SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
1
PERANAN MUI DALAM PENANGANAN PRODUK HALAL
Oleh:
Prof. DR. K.H. Rachmat Syafe’i, Lc., MA
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam,
namun penanganan masalah kehalalan belum diperhatikan secara benar. Hal ini ditunjukkan
oleh jalannya sejarah dimana pada tahun 80 an terjadi apa yang disebut kasus lemak babi.
Bermula dari kasus tersebut, mulai diperhatikan kehalalan suatu produk. MUI sebagai
kumpulan alim ulama pun semakin dituntut perannya dalam penanganan produk halal.
Salah satu kunci sukses keberhasilan penanganan produk halal di Indonesia adalah
peranan tokoh agama dan alim ulama yang turut aktif bekerjasama di antaranya dengan
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Agama dalam mendukung suksesnya pembinaan dan pengawasan produksi
dan peredaran makanan olahan, dan produk pangan lainnya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1989 membentuk
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika. MUI juga mengeluarkan fatwa
yang isinya mengenai sertifikasi halal. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan detail dan
rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI.
Sertifikat halal MUI merupakan fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa oleh LP
POM MUI berhubungan dengan pelabelan kata Halal pada kemasan produk.
Kedudukan Ulama dalam Penanganan Produk Halal
Dalam Islam, makanan merupakan tolak ukur dari segala cerminan penilaian awal
yang bisa memengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam
tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriyah an sich, tapi juga bagian dari
kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Makanan yang dikonsumsi pun mengandung
konsep halalan thayyiban.
Kata halalan, bahasa Arab, berasal dari kata halla, yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak
terikat’. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena
bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan
sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan kata
thayyib berarti ‘lezat’, ‘baik’, ‘sehat’, ‘menentramkan’, dan ‘paling utama’. Dalam konteks
makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak
(kadaluarsa), atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan
yang mengundang selera bagi yang mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta
akalnya. Juga ada yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman.
Halal dan thayyib penting diketahui sebelum memasuki pengertian dan pengaruh teknologi
terhadap keharaman makanan masa kini.
2
Dari uraian tersebut menjadi jelas bagi kita betapa label halal dalam suatu produk
makanan menjadi sangat penting, apalagi dalam perkembangan teknologi pangan yang
canggih saat ini. Adanya label halal yang dikeluarkan secara hati-hati dan ketat dalam suatu
produk makanan tidak saja memberikan kemudahan bagi konsumen dalam memilih status
kehalalannya, namun juga dapat meningkatkan semangat spiritualisme massal dalam
sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Sejalan dengan hal itu, ulama sebagai tokoh agama memiliki peran yang cukup kuat,
khususnya dalam segi makanan atau produk apa saja yang dikategorikan halal. Kedudukan
ulama dan tokoh agama tidak hanya berpartisipasi dalam pemasyarakatan produk halal
melalui bahasa agama kepada umat. Tapi, lebih jauh memiliki kontribusi pemikiran dan
peranan yang besar dalam merintis dan mengembangkan serta memberikan dasar-dasar
yang kuat terhadap produk halal dengan mengedepankan pertimbangan dari segi hukum
Islam.
Reaktualisasi peran ulama dan tokoh agama terhadap produk halal dilakukan seiring
dengan tuntutan akan peran Islam dalam dinamika perubahan masyarakat sebagai
konsekuensi atas perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Reaktualisasi
itu penting sebagai pengejawantahan rasa tanggung jawab ulama dan tokoh agama pada
masalah aktual bangsa.
Untuk mendukung proses reaktualisasi itu, peningkatan kapasitas pengetahuan para
ulama dan tokoh agama yang selaras dengan kebijakan pemerintah terhadap produk halal
itu sendiri menjadi hal yang mutlak diperlukan. Dalam proses itu, para ulama harus
menempatkan dirinya sebagai “agen perubahan” (agent social of change).
Ada beberapa hal yang perlu disadari oleh alim ulama dan tokoh agama dalam
kedudukannya di masyarakat, antara lain:
Pertama, Ulama adalah Pewaris Para Nabi (Warasat al-Anbiya). Kedudukan ulama
sangat penting karena ia ditempatkan sebagai tokoh informal yang memiliki pengaruh yang
cukup kuat di masyarakat. Ulama memiliki potensi kepemimpinan yang kharismatik, simbol
figur keteladanan, dan mengemban tugas mulia sebagai pewaris para nabi dalam
menyampaikan ajaran agama dengan benar kepada masyarakat. Hal ini berhubungan
dengan bagaimana peran ulama sebagai tokoh yang kerap diminta tanggapannya mengenai
produk apa saja yang masuk dalam kategori halal.
Kedua, Ulama sebagai Pendidik (Educator). Ulama dianggap memiliki keluasan ilmu
dan pemahaman yang mendalam di bidang agama Islam. Ulama seringkali diposisikan
sebagai “tempat bertanya” bagi masyarakat “awwam” dalam memecahkan masalah-
masalah sosial dan keagamaan. Selain itu, ulama pun perlu menjadi contoh suri tauladan
yang baik kepada masyarakat sesuai dengan dalil “Innama Bu’itsu Liuttamima Makarim al-
Akhlak”. Atas dasar itu, setiap ulama dituntut mampu berperan aktif ikut meluruskan
pemahaman yang besar kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi produk
halal.
Ketiga, Ulama sebagai Komunikator (Communicator). Ulama juga berperan penting
sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Komunikasi efektif secara langsung
