirakan sekitar 300 kata atau lebih pada ulang tahun yang kedua. Pada kasus

Lila, ketika dia berumur 1;2, dua bulan setelah ulang tahunnya yang pertama, baru

terdeteksi hanya beberapa bentuk fonologis yang dapat direlasikan dengan makna

tertentu.            Bentuk-          bentuk             tersebut,          yaitu

Bunyi  sering
27




terdengar ketika anak melihat ibunya atau barang-barang yang berhubungan

dengan ibunya. Misalnya, ketika suatu siang ibunya pulang dari bekerja dan

menaruh tas tangannya di teras rumah, Lila berusaha mengambil tas tersebut dan

mengatakan  sambil menunjuk-nunjuk tas tersebut. Bunyi  juga

sering keluar ketika anak melihat ayahnya atau ketika dia ingin digendong

ayahnya. Bunyi ini juga terdengar ketika anak menunjuk-nunjuk benda-benda

yang berhubungan dengan ayahnya. Misalnya, ketika anak melihat secangkir kopi

yang terletak di atas meja di teras rumah, anak menunjuk-nunjuk cangkir tersebut

sambil mengatakan  yang di ulang-ulang, bahkan jika cangkir tersebut

kosong dan tidak berisi kopi, anak juga mengatakan . Hal ini bisa

dimengerti karena di rumah tersebut, setiap orang memiliki cangkir yang berbeda.

Khusus untuk ayahnya, ayah Lila memiliki cangkir kopi yang besar, yang

warnanya selalu sama. Sementara ibunya memiliki cangkir teh yang lebih kecil

yang memiliki warna berbeda dengan cangkir kopi. Cangkir-cangkir tersebut

memiliki hubungan yang sangat khas dengan pemiliknya dan anak terbiasa

melihat setiap cangkir tersebut berada dalam genggaman orang tuanya, khususnya

di pagi hari.


       Khusus untuk bentuk fonologis  dan  juga sering terdengar

pada produksi bunyi pada hampir setiap anak yang memeroleh bahasa mana pun

di dunia. Hal ini dijelaskan oleh Clark & Clark (1977; lihat juga Dardjowidjojo,

2000: 84-86) yang mengadaptasi teori Jakobson, yang menyebutkan bahwa dalam

pemerolehan bahasa, anak mengembangkan kontras bunyi yang muncul dalam
28




urutan yang konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah kontras antara bunyi

vokal dan konsonan. Pada umumnya bunyi vokal yang pertama muncul adalah

bunyi vokal  sementara bunyi konsonan adalah konsonan hambat ,  dan

. Dengan kontras tersebut, anak mampu memproduksi kata seperti papa,

baba, mama. Jakobson kemudian berargumen bahwa perkembangan sistem bunyi

yang diperoleh anak sejak dini tersebut memberikan penjelasan tentang mengapa

kata seperti papa dan mama digunakan secara umum dalam berbagai bahasa di

dunia sebagai kata yang digunakan untuk merujuk makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Kata

papa dan mama merupakan bagian dari kata-kata pertama yang diproduksi anak

dalam bahasa mana pun di dunia. Selanjutnya dikatakan karena orang tua bersifat

egois, maka mereka memberi atribut terhadap kedua kata tersebut dengan makna

‘ayah’ dan ‘ibu’.


         Bentuk  terdengar ketika Lila melihat orang lain meninggalkan

rumah. Kata dada sering diucapkan orang-orang di rumah ketika orang-orang

pergi, yang selalu disertai dengan lambaian tangan. Hampir setiap hari ada anak-

anak yang bermain di rumah keluarga tersebut, dan setiap kali anak-anak tetangga

meninggalkan rumah, selalu mengucapkan kata dada disertai dengan lambaian

tangan, yang sering dijawab dada juga oleh orang tua Lila. Jadi kata dada relatif

sering didengar oleh Lila sehingga bentuk fonologis tersebut juga merupakan

salah satu kata yang dikembangkan oleh Lila, yang mengacu pada makna selamat

tinggal. Bentuk lain yang muncul adalah  yang mengacu pada seekor

anjing tetangga yang bernama Doggy, yang selalu menghabiskan waktu di rumah
29




keluarga Lila karena keluarga Lila sering memberinya makan. Setiap orang

memanggil anjing itu Doggy dan Lila sangat senang melihat anjing tersebut dan

memanggil-manggilnya .


       Sementara bentuk fonologis [] merujuk pada binatang unggas, yaitu

ayam. Ayam adalah salah satu binatang yang juga sering ada di pekarangan

rumah. Ayam-ayam tetangga sering datang berkeliaran dan Lila pada umur 1;2

melafalkan []. Mengapa Lila merujuk binatang tersebut dengan bunyi yang

jauh dari kata ayam? Pada suatu saat, ketika Lila berumur satu tahun, neneknya

dari pihak ayah tinggal di Bali selama tiga bulan. Nenek Lila selalu

berkomunikasi dengan Lila dalam bahasa Jerman dan setiap kali ada ayam yang

berkeliaran di pekarangan rumah, neneknya selalu menunjuknya dan mengatakan

kikeriki. Bunyi kikeriki adalah tiruan suara ayam dalam bahasa Jerman yang di

dalam bahasa Indonesia biasanya disuarakan kukuruyuk. Pada akhirnya, setiap

kali melihat ayam, Lila selalu melafalkan []. Dapat dilihat bahwa bunyi []

yang muncul digunakan untuk mengganti bunyi [] yang saat itu belum dikuasai

oleh Lila. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan bunyi Jakobson (1972) yang

menyatakan bahwa bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar.


       Bentuk lain, yaitu [] merujuk benda yang berupa bunga. Sejak Lila usia

dini, dia sudah tertarik pada warna-warna di sekitar rumah, terutama warna-warna

bunga yang ada di kebun. Warna-warna terang seperti merah, oranye dan ungu

merupakan warna-warna bunga bougainvillaea yang ada di kebun rumah. Kalau
30




diajak berjalan-jalan di sekitar kebun, maka dia menunjuk-nunjuk bunga dan

mengatakan [].


       Melihat data perkembangan bunyi awal yang dikuasai Lila, seperti

dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi bahasa Lila

mengikuti teori perkembangan fonologi anak yang dicetuskan oleh Jakobson

(1971) yang juga termuat dalam Clark dan Clark (1977: 392). Jakobson

menemukan bahwa kontras bunyi dikuasai anak secara konsisten. Kontras

pertama yang muncul adalah antara bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal

pertama yang muncul adalah bunyi depan-rendah yang diproduksi dengan posisi

mulut terbuka lebar dengan posisi lidah yang datar. Bunyi ini direpresentasikan

dengan bunyi A. Bunyi ini sering dikombinasikan dengan kontras konsonan,

biasanya bunyi hambat- bilabial baik yang bersuara maupun tak bersuara P-

Byang sering difluktuasikan di antara keduanya. Lambang huruf kapital

digunakan untuk menggambarkan kontras yang muncul, mengingat bahwa pada

tahap perkembangan bunyi awal yang dikuasai anak, segmen yang muncul sangat

bervariasi. Menurut Jakobson, kontras selanjutnya yang muncul dalam sistem

bunyi konsonan adalah kontras bunyi oral dan nasal konsonan, yaitu antara bunyi

oral bilabial dan nasal bilabial, yaitu P-BM(lambang Mdi sini

merepresentasikan segmen nasal pertama yang muncul, namun realisasi bentuk

fonetiknya bisa bervariasi dari suatu produksi ke produksi lain). Pada tahap ini,

yaitu tahap awal perkembangan bunyi, Clark dan Clark menyebutkan bahwa
31




anak-anak mengembangkan “bentuk-bentuk kata” yang potensial seperti: ba, pa,

ma, baba, papa dan mama.


        Kontras selanjutnya yang muncul adalah antara konsonan bilabial dan

konsonal dental. Konsonan P-B dikontraskan dengan konsonan T-D, dan

M dikontraskan dengan N. Di bawah ini adalah bagan tahap perkembangan

kontras konsonan yang dikembangkan oleh Lila ketika berumur 1;2.




                                Konsonan P-B




                 Oral P-B                             Nasal M




Bilabial P-B                Alveolar T-D     Bilabial M      Alveolar N


       Bagan 5.2: Tahap Perkembangan Kontras Konsonan yang Dikuasai Lila


Bagan di atas sesuai dengan bagan yang digambarkan oleh Clark dan Clark (1977:

39).
32




       Pada umur 1;2, fonem konsonan yang muncul secara konsisten adalah


Titik/Cara      Bilabial       Alveolar        Palatal     Velar      Glotal
Artikulasi
Hambat                        
                              
Frikatif                                                              
Afrikat
Nasal                         
Getar
Lateral
Semivokal




                    Bagan 5.3: Fonem Konsonan Umur 1;2


       Pada bagan 5.3, terlihat bahwa bunyi-bunyi anterior, yang diproduksi di

bagian depan mulut diproduksi lebih awal oleh Lila, sementara bunyi-bunyi

belakang belum mampu untuk dikembangkan. Bunyi glotal h adalah bunyi

yang berada di antara vokal dan konsonan yang cenderung lebih mudah untuk

dikuasai anak. Bunyi-bunyi anterior yang bilabial, misalnya, hanya dengan

menggerakkan bibir sedikit saja, bunyi tersebut sudah      muncul. Pengucapan

bunyi-bunyi tersebut paling mudah dikuasai anak. Sementara bunyi lain, yang

diproduksi di belakang bagian mulut, lebih sulit karena untuk dapat mengeluarkan

bunyi-bunyi tersebut, Lila harus menggunakan lidahnya atau membutuhkan gigi

yang sudah tumbuh secara normal. Namun, pada umur 1;2, Lila belum memiliki

cukup gigi serta belum dapat menggunakan lidahnya secara optimal.
33




       Tiga bulan kemudian, ketika Lila berumur 1;5, bunyi-bunyi yang muncul


sudah semakin bertambah. Bunyi vokal , ,  dan konsonan frikatif 

dan velar-hambat  sudah mulai muncul. Namun, kemunculan bunyi  dan

 masih sangat terbatas, yaitu hanya pada akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis

yang muncul sudah merujuk benda-benda tertentu, baik yang ada di sekelilingnya

maupun dari gambar-gambar yang dilihat (Pada setiap data fonologis yang

muncul dalam penelitian ini, ditulis dalam tiga lajur. Lajur pertama adalah bunyi-

bunyi yang diproduksi anak, lajur kedua adalah bunyi ideal yang seharusnya

diproduksi, dan lajur ketiga adalah kata-kata yang diproduksi). Bunyi-bunyi yang

terdengar,yaitu




       (2)                      ‘sabun’

                                   ‘air’

                              ‘bebek’

                                 ‘ikan’

                        maem (informal)’      ‘makan’

                               ‘lampu’

                               ‘habis’



       Beberapa bentuk fonologis yang muncul sering merepresentasikan lebih

dari satu makna. Misalnya, bunyi terdengar ketika Lila melihat air, atau

gelas, cangkir, botol, atau dot. Ketika anak melihat gambar gelas, dia juga
34




menyebutnya begitu juga ketika dia melihat botol di atas meja. Meskipun

botol itu kosong tidak berisi air, dia tetap mengatakan Demikian juga

halnya dengan bentuk fonologis Untuk Lila, adalah bebek itu

sendiri atau angsa. Keluarga tersebut memiliki dua ekor angsa, dan pada umur

1;5, Lila masih memanggil angsa dengan bentuk fonologis Mengapa

angsa disebut oleh anak? Hal ini dapat dijelaskan, baik secara semantis

maupun fonologis. Secara semantis, angsa memiliki ciri-ciri fisik yang mirip

dengan bebek. Keduanya merupakan binatang unggas yang berkaki dua dan

berbulu serta berparuh. Dalam buku anak-anak yang sering ditunjukkan kepada

anak sering terlihat gambar bebek atau itik yang merupakan anak bebek. Anak

sering diperkenalkan bahwa binatang tersebut bernama bebek, sehingga ketika

Lila melihat angsa yang berjalan-jalan di kebun rumah, dia memanggilnya

karena untuk umurnya yang masih sangat muda, anak belum bisa

membedakan bahwa angsa memiliki leher yang lebih panjang daripada bebek.

Sementara dari segi fonologis, kata angsa terdiri dari bunyi-bunyi yang secara

artikulatoris belum bisa diucapkan oleh anak pada umur tersebut. Pada umur 1;5,

Lila belum mampu untuk memproduksi bunyi  serta bunyi  yang berada di

posisi tengah kata. Dengan kata lain bunyi bebek dipilih oleh anak karena secara

kodrati bunyi tersebut yang terdiri atas bunyi konsonan bilabial lebih mudah

disuarakan oleh anak.


       Bentuk fonologis lain yang diproduksi, yang sering memiliki lebih dari

satu makna adalah , bentuk  merujuk pada binatang babi, baik
35




yang dia lihat di kenyataan maupun di gambar. Kata  juga digunakan

ketika anak melihat gambar gajah. Setiap kali melihat gambar gajah ataupun

melihat seekor gajah di TV, Lila memanggilnya .


       Pada umur 1;5 kata-kata yang merujuk pada makna suatu benda atau

keadaan dalam bahasa Jerman juga sudah mulai terdengar meskipun realisasi

fonem yang muncul adalah realisasi fonem bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut

dapat dilihat di bawah ini.


       (3)       h       heiß                

                        meao                 ‘suara kucing’

                     banane               ‘pisang’




Kata heiß yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘panas’ adalah salah

satu kata bahasa Jerman yang sering diucapkan Lila. Ini bisa dimengerti karena,

setiap kali dia mendapat makanan, makanan yang diberikan masih dalam keadaan

hangat. Sebelum mulai makan, untuk menghindari anak terkejut dengan makanan

yang mungkin agak panas, orang tuanya selalu mengatakan achtung heiß ‘hati-

hati panas’.


       Hal yang menarik, yang dapat dilihat di sini adalah bahwa pada umurnya

yang masih sangat muda, Lila memproduksi beberapa kata dalam bahasa Jerman

dan kata-kata ini muncul secara konsisten. Memang dalam produksi bahasanya,

bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan yang dikeluarkan anak. Hal ini

dapat dimengerti karena masukan yang diperoleh anak dari lingkungan sekitarnya
36




kebanyakan dalam bahasa Indonesia. Dari segi kuantitas, orang yang berbicara

kepada anak dalam bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada orang yang

berbicara dalam bahasa Jerman. Beberapa kata yang secara konsisten diproduksi

dalam bahasa Jerman adalah sebagai berikut.


       (4)                 kiekiriki      ‘tiruan bunyi ayam’

                                heiß           ‘panas’

                             banane         ‘pisang’

           nain                    nein           ‘tidak’

                                 affe           ‘monyet’

                                 hand           ‘tangan’

                                buch           ‘buku’

                               bauch          ‘perut’

                                 kuh            ‘sapi’

                               clown          ‘badut’

                                       auto             ‘mobil’



       Pada data (4), kata-kata tersebut mulanya selalu diucapkan dalam bahasa

Jerman. Contohnya, sampai umur 1;8, anak selalu menyebut atau memanggil

ayam dengan bunyi otopea dalam bahasa Jerman, yaitu  kiekiriki ‘bunyi

suara ayam’. Ini disebabkan saat anak berumur sekitar satu tahun, neneknya yang

berasal dari Jerman tinggal di Bali selama tiga bulan. Setiap hari ketika melihat

ayam, neneknya memperkenalkan kepada anak bahwa ayam itu berbunyi

kiekiriki. Karena saat itu anak belum menguasai bunyi velar-hambat-tak bersuara
37




, maka yang keluar adalah bunyi alveolar-hambat–tak bersuara , yang

memiliki kesamaan fonetis dengan bunyi k. Kata ayam yang terealisasi dalam

bentuk fonetis  baru muncul ketika anak berumur 1;9. Dari segi fonologis,

munculnya  mendahului bunyi  juga dapat dijelaskan karena bunyi

 yang merupakan bunyi palatal-semivokal secara natural dikembangkan lebih

lambat daripada bunyi-bunyi alveolar.


       Hal yang serupa juga terjadi dengan kata  banane ‘pisang’. Bunyi

 jauh lebih dahulu dikembangkan daripada kata  ‘pisang’ yang

baru aktif digunakan ketika anak berumur 2;1. Jika kita lihat, kata banane terdiri

atas bunyi-bunyi konsonan bilabial dan alveolar yang secara natural lebih dahulu

dikembangkan oleh anak daripada kata pisang yang di dalamnya terdapat bunyi

alveolar-frikatif-tak bersuara  dan bunyi velar-nasal . Sementara untuk kata

 buch ‘buku’ dan  auto ‘mobil’, masukan yang didapat sangat identis

dengan ayahnya. Ayah Lila adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada

buku. Setiap kali bepergian hal yang dibawa pulang sebagai hadiah untuk anaknya

sering berupa buku anak-anak yang penuh dengan gambar-gambar. Ayah dan

nenek yang berasal dari Jerman selalu memperkenalkan anak pada buku-buku

yang baru. Buku sering dipakai ayah Lila untuk melatih anak untuk mengetahui

benda-benda atau hal-hal yang ada di sekitar anak. Begitu juga dengan kata 

auto ‘mobil’. Hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan sering diketahui anak

dari ayahnya.
38




       Pada kasus yang ditemukan dalam penelitian ini, data yang terdapat pada

(4), pada tahap ujaran bunyi satu kata pada awalnya, selalu muncul dalam bahasa

Jerman dan tidak dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kata-kata yang terdapat

dalam data (2) yang selalu diucapkan dalam bahasa Indonesia, pada awalnya tidak

pernah diproduksi dalam bahasa Jerman. Temuan ini mendukung pendapat

perkembangan awal bilingualisme yang ditulis oleh Grosjean (1982: 183) yang

mengadaptasi hipotesis Volterra dan Taeschner, yang dikembangkan pada tahun

1978. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa tahap pertama dalam perkembangan

bahasa anak bilingual adalah tahap satu sistem linguistik atau satu sistem leksikal

yang mengandung kata-kata dari kedua bahasa yang diperolehnya.


       Selanjutnya dikatakan bahwa hal yang menarik dalam tahap pertama

pemerolehan bahasa anak bilingual adalah ketika anak memiliki satu sistem

leksikal yang terdiri atas kata-kata yang terdapat dalam kedua bahasa yang

diperoleh jarang ada ketumpang tindihan di antara kata-kata yang diproduksinya.

