SlideShare a Scribd company logo
@yustinus_esha
Catatan Mas Romo
A
sampai
Z
A
Aku Suka Sampah
Angkringan Menantang Jaman
Animal Welfare
Aqua Mengalir Sampai Jauh
B
Banjir : Rajin Mengeruk Pangkal Banjir
Belajar Mendengarkan
Benar Itu Lucu
Bom Bunuh Diri – Sekali Berarti Habis itu Mati
C
City Without Slum Area
G
Garbage In, Garbage Out
Generasi Sehat Tanpa Ngobat
Genius Lokal
H
Habis Gelap Terbitlah Surti
Harga Penghargaan
I
Ingat Jasanya, Lupakan Kesalahannya
J
Jangan Biarkan Mereka Mati
K
Kaderisasi Koruptor
L
Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga Sumber Masalah?
Lupa Diri Karena Memikirkan Diri Sendiri
M
Macet, Update Status Saja
Marah Saja Kalau Tak Sayang Pulsa
Marzuki Lebay Nan Alay
MCK Plus Plus
Melukis Tubuh Dengan Rasa Sakit
O
Orang Terhormat Dengan Otak Palsu
P
Pemimpin Tuli
Perihal Anak
Perihal Cantik dan Tampan
Politik Cium Tangan
R
Reformasi dan Komisi
Rok Mini dan Wakil Rakyat
Roro Mendut dan Rokok Mild
S
San Diego Hills
Singgah Minum
Smilling Land and Smilling People
Social Media, Berbagi dan Perubahan
T
Terimakasih Atas Kecerobohan Anda
Trans Jakarta (Wabah)
U
Usah Kau Berjanji
A
Aku Suka Sampah
Sampah dipahami sebagai sesuatu yang kotor, berbau, jorok dan tidak berguna oleh karenanya harus
dibuang jauh-jauh. Pandangan ini tidak selalu benar sebab ada juga yang disebut sebagai sampah, yaitu
sampah masyarakat ternyata digemari dimana-mana dan bikin pusing semua pihak untuk
melenyapkannya dari muka bumi.
Banyak orang bisa membuktikan bahwa ternyata sampah bukanlah barang buangan yang tak berguna,
sampah masih mempunyai nilai bahkan bisa membuat orang kaya, terkenal dan memperoleh
penghargaan. Di tangan orang yang tempat, apa yang dibuang oleh banyak orang bisa menjadi sesuatu
yang berharga, berguna dan bernilai untuk banyak orang. Maka prinsip merubah sampah menjadi rupiah
bukanlah cara pikir dan tindak yang tidak masuk akal.
“Harusnya pilihan itu dihargai. Jangan dipandang aneh, sesuatu yang kita pandang ganjil biasanya
pertanda bahwa orang itu mampu berpikir lain, jeli dan punya visi jangka panjang”, kata Mas Romo
kepada Om Arda yang malam itu datang bertukar pikiran. Musabahnya Diono, anak Om Arda tiba-tiba
memutuskan keluar dari pekerjaannya yang sudah mapan. Alasannya pingin bekerja mandiri,
mengembangkan usaha sendiri. Sebenarnya Om Arda tidak menyoal hal itu, tetapi ketika Diono
membeberkan rencananya Om Arda jadi sangsi terhadap pilihan anaknya. Diono ingin mengembangkan
usaha pengolahan sampah.
“Om ada banyak jalan untuk mengelola sampah. Salah satu prinsip yang dipakai misalnya repair. Arda
bisa membeli barang rusak, memperbaiki dan kemudian menjualnya kembali. Atau reuse, membeli
barang-barang tertentu kemudian dipoles agar bisa digunakan kembali. Atau recycle, mengolah kembali
menjadi barang yang baru, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian seperti pupuk”,
terang Mas Romo.
“Diono memang sudah dewasa, itu pilihan dia. Tapi apa kata orang nanti, masak dari pekerjaan berdasi
kemudian memilih berkotor-kotor dengan sampah. Kan bakal dikatakan tolol atau bahkan gila. Bakal
susah dapat jodoh nanti”, sahut Om Arda.
“Om... kok mikirnya jauh begitu. Sudahlah tidak usah pikir apa kata orang, bisa susah kita. Lagi pula tidak
semua sampah kotor. Arda kan tidak memilih untuk mengolah sampah basah, melainkan sampah kering
jadi soal kotor dan bau tidak menjadi persoalan. Dan sampah tidak selalu dikumpulkan dari tempat
sampah, bisa jemput bola, ambil dari rumah ke rumah”, kata Mas Romo.
Mendengar penjelasan Mas Romo, Om Arda mulai tenang meski belum sreg benar dengan pilihan Diono
anaknya. Maklum Om Arda masih memakai paradigma lama dalam memandang sampah. Padahal apa
yang sering kita bilang sebagai sampah sejatinya masih punya nilai. Dengan kejelian, kemampuan
berkreasi dan penguasaan atas teknologi pengolahan, apa yang dibuang bisa dijadikan sesuatu yang
berharga dan berguna bahkan bagi mereka yang tadi membuangnya.
“Pagi Om, apakabarnya Diono”, kata Mas Romo dalam sebuah kesempatan, beberapa bulan setelah
kunjungan Om Arda ke rumahnya.
“Baik, sekarang dia sudah jadi raja sampah”, ucap Om Arda dengan nada bangga.
“Nah, itu kan. Coba kalau dulu Om tetap keberatan, pasti Diono tidak bakal mencapai prestasi yang
membanggakan seperti sekarang ini. Dia bukan hanya sukses jadi pengusaha saja kan, melainkan juga
laris jadi pembicara dimana-mana, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dan pasti banyak orang tua
bersedia jadi mertuanya”, kata Mas Romo memberi pujian pada Diono.