3
dengan masyarakat dapat dilakukan ulama melalui pengajian-pengajian di mesjid-mesjid,
majelis taklim, lembaga dakwah, dan forum-forum diskusi keagamaan. Selain itu, ulama pun
dapat menyampaikan pesan-pesannya melalui media komunikasi massa sejenis surat kabar,
majalah, radio, televisi, dan bahkan internet. Pemanfaatan kemajuan sistem informasi dan
teknologi sesungguhnya merupakan bagian dari modernisasi yang tidak sepenuhnya
bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, peran ulama dalam mendukung
produk halal di Indonesia sesungguhnya dapat dioptimalkan jika mampu merespons dan
menerima arus modernisasi secara positif selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Keempat, Ulama sebagai Pembaharu (Mujaddid). Ulama seringkali diposisikan
sebagai pembaharu dalam masyarakat. Dalam konteks ini, ulama memegang peranan
penting dalam meluruskan pemahaman agama di masyarakat dari pemahaman agama yang
tradisional (conservative) dan terbelakang (fatalictic) menjadi terbuka/maju (modern) dan
berwawasan ke depan (progressif). Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan kemajuan
dan peradaban. Oleh karena itu, ulama harus mampu menempatkan dirinya sebagai “agen
pembaharu” (mujaddid) dan mampu meluruskan pemahaman yang benar di masyarakat
tentang budaya-budaya baur yang relevan dengan ajaran Islam.
Jika setiap tokoh ulama menyadari kedudukannya dalam masyarakat, bukan hal yang
mustahil, masyarakat menjadi lebih peduli dan hati-hati dalam mengonsumsi berbagai
produk olahan makanan. Oleh karena itu, untuk mendukung suksesnya pemerintahan
Indonesia, kalangan ulama tidak boleh ketinggalan untuk berpartisipasi dalam penanganan
produk halal. Tantangan budaya, modernisasi dan kemajuan teknologi hendaknya direspon
positif dengan partisipasi aktif ulama dalam mendukung program pemerintah yang
berhubungan dengan penanganan produk halal.
Khusus yang berkaitan dan upaya untuk mendukung suksesnya penanganan produk
halal di Indonesia, para ulama perlu meningkatkan wawasan, pengetahuan dan pengalaman
dalam mengkonsumsi suatu produk menurut pandangan keagamaan. Ini sangat penting
dimiliki sebagai bekal mengemban misi pembangunan dan peningkatan kesehatan
masyarakat. Beberapa strategi dapat dilakukan, di antaranya:
1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman umat Islam terhadap nilai-nilai dasar
ajaran Islam, seperti: Islam meyakini keesaan Allah (at-Tauhid), Islam mengakui
persamaan dan keadilan (al-‘Adalah wa al-Musyawat), kebebasan (al-Hurriyat),
toleransi (al-Tasamuh), seimbang (al-Tawazun) dan kompromistis (Musyawarah fi al-
Syura’).
2. Islam datang kepada manusia sebagai agama rahmat bagi seluruh (rahmatan li al-
‘alamin) yang menjungjung tinggi Al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya Islam harus
diajarkan secara menyeluruh/holistik (kaffah), bukan hanya menyangkut aspek
ibadah (ubudiyah), melainkan juga menyangkut urusan kehidupan manusia pada
umumnya (muamalah).
3. Islam menggaransi semua aspek yang datang dari tradisi dan budaya modern selama
tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam itu sendiri. Karenanya
4
pemanfaatan sistem informasi dan teknologi modern untuk tujuan memelihara
kesehatan dapat dibenarkan asalkan sesuai dengan tujuan syari’at Islam.
4. Islam menghendaki peranan ulama sebagai pewaris para Nabi untuk bersikap kritis
dan peka (aware) dan ikut serta dalam mendukung program pembangunan di segala
bidang yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial-budaya.
5. Islam menempatkan para ulama pada kedudukan yang mulia yakni sebagai
pembawa misi Islam, simbol figur keteladanan dan tokoh pemimpin kharismatik
dalam masyarakat muslim.
MUI dan Penanganan Produk Halal
Jika kita cermati, perilaku konsumen di pusat perbelanjaan atau tempat lainnya, kita
akan mendapatkan setidaknya ada tiga kelompok. Pertama, konsumen yang hanya
mempertimbangkan factor harga (murah atau tidak). Kedua, konsumen yang hati-hati dalam
memilih produk karena berdasarkan dorongan agama. Ketiga, konsumen yang membeli
karena factor kesehatan atau karena kualitas, lebih tertarik pada tabel komposisi bahan
yang tertera pada barang tersebut. Perilaku konsumen yang kedua memiliki kecenderungan
terhadap keberadaan produk halal atau label halal pada suatu produk. Disinilah sebenarnya
salah satu peran MUI dalam penanganan produk halal. MUI sebagai lembaga yang memiliki
otoritas dalam pencantuman label halal (melalui LP POM MUI) berperan dalam menjaga hak
perlindungan konsumen.
Setiap orang Islam wajib memastikan kehalalan pangan yang akan dikonsumsinya.
Sebelumnya mengkonsumsi sesuatu makanan, setiap muslim sudah harus sangat yakin
(haqqul yaqin) mengenai kehalalannya. Untuk itu mereka perlu mencari tahu ihwal
kehalalannya. Masalahnya kepada siapa atau kemanakah umat ini harus bertanya atau
mencari tahu?. Tentu saja kepada Al-Quran dan Sunah Rasul, dan atau kepada Alim Ulama
yang memang berwenang menetapkan kehalalan pangan. Dan alamat yang lebih tepat bagi
umat Islam Indonesia dalam menanyakan masalah halal-haram tak terkecuali mengenai
pangan adalah MUI. Ini karena MUI merupakan wadah yang lebih representatif sebagai
tempat terhimpunnya Alim Ulama Kaum Muslim Indonesia.
Masalah halal-haram pangan, bagi umat Islam begitu prinsipil, pada kenyataannya
sampai tahun enam puluhan masih belum ditangani secara baik di negara yang
konstitusinya mengharuskan pembangunan kehidupan beragama dan mayoritas
penduduknya beragama Islam. Indonesia pada dekade 60-an memang telah memiliki
sebuah badan di Depkes yang menangani masalah kehalalan pangan namun dalam
perjalanannya belum dirumuskan secara operasional. Oleh sebab itu, sarana dan