Hal ini sesuai dengan yang dilukiskan dari hasil penelitian Imedadze dan Uznadze

(Grosjean, 1982), yang meneliti anak bilingual Rusia-Georgia. Misalnya, anak

menggunakan bahasa Rusia untuk bunga tsiti dan bahasa Georgia untuk bola

buti, tetapi anak tidak pernah menggunakan kata bunga dalam bahasa Georgia,

begitu pun sebaliknya kata buti, dalam bahasa Rusia. Peneliti lain yang

mendukung hipotesis bahwa pada awalnya anak bilingual memiliki satu sistem

linguistik yang mengkombinasikan elemen-elemen dua bahasa yang disuguhkan
39




kepadanya adalah Swain yang meneliti anak bilingual untuk topik disertasinya

(Grosjean, 1982).


       Dalam bahasa Bali, kata yang muncul adalah  jajak ‘kue’ dan

 mai ‘sini’. Dua kata ini sering terdengar ketika Lila bermain dengan teman-

temannya. Setiap kali ada beberapa teman yang bermain, salah satu dari mereka

pasti memanggil teman lain dengan kata mai-mai sambil melambai-lambaikan

tangan mereka ke arah teman yang baru datang. Ketika mereka sedang bermain

itulah, kerapkali ada anak yang membawa jajanan karena salah satu rumah

tetangga adalah warung penjual jajan, dan mereka sering mengatakan, Mau jajak?

Kata jajak diserap oleh Lila dan yang muncul kemudian adalah bunyi dadak.


       Pada umur 1;6, Lila mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang terdiri atas dua

kata, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas. Dengan demikian,

muncullah bentuk-bentuk seperti:


       (5)                    a   ‘apa ini’

                                    ‘tidak ada’


                                   ‘papa duduk’



       Satu bulan kemudian, bunyi-bunyi semivokal  dan  serta bunyi

afrikat  dan  mulai muncul. Bunyi-bunyi seperti di bawah ini mulai

terdengar.


       (6)                             ‘bawa’
40




                                      ‘awas’

                                              ‘berat’

                                      ‘kecil mama’


                                      ‘hujan’




Khusus untuk bunyi afrikat  dan  kemunculannya masih sangat terbatas

pada kata   ‘hujan’. Namun pada produksi kata-kata

yang lain yang mengandung bunyi  dan , bunyi  sering diganti dengan

bunyi  dan bunyi  sering diganti dengan bunyi , sehingga bentuk-

bentuk yang diproduksi anak adalah sebagai berikut:


       (7)                          ‘cicak’

                            ‘kencing’

                                    ‘jajak’

                                    ‘jatuh’

       Menginjak umur 1;8, meskipun belum ada elemen bunyi baru yang

dikuasai selain apa yang dikembangkan pada umur 1;7, kuantitas bunyi yang

memiliki makna dalam bahasa Jerman mulai lebih terdengar dan lebih konsisten.

Meskipun realisasi fonem yang dikeluarkan masih dipengaruhi oleh bunyi-bunyi

bahasa Indonesia. Contoh:


       (8)                            auto               ‘mobil’

                                buch             ‘buku’

                                maus             ‘tikus’
41




                                       kuh         ‘sapi’

                          ö           könig       ‘raja’

                                     clown       ‘badut’




        Elemen bunyi baru mulai muncul lagi ketika Lila berumur 1;9. Elemen

bunyi tersebut adalah bunyi palatal-nasal ñ. Lila mulai bisa mengembangkan

bunyi tersebut dalam kata-kata seperti :


        (9) ñ                         mñ            ‘monyet’

             ñ                     ada ñ        ‘ada monyet’

            ini uñ                      ini ñ         ‘ini bunyi’

            uda bañ                    ñak      ‘sudah banyak’




        Pada bulan berikutnya, usia 1;10, Lila juga mulai mengeluarkan bunyi-

bunyi yang terdiri atas tiga kata. Pada umur ini, anak sudah belajar merangkai

kata-kata pendek. Meskipun ujaran-ujaran yang dikeluarkan belum sempurna,

namun makna dari apa yang diucapkannya, dapat ditangkap.


        (10) []              []   ‘mama cuci muka’

                []           [] ‘cuci muka mama’

                               [ ñ]               ‘ini punya Ina’

                 [] ‘Ini jajak kuskus’

                 []                   ‘Papa duduk di
        sini’
42




        Setelah mengembangkan bunyi ñ, dua bulan kemudian pada bulan Mei

2008, saat Lila menginjak umur 1;11, sebulan sebelum ulang tahunnya yang

kedua, dia mulai menguasai bunyi lateral  seperti dalam ujaran

 ‘jalan-jalan’.


        Jika digambarkan dalam bagan, maka fonem vokal yang sudah dikuasai

Lila sampai berumur 2;0 adalah sebagai berikut:







                               ə                               

                        ɛ                                   Ɔ




                                

                        Bagan 5.4: Fonem Vokal Umur 2 Tahun




Sementara fonem konsonan yang dikuasai adalah seperti yang terlihat pada bagan
di bawah ini.

 Titik/cara      Bilabial    Labio    Alveolar/denta   palatal   Velar   Glotal
 Artikulasi                  dental         l
Stop/hambat
           Tak                                                     
bersuara                                   
   bersuara
Frikatif                                                                    
43




Afrikat                                                     
                                                            
Nasal                                                    ñ
Lateral                                      
Getar
Semivokal                                                  




                       Bagan 5.5: Fonem Konsonan Umur 2 Tahun


          Setelah Lila berumur 2 tahun, bunyi-bunyi yang dikembangkan masih

tetap sama, namun ada tambahan bunyi baru yang muncul ketika anak berumur

2;1, yaitu bunyi velar-nasal Bunyi ini muncul di antara bunyi vokal dan di

akhir kata.


          (11)                               ‘dingin’

                   binta                 ‘bintang’

                                      ‘Koming’

                   ila                           ‘hilang’



          Selain    bunyi     bunyi   yang   dikembangkan        setelah   anak

berumurBunyi ini muncul dengan jelas ketika

anak berumur 2:5. Ini tampak ketika anak mengatakan lagi

om lagi


          Tahapan-tahapan perkembangan bunyi bahasa yang diperoleh Lila yang

terealisasi dalam bentuk-bentuk fonologis juga sesuai dengan teori perkembangan

bahasa anak yang dicetuskan oleh Piaget. Piaget mengemukakan bahwa
44




perkembangan kognitif anak memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan

bahasa anak dan pada saat yang sama membatasi level pemerolehan bahasa itu

sendiri (Taylor, 1990: 231). Melihat perkembangan bentuk-bentuk fonologis yang

dilafalkan oleh Lila, kata-kata yang diacu pada umur 1;2 sampai 2;6 masih

merujuk pada benda-benda, kegiatan maupun orang-orang yang ada di sekitar

anak atau dekat dengan anak. Ketika penelitian ini dilakukan anak masih dalam

tahap sensori motor dan baru menginjak tahap pra operasional. Pada tahap ini

anak belajar tentang dunianya melalui rasa, melihat maupun manipulasi terhadap

objek. Anak mulai memproduksi kejadian-kejadian atau mengucapkan benda-

benda yang dilihatnya atau meniru orang-orang yang ada di sekitarnya.


       Saat berumur 2;4, Lila juga banyak berlatih berbicara melalui cerita-cerita

yang sering dibacakan oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Cerita-cerita tersebut

adalah cerita anak-anak yang termuat dalam buku-buku kecil. Sering, ketika sudah

selesai dibacakan cerita, Lila sendiri mengambil buku tersebut dan membolak

balikkan halaman buku serta melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku sambil

mengatakan apa yang dia lihat pada gambar tersebut. Contoh menarik terdapat

pada rekaman dalam DVD yang diambil pada Oktober 2008 ketika Windi dan Lila

melihat-lihat salah satu cerita yang berjudul Si Jempol.


       (12)Windi              : Ini apa?

               Lila           :  ojoh melah ‘ogoh-ogoh merah’

               Windi          : Men Ini?
               Lila           : ojoh ojoh ijao ‘ogoh-ogoh hijau’

               Windi          : Ini ogoh-ogohnya kenapa ini?
45




              Lila          : Is ‘nangis’

              Windi         : Kok nangis dia?
              Lila          :  ‘mau ibu’

              Windi         : Di kasi apa dia?
              Lila          :  ‘kasih hadiah’

              Windi         : Siapa ini?
              Lila          : ñ ‘papanya’

              Windi         : Bukan, si Jempol
              Lila          : ñ ‘papanya’




       Latihan-latihan berbicara seperti ini, dengan melihat gambar dalam cerita

juga sering dilakukan oleh Lila dengan ayahnya. Meskipun ayahnya berbicara

menggunakan bahasa Jerman, Lila sering meresponnya dengan bahasa Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa keterampilan pasif Lila dalam bahasa Jerman jauh

melebihi produksi anak dalam bahasa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena di

lingkungan rumah, ayah Lila adalah satu-satunya orang yang menggunakan

bahasa Jerman secara aktif kepada Lila. Salah satu rekaman yang menarik untuk

dilihat adalah percakapan yang terjadi antara ayah Lila dan Lila pada bulan

November 2008. Pada saat itu, Lila membolak- balik sebuah cerita yang berjudul

Periuk Bunbuku.




       (13)Frank            : Was ist das schoon buch? ‘Buku apa itu?’

              Lila          :  ‘periuk’
46




              Frank          : O, und kenst du das buch? ‘O, Apa kamu tahu
                             buku itu?’
              Lila          :  ‘periuk’

               Frank        : Oh Pinokio
              Lila          :  ‘ndak-ndak periuk’

              Frank          : O ya, ya, jetzt verstehe ich. Erzähltmal was gehts
                             das? ‘O ya,
                             ya.sekarang aku mengerti. Coba ceritakan, apa itu?’
              Lila          : 

                              ‘pada suatu hari, ini musang nangis’
              Frank         : Warum? ‘kenapa?’
               Lila          : ’         mau   roti   sama
                             butter/mentega’
              Frank         : Ya genauch, die haben keine essen ya
                             ‘Ya tentu saja, mereka tidak punya makanan ya.’


       Percakapan-percakapan seperti di atas sering terjadi antara ayah dan anak.

Sampai Lila berumur 2;6, Lila masih sering menjawab pertanyaan-pertanyaan

ayahnya yang diungkapkan dalam bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia,

meskipun kata-kata dalam bahasa Jerman sudah muncul di sana sini, tidak dapat

dipungkiri bahwa bahasa Indonesia masih sangat mendominasi produksi bahasa

Lila. Kebanyakan dari anak-anak yang disuguhi bahasa bilingual tidak sadar

bahwa mereka disuguhi dua sistem bahasa yang berbeda sampai anak berumur

dua tahun (Watson, 1992: 34). Demikian juga halnya dengan Lila, bahkan sampai

umur dua setengah tahun belum terlihat bahwa dia menyadari perbedaan linguistik

tersebut terlihat dari jawaban-jawaban dalam bahasa Indonesia yang diberikan
47




kepada ayahnya ketika ayahnya bertanya dalam bahasa Jerman. Produksi kata-

kata yang dikeluarkan Lila terdiri dari kata-kata, baik dalam bahasa Indonesia

maupun bahasa Jerman. Dia belum bisa memilah kepada siapa bahasa Indonesia

harus digunakan dan kepada siapa kata-kata dalam bahasa Jerman harus

digunakan.


          Pada saat penelitian ini selesai dilakukan, yaitu ketika anak berumur 2;6

tidak ada tambahan fonem konsonan baru yang dikuasai anak. Jadi, jika

digambarkan dalam bagan, fonem konsonan yang dikuasai anak sampai umur 2;6

adalah sebagai berikut:




  Titik/cara      Bilabial       Labio     Alveolar/dental   palatal   Velar   Glotal
  Artikulasi                     dental
Stop/hambat
           Tak                                                        
bersuara                                                              
   bersuara
Frikatif                                                                        
Afrikat                                                        
                                                               
Nasal                                                        ñ        
Lateral                                          
Getar
Semivokal                                                     

                             Bagan 5.6: Fonem Konsonan Umur 2;6
48




        Perkembangan bunyi yang dikuasai anak dari umur 1;2 sampai 2;6

digambarkan dalam grafik perkembangan bunyi anak berikut ini.




Umur                   1;2        1;5     1;7      1;9     1;11           2;4




Bunyi Vokal                       ñ      
      

Bunyi konsonan                





        Grafik 5.1 Grafik Perkembangan Bunyi Anak Umur 1;2 sampai 2;6



     Pada grafik 5.1 terlihat bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai oleh anak

sangat ditentukan oleh posisi bunyi tersebut diproduksi. Semakin ke depan posisi

bunyi, semakin mudah anak untuk memproduksinya. Bunyi-bunyi yang

diproduksi di bagian belakang mulut, akan diperoleh lebih lambat.


     Melihat bunyi-bunyi yang dikembangkan oleh Lila sebagai anak yang

disuguhi bahasa dalam lingkungan bilingual dapat dikatakan bahwa elemen bunyi

yang dikuasai serta urutan perkembangan bunyi yang dikuasainya sesuai dengan

teori perkembangan bunyi yang dicetuskan oleh Jakobson (1971).           Jakobson

mencetuskan teori yang sangat berpengaruh tentang pemerolehan sistem bunyi

yang secara eksklusif menekankan pada pemerolehan bunyi yang benkontras
49




(Clark&Clark, 1977: 392-393).      Jakobson berhipotesis bahwa cara anak-anak

menguasai bunyi bahasa sangat erat kaitannya dengan fitur-fitur bahasa yang

dimiliki bahasa-bahasa di dunia secara umum. Rumusan hipotesanya dapat dilihat

berikut ini.


     a. Secara umum anak-anak memeroleh kemampuan untuk memmroduksi

        bunyi-bunyi bahasa dengan menguasai kontras dari bahasa orang dewasa.


     b. Urutan pemerolehan kontras bunyi ini berlaku secara universal


     c. Urutan pemerolehan bunyi ini dapat diprediksi, dilihat dari kontras yang

        ditemukan dalam bahasa-bahasa di dunia. Bunyi-bunyi yang tersebar

        paling banyak pada semua bahasa akan dikuasai lebih dulu, sementara

        bunyi-bunyi khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan.


     d. Anak-anak secara kontinyu akan mengembangkan kontras-kontras bunyi

        yang terdapat dalam bahasa dewasa mereka.


        Secara umum, Lila mengikuti urutan perkembangan bunyi yang digagas

oleh Jakobson seperti yang diuraikan di atas. Lila pada awalnya paling sering

menyuarakan vokal  selanjutnya vokal i         dan u. Karena titik tolak

penelitian ini adalah saat anak berumur 1;2, dapat dikatakan bahwa ketika anak

berumur 1;2 ketiga bunyi tersebut telah muncul secara silih berganti dan secara

kuantitas memang bunyi  menduduki posisi paling atas. Namun, dua bunyi

vokal lain tidak bisa dipastikan mana yang muncul lebih dahulu, karena saat
50




penelitian ini mulai dilakukan kedua bunyi tersebut sudah diproduksi anak, begitu

juga dengan bunyi vokal lain, yaitu bunyi .


       Teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi konsonan juga secara

umum dipatuhi oleh Lila. Bunyi-bunyi konsonan yang muncul paling awal adalah

bunyi- bunyi bilabial, yaitu bunyi hambat-bilabial-ringan  dan nasal-bilabial

. Bunyi-bunyi konsonan yang diperoleh juga semakin berkembang dengan

dikuasainya bunyi hambat-bilabial-berat . Selanjutnya bunyi konsonan yang

dikembangkan adalah bunyi-bunyi alveolar, yaitu bunyi nasal-alveolar ,

hambat-alveolar- ringan  dan hambat-alveolar-berat . Setelah bunyi-bunyi

hambat- alveolar dan nasal-alveolar dikuasai, baru kemudian bunyi-bunyi frikatif

muncul. Bunyi frikatif yang muncul adalah bunyi frikatif-palatal  dan bunyi

frikatif-glotal . Namun kemunculan kedua bunyi frikatif tersebut masih sangat

terbatas, yaitu hanya muncul di akhir kata. Selanjutnya, muncul satu-satunya

bunyi velar, yaitu bunyi . Kemunculannya pun juga sangat terbatas, yaitu di

akhir kata. Menjelang umur dua tahun Lila juga mengembangkan bunyi-bunyi

afrikat  dan , namun-bunyi-bunyi tersebut hanya muncul di antara bunyi

vokal. Dua bunyi konsonan terakhir yang dikuasai Lila beberapa minggu sebelum

ulang tahunnya yang kedua adalah bunyi palatal-nasal ñ dan bunyi lateral .

Sampai pada ulang tahunnya yang kedua, Lila belum menguasai bunyi velar-berat

dan bunyi nasal-velar. Bunyi frikatif-labio dental dan bunyi getar juga belum

dikembangkan. Bunyi velar-nasal , baru muncul ketika Lila berumur 2;1 atau
51




setelah ulang tahunnya yang kedua. Bunyi   dikuasai ketika anak berumur 2;5.
                                             

Sampai umur 2;6 tidak terdeteksi ada bunyi baru yang dikembangkan oleh anak.


       Dalam kasus Lila, meskipun dia diajak berkomunikasi oleh orang tuanya

dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman dapat dilihat bahwa

bunyi bahasa Indonesia yang diproduksi anak lebih dominan daripada bahasa

Jerman. Hal ini dapat dimengerti karena lebih banyak orang yang berkomunikasi

kepada anak dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jerman. Hal ini

dapat dilihat, khususnya ketika anak memroduksi kata-kata yang memiliki makna

dalam bahasa Jerman realisasi fonem yang muncul adalah fonem bahasa

Indonesia. Di bawah ini adalah sebaran fonem vokal dalam bahasa Jerman.




                    Depan                Tengah               Belakang


       Tinggi             ü                                u


                           ü                                 u


       Mid                ö                                 o


                                                             o

                                         
52




                           


       Bawah                             

                                           

                                Sumber: Finegan (2004)


                Bagan 5.7: Bagan Fonem Vokal dalam Bahasa Jerman




       Sampai berumur 2;0, Lila belum bisa memproduksi bunyi-bunyi vokal

yang khusus ada dalam bahasa Jerman, seperti bunyi vokal-depan-bundar-tinggi

ü , vokal-depan-bundar –sedang ö dan vokal-depan-bundar-rendah   .