“Iya, banyak penghargaan diterima olehnya, hampir penuh dinding ruang tamu dengan aneka piagam.
Ini juga karena jasa kamu yang sudah ikut meyakinkan Om untuk mendukung niat Diono”, sahut Om
Arda yang balik mengucap terima kasih pada Mas Romo.
“Memang sudah seharusnya begitu Om. Niat Diono itu niat mulia, bukan hanya cari untung tetapi juga
memberi sumbangan pada lingkungan dengan mengurangi beban lingkungan akibat pencemaran. Upaya
Diono juga mampu mengurangi ekpoitasi atas sumber-sumber alam, sebab bahan baku yang digunakan
olehnya adalah bahan baku yang terbuang. Diono adalah sosok pengusaha hijau, pengusaha yang
menekankan pentingnya keberlanjutan alam”, kata Mas Romo.
“Benar itu, karena apa yang dilakukan Diono, kini Om mencintai sampah”, kata Om Arda sungguh-
sungguh.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Angkringan Menantang Jaman
Bagi yang pernah tinggal atau berkunjung cukup lama ke Yogyakarta pasti mengenal angkringan.
Tempat ‘nyantai’ berupa gerobak dorong yang dilengkapi bangku panjang, tikar untuk lesehan ini
tersebar di sudut-sudut kota. Hidangannya seragam dengan andalan utama berupa “sego kucing”, nasi
yang dibungkus dengan daun pisang dan koran diluarnya. Disebut nasi kucing karena nasinya hanya
sekepal dengan lauk berupa oseng-oseng tempe, sambel teri dan terkadang dilengkapi dengan irisan
telur dadar.
Di luar menu andalannya, pedagang angkringan juga melengkapi dengan aneka lauk berupa gorengan,
baceman dan bakaran. Ada tempe dan tahu bacem,sate telur puyuh, tempe lapis tepung, tahu brontak
(isi), sate usus, satu rempela, ceker goreng lapis tepung, ceker masak kecap, bakwan, sayap ayam dan
lain sebagainya. Jika pembeli menghendaki, semuanya bisa dipanaskan diatas bakaran, mirip di restoran
ternama, ambil menu siap saji dan kemudian dipanaskan di microwave.
Beberapa di antaranya ada yang melengkapi dengan sajian berupa mie rebus dan goreng aneka rasa.
Jika suka mie rebus dikombinasi dengan telur lalu ditambah kornet sehingga jadilah internet (indomie
telur dan kornet).
Selain makanan yang hampir seragam, minuman yang disajikan demikian pula adanya. Yang umum tentu
saja teh tawar dan manis, kopi tubruk, susu dengan aneka variasinya seperti susu jahe yang bisa bikin
hangat badan. Soal minuman panas, ada satu brand yang terkenal yaitu kopi joss, kopi tubruk yang
diberi arang yang sedang membara.
“Dalam kajian linguistik, angkringan berarti tempat untuk nyantai. Angkringan berasal dari kata
malangkring atau nangkring yang berarti duduk di kursi (bangku) dengan mengangkat salah satu kaki ke
atas bangku. Angkringan juga mewakili postur tempat usaha yang berupa angkring, gerobak jualan yang
di panggul”, terang Mas Romo kepada teman-temannya saat mereka bernostalgia tentang Yogya.
Sementara secara sosiologis, angkringan adalah tempat berkumpul, bertemu, berbicara mulai dari gosip,
gurauan sampai yang serius tanpa rasa khawatir diusir yang punya dan bikin kantong bocor. Angkringan
adalah ruang publik yang aman dan nyaman, semua yang datang dianggap setara. “Angkringan secara
jeli mengambil inisatif untuk menyediakan ruang ngumpul sambil makan-makan secara instan dan
murah meriah”, kata Mas Romo panjang lebar.
Seiring dengan perkembangan waktu dan kesadaran akan wisata kuliner, angkringan menjadi ikon baru
yang turut menyebar ke berbagai kota di luar Yogyakarta. Brand angkringan bahkan bisa ditemui di
Ibukota Jakarta Raya. “Dan tanpa sistem waralaba, kini angkringan sudah menyebar ke kota-kota lain,
menembus batas kultural Yogyakarta. Jika kita adalah pengemar angkringan maka kita wajib berterima
kasih kepada orang Klaten, sebab mereka adalah pionernya”, sambung Anas yang minggu lalu sempat
menikmati hidangan angkringan di seputaran jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan.
“Angkringan juga melengkapi khazanah outlet cepat saji nusantara. Setelah warung Tasik, warung
Padang, warung Tegal (warteg), warung HIK (hidangan ala kampung) Solo dan lain sebagainya”, ujar
Kasman. “Jadi salah kalau kita berpikir bahwa fast food adalah trend yang dibawa oleh waralaba
Amerika, seperti KFC, Mac D, AW, Texas, Starbuck serta saudara-saudara lainnya”, lanjutnya menyebut
waralaba-waralaba ternama yang menyerbu berbagai kota di Indonesia.
“Inilah yang disebut sebagai perlawanan diam-diam dari meja makan”, seru Mas Romo Kita kembali
mengkontruksi sebuah teori sosial berupa perlawanan senyap. Perlawanan senyap atas hegemoni
kultural sistem kuliner yang dibawa oleh kaum kapitalis barat lewat makanan cepat saji berupa fried
chicken, french fries, pizza, burger, hot dog, sandwich, taco dan sederet menu lainnya yang mulai akrab
dengan anak-anak bangsa generasi terkini. “Sadar atau tidak kini kita dijajah lewat naluri paling dasariah
yaitu perut”, lanjut Mas Romo. “Jika perut saja sudah ditahklukkan maka dengan mudah otak dan
pikiran kita akan menerima perspektif yang mereka kembangkan”, pungkas Mas Romo.