prasarananya juga belum dipersiapkan, sehingga masalah penanganan kehalalan pangan di
negara kita belum optimal.
Mengingat pengaruhnya yang kuat terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmani
dan rohani manusia dan konsekuensi hukumnya yang mendasar dalam kehidupan manusia
di dunia ini dan di akhirat kelak, maka sangat logis jika umat Islam begitu sensitif terhadap
halal-haram pangan. Karena merupakan masalah aqidah, maka mereka amat emosional
5
terhadap pihak manapun yang mencoba-coba mengeksploitasi dan memanipulasi pangan
haram, khususnya yang berunsur hewan babi. Di samping itu, kasus lemak babi (kasus tahun
80an) menimbulkan masalah dalam kelangsungan ekonomi negara yang mengancam
bangkrutnya dunia industri pangan. Karena itu pemerintah meminta bantuan kepada
Majelis Ulama Indonesia. MUI mengambil dua macam tindakan yaitu mengirim tim ke
daerah-daerah untuk menentramkan umat dan untuk jangka panjang MUI mendirikan LP
POM MUI bersama ormas Islam serta berbagai universitas.
Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang
saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal merupakan
pemeriksaan yang rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk
fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa lembaga keahlian (LP POM MUI). Labelisasi
halal merupakan perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu
perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label “HALAL” pada kemasan produk
pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia dalam bentuk sertifikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI
berdasarkan hasil pemeriksaan oleh tim MUI sendiri, yaitu LP POM MUI.
Sebelum ada program satu atap memang terjadi dualisme atau kesimpangsiuran
dalam menangani kehalalan. LP POM MUI menerima permintaan produsen yang
menginginkan produksnya disertifikasi halal. Sementara label halal merupakan wewenang
Depkes, yang juga melakukan pemeriksaan kehalalan. Kini ketiga lembaga itu telah
bersepakat untuk memberlakukan label halal. Pemeriksaan dan fatwa mengenai kehalalan
produk menjadi wewenang MUI. Sementara Depkes, berdasarkan fatwa itu, berwenang
mengeluarkan label kepada produsen yang ingin melabeli produknya. Dengan kerjasama itu,
pemeriksaan yang dilakukan atau proses, dan lain-lain yang terkait dengan produksi pangan
menjadi lebih intensif. Di sisi lain, sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI berdasarkan
fatwa dari sidang Komisi Fatwa mendapat legitimasi yang kuat.
Wewenang MUI yang kemudian dilimpahkan kepada LP POM MUI merupakan
konsekuensi logis, baik ditinjau dari segi logika maupun agama. Setiap pemimpin lembaga
yang mendambakan hasil maksimal, dewasa ini tidak bisa lain kecuali menyerahkan tugas
atau wewenang kepada ahlinya. Rasulullah SAW bahkan menegaskan : “Jika suatu persoalan
diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Dasar
pertimbangan ini pula yang mengilhami MUI untuk mendirikan dan sekaligus
mendelegasikan tugasnya dalam hal pangan kepada LP POM MUI. Secara demikian, MUI
memiliki sebuah pilar strategis dalam membumikan kehalalan pangan. Selain berjuang
untuk membumikan kehalalan pangan, yakni mengaudit halal-haram pangan olahan dan
memberikan sertifikat kehalalannya, sehingga umat mengetahui produk-produk mana yang
halal dan tidak halal, MUI juga memperjuangkan kejelasan kehalalan pangan dalam sistem
perundang-undangan pangan.
Walaupun MUI telah bekerja keras sehingga bisa memberikan fatwa atau
memutuskan status hukum pangan, namun pekerjaan itu belum memiliki nilai guna jika
belum diinformasikan kepada umat. Oleh sebab itu, logis dan ini sesuai kebutuhan nyata
6
umat, kalau fatwa ulama tentang kehalalan pangan lantas harus ditunjukkan dengan bukti
konkrit. Sudah sewajarnya jika fatwa ulama ini ditunjukkan secara tertulis, diwujudkan
dalam bentuk sertifikat dan label halal sehingga umat bisa mengetahui secara pasti produk-
produk pangan serta produk lainnya yang sudah dan belum halal.
Penutup
Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang
saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal merupakan
pemeriksaan yang rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk
fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa lembaga keahlian (LP POM MUI). Labelisasi
halal merupakan perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu
perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label “HALAL” pada kemasan produk
pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia dalam bentuk sertifikat Halal MUI.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, MUI memiliki peran dalam
penanganan produk halal, antara lain:
1. Sertifikasi halal dan pelabelan halal pada produk makanan dan bahan olahan lainnya
melalui keberadaan LP POM MUI yang berhubungan dengan fatwa MUI.
2. MUI berkontribusi terhadap hak perlindungan konsumen, khususnya mengenai
makanan halal, sehingga konsumen terhindar dari hal yang kurang baik.
3. MUI memiliki peran dalam rancangan Undang-Undang Pangan.
Pada gilirannya, peran alim ulama dan tokoh agama dalam mendukung penanganan
produk halal di Jawa Barat dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
2. Mempromosikan kepada khalayak masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi
produk halal
3. Memberikan pemahaman yang benar dan jelas tentang produk halal untuk
memelihara kesehatan dan mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera.
4. Menjalin hubungan kerja sama yang erat dan sinergi dengan pihak pemerintah dan
lembaga terkait untuk berperan serta aktif mendukung suksesnya penanganan
produk halal di Indonesia.

