SlideShare a Scribd company logo
Batam Pos 
Minggu, 03 Juni 2007 
Perahu yang Lelah 
Cerpen: Agustinus Wahyono 
Senja telah menutup kilau layar kuning-jingganya sejak delapan jam lampau, Kekasihku. 
Mataku tak kuasa mengelak putaran pikiranku, meski masih teringat pesan nyonya 
majikanku pada empat jam lalu, ?Tidurlah, Mel, sudah jam dua, kamu harus istirahat lalu 
jam tujuh mengantarkan Aken ke sekolah.? 
Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela apartemen ini, 
Kekasihku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap perahu-perahu yang 
bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun tampak di sana, beberapa kilometer dari 
apartemen majikanku ini. Ombak kecil memukul-mukul badannya. Siluet berbedak 
kunang-kunang elektrik gedung-gedung jangkung bergoyang-goyang. Separoh rembulan 
dan gemintang tergantung di atasnya. Sedang suara-suara geliat malam tak mampu 
menembus jendela kaca yang berada di lantai tujuh belas ini. Malam pun melarut dalam 
kesunyian, sesunyi hatiku kini, Kekasihku. 
Tapi suara-suara tadi masih mengiang-ngiang? ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam 
kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda 
beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keluarga majikanku. Kisah cinta yang dilerai 
malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, dibintangi oleh Leonardo de Caprio, 
meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal 
congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di 
permukaan samudera. Tragis. Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau 
helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang 
kekal. 
Kesetiaan? Masih adakah? 
Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah 
cinta itu, Kekasihku? 
Masih ingat, nona sulungku, Kekasihku? Dia kini sudah punya pacar. Perempuan lagi? 
Bukan. Kini pacarnya laki-laki. Dia sudah tidak mau lagi berpacaran dengan sesama 
jenisnya. Tadi sore kekasihnya datang, lalu mengantar si bungsu ke sekolah. Ada kegiatan 
semacam pramuka. Ingat si bungsu, Aken, cowok kecil yang selalu merasa diri Spyderman 
tapi tiba-tiba bergaya kayak gadis di sofa panjang dan sedang dilukis dalam film itu? 
Pangeran kecilku itu pernah pulang dari kemping dengan mengaku tidak gosok gigi selama 
tiga hari. Bau naga! Sedangkan yang tengah, nona cantikku, kini berambisi jadi artis 
remaja, mentang-mentang umurnya sudah empat belas tahun. Aku sayang mereka, 
Kekasihku. Kecuali kau datang dengan perahu cinta, membawaku? 
Cinta? Kekasihku, jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak 
pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan dua tahun saja. Pernikahan yang memang tak 
kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin suamiku dulu mau membiayai 
kuliahku yang mengambil jurusan tanpa restu kedua orang tuaku. 
Ya, mantan suamiku dulu anak orang kaya, namun ternyata tak bisa apa-apa. Waktu itu 
usianya baru 19 tahun, terbiasa manja. Sedangkan umurku waktu itu sudah 22 tahun. Kalau 
toh pernikahan itu kemudian membuahkan seorang anak, cinta sejati tidak jua hadir di 
tengah-tengah kami. Bahtera kami akhirnya karam. Kuliahku terlanjur kandas. Cita-cita 
menjadi sarjana sastra pun terkubur.
Aku memilih pergi ke luar negeri. Kutinggalkan anakku di rumah ibuku. Kutinggalkan 
taman anggrek kami. Kutinggalkan sawah ayahku yang cuma enam petak. Kutinggalkan 
koor katak-katak. Kini terhitung sudah tiga belas tahun aku di Negeri Naga. Baru dua kali 
aku mudik. Belum lama ini kuterima kabar, istri mantan suamiku telah melahirkan anak 
mereka. Terserahlah. Toh kini aku sudah menemukan laki-laki yang? 
Apakah engkau juga pernah menonton film itu, Kekasihku? Apakah engkau juga bisa 
menangkap kesetiaan perempuan yang duduk di sofa panjang itu, Kekasihku? 
Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya 
kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena 
mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara? 
Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari 
Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya bahtera rumah tanggaku! Dalam usiaku yang 
berangka empat puluh, masih kucari mutiara itu di antara pria-pria yang kujumpai di dunia 
internet milik anak majikanku. Ingin kutunjukkan pada bekas suamiku bahwa aku bukan 
janda jelek yang selalu merana, merengek-rengek rujuk bersyarat tetek-bengek. Gigi-gigi 
depanku yang gondrong bukan kendala memalukan apalagi memilukan. Aku masih mampu 
mendapatkan penggantinya. Cara berpikirku pun lebih maju darinya. Dia wajib sadari itu! 
Tapi, masihkah ada cinta sejati di dunia maya semacam itu, Kekasihku? Bilang cinta 
membabi buta lewat chatting tapi berkencan pula dengan gadis-gadis internet lainnya? 
Apakah asmara maya terakhirku ini denganmu layak kupercaya kesetiaanmu, Kekasihku? 
Engkau tampan dan pintar, Kekasihku. Usiamu belum sampai dua lima. Pasti banyak gadis 
yang terpikat olehmu. Apakah kesetiaanmu bisa kuandalkan dan menjamin kesembuhan 
luka lara lamaku yang menanahi hari-hariku akhir-akhir ini? Bagaimana pula dengan laki-laki 
lainnya yang belum lama ini begitu nekat hendak melamarku ke rumah orangtuaku, 
termasuk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan masih beristri? 
Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi 
belia. Biarlah cinta bercahaya / Sinari jejalan hati percaya. Perceraian kami memudarkan 
cahaya cinta itu. Kepercayaanku pada cinta pun entah ke mana hingga kita bertemu di 
dunia maya. Kuingin kembali menyusun puing-puing kepercayaanku pada cahaya cinta, 
meski tak akan segemerlap Kota Naga tatkala kelambu kelam malam membungkusnya. 
Dan kesetiaan. Masihkah ada pada saat layar kaca dijejali oleh pemandangan para 
perempuan serba molek, serba binal, dan pertempuran birahi yang berapi-api? Apakah laki-laki 
masih berpegang pada kesetiaannya, meski kekasih atau istrinya sudah tak lagi jelita, 
apalagi aku, janda beranak satu serta wajahku tak cantik dan tak sesegar bunga baru mekar 
nan cerah-ceria. Kakek-kakek saja masih suka menggoda perempuan muda dengan bahasa 