“Kasus Kopi Blandongan yang mengusung tag line “Kopi Blandongan, Menyelamatkan Generasi Bangsa
Dari Kekurangan Kopi” mewakili kesadaran perlawanan khas masyarakat kebanyakan seperti yang Mas
Romo ungkapkan”, sahut Kasman yang gemar menyebut Nasgitel (Panas, Legi dan Kentel) saat
memesan kopi.
“Betul, bangsa kita terkenal sebagai penghasil kopi terbaik, mulai dari Sidikalang, Toraja, Tambora,
Kintamani sampai kopi Luwak yang eksotis. Tapi kita lebih mengenal dan bangga apabila minum kopi
Starbuck, Excelzo atau Black Canyon”, kata Mas Romo. “Kita tak sadar bahwa secara kultural bahkan
badaniah masih tetap terjajah”, lanjutnya.
Obrolan Mas Romo dan teman-temannya yang bermula dari urusan remeh temeh memasuki tema yang
berat, soal eksistensi kultural bangsa. Sebuah urusan yang bisa bikin pusing kepala karena tak selalu
disadari para pemimpin negeri yang sibuk memperkaya diri sendiri, memperkuat partainya dan
menguritakan badan usahanya.
“Kenapa bisa begini ya Mas Romo”, tanya Anas memecah kesenyapan.
“Ya, karena kebanyakan dari para pemimpin kita, pembesar dan cerdik pandai di negeri ini, otaknya
dibentuk karena bantuan studi lewat beasiswa Amerika”, jawab Mas Romo seenaknya untuk mencairkan
suasana.
Majulah Angkringan, Warung Tegal, Warung HIK dan Kopi Blandongan. Josss.....lah.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Animal Welfare
Berbulan lalu ramai diberitakan tentang penganiayaan terhadap orang hutan di daerah Kutai Timur dan
Kutai Kartanegara oleh warga. Musababnya adalah masuknya orang hutan ke kawasan perkebunan dan
kemudian memakan pucuk pohon sawit yang dibudidaya di dalamnya. Meski termasuk primata yang
cerdas, tentu saja orang hutan tidak mengenal batas kepemilikan. Apa yang kelihatan bisa dimakan
olehnya akan langsung ditelan, tanpa permisi dan meminta ijin terlebih dahulu kepada sang empunya.
Konon pemilik perkebunan jenggah dan marah atas ulah orang hutan yang menghabisi pohon sawitnya.
Agar tidak ikut kotor tangannya maka disuruhlah orang-orang kampung (tentu dengan bayaran) untuk
meringkus sang pemangsa pohon sawit dan kemudian menghajarnya hingga KO.
“Jelas ini kelakuan tidak adil dan biadab”, guman Mas Romo menanggapi berita-berita itu. “Apa mereka
yang menyuruh dan kemudian menganiaya tidak sadar, bahwa mereka dululah yang merampas ruang
hidup orang hutan. Merubah hutan tempat penghidupan orang hutan menjadi ladang”.
Dalam keprihatinan yang dalam, Mas Romo berandai-andai saling bertukar kata dengan Orang Hutan,
sebut saja Si Pongo.
“Pong ..saya prihatin dengan kejadian yang menimpa teman dan saudaramu. Kalau boleh bertanya andai
ada kesempatan untuk pindah, kau akan memilih pergi kemana?”, tanya Mas Romo.
Si Pongo tak segera menjawab. Yang nampak justru bulir-bulir air mata menetes dari pelupuk matanya
sambil diiringi suara sesenggukan kecil, seperti kena flu saja. Setelah agak tenang, Pongo berkata “Kalau
boleh saya akan memilih Eropa, Inggris, Jerman atau Perancis. Atau biar tidak terlalu jauh ke Australia
saja”.
“Kenapa memilih Eropa Pong”.
“Masyarakat dan hukum disana sudah menghormati peri kebinatangan universal. Kalau kami
diperlakukan semena-mena akan ada banyak yang membela. Negara bahkan bisa dikenai sangsi apabila
tidak ramah kepada binatang”.
“Kalau Australia, kenapa?. Bukankah kadang mereka tak suka yang berbau Indonesia kecuali Bali”.
“Jangankan jenis seperti saya yang dilindungi. Sapi yang memang digemukkan untuk dipotong saja
apabila diperlakukan tidak baik, mereka marah. Buktinya mereka tak sudi mengirim sapi ke Indonesia
saat tahu bahwa sapi-sapi mereka disembelih dengan tidak hormat, disiksa lebih dahulu”.
Mendengar alasan Si Pongo, Mas Romo ingat betapa gerakan penyayang binatang di Eropa memang
serius. Kelompok penegak hak binatang, berjuang sepenuh hati, bisa sangat keras bahkan rela mati demi
binatang. Militansi mereka layaknya pejuang Taliban di Afganistan. Mereka bukan hanya rajin berdemo,
tetapi juga memblokade daerah tertentu dan terus melobby para petinggi agar mengeluarkan peraturan
yang menjamin kesejahteraan binatang. Europe Group for Animal Welfare adalah kelompok yang
dengan keras berjuang untuk membela binatang. Di Perancis ada Brigitte Bardot, bintang film nan sexy
tapi garang jika berhadapan dengan para penyiksa binatang.
“Apakah tidak ada tempat yang aman untukmu di tanah Borneo ini”, tanya Mas Romo pada Pongo.
“Sebenarnya ada, tapi tidak bebas karena berupa penampungan. Sebenarnya enak juga semua sudah
tersedia. Namun itu bakal membuat urat kami kaku, tak terampil mencari makan dan malas untuk
memanjat pohon tinggi. Lagi pula kalau nanti tak ada bantuan dari luar negeri, siapa lagi yang mau
membiayai kami?”.