More Related Content

What's hot

Filsafat Kemuhammadiyahan
Filsafat KemuhammadiyahanFilsafat Kemuhammadiyahan
Filsafat KemuhammadiyahanKasmadi Rais
 
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamKonsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamNizar Syamsi
 
Materi 5 landasan normatif muhammadiyah
Materi 5  landasan normatif muhammadiyahMateri 5  landasan normatif muhammadiyah
Materi 5 landasan normatif muhammadiyahDewi Atin Surya
 
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAM
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAMISU MAKANAN HALAL DAN HARAM
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAMtaufikjohan
 
Bab khittah muhammadiyah
Bab khittah muhammadiyahBab khittah muhammadiyah
Bab khittah muhammadiyahsartono mupat
 
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatifKuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatifFara Omar
 
Sejarah berdirinya muhammadiyah
Sejarah berdirinya muhammadiyahSejarah berdirinya muhammadiyah
Sejarah berdirinya muhammadiyahfatimmatuzzahro
 
PPT Pembaharuan Islam
PPT Pembaharuan IslamPPT Pembaharuan Islam
PPT Pembaharuan Islamnur azizah
 
Konsep pembaharuan pendidikan
Konsep pembaharuan pendidikanKonsep pembaharuan pendidikan
Konsep pembaharuan pendidikanNizar Syamsi
 
Prinsip prinsip islam hadhari
Prinsip prinsip islam hadhariPrinsip prinsip islam hadhari
Prinsip prinsip islam hadhariAhmadi Alimuddin
 
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)Audria
 
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia Fathia Rosatika
 
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)Fathia Rosatika
 
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyah
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyahPedoman hidup-islami-warga-muhammadiyah
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyahM Sodikin
 
Power point makalah muhammadiyah dan nu
Power point makalah muhammadiyah dan nuPower point makalah muhammadiyah dan nu
Power point makalah muhammadiyah dan nuIbn Mawardi
 

What's hot (20)

Filsafat Kemuhammadiyahan
Filsafat KemuhammadiyahanFilsafat Kemuhammadiyahan
Filsafat Kemuhammadiyahan
 
Gerakan Muhammadiyah
Gerakan MuhammadiyahGerakan Muhammadiyah
Gerakan Muhammadiyah
 
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islamKonsep pembaharuan dalam pendidikan islam
Konsep pembaharuan dalam pendidikan islam
 
Materi 5 landasan normatif muhammadiyah
Materi 5  landasan normatif muhammadiyahMateri 5  landasan normatif muhammadiyah
Materi 5 landasan normatif muhammadiyah
 
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAM
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAMISU MAKANAN HALAL DAN HARAM
ISU MAKANAN HALAL DAN HARAM
 
Bab khittah muhammadiyah
Bab khittah muhammadiyahBab khittah muhammadiyah
Bab khittah muhammadiyah
 
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatifKuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif
Kuliah 2 Komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif
 
Sejarah berdirinya muhammadiyah
Sejarah berdirinya muhammadiyahSejarah berdirinya muhammadiyah
Sejarah berdirinya muhammadiyah
 
