SlideShare a Scribd company logo
KompasianaKompas.comCetakePaperKompas
           TVBolaEntertainmentTeknoOtomotifFemaleHealthPropertiUrbanesiaImagesMore




Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan
Tekno Media Muda Green Lipsus Fiksiana Freez
                                   Home
                                    Ekonomi
                                     Moneter
                                       Artikel



Jadikan Teman | Kirim Pesan




          karyawan

0inShare

Pajak Dalam Perspektif Islam
OPINI | 19 September 2012 | 10:26 Dibaca: 519                  Komentar: 0        1 bermanfaat

Samakah Pajak dengan Zakat?

        Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr (Lihat Lisanul Arab 9/217-
218, Al-Mu‟jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal.
182) atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah “Pungutan yang ditarik
dari rakyat oleh para penarik pajak” (Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-
Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar
4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi)

atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-
pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus (Lihat Al-Mughni 4/186-203).

        Perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap sistem pajak sebenarnya bukanlah hal yang
baru, karena telah banyak tulisan baik berupa buku, naskah hasil penelitian, proceeding seminar dan
diskusi, dan lain-lain dari berbagai ulama dan para pemikir Islam. Tulisan tersebut banyak memuat
kutipan hadis hingga pendapat para ulama dari berbagai masa atau zaman dari yang paling ekstrim
menentang hingga yang menghalalkan pemungutan pajak dengan kondisi dan syarat tertentu. Hanya
saja memang, seperti diakui oleh DR. Umer Chapra, pendapat ulama atau pemikir Islam yang
menentang dipungutnya pajak lebih banyak dibandingkan yang sebaliknya. Oleh beliau pemikiran-
pemikiran seperti ini dianggap sebagai pemikiran yang aneh untuk diterapkan pada zaman atau situasi
seperti saat ini (Umer Chapra, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, penerjemah Ikhwan Abidin B,
Tazkia Institute, hal. 294. Ragam istilah yang berbeda digunakan oleh beberapa ulama untuk pajak,
diantaranya dhara‟ib, wazha‟if, kharaj, nawa‟ib dan kilaf as-sulthaniyyah).

         Dasar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama didasarkan pemikiran bahwa pajak
berbeda dari zakat. Zakat pada intinya adalah kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai
seorang muslim sebagaimana rukun Islam lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT,
sedangkan konsep pajak dalam Islam menyatakan bahwa pajak hanya dapat dikenakan pada
kelebihan harta bukan pada penghasilan. Negara tidak dapat mengenakan pajak langsung
seperti pajak penjualan pada barang dan jasa juga pajak dalam bentuk biaya peradilan, biaya
petisi , penjualan atau pendaftaran tanah, bangunan, atau jenis pajak lain selain yang shari‟ah.

Perbedaan yang sangat jelas antara zakat dan pajak diantaranya:

1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi
    orang yang mempunyai kelebihan harta yang telah sampai nisabnya, sedangkan pajak
    tidak ada kekuatan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat.

2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal ini lantaran zakat berfungsi untuk mensucikan
    baik harta atau diri pelakunya. Sedangkan pajak pada zaman Rasulullah SAW berlaku
    pada orang-orang kafir yang tinggal di kekuasaan kaum mislimin.

3. Rasulullah SAW menghapuskan skema penarikan persepuluh dari harta manusia yang
    biasa ditarik oleh kaum jahiliyah yang kita kenal saat ini sebagai retribusi atau pajak.
    Sedangkan zakat tidak dapat diperlakukan sama dengan pajak karena zakat termasuk
    bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam sebagai pemimpin dan dikembalikan
    kepada orang yang berhak.

4. Zakat adalah suatu bentuk syari‟at yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan
    pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal usulnya biasa dipungut oleh
    para raja Arab atau non Arab, dan di antara kebiasaan mereka adalah menarik
    sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasaan-
    nya.

Mengapa Pajak Diharamkan Dalam Islam?

        Pendapat golongan yang mendukung pengharaman pemungutan pajak salah satunya diperkuat
oleh hadist (HR Ahmad dan Abu Dawud). ”Dari abu Khair Radhiyallahu‟anhu beliau berkata,
Maslamah bin Makhlad (gubernur Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi
bin Tsabit Radhiyallahu ‟anhu, maka Ia berkata: ‟Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak
(diazab) di neraka‟”( HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

       Imam Abu Ja‟far Ath Thawawi Rahimahumullah ( Imam Abu Ja‟far Ath Thawawi
Rahimahumullah, kitab Syarh Ma‟ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah
dihapus kewajibannya oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa
dipungut oleh kaum jahilliyah. Kemudian beliau melanjutkan, ” …………. hal ini sangat
berbeda dengan kewajiban zakat”.
Jika pandangan dan kepercayaan yang mengharamkan pajak dipungut terhadap kaum
muslimin tersebut dianut oleh sebagian besar muslim di negara-negara yang masih
menerapkan sistem perpajakan dalam mengumpulkan pendapatan negara guna membiayai
pengeluaran sektor publik, maka bagi mereka tentu bukan pelanggaran etika atau
moral untuk menghindarkan diri darikewajiban membayar pajak (tax evasion), meskipun
mereka juga termasuk orang-orang yang menikmati pelayanan sektor publik yang dibiayai
dari pajak yang tidak mereka patuhi tersebut (free rider). Manakah yang lebih
etis, tidak membayar pajak (karena dicap sebagai praktik yang diharamkan) namun secara
„gratis‟ memanfaatkan fasilitas layanan publik dibandingkan dengan sikap yang konsekuen
membayar pajak karena menyadari telah memanfaatkan fasilitas layanan publik untuk
mencapai suatu kesejahteraan?

       Apakah kita siap untuk tidak menggunakan jalan umum yang dibangun dari
penerimaan pajak, atau tidak bersekolah di sekolah negeri, tidak berobat di rumah sakit
umum, tidak menggunakan BBM yang bersubsidi, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang
sebagian besar dibiayai dengan penerimaan pajak? Jika jawabannya siap, maka bolehlah kita
tanpa bersalah tidak membayar pajak, tetapi apakah itu mungkin, setidaknya untuk saat ini?
Wallahu „alam bissawab.
Argumentasi Pajak Diperbolehkan Dalam Islam

       Robert W. McGee menyatakan bahwa Sistem perpajakan dalam Islam adalah sesuatu
yang bersifat sukarela (voluntary). Dalam tulisannya yang berjudul “The Ethics of Tax
Evasion and Trade Protectionism from Islamic Perspective” McGee menyatakan bahwa
sebagian besar muslim percaya bahwa tidak ada suatu keharusan moral bagi mereka untuk
mematuhi peraturan yang mewajibkan membayar pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah
( Robert W. McGee, 1997, The Ethics Of Tax Evasion and Trade Protection From an Islamic
Perspective, Commentaries         on      Law       &      Public       Policy:     1:250-
262,(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=461397, diakses 15 Juni 2009).