gula dan janji madu, bagaimana dengan engkau, Kekasihku, yang masih segar-bugar? 
Aku memang egois; menuntut kesetiaanmu, sedangkan aku masih mengais-ngais perhatian 
dari laki-laki lainnya di belakangmu. Tapi, walau lebih muda, engkau bisa mengerti kondisi 
jiwaku. Sekian tahun menjanda, sebatang kara di perantauan, dan malam-malam tertentu 
sepi hasratku dicekik oleh cekikikan kedua majikanku di kamar intim mereka. 
Bukankah lumrah bila aku pun menginginkan suara cekikikan semacam itu, Kekasihku? 
Bukankah aku pernah merasakan hangatnya sentuhan jemari dan asinnya tetesan keringat 
laki-laki? Wajar, kan, kalau kini aku merindukan itu? Ingin kudapatkan itu lagi dari? 
Aaah? Selama kita menjalin kasih di dunia maya, hanya bisa kudengar deru nafas dan
erangmu. Itu pun harus kupancing dengan rengekan manjaku menembus telpon 
genggammu. 
Kemarin pagi aku menelpon ibuku di udik sana, Kekasihku. Beliau menyuruhku segera 
pulang, dan menikah lagi. Menikah lagi? Semudah itu? Siapkah engkau? Siapkah 
keluargamu menerima kehadiranku, Kekasihku? 
Aku belum berani lagi mengambil resiko, meski kusadari usiaku semakin rawan. 
Orangtuaku bertambah renta. Ayahku berumur lebih tujuh puluh tahun, daya dengarnya 
kian menurun. Ibuku sudah kewalahan membagi perhatian, apalagi mengawasi anakku 
yang kini sudah SMA. Untungnya anakku itu laki-laki. Bukan perempuan. Sehingga kalau 
aku menikah lagi, aku tak usah was-was atas perilaku suami baruku alias papa tirinya. Tak 
jarang di media massa online kubaca berita ayah tiri memperkosa atau mencabuli anak 
tirinya. Ah, laki-laki? 
Tapi, kapan aku akan menikah lagi? Kapan aku akan menetap di udik bersama keluarga 
baru dan anakku itu? Jika gagal dan gagal lagi? Sejujurnya kuakui, aku malu jadi janda di 
udik. Berkeluarga di usia muda dan muda pula usia pernikahanku. Apa pula kata 
tetanggaku kelak? Apalagi kalau tiba-tiba aku bertemu dengan mantan suamiku dan 
keluarga barunya. 
Aaah? di negeri orang ini aku bisa lebih tenang, Kekasih. Kita pun bisa bebas bercinta 
kapan saja kendati cuma lewat kata-kata dan suara-suara. Namun tak mungkin selamanya 
aku di sini dan begini. Ibuku juga sempat menanyakan, kelak siapa mengurus anak semata 
wayang itu, Mul. Oh iya, ya, siapa? Masak sih keluargaku lainnya? Bukankah aku ini 
mama kandungnya, kendati tak kurasa lagi ada ikatan batin dengannya? 
Lantas, apakah aku harus memaksamu untuk menikahiku dalam waktu dekat? Sudikah 
engkau menjadi ayah untuk seorang remaja? 
Ah, engkau masih harus menyelesaikan skripsimu, Kekasihku. Belum lagi bagaimana 
tanggapan orangtuamu, keluargamu, kawan-kawanmu. Aaaah? 
Memang salahku dulu. Berjumpa dirimu di internet, aku langsung tertarik, kudekati terus, 
dan kutelpon engkau setiap hari hingga pernah tiga kali sehari demi kelegaan hasrat sepiku. 
Lalu kita terlibat asmara membara. Engkau kian mencintaiku. Begitu katamu, dan sering 
begitu di saat kita mulai mendesah-desah. 
Aku percaya padamu, Kekasihku. Karena memang selama setengah tahun lebih ini tidak 
pernah kudengar obrolan orang-orang internet tentang perselingkuhanmu, atau suara merdu 
perempuan yang mengangkat telponmu. Engkau tipe laki-laki setia, kayaknya. Pernah pula 
beberapa kali kutelpon orangtuamu di pulau sana, walaupun tidak pernah kuberi tahu usia 
dan statusku. Suara ayahmu, ibumu, kakakmu, istri kakakmu, adikmu, dan pacar adikmu 
pernah mencandai telingaku. Sebuah keluarga ramah, sederhana nan setia. Mereka sangat 
percaya padaku, pada cinta kita. Mungkin karena mereka belum tahu asliku. Mungkin pula 
lantaran kau mahir merangkai cerita romantika meyakinkan. 
Tapi, sekali lagi, apakah engkau itu sudi kuajak menikah dalam waktu dekat ini? Aaah? 
Aku tak berani bertaruh dengan angan. Kenyataan tidak segampang bicara via telpon. 
Apalagi kaubilang, tunggu gelar sarjana berhasil kau raih. 
Atau aku menikah dengan laki-laki lain saja? Dengan yang sudah beristri tapi tidak peduli 
keluarganya? Atau, yang kini menduda setelah menceraikan istri keduanya dan 
meninggalkan bayi yang belum genap satu bulan? Bukankah mereka jelas berpengalaman 
dalam banyak hal jika dibandingkan denganmu? Tapi bagaimana dengan kesetiaan mereka? 
Lagi-lagi kesetiaan, sebuah penghormatan terhadap kesakralan akad pernikahan? ?
Terus kupandangi perahu-perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu-perahu di 
dermaga sana digoyang-goyang gelombang kecil. Tak jarang aku merasa diriku seperti 
dermaga itu, Kekasihku. Kapal demi kapal singgah, bersandar. Satu per satu lainnya 
bertolak, meninggalkan dermaga. Datang dan pergi. Terus dan terus. Tiada yang sudi 
menetap dan merapat dengan dermaga itu. Setiap ada kapal yang singgah, bukan hanya 
bahagia serta semarak kurasa, tetapi juga perih, perih sekali. 
Tak pelak aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dermagaku ini adalah pula akuarium 
atau ruang-ruang kaca semacam di mega mal. Mereka yang datang hanya melongok barang 
pameran, lantas pergi setelah mengangkat bahu dengan garis bibir cembung. Sebab aku 
yang buruk rupa dan makin tua ini memang tidak pantas menjadi barang pajangan. 
Kuyakin, engkau pun akan malu membawaku pada acara-acaramu, reuni-reuni sekolah dan 
ulang tahun kolegamu kelak. 
Tidak. Aku bukan dermaga itu, Kekasihku. Melainkan seorang perempuan yang berdiri di 
dermaga cinta. Aku sedang menunggu perahumu datang dan membawaku pergi dari 
kesunyian di pulau kehidupanku sendiri. Perahu jiwaku telah lama kutambatkan di dermaga 
itu. Perahuku makin lusuh dilupakan waktu. Waktu melaju tanpa mau tahu. Bianglala yang 
semula membalut tubuhnya, tak lagi cerah. 
Warna-warnanya berangsur gugur, terkelupas oleh masa dan jeritan batinku. Sedikit demi 
sedikit tampak kayu aslinya yang melapuk dan rapuh dirajah alam serta unsur-unsurnya 
secara membabi buta. 
Kini, sepanjang hari, sungguh-sungguh kunantikan sang waktu menggiring perahumu 
singgah semenjak kaunyalakan sinyal-sinyal jiwamu berlabuh di dermaga rindu, berjanji 
menjemputku. Sepanjang hari, sejak waktu itu, sejak kita bersepakat dalam cinta. 
Entah sudah berapa kali sang ratu malam mengangkangi angkasa. Entah sudah berapa ratus 