PPT Pembaharuan Islam
PPT Pembaharuan IslamPPT Pembaharuan Islam
PPT Pembaharuan Islam
 
Konsep pembaharuan pendidikan
Konsep pembaharuan pendidikanKonsep pembaharuan pendidikan
Konsep pembaharuan pendidikan
 
Prinsip prinsip islam hadhari
Prinsip prinsip islam hadhariPrinsip prinsip islam hadhari
Prinsip prinsip islam hadhari
 
Makalah gerakan muhammadiyah
Makalah gerakan muhammadiyahMakalah gerakan muhammadiyah
Makalah gerakan muhammadiyah
 
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Politik (AIK 3)
 
Ss
SsSs
Ss
 
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Agama Islam kelas 12 - Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
 
PPT AIK
PPT AIKPPT AIK
PPT AIK
 
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)
18593 agama (gerakan pembaruan Islam di Indonesia)
 
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyah
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyahPedoman hidup-islami-warga-muhammadiyah
Pedoman hidup-islami-warga-muhammadiyah
 
Ulang Kaji Ujian TITAS
Ulang Kaji Ujian TITAS Ulang Kaji Ujian TITAS
Ulang Kaji Ujian TITAS
 
Power point makalah muhammadiyah dan nu
Power point makalah muhammadiyah dan nuPower point makalah muhammadiyah dan nu
Power point makalah muhammadiyah dan nu
 

Similar to 1"Peran MUI dalam Penanganan Produk Halal

Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Anton Saja
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanpjj_kemenkes
 
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASI
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASIPEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASI
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASIyizreel nicholas
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-haripjj_kemenkes
 
Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Anton Saja
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamSeptian Muna Barakati
 
Peran nu dalam mempertahankan nkri
Peran nu dalam mempertahankan nkriPeran nu dalam mempertahankan nkri
Peran nu dalam mempertahankan nkriSeptiyan Niam
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanpjj_kemenkes
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesiapjj_kemenkes
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamWarnet Raha
 
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptx
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptxMuhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptx
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptxRafdianRisly
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamOperator Warnet Vast Raha
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamOperator Warnet Vast Raha
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamOperator Warnet Vast Raha
 
Manusia dan Kehidupan
Manusia dan KehidupanManusia dan Kehidupan
Manusia dan Kehidupanpjj_kemenkes
 
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptx
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptxGURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptx
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptxTUANAHMADMUQRISBINTU
 

Similar to 1"Peran MUI dalam Penanganan Produk Halal (20)

Makalah ilmu sosial budaya
Makalah ilmu sosial budayaMakalah ilmu sosial budaya
Makalah ilmu sosial budaya
 
Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
 
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASI
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASIPEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASI
PEMANTAPAN KOMPONEN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM BAGI MENANGANI ERA GLOBALISASI
 
Makalah ilmu sosial budaya
Makalah ilmu sosial budayaMakalah ilmu sosial budaya
Makalah ilmu sosial budaya
 
Pengertian islam
Pengertian islamPengertian islam
Pengertian islam
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
 
Peran nu dalam mempertahankan nkri
Peran nu dalam mempertahankan nkriPeran nu dalam mempertahankan nkri
Peran nu dalam mempertahankan nkri
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesia
 
Revisi pid klmpk 3
Revisi pid klmpk 3Revisi pid klmpk 3
Revisi pid klmpk 3
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
 
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptx
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptxMuhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptx
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid.pptx
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
 
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islamMakalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
Makalah perlakuan terhadap orang sakit dan sakaratul maut menurut ajaran islam
 
Manusia dan Kehidupan
Manusia dan KehidupanManusia dan Kehidupan
Manusia dan Kehidupan
 
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptx
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptxGURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptx
GURU IMPIAN ( FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM ).pptx
 