       Adapun dalam Fiqih Islam telah ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan
untuk memaksa warga negara membayar pajak bila jumlah zakat tidak mencukupi untuk
menjalankan semua kegiatan pemerintahan. Hak negara untuk meningkatkan sumber daya
lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya
mewakili semua mazhab fiqih(Ibid 4 ) . Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya dana zakat
dipergunakan untuk kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan sumber-sumber
dana yang lain agar dapat melakukan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.
Hak ini dibela oleh para fuqaha berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

        “Pada hartamu ada kewajiban lain selain zakat”( Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi (1349 H),
vol.1, dan Abu Ubayd, Kitabul Amwaal,dalam Umer Chapra, ibid 4. Untuk penjelasan yang
memuaskan tentang hadis ini, lihat Al-Qardhawi, Fiqhuz-Zakah (1969), vol.2. hal. 963 ).

       Argumen ini juga diperkokoh dengan kaidah ushul (prinsip) yang menyatakan bahwa, “Suatu
pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar” dan
bahwa “Sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu
hukumnya wajib.”( Ibid 4 )

         Adapun tentang kaidah ushul tersebut, Dr. Umer Chapra memberikan pembahasan lebih rinci
terkait dengan komitmen kepada nilai-nilai Islam dan Maqashid (tujuan-tujuan syariat), dengan
ilustrasi yang menarik dan relevan (Ibid 4, hal.287-289). Beliau mengatakan Komitmen kepada nilai-
nilai Islam dan maqashid harus dilakukan serentak pada empat perkara. Maqashid akan membantu
terutama mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah dengan memberikan kriteria
untuk membangun prioritas. Maqashid akan dapat diperkokoh dengan sandaran kepada enam prinsip
di bawah ini yang diambil dari kaidah ushul yang telah dikembangkan selama berabad-abad oleh para
fuqaha untuk menyediakan sebuah basis rasional dan konsisten bagi implementasi kaidah hukum
Islam(Majallah al-ahkam al-adliyyah, yang dikenal dengan nama Majallah, menyebutkan 100
kaidahushul dalam pembukaannya. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh C.R. Tyser, et al.
berjudulThe Majelle diterbitkan tahun 1967 oleh All Pakistan Legal Decision, Nabha Road, Lahore.
Meskipun Majallah merupakan kumpulan maszhab Hanafi yang dikodifikasikan pada periode
Utsmaniyah, kaidah-kaidah tersebut nyaris dipakai secara universal oleh para fuqaha dari seluruh
mazhab. Lihat juga Mustafa A., Az-Zarqa, al-Fiqhu al-Islami wa Tsaubuhu al-Jadid (1967), vol.2,
hal.945-1060; dan Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah (1986). Nomor-nomor yang berada
dalam tanda kurung sesudah penukilan kaidah mengacu kepada pasal Majallah di mana prinsip-
prinsip tersebut diturunkan).

1. Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran pajak harus diperuntukan bagi
    kesejahteraan rakyat (pasal 58).

2. Pencegahan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada penyediaan
    kenyamanan (pasal 17, 18, 19, 20, 30, 31, dan 32).

3. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada
    kepentingan minoritas yang lebih sempit (pasal 28).

4. Suatu pengorbanan atau kerugian individu dapat dilakukan untuk
    menyelamatkan korban atau kerugian publik, dan suatu pengorbanan atau
    kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan suatu
    pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil (pasal 26, 27, dan 28).

5. Siapa saja yang menerima manfaat harus membayar ongkosnya (pasal 87 dan
    88).

6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sesuatu itu
    wajib hukumnya(Lihat Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, hal.394; lihat juga
    Mustafa az-Zarqa (1967), vol.2, hal 784 dan 1088).

       Kaidah-kaidah ini memiliki bobot yang sangat penting pada perpajakan dan
pengeluaran pemerintah di negara-negara muslim. Untuk memperjelas implikasinya pada
program-program pengeluaran pemerintah, akan di ilustrasikan dalam contoh di bawah ini.

         Oleh karena kesejahteraan harus menjadi tujuan pokok dari pengeluaran publik
menurut kaidah 1, maka kaidah 6 menuntut semua proyek infrastruktur fisik dan sosial yang
akan membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat,
penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemenuhan kebutuhan, harus diberikan prioritas dari
proyek-proyek yang tidak memberikan kontribusi semacam itu. Bahkan, diantara proyek
infrastruktur yang harus dibangun, kaidah 2 menuntut pemberian preferensi kepada proyek-
proyek yang akan membantu menghapuskan kesulitan dan penderitaan yang disebabkan,
misalnya, oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma, dan epidemik, dan kekurangan
fasilitas medis, pasokan air bersih dan sehat, dan limbah. Begitu pula dengan pengembangan
sebuah sistem transportasi publik yang efisien, harus memperoleh prioritas menurut kaidah 3
karena ketiaadaannya akan mengakibatkan kesulitan bagi mayoritas penduduk perkotaan, dan
berdampak buruk pada efisiensi dan pembangunan, dan menimbulkan impor kendaraan
berlebihan dan pemborosan BBM. Memang mobil-mobil ini akan memberikan kenyamanan
ekstra kepada sebagian kecil penduduk perkotaan, suatu reduksi pada impor dan diversi
tabungan untuk mengimpor kendaraan umum dapat dibenarkan atas dasar kaidah 4. Tindakan
demikian bukan saja akan mengurangi tekanan pada sumber-sumber devisa, tetapi juga akan
menyediakan pelayanan transportasi bagi mayoritas penduduk, dengan tingkat kepadatan dan
polusi yang lebih rendah di jalan-jalan perkotaan.