pangeran fajar bergantian menyuguhkan segenggam harapan demi harapan. Entah sudah 
berapa banyak putri senja menghibur diriku di jendela beku gedung jangkung ini sembari 
berbisik bahwa esok selalu ada fajar berpijar dan senja kencana memancar kegemilangan di 
penghujung usiaku. 
Kekasihku, apakah engkau benar-benar akan berikan fajar serta senja bagi hari-hariku dan 
menyinari jalanku melintasi sisa-sisa usiaku hingga kelak kujawab sepenuhnya panggilan 
Sang Kekal? Apakah engkau pun mampu melukis pelangi di pekat kelam malam-malamku 
supaya segenap hari-hariku adalah kesemarakan cahaya puji-syukur ke Hadirat Ilahi? 
Di dermaga cinta, perahu jiwaku tak henti bergoyang-goyang, sedikit terombang-ambing 
oleh masa penantian yang sepi serta tak jelas kapan akan berakhir. Kuakui, diriku mulai 
jenuh, jengah dan lelah bersetia di dermaga cinta ini, Kekasihku. Aku ingin perahumu 
muncul di kaki langit Laut Cina Selatan, singgah, kau keluar dari perahu, tersenyum, 
membentangkan kedua lengan berototmu, datang, menggendong dan membelaiku secara 
nyata. 
Tapi, ketahuilah olehmu, Kekasihku, di perantauan ini aku, Mulyani, meski keluarga 
majikanku dan orang-orang di sini memanggilku Meliani karena kelenturan lidah mereka 
berbeda dengan kita, mati-matian menahan diri agar kelak aku tidak mengoleh-olehi aib ke 
udik, tidak mempermalukan keluargaku dan anakku satu-satunya. Aku tidak mau seperti 
Atun, Oneng, Iyem, atau lain-lain yang sangat bebas mengumbar birahi bersama pria-pria 
asing di luar negeri, terutama dari negeri berkulit aspal. Juga aku tidak mau seperti Wati 
dan Tinah yang pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh anak haram jadah. Padahal aku 
pun perempuan normal, apalagi aku janda yang dahaga sentuhan laki-laki seperti yang 
pernah kurasakan. ?
Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan 
menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan 
ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di 
dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang 
menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu 
pujaanku? 
Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah 
di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga 
majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku 
sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. 
Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti 
aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. 
Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu 
yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa. 
Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung 
teluk sana mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu. 
Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela cakrawala, 
burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan busa awan-gemawan 
bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita. 
Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, 
Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah 
di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau 
gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil. 
O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. 
Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku 
memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai 
sejatimu. 
Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku 
dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa 
asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba 
di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku. 
Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil 
pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak 
juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan 
memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin 
harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera 
membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan 
berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***
Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan 
menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan 
ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di 
dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang 
menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu 
pujaanku? 
Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah 
di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga 
majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku 
sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. 
Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti 
aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. 
Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu 
yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa. 
Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung 
teluk sana mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu. 
Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela cakrawala, 
burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan busa awan-gemawan 
bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita. 
Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, 
Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah 
di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau 
gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil. 
O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. 
Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku 
memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai 
sejatimu. 
Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku 
dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa 
asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba 
di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku. 
Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil 
pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak 
juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan 
memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin 
harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera 
membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan 
berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***