1"Peran MUI dalam Penanganan Produk Halal

  • 1. 1 PERANAN MUI DALAM PENANGANAN PRODUK HALAL Oleh: Prof. DR. K.H. Rachmat Syafe’i, Lc., MA Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, namun penanganan masalah kehalalan belum diperhatikan secara benar. Hal ini ditunjukkan oleh jalannya sejarah dimana pada tahun 80 an terjadi apa yang disebut kasus lemak babi. Bermula dari kasus tersebut, mulai diperhatikan kehalalan suatu produk. MUI sebagai kumpulan alim ulama pun semakin dituntut perannya dalam penanganan produk halal. Salah satu kunci sukses keberhasilan penanganan produk halal di Indonesia adalah peranan tokoh agama dan alim ulama yang turut aktif bekerjasama di antaranya dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Agama dalam mendukung suksesnya pembinaan dan pengawasan produksi dan peredaran makanan olahan, dan produk pangan lainnya. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1989 membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika. MUI juga mengeluarkan fatwa yang isinya mengenai sertifikasi halal. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan detail dan rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI. Sertifikat halal MUI merupakan fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa oleh LP POM MUI berhubungan dengan pelabelan kata Halal pada kemasan produk. Kedudukan Ulama dalam Penanganan Produk Halal Dalam Islam, makanan merupakan tolak ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa memengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriyah an sich, tapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Makanan yang dikonsumsi pun mengandung konsep halalan thayyiban. Kata halalan, bahasa Arab, berasal dari kata halla, yang berarti ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Sedangkan kata thayyib berarti ‘lezat’, ‘baik’, ‘sehat’, ‘menentramkan’, dan ‘paling utama’. Dalam konteks makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. Juga ada yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman. Halal dan thayyib penting diketahui sebelum memasuki pengertian dan pengaruh teknologi terhadap keharaman makanan masa kini.
  • 2. 2 Dari uraian tersebut menjadi jelas bagi kita betapa label halal dalam suatu produk makanan menjadi sangat penting, apalagi dalam perkembangan teknologi pangan yang canggih saat ini. Adanya label halal yang dikeluarkan secara hati-hati dan ketat dalam suatu produk makanan tidak saja memberikan kemudahan bagi konsumen dalam memilih status kehalalannya, namun juga dapat meningkatkan semangat spiritualisme massal dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Sejalan dengan hal itu, ulama sebagai tokoh agama memiliki peran yang cukup kuat, khususnya dalam segi makanan atau produk apa saja yang dikategorikan halal. Kedudukan ulama dan tokoh agama tidak hanya berpartisipasi dalam pemasyarakatan produk halal melalui bahasa agama kepada umat. Tapi, lebih jauh memiliki kontribusi pemikiran dan peranan yang besar dalam merintis dan mengembangkan serta memberikan dasar-dasar yang kuat terhadap produk halal dengan mengedepankan pertimbangan dari segi hukum Islam. Reaktualisasi peran ulama dan tokoh agama terhadap produk halal dilakukan seiring dengan tuntutan akan peran Islam dalam dinamika perubahan masyarakat sebagai konsekuensi atas perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Reaktualisasi itu penting sebagai pengejawantahan rasa tanggung jawab ulama dan tokoh agama pada masalah aktual bangsa. Untuk mendukung proses reaktualisasi itu, peningkatan kapasitas pengetahuan para ulama dan tokoh agama yang selaras dengan kebijakan pemerintah terhadap produk halal itu sendiri menjadi hal yang mutlak diperlukan. Dalam proses itu, para ulama harus menempatkan dirinya sebagai “agen perubahan” (agent social of change). Ada beberapa hal yang perlu disadari oleh alim ulama dan tokoh agama dalam kedudukannya di masyarakat, antara lain: Pertama, Ulama adalah Pewaris Para Nabi (Warasat al-Anbiya). Kedudukan ulama sangat penting karena ia ditempatkan sebagai tokoh informal yang memiliki pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Ulama memiliki potensi kepemimpinan yang kharismatik, simbol figur keteladanan, dan mengemban tugas mulia sebagai pewaris para nabi dalam menyampaikan ajaran agama dengan benar kepada masyarakat. Hal ini berhubungan dengan bagaimana peran ulama sebagai tokoh yang kerap diminta tanggapannya mengenai produk apa saja yang masuk dalam kategori halal. Kedua, Ulama sebagai Pendidik (Educator). Ulama dianggap memiliki keluasan ilmu dan pemahaman yang mendalam di bidang agama Islam. Ulama seringkali diposisikan sebagai “tempat bertanya” bagi masyarakat “awwam” dalam memecahkan masalah- masalah sosial dan keagamaan. Selain itu, ulama pun perlu menjadi contoh suri tauladan yang baik kepada masyarakat sesuai dengan dalil “Innama Bu’itsu Liuttamima Makarim al- Akhlak”. Atas dasar itu, setiap ulama dituntut mampu berperan aktif ikut meluruskan pemahaman yang besar kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi produk halal. Ketiga, Ulama sebagai Komunikator (Communicator). Ulama juga berperan penting sebagai penyampai informasi kepada masyarakat. Komunikasi efektif secara langsung