Keadaan memang sulit untuk Si Pongo dan teman-temannya. Meski banyak dipelajari oleh para peneliti
luar negeri, nasibnya tak sebaik para doktor yang memperoleh gelar karena lagak laku Si Pongo dan
teman-temannya.
Bunyi pesan masuk mengagetkan lamunan Mas Romo. Sebenarnya Mas Romo enggan meninggalkan
percakapannya dengan Si Pongo. Namun isi pesan SMS meminta Mas Romo agar segera datang ke
sebuah pertemuan. Sebelum bersiap berangkat Mas Romo sempat berbisik “Sebelumnya saya mohon
maaf, jangankan untuk kamu jenis binatang. Nyawa kami, manusia, mahkluk yang paling mulia juga tak
punya harga di negeri ini”.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
AQUA Mengalir Sampai Jauh
Bagian terbesar dari bumi adalah air, demikian juga dengan tubuh manusia. Namun dari jumlah air yang
begitu besar di bumi ini hanya sebagian kecil saja yang layak untuk dikonsumsi. Maka kebutuhan akan
air bersih, air yang layak dikonsumsi menjadi salah satu kebutuhan utama selain sandang, papan dan
pangan. Selain untuk konsumsi, air dalam jumlah yang amat besar juga dibutuhkan oleh sektor
pertanian, peternakan/perikanan dan industri.
Bicara soal air bersih, meski mempunyai sumber air yang berlimpah tidak semua daerah di Indonesia
mampu menyediakan kebutuhan itu secara memuaskan bagi masyarakatnya. Pemerintah melalui
Perusahaan Air Minum (PAM) berusaha memenuhi mandat itu. Namun perusahaan yang usianya
barangkali hampir seusia republik ini ternyata tidak semakin pintar dalam menjalankan perannya. Selalu
muncul daerah-daerah blank spot, ada saluran pipa tapi airnya tiada. Dibagian lainnya hidup segan mati
tak mau, mengalir hanya pada jam tertentu, itupun harus dibantu dengan mesin sedot air.
“Sudah tiga bulan lebih air di rumah tidak mengalir, setetespun tidak”, ujar Arman dengan geram.
“Di tempatku, begitu jam sembilan malam mulailah konser desing mesin pompa. Awalnya sih
menganggu tapi lama kelamaan melodinya indah juga”, sahut Jordi sambil tersenyum kecut.
“Dalam artian tertentu, PAM telah menjelma menjadi Perusahaan Angin Melulu. Karena jalur pipanya
tak lagi mengalirkan air. Dan berikutnya mereka menganggap manajemen pengolahan air dan
distribusinya sebagai angin lalu. Tak nampak ada warta yang mengabarkan institusi ini melakukan
peningkatan kwalitas, kecerdasan dan ketrampilannya untuk memperbaiki kinerjanya”, ungkap Mas
Romo.
“Betul itu, kalaupun ada kabar biasanya hanya pengumuman dan keriuhan soal penerimaan serta seleksi
direkturnya. Namun setelah terpilih tak jelas apa yang dilakukan olehnya”, sambung Arman.
Air PAM (ledeng) memang dirindukan banyak orang tapi banyak juga orang yang naik darah karenanya.
Padahal kini rumah konsumennya, air pam kebanyakan hanya digunakan untuk MCK (mandi, cuci dan
kakus). Melihat penampilan air yang mengalir lewat pipa, tak banyak lagi yang berani menggunakannya
untuk masak dan minum. Kebutuhan air minum dan masak masyarakat kini lebih banyak ditopang oleh
AMDK (air minum dalam kemasan).
“Keadaan semakin sulit, kini rumah tangga bersaing dengan kebutuhan usaha rumahan yaitu
permandian motor yang muncul di mana-mana”, ungkap Jordi yang rutin memandikan motornya di
tempat cuci motor karena susah air di rumahnya.
“Kita ini selalu masih menganggap air berlimpah, namun minim kesadaran bahwa tak semua air bisa kita
gunakan. Akibatnya boros dalam penggunaan, terlalu banyak air yang dibuang sia-sia dan tak ada usaha
untuk menanam air, menjaga sumber-sumbernya”, terang Mas Romo.
“Ironis ya, apalagi kalau bicara soal perusahaan yang berbasis air. Perusahaan Air Minum Dalam
Kemasan berkembang luar biasa, inovasinya dan sumbangsihnya untuk masyarakat begitu terasa. Mau
tak mau ini menimbulkan dikotomi pandangan yang memisahkan antara perusahaan swasta dan
perusahaan negara atau daerah. Seolah swasta selalu lebih becus bahkan dalam urusan layanan publik
yang sebenarnya dimandatkan untuk perusahaan negara atau daerah”, kata Arman.
Bukan omong kosong memang kalau Perusahaan AMDK lebih inovatif. Dalam waktu sepuluh tahun
terakhir ini mereka mampu menjawab keraguan akan kelayakan produksinya untuk langsung diminum.
Dan soal harga kini masyarakat bersedia membayar apa yang mereka dulu katakan sebagai lebih mahal
dari seliter bensin.
“Kini kita memasuki apa yang disebut sebagai revolusi biru, dimana air menjadi komoditi yang strategis
dan banyak diincar oleh perusahaan multinasional. Jika PAM tidak berbenah maka perlahan tapi pasti,
satu per satu bakal dicaplok perusahaan luar negeri. Bukan omong kosong lagi jika kelak di rumah kita
mengalir air Perancis, air Belanda atau bahkan air Malaysia”, kata Mas Romo sembari memberi contoh
layanan air bersih di Jakarta dan Manado yang dioperasikan oleh perusahaan dari Perancis dan Belanda.
Bumi dan apa yang tersimpan didalamnya oleh konstitusi dimandatkan untuk dikelola oleh negara demi
kemakmuran rakyatnya. Tapi selalu saja perusahaan swasta multinasional yang lebih pintar dalam
mengambil manfaatnya.