Vokal depan bundar dihasilkan dengan mengucapkan vokal depan takbundar

dengan membundarkan bibir tanpa menggerakkan lidah. Bunyi-bunyi depan

bundar tersebut, biasanya diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kedekatan

fonetis. Misalnya ketika Lila mengatakan könig maka yang ke luar adalah

 onik   atau ketika dia mengatakan grün maka yang diproduksi adalah

      .


       Dalam studi kasus ini sampai penelitian dihentikan, ketika anak berumur

2;6, anak mengalami kesulitan atau belum menguasai bunyi-bunyi yang

merupakan fitur-fitur bunyi vokal yang hanya ada dalam bahasa Jerman dan tidak

terdapat dalam fitur bunyi bahasa Indonesia. Bunyi ü biasanya diganti dengan

bunyi vokal- belakang -bundar –tinggi u dan bunyi ö biasanya diganti
53




dengan bunyi vokal-belakang-bundar-sedang o . Hal ini dapat dijelaskan

bahwa anak dalam proses perkembangan bahasanya cenderung untuk mengikuti

bunyi-bunyi yang muncul secara universal. Artinya, bunyi yang dipilih oleh anak

adalah bunyi-bunyi yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperolehnya.

Sementara itu, bunyi-bunyi yang khusus terdapat dalam bahasa-bahasa tertentu

akan diperoleh kemudian. Ini sesuai dengan hipotesa Jakobson yang diuraikan

oleh Clark & Clark (1977) yang menyatakan bahwa bunyi-bunyi yang dikuasai

terlebih dahulu adalah bunyi yang paling banyak tersebar, sementara bunyi-bunyi

yang muncul khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan.

Grosjean (1982) melukiskan bahwa adanya pengaruh bahasa dominan terhadap

bahasa yang lebih lemah sering terjadi pada kasus-kasus perkembangan bahasa

anak bilingual, di samping juga adanya kecenderungan anak untuk menghindari

bunyi-bunyi yang sulit, yang hanya ada pada bahasa yang lebih lemah. Dalam

kasus Lila, bahasa Jerman memiliki posisi yang lebih lemah karena keluarga

tinggal di Indonesia, sehingga secara otomatis bahasa Indonesia didengar dan

digunakan secara lebih aktif oleh anak.


       Dari ulasan dan perkembangan elemen bunyi yang muncul pada studi

kasus anak bilingual ini dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dardjowijojo (2000) yang meneliti pemerolehan bahasa anak monolingual, yaitu

pemerolehan bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa perkembangan elemen

bunyi yang dikuasai Lila, yang merupakan anak yang disuguhi lingkungan bahasa

yang bilingual, hampir sama dengan perkembangan bunyi yang diperoleh oleh

Echa. Kemiripan tersebut terlihat baik dalam elemen-elemen bunyi yang muncul
54




maupun urutan perkembangannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa bahasa

apa pun yang diperoleh oleh anak, monolingual maupun bilingual urutan serta

pola perkembangan bahasanya adalah sama. Grosjean (1982) memaparkan

pendapat McLaughlin yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa pada

dasarnya sama dilihat dari fitur-fitur bahasa yang dikembangkan serta urutan

perkembangannya baik untuk anak monolingual maupun bilingual. Selanjutnya

dinyatakan bahwa perbedaan di antara keduanya adalah anak bilingual memiliki

tugas untuk membedakan dua sistem bahasa yang berbeda, namun sampai saat ini

belum ada bukti bahwa anak-anak tersebut memerlukan piranti pemroses bahasa

khusus untuk melakukannya. Hal yang senada diungkapkan oleh Myers-Scotton

(2006: 326), yang menyebutkan bahwa beda anak bilingual dengan monolingual

adalah mereka melalui tahapan perkembangan dalam dua bahasa. Oleh karena itu,

lanjutnya, secara natural, anak-anak akan bertutur dalam bahasa apa pun yang

digunakan oleh orang tua atau orang-orang lain yang mengasuhnya saat

berkomunikasi dengan mereka, baik itu dalam satu bahasa, dua bahasa bahkan

lebih.


5.2 Distribusi Fonem yang Diproduksi Anak


         Chaer (2009: 89) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan distribusi

fonem adalah letak atau beradanya sebuah fonem di dalam satu satuan ujaran,

yang kita sebut sebuah kata atau morfem. Fonem pada umumnya dapat berada

pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata. Secara khusus ada

fonem yang hanya muncul di awal kata atau di tengah kata atau di akhir kata saja.

Kadang-kadang ada juga fonem yang muncul di awal kata atau di akhir kata saja.
55




Selanjutnya Chaer menyebutkan bahwa fonem vokal memang selalu dapat

menduduki posisi pada semua tempat – walaupun tidak pada semua bahasa-,

berkenaan dengan posisinya sebagai puncak kenyaringan pada setiap silabel,

sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian: mungkin dapat menduduki

posisi awal dan akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi pada awal.

Berikut ini adalah distribusi fonem pada kata-kata yang diproduksi oleh Lila

ketika dia mencapai umur 2;6.




     a. Distribusi Fonem Vokal


               1. Vokal /a/


                  -   dalam realisasi produksi bunyi, fonem ini dapat muncul

                      dalam semua posisi. Kata-kata dalam bahasa Indonesia,

                              ‘ada’,         ‘main’,      

                      ‘sama’.


                  -   bahasa     Jerman,   seperti   tampak   dalam   contoh:

                            ‘mause’ ‘tikus’,      ‘auch’ ‘juga’,

                           ‘nenek’.


               2. Vokal /i/
56




        -   dalam realisasi produksi bunyi bahasa Indonesia dapat

            muncul dalam semua posisi, contoh:                    ‘ini’,

                  ‘hari’,       ‘bisa’.


        -   dalam bahasa Jerman baru muncul pada posisi tengan dan


            akhir kata saja seperti tampak dalam contoh:     


            ‘eis‘ ‘es’        ‘cowboy’.
     3. Vokal /e/


        -   dalam bahasa Indonesia, realisasi fonem ini telah muncul

            dalam         semua          posisi         seperti      tampak


            dalamcontoh:  meja   kadek


             
        -   dalam produksi kata bahasa Jerman, bunyi ini baru muncul


            dalam posisi awal dan tengah      ‘ecke’ ‘pojok’,


                 ‘jetzt’ ‘sekarang’.

     4. Vokal / /


        -   realisasi bunyi dari fonem ini dalam bahasa Indonesia telah

            muncul   di    semua        posisi     seperti   dalam   contoh:


                            ‘kecil’,                    ‘terus’,


                 ‘apel’
57




        -   dan dalam bahasa Jerman baru terdeteksi muncul pada


            bagian akhir kata saja sepri dalam bunyi      ‘ecke’


            ‘pojok’,                ‘meine’    ‘milik     saya’,


                 ‘affe’ ‘monyet’.
     5. Vokal /u/


        -   fonem ini dalam bahasa Indonesia telah terealisasi pada


            semua posisi seperti tampak dalam contoh:      


            ‘sudah’,        ‘putus’,      ‘bau’.
        -   dalam kata bahasa Jerman baru terealisasi pada posisi


            tengah dan akhir kata seperti dalam contoh:     


            ‘auch’ ‘juga’,         ‘pußbal’ ‘sepakbola’.
     6. Vokal /o/


        -   dalam produksi bunyi bahasa Indonesia, fonem ini sudah

            terealisasi dalam semua posisi seperti tampak dalam


            contoh:          ‘om’,                  ‘kolam’,


                  ‘sayur’.
        -   dalam produksi kata bahasa Jerman bunyi ini juga sudah


            muncul pada semua posisi seperti dalam kata     
58




                          ‘nenek’,                         ‘krokodil’     ‘buaya’,


                               ‘auto’ ‘mobil’.




     b. Distribusi Bunyi Konsonan


            Pada bagian ini digunakan istilah bunyi, bukan fonem, untuk

     mendeskripsikan distribusi bunyi konsonan yang muncul karena bunyi-bunyi

     yang muncul sering divariasikan atau bahkan diganti dengan bunyi lain.

     Distribusi bunyi yang diprodukasi anak beserta contoh-contoh bunyi yang

     muncul dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.




Bunyi    Bahasa Indonesia                             Bahasa Jerman
Konsonan Posisi awal Posisi                Posisi     Posisi          Posisi       Posisi
                       tengah              akhir      awal            tengah       akhir
                              -                  -            -
           ‘putus’         ‘papa’                  ‘pußball’
                                                      ‘sepakbola’
                               -                            -
b           ‘bisa’          ‘habis’                 ‘buch’          ‘baby’
                                                      ‘buku’          ‘bayi’
                                                    -
           ‘main’          ‘koming’     ‘belum’    ‘mause’         ‘nenek’
                                                      ‘tikus’         ‘nenek’
              -                   -          -               -            -
                           ‘pesawat’
                                                      
           ‘tikus’         ‘ikan’       ‘buat’     ‘kuh’           ‘auto’       ‘kaputt’
                                                      ‘sapi’          ‘mobil’      ‘rusak’
                              -                           
           ‘di sana’       ‘ada’                   ‘da’                        ‘motorad’
                                                      ‘di sana’       ‘krokodil’   ‘sepeda
                                                                      ‘buaya’      motor’
              -               -                  -               -            
                                        ‘tas’                                   ‘mause’
                                                                                   ‘tikus’
59




                                        
            ‘nangis’        ‘renang’   ‘ikan’    ‘nul’        ‘banane’   ‘achtung’
                                                 ‘nol’        ‘pisang    ‘hati
                                                                         hati’
                            -                  -
            ‘lagi’          ‘bola’     ‘ular’                 ‘alle’
                                                              ‘semua’
                       -         -            -          -
            ‘sama’          ‘kecil’
                       -         -            -          -
            ‘jatuh’         ‘baju’
         -               oñet     -         -            -          -
                            ‘monyet’
                     -          -                 -          -
            ‘ya’                                 ‘jetzt’
                                                 ‘sekarang’
         -               -             -            -          
                                       ‘rusak’                           ‘könig’
                                                                         ‘raja’
         -                    -         -            -          -
                            ‘lagi’
         -                      -            -          -
                            ‘nangis’
                -             -            -          
            ‘harimau’                  ‘sudah’                           ‘auch’
                                                                         ‘juga’




                       Bagan 5.8: Distribusi Bunyi Konsonan




5.3 Variasi Bunyi yang Muncul


       Sesuai dengan perkembangan alat-alat ucapnya, Lila sering mengganti

bunyi-bunyi yang belum dia kuasai dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki

kedekatan fonetis sehingga bunyi-bunyi yang dikeluarkan bervariasi. Sampai anak

berumur 2;0, beberapa bunyi muncul secara terbatas dan ada beberapa bunyi yang

belum muncul sama sekali. Di bawah ini akan dibahas variasi-variasi bunyi yang

dikembangkan oleh Lila.
60




     a. Bunyi hambat- velar- takbersuara 


              Bunyi hambat-velar-takbersuara  hanya muncul secara terbatas,

     yaitu di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagi

     berikut.


        (14)                ‘bebek’

                 na                   ‘naik’

                 m                   ‘kumik’ (nama seorang teman)

                 dada                             jajak       ‘kue’



              Bunyi  pada posisi awal kata sering dilesapkan atau diganti dengan bunyi

     hambat-alveolar- tak bersuara .


     Contoh


        (15)                        ‘kapal’

                                                ‘kecil’

                                    ‘kacang’ (nama seorang teman)

                         ‘kaca mata’

                                  ‘kencing’

                                          ‘kue’

                           ö        ‘könig’                 ‘raja’

                                          ‘kuh’               ‘sapi’

                                    ‘clown’                 ‘badut’
61




              Sementara pada posisi tengah kata, bunyi  diganti dengan bunyi

     hambat-alveolar-tak bersuara .


     Contoh


        (16)                                 ‘buka’

                                                              ‘kaki’

                                                            ‘sakit’

                                            ‘nakal’

                                                kiekiriki
        ‘ayam’


        Setelah Lila berumur 2;0 lambat laun, bunyi velar-hambat  juga sering

     diganti dengan bunyi palatal-afrikat- takbersuara .


        (17)          ‘kak kumik’

                                                     ‘kopi’

                                ‘Koming’

                                ‘kakek’

                                ‘nakal’



        Dari data (15), (16), (17) terlihat bahwa bunyi velar-hambat-tak bersuara

k diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih anterior, yaitu bunyi-bunyi yang

dihasilkan di bagian depan mulut. Kalau kita lihat, bunyi t yang digunakan

sebagai pengganti bunyi k adalah bunyi yang secara fonetis sangat berdekatan

antara satu sama lain. Kedua bunyi tersebut memiliki karakteristik yang mirip,
62




yaitu sama –sama bunyi hambat dan takbersuara. Satu-satunya pembeda adalah

letak dimana kedua bunyi tersebut dihasilkan. Anak kecil yang baru belajar untuk

menyuarakan bunyi-bunyi bahasa, cenderung memilih bunyi-bunyi yang lebih

mudah untuk dibentuk karena keterbatasan artikulatoris yang mereka miliki.

Karena bunyi-bunyi anterior lebih mudah diucapkan oleh anak, maka dapat

dimengerti mengapa bunyi velar digantikan dengan bunyi alveolar. Lust (2006:

161) mengkonfirmasi bahwa dalam bahasa anak-anak, beberapa penggantian

elemen bunyi sering dilakukan, misalnya bunyi velar-hambat-tak bersuara k

diganti dengan bunyi alveolar-hambat-takbersuara t. Dalam perkembangan

selanjutnya, bunyi velar ini juga bervariasi dengan bunyi palatal-afrikat-

takbersuara c. Hal ini juga tidak terlapas dari kenyataan bahwa bunyi c

berada pada posisi lebih depan daripada bunyi k. Bunyi c dan k juga

merupakan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu sama-sama

bunyi tak bersuara atau bunyi-bunyi yang ringan.




     b. Bunyi hambat-velar-bersuara 


        Sampai pada umur 2;0, bunyi hambat-velar-bersuara  belum muncul

sama sekali. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar-bersuara 

seperti pada bentuk-bentuk fonologis di bawah ini:
63




        (18)                         ‘gigit’

                                                 ‘lagi’

                              ‘jagung’

                                      ‘bagus’




            Jika sebelumnya telah dibahas bahwa bunyi velar-hambat-takbersuara

     k diganti dengan      bunyi alveolar t, maka untuk bunyi-bunyi velar-

     hambat-bersuara  sangat sering diganti dengan bunyi alveolar-hambat-

     bersuara . oleh anak. Ini juga dapat dijelaskan bahwa bunyi  lebih

     mudah diucapkan oleh karena posisinya lebih di depan. Yang menarik adalah

     bahwa anak juga berusaha dalam produksinya mencari padanannya yaitu,

     bunyi takbersuara diganti dengan bunyi-bunyi yang takbersuara, sedangkan

     bunyi bersuara diganti dengan bunyi bersuara. Bunyi  dan , keduanya

     memiliki fitur distingtif - voice sedangkan bunyi  dan  keduanya

     memiliki fitur distingtif + voice.


                Kadang-kadang bunyi  pada posisi awal dilesapkan misalnya

     ketika Lila mengeluarkan bunyi  ‘gajah’. Pada kasus-kasus tertentu,

     bunyi ini juga bervariasi dengan bunyi hambat-bilabial-bersuara , misalnya

     ketika Lila menyuarakan bunyi  ‘garfu’. Pada posisi akhir bunyi 

     diganti dengan bunyi yang memiliki kesamaan fonetis, yaitu bunyi k. Bunyi
64




     ini muncul ketika Lila mengucapkan bunyi onik ‘könig’, yang dalam bahasa

     Indonesia bermakna ‘raja’.


              Mengapa bunyi velar  dikuasai sebelum bunyi velar ? Kalau

     dilihat kedua bunyi tersebut memiliki cirri-ciri yang sama, yaitu merupakan

     bunyi velar-hambat. Satu-satunya yang membedakan kedua bunyi tersebut

     adalah dalam penyuaraan. Untuk dapat memroduksi bunyi  diperlukan

     adanya getaran pada pita suara sedangkan bunyi  tidak. Bunyi 

     memiliki fitur distingtif + voice. Oleh karena itu, secara natural bunyi 

     lebih mudah dikuasai oleh anak daripada padanan beratnya, yaitu bunyi .

     Dardjowijojo (2000:83) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi ringan dikuasai oleh

     anak terlebih dahulu daripada bunyi yang memerlukan penyuaraan. Ini sesuai

     dengan kaidah voiced plosives are acquired later than voiceless plosives. Ini

     berarti bahwa untuk anak mana pun di dunia, baik yang monolingual maupun

     bilingual, bunyi-bunyi ringan akan lebih mudah dikuasai daripada bunyi-bunyi

     berat.




     c. Bunyi hambat-alveolar-tak bersuara 


         Bunyi  sering dilesapkan pada awal kata. Bentuk-bentuk yang

     terdengar, misalnya


         (19)pi                             ‘topi’
65




                               ‘tidak’

                               ‘telinga’



       Pada data (19), dapat dilihat bahwa anak juga sudah memahami kata-kata

yang terdiri atas tiga suku kata seperti dalam contoh kata telinga . Namun, karena

pada umur yang masih sangat muda dan keterbatasan perkembangan alat-alat ucap

yang dimilikinya, anak belum bisa mengucapkan kata-kata yang terdiri dari tiga

suku kata. Apa yang dilakukan anak adalah memilih suku kata yang paling mudah

untuk disuarakan. Biasanya, dari data kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata,

suku kata terakhirlah yang paling banyak disuarakan. Seperti kata telinga

direalisasikan dengan bunyi  begitu juga dengan kata cerita disuarakan

dengan bunyi , raksasa dengan bunyi , kaca mata disuarakan dengan

bunyi . Temuan ini selaras dengan hasil penelitian Darjowidjojo (2000)

yang juga mengamati bahwa ketika cucunya mengeluarkan kata-kata yang dwi

atau polisilabik, maka yang disuarakan adalah suku kata terakhir. Hal ini bisa

dijelaskan bahwa seorang anak yang baru belajar berbicara, seringkali memilih

bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk diucapkan dan dari bunyi-bunyi yang

dikuasai, biasanya dipilih yang lebih ringan dan ketika memproduksinya

memerlukan energi yang lebih sedikit.


       Pada kasus dalam penelitian ini, anak disuguhi dalam bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia, dan anak memiliki lingkungan kebahasaan yang kompleks.

Dalam bahasa Jerman, dia sering mendengar kata-kata yang terdiri atas satu suku

kata atau monosilabik seperti dalam kata kuh ‘sapi’, buch ‘buku’, ich ‘saya’, da
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak
Profil lingkungan kebahasaan anak

More Related Content

Similar to Profil lingkungan kebahasaan anak

Bahasa bayitrend
Bahasa bayitrendBahasa bayitrend
Bahasa bayitrend
sri emilda
 
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
Delima Ross
 
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSAKASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
Nurulbanjar1996
 
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptxSEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
PujiNursoleha
 
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaerPsikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
AjengIlla
 
Bermain bahasa di rumah (6).pdf new
Bermain bahasa di rumah (6).pdf newBermain bahasa di rumah (6).pdf new
Bermain bahasa di rumah (6).pdf new
syamsiarmursali
 
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdfAnalisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
rachmatulcandra30
 
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
Fransiskus Rahelianto Florus
 
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
SABDA
 
Masyarakat majemuk indonesia
Masyarakat majemuk  indonesiaMasyarakat majemuk  indonesia
Masyarakat majemuk indonesiaSiti Farida
 
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhanTugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
deslitondambitu
 
Bahan ajar bhs. indonesia
Bahan ajar bhs. indonesiaBahan ajar bhs. indonesia
Bahan ajar bhs. indonesia
SaifullahSaifullah10
 
Ricki k
Ricki kRicki k
Ricki k
taufiq99
 
Assignment fonetik bahasa iban
Assignment fonetik bahasa ibanAssignment fonetik bahasa iban
Assignment fonetik bahasa iban
Ministry of Education, Negara Brunei Darussalam
 
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa keduaPengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
ly infinitryx
 
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADI
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADISEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADI
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADIDhita Candra
 
Alih kode dan campur kode
Alih kode dan campur kodeAlih kode dan campur kode
Alih kode dan campur kode
Mut Mu3tiah
 
Sejarah perkembangan Bahasa indonesia
Sejarah perkembangan Bahasa indonesiaSejarah perkembangan Bahasa indonesia
Sejarah perkembangan Bahasa indonesia
indraotsu
 
Tema 1 subtema_1_selasa
Tema 1 subtema_1_selasaTema 1 subtema_1_selasa
Tema 1 subtema_1_selasa
SD Hj. Isriati Baiturrahman 2
 

Similar to Profil lingkungan kebahasaan anak (20)

Bahasa bayitrend
Bahasa bayitrendBahasa bayitrend
Bahasa bayitrend
 
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
Peranan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan untuk anak di kelas re...
 
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSAKASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
KASUS BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA
 
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptxSEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
SEJARAH-BAHASA-INDONESIA.pptx
 
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaerPsikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
Psikolingistik-pengenalan dasar-abdul chaer
 
Bermain bahasa di rumah (6).pdf new
Bermain bahasa di rumah (6).pdf newBermain bahasa di rumah (6).pdf new
Bermain bahasa di rumah (6).pdf new
 
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdfAnalisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
Analisis Gangguan Berbahasa pada Anak Kajian Psikolinguistik.pdf
 
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
Fonetik bahasa Anak usia satu setengah tahun pada masyarakat dayak Dosan Dusu...
 
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
GoGrow! Bahasa Ibu, Digitally!
 
Masyarakat majemuk indonesia
Masyarakat majemuk  indonesiaMasyarakat majemuk  indonesia
Masyarakat majemuk indonesia
 
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhanTugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
Tugas bahasa Indonesia dalam mencari pengertian bahasa Indonesia keseluruhan
 
Bahan ajar bhs. indonesia
Bahan ajar bhs. indonesiaBahan ajar bhs. indonesia
Bahan ajar bhs. indonesia
 
Ricki k
Ricki kRicki k
Ricki k
 
Assignment fonetik bahasa iban
Assignment fonetik bahasa ibanAssignment fonetik bahasa iban
Assignment fonetik bahasa iban
 
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa keduaPengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
Pengajaran bahasa melayu sebagai bahasa pertama dan bahasa kedua
 
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADI
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADISEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADI
SEMINAR BAHASA_RINDRA HARYADI
 
Alih kode dan campur kode
Alih kode dan campur kodeAlih kode dan campur kode
Alih kode dan campur kode
 
Tugas kelompok bahasa
Tugas kelompok bahasaTugas kelompok bahasa
Tugas kelompok bahasa
 
Sejarah perkembangan Bahasa indonesia
Sejarah perkembangan Bahasa indonesiaSejarah perkembangan Bahasa indonesia
Sejarah perkembangan Bahasa indonesia
 
Tema 1 subtema_1_selasa
Tema 1 subtema_1_selasaTema 1 subtema_1_selasa
Tema 1 subtema_1_selasa
 

Profil lingkungan kebahasaan anak

  • 1. 1 BAB IV PROFIL LINGKUNGAN KEBAHASAAN ANAK 4.1 Lingkungan Kebahasaan Keluarga Putu Lila dilahirkan di Singaraja, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah Singaraja pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 00:05 WITA. Lila lahir dalam keadaan normal dengan berat badan 2,8 kilogram dan panjang 50 cm. Desmita (2009: 102) mengungkapkan bahwa pada waktu bayi masih berada dalam kandungan ibunya, badannya telah membentuk sekitar 1.5 milyar sel-sel saraf permenit. Jadi, saat dilahirkan, bayi kemungkinan telah memiliki semua sel otak yang akan dimiliki sepanjang hidupnya. Namun, keberadaan otak bayi belum matang. Oleh karena itu, otak bayi terus berkembang sampai anak berusia 2 tahun seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Myer yang dikutip Desmita (2009) menyatakan bahwa pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25% dari berat otak dewasanya, maka pada ulang tahun yang kedua, otak bayi sudah mencapai kira-kira75% dari otak dewasanya. Keberadaan otak bayi dan perkembangannya sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak seperti yang digagas oleh Chomsky (2002) yang dalam teori pemerolehan bahasanya mengungkapkan bahwa bahasa merupakan objek alami, suatu komponen intelektual manusia yang secara fisik direpresentasikan di dalam otak dan merupakan bagian dari perkembangan biologisnya.
  • 2. 2 Menurut Taylor (1990: 230) pemerolehan bahasa dipengaruhi oleh tiga variabel penting, yaitu bahasa yang diperoleh, anak yang memeroleh bahasa tersebut, dan lingkungan tempat bahasa itu diperoleh. Seorang anak bisa memeroleh bahasa karena dilengkapi dengan keadaan fisik yang memungkinkan dia menggunakan bahasa serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Di samping itu, anak juga tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebahasaan yang digunakan penuturnya secara aktif. Berikut ini adalah gambaran lingkungan kebahasaan tempat Lila dibesarkan yang akan dibahas berdasarkan lingkungan kebahasaan keluarga dan lingkungan kebahasaan teman sebaya. Sejak lahir, Lila tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Celukbuluh, Desa kalibukbuk Kecamatan Buleleng. Dia lahir dari seorang ibu yang berasal dari Bali yang merupakan wanita etnis Bali yang berasal dari Kabupaten Karangasem, namun sudah tinggal di Kabupaten Buleleng sejak berusia 15 tahun karena mengikuti ayah yang dipindah tugaskan. Ibu Lila merupakan wanita yang lahir dengan bahasa ibu, bahasa Bali. Selain Bahasa Bali, bahasa Indonesia juga dikuasainya melalui jenjang bangku sekolah formal. Bahasa ketiga yang dikuasai adalah bahasa Inggris yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal Strata 1. Jadi, ibu Lila fasih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Ibu Lila bertemu dengan ayah Lila, Frank (bukan nama sebenarnya), pada tahun 2003. Ketika bertemu dengan ayah Lila, ibu Lila sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa Jerman secara otodidak. Ayah Lila merupakan seorang laki-laki yang berasal dari Jerman yang lahir dengan bahasa ibu bahasa Jerman. Selain bahasa Jerman, dia juga fasih
  • 3. 3 menggunakan bahasa Inggris. Sejak tahun 2003, ayah Lila sudah tinggal di Bali meskipun dia masih sering mengunjungi negeri asalnya kurang lebih dua kali dalam setahun. Frank memutuskan untuk mulai belajar bahasa Indonesia untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat lokal karena dia tinggal di Bali. Bahasa Indonesia dipilih untuk dipelajari karena dia ingin dapat berkomunikasi bukan hanya dengan orang Bali, tetapi juga dengan orang Indonesia dari etnis lain yang tinggal di Bali dan dari informsai yang dia peroleh kebanyakan orang Bali juga mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dia memutuskan untuk tidak mempelajari bahasa Bali karena dia tidak mau dibingungkan oleh dua bahasa yang berbeda. Ayah Lila menganggap bahasa Bali lebih sukar untuk dipelajari karena adanya perbedaan tingkatan dan dia tidak mau dibingungkan oleh perbedaan-perbedaan tingkatan tersebut. Ayah Lila mempelajari bahasa Indonesia dengan sangat serius dan bahkan dia memiliki guru bahasa Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Saat ini, dia sudah fasih menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap dengan orang-orang di sekitarnya. Sejak sebelum Lila dilahirkan, orang tuanya sudah mendiskusikan tentang bahasa-bahasa yang nanti akan digunakan untuk berkomunikasi dengannya. Mereka akhirnya memutuskan bahwa ketika berbicara dengan Lila, ayah Lila menggunakan bahasa Jerman dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Jerman? Bahasa Jerman digunakan karena merupakan bahasa Ibu ayah Lila dengan harapan Lila juga bisa menggunakan bahasa tersebut. Namun, pada kenyataanya, karena juga belajar dan senang menggunakan bahasa
  • 4. 4 Indonesia secara tidak sadar ayah Lila sering menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan Lila. Ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia, ini dimaksudkan agar percakapan-percakapan yang terjadi antara Lila dan ibunya bisa dimengerti oleh ayah Lila. Pada kenyataanya ibu Lila tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia saja, namun kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali pada saat –saat tertentu, misalnya ketika Lila melakukan sesuatu yang nakal dan ibunya menjadi marah. Seiring dengan perkembangan umur Lila, ketika dia sudah dapat merespon kata-kata orang tuanya, percakapan-percakan antara orang tua dan anak sering terjadi dalam bahasa Indonesia dan Jerman. Kadang-kadang ibu Lila juga menggunakan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman yang sering digunakan oleh ayah Lila dan Lila ketika berbicara satu dengan yang lainnya. Dalam keluarga, orang tua Lila juga memiliki komitmen bahwa dalam berkomunikasi dengan anak seberapa kecil pun anak, orang tua harus menggunakan bahasa `normal`, menggunakan kata-kata yang sesungguhnya dan bukan mengikuti bahasa bayi; seperti yang dilakukan para orangtua pada umumnya. Pada umumnya, ayah dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi satu sama lain, namun jika percakapan-percakapan menyangkut hal-hal yang lebih dalam atau diskusi-diskusi tentang topik-topik atau isu-isu tertentu, percakapan-percakapan sering sekali terjadi dalam bahasa Inggris. Namun, Lila tidak disuguhi bahasa Inggris secara langsung dan tidak diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut meskipun sejak dilahirkan dia juga sudah
  • 5. 5 terbiasa mendengar kata-kata atau ucapan–ucapan dalam bahasa Inggris. Pengaruh bahasa Inggris pun hampir tidak terlihat dalam perkembangan bahasanya. Di samping itu, Lila sama sekali tidak disuguhi bahasa Inggris karena orang tuanya tidak mau, Lila dibingungkan oleh kebanyakan bahasa sekitar. Jadi dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tuanya untuk berkomunikasi dengan Lila adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman. Taylor (1990: 227) mengungkapkan bahwa, ketika anak sejak lahir sampai pada umur dua tahun pusat dari perkembangan bahasanya adalah orang tuanya, terutama ibunya. Dalam keluarga inti Lila, percakapan-percakapan terjadi dalam bahasa-bahasa, seperti yang digambarkan dalam diagram berikut Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris Ibu ayah Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris Bahasa Jerman dan kadang-kadang Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia, kadang-kadang B.Jerman, B.Bali
  • 6. 6 Lila Bagan 4.1: Lingkungan Kebahasaan Keluarga Inti Pada prinsipnya, Lila hanya tinggal dengan keluarga inti, yaitu ayah dan ibu. Dalam keluarga tersebut, dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu ada seorang pengasuh anak yang bekerja paruh waktu, yaitu seorang wanita etnis Bali yang bernama Warti. Warti hanya bekerja selama 6 jam, per hari, yaitu dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 14.00. Ketika berbicara dengan Lila, Warti menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga ketika berbicara dengan ayah Lila. Namun, ketika berbicara dengan ibu Lila, Warti menggunakan bahasa Bali. Selain seorang pengasuh anak, keluarga juga dibantu oleh seseorang yang mengurus kebun. Dia adalah seoarang lelaki, yang juga merupakan etnis Bali, yang bernama Ketut. Ketut juga bekerja paruh waktu, yaitu dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00 dari hari senin sampai sabtu. Bahasa yang digunakan oleh Ketut dalam keluarga tersebut sama dengan bahasa yang digunakan oleh Warti. Di samping lingkungan kebahasaan keluarga inti dan orang orang yang membantu keluarga tersebut setiap harinya, Lila juga memiliki hubungan dengan keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun pihak ayah. Dari pihak ibu, Lila memiliki seorang nenek etnis Bali, dua orang paman dan seorang bibi kandung. Baik nenek maupun paman dan bibinya bertemu dengan Lila secara reguler. Dengan nenek dari pihak ibu, Lila bertemu hampir setiap bulan selama 2 hari sampai satu minggu. Hal ini disebabkan oleh neneknya tinggal jauh di kabupaten lain, yaitu Kabupaten Karangasem. Nenek Lila menggunakan bahasa Indonesia
  • 7. 7 dan bahasa Bali ketika berbicara dengan Lila. Salah satu paman dan bibinya berjumpa atau mengunjungi keluarga tersebut hampir setiap minggu sementara paman yang lain bertemu dengan Lila hampir setiap bulan. Bahasa yang digunakan oleh mereka ketika berkomunikasi dengan si kecil Lila sama dengan bahasa yang digunakan oleh nenek mereka. Sementara di antara mereka sendiri menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi satu sama lain. Dari pihak ayah, Lila memiliki seorang nenek dan seorang paman. Nenek Lila tinggal di Jerman dan sejak kelahiran Lila neneknya sudah datang ke Indonesia sebanyak dua kali dengan rentang waktu dua bulan dan tiga bulan. Ketika berkomunikasi dengan Lila, nenek menggunakan bahasa Jerman. Sementara dengan paman dari pihak ayah, Lila baru bertemu sekali saja. Ketika berumur 1;10, Lila untuk pertama kalinya diajak ke Jerman oleh orang tuanya. Ketika di Jerman, keluarga tersebut tinggal di rumah neneknya. Mereka tinggal di Jerman selama enam minggu dan selama di sana, Lila disuguhi bahasa Jerman sangat intensif, baik oleh neneknya maupun anggota keluarga lain. Sejak masih bayi, Lila juga sudah diperkenalkan pada buku-buku bayi baik dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Indonesia. Buku-buku bayi yang dimaksudkan adalah buku-buku yang memiliki kertas-kertas yang tebal dan sulit untuk dirobek anak. Ayah Lila khususnya, hampir setiap hari memperlihatkan gambar-gambar yang ada di buku dan memberitahukan kata-kata yang ada dalam buku-buku tersebut dalam bahasa Jerman. Ini dilakukan ayahnya secara natural dan bukan untuk tujuan penelitian ini. Di antara buku-buku yang sering digunakan untuk bermain dan berlatih berbicara adalah buku-buku anak karangan Helmut
  • 8. 8 Spanner yang berjudul Erste Bilder Erste Wörter dan Mein Bärenbuch. Buku- buku lain, misalnya berjudul Kennst Du das? Die Farben, Kennst Du Das? Dein Körperr. Buku-buku dalam bahasa Indonesia juga diperkenalkan kepada Lila, khususnya buku-buku cerita anak yang biasanya dibacakan kepada Lila menjelang tidur pada malam atau siang hari. Buku-buku tersebut, misalnya Kisah Si Rusa Kecil, Periuk Bunbuku, Pindy dan Pinky, Georgia Abott dan lain-lain. 4.2 Lingkungan Kebahasaan Teman Sebaya Meskipun ketika berumur satu sampai dua tahun Lila lebih banyak berada di lingkungan rumah, namun secara bertahap seiring dengan perjalanan umurnya, dia mulai memiliki kelompok teman sebaya, meskipun masih sangat terbatas. Dalam perkembangan kebahasaan anak, Taylor (1990:227) juga melukiskan bahwa ketika berumur sekitar 2-3 tahun, anak mulai bisa mengkomunikasikan kebanyakan dari keinginan fisik maupun sosialnya dengan menggunakan bahasa. Di samping itu, lingkaran komunikasi anak juga semakin luas dengan mulai dimilikinya lingkaran komunikasi teman sebaya. Lokasi tempat tinggal keluarga Lila yang berada di sebuah gang yang kecil, yang terdiri atas sebelas buah rumah, membuat suasana atau hubungan antara tetangga yang satu dengan yang lainnya cukup akrab. Di gang kecil tersebut ada tiga pasang keluarga yang memiliki anak-anak yang sering bermain- main dengan Lila. Hampir semua keluarga yang tinggal di gang tersebut merupakan keluarga etnis Bali dan hanya satu keluarga yang merupakan keluarga
  • 9. 9 yang berasal dari Jawa yang sudah lama tinggal di Gilimanuk dan pindah tinggal di dekat rumah keluarga Lila tepat ketika Lila merayakan ulang tahunnya yang pertama. Dari sembilan orang anak yang berumur sekitar 1;5 sampai 6;0, lima dari mereka sangat akrab dengan Lila. Anak- anak tersebut bernama Koming, Angel, Erlin, Nita dan Restu. Ketika Lila berumur 1 tahun, Koming berumur sekitar 4;0, Angel 4;5, Erlin 1;5, Nita 5;5 dan Restu 3;0. Gambar 4.1: Bermain dengan teman-teman
  • 10. 10 Gambar 4.2: Bercengkrama dengan Koming Gambar 4.3: Lila bermain dengan Nita dan Restu Kelompok teman tersebut bertemu setiap hari di sepanjang gang. Mereka biasannya berkumpul di sepanjang gang pada sore hari. Mereka bermain bersama dan meskipun saat itu, dari segi umur, Lila merupakan anak paling kecil, namun dia sudah sering diikutkan dalam berbagai aktivitas oleh teman-temannya
  • 11. 11 tersebut. Di samping itu, Lila juga leluasa bermain di rumah mereka, pun anak- anak lain juga terbiasa bermain di rumah Lila. Karena mereka bertemu setiap hari, maka tentu percakapan-percakapan atau celotehan-celotehan anak juga sering terdengar di antara mereka. Koming, Angel, dan Erlin merupakan anak dari keluarga etnis Bali, namun Nita dan Restu merupakan anak yang berasal dari keluarga etnis Jawa yang sudah tinggal lama di Bali. Jadi, ketika mereka bermain dan bercakap-cakap, percakapanpun terjadi dalam dua bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Anak-anak Bali mendengar dan mendapat kata-kata dalam bahasa Indonesia dari Nita dan Restu, sementara Restu dan Nita belajar bahasa Bali juga dari kawan-kawannya, dan secara otomatis Lila juga dihadapkan pada lingkungan bahasa teman sebaya yang menggunakan bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Di samping lingkungan teman sebaya tersebut, Lila juga sering diajak bermain oleh seorang anak yang berumur 11 tahun yang bernama Windi. Windi adalah anak kedua Warti. Sejak Lila lahir, Windi sudah sering bersama Lila dan Lila selalu senang kalau diajak bermain oleh Windi. Windi dan Lila juga bermain bersama hampir setiap hari. Dalam berkomunikasi dengan Lila pada umumnya Windi menggunakan bahasa Indonesia dan kadang-kadang juga menggunakan bahasa Bali. Jadi, dengan lingkungan teman sebaya, Lila berada pada lingkungan dwi bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Dari uraian yang telah didiskusikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bahasa Indonesia, Jerman, Bali dan bahasa Inggris. Namun, bahasa yang digunakan berkomunikasi kepada anak
  • 12. 12 atau, bahasa yang ditujukan kepada anak pada umumnya, adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Sementara dalam penelitian ini yang dilihat adalah bahasa anak itu sendiri, yang terfokus pada bunyi bahasa yang diproduksi oleh anak. Dilihat dari kuantitas orang-orang yang berkomunikasi dengan anak, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dominan didengar dan diproduksi oleh anak. 4.3 Sekilas Bahasan Pemahaman Bahasa Anak Sebelum anak mampu memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang dapat dikaitkan dengan makna tertentu, anak lebih dahulu memiliki pemahaman tentang masukan-masukan yang didapatkan dari orang-orang di lingkungannya. Dardjowidjojo (2000:75) menyatakan bahwa setelah bayi lahir dan mendapatkan masukan dari orang-orang di sekitarnya, dia mengembangkan pemahaman terlebih dahulu, bahkan dikatakan bahwa pemahaman lima kali lipat daripada produksinya. Clark dan Clark (1977: 43) memaparkan bahwa pemahaman memiliki makna yang sempit dan makna yang lebih luas. Dalam arti sempit, pemahaman mengacu pada proses mental ketika pendengar menyimak bunyi yang dikeluarkan oleh pembicara dan menggunakan bunyi tersebut untuk mengonstruksi suatu interpretasi tentang apa yang dimaksud oleh pembicara. Secara lebih sederhana,
  • 13. 13 pemahaman adalah membangun makna dari bunyi yang terdengar. Dalam arti yang lebih luas, pemahaman yang berawal dari interpretasi terhadap bunyi yang didengar tidaklah berhenti dalam tahap ini saja. Ketika mendengar suatu pernyataan, pendengar menyimak informasi yang mereka dengar dan kemudian menyimpannya dalam ingatan mereka. Ketika mendengar suatu pertanyaan, mereka biasanya mencari tentang informasi yang diinginkan dan mecari jawaban dari pertanyaan tersebut. Ketika mendengar perintah atau permintaan, mereka biasanya memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan akhirnya melakukan sesuatu. Masih berkaitan dengan pemahaman, Dardjowidjojo (2000) menyebutkan bahwa Hirsch-Pasek dan Golinkoff mendefinisikan komprehensi sebagai suatu proses interaktif yang melibatkan berbagai koalisi atau korespondensi antara lima faktor: sintaktik, konteks lingkungan, konteks sosial, informasi leksikal dan prosodi. Hirsch-Pasek dan Golinkoff memberikan beberapa alasan tentang mengapa komprehensi mendahului produksi. Pertama, untuk komprehensi, anak hanya perlu mengenali masukan yang datang dan tidak perlu memanggil ulang apa pun yang telah masuk seperti halnya pada produksi. Kedua, komprehensi memerlukan hanya penerimaan paket informasi yang masuk, sedangkan produksi memerlukan pembuatan informasi tersebut. Ketiga, komprehensi memerlukan pengaktifan pilihan-pilihan leksikal, tetapi bentuk leksikal itu telah dipilih oleh pembicara sedangkan dalam produksi pilihan ini harus dibuat oleh interlokutor. Tahap pemahaman yang mengawali tahap produksi sangat dipengaruhi oleh topik-topik yang dibicarakan kepada anak. Pada tahap-tahap awal
  • 14. 14 perkembangan bahasa anak, topik-topik biasanya berkaitan dengan hal-hal yang berada di sekitar lingkungan anak. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitarnya, benda-benda, gambar ataupun mainan yang mereka miliki. Clark dan Clark (1977) menyebutnya sebagai konsep here and now yang diterjemahkan oleh Dardjowijojo (2000) menjadi konsep sini dan kini. Dalam kasus Lila, yang tumbuh dalam lingkungan bilingual, juga terlihat bahwa komprehensinya lebih berkembang daripada produksinya. Sejak usia dini Lila sudah menyimpan informasi-informasi, baik dalam bahasa Indonesia ataupun dalam bahasa Jerman. Meskipun lebih banyak masukan yang diterima dalam bahasa Indonesia, namun informasi dalam bahasa Jerman pun terekam dalam memori Lila. Ini terlihat ketika Lila diajak bercakap-cakap oleh ayahnya dalam bahasa Jerman, Lila meresponnya dengan nonverbal ataupun verbal. Pada suatu hari, ketika berumur 1;7, Lila mendapatkan makanan ringan yang terbungkus plastik. Setelah makanan ringan tersebut habis, Lila membuang pembungkusnya di teras rumah. Ketika ayah Lila melihat hal itu, dia mengatakan, “Tun das rein in die abfall eimer!” (“Buang itu di tempat sampah!”) sambil menunjuk plastik pembungkus yang tergeletak di lantai. Mendengar apa yang dikatakan ayahnya, Lila memungut plastik tersebut dan berlari ke dapur ke tempat terletak sebuah tong sampah, kemudian dia membuang plastik pembungkus tersebut ke dalam tong sampah. Di samping itu, sering, ungkapan-ungkapan, pertanyaan, atau suruhan dalam bahasa Jerman dibalas oleh Lila menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika Lila berumur 1;8, ayahnya bertanya, “Wo ist dein buch?” (“Di mana bukumu?”) Lila menjawab, ana- ‘di sana’, sambil menunjuk ke arah