  • 3. 3 dengan masyarakat dapat dilakukan ulama melalui pengajian-pengajian di mesjid-mesjid, majelis taklim, lembaga dakwah, dan forum-forum diskusi keagamaan. Selain itu, ulama pun dapat menyampaikan pesan-pesannya melalui media komunikasi massa sejenis surat kabar, majalah, radio, televisi, dan bahkan internet. Pemanfaatan kemajuan sistem informasi dan teknologi sesungguhnya merupakan bagian dari modernisasi yang tidak sepenuhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, peran ulama dalam mendukung produk halal di Indonesia sesungguhnya dapat dioptimalkan jika mampu merespons dan menerima arus modernisasi secara positif selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keempat, Ulama sebagai Pembaharu (Mujaddid). Ulama seringkali diposisikan sebagai pembaharu dalam masyarakat. Dalam konteks ini, ulama memegang peranan penting dalam meluruskan pemahaman agama di masyarakat dari pemahaman agama yang tradisional (conservative) dan terbelakang (fatalictic) menjadi terbuka/maju (modern) dan berwawasan ke depan (progressif). Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan kemajuan dan peradaban. Oleh karena itu, ulama harus mampu menempatkan dirinya sebagai “agen pembaharu” (mujaddid) dan mampu meluruskan pemahaman yang benar di masyarakat tentang budaya-budaya baur yang relevan dengan ajaran Islam. Jika setiap tokoh ulama menyadari kedudukannya dalam masyarakat, bukan hal yang mustahil, masyarakat menjadi lebih peduli dan hati-hati dalam mengonsumsi berbagai produk olahan makanan. Oleh karena itu, untuk mendukung suksesnya pemerintahan Indonesia, kalangan ulama tidak boleh ketinggalan untuk berpartisipasi dalam penanganan produk halal. Tantangan budaya, modernisasi dan kemajuan teknologi hendaknya direspon positif dengan partisipasi aktif ulama dalam mendukung program pemerintah yang berhubungan dengan penanganan produk halal. Khusus yang berkaitan dan upaya untuk mendukung suksesnya penanganan produk halal di Indonesia, para ulama perlu meningkatkan wawasan, pengetahuan dan pengalaman dalam mengkonsumsi suatu produk menurut pandangan keagamaan. Ini sangat penting dimiliki sebagai bekal mengemban misi pembangunan dan peningkatan kesehatan masyarakat. Beberapa strategi dapat dilakukan, di antaranya: 1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman umat Islam terhadap nilai-nilai dasar ajaran Islam, seperti: Islam meyakini keesaan Allah (at-Tauhid), Islam mengakui persamaan dan keadilan (al-‘Adalah wa al-Musyawat), kebebasan (al-Hurriyat), toleransi (al-Tasamuh), seimbang (al-Tawazun) dan kompromistis (Musyawarah fi al- Syura’). 2. Islam datang kepada manusia sebagai agama rahmat bagi seluruh (rahmatan li al- ‘alamin) yang menjungjung tinggi Al-Qur’an dan Sunnah. Karenanya Islam harus diajarkan secara menyeluruh/holistik (kaffah), bukan hanya menyangkut aspek ibadah (ubudiyah), melainkan juga menyangkut urusan kehidupan manusia pada umumnya (muamalah). 3. Islam menggaransi semua aspek yang datang dari tradisi dan budaya modern selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam itu sendiri. Karenanya
  • 4. 4 pemanfaatan sistem informasi dan teknologi modern untuk tujuan memelihara kesehatan dapat dibenarkan asalkan sesuai dengan tujuan syari’at Islam. 4. Islam menghendaki peranan ulama sebagai pewaris para Nabi untuk bersikap kritis dan peka (aware) dan ikut serta dalam mendukung program pembangunan di segala bidang yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial-budaya. 5. Islam menempatkan para ulama pada kedudukan yang mulia yakni sebagai pembawa misi Islam, simbol figur keteladanan dan tokoh pemimpin kharismatik dalam masyarakat muslim. MUI dan Penanganan Produk Halal Jika kita cermati, perilaku konsumen di pusat perbelanjaan atau tempat lainnya, kita akan mendapatkan setidaknya ada tiga kelompok. Pertama, konsumen yang hanya mempertimbangkan factor harga (murah atau tidak). Kedua, konsumen yang hati-hati dalam memilih produk karena berdasarkan dorongan agama. Ketiga, konsumen yang membeli karena factor kesehatan atau karena kualitas, lebih tertarik pada tabel komposisi bahan yang tertera pada barang tersebut. Perilaku konsumen yang kedua memiliki kecenderungan terhadap keberadaan produk halal atau label halal pada suatu produk. Disinilah sebenarnya salah satu peran MUI dalam penanganan produk halal. MUI sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam pencantuman label halal (melalui LP POM MUI) berperan dalam menjaga hak perlindungan konsumen. Setiap orang Islam wajib memastikan kehalalan pangan yang akan dikonsumsinya. Sebelumnya mengkonsumsi sesuatu makanan, setiap muslim sudah harus sangat yakin (haqqul yaqin) mengenai kehalalannya. Untuk itu mereka perlu mencari tahu ihwal kehalalannya. Masalahnya kepada siapa atau kemanakah umat ini harus bertanya atau mencari tahu?. Tentu saja kepada Al-Quran dan Sunah Rasul, dan atau kepada Alim Ulama yang memang berwenang menetapkan kehalalan pangan. Dan alamat yang lebih tepat bagi umat Islam Indonesia dalam menanyakan masalah halal-haram tak terkecuali mengenai pangan adalah MUI. Ini karena MUI merupakan wadah yang lebih representatif sebagai tempat terhimpunnya Alim Ulama Kaum Muslim Indonesia. Masalah halal-haram pangan, bagi umat Islam begitu prinsipil, pada kenyataannya sampai tahun enam puluhan masih belum ditangani secara baik di negara yang konstitusinya mengharuskan pembangunan kehidupan beragama dan mayoritas penduduknya beragama Islam. Indonesia pada dekade 60-an memang telah memiliki sebuah badan di Depkes yang menangani masalah kehalalan pangan namun dalam perjalanannya belum dirumuskan secara operasional. Oleh sebab itu, sarana dan prasarananya juga belum dipersiapkan, sehingga masalah penanganan kehalalan pangan di negara kita belum optimal. Mengingat pengaruhnya yang kuat terhadap pertumbuhan dan kesehatan jasmani dan rohani manusia dan konsekuensi hukumnya yang mendasar dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, maka sangat logis jika umat Islam begitu sensitif terhadap halal-haram pangan. Karena merupakan masalah aqidah, maka mereka amat emosional