“Katong su menikmati air leding....... “ begitu kata bocah di sebuah iklan sambil tak lupa mengucapkan
terima kasih pada sebuah perusahaan air minum dalam kemasan yang kini dimiliki oleh perusahaan
multinasional dari Perancis.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
B
Rajin Mengeruk Pangkal Banjir
Nyaris dua pertiga permukaan bumi digenangi atau terdiri atas air. Dengan demikian air adalah
penguasa, raja diraja dengan kekuatan maha raksasa. Meski berkuasa, air juga merupakan pelayan yang
rendah hati, memenuhi kebutuhan insan ciptaan untuk menumbuhkan dan memelihara kehidupan.
Kesetiaan air adalah kesetiaan tanpa batas. Watak air adalah bergerak , mengalir dari tempat tinggi ke
tempat rendah, air selalu mencari jalannya sendiri.
Di kala musim panas, tanah merekah, retak-retak untuk menyiapkan diri menampung dan menabung air
dalam dekapnya sehingga kelak bisa dipanen di mata air. Ketika hujan datang namun tak ada lagi tanah
yang menghisap airnya, tak ada lagi bukit menghijau yang menahan jatuhnya, memecah perciknya
hingga turun pelan di atas tanah, tak ada lagi rawa untuk menampungnya maka limpahan air itu akan
mencari jalannya sendiri. Mengenangi pemukiman, jalan-jalan, ladang, persawahan dan semua tempat
yang bisa menampungnya sebelum mencapai sungai yang mengalirkannya ke laut. Sungai-sungaipun
terkadang tak lagi mampu menampungnya, hingga malah menjadi saluran yang mengantarkan limpasan
air mengenangi daerah di bawahnya.
“Dalam banyak kasus, kejadian banjir di kota kita ini disebabkan oleh ulah kita bersama, menutup atau
bahkan merampok jalan dan penampungan air. Banjir sebenarnya kita undang”, kata Mas Romo.
“Betul, lihat saja disana-sini, bukit-bukit dimatangkan”, sambut Didi sambil menunjuk ke pelbagai
jurusan.”Dan kerukannya dipakai untuk menimbun rawa-rawa. Genap sudah keserakahan kita dalam
merubah bentang dan wajah alam”.
Penyebab banjir yang menahun atau setiap hujan lalu tergenang, sebenarnya sederhana saja. Bisa
dipastikan air tak lagi punya jalan. Antara yang ditumpahkan dan diserap oleh bumi dan dialirkan ke
pembuangan tidak seimbang.
“Penanganan banjir yang menahun, yang sudah jadi langganan seharusnya tak lagi reaktif dan tambal
sulam. Dan banjir juga tak layak dijadikan sebagai bahan kampanye, bahan untuk janji-janji mendulang
suara, sebab banjir seperti yang kita alami saat ini butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya”,
ujar Mas Romo.
“Benar itu Mas Romo, lihat ini SMS dari teman saya, bunyinya : rumahku kebanjiran, dasar walikota
jiancukkk”, sahut Budi sambil memperlihatkan SMS di layar HP-nya yang mulai buram. “Itu karena dalam
kampanye pemilihan lalu, walikota yang sekarang ini berjanji mengatasi banjir. Namun hasilnya saat ini
banjir justru semakin meluas kawasannya dan semakin lama rendaman airnya”.
“Pasti saja beliau akan ngeles kalau disalahkan. Sebab bermilyard rupiah telah dikeluarkan untuk
membangun polder-polder penampung air. Padahal tidak cukup, entah apakah mereka menghitung
jumlah air yang jatuh, waktu yang diperlukan untuk luruh dan kapasitas penampungnya atau tidak.
Sepertinya sih tidak, sebab jalan dan pemukimanlah yang masih jadi penampung sementara”, kata Mas
Romo.
“Belum lagi waduk yang ada juga tidak dipelihara. Makin hari makin sempit luasannya karena
pendangkalan. Air yang mengalir kan mencuci tanah, membawa lumpur dan pasir. Ada juga orang-orang
yang buta hati, dengan mendirikan bangunan di badan waduk, lihat saja lama-lama mereka pasti akan
menimbunnya dengan tanah dan menjadikan badan air sebagai daratan”, tambah Dodi.
“Semakin pintar, semakin kita tak paham dan hormat pada alam. Kini kita lebih sering memperkosa
alam, merampas kehidupannya semata untuk memenuhi kebutuhan kita sesaat. Ketidaknyamanan,
kerugian dan kesengsaraan ketika kena banjir tak cukup untuk mengingatkan agar kita tak makin
serakah”, ujar Budi.
“Kita tak perlu sangsi lagi untuk mengatakan bahwa pembangunan kita tak memperhatikan
keberlanjutan (sustainable). Omong kosong dengan semua slogan-slogan pemanasan global, yang ada
adalah gombal warning, sok peduli lingkungan hidup, menghijaukan lahan kritis padahal yang terjadi
terus mengeluarkan ijin perusakan alam”, kata Mas Romo dengan nada jengkel.
“Heran ya, padahal semua dilengkapi dengan amdal. Jadi apa artinya semua itu”, tanya Budi keheranan.
“Tak usah heranlah Bud. Kita ini sering bagaikan ikan di danau tapi merasa kehausan”, jawab Mas Romo
singkat menyitir kata-kata seorang mistikus. Tamsil itu hendak berpesan bahwa kita senantiasa masih
terus dilingkupi oleh keserakahan meski banjir telah setinggi leher kita.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Belajar Mendengarkan
Bahasa menunjukkan bangsa begitu kata pepatah. Pesannya jelas bahwa sebuah bangsa akan dianggap
beradab, berbudaya tinggi apabila mampu bertutur kata dengan baik. Baik artinya kalimatnya tertata
rapi, diucapkan dengan intonasi yang terjaga dan memperhatikan tata krama. Tuntutan untuk bertutur
kata secara baik dan benar juga semakin terasa apabila seseorang naik jabatan atau naik kelas sosialnya.