More Related Content

What's hot

Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitam
Giffar Izzany
 
LA BARKA -- NH. DINI
LA BARKA -- NH. DINILA BARKA -- NH. DINI
LA BARKA -- NH. DINI
primagraphology consulting
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Suara 3 hati
Suara 3 hatiSuara 3 hati
Fifty Shades Freed (indonesia)
Fifty Shades Freed (indonesia)Fifty Shades Freed (indonesia)
Fifty Shades Freed (indonesia)
Dwie Hermanie
 
Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2tengkiu
 

What's hot (7)

Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitam
 
LA BARKA -- NH. DINI
LA BARKA -- NH. DINILA BARKA -- NH. DINI
LA BARKA -- NH. DINI
 
Ketika derita mengabadikan cinta
Ketika derita mengabadikan cintaKetika derita mengabadikan cinta
Ketika derita mengabadikan cinta
 
Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)Hujan pagi (dwicipta)
Hujan pagi (dwicipta)
 
Suara 3 hati
Suara 3 hatiSuara 3 hati
Suara 3 hati
 
Fifty Shades Freed (indonesia)
Fifty Shades Freed (indonesia)Fifty Shades Freed (indonesia)
Fifty Shades Freed (indonesia)
 
Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2Dewi lestari perahu kertas1-2
Dewi lestari perahu kertas1-2
 

Viewers also liked

Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Tak bisa pulang (eh kartanegara)
Tak bisa pulang (eh kartanegara)Tak bisa pulang (eh kartanegara)
Tak bisa pulang (eh kartanegara)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )
Arvinoor Siregar SH MH
 
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Arvinoor Siregar SH MH
 

Viewers also liked (14)

Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
Sebotol mineral (isbedy stiawan zs)
 
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
Bakauheni yang merenda rindu penyesalan (badarudin)
 
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
Tiga surat cinta untuk bunga (heru kurniawan)
 
Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)Perkawinan rahasia (evi idawati)
Perkawinan rahasia (evi idawati)
 
Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)Tentang musim (lan fang)
Tentang musim (lan fang)
 
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)Pintu yang terkunci (azizah hefni)
Pintu yang terkunci (azizah hefni)
 
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
Ceracau ompu gabe (hasan al banna)
 
Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)Serpih persahabatan (eni muslihah)
Serpih persahabatan (eni muslihah)
 
Tak bisa pulang (eh kartanegara)
Tak bisa pulang (eh kartanegara)Tak bisa pulang (eh kartanegara)
Tak bisa pulang (eh kartanegara)
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
Bohonglah sekali lagi (yustine pravitasmara dewi)
 
Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )Anting (ratna indraswari ibrahim )
Anting (ratna indraswari ibrahim )
 
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)Sepatu tuhan (ugoran prasad)
Sepatu tuhan (ugoran prasad)
 