       Jika prioritas diberikan kepada pemenuhan kepentingan mayoritas menurut kaidah 3,
maka karena mayoritas penduduk tinggal di pedesaan dan memiliki kecenderungan untuk
melakukan urbanisasi ke perkotaan sehingga menimbulkan persoalan-persoalan
sosioekonomi, untuk itu perlu diberikan stimulasi agar mereka tetap tinggal di pedesaan
melalui upaya pengembangan wilayah pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanian,
memperluas peluang wirausaha dan lapangan kerja, dan memenuhi kebutuhan pokok mereka
harus didahulukan. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan kondisi kehidupan
perkotaan dengan mereduksi tingkat kepadatan dan desakan-desakan dalam pelayanan publik.

       Jika ketidakmerataan penghasilan dan kekayaan harus dikurangi, maka yang wajib
dilakukan, menurut kaidah 6, adalah peningkatan kemampuan orang miskin untuk dapat
memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dan akses pada fasilitas pelatihan, pendidikan, dan
keuangan yang lebih baik. Hal ini menuntut pemberian prioritas dalam program pendidikan
vokasional di wilayah-wilayah pedesaan, sehingga siapa saja yang memenuhi syarat dapat
memiliki akses yang sama. Disamping itu, perlu merestrukturisasi sistem keuangan untuk
membiayai pengusaha-pengusaha di pedesaan dan di perkotaan agar dapat meningkatkan
peluang wirausaha dan meningkatkan pasokan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.

       Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak
menurut kemampuan rakyat yang terbebani (Abu Yusuf, Kitabul Kharaj (1353 H), dalam
Umer Chapra, ibid 4., hal. 294 ). Marghinanii berpendapat bahwa jika sumber-sumber daya
negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi
kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar
ongkosnya (Al-Marghinani, al-Hidayah (1965), dalam Umer Chapra, ibid 4.)

       Semua khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz dilaporkan
telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak
diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar,juga jangan sampai membuat
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Abu Yusuf berpendapat bahwa
sebuah sistem pajak yang baik tidak saja akan meningkatkan penerimaan, tetapi juga
meningkatkan pembangunan Negara(Abu Yusuf, Ibid., dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal.
295). Imam Mawardi berpendapat bahwa sistem pajak yang adil akan memberikan keadilan
kepada para pembayarnya dan bagi kas penerimaan negara. Terlalu banyak menarik pajak
akan menyebabkan ketidakadilan terhadap hak-hak rakyat dan terlalu sedikit berarti tidak adil
terhadap kas penerimaan Negara (Ibnu Kaldun, Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4.
hal 295-297). Ibnu Khaldun dengan cara yang sangat bagus merefleksikan arus pemikiran
para sarjana muslim yang hidup pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak
yang merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir bin al-Husain kepada anaknya yang
menjadi seorang gubernur di salah satu provinsi,
“Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan,
       perlakukan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada siapa pun karena
       kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapa pun
       sekalipun itu adalah petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan
       kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayarnya (Ibnu Kaldun,
       Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal 295-297).

        Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka
perkembangan sistem perpajakan tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam. Namun,
perlu ditekankan bahwa sesuatu yang sangat relevan bagi kehidupan modern adalah adanya
hak negara untuk mengenakan pajak dengan memenuhi rasa keadilan. Sistem pajak harus
disesuaikan dengan perubahan tingkat kebutuhan, terutama kebutuhan masal terhadap
infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian modern yang
efisien serta komitmen untuk meralisasikan maqashid (Maqashid Asy-Syariah
(Maqashid) adalah tujuan-tujuan syariatmengandung semua yang diperlukan manusia untuk
merealisasikan falah dan hayatan thayyibahdalam batas-batas syariat. Imam Ghazali, al-
Mustasyfa (1937) dalam Umer Chapra, Ibid., hal 7-9, memasukkan semua perkara yang
dianggap penting untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan,
dan harta benda dalam maqashid. Dengan sangat bijaksana Imam Ghazalii meletakkan iman
pada urutan pertama dalam daftar maqashid. Karena, dalam perspektif Islam, iman adalah isi
yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-
hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, memungkinkan umat manusia berinteraksi
satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam
mencapai kebahagiaan bersama. Iman juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi,
disamping menyediakan pula suatu system pendorong untuk mencapai sasaran seperti
pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Tanpa
menyuntikan dimensi keimanan ke dalam semua keputusan yang dibuat oleh manusia dengan
mengabaikan di mana hal itu terjadi baik itu dalam rumah tangga, ruang direksi perusahaan,
padar atau politbiro, maka tidaklah mungkin diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk mengurangi ketidakseimbangan
makroekonomi dan ketidakstabilan ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan,
ketegangan, dan berbagai simptom penyakit anomie) dalam konteks masa sekarang. Sistem
tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada
dorongan untuk bekerja, tabungan, dan investasi, serta penerimaan yang memadai sehingga
memungkinkan negara melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif.

Dalam hukum Islam klasik dikenal tiga sistem pemungutan pajak yaitu:
1. Jizyah atau pajak kepala yang dikenakan kepada kafir zimmi, yaitu non muslim yang hidup di
      negara/pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan pemerintahan
      Islam untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak asasi mereka. Dalam
      menghadapi negara non Islam terdapat tiga pilihan yang ditawarkan Islam. (1) masuk Islam, (2)
      membayar jizyah atau (3) diperangi. Bagi yang masuk Islam mereka aman, tidak diperangi dan
      tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan yaitu
      membayar jizyah atau diperangi.
2. Kharaj, yaitu pajak bumi. Ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan
      yang kemudian dikembalikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai imbalannya maka
      pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah Islam.
3. ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan, atau bea cukai (pajak Impor dan Ekspor). Mengingat bahwa
      kebutuhan biaya pembangunan dalam arti luas sangat besar termasuk jalannya roda
pemerintahan, maka dibutuhkan dana yang cukup besar yang tidak dapat ditopang oleh zakat
     semata, Islam membenarkan pemungutan pajak.
        Para ulama sejak zaman sahabat, seperti Ibnu Umar, Atha‟, Ibnu Mas‟ud, Ali bin Abi Thalib,
Umar bin Khathab dan lainnya, demikian pula ulama-ulama mazhab, memberitakan bahwa di
samping zakat masih ada lagi kewajiban muslim terhadap hartanya yang perlu di keluarkan seperti:
Infaq, Shadaqah ataupun pajak.
        Dalam hal ini Imam Asy-Syathiby menyatakan secara tegas “Bila kas negara telah kosong,
kebutuhan rakyat dan kemaslahatan umum tidak terpenuhi, roda pemerintahan tidak akan lancar
karena kurangnya devisa/ pendapatan maka pemerintah yang adil dapat memungut pajak pada orang-
orang yang mampu selain zakat.”
         Pajak hukumnya mubah atau boleh (dapat dibenarkan oleh Islam), sebab kita sepakat bahwa
tidak diragukan lagi adanya manfaat besar yang dapat diraih lewat pajak tersebut.
        Pemungutan pajak diperbolehkan dalam Islam seperti yang dikatakan oleh Monzer Kahf
(seorang ahli ekonomi muslim), harus terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal penting
diantaranya bahwa:

1) Pajak yang dikeluarkan harus sesuai dengan kemampuan baik kekayaan maupun sumber
    penghasilan Wajib Pajak.