Semakin tinggi jabatan dan kelas sosialnya, tutur katanya harus semakin lembut, menyejukkan dan tidak
membuat orang lain naik pitam.
Maka tak heran, siapapun yang dalam tingkatan tertentu tak mampu mempraktekkannya bakal jadi
bahan gunjingan atau tertawaan di belakang punggungnya. “Pejabat kok bicaranya ngawur, grusah-
grusuh nda pakai dipikir dahulu”, atau “Gelarnya sih profesor doktor tapi kok ngomongnya kayak
pedagang asongan, nda pantas sama sekali” dan masih banyak lagi gerutuan atau bahkan sumpah
serapah lainnya.
Ngomong-ngomong soal bertutur kata ini, beberapa hari yang lalu Hasan Anshori berkunjung ke rumah
Mas Romo untuk meminta masukkan. Hasan yang kini sudah menduduki pos jabatan di kantor Bupati
merasa penting untuk belajar, mencari tip dan trik bicara dengan baik dan benar. Mas Romo dipilihnya
karena sejak jaman mahasiswa dulu dikenal sebagai publik speaker, yang mampu menyihir para
pendengarnya karena pilihan kata yang tepat dan diramu dalam kalimat yang memikat.
“Sekarang saya ini sudah sering tampil di hadapan publik, sedikit-sedikit wartawan datang untuk
melakukan wawancara. Nah biar semakin meyakinkan maka saya datang ke sini untuk berguru,
menyegarkan ingatan tentang merangkai kata pada Mas Romo”, begitu kata Hasan saat menjawab
pertanyaan Mas Romo yang merasa heran atas kedatangan Hasan.
Mas Romo merasa tersanjung atas maksud dan kedatangan Hasan teman lamanya itu. Namun dalam
hati sebenarnya merasa tersandung. Bagi Mas Romo syarat pertama dan utama dalam komunikasi yang
baik dan benar adalah kesediaan untuk mendengar dan merasa setara dengan orang yang menjadi
lawan bicaranya. Dan di republik ini, amatlah jarang menemukan pejabat (entah rendah atau tinggi)
yang sudi dan gemar mendengarkan. Apalagi yang merasa setara dengan bawahan atau masyarakat
yang dilayaninya, pasti semakin sulit lagi untuk ditemukan.
Tentu saja Mas Romo tak enak hati menolak permintaan temannya untuk berbagi tips dan trik
berkomunikasi secara efektif. “Komunikasi pada dasarnya sebuah proses dari kita untuk menulis raport
kepercayaan dan hormat dari orang lain”, kata Mas Romo mengawali penjelasannya. “Maka jangan
tergesa-gesa menanggapi sesuatu atau cepat-cepat mengeluarkan pendapat biar dianggap kompeten.
Banyak orang kehilangan rasa hormat dan kepercayaan dari orang lain karena terlalu cepat bicara,
terlalu mudah membuang kata-kata, tanpa dipikirkan terlebih dahulu apa konsekwensi dari kata-katanya
itu”, lanjut Mas Romo.
Hasan menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh Mas Romo. Dalam hati dia
membenarkan betapa sering dirinya berbicara dahulu baru dipikir kemudian. Kalau kemudian
menimbulkan gejolak toh bisa diralat atau ngeles dengan mengatakan bahwa orang lain salah
memahami apa yang dikatakannya.
“Jadi tidak perlu kita memakai kata-kata yang tinggi untuk menunjukkan betapa kita punya jabatan atau
tingkat pendidikan yang jauh diatas rata-rata. Pesan yang benar tidak ditentukan oleh apa jabatan kita
dan sampai mana kita sekolah”, ujar Mas Romo mulai mengeluarkan sentilan halus. “Sampeyan tentu
memilih bicara sederhana tapi dihormati, daripada tinggi dan penuh istilah canggih tapi malah dibenci
atau bahkan dicibir”, lanjut Mas Romo sambil melempar pilihan pada Hasan.
“Tentu saya pilih yang pertama, tapi itu bukan berarti saya gila hormat ya Mas Romo”, sahut Hasan
cepat.
“Tantangan buat orang-orang yang punya kedudukan seperti sampeyan sekarang ini semakin berat.
Sebab masyarakat semakin bebas berbicara, masyarakat semakin berani menuntut bahkan tak ragu-ragu
untuk menunjukkan kemarahannya. Maka jika berlaku tiba saat tiba akal akan sangat berbahaya”,
tandas Mas Romo perlahan.
“Jadi sebenarnya tak perlu saya memberikan tip dan trik untuk sampeyan, sebab sampeyan ini pejabat
bukan pengkotbah atau motivator. Yang penting bicara saja apa adanya, jujur saja serta sabar
menghadapi apa yang dikatakan orang banyak. Sebutan pejabat itu hanya berlaku dalam organisasi
pemerintah, tapi berhadapan dengan masyarakat sampeyan ini sesungguhnya adalah pelayan. Ingat
sebaik apapun yang sampeyan katakan, masyarakatlah yang paling tahu bahwa itu benar atau salah”,
ujar Mas Romo.
Hasan hanya terdiam tak memberi tanggapan.
“Silahkan saja sampeyan mau percaya atau tidak. Yang pasti jabatan itu bukan kedudukan yang abadi,
jika sudah sampai batasnya maka sampeyan akan kembali menjadi masyarakat biasa. Dan disitulah
sampeyan akan menuai hasilnya, apakah semua akan berakhir dengan baik atau tidak”, tukas Mas Romo
mengakhiri rentetan nasehatnya.