  • 5. 5 terhadap pihak manapun yang mencoba-coba mengeksploitasi dan memanipulasi pangan haram, khususnya yang berunsur hewan babi. Di samping itu, kasus lemak babi (kasus tahun 80an) menimbulkan masalah dalam kelangsungan ekonomi negara yang mengancam bangkrutnya dunia industri pangan. Karena itu pemerintah meminta bantuan kepada Majelis Ulama Indonesia. MUI mengambil dua macam tindakan yaitu mengirim tim ke daerah-daerah untuk menentramkan umat dan untuk jangka panjang MUI mendirikan LP POM MUI bersama ormas Islam serta berbagai universitas. Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan yang rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa lembaga keahlian (LP POM MUI). Labelisasi halal merupakan perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label “HALAL” pada kemasan produk pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk sertifikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan oleh tim MUI sendiri, yaitu LP POM MUI. Sebelum ada program satu atap memang terjadi dualisme atau kesimpangsiuran dalam menangani kehalalan. LP POM MUI menerima permintaan produsen yang menginginkan produksnya disertifikasi halal. Sementara label halal merupakan wewenang Depkes, yang juga melakukan pemeriksaan kehalalan. Kini ketiga lembaga itu telah bersepakat untuk memberlakukan label halal. Pemeriksaan dan fatwa mengenai kehalalan produk menjadi wewenang MUI. Sementara Depkes, berdasarkan fatwa itu, berwenang mengeluarkan label kepada produsen yang ingin melabeli produknya. Dengan kerjasama itu, pemeriksaan yang dilakukan atau proses, dan lain-lain yang terkait dengan produksi pangan menjadi lebih intensif. Di sisi lain, sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI berdasarkan fatwa dari sidang Komisi Fatwa mendapat legitimasi yang kuat. Wewenang MUI yang kemudian dilimpahkan kepada LP POM MUI merupakan konsekuensi logis, baik ditinjau dari segi logika maupun agama. Setiap pemimpin lembaga yang mendambakan hasil maksimal, dewasa ini tidak bisa lain kecuali menyerahkan tugas atau wewenang kepada ahlinya. Rasulullah SAW bahkan menegaskan : “Jika suatu persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Dasar pertimbangan ini pula yang mengilhami MUI untuk mendirikan dan sekaligus mendelegasikan tugasnya dalam hal pangan kepada LP POM MUI. Secara demikian, MUI memiliki sebuah pilar strategis dalam membumikan kehalalan pangan. Selain berjuang untuk membumikan kehalalan pangan, yakni mengaudit halal-haram pangan olahan dan memberikan sertifikat kehalalannya, sehingga umat mengetahui produk-produk mana yang halal dan tidak halal, MUI juga memperjuangkan kejelasan kehalalan pangan dalam sistem perundang-undangan pangan. Walaupun MUI telah bekerja keras sehingga bisa memberikan fatwa atau memutuskan status hukum pangan, namun pekerjaan itu belum memiliki nilai guna jika belum diinformasikan kepada umat. Oleh sebab itu, logis dan ini sesuai kebutuhan nyata
  • 6. 6 umat, kalau fatwa ulama tentang kehalalan pangan lantas harus ditunjukkan dengan bukti konkrit. Sudah sewajarnya jika fatwa ulama ini ditunjukkan secara tertulis, diwujudkan dalam bentuk sertifikat dan label halal sehingga umat bisa mengetahui secara pasti produk- produk pangan serta produk lainnya yang sudah dan belum halal. Penutup Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan yang rinci terhadap produk pangan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI terhadap produk yang telah diperiksa lembaga keahlian (LP POM MUI). Labelisasi halal merupakan perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label “HALAL” pada kemasan produk pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia dalam bentuk sertifikat Halal MUI. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, MUI memiliki peran dalam penanganan produk halal, antara lain: 1. Sertifikasi halal dan pelabelan halal pada produk makanan dan bahan olahan lainnya melalui keberadaan LP POM MUI yang berhubungan dengan fatwa MUI. 2. MUI berkontribusi terhadap hak perlindungan konsumen, khususnya mengenai makanan halal, sehingga konsumen terhindar dari hal yang kurang baik. 3. MUI memiliki peran dalam rancangan Undang-Undang Pangan. Pada gilirannya, peran alim ulama dan tokoh agama dalam mendukung penanganan produk halal di Jawa Barat dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 2. Mempromosikan kepada khalayak masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi produk halal 3. Memberikan pemahaman yang benar dan jelas tentang produk halal untuk memelihara kesehatan dan mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera. 4. Menjalin hubungan kerja sama yang erat dan sinergi dengan pihak pemerintah dan lembaga terkait untuk berperan serta aktif mendukung suksesnya penanganan produk halal di Indonesia.