2) Orang yang miskin harus dibebaskan dari membayar pajak.

3) Pajak dapat dilaksanakan jika telah disetujui oleh wakil rakyat.

4) Alokasi penerimaan pajak harus dikeluarkan dengan ketentuan syaria‟ah.

      Dari pendapat Monzer Kahf tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak dapat dikenakan
di bawah sistem Islam, selama pendapatan dari pajak tersebut diperlukan untuk
pengembangan dan pertahanan negara serta kesejahteraan sosial.

       Pajak yang diakui dan dianggap sebagai sistem yang dibenarkan dalam sejarah fiqh
Islam harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Apabila penerimaan tersebut betul-betul dibutuhkan dan mendesak, sementara tidak
    ditemukanadanya sumber lain.
    Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan dana,
    sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf
    Qardhawy. Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhati-
    kan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak
    apabila Baitul Mal benar-benar kosong. Para ulama benar-benar sangat hati-hati dalam
    mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan
    beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam
    mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak. Sultan Zahir Baibas
    adalah Raja muslim yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak
    berperang melawan tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya
    yang cukup untuk perang. Maka dikumpulkanlah para Ulama dalam Musyawarah,
    mereka menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya
    perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan
    tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil, sultan berkata
    kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”, Akan tetapi Imam
    Nawawi tidak bersedia, sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “Kenapa tuan
menolak?” Imam Nawawi berkata, “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah
    hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa- apa, lalu Allah SWT
    memberikan kekayaan dan dijadikannya seorang raja, saya dengar anda memiliki seribu
    orang hamba, setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun
    mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah
    nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya,
    demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa
    boleh memungut biaya dari rakyat. Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir
    menjadi sangat marah dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi
    menjawab, “Saya taati perintah Sultan”, lalu pergilah ia ke kampung Nawa (maka itulah
    dia digelari Nawawi). Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama
    besar, ikutan kami dan sahabat kami”. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke
    Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata, “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi
    Zahir ada di sana”, kemudian Sultan pun meninggal. Di antara tulisan berupa nasihat
    untuk Sultan Zabir ia berkata, “Tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam
    baitul mal ada uang atau perhiasan, harta benda atau ladang yang dapat dijual”. Semoga
    ini menjadi renungan dan i‟tibar bagi umat Islam saat ini, terutama bagi penguasa, wakil
    rakyat, dan pejabat pemerintah.
2. Pemungutan Pajak yang Adil.
    Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai,
    maka pemungutan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syarat. Harus dicatat,
    pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan, jangan sampai menimbulkan keluhan
    dari masyarakat.Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan
    ekonomi, sosial, dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan (Qardhawi h.
    1081-1082). Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan
    prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan
    kebutuhan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat
     dan hawa nafsu.
    Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan
    kelompok , bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan
    keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya. Karena itu, Al-Qur‟an memperhatikan
    sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan
    atau untuk kepentingan money politic. Justru itulah para Khulafaur Rasyidin dan para
    sahabat besar menekankan penggunaan kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang
    ditetapkan syariat. Jangan sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi. Tetapi sangat
    disayangkan, tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan uang pajak untuk kepentingan
    pribadi, golongan dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan
    raja dan pejabat yang rakus.
    Ibnu Sa‟ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata
    kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah?”. Salman menjawab, “Kalau engkau
    memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada
    haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”. Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa,
    Umar bin khattab berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau
    raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul
    Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak akan memungut sesuatu
    kecuali dari yang layak dan tidak akan memberikan sesuatu kecuali kepada yang berhak.
Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (zalim)
    akan berbuat sekehendaknya”( Ibid 20, hlm. 1083). Maka Umar pun terdiam.
4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak.
    Para penguasa yaitu Kepala Negara, Gubernur atau Bupati dan Walikota dalam
    pemerintahan di daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,
    menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari
    para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat serta para wakil rakyat. Selain itu perlu
    dijaga harmonisasi ketentuan perpajakan di pusat dan daerah, karena pada dasarnya,
    harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan
    tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus
    dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam
    masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT. Para pejabat
    pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan
    seksama dan matang dalam menetapkan mekanisme pajak. Para wakil rakyat di Dewan
    Perwakilan Rakyat (DPR) harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak,
    bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan.

(Widi Widodo, Bandung)

More Related Content

Similar to Pjk dlm perspektif islam

Manajemen zakat (1)
Manajemen zakat (1)Manajemen zakat (1)
Manajemen zakat (1)
A Gustang
 
Prospek hukum zakat di indonesia2
Prospek hukum zakat di indonesia2Prospek hukum zakat di indonesia2
Prospek hukum zakat di indonesia2
Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah perbedaan riba dengan bunga bank
Makalah perbedaan riba dengan bunga bankMakalah perbedaan riba dengan bunga bank
Makalah perbedaan riba dengan bunga bank
Heny Larasatii
 
Pajak dalam islam 2014
Pajak dalam islam 2014Pajak dalam islam 2014
Pajak dalam islam 2014
Putra Badaliti
 
PPT PAI.pptx
PPT PAI.pptxPPT PAI.pptx
PPT PAI.pptx
Garniseka
 
Ekonomi syariah - Zakat
Ekonomi syariah - ZakatEkonomi syariah - Zakat
Ekonomi syariah - Zakat
Ditto Ditto
 
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptxTugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
ssuseraef61c
 
Ekonomi syari’ah
Ekonomi syari’ahEkonomi syari’ah
Ekonomi syari’ah
Presdir Sutrisno
 