@yustinus_esha
SocioCultural Networkers
Benar itu Lucu
Ganteng itu ada masanya tapi lucu itu selamanya. Itu kata Raditya Dika, seorang blogger yang kemudian
dikenal menjadi penulis buku dan kini menekuni perfoming stand up comedy. Pesan sebenarnya adalah
wanita sekarang lebih tertarik kepada pria yang lucu ketimbang yang ganteng. Atas kabar ini, pasti yang
paling bahagia adalah pria ganteng dan lucu, tapi ini jarang. Sebaliknya yang paling sial adalah seseorang
yang tidak ganteng dan tidak lucu.Oleh karenanya siapapun yang termasuk kategori terakhir ini untuk
urusan jodoh silahkan serahkan saja pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Lucu itu serius, para komedian adalah orang cerdas karena mampu memancing tawa siapapun yang
melihat atau mendengarnya. Jadi jangan terjebak pada tampilan mereka yang nampak tolol atau bodoh
diatas panggung. Itu hanya perfom, peran yang disengaja untuk memancing proses tawa”, kata Mas
Romo sambil menunjukkan mimik serius.
Agus dan Trisno tertawa kecil melihat wajah Mas Romo yang nampak lucu kala berbicara dengan serius.
“Komedian sesungguhnya orang yang stressfull, apalagi jika laris. Mereka harus memikirkan dengan
dalam-dalam bahan untuk membuat kelucuan. Maka wajar saja banyak komedian yang mati muda,
terserang penyakit akibat memforsir pikirannya hingga lupa pada kekuatan tubuhnya”, sambung Mas
Romo.
Penjelasan Mas Romo yang panjang lebar, rupanya tidak menarik perhatian Agus. Dia justru kembali ke
urusan “jodoh” dengan bertanya,”Oh, ya Mas Romo, apa buktinya orang lucu lebih disukai oleh wanita
dibanding orang ganteng?”.
“Banyak buktinya, Parto, Unang, Komar, Kiwil dan Azis Gagap, itu komedian semua kan?. Nah tahu
nggak istri mereka dua”, jawab Mas Romo.
“Wah benar juga ya. Lucu benar ya”, sahut Trisno ikut nimbrung bicara.
“True is Fun ya, benar itu memang lucu”, kata Mas Romo.
Kali ini kembali Agus dan Trisno justru tak mengerti apa yang dimaksud oleh Mas Romo. Dan hampir
bersamaan berkata dengan gaya sok alay “Maksud loe apa tuh?”.
“Maksudnya selain serius, kelucuan juga bisa dibangun dengan mengatakan hal yang benar. Contohnya
kamu bertanya pada ibumu, apakah sudah memasak beras atau belum. Pasti ibumu tertawa, karena
terbiasa menyebut memasak nasi. Padahal yang benar memang memasak beras bukan nasi yang
dimasak”, terang Mas Romo. “Atau dalam acara perpisahan, dimana wakil staff yang diminta
menyampaikan satu dua patah kata menyampaikan bahwa mereka senang karena ditinggal pimpinan
yang akan pindah, sebab ketika memimpin dia ini sombong, tukang memerintah, nda mau
mendengarkan usulan dan suka nilep uang hak karyawan. Diakhir pesannya dia mengatakan selamat
jalan, selamat bertugas di tempat baru dan semoga tidak kembali kesini. Nah pasti yang mendengarkan
akan ketawa terpingkal-pingkal”, sambung Mas Romo. “Itu karena yang dikatakan olehnya benar
adanya”.
Mengatakan hal yang sebenarnya memang lucu, terutama di negeri-negeri dimana ketidakbenaran lazim
di praktekkan. Negeri dimana kemunafikan dan basa-basi menguasai komunikasi serta hubungan antar
manusia.
“Oh, iya, kan ada film berjudul Tali Pocong Perawan, coba kalau kita buat film dengan judul Tali Pocong
Tak Perawan pasti bakal dikira film humor bukan horor. Padahal kan benar, kalau tali pocongnya berasal
dari ibu beranak dua atau nenek bercucu lima, berarti tali pocong tak perawan bukan?”, kata Trisno
yang mulai paham dan ikut-ikutan menambah keterangan.
“Nah, itu kamu sudah paham kan. Dalam dunia politik di Brasil, pernah ada seorang jurnalis yang
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Kampanyenya dipandang lucu karena dia selalu mengatakan,
kalau anda ingin tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat jangan tanya saya, tapi pilihlah saya. Kalau
saya menang dan duduk sebagai wakil rakyat, nanti akan saya ceritakan apa yang dilakukan oleh wakil
rakyat. Dan hasilnya dia memperoleh suara perorangan paling tinggi dalam sejarah pemilu Brasil”,
tambah Mas Romo.
“Mas Romo, para elite kita baik di eksekutif maupun legislatif kelihatannya serius, tapi kok tidak lucu
melainkan justru menyebalkan. Apa itu berarti mereka lebih banyak mengatakan hal yang tidak benar?”,
tanya Trisno kali ini mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab.
Sambil menghela nafas panjang, Mas Romo menjawab “Kalau seseorang sudah pensiun dengan pangkat
Jenderal, terlambat jadi artis, lalu jadi menteri dan kemudian berhenti. Maka bukan soal serius kalau
kemudian dia menjadi presiden. Ini hanya soal pelabuhan terakhir saja, masak jenderal dan bekas
menteri kemudian hanya jadi gubernur atau bupati. Nggak lucu kan?”.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Bom Bunuh Diri – Sekali Berarti Habis Itu Mati
Huda, nama panggilan dari Nur Huda Ismail menulis sebuah buku dengan judul TEMANKU TERORIS? Saat
Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Mantan spesial corespondent untuk harian The
Washington Post biro Asia Tenggara itu memang pernah belajar di pondok pesantren Ngruki. Liputan
bom Bali dan penelusuran sesudahnya membuat dirinya bertemu dengan Fadlullah Hasan. Fadlullah
yang ditahan oleh polisi atas tuduhan terorisme itu adalah kakak kelasnya sewaktu di Ngruki.