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
Sopir taksi dan sebuah kepala (naning pranoto)
 

Similar to Perahu yang lelah (agustinus wahyono)

Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
Tito Aloysius
 
Cintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaCintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakula
Teuku Asrul
 
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlapCerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
taufikku
 
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
arvin2014
 
Dua tanjung (farizal sikumbang)
Dua tanjung (farizal sikumbang)Dua tanjung (farizal sikumbang)
Dua tanjung (farizal sikumbang)
Andri Goodwood
 
Paj bersambung
Paj bersambungPaj bersambung
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
Vilkar Net
 
Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)
Poetra Chebhungsu
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Pudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona CleopatraPudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona CleopatraRobby Angryawan
 
Pudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatraPudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatraIit Suryani
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangdesmin
 
Biarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami BersemiBiarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami Bersemi
frans yoseph magun
 
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Arvinoor Siregar SH MH
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuHeni Handayani
 

Similar to Perahu yang lelah (agustinus wahyono) (20)

Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Cintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakulaCintaku bukan drakula
Cintaku bukan drakula
 
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlapCerita ceweksma dalamduniagemerlap
Cerita ceweksma dalamduniagemerlap
 
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
 
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
Cerpen buat saya (sunaryono basuki ks)
 
Dua tanjung (farizal sikumbang)
Dua tanjung (farizal sikumbang)Dua tanjung (farizal sikumbang)
Dua tanjung (farizal sikumbang)
 
Paj bersambung
Paj bersambungPaj bersambung
Paj bersambung
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)Cerpen (harus terpisah)
Cerpen (harus terpisah)
 
Hyrftu
HyrftuHyrftu
Hyrftu
 
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
Perempuan dan puisi tuhan (restoe prawironegoro ibrahim)
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
 
Pudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona CleopatraPudarnya Pesona Cleopatra
Pudarnya Pesona Cleopatra
 
Pudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatraPudarnya pesona cleopatra
Pudarnya pesona cleopatra
 
Layu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembangLayu sebelum berkembang
Layu sebelum berkembang
 
Biarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami BersemiBiarkan Cinta Kami Bersemi
Biarkan Cinta Kami Bersemi
 
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
Sepasang mata yang menyimpan duka (noer mursidi)
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktu
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 

More from Arvinoor Siregar SH MH

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
Arvinoor Siregar SH MH
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
Arvinoor Siregar SH MH
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
Arvinoor Siregar SH MH
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
Arvinoor Siregar SH MH
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
Arvinoor Siregar SH MH
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
Arvinoor Siregar SH MH
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
Arvinoor Siregar SH MH
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
Arvinoor Siregar SH MH
 
Slavery
SlaverySlavery
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
Arvinoor Siregar SH MH
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
Arvinoor Siregar SH MH
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
Arvinoor Siregar SH MH
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
Arvinoor Siregar SH MH
 

More from Arvinoor Siregar SH MH (20)

Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212Unschooling your-child-212
Unschooling your-child-212
 
Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223Montessori homeschooling-223
Montessori homeschooling-223
 
Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501Homeschooling the-darker-side-501
Homeschooling the-darker-side-501
 
Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225Homeschooling the teenager-225
Homeschooling the teenager-225
 
Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572Homeschooling methods-572
Homeschooling methods-572
 
Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223Homeschooling and-college-223
Homeschooling and-college-223
 
Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184Homeschool field-trips-184
Homeschool field-trips-184
 
Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223Homeschool burnout-223
Homeschool burnout-223
 
Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433Financing homeschooling-433
Financing homeschooling-433
 
Thurgood marshall
Thurgood marshallThurgood marshall
Thurgood marshall
 
The rainbow coalition
The rainbow coalitionThe rainbow coalition
The rainbow coalition
 
The halls of power
The halls of powerThe halls of power
The halls of power
 
The dred scott decision
The dred scott decisionThe dred scott decision
The dred scott decision
 
Slavery
SlaverySlavery
Slavery
 
Rosa parks
Rosa parksRosa parks
Rosa parks
 
Martin luther king's dream
Martin luther king's dreamMartin luther king's dream
Martin luther king's dream
 
Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.Martin luther king, jr.
Martin luther king, jr.
 
Jordon and ali
Jordon and aliJordon and ali
Jordon and ali
 
Jackie robinson
Jackie robinsonJackie robinson
Jackie robinson
 
Harriet tubman
Harriet tubmanHarriet tubman
Harriet tubman
 

Perahu yang lelah (agustinus wahyono)