  • 15. 15 meja. Ketika Lila menginjak umur dua tahun, komprehensinya semakin berkembang dan disertai dengan respon-respon yang mulai bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Suatu hari, saat Lila berumur 2;1, ayahnya bermain dengan Lila membuat benda-benda dari duplo (mainan bongkar pasang). Ayahnya menunjukkan bagaimana caranya membuat kursi dan meja dari duplo- duplo yang bisa dipasang dan dibongkar. Dalam bahasa Indonesia, mainan ini sering dikenal dengan nama mainan bongkar pasang. Percakapan antara ayah dan anak terjadi seperti di bawah ini: (1) Papa : Was machen wir jetzt? ‘Apa yang kita lakukan sekarang?’ Lila :  ‘so’ Lila :  ‘jetzt’ Papa : gleich Lila :  ‘mana meja’ Papa : Mejanya, o mejanya. Lila :  ‘mau lagi buat’ Begitu pula ketika Lila bercakap-cakap dengan neneknya yang berasal dari Jerman. Sering Lila merespon tuturan neneknya dengan bahasa Indonesia atau mencampur ekspresi bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Misalnya, ketika suatu was  apa jetzt  sekarang machen  membuat so  akhirnya, ayo wir  kita gleich  segera
  • 16. 16 hari mereka akan jalan-jalan ke luar dan neneknya bertanya apakah Lila sudah siap. (2) Nenek : Bist du fertig? ‘Apa kamu sudah selesai?’ Lila :  ‘belum’ Nenek : Oma ist fertig. ‘Oma sudah selesai’ Lila :  ‘mama auch’ ‘mama juga’ du  kamu fertig  selesai oma  nenek ist  aux auch  juga Melihat respon yang diberikan oleh Lila, dapat dikatakan bahwa Lila memiliki pemahaman baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman. Meskipun bahasa Jerman masih jarang diproduksi, namun informasi atau masukan-masukan yang ada di sekitarnya sudah disimpan oleh Lila dalam memorinya. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa sampai usia 2;6, Lila belum bisa membedakan dua sistem bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan Jerman. Ini ditandai dengan adanya respon bahasa Jerman dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Bahkan dengan teman-teman sebayanya yang tidak mengerti bahasa Jerman, Lila sering mengatakan  nein ‘jangan’ ketika dia tidak mau mainannya dipakai orang. Atau ketika dia melihat mainan miliknya digunakan oleh seorang teman dan Lila merebutnya sambil mengatakan  nein
  • 17. 17 ‘jangan’. Ini membuktikan bahwa pada umur itu, Lila belum mengerti bahwa ketika berkomunikasi dengan teman-temannya dia seharusnya menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kasus-kasus studi perkembangan bahasa dini anak yang disuguhi lingkungan bahasa yang bilingual, sering anak-anak pada awalnya belum bisa membedakan dua sistem linguistik yang berbeda. Hal ini juga dialami oleh Hildegard, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan bahasa Inggris dan Jerman yang perkembangan bahasanya diteliti oleh orangtuanya (Hakuta, 1974:49). Hakuta yang mewawancarai Leopod, ayah Hildegard, mendapat informasi bahwa dari penelitian yang dilakukan Leopold baru pada umur tiga tahun Hildegard memperlakukan kedua bahasa yang diperolehnya sebagai dua sistem linguistik yang berbeda. Dia menggunakan kedua bahasa tersebut secara berbeda ketika berkomunikasi dengan orang tuanya. Kepada ayahnya dia menggunakan bahasa Jerman dan kepada ibunya menggunakan bahasa Inggris. Kasus yang serupa juga terjadi pada Ingrid seperti yang dipaparkan Grosjean (1982:167). Pada mulanya Ingrid yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa Swedia dan bahasa Inggris (ayah berbahasa Inggris dan ibu berbahasa Swedia) memroduksi bahasa yang bercampur antara kedua bahasa tersebut, namun ketika Ingrid berumur tiga tahun dia bisa menggunakan kedua bahasa tersebut secara terpisah. Dilihat dari perkembangan bunyi bahasa yang muncul pada Lila, dapat dikatakan bahwa Lila memeroleh baik kompetensi maupun performasi dalam berbahasa. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah pengetahuan anak tentang
  • 18. 18 bahasa yang diperolehnya yang direalisasikan dengan performasi bahasa, yaitu dalam bentuk-bentuk fonologis yang mampu diucapkan oleh Lila. Pada awalnya, bentuk-bentuk fonologis belum mampu diucapkan secara sempurna, namun dapat dilihat bahwa bentuk-bentuk yang dilafalkan mengarah pada kata-kata tertentu yang mengacu pada makna-makna tertentu. Perkembangan bahasa yang diperoleh Lila sesuai dengan hipotesis nurani yang dicetuskan oleh kaum nativisme yang salah satu penggagasnya adalah Chomsky. Penganut nativisme berpendapat semua kanak-kanak di dunia akan memeroleh bahasa Ibunya asal mereka diperkenalkan atau diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Lust (2006) yang mengadaptasi teori Chomsky mengatakan anak-anak memeroleh bahasa secara alami meskipun kadang-kadang mereka disuguhi lebih dari satu bahasa sekaligus.
  • 19. 19 BAB V ELEMEN BUNYI DAN VARIASI UCAPAN 5.1 Elemen Bunyi dan Urutan Perkembangan Bunyi Anak yang belajar bahasa atau bahasa-bahasa pertamanya sama sekali tidak “mengetahui” apakah ia akan mendengar bahasa Indonesia, Jepang, Rusia, Inggris atau Hongaria (Schane, 1992: 9). Selanjutnya Schane juga berargumen bahwa meskipun anak tidak mengetahui tentang bahasa yang mereka dengar, dengan adanya fakta bahwa mekanisme suara semua manusia itu sama, anak mempunyai potensi untuk menghasilkan segala bunyi yang signifikan dalam bahasa tertentu atau bahasa yang akan dipakai anak tersebut. Watson (1992:32) memaparkan bahwa meskipun tahap awal perkembangan bunyi anak bilingual dipengaruhi oleh berbagai faktor, anak bilingual tidak begitu dapat dibedakan dengan anak monolingual pada tahap produksi satu kata satu frasa. Mayoritas dari anak bilingual di dunia yang disuguhi
  • 20. 20 lebih dari satu bahasa mengalami dominasi pada satu bahasa tertentu sehingga kata-kata pertama yang diproduksi biasanya merupakan bagian dari satu bahasa tersebut. Di samping itu, bahkan dalam kasus-kasus anak yang dianggap bilingual primer yang disuguhi dua bahasa secara bersamaan dengan kuantitas yang sama sejak anak dilahirkan dan terus berkelanjutan, biasanya anak tidak sadar bahwa mereka disuguhi dua sistem linguistik yang berbeda. Gejala perkembangan kebahasaan seperti yang dituturkan Watson juga ditemui pada kasus perkembangan bahasa, khususnya pada tahap perkembangan bunyi bahasa Lila pada usia dini, yaitu pada usia 1;2 sampai 2;6. Penelitian yang melihat perkembangan bunyi anak bilingual bahasa Indonesia dan Jerman ini dimulai ketika anak berumur 1;2. Pada umur 1; 2, Lila telah memproduksi bunyi-bunyi, baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Bunyi vokal yang paling sering muncul adalah bunyi vokal-depan-rendah . Bunyi vokal lain yang muncul kemudian adalah bunyi vokal-depan-tinggi i, vokal-belakang-tinggi u, vokal-depan-tengah e, dan bunyi yang kedengaran seperti bunyi vokal- pusat-tengah . Dari kelima bunyi vokal yang muncul pada usia tersebut, bunyi yang paling dominan dan paling sering muncul adalah bunyi , baru kemudian diikuti bunyi i dan u. Ketiga bunyi vokal tersebut adalah pola tiga-vokal dasar yang ditemukan dalam hampir semua bahasa (Schane, 1992: 10). Produksi ketiga vokal tersebut yang dikuasai oleh Lila sesuai dengan teori yang dicetuskan Jakobson (dalam Schane, 1992: 11) yang menyatakan bahwa i, a dan u secara menyeluruh merupakan fonem vokal
  • 21. 21 pertama yang muncul dalam bahasa anak-anak. Jokobson mengulas bahwa ketiga vokal tersebut dirujuk sebagai vokal paling dasar yang muncul sebagai segmen dalam hampir semua bahasa dan sebagai segmen pertama dalam bahasa anak- anak. Vokal-vokal tersebut sangat bertolak belakang. Dalam hal ini, vokal a sebagai vokal rendah bertolak belakang dengan vokal i dan u yang merupakan vokal tinggi. Sementara itu, vokal i dan u bertolak belakang atau berkontras dilihat dari segi perbedaan titinada. Vokal i memiliki karakter bertiti nada tinggi sementara vokal u bertiti nada terendah. Dominasi bunyi vokal-depan-rendah  juga dapat dilihat dalam contoh yang digambarkan dalam spektrogram di bawah ini. Gambar 5.1: Bunyi vokal  yang diproduksi anak
  • 22. 22 Gambar 5.2: Bunyi  Pada gambar 5.1, terlihat bahwa Lila mengeluarkan bunyi  yang panjang dan diulang. Bunyi  tersebut diucapkan dengan durasi yang cukup lama, yaitu antara 700-800 ms dengan frekuensi, yang berkisar antara 24 Hz-30 Hz. Frekuensi bunyi yang terdeteksi dalam gelombang suara tersebut cukup kecil karena ketika sedang direkam posisi alat perekam tidak bisa diletakkan terlalu dekat dengan anak, untuk menghindari anak merasa terganggu dengan alat tersebut. Pada gambar 5.1, dominasi bunyi  juga terlihat dibandingkan dengan bunyi nasal-alveolar . Dibandingkan dengan bunyi , bunyi  memiliki frekuensi lebih tinggi dan durasi yang lebih panjang. Bunyi  memiliki frekuensi sekitar 20 Hz – 25 Hz, sementara bunyi n hanya 4 Hz-8 Hz. Durasi yang diperlukan untuk mengeluarkan bunyi  sekitar 250 ms – 300 ms, sedangkan durasi yang dibutuhkan untuk produksi bunyi n berkisar antara 150 ms – 160 ms.
  • 23. 23 Bunyi  sering muncul dan dikombinasikan dengan bunyi konsonan bilabial hambat ,  serta bunyi nasal  dan  sehingga muncullah bentuk fonologis , ,  dan  yang sering direduplikasi oleh anak. Pada grafik gelombang suara yang diproduksi anak, yang terlihat dalam kedua gambar di atas, dapat terlihat bahwa bunyi vokal  memiliki gelombang suara yang besar dan durasi yang panjang. Dari bunyi-bunyi vokal yang dikembangkan oleh Lila pada umur 1;2, salah satu bunyi yang diperoleh di luar bunyi vokal dasar yang dicetuskan Jakobson adalah bunyi . Ketika bunyi  pertama kali muncul, Lila selalu mengatakan  sambil menunjuk-nunjuk gambar seekor kucing, yang sering diperkenalkan dengan kata miao atau katze kats dalam bahasa Jerman oleh orang tuanya. Berikut adalah gambar gelombang bunyi ketika Lila memproduksi bentuk fonologis .
  • 24. 24 Gambar 5.3: Spektrogram bunyi  Bunyi  pada gambar 5.3 hanya memiliki frekuensi sekitar 4 Hz -6 Hz dan durasi yang pendek, yaitu sekitar 70 ms – 85 ms. Kemunculan bunyi  ini dapat dimengerti karena bunyi  adalah bunyi vokal yang keluar yang memerlukan energi yang paling lemah. dan frekuensi kemunculan bunyi tersebut baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali serta Bahasa Jerman cukup tinggi sehingga pada akhirnya anak juga belajar untuk memproduksi bunyi tersebut. Dalam bahasa Jerman khususnya, bunyi  sangat sering muncul diakhir kata seperti dalam kata  meine ‘punya saya’, k ecke ‘pojok’,  ente ‘bebek’,  alle ‘semua’,  kette ‘kalung’,  jede ‘setiap’,  danke ‘terima kasih,  bitte, ‘tolong/silakan’. Dalam http://www.vistawide.com termuat bahwa sekitar 89% kata-kata dengan gender maskulin, 74% kata-kata dengan gender netral dan 25% kata-kata dengan gender feminim memiliki bentuk plural –e yang sering dilafalkan dengan bunyi . Kata-kata tersebut sering didengar oleh Lila. Jadi bunyi  dikembangkan oleh anak karena anak menerima banyak masukan kata-kata yang mengandung bunyi tersebut. Oleh karena itu, jika digambarkan dengan bagan, maka fonem vokal yang secara regular muncul pada umur 1;2 dalam kasus Lila adalah sebagai berikut:
  • 25. 25      Bagan 5.1: Fonem Vokal Umur 1;2 Bunyi-bunyi konsonan yang muncul adalah bunyi bilabial-hambat-tak bersuara , bilabial- hambat-bersuara , bilabial-nasal- bersuara , alveolar-nasal-bersuara , bunyi dental-hambat- tak bersuara  dan bunyi dental-hambat- bersuara  sehingga suku kata yang sering muncul pada umur ini adalah , , , , , , . Kebanyakan bentuk-bentuk fonologis yang terdengar belum bisa dikaitkan dengan makna tertentu yang berhubungan dengan orang, objek maupun perbuatan. Beberapa ahli menamai tahap ini sebagai tahap ocehan bayi atau dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai babbling period. Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa; mengungkapkan isyarat emosi; memproduksi kata-kata pertama (Desmita, 2009: 114). Sering kali bentuk-bentuk fonologis yang sama muncul ketika dia sedang bermain sendiri, bermain dengan orang lain, ketika dia sedang dimandikan, makan dan melakukan aktivitas lain. Bunyi-bunyi yang dikeluarkan pada umur ini lebih sebagai latihan alat ucap anak. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul misalnya: (1)      
  • 26. 26             Sehubungan dengan periode ocehan bayi ini, Clark & Clark (1977) menyebutkan bahwa ocehan bayi memberikan kesan mulai munculnya bunyi bahasa dibandingkan suara tangisan bayi. Hal ini karena pada tahap ocehan bayi sering muncul gabungan antara vokal dan konsonan, seperti misalnya bababa, mamama, mememe, papapa. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode ini mulai menurun ketika anak-anak mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya yang dapat dihubungkan dengan makna. Anak memproduksi kata-kata pertama yang mengacu pada makna sekitar umur satu sampai satu setengah tahun (Clark & Clark, 1977: 391). Sementara Desmita (2009:114) mengungkapkan bahwa pada ulang tahun pertama, anak menguasai kira-kira 12 kata dan penguasaan ini meningkat secara dramatis hingga diperkirakan sekitar 300 kata atau lebih pada ulang tahun yang kedua. Pada kasus Lila, ketika dia berumur 1;2, dua bulan setelah ulang tahunnya yang pertama, baru terdeteksi hanya beberapa bentuk fonologis yang dapat direlasikan dengan makna tertentu. Bentuk- bentuk tersebut, yaitu Bunyi  sering
  • 27. 27 terdengar ketika anak melihat ibunya atau barang-barang yang berhubungan dengan ibunya. Misalnya, ketika suatu siang ibunya pulang dari bekerja dan menaruh tas tangannya di teras rumah, Lila berusaha mengambil tas tersebut dan mengatakan  sambil menunjuk-nunjuk tas tersebut. Bunyi  juga sering keluar ketika anak melihat ayahnya atau ketika dia ingin digendong ayahnya. Bunyi ini juga terdengar ketika anak menunjuk-nunjuk benda-benda yang berhubungan dengan ayahnya. Misalnya, ketika anak melihat secangkir kopi yang terletak di atas meja di teras rumah, anak menunjuk-nunjuk cangkir tersebut sambil mengatakan  yang di ulang-ulang, bahkan jika cangkir tersebut kosong dan tidak berisi kopi, anak juga mengatakan . Hal ini bisa dimengerti karena di rumah tersebut, setiap orang memiliki cangkir yang berbeda. Khusus untuk ayahnya, ayah Lila memiliki cangkir kopi yang besar, yang warnanya selalu sama. Sementara ibunya memiliki cangkir teh yang lebih kecil yang memiliki warna berbeda dengan cangkir kopi. Cangkir-cangkir tersebut memiliki hubungan yang sangat khas dengan pemiliknya dan anak terbiasa melihat setiap cangkir tersebut berada dalam genggaman orang tuanya, khususnya di pagi hari. Khusus untuk bentuk fonologis  dan  juga sering terdengar pada produksi bunyi pada hampir setiap anak yang memeroleh bahasa mana pun di dunia. Hal ini dijelaskan oleh Clark & Clark (1977; lihat juga Dardjowidjojo, 2000: 84-86) yang mengadaptasi teori Jakobson, yang menyebutkan bahwa dalam pemerolehan bahasa, anak mengembangkan kontras bunyi yang muncul dalam
  • 28. 28 urutan yang konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah kontras antara bunyi vokal dan konsonan. Pada umumnya bunyi vokal yang pertama muncul adalah bunyi vokal  sementara bunyi konsonan adalah konsonan hambat ,  dan . Dengan kontras tersebut, anak mampu memproduksi kata seperti papa, baba, mama. Jakobson kemudian berargumen bahwa perkembangan sistem bunyi yang diperoleh anak sejak dini tersebut memberikan penjelasan tentang mengapa kata seperti papa dan mama digunakan secara umum dalam berbagai bahasa di dunia sebagai kata yang digunakan untuk merujuk makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Kata papa dan mama merupakan bagian dari kata-kata pertama yang diproduksi anak dalam bahasa mana pun di dunia. Selanjutnya dikatakan karena orang tua bersifat egois, maka mereka memberi atribut terhadap kedua kata tersebut dengan makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Bentuk  terdengar ketika Lila melihat orang lain meninggalkan rumah. Kata dada sering diucapkan orang-orang di rumah ketika orang-orang pergi, yang selalu disertai dengan lambaian tangan. Hampir setiap hari ada anak- anak yang bermain di rumah keluarga tersebut, dan setiap kali anak-anak tetangga meninggalkan rumah, selalu mengucapkan kata dada disertai dengan lambaian tangan, yang sering dijawab dada juga oleh orang tua Lila. Jadi kata dada relatif sering didengar oleh Lila sehingga bentuk fonologis tersebut juga merupakan salah satu kata yang dikembangkan oleh Lila, yang mengacu pada makna selamat tinggal. Bentuk lain yang muncul adalah  yang mengacu pada seekor anjing tetangga yang bernama Doggy, yang selalu menghabiskan waktu di rumah
  • 29. 29 keluarga Lila karena keluarga Lila sering memberinya makan. Setiap orang memanggil anjing itu Doggy dan Lila sangat senang melihat anjing tersebut dan memanggil-manggilnya . Sementara bentuk fonologis [] merujuk pada binatang unggas, yaitu ayam. Ayam adalah salah satu binatang yang juga sering ada di pekarangan rumah. Ayam-ayam tetangga sering datang berkeliaran dan Lila pada umur 1;2 melafalkan []. Mengapa Lila merujuk binatang tersebut dengan bunyi yang jauh dari kata ayam? Pada suatu saat, ketika Lila berumur satu tahun, neneknya dari pihak ayah tinggal di Bali selama tiga bulan. Nenek Lila selalu berkomunikasi dengan Lila dalam bahasa Jerman dan setiap kali ada ayam yang berkeliaran di pekarangan rumah, neneknya selalu menunjuknya dan mengatakan kikeriki. Bunyi kikeriki adalah tiruan suara ayam dalam bahasa Jerman yang di dalam bahasa Indonesia biasanya disuarakan kukuruyuk. Pada akhirnya, setiap kali melihat ayam, Lila selalu melafalkan []. Dapat dilihat bahwa bunyi [] yang muncul digunakan untuk mengganti bunyi [] yang saat itu belum dikuasai oleh Lila. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan bunyi Jakobson (1972) yang menyatakan bahwa bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar. Bentuk lain, yaitu [] merujuk benda yang berupa bunga. Sejak Lila usia dini, dia sudah tertarik pada warna-warna di sekitar rumah, terutama warna-warna bunga yang ada di kebun. Warna-warna terang seperti merah, oranye dan ungu merupakan warna-warna bunga bougainvillaea yang ada di kebun rumah. Kalau
  • 30. 30 diajak berjalan-jalan di sekitar kebun, maka dia menunjuk-nunjuk bunga dan mengatakan []. Melihat data perkembangan bunyi awal yang dikuasai Lila, seperti dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi bahasa Lila mengikuti teori perkembangan fonologi anak yang dicetuskan oleh Jakobson (1971) yang juga termuat dalam Clark dan Clark (1977: 392). Jakobson menemukan bahwa kontras bunyi dikuasai anak secara konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah antara bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal pertama yang muncul adalah bunyi depan-rendah yang diproduksi dengan posisi mulut terbuka lebar dengan posisi lidah yang datar. Bunyi ini direpresentasikan dengan bunyi A. Bunyi ini sering dikombinasikan dengan kontras konsonan, biasanya bunyi hambat- bilabial baik yang bersuara maupun tak bersuara P- Byang sering difluktuasikan di antara keduanya. Lambang huruf kapital digunakan untuk menggambarkan kontras yang muncul, mengingat bahwa pada tahap perkembangan bunyi awal yang dikuasai anak, segmen yang muncul sangat bervariasi. Menurut Jakobson, kontras selanjutnya yang muncul dalam sistem bunyi konsonan adalah kontras bunyi oral dan nasal konsonan, yaitu antara bunyi oral bilabial dan nasal bilabial, yaitu P-BM(lambang Mdi sini merepresentasikan segmen nasal pertama yang muncul, namun realisasi bentuk fonetiknya bisa bervariasi dari suatu produksi ke produksi lain). Pada tahap ini, yaitu tahap awal perkembangan bunyi, Clark dan Clark menyebutkan bahwa
  • 31. 31 anak-anak mengembangkan “bentuk-bentuk kata” yang potensial seperti: ba, pa, ma, baba, papa dan mama. Kontras selanjutnya yang muncul adalah antara konsonan bilabial dan konsonal dental. Konsonan P-B dikontraskan dengan konsonan T-D, dan M dikontraskan dengan N. Di bawah ini adalah bagan tahap perkembangan kontras konsonan yang dikembangkan oleh Lila ketika berumur 1;2. Konsonan P-B Oral P-B Nasal M Bilabial P-B Alveolar T-D Bilabial M Alveolar N Bagan 5.2: Tahap Perkembangan Kontras Konsonan yang Dikuasai Lila Bagan di atas sesuai dengan bagan yang digambarkan oleh Clark dan Clark (1977: 39).
  • 32. 32 Pada umur 1;2, fonem konsonan yang muncul secara konsisten adalah Titik/Cara Bilabial Alveolar Palatal Velar Glotal Artikulasi Hambat     Frikatif  Afrikat Nasal   Getar Lateral Semivokal Bagan 5.3: Fonem Konsonan Umur 1;2 Pada bagan 5.3, terlihat bahwa bunyi-bunyi anterior, yang diproduksi di bagian depan mulut diproduksi lebih awal oleh Lila, sementara bunyi-bunyi belakang belum mampu untuk dikembangkan. Bunyi glotal h adalah bunyi yang berada di antara vokal dan konsonan yang cenderung lebih mudah untuk dikuasai anak. Bunyi-bunyi anterior yang bilabial, misalnya, hanya dengan menggerakkan bibir sedikit saja, bunyi tersebut sudah muncul. Pengucapan bunyi-bunyi tersebut paling mudah dikuasai anak. Sementara bunyi lain, yang diproduksi di belakang bagian mulut, lebih sulit karena untuk dapat mengeluarkan bunyi-bunyi tersebut, Lila harus menggunakan lidahnya atau membutuhkan gigi yang sudah tumbuh secara normal. Namun, pada umur 1;2, Lila belum memiliki cukup gigi serta belum dapat menggunakan lidahnya secara optimal.
  • 33. 33 Tiga bulan kemudian, ketika Lila berumur 1;5, bunyi-bunyi yang muncul sudah semakin bertambah. Bunyi vokal , ,  dan konsonan frikatif  dan velar-hambat  sudah mulai muncul. Namun, kemunculan bunyi  dan  masih sangat terbatas, yaitu hanya pada akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul sudah merujuk benda-benda tertentu, baik yang ada di sekelilingnya maupun dari gambar-gambar yang dilihat (Pada setiap data fonologis yang muncul dalam penelitian ini, ditulis dalam tiga lajur. Lajur pertama adalah bunyi- bunyi yang diproduksi anak, lajur kedua adalah bunyi ideal yang seharusnya diproduksi, dan lajur ketiga adalah kata-kata yang diproduksi). Bunyi-bunyi yang terdengar,yaitu (2)   ‘sabun’   ‘air’   ‘bebek’   ‘ikan’   maem (informal)’ ‘makan’   ‘lampu’   ‘habis’ Beberapa bentuk fonologis yang muncul sering merepresentasikan lebih dari satu makna. Misalnya, bunyi terdengar ketika Lila melihat air, atau gelas, cangkir, botol, atau dot. Ketika anak melihat gambar gelas, dia juga
  • 34. 34 menyebutnya begitu juga ketika dia melihat botol di atas meja. Meskipun botol itu kosong tidak berisi air, dia tetap mengatakan Demikian juga halnya dengan bentuk fonologis Untuk Lila, adalah bebek itu sendiri atau angsa. Keluarga tersebut memiliki dua ekor angsa, dan pada umur 1;5, Lila masih memanggil angsa dengan bentuk fonologis Mengapa angsa disebut oleh anak? Hal ini dapat dijelaskan, baik secara semantis maupun fonologis. Secara semantis, angsa memiliki ciri-ciri fisik yang mirip dengan bebek. Keduanya merupakan binatang unggas yang berkaki dua dan berbulu serta berparuh. Dalam buku anak-anak yang sering ditunjukkan kepada anak sering terlihat gambar bebek atau itik yang merupakan anak bebek. Anak sering diperkenalkan bahwa binatang tersebut bernama bebek, sehingga ketika Lila melihat angsa yang berjalan-jalan di kebun rumah, dia memanggilnya karena untuk umurnya yang masih sangat muda, anak belum bisa membedakan bahwa angsa memiliki leher yang lebih panjang daripada bebek. Sementara dari segi fonologis, kata angsa terdiri dari bunyi-bunyi yang secara artikulatoris belum bisa diucapkan oleh anak pada umur tersebut. Pada umur 1;5, Lila belum mampu untuk memproduksi bunyi  serta bunyi  yang berada di posisi tengah kata. Dengan kata lain bunyi bebek dipilih oleh anak karena secara kodrati bunyi tersebut yang terdiri atas bunyi konsonan bilabial lebih mudah disuarakan oleh anak. Bentuk fonologis lain yang diproduksi, yang sering memiliki lebih dari satu makna adalah , bentuk  merujuk pada binatang babi, baik
  • 35. 35 yang dia lihat di kenyataan maupun di gambar. Kata  juga digunakan ketika anak melihat gambar gajah. Setiap kali melihat gambar gajah ataupun melihat seekor gajah di TV, Lila memanggilnya . Pada umur 1;5 kata-kata yang merujuk pada makna suatu benda atau keadaan dalam bahasa Jerman juga sudah mulai terdengar meskipun realisasi fonem yang muncul adalah realisasi fonem bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut dapat dilihat di bawah ini. (3)  h heiß    meao ‘suara kucing’   banane ‘pisang’ Kata heiß yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘panas’ adalah salah satu kata bahasa Jerman yang sering diucapkan Lila. Ini bisa dimengerti karena, setiap kali dia mendapat makanan, makanan yang diberikan masih dalam keadaan hangat. Sebelum mulai makan, untuk menghindari anak terkejut dengan makanan yang mungkin agak panas, orang tuanya selalu mengatakan achtung heiß ‘hati- hati panas’. Hal yang menarik, yang dapat dilihat di sini adalah bahwa pada umurnya yang masih sangat muda, Lila memproduksi beberapa kata dalam bahasa Jerman dan kata-kata ini muncul secara konsisten. Memang dalam produksi bahasanya, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan yang dikeluarkan anak. Hal ini dapat dimengerti karena masukan yang diperoleh anak dari lingkungan sekitarnya
  • 36. 36 kebanyakan dalam bahasa Indonesia. Dari segi kuantitas, orang yang berbicara kepada anak dalam bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada orang yang berbicara dalam bahasa Jerman. Beberapa kata yang secara konsisten diproduksi dalam bahasa Jerman adalah sebagai berikut. (4)   kiekiriki ‘tiruan bunyi ayam’   heiß ‘panas’   banane ‘pisang’ nain  nein ‘tidak’   affe ‘monyet’   hand ‘tangan’   buch ‘buku’   bauch ‘perut’   kuh ‘sapi’   clown ‘badut’   auto ‘mobil’ Pada data (4), kata-kata tersebut mulanya selalu diucapkan dalam bahasa Jerman. Contohnya, sampai umur 1;8, anak selalu menyebut atau memanggil ayam dengan bunyi otopea dalam bahasa Jerman, yaitu  kiekiriki ‘bunyi suara ayam’. Ini disebabkan saat anak berumur sekitar satu tahun, neneknya yang berasal dari Jerman tinggal di Bali selama tiga bulan. Setiap hari ketika melihat ayam, neneknya memperkenalkan kepada anak bahwa ayam itu berbunyi kiekiriki. Karena saat itu anak belum menguasai bunyi velar-hambat-tak bersuara
  • 37. 37 , maka yang keluar adalah bunyi alveolar-hambat–tak bersuara , yang memiliki kesamaan fonetis dengan bunyi k. Kata ayam yang terealisasi dalam bentuk fonetis  baru muncul ketika anak berumur 1;9. Dari segi fonologis, munculnya  mendahului bunyi  juga dapat dijelaskan karena bunyi  yang merupakan bunyi palatal-semivokal secara natural dikembangkan lebih lambat daripada bunyi-bunyi alveolar. Hal yang serupa juga terjadi dengan kata  banane ‘pisang’. Bunyi  jauh lebih dahulu dikembangkan daripada kata  ‘pisang’ yang baru aktif digunakan ketika anak berumur 2;1. Jika kita lihat, kata banane terdiri atas bunyi-bunyi konsonan bilabial dan alveolar yang secara natural lebih dahulu dikembangkan oleh anak daripada kata pisang yang di dalamnya terdapat bunyi alveolar-frikatif-tak bersuara  dan bunyi velar-nasal . Sementara untuk kata  buch ‘buku’ dan  auto ‘mobil’, masukan yang didapat sangat identis dengan ayahnya. Ayah Lila adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada buku. Setiap kali bepergian hal yang dibawa pulang sebagai hadiah untuk anaknya sering berupa buku anak-anak yang penuh dengan gambar-gambar. Ayah dan nenek yang berasal dari Jerman selalu memperkenalkan anak pada buku-buku yang baru. Buku sering dipakai ayah Lila untuk melatih anak untuk mengetahui benda-benda atau hal-hal yang ada di sekitar anak. Begitu juga dengan kata  auto ‘mobil’. Hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan sering diketahui anak dari ayahnya.
  • 38. 38 Pada kasus yang ditemukan dalam penelitian ini, data yang terdapat pada (4), pada tahap ujaran bunyi satu kata pada awalnya, selalu muncul dalam bahasa Jerman dan tidak dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kata-kata yang terdapat dalam data (2) yang selalu diucapkan dalam bahasa Indonesia, pada awalnya tidak pernah diproduksi dalam bahasa Jerman. Temuan ini mendukung pendapat perkembangan awal bilingualisme yang ditulis oleh Grosjean (1982: 183) yang mengadaptasi hipotesis Volterra dan Taeschner, yang dikembangkan pada tahun 1978. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa tahap pertama dalam perkembangan bahasa anak bilingual adalah tahap satu sistem linguistik atau satu sistem leksikal yang mengandung kata-kata dari kedua bahasa yang diperolehnya. Selanjutnya dikatakan bahwa hal yang menarik dalam tahap pertama pemerolehan bahasa anak bilingual adalah ketika anak memiliki satu sistem leksikal yang terdiri atas kata-kata yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperoleh jarang ada ketumpang tindihan di antara kata-kata yang diproduksinya. Hal ini sesuai dengan yang dilukiskan dari hasil penelitian Imedadze dan Uznadze (Grosjean, 1982), yang meneliti anak bilingual Rusia-Georgia. Misalnya, anak menggunakan bahasa Rusia untuk bunga tsiti dan bahasa Georgia untuk bola buti, tetapi anak tidak pernah menggunakan kata bunga dalam bahasa Georgia, begitu pun sebaliknya kata buti, dalam bahasa Rusia. Peneliti lain yang mendukung hipotesis bahwa pada awalnya anak bilingual memiliki satu sistem linguistik yang mengkombinasikan elemen-elemen dua bahasa yang disuguhkan
  • 39. 39 kepadanya adalah Swain yang meneliti anak bilingual untuk topik disertasinya (Grosjean, 1982). Dalam bahasa Bali, kata yang muncul adalah  jajak ‘kue’ dan  mai ‘sini’. Dua kata ini sering terdengar ketika Lila bermain dengan teman- temannya. Setiap kali ada beberapa teman yang bermain, salah satu dari mereka pasti memanggil teman lain dengan kata mai-mai sambil melambai-lambaikan tangan mereka ke arah teman yang baru datang. Ketika mereka sedang bermain itulah, kerapkali ada anak yang membawa jajanan karena salah satu rumah tetangga adalah warung penjual jajan, dan mereka sering mengatakan, Mau jajak? Kata jajak diserap oleh Lila dan yang muncul kemudian adalah bunyi dadak. Pada umur 1;6, Lila mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang terdiri atas dua kata, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas. Dengan demikian, muncullah bentuk-bentuk seperti: (5)  a ‘apa ini’   ‘tidak ada’   ‘papa duduk’ Satu bulan kemudian, bunyi-bunyi semivokal  dan  serta bunyi afrikat  dan  mulai muncul. Bunyi-bunyi seperti di bawah ini mulai terdengar. (6)   ‘bawa’
  • 40. 40   ‘awas’   ‘berat’   ‘kecil mama’   ‘hujan’ Khusus untuk bunyi afrikat  dan  kemunculannya masih sangat terbatas pada kata   ‘hujan’. Namun pada produksi kata-kata yang lain yang mengandung bunyi  dan , bunyi  sering diganti dengan bunyi  dan bunyi  sering diganti dengan bunyi , sehingga bentuk- bentuk yang diproduksi anak adalah sebagai berikut: (7)   ‘cicak’   ‘kencing’   ‘jajak’   ‘jatuh’ Menginjak umur 1;8, meskipun belum ada elemen bunyi baru yang dikuasai selain apa yang dikembangkan pada umur 1;7, kuantitas bunyi yang memiliki makna dalam bahasa Jerman mulai lebih terdengar dan lebih konsisten. Meskipun realisasi fonem yang dikeluarkan masih dipengaruhi oleh bunyi-bunyi bahasa Indonesia. Contoh: (8)   auto ‘mobil’   buch ‘buku’   maus ‘tikus’
  • 41. 41   kuh ‘sapi’  ö könig ‘raja’   clown ‘badut’ Elemen bunyi baru mulai muncul lagi ketika Lila berumur 1;9. Elemen bunyi tersebut adalah bunyi palatal-nasal ñ. Lila mulai bisa mengembangkan bunyi tersebut dalam kata-kata seperti : (9) ñ mñ ‘monyet’  ñ ada ñ ‘ada monyet’ ini uñ ini ñ ‘ini bunyi’ uda bañ ñak ‘sudah banyak’ Pada bulan berikutnya, usia 1;10, Lila juga mulai mengeluarkan bunyi- bunyi yang terdiri atas tiga kata. Pada umur ini, anak sudah belajar merangkai kata-kata pendek. Meskipun ujaran-ujaran yang dikeluarkan belum sempurna, namun makna dari apa yang diucapkannya, dapat ditangkap. (10) [] [] ‘mama cuci muka’ [] [] ‘cuci muka mama’  [ ñ] ‘ini punya Ina’  [] ‘Ini jajak kuskus’  [] ‘Papa duduk di sini’
  • 42. 42 Setelah mengembangkan bunyi ñ, dua bulan kemudian pada bulan Mei 2008, saat Lila menginjak umur 1;11, sebulan sebelum ulang tahunnya yang kedua, dia mulai menguasai bunyi lateral  seperti dalam ujaran  ‘jalan-jalan’. Jika digambarkan dalam bagan, maka fonem vokal yang sudah dikuasai Lila sampai berumur 2;0 adalah sebagai berikut:     ə  ɛ Ɔ   Bagan 5.4: Fonem Vokal Umur 2 Tahun Sementara fonem konsonan yang dikuasai adalah seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini. Titik/cara Bilabial Labio Alveolar/denta palatal Velar Glotal Artikulasi dental l Stop/hambat Tak    bersuara   bersuara Frikatif  
  • 43. 43 Afrikat   Nasal   ñ Lateral  Getar Semivokal   Bagan 5.5: Fonem Konsonan Umur 2 Tahun Setelah Lila berumur 2 tahun, bunyi-bunyi yang dikembangkan masih tetap sama, namun ada tambahan bunyi baru yang muncul ketika anak berumur 2;1, yaitu bunyi velar-nasal Bunyi ini muncul di antara bunyi vokal dan di akhir kata. (11)  ‘dingin’ binta  ‘bintang’   ‘Koming’ ila  ‘hilang’ Selain bunyi bunyi yang dikembangkan setelah anak berumurBunyi ini muncul dengan jelas ketika anak berumur 2:5. Ini tampak ketika anak mengatakan lagi om lagi Tahapan-tahapan perkembangan bunyi bahasa yang diperoleh Lila yang terealisasi dalam bentuk-bentuk fonologis juga sesuai dengan teori perkembangan bahasa anak yang dicetuskan oleh Piaget. Piaget mengemukakan bahwa
  • 44. 44 perkembangan kognitif anak memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa anak dan pada saat yang sama membatasi level pemerolehan bahasa itu sendiri (Taylor, 1990: 231). Melihat perkembangan bentuk-bentuk fonologis yang dilafalkan oleh Lila, kata-kata yang diacu pada umur 1;2 sampai 2;6 masih merujuk pada benda-benda, kegiatan maupun orang-orang yang ada di sekitar anak atau dekat dengan anak. Ketika penelitian ini dilakukan anak masih dalam tahap sensori motor dan baru menginjak tahap pra operasional. Pada tahap ini anak belajar tentang dunianya melalui rasa, melihat maupun manipulasi terhadap objek. Anak mulai memproduksi kejadian-kejadian atau mengucapkan benda- benda yang dilihatnya atau meniru orang-orang yang ada di sekitarnya. Saat berumur 2;4, Lila juga banyak berlatih berbicara melalui cerita-cerita yang sering dibacakan oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Cerita-cerita tersebut adalah cerita anak-anak yang termuat dalam buku-buku kecil. Sering, ketika sudah selesai dibacakan cerita, Lila sendiri mengambil buku tersebut dan membolak balikkan halaman buku serta melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku sambil mengatakan apa yang dia lihat pada gambar tersebut. Contoh menarik terdapat pada rekaman dalam DVD yang diambil pada Oktober 2008 ketika Windi dan Lila melihat-lihat salah satu cerita yang berjudul Si Jempol. (12)Windi : Ini apa? Lila :  ojoh melah ‘ogoh-ogoh merah’ Windi : Men Ini? Lila : ojoh ojoh ijao ‘ogoh-ogoh hijau’ Windi : Ini ogoh-ogohnya kenapa ini?
  • 45. 45 Lila : Is ‘nangis’ Windi : Kok nangis dia? Lila :  ‘mau ibu’ Windi : Di kasi apa dia? Lila :  ‘kasih hadiah’ Windi : Siapa ini? Lila : ñ ‘papanya’ Windi : Bukan, si Jempol Lila : ñ ‘papanya’ Latihan-latihan berbicara seperti ini, dengan melihat gambar dalam cerita juga sering dilakukan oleh Lila dengan ayahnya. Meskipun ayahnya berbicara menggunakan bahasa Jerman, Lila sering meresponnya dengan bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa keterampilan pasif Lila dalam bahasa Jerman jauh melebihi produksi anak dalam bahasa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena di lingkungan rumah, ayah Lila adalah satu-satunya orang yang menggunakan bahasa Jerman secara aktif kepada Lila. Salah satu rekaman yang menarik untuk dilihat adalah percakapan yang terjadi antara ayah Lila dan Lila pada bulan November 2008. Pada saat itu, Lila membolak- balik sebuah cerita yang berjudul Periuk Bunbuku. (13)Frank : Was ist das schoon buch? ‘Buku apa itu?’ Lila :  ‘periuk’
  • 46. 46 Frank : O, und kenst du das buch? ‘O, Apa kamu tahu buku itu?’ Lila :  ‘periuk’ Frank : Oh Pinokio Lila :  ‘ndak-ndak periuk’ Frank : O ya, ya, jetzt verstehe ich. Erzähltmal was gehts das? ‘O ya, ya.sekarang aku mengerti. Coba ceritakan, apa itu?’ Lila :  ‘pada suatu hari, ini musang nangis’ Frank : Warum? ‘kenapa?’ Lila : ’ mau roti sama butter/mentega’ Frank : Ya genauch, die haben keine essen ya ‘Ya tentu saja, mereka tidak punya makanan ya.’ Percakapan-percakapan seperti di atas sering terjadi antara ayah dan anak. Sampai Lila berumur 2;6, Lila masih sering menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang diungkapkan dalam bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia, meskipun kata-kata dalam bahasa Jerman sudah muncul di sana sini, tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia masih sangat mendominasi produksi bahasa Lila. Kebanyakan dari anak-anak yang disuguhi bahasa bilingual tidak sadar bahwa mereka disuguhi dua sistem bahasa yang berbeda sampai anak berumur dua tahun (Watson, 1992: 34). Demikian juga halnya dengan Lila, bahkan sampai umur dua setengah tahun belum terlihat bahwa dia menyadari perbedaan linguistik tersebut terlihat dari jawaban-jawaban dalam bahasa Indonesia yang diberikan
  • 47. 47 kepada ayahnya ketika ayahnya bertanya dalam bahasa Jerman. Produksi kata- kata yang dikeluarkan Lila terdiri dari kata-kata, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman. Dia belum bisa memilah kepada siapa bahasa Indonesia harus digunakan dan kepada siapa kata-kata dalam bahasa Jerman harus digunakan. Pada saat penelitian ini selesai dilakukan, yaitu ketika anak berumur 2;6 tidak ada tambahan fonem konsonan baru yang dikuasai anak. Jadi, jika digambarkan dalam bagan, fonem konsonan yang dikuasai anak sampai umur 2;6 adalah sebagai berikut: Titik/cara Bilabial Labio Alveolar/dental palatal Velar Glotal Artikulasi dental Stop/hambat Tak    bersuara    bersuara Frikatif   Afrikat   Nasal   ñ  Lateral  Getar Semivokal   Bagan 5.6: Fonem Konsonan Umur 2;6
  • 48. 48 Perkembangan bunyi yang dikuasai anak dari umur 1;2 sampai 2;6 digambarkan dalam grafik perkembangan bunyi anak berikut ini. Umur 1;2 1;5 1;7 1;9 1;11 2;4 Bunyi Vokal   ñ   Bunyi konsonan     Grafik 5.1 Grafik Perkembangan Bunyi Anak Umur 1;2 sampai 2;6 Pada grafik 5.1 terlihat bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai oleh anak sangat ditentukan oleh posisi bunyi tersebut diproduksi. Semakin ke depan posisi bunyi, semakin mudah anak untuk memproduksinya. Bunyi-bunyi yang diproduksi di bagian belakang mulut, akan diperoleh lebih lambat. Melihat bunyi-bunyi yang dikembangkan oleh Lila sebagai anak yang disuguhi bahasa dalam lingkungan bilingual dapat dikatakan bahwa elemen bunyi yang dikuasai serta urutan perkembangan bunyi yang dikuasainya sesuai dengan teori perkembangan bunyi yang dicetuskan oleh Jakobson (1971). Jakobson mencetuskan teori yang sangat berpengaruh tentang pemerolehan sistem bunyi yang secara eksklusif menekankan pada pemerolehan bunyi yang benkontras
  • 49. 49 (Clark&Clark, 1977: 392-393). Jakobson berhipotesis bahwa cara anak-anak menguasai bunyi bahasa sangat erat kaitannya dengan fitur-fitur bahasa yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia secara umum. Rumusan hipotesanya dapat dilihat berikut ini. a. Secara umum anak-anak memeroleh kemampuan untuk memmroduksi bunyi-bunyi bahasa dengan menguasai kontras dari bahasa orang dewasa. b. Urutan pemerolehan kontras bunyi ini berlaku secara universal c. Urutan pemerolehan bunyi ini dapat diprediksi, dilihat dari kontras yang ditemukan dalam bahasa-bahasa di dunia. Bunyi-bunyi yang tersebar paling banyak pada semua bahasa akan dikuasai lebih dulu, sementara bunyi-bunyi khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan. d. Anak-anak secara kontinyu akan mengembangkan kontras-kontras bunyi yang terdapat dalam bahasa dewasa mereka. Secara umum, Lila mengikuti urutan perkembangan bunyi yang digagas oleh Jakobson seperti yang diuraikan di atas. Lila pada awalnya paling sering menyuarakan vokal  selanjutnya vokal i dan u. Karena titik tolak penelitian ini adalah saat anak berumur 1;2, dapat dikatakan bahwa ketika anak berumur 1;2 ketiga bunyi tersebut telah muncul secara silih berganti dan secara kuantitas memang bunyi  menduduki posisi paling atas. Namun, dua bunyi vokal lain tidak bisa dipastikan mana yang muncul lebih dahulu, karena saat
  • 50. 50 penelitian ini mulai dilakukan kedua bunyi tersebut sudah diproduksi anak, begitu juga dengan bunyi vokal lain, yaitu bunyi . Teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi konsonan juga secara umum dipatuhi oleh Lila. Bunyi-bunyi konsonan yang muncul paling awal adalah bunyi- bunyi bilabial, yaitu bunyi hambat-bilabial-ringan  dan nasal-bilabial . Bunyi-bunyi konsonan yang diperoleh juga semakin berkembang dengan dikuasainya bunyi hambat-bilabial-berat . Selanjutnya bunyi konsonan yang dikembangkan adalah bunyi-bunyi alveolar, yaitu bunyi nasal-alveolar , hambat-alveolar- ringan  dan hambat-alveolar-berat . Setelah bunyi-bunyi hambat- alveolar dan nasal-alveolar dikuasai, baru kemudian bunyi-bunyi frikatif muncul. Bunyi frikatif yang muncul adalah bunyi frikatif-palatal  dan bunyi frikatif-glotal . Namun kemunculan kedua bunyi frikatif tersebut masih sangat terbatas, yaitu hanya muncul di akhir kata. Selanjutnya, muncul satu-satunya bunyi velar, yaitu bunyi . Kemunculannya pun juga sangat terbatas, yaitu di akhir kata. Menjelang umur dua tahun Lila juga mengembangkan bunyi-bunyi afrikat  dan , namun-bunyi-bunyi tersebut hanya muncul di antara bunyi vokal. Dua bunyi konsonan terakhir yang dikuasai Lila beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang kedua adalah bunyi palatal-nasal ñ dan bunyi lateral . Sampai pada ulang tahunnya yang kedua, Lila belum menguasai bunyi velar-berat dan bunyi nasal-velar. Bunyi frikatif-labio dental dan bunyi getar juga belum dikembangkan. Bunyi velar-nasal , baru muncul ketika Lila berumur 2;1 atau
  • 51. 51 setelah ulang tahunnya yang kedua. Bunyi   dikuasai ketika anak berumur 2;5.  Sampai umur 2;6 tidak terdeteksi ada bunyi baru yang dikembangkan oleh anak. Dalam kasus Lila, meskipun dia diajak berkomunikasi oleh orang tuanya dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman dapat dilihat bahwa bunyi bahasa Indonesia yang diproduksi anak lebih dominan daripada bahasa Jerman. Hal ini dapat dimengerti karena lebih banyak orang yang berkomunikasi kepada anak dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jerman. Hal ini dapat dilihat, khususnya ketika anak memroduksi kata-kata yang memiliki makna dalam bahasa Jerman realisasi fonem yang muncul adalah fonem bahasa Indonesia. Di bawah ini adalah sebaran fonem vokal dalam bahasa Jerman. Depan Tengah Belakang Tinggi   ü u  ü u Mid   ö o  o 
  • 52. 52   Bawah        Sumber: Finegan (2004) Bagan 5.7: Bagan Fonem Vokal dalam Bahasa Jerman Sampai berumur 2;0, Lila belum bisa memproduksi bunyi-bunyi vokal yang khusus ada dalam bahasa Jerman, seperti bunyi vokal-depan-bundar-tinggi ü , vokal-depan-bundar –sedang ö dan vokal-depan-bundar-rendah   . Vokal depan bundar dihasilkan dengan mengucapkan vokal depan takbundar dengan membundarkan bibir tanpa menggerakkan lidah. Bunyi-bunyi depan bundar tersebut, biasanya diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kedekatan fonetis. Misalnya ketika Lila mengatakan könig maka yang ke luar adalah  onik atau ketika dia mengatakan grün maka yang diproduksi adalah       . Dalam studi kasus ini sampai penelitian dihentikan, ketika anak berumur 2;6, anak mengalami kesulitan atau belum menguasai bunyi-bunyi yang merupakan fitur-fitur bunyi vokal yang hanya ada dalam bahasa Jerman dan tidak terdapat dalam fitur bunyi bahasa Indonesia. Bunyi ü biasanya diganti dengan bunyi vokal- belakang -bundar –tinggi u dan bunyi ö biasanya diganti
  • 53. 53 dengan bunyi vokal-belakang-bundar-sedang o . Hal ini dapat dijelaskan bahwa anak dalam proses perkembangan bahasanya cenderung untuk mengikuti bunyi-bunyi yang muncul secara universal. Artinya, bunyi yang dipilih oleh anak adalah bunyi-bunyi yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperolehnya. Sementara itu, bunyi-bunyi yang khusus terdapat dalam bahasa-bahasa tertentu akan diperoleh kemudian. Ini sesuai dengan hipotesa Jakobson yang diuraikan oleh Clark & Clark (1977) yang menyatakan bahwa bunyi-bunyi yang dikuasai terlebih dahulu adalah bunyi yang paling banyak tersebar, sementara bunyi-bunyi yang muncul khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan. Grosjean (1982) melukiskan bahwa adanya pengaruh bahasa dominan terhadap bahasa yang lebih lemah sering terjadi pada kasus-kasus perkembangan bahasa anak bilingual, di samping juga adanya kecenderungan anak untuk menghindari bunyi-bunyi yang sulit, yang hanya ada pada bahasa yang lebih lemah. Dalam kasus Lila, bahasa Jerman memiliki posisi yang lebih lemah karena keluarga tinggal di Indonesia, sehingga secara otomatis bahasa Indonesia didengar dan digunakan secara lebih aktif oleh anak. Dari ulasan dan perkembangan elemen bunyi yang muncul pada studi kasus anak bilingual ini dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Dardjowijojo (2000) yang meneliti pemerolehan bahasa anak monolingual, yaitu pemerolehan bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa perkembangan elemen bunyi yang dikuasai Lila, yang merupakan anak yang disuguhi lingkungan bahasa yang bilingual, hampir sama dengan perkembangan bunyi yang diperoleh oleh Echa. Kemiripan tersebut terlihat baik dalam elemen-elemen bunyi yang muncul
  • 54. 54 maupun urutan perkembangannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa bahasa apa pun yang diperoleh oleh anak, monolingual maupun bilingual urutan serta pola perkembangan bahasanya adalah sama. Grosjean (1982) memaparkan pendapat McLaughlin yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa pada dasarnya sama dilihat dari fitur-fitur bahasa yang dikembangkan serta urutan perkembangannya baik untuk anak monolingual maupun bilingual. Selanjutnya dinyatakan bahwa perbedaan di antara keduanya adalah anak bilingual memiliki tugas untuk membedakan dua sistem bahasa yang berbeda, namun sampai saat ini belum ada bukti bahwa anak-anak tersebut memerlukan piranti pemroses bahasa khusus untuk melakukannya. Hal yang senada diungkapkan oleh Myers-Scotton (2006: 326), yang menyebutkan bahwa beda anak bilingual dengan monolingual adalah mereka melalui tahapan perkembangan dalam dua bahasa. Oleh karena itu, lanjutnya, secara natural, anak-anak akan bertutur dalam bahasa apa pun yang digunakan oleh orang tua atau orang-orang lain yang mengasuhnya saat berkomunikasi dengan mereka, baik itu dalam satu bahasa, dua bahasa bahkan lebih. 5.2 Distribusi Fonem yang Diproduksi Anak Chaer (2009: 89) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan distribusi fonem adalah letak atau beradanya sebuah fonem di dalam satu satuan ujaran, yang kita sebut sebuah kata atau morfem. Fonem pada umumnya dapat berada pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata. Secara khusus ada fonem yang hanya muncul di awal kata atau di tengah kata atau di akhir kata saja. Kadang-kadang ada juga fonem yang muncul di awal kata atau di akhir kata saja.
  • 55. 55 Selanjutnya Chaer menyebutkan bahwa fonem vokal memang selalu dapat menduduki posisi pada semua tempat – walaupun tidak pada semua bahasa-, berkenaan dengan posisinya sebagai puncak kenyaringan pada setiap silabel, sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian: mungkin dapat menduduki posisi awal dan akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi pada awal. Berikut ini adalah distribusi fonem pada kata-kata yang diproduksi oleh Lila ketika dia mencapai umur 2;6. a. Distribusi Fonem Vokal 1. Vokal /a/ - dalam realisasi produksi bunyi, fonem ini dapat muncul dalam semua posisi. Kata-kata dalam bahasa Indonesia,      ‘ada’,       ‘main’,       ‘sama’. - bahasa Jerman, seperti tampak dalam contoh:       ‘mause’ ‘tikus’,      ‘auch’ ‘juga’,      ‘nenek’. 2. Vokal /i/
  • 56. 56 - dalam realisasi produksi bunyi bahasa Indonesia dapat muncul dalam semua posisi, contoh:      ‘ini’,       ‘hari’,       ‘bisa’. - dalam bahasa Jerman baru muncul pada posisi tengan dan akhir kata saja seperti tampak dalam contoh:      ‘eis‘ ‘es’        ‘cowboy’. 3. Vokal /e/ - dalam bahasa Indonesia, realisasi fonem ini telah muncul dalam semua posisi seperti tampak dalamcontoh:  meja   kadek   - dalam produksi kata bahasa Jerman, bunyi ini baru muncul dalam posisi awal dan tengah      ‘ecke’ ‘pojok’,      ‘jetzt’ ‘sekarang’. 4. Vokal / / - realisasi bunyi dari fonem ini dalam bahasa Indonesia telah muncul di semua posisi seperti dalam contoh:       ‘kecil’,        ‘terus’,      ‘apel’
  • 57. 57 - dan dalam bahasa Jerman baru terdeteksi muncul pada bagian akhir kata saja sepri dalam bunyi      ‘ecke’ ‘pojok’,        ‘meine’ ‘milik saya’,      ‘affe’ ‘monyet’. 5. Vokal /u/ - fonem ini dalam bahasa Indonesia telah terealisasi pada semua posisi seperti tampak dalam contoh:       ‘sudah’,        ‘putus’,      ‘bau’. - dalam kata bahasa Jerman baru terealisasi pada posisi tengah dan akhir kata seperti dalam contoh:      ‘auch’ ‘juga’,         ‘pußbal’ ‘sepakbola’. 6. Vokal /o/ - dalam produksi bunyi bahasa Indonesia, fonem ini sudah terealisasi dalam semua posisi seperti tampak dalam contoh:     ‘om’,        ‘kolam’,       ‘sayur’. - dalam produksi kata bahasa Jerman bunyi ini juga sudah muncul pada semua posisi seperti dalam kata     
  • 58. 58 ‘nenek’,          ‘krokodil’ ‘buaya’,      ‘auto’ ‘mobil’. b. Distribusi Bunyi Konsonan Pada bagian ini digunakan istilah bunyi, bukan fonem, untuk mendeskripsikan distribusi bunyi konsonan yang muncul karena bunyi-bunyi yang muncul sering divariasikan atau bahkan diganti dengan bunyi lain. Distribusi bunyi yang diprodukasi anak beserta contoh-contoh bunyi yang muncul dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Bunyi Bahasa Indonesia Bahasa Jerman Konsonan Posisi awal Posisi Posisi Posisi Posisi Posisi tengah akhir awal tengah akhir   -  - -    ‘putus’ ‘papa’ ‘pußball’ ‘sepakbola’   -   - b ‘bisa’ ‘habis’ ‘buch’ ‘baby’ ‘buku’ ‘bayi’      -  ‘main’ ‘koming’ ‘belum’ ‘mause’ ‘nenek’ ‘tikus’ ‘nenek’ -  - - - -  ‘pesawat’        ‘tikus’ ‘ikan’ ‘buat’ ‘kuh’ ‘auto’ ‘kaputt’ ‘sapi’ ‘mobil’ ‘rusak’   -     ‘di sana’ ‘ada’ ‘da’  ‘motorad’ ‘di sana’ ‘krokodil’ ‘sepeda ‘buaya’ motor’ - -  - -   ‘tas’ ‘mause’ ‘tikus’
  • 59. 59        ‘nangis’ ‘renang’ ‘ikan’ ‘nul’ ‘banane’ ‘achtung’ ‘nol’ ‘pisang ‘hati hati’     -  - ‘lagi’ ‘bola’ ‘ular’ ‘alle’ ‘semua’    - - - - ‘sama’ ‘kecil’    - - - - ‘jatuh’ ‘baju’  - oñet - - - - ‘monyet’   - -  - - ‘ya’ ‘jetzt’ ‘sekarang’  - -  - -  ‘rusak’ ‘könig’ ‘raja’  -  - - - - ‘lagi’  -   - - - ‘nangis’   -  - -  ‘harimau’ ‘sudah’ ‘auch’ ‘juga’ Bagan 5.8: Distribusi Bunyi Konsonan 5.3 Variasi Bunyi yang Muncul Sesuai dengan perkembangan alat-alat ucapnya, Lila sering mengganti bunyi-bunyi yang belum dia kuasai dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki kedekatan fonetis sehingga bunyi-bunyi yang dikeluarkan bervariasi. Sampai anak berumur 2;0, beberapa bunyi muncul secara terbatas dan ada beberapa bunyi yang belum muncul sama sekali. Di bawah ini akan dibahas variasi-variasi bunyi yang dikembangkan oleh Lila.
  • 60. 60 a. Bunyi hambat- velar- takbersuara  Bunyi hambat-velar-takbersuara  hanya muncul secara terbatas, yaitu di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagi berikut. (14)  ‘bebek’ na  ‘naik’ m  ‘kumik’ (nama seorang teman) dada  jajak ‘kue’ Bunyi  pada posisi awal kata sering dilesapkan atau diganti dengan bunyi hambat-alveolar- tak bersuara . Contoh (15)  ‘kapal’   ‘kecil’   ‘kacang’ (nama seorang teman)   ‘kaca mata’   ‘kencing’   ‘kue’  ö ‘könig’ ‘raja’   ‘kuh’ ‘sapi’   ‘clown’ ‘badut’
  • 61. 61 Sementara pada posisi tengah kata, bunyi  diganti dengan bunyi hambat-alveolar-tak bersuara . Contoh (16)  ‘buka’   ‘kaki’   ‘sakit’   ‘nakal’   kiekiriki ‘ayam’ Setelah Lila berumur 2;0 lambat laun, bunyi velar-hambat  juga sering diganti dengan bunyi palatal-afrikat- takbersuara . (17)  ‘kak kumik’   ‘kopi’   ‘Koming’   ‘kakek’   ‘nakal’ Dari data (15), (16), (17) terlihat bahwa bunyi velar-hambat-tak bersuara k diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih anterior, yaitu bunyi-bunyi yang dihasilkan di bagian depan mulut. Kalau kita lihat, bunyi t yang digunakan sebagai pengganti bunyi k adalah bunyi yang secara fonetis sangat berdekatan antara satu sama lain. Kedua bunyi tersebut memiliki karakteristik yang mirip,
  • 62. 62 yaitu sama –sama bunyi hambat dan takbersuara. Satu-satunya pembeda adalah letak dimana kedua bunyi tersebut dihasilkan. Anak kecil yang baru belajar untuk menyuarakan bunyi-bunyi bahasa, cenderung memilih bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk dibentuk karena keterbatasan artikulatoris yang mereka miliki. Karena bunyi-bunyi anterior lebih mudah diucapkan oleh anak, maka dapat dimengerti mengapa bunyi velar digantikan dengan bunyi alveolar. Lust (2006: 161) mengkonfirmasi bahwa dalam bahasa anak-anak, beberapa penggantian elemen bunyi sering dilakukan, misalnya bunyi velar-hambat-tak bersuara k diganti dengan bunyi alveolar-hambat-takbersuara t. Dalam perkembangan selanjutnya, bunyi velar ini juga bervariasi dengan bunyi palatal-afrikat- takbersuara c. Hal ini juga tidak terlapas dari kenyataan bahwa bunyi c berada pada posisi lebih depan daripada bunyi k. Bunyi c dan k juga merupakan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu sama-sama bunyi tak bersuara atau bunyi-bunyi yang ringan. b. Bunyi hambat-velar-bersuara  Sampai pada umur 2;0, bunyi hambat-velar-bersuara  belum muncul sama sekali. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar-bersuara  seperti pada bentuk-bentuk fonologis di bawah ini:
  • 63. 63 (18)  ‘gigit’   ‘lagi’   ‘jagung’   ‘bagus’ Jika sebelumnya telah dibahas bahwa bunyi velar-hambat-takbersuara k diganti dengan bunyi alveolar t, maka untuk bunyi-bunyi velar- hambat-bersuara  sangat sering diganti dengan bunyi alveolar-hambat- bersuara . oleh anak. Ini juga dapat dijelaskan bahwa bunyi  lebih mudah diucapkan oleh karena posisinya lebih di depan. Yang menarik adalah bahwa anak juga berusaha dalam produksinya mencari padanannya yaitu, bunyi takbersuara diganti dengan bunyi-bunyi yang takbersuara, sedangkan bunyi bersuara diganti dengan bunyi bersuara. Bunyi  dan , keduanya memiliki fitur distingtif - voice sedangkan bunyi  dan  keduanya memiliki fitur distingtif + voice. Kadang-kadang bunyi  pada posisi awal dilesapkan misalnya ketika Lila mengeluarkan bunyi  ‘gajah’. Pada kasus-kasus tertentu, bunyi ini juga bervariasi dengan bunyi hambat-bilabial-bersuara , misalnya ketika Lila menyuarakan bunyi  ‘garfu’. Pada posisi akhir bunyi  diganti dengan bunyi yang memiliki kesamaan fonetis, yaitu bunyi k. Bunyi
  • 64. 64 ini muncul ketika Lila mengucapkan bunyi onik ‘könig’, yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘raja’. Mengapa bunyi velar  dikuasai sebelum bunyi velar ? Kalau dilihat kedua bunyi tersebut memiliki cirri-ciri yang sama, yaitu merupakan bunyi velar-hambat. Satu-satunya yang membedakan kedua bunyi tersebut adalah dalam penyuaraan. Untuk dapat memroduksi bunyi  diperlukan adanya getaran pada pita suara sedangkan bunyi  tidak. Bunyi  memiliki fitur distingtif + voice. Oleh karena itu, secara natural bunyi  lebih mudah dikuasai oleh anak daripada padanan beratnya, yaitu bunyi . Dardjowijojo (2000:83) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi ringan dikuasai oleh anak terlebih dahulu daripada bunyi yang memerlukan penyuaraan. Ini sesuai dengan kaidah voiced plosives are acquired later than voiceless plosives. Ini berarti bahwa untuk anak mana pun di dunia, baik yang monolingual maupun bilingual, bunyi-bunyi ringan akan lebih mudah dikuasai daripada bunyi-bunyi berat. c. Bunyi hambat-alveolar-tak bersuara  Bunyi  sering dilesapkan pada awal kata. Bentuk-bentuk yang terdengar, misalnya (19)pi  ‘topi’
  • 65. 65   ‘tidak’   ‘telinga’ Pada data (19), dapat dilihat bahwa anak juga sudah memahami kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata seperti dalam contoh kata telinga . Namun, karena pada umur yang masih sangat muda dan keterbatasan perkembangan alat-alat ucap yang dimilikinya, anak belum bisa mengucapkan kata-kata yang terdiri dari tiga suku kata. Apa yang dilakukan anak adalah memilih suku kata yang paling mudah untuk disuarakan. Biasanya, dari data kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata, suku kata terakhirlah yang paling banyak disuarakan. Seperti kata telinga direalisasikan dengan bunyi  begitu juga dengan kata cerita disuarakan dengan bunyi , raksasa dengan bunyi , kaca mata disuarakan dengan bunyi . Temuan ini selaras dengan hasil penelitian Darjowidjojo (2000) yang juga mengamati bahwa ketika cucunya mengeluarkan kata-kata yang dwi atau polisilabik, maka yang disuarakan adalah suku kata terakhir. Hal ini bisa dijelaskan bahwa seorang anak yang baru belajar berbicara, seringkali memilih bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk diucapkan dan dari bunyi-bunyi yang dikuasai, biasanya dipilih yang lebih ringan dan ketika memproduksinya memerlukan energi yang lebih sedikit. Pada kasus dalam penelitian ini, anak disuguhi dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, dan anak memiliki lingkungan kebahasaan yang kompleks. Dalam bahasa Jerman, dia sering mendengar kata-kata yang terdiri atas satu suku kata atau monosilabik seperti dalam kata kuh ‘sapi’, buch ‘buku’, ich ‘saya’, da