Lewat bukunya Huda tidak berpretensi memperdebatkan apa dan siapa terorisme melainkan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya. Betapa tidak Fadlullah yang dikenalnya
bukanlah orang yang gemar berbuat kekerasan, penampilannya jauh dari itu. Saat Huda merasa tidak
nyaman dan ingin meninggalkan pesatren, Fadlullah yang menemani dan menyemangati agar bisa terus
bertahan.
Mas Romo memang belum seperti Huda yang pintar menulis dan melahirkan banyak buku. Tapi
mengalami kegelisahan yang sama, lewat jejaring social media dirinya menerima kabar, pesan dan juga
gambar tentang ledakan bom di depan pintu Gereja Bethel Indonesia Kepunton Solo. Konon bom itu
adalah bom bunuh diri.
“Mas Romo, apakah ini ada kaitan dengan upaya memancing kerusuhan lanjutan setelah gagal di
Ambon”, tanya Mardi sambil tak lupa mengabarkan bahwa baru-baru ini ada juga ledakan bom di pasar
Mahardika Ambon.
“Ya, bisa saja kita berspekulasi tentang hal itu. Mereka gagal di Ambon lalu mengalihkan sasaran ke Solo.
Solo memang mempunyai sejarah sebagai pemantik kerusuhan di Jawa Tengah. Dulu kerusuhan Anti
Cina kerap diawali dari kota itu dan kemudian merembet ke kota lain. Maka sering ada istilah Joglo
Semar, Yogja, Solo dan Semarang. Ini adalah axis kunci di Jawa Tengah. Menguncang ketiga kota ini
cukup untuk menimbulkan instabilitas”, jawab Mas Romo.
Namun kemudian Mas Romo mengingatkan agar tidak terjebak dalam analisis semacam itu, analisis
pengalihan isu dan sebagainya. “Taruhannya terlalu berat jika peristiwa semacam ini hanya disebut
sebagai pengalihan isu”, ujar Mas Romo.
“Iya Mas Romo, lebih baik kita berfokus pada ideologi kekerasan yang tak luntur-luntur dari negeri ini.
Bom bunuh diri menjadi pesan bahwa pilihan atau jalan kekerasan masih subur di lingkungan kita dan
terus dipelihara”, sahut Mardi.
Mas Romo mengamini apa yang dikatakan Mardi. Kekerasan masih menjadi sebuah pilihan untuk
mencapai tujuan. Dan dengan bungkus sistem kepercayaan atau religi, jalan kekerasan mendapat
legitimasi, pelaku merasa mereka melakukan tugas kemartiran. Darahnya mewangi, jiwanya segera
bersanding dengan Allah di surga dengan dianugerahi pendamping nan cantik jelita.
“Secara eksistensial, setiap orang ingin hidupnya berarti terutama berarti bagi Kerajaan Allah. Ini
menjadi pilihan bagi orang-orang yang gagal atau sulit membangun makna hidup lewat bidang
kehidupan pada umumnya. Pilihan berarti melalui jalan Allah adalah pilihan yang termudah”, ujar Mas
Romo.
“Tapi kalau pilihan sekalipun dianggap baik namun dengan cara yang salah, bukankah itu tidak benar
Mas Romo”, sergah Mardi.
“Itu adalah perspektif kita yang mempunyai pikiran berlawanan dengan mereka. Andai mereka berpikir
seperti kita maka tak ada pembom bunuh diri. Perspektif, pola pikir atau bahkan iman seperti ini yang
menjadi tantangan bagi kita untuk mencegahnya. Jika tidak maka ledakan bom atau dengan pola lainnya
akan terus terjadi, bagai lingkaran setan yang sulit diurai mana ujung pangkalnya”, terang Mas Romo.
“Tapi kan tetap saja tindakan seperti itu tak bisa dibenarkan”, sahut Mardi.
“Tentu saja, tak ada satupun ajaran baik agama maupun kebudayaan yang menerima pilihan kekerasan
seperti itu. Tapi dalam sistem ajaran agama manapun masih saja ada kelompok yang beriman dengan
cara matematika, terjebak dalam hedonisme religius, memburu nikmat Allah apapun caranya”, kata Mas
Romo.
“Maksudnya apa Mas Romo”, tanya Mardi nampak kebingungan.
“Kira menjalankan apa yang dianggap sebagai perintah Allah dengan harapan dapat pahala. Nikmat
kehidupan di surga, dipenuhi segalanya bahkan dikerumuni bidadari yang cantik jelita. Ini kan beriman
hitung-hitungan, matematika. Atau kalau dalam ilmu politik disebut sebagai politik transaksional, kita
melakukan apa dan kemudian dapat apa. Kalau cara beriman seperti ini masih terus hidup ya kekerasan
yang berbau atau dibumbui agama masih akan terus terjadi”, ujar Mas Romo panjang lebar.
Dalam hati Mardi membenarkan penjelasan Mas Romo. Dirinyapun sering berlaku demikian,
menjalankan ibadah dengan harapan mendapat tiket free pass ke surga. Tiba-tiba dia teringat pesan
singkat yang dikirimkan Belih Sugi sahabatnya sesaat setelah bom Bali meledak. Ahimsa satya
sarvaprani hitangkarah (Setialah di jalan nir kekerasan, sehingga semua mahluk bahagia). Mulai hari ini
Mardi berjanji akan mendaraskannya sebagai doa.
Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural networker’s
C
City Without Slum Area
Konon di Johar Baru, tepatnya