  • 1. Batam Pos Minggu, 03 Juni 2007 Perahu yang Lelah Cerpen: Agustinus Wahyono Senja telah menutup kilau layar kuning-jingganya sejak delapan jam lampau, Kekasihku. Mataku tak kuasa mengelak putaran pikiranku, meski masih teringat pesan nyonya majikanku pada empat jam lalu, ?Tidurlah, Mel, sudah jam dua, kamu harus istirahat lalu jam tujuh mengantarkan Aken ke sekolah.? Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela apartemen ini, Kekasihku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap perahu-perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun tampak di sana, beberapa kilometer dari apartemen majikanku ini. Ombak kecil memukul-mukul badannya. Siluet berbedak kunang-kunang elektrik gedung-gedung jangkung bergoyang-goyang. Separoh rembulan dan gemintang tergantung di atasnya. Sedang suara-suara geliat malam tak mampu menembus jendela kaca yang berada di lantai tujuh belas ini. Malam pun melarut dalam kesunyian, sesunyi hatiku kini, Kekasihku. Tapi suara-suara tadi masih mengiang-ngiang? ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keluarga majikanku. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, dibintangi oleh Leonardo de Caprio, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera. Tragis. Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal. Kesetiaan? Masih adakah? Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah cinta itu, Kekasihku? Masih ingat, nona sulungku, Kekasihku? Dia kini sudah punya pacar. Perempuan lagi? Bukan. Kini pacarnya laki-laki. Dia sudah tidak mau lagi berpacaran dengan sesama jenisnya. Tadi sore kekasihnya datang, lalu mengantar si bungsu ke sekolah. Ada kegiatan semacam pramuka. Ingat si bungsu, Aken, cowok kecil yang selalu merasa diri Spyderman tapi tiba-tiba bergaya kayak gadis di sofa panjang dan sedang dilukis dalam film itu? Pangeran kecilku itu pernah pulang dari kemping dengan mengaku tidak gosok gigi selama tiga hari. Bau naga! Sedangkan yang tengah, nona cantikku, kini berambisi jadi artis remaja, mentang-mentang umurnya sudah empat belas tahun. Aku sayang mereka, Kekasihku. Kecuali kau datang dengan perahu cinta, membawaku? Cinta? Kekasihku, jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan dua tahun saja. Pernikahan yang memang tak kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin suamiku dulu mau membiayai kuliahku yang mengambil jurusan tanpa restu kedua orang tuaku. Ya, mantan suamiku dulu anak orang kaya, namun ternyata tak bisa apa-apa. Waktu itu usianya baru 19 tahun, terbiasa manja. Sedangkan umurku waktu itu sudah 22 tahun. Kalau toh pernikahan itu kemudian membuahkan seorang anak, cinta sejati tidak jua hadir di tengah-tengah kami. Bahtera kami akhirnya karam. Kuliahku terlanjur kandas. Cita-cita menjadi sarjana sastra pun terkubur.
  • 2. Aku memilih pergi ke luar negeri. Kutinggalkan anakku di rumah ibuku. Kutinggalkan taman anggrek kami. Kutinggalkan sawah ayahku yang cuma enam petak. Kutinggalkan koor katak-katak. Kini terhitung sudah tiga belas tahun aku di Negeri Naga. Baru dua kali aku mudik. Belum lama ini kuterima kabar, istri mantan suamiku telah melahirkan anak mereka. Terserahlah. Toh kini aku sudah menemukan laki-laki yang? Apakah engkau juga pernah menonton film itu, Kekasihku? Apakah engkau juga bisa menangkap kesetiaan perempuan yang duduk di sofa panjang itu, Kekasihku? Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara? Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya bahtera rumah tanggaku! Dalam usiaku yang berangka empat puluh, masih kucari mutiara itu di antara pria-pria yang kujumpai di dunia internet milik anak majikanku. Ingin kutunjukkan pada bekas suamiku bahwa aku bukan janda jelek yang selalu merana, merengek-rengek rujuk bersyarat tetek-bengek. Gigi-gigi depanku yang gondrong bukan kendala memalukan apalagi memilukan. Aku masih mampu mendapatkan penggantinya. Cara berpikirku pun lebih maju darinya. Dia wajib sadari itu! Tapi, masihkah ada cinta sejati di dunia maya semacam itu, Kekasihku? Bilang cinta membabi buta lewat chatting tapi berkencan pula dengan gadis-gadis internet lainnya? Apakah asmara maya terakhirku ini denganmu layak kupercaya kesetiaanmu, Kekasihku? Engkau tampan dan pintar, Kekasihku. Usiamu belum sampai dua lima. Pasti banyak gadis yang terpikat olehmu. Apakah kesetiaanmu bisa kuandalkan dan menjamin kesembuhan luka lara lamaku yang menanahi hari-hariku akhir-akhir ini? Bagaimana pula dengan laki-laki lainnya yang belum lama ini begitu nekat hendak melamarku ke rumah orangtuaku, termasuk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan masih beristri? Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi belia. Biarlah cinta bercahaya / Sinari jejalan hati percaya. Perceraian kami memudarkan cahaya cinta itu. Kepercayaanku pada cinta pun entah ke mana hingga kita bertemu di dunia maya. Kuingin kembali menyusun puing-puing kepercayaanku pada cahaya cinta, meski tak akan segemerlap Kota Naga tatkala kelambu kelam malam membungkusnya. Dan kesetiaan. Masihkah ada pada saat layar kaca dijejali oleh pemandangan para perempuan serba molek, serba binal, dan pertempuran birahi yang berapi-api? Apakah laki-laki masih berpegang pada kesetiaannya, meski kekasih atau istrinya sudah tak lagi jelita, apalagi aku, janda beranak satu serta wajahku tak cantik dan tak sesegar bunga baru mekar nan cerah-ceria. Kakek-kakek saja masih suka menggoda perempuan muda dengan bahasa gula dan janji madu, bagaimana dengan engkau, Kekasihku, yang masih segar-bugar? Aku memang egois; menuntut kesetiaanmu, sedangkan aku masih mengais-ngais perhatian dari laki-laki lainnya di belakangmu. Tapi, walau lebih muda, engkau bisa mengerti kondisi jiwaku. Sekian tahun menjanda, sebatang kara di perantauan, dan malam-malam tertentu sepi hasratku dicekik oleh cekikikan kedua majikanku di kamar intim mereka. Bukankah lumrah bila aku pun menginginkan suara cekikikan semacam itu, Kekasihku? Bukankah aku pernah merasakan hangatnya sentuhan jemari dan asinnya tetesan keringat laki-laki? Wajar, kan, kalau kini aku merindukan itu? Ingin kudapatkan itu lagi dari? Aaah? Selama kita menjalin kasih di dunia maya, hanya bisa kudengar deru nafas dan
  • 3. erangmu. Itu pun harus kupancing dengan rengekan manjaku menembus telpon genggammu. Kemarin pagi aku menelpon ibuku di udik sana, Kekasihku. Beliau menyuruhku segera pulang, dan menikah lagi. Menikah lagi? Semudah itu? Siapkah engkau? Siapkah keluargamu menerima kehadiranku, Kekasihku? Aku belum berani lagi mengambil resiko, meski kusadari usiaku semakin rawan. Orangtuaku bertambah renta. Ayahku berumur lebih tujuh puluh tahun, daya dengarnya kian menurun. Ibuku sudah kewalahan membagi perhatian, apalagi mengawasi anakku yang kini sudah SMA. Untungnya anakku itu laki-laki. Bukan perempuan. Sehingga kalau aku menikah lagi, aku tak usah was-was atas perilaku suami baruku alias papa tirinya. Tak jarang di media massa online kubaca berita ayah tiri memperkosa atau mencabuli anak tirinya. Ah, laki-laki? Tapi, kapan aku akan menikah lagi? Kapan aku akan menetap di udik bersama keluarga baru dan anakku itu? Jika gagal dan gagal lagi? Sejujurnya kuakui, aku malu jadi janda di udik. Berkeluarga di usia muda dan muda pula usia pernikahanku. Apa pula kata tetanggaku kelak? Apalagi kalau tiba-tiba aku bertemu dengan mantan suamiku dan keluarga barunya. Aaah? di negeri orang ini aku bisa lebih tenang, Kekasih. Kita pun bisa bebas bercinta kapan saja kendati cuma lewat kata-kata dan suara-suara. Namun tak mungkin selamanya aku di sini dan begini. Ibuku juga sempat menanyakan, kelak siapa mengurus anak semata wayang itu, Mul. Oh iya, ya, siapa? Masak sih keluargaku lainnya? Bukankah aku ini mama kandungnya, kendati tak kurasa lagi ada ikatan batin dengannya? Lantas, apakah aku harus memaksamu untuk menikahiku dalam waktu dekat? Sudikah engkau menjadi ayah untuk seorang remaja? Ah, engkau masih harus menyelesaikan skripsimu, Kekasihku. Belum lagi bagaimana tanggapan orangtuamu, keluargamu, kawan-kawanmu. Aaaah? Memang salahku dulu. Berjumpa dirimu di internet, aku langsung tertarik, kudekati terus, dan kutelpon engkau setiap hari hingga pernah tiga kali sehari demi kelegaan hasrat sepiku. Lalu kita terlibat asmara membara. Engkau kian mencintaiku. Begitu katamu, dan sering begitu di saat kita mulai mendesah-desah. Aku percaya padamu, Kekasihku. Karena memang selama setengah tahun lebih ini tidak pernah kudengar obrolan orang-orang internet tentang perselingkuhanmu, atau suara merdu perempuan yang mengangkat telponmu. Engkau tipe laki-laki setia, kayaknya. Pernah pula beberapa kali kutelpon orangtuamu di pulau sana, walaupun tidak pernah kuberi tahu usia dan statusku. Suara ayahmu, ibumu, kakakmu, istri kakakmu, adikmu, dan pacar adikmu pernah mencandai telingaku. Sebuah keluarga ramah, sederhana nan setia. Mereka sangat percaya padaku, pada cinta kita. Mungkin karena mereka belum tahu asliku. Mungkin pula lantaran kau mahir merangkai cerita romantika meyakinkan. Tapi, sekali lagi, apakah engkau itu sudi kuajak menikah dalam waktu dekat ini? Aaah? Aku tak berani bertaruh dengan angan. Kenyataan tidak segampang bicara via telpon. Apalagi kaubilang, tunggu gelar sarjana berhasil kau raih. Atau aku menikah dengan laki-laki lain saja? Dengan yang sudah beristri tapi tidak peduli keluarganya? Atau, yang kini menduda setelah menceraikan istri keduanya dan meninggalkan bayi yang belum genap satu bulan? Bukankah mereka jelas berpengalaman dalam banyak hal jika dibandingkan denganmu? Tapi bagaimana dengan kesetiaan mereka? Lagi-lagi kesetiaan, sebuah penghormatan terhadap kesakralan akad pernikahan? ?