Teori Konsumsi
Teori KonsumsiTeori Konsumsi
Teori Konsumsi
Ria Widia
 
2. urgensi dan landasan ekonomi islam
2. urgensi dan landasan ekonomi islam2. urgensi dan landasan ekonomi islam
2. urgensi dan landasan ekonomi islamHamzah Robbani
 
Ppt ekonomi islam bab 9&10
Ppt ekonomi islam bab 9&10Ppt ekonomi islam bab 9&10
Ppt ekonomi islam bab 9&10
TyoSuliez
 
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
nishannisa
 
Zakat memalui badan amil
Zakat memalui badan amilZakat memalui badan amil
Zakat memalui badan amil
Ardhacom
 
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-SyatibiSejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
Lia Prasetyowati
 
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
Mytha Arena
 
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
Trie Nakita Sabrina
 
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptxMilenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
FauziahNurHutauruk
 

Similar to Pjk dlm perspektif islam (20)

Pajak menurut syariah
Pajak menurut syariahPajak menurut syariah
Pajak menurut syariah
 
Manajemen zakat (1)
Manajemen zakat (1)Manajemen zakat (1)
Manajemen zakat (1)
 
Prospek hukum zakat di indonesia2
Prospek hukum zakat di indonesia2Prospek hukum zakat di indonesia2
Prospek hukum zakat di indonesia2
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2Studi hukum islam kel.2
Studi hukum islam kel.2
 
Makalah perbedaan riba dengan bunga bank
Makalah perbedaan riba dengan bunga bankMakalah perbedaan riba dengan bunga bank
Makalah perbedaan riba dengan bunga bank
 
Pajak dalam islam 2014
Pajak dalam islam 2014Pajak dalam islam 2014
Pajak dalam islam 2014
 
PPT PAI.pptx
PPT PAI.pptxPPT PAI.pptx
PPT PAI.pptx
 
Ekonomi syariah - Zakat
Ekonomi syariah - ZakatEkonomi syariah - Zakat
Ekonomi syariah - Zakat
 
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptxTugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
Tugas Kelompok Presentasi ekonomi islam.pptx
 
Ekonomi syari’ah
Ekonomi syari’ahEkonomi syari’ah
Ekonomi syari’ah
 
Teori Konsumsi
Teori KonsumsiTeori Konsumsi
Teori Konsumsi
 
2. urgensi dan landasan ekonomi islam
2. urgensi dan landasan ekonomi islam2. urgensi dan landasan ekonomi islam
2. urgensi dan landasan ekonomi islam
 
Ppt ekonomi islam bab 9&10
Ppt ekonomi islam bab 9&10Ppt ekonomi islam bab 9&10
Ppt ekonomi islam bab 9&10
 
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
TUGAS PERBANKAN SYARIAH RAPEM 1 SAMPAI DENGAN 7 - UNIVERSITAS MERCUBUANA REGU...
 
Zakat memalui badan amil
Zakat memalui badan amilZakat memalui badan amil
Zakat memalui badan amil
 
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-SyatibiSejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi
 
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
01 0kenapa-muncul-ekonomi-islam
 
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
Pendidikan Agama Islam XI : Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam K-13
 
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptxMilenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
Milenial-Bangga-Syariah-Muyasaroh.pptx
 

Pjk dlm perspektif islam

  • 1. KompasianaKompas.comCetakePaperKompas TVBolaEntertainmentTeknoOtomotifFemaleHealthPropertiUrbanesiaImagesMore Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan Tekno Media Muda Green Lipsus Fiksiana Freez Home Ekonomi Moneter Artikel Jadikan Teman | Kirim Pesan karyawan 0inShare Pajak Dalam Perspektif Islam OPINI | 19 September 2012 | 10:26 Dibaca: 519 Komentar: 0 1 bermanfaat Samakah Pajak dengan Zakat? Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr (Lihat Lisanul Arab 9/217- 218, Al-Mu‟jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182) atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” (Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At- Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi) atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan- pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus (Lihat Al-Mughni 4/186-203). Perdebatan antara yang pro dan kontra terhadap sistem pajak sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena telah banyak tulisan baik berupa buku, naskah hasil penelitian, proceeding seminar dan diskusi, dan lain-lain dari berbagai ulama dan para pemikir Islam. Tulisan tersebut banyak memuat kutipan hadis hingga pendapat para ulama dari berbagai masa atau zaman dari yang paling ekstrim menentang hingga yang menghalalkan pemungutan pajak dengan kondisi dan syarat tertentu. Hanya saja memang, seperti diakui oleh DR. Umer Chapra, pendapat ulama atau pemikir Islam yang
  • 2. menentang dipungutnya pajak lebih banyak dibandingkan yang sebaliknya. Oleh beliau pemikiran- pemikiran seperti ini dianggap sebagai pemikiran yang aneh untuk diterapkan pada zaman atau situasi seperti saat ini (Umer Chapra, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, penerjemah Ikhwan Abidin B, Tazkia Institute, hal. 294. Ragam istilah yang berbeda digunakan oleh beberapa ulama untuk pajak, diantaranya dhara‟ib, wazha‟if, kharaj, nawa‟ib dan kilaf as-sulthaniyyah). Dasar diharamkannya pajak oleh sebagian ulama didasarkan pemikiran bahwa pajak berbeda dari zakat. Zakat pada intinya adalah kewajiban yang melekat pada dirinya sebagai seorang muslim sebagaimana rukun Islam lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT, sedangkan konsep pajak dalam Islam menyatakan bahwa pajak hanya dapat dikenakan pada kelebihan harta bukan pada penghasilan. Negara tidak dapat mengenakan pajak langsung seperti pajak penjualan pada barang dan jasa juga pajak dalam bentuk biaya peradilan, biaya petisi , penjualan atau pendaftaran tanah, bangunan, atau jenis pajak lain selain yang shari‟ah. Perbedaan yang sangat jelas antara zakat dan pajak diantaranya: 1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta yang telah sampai nisabnya, sedangkan pajak tidak ada kekuatan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasa di suatu tempat. 2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal ini lantaran zakat berfungsi untuk mensucikan baik harta atau diri pelakunya. Sedangkan pajak pada zaman Rasulullah SAW berlaku pada orang-orang kafir yang tinggal di kekuasaan kaum mislimin. 3. Rasulullah SAW menghapuskan skema penarikan persepuluh dari harta manusia yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah yang kita kenal saat ini sebagai retribusi atau pajak. Sedangkan zakat tidak dapat diperlakukan sama dengan pajak karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam sebagai pemimpin dan dikembalikan kepada orang yang berhak. 4. Zakat adalah suatu bentuk syari‟at yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan di antara kebiasaan mereka adalah menarik sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasaan- nya. Mengapa Pajak Diharamkan Dalam Islam? Pendapat golongan yang mendukung pengharaman pemungutan pajak salah satunya diperkuat oleh hadist (HR Ahmad dan Abu Dawud). ”Dari abu Khair Radhiyallahu‟anhu beliau berkata, Maslamah bin Makhlad (gubernur Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‟anhu, maka Ia berkata: ‟Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka‟”( HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930). Imam Abu Ja‟far Ath Thawawi Rahimahumullah ( Imam Abu Ja‟far Ath Thawawi Rahimahumullah, kitab Syarh Ma‟ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah SAW atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahilliyah. Kemudian beliau melanjutkan, ” …………. hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat”.
  • 3. Jika pandangan dan kepercayaan yang mengharamkan pajak dipungut terhadap kaum muslimin tersebut dianut oleh sebagian besar muslim di negara-negara yang masih menerapkan sistem perpajakan dalam mengumpulkan pendapatan negara guna membiayai pengeluaran sektor publik, maka bagi mereka tentu bukan pelanggaran etika atau moral untuk menghindarkan diri darikewajiban membayar pajak (tax evasion), meskipun mereka juga termasuk orang-orang yang menikmati pelayanan sektor publik yang dibiayai dari pajak yang tidak mereka patuhi tersebut (free rider). Manakah yang lebih etis, tidak membayar pajak (karena dicap sebagai praktik yang diharamkan) namun secara „gratis‟ memanfaatkan fasilitas layanan publik dibandingkan dengan sikap yang konsekuen membayar pajak karena menyadari telah memanfaatkan fasilitas layanan publik untuk mencapai suatu kesejahteraan? Apakah kita siap untuk tidak menggunakan jalan umum yang dibangun dari penerimaan pajak, atau tidak bersekolah di sekolah negeri, tidak berobat di rumah sakit umum, tidak menggunakan BBM yang bersubsidi, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang sebagian besar dibiayai dengan penerimaan pajak? Jika jawabannya siap, maka bolehlah kita tanpa bersalah tidak membayar pajak, tetapi apakah itu mungkin, setidaknya untuk saat ini? Wallahu „alam bissawab. Argumentasi Pajak Diperbolehkan Dalam Islam Robert W. McGee menyatakan bahwa Sistem perpajakan dalam Islam adalah sesuatu yang bersifat sukarela (voluntary). Dalam tulisannya yang berjudul “The Ethics of Tax Evasion and Trade Protectionism from Islamic Perspective” McGee menyatakan bahwa sebagian besar muslim percaya bahwa tidak ada suatu keharusan moral bagi mereka untuk mematuhi peraturan yang mewajibkan membayar pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah ( Robert W. McGee, 1997, The Ethics Of Tax Evasion and Trade Protection From an Islamic Perspective, Commentaries on Law & Public Policy: 1:250- 262,(http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=461397, diakses 15 Juni 2009). Adapun dalam Fiqih Islam telah ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kekuasaan untuk memaksa warga negara membayar pajak bila jumlah zakat tidak mencukupi untuk menjalankan semua kegiatan pemerintahan. Hak negara untuk meningkatkan sumber daya lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah fuqaha yang pada prinsipnya mewakili semua mazhab fiqih(Ibid 4 ) . Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya dana zakat dipergunakan untuk kesejahteraan kaum miskin padahal negara memerlukan sumber-sumber dana yang lain agar dapat melakukan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif. Hak ini dibela oleh para fuqaha berdasarkan hadits Rasulullah SAW: “Pada hartamu ada kewajiban lain selain zakat”( Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi (1349 H), vol.1, dan Abu Ubayd, Kitabul Amwaal,dalam Umer Chapra, ibid 4. Untuk penjelasan yang memuaskan tentang hadis ini, lihat Al-Qardhawi, Fiqhuz-Zakah (1969), vol.2. hal. 963 ). Argumen ini juga diperkokoh dengan kaidah ushul (prinsip) yang menyatakan bahwa, “Suatu pengorbanan yang lebih kecil dapat direlakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar” dan bahwa “Sesuatu yang apabila suatu kewajiban tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu hukumnya wajib.”( Ibid 4 ) Adapun tentang kaidah ushul tersebut, Dr. Umer Chapra memberikan pembahasan lebih rinci terkait dengan komitmen kepada nilai-nilai Islam dan Maqashid (tujuan-tujuan syariat), dengan ilustrasi yang menarik dan relevan (Ibid 4, hal.287-289). Beliau mengatakan Komitmen kepada nilai- nilai Islam dan maqashid harus dilakukan serentak pada empat perkara. Maqashid akan membantu
  • 4. terutama mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah dengan memberikan kriteria untuk membangun prioritas. Maqashid akan dapat diperkokoh dengan sandaran kepada enam prinsip di bawah ini yang diambil dari kaidah ushul yang telah dikembangkan selama berabad-abad oleh para fuqaha untuk menyediakan sebuah basis rasional dan konsisten bagi implementasi kaidah hukum Islam(Majallah al-ahkam al-adliyyah, yang dikenal dengan nama Majallah, menyebutkan 100 kaidahushul dalam pembukaannya. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh C.R. Tyser, et al. berjudulThe Majelle diterbitkan tahun 1967 oleh All Pakistan Legal Decision, Nabha Road, Lahore. Meskipun Majallah merupakan kumpulan maszhab Hanafi yang dikodifikasikan pada periode Utsmaniyah, kaidah-kaidah tersebut nyaris dipakai secara universal oleh para fuqaha dari seluruh mazhab. Lihat juga Mustafa A., Az-Zarqa, al-Fiqhu al-Islami wa Tsaubuhu al-Jadid (1967), vol.2, hal.945-1060; dan Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah (1986). Nomor-nomor yang berada dalam tanda kurung sesudah penukilan kaidah mengacu kepada pasal Majallah di mana prinsip- prinsip tersebut diturunkan). 1. Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran pajak harus diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat (pasal 58). 2. Pencegahan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada penyediaan kenyamanan (pasal 17, 18, 19, 20, 30, 31, dan 32). 3. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan minoritas yang lebih sempit (pasal 28). 4. Suatu pengorbanan atau kerugian individu dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban atau kerugian publik, dan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil (pasal 26, 27, dan 28). 5. Siapa saja yang menerima manfaat harus membayar ongkosnya (pasal 87 dan 88). 6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sesuatu itu wajib hukumnya(Lihat Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, hal.394; lihat juga Mustafa az-Zarqa (1967), vol.2, hal 784 dan 1088). Kaidah-kaidah ini memiliki bobot yang sangat penting pada perpajakan dan pengeluaran pemerintah di negara-negara muslim. Untuk memperjelas implikasinya pada program-program pengeluaran pemerintah, akan di ilustrasikan dalam contoh di bawah ini. Oleh karena kesejahteraan harus menjadi tujuan pokok dari pengeluaran publik menurut kaidah 1, maka kaidah 6 menuntut semua proyek infrastruktur fisik dan sosial yang akan membantu merealisasikan tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemenuhan kebutuhan, harus diberikan prioritas dari proyek-proyek yang tidak memberikan kontribusi semacam itu. Bahkan, diantara proyek infrastruktur yang harus dibangun, kaidah 2 menuntut pemberian preferensi kepada proyek- proyek yang akan membantu menghapuskan kesulitan dan penderitaan yang disebabkan, misalnya, oleh kekurangan gizi, buta huruf, tuna wisma, dan epidemik, dan kekurangan fasilitas medis, pasokan air bersih dan sehat, dan limbah. Begitu pula dengan pengembangan sebuah sistem transportasi publik yang efisien, harus memperoleh prioritas menurut kaidah 3
  • 5. karena ketiaadaannya akan mengakibatkan kesulitan bagi mayoritas penduduk perkotaan, dan berdampak buruk pada efisiensi dan pembangunan, dan menimbulkan impor kendaraan berlebihan dan pemborosan BBM. Memang mobil-mobil ini akan memberikan kenyamanan ekstra kepada sebagian kecil penduduk perkotaan, suatu reduksi pada impor dan diversi tabungan untuk mengimpor kendaraan umum dapat dibenarkan atas dasar kaidah 4. Tindakan demikian bukan saja akan mengurangi tekanan pada sumber-sumber devisa, tetapi juga akan menyediakan pelayanan transportasi bagi mayoritas penduduk, dengan tingkat kepadatan dan polusi yang lebih rendah di jalan-jalan perkotaan. Jika prioritas diberikan kepada pemenuhan kepentingan mayoritas menurut kaidah 3, maka karena mayoritas penduduk tinggal di pedesaan dan memiliki kecenderungan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan sehingga menimbulkan persoalan-persoalan sosioekonomi, untuk itu perlu diberikan stimulasi agar mereka tetap tinggal di pedesaan melalui upaya pengembangan wilayah pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, memperluas peluang wirausaha dan lapangan kerja, dan memenuhi kebutuhan pokok mereka harus didahulukan. Hal ini dengan sendirinya akan meningkatkan kondisi kehidupan perkotaan dengan mereduksi tingkat kepadatan dan desakan-desakan dalam pelayanan publik. Jika ketidakmerataan penghasilan dan kekayaan harus dikurangi, maka yang wajib dilakukan, menurut kaidah 6, adalah peningkatan kemampuan orang miskin untuk dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dan akses pada fasilitas pelatihan, pendidikan, dan keuangan yang lebih baik. Hal ini menuntut pemberian prioritas dalam program pendidikan vokasional di wilayah-wilayah pedesaan, sehingga siapa saja yang memenuhi syarat dapat memiliki akses yang sama. Disamping itu, perlu merestrukturisasi sistem keuangan untuk membiayai pengusaha-pengusaha di pedesaan dan di perkotaan agar dapat meningkatkan peluang wirausaha dan meningkatkan pasokan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani (Abu Yusuf, Kitabul Kharaj (1353 H), dalam Umer Chapra, ibid 4., hal. 294 ). Marghinanii berpendapat bahwa jika sumber-sumber daya negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya (Al-Marghinani, al-Hidayah (1965), dalam Umer Chapra, ibid 4.) Semua khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar,juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Abu Yusuf berpendapat bahwa sebuah sistem pajak yang baik tidak saja akan meningkatkan penerimaan, tetapi juga meningkatkan pembangunan Negara(Abu Yusuf, Ibid., dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal. 295). Imam Mawardi berpendapat bahwa sistem pajak yang adil akan memberikan keadilan kepada para pembayarnya dan bagi kas penerimaan negara. Terlalu banyak menarik pajak akan menyebabkan ketidakadilan terhadap hak-hak rakyat dan terlalu sedikit berarti tidak adil terhadap kas penerimaan Negara (Ibnu Kaldun, Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal 295-297). Ibnu Khaldun dengan cara yang sangat bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana muslim yang hidup pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir bin al-Husain kepada anaknya yang menjadi seorang gubernur di salah satu provinsi,
  • 6. “Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan pemerataan, perlakukan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian kepada siapa pun karena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapa pun sekalipun itu adalah petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayarnya (Ibnu Kaldun, Muqaddimah, dalam Umer Chapra, Ibid 4. hal 295-297). Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka perkembangan sistem perpajakan tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam. Namun, perlu ditekankan bahwa sesuatu yang sangat relevan bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara untuk mengenakan pajak dengan memenuhi rasa keadilan. Sistem pajak harus disesuaikan dengan perubahan tingkat kebutuhan, terutama kebutuhan masal terhadap infrastruktur sosial dan fisik bagi sebuah negara berkembang dan perekonomian modern yang efisien serta komitmen untuk meralisasikan maqashid (Maqashid Asy-Syariah (Maqashid) adalah tujuan-tujuan syariatmengandung semua yang diperlukan manusia untuk merealisasikan falah dan hayatan thayyibahdalam batas-batas syariat. Imam Ghazali, al- Mustasyfa (1937) dalam Umer Chapra, Ibid., hal 7-9, memasukkan semua perkara yang dianggap penting untuk melindungi dan memperkaya keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda dalam maqashid. Dengan sangat bijaksana Imam Ghazalii meletakkan iman pada urutan pertama dalam daftar maqashid. Karena, dalam perspektif Islam, iman adalah isi yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan- hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Iman juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi, disamping menyediakan pula suatu system pendorong untuk mencapai sasaran seperti pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Tanpa menyuntikan dimensi keimanan ke dalam semua keputusan yang dibuat oleh manusia dengan mengabaikan di mana hal itu terjadi baik itu dalam rumah tangga, ruang direksi perusahaan, padar atau politbiro, maka tidaklah mungkin diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk mengurangi ketidakseimbangan makroekonomi dan ketidakstabilan ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan, ketegangan, dan berbagai simptom penyakit anomie) dalam konteks masa sekarang. Sistem tersebut tidak saja harus adil, tetapi juga harus menghasilkan, tanpa berdampak buruk pada dorongan untuk bekerja, tabungan, dan investasi, serta penerimaan yang memadai sehingga memungkinkan negara melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif. Dalam hukum Islam klasik dikenal tiga sistem pemungutan pajak yaitu: 1. Jizyah atau pajak kepala yang dikenakan kepada kafir zimmi, yaitu non muslim yang hidup di negara/pemerintahan Islam dengan mematuhi peraturan dan perundang-undangan pemerintahan Islam untuk melindungi jiwa, keselamatan, kemerdekaan dan hak-hak asasi mereka. Dalam menghadapi negara non Islam terdapat tiga pilihan yang ditawarkan Islam. (1) masuk Islam, (2) membayar jizyah atau (3) diperangi. Bagi yang masuk Islam mereka aman, tidak diperangi dan tidak ada kewajiban membayar jizyah. Bagi yang tidak mau masuk Islam ada dua pilihan yaitu membayar jizyah atau diperangi. 2. Kharaj, yaitu pajak bumi. Ini berlaku bagi tanah yang diperoleh kaum muslimin lewat peperangan yang kemudian dikembalikan dan digarap oleh para pemiliknya. Sebagai imbalannya maka pemiliknya mengeluarkan pajak bumi kepada pemerintah Islam. 3. ‘Usyur, yaitu pajak perdagangan, atau bea cukai (pajak Impor dan Ekspor). Mengingat bahwa kebutuhan biaya pembangunan dalam arti luas sangat besar termasuk jalannya roda
  • 7. pemerintahan, maka dibutuhkan dana yang cukup besar yang tidak dapat ditopang oleh zakat semata, Islam membenarkan pemungutan pajak. Para ulama sejak zaman sahabat, seperti Ibnu Umar, Atha‟, Ibnu Mas‟ud, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khathab dan lainnya, demikian pula ulama-ulama mazhab, memberitakan bahwa di samping zakat masih ada lagi kewajiban muslim terhadap hartanya yang perlu di keluarkan seperti: Infaq, Shadaqah ataupun pajak. Dalam hal ini Imam Asy-Syathiby menyatakan secara tegas “Bila kas negara telah kosong, kebutuhan rakyat dan kemaslahatan umum tidak terpenuhi, roda pemerintahan tidak akan lancar karena kurangnya devisa/ pendapatan maka pemerintah yang adil dapat memungut pajak pada orang- orang yang mampu selain zakat.” Pajak hukumnya mubah atau boleh (dapat dibenarkan oleh Islam), sebab kita sepakat bahwa tidak diragukan lagi adanya manfaat besar yang dapat diraih lewat pajak tersebut. Pemungutan pajak diperbolehkan dalam Islam seperti yang dikatakan oleh Monzer Kahf (seorang ahli ekonomi muslim), harus terlebih dahulu memperhatikan beberapa hal penting diantaranya bahwa: 1) Pajak yang dikeluarkan harus sesuai dengan kemampuan baik kekayaan maupun sumber penghasilan Wajib Pajak. 2) Orang yang miskin harus dibebaskan dari membayar pajak. 3) Pajak dapat dilaksanakan jika telah disetujui oleh wakil rakyat. 4) Alokasi penerimaan pajak harus dikeluarkan dengan ketentuan syaria‟ah. Dari pendapat Monzer Kahf tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak dapat dikenakan di bawah sistem Islam, selama pendapatan dari pajak tersebut diperlukan untuk pengembangan dan pertahanan negara serta kesejahteraan sosial. Pajak yang diakui dan dianggap sebagai sistem yang dibenarkan dalam sejarah fiqh Islam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: 1. Apabila penerimaan tersebut betul-betul dibutuhkan dan mendesak, sementara tidak ditemukanadanya sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy. Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhati- kan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar-benar kosong. Para ulama benar-benar sangat hati-hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak. Sultan Zahir Baibas adalah Raja muslim yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak berperang melawan tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perang. Maka dikumpulkanlah para Ulama dalam Musyawarah, mereka menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil, sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”, Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia, sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “Kenapa tuan
  • 8. menolak?” Imam Nawawi berkata, “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa- apa, lalu Allah SWT memberikan kekayaan dan dijadikannya seorang raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba, setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat. Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir menjadi sangat marah dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya taati perintah Sultan”, lalu pergilah ia ke kampung Nawa (maka itulah dia digelari Nawawi). Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami”. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata, “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zahir ada di sana”, kemudian Sultan pun meninggal. Di antara tulisan berupa nasihat untuk Sultan Zabir ia berkata, “Tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul mal ada uang atau perhiasan, harta benda atau ladang yang dapat dijual”. Semoga ini menjadi renungan dan i‟tibar bagi umat Islam saat ini, terutama bagi penguasa, wakil rakyat, dan pejabat pemerintah. 2. Pemungutan Pajak yang Adil. Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pemungutan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syarat. Harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan, jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyarakat.Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial, dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan (Qardhawi h. 1081-1082). Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan. 3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu. Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok , bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya. Karena itu, Al-Qur‟an memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Justru itulah para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat besar menekankan penggunaan kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syariat. Jangan sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi. Tetapi sangat disayangkan, tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan uang pajak untuk kepentingan pribadi, golongan dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan raja dan pejabat yang rakus. Ibnu Sa‟ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah?”. Salman menjawab, “Kalau engkau memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”. Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memberikan sesuatu kecuali kepada yang berhak.
  • 9. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (zalim) akan berbuat sekehendaknya”( Ibid 20, hlm. 1083). Maka Umar pun terdiam. 4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Para penguasa yaitu Kepala Negara, Gubernur atau Bupati dan Walikota dalam pemerintahan di daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat serta para wakil rakyat. Selain itu perlu dijaga harmonisasi ketentuan perpajakan di pusat dan daerah, karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT. Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan mekanisme pajak. Para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan. (Widi Widodo, Bandung)