  • 4. Terus kupandangi perahu-perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu-perahu di dermaga sana digoyang-goyang gelombang kecil. Tak jarang aku merasa diriku seperti dermaga itu, Kekasihku. Kapal demi kapal singgah, bersandar. Satu per satu lainnya bertolak, meninggalkan dermaga. Datang dan pergi. Terus dan terus. Tiada yang sudi menetap dan merapat dengan dermaga itu. Setiap ada kapal yang singgah, bukan hanya bahagia serta semarak kurasa, tetapi juga perih, perih sekali. Tak pelak aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dermagaku ini adalah pula akuarium atau ruang-ruang kaca semacam di mega mal. Mereka yang datang hanya melongok barang pameran, lantas pergi setelah mengangkat bahu dengan garis bibir cembung. Sebab aku yang buruk rupa dan makin tua ini memang tidak pantas menjadi barang pajangan. Kuyakin, engkau pun akan malu membawaku pada acara-acaramu, reuni-reuni sekolah dan ulang tahun kolegamu kelak. Tidak. Aku bukan dermaga itu, Kekasihku. Melainkan seorang perempuan yang berdiri di dermaga cinta. Aku sedang menunggu perahumu datang dan membawaku pergi dari kesunyian di pulau kehidupanku sendiri. Perahu jiwaku telah lama kutambatkan di dermaga itu. Perahuku makin lusuh dilupakan waktu. Waktu melaju tanpa mau tahu. Bianglala yang semula membalut tubuhnya, tak lagi cerah. Warna-warnanya berangsur gugur, terkelupas oleh masa dan jeritan batinku. Sedikit demi sedikit tampak kayu aslinya yang melapuk dan rapuh dirajah alam serta unsur-unsurnya secara membabi buta. Kini, sepanjang hari, sungguh-sungguh kunantikan sang waktu menggiring perahumu singgah semenjak kaunyalakan sinyal-sinyal jiwamu berlabuh di dermaga rindu, berjanji menjemputku. Sepanjang hari, sejak waktu itu, sejak kita bersepakat dalam cinta. Entah sudah berapa kali sang ratu malam mengangkangi angkasa. Entah sudah berapa ratus pangeran fajar bergantian menyuguhkan segenggam harapan demi harapan. Entah sudah berapa banyak putri senja menghibur diriku di jendela beku gedung jangkung ini sembari berbisik bahwa esok selalu ada fajar berpijar dan senja kencana memancar kegemilangan di penghujung usiaku. Kekasihku, apakah engkau benar-benar akan berikan fajar serta senja bagi hari-hariku dan menyinari jalanku melintasi sisa-sisa usiaku hingga kelak kujawab sepenuhnya panggilan Sang Kekal? Apakah engkau pun mampu melukis pelangi di pekat kelam malam-malamku supaya segenap hari-hariku adalah kesemarakan cahaya puji-syukur ke Hadirat Ilahi? Di dermaga cinta, perahu jiwaku tak henti bergoyang-goyang, sedikit terombang-ambing oleh masa penantian yang sepi serta tak jelas kapan akan berakhir. Kuakui, diriku mulai jenuh, jengah dan lelah bersetia di dermaga cinta ini, Kekasihku. Aku ingin perahumu muncul di kaki langit Laut Cina Selatan, singgah, kau keluar dari perahu, tersenyum, membentangkan kedua lengan berototmu, datang, menggendong dan membelaiku secara nyata. Tapi, ketahuilah olehmu, Kekasihku, di perantauan ini aku, Mulyani, meski keluarga majikanku dan orang-orang di sini memanggilku Meliani karena kelenturan lidah mereka berbeda dengan kita, mati-matian menahan diri agar kelak aku tidak mengoleh-olehi aib ke udik, tidak mempermalukan keluargaku dan anakku satu-satunya. Aku tidak mau seperti Atun, Oneng, Iyem, atau lain-lain yang sangat bebas mengumbar birahi bersama pria-pria asing di luar negeri, terutama dari negeri berkulit aspal. Juga aku tidak mau seperti Wati dan Tinah yang pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh anak haram jadah. Padahal aku pun perempuan normal, apalagi aku janda yang dahaga sentuhan laki-laki seperti yang pernah kurasakan. ?
  • 5. Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku? Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa. Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung teluk sana mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu. Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela cakrawala, burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan busa awan-gemawan bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita. Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil. O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai sejatimu. Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku. Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***
  • 6. Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku? Kesunyian kian menghasut kesepianku. Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk, Kekasihku. Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa. Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung teluk sana mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu. Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela cakrawala, burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan busa awan-gemawan bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita. Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil. O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai sejatimu. Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku. Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga. Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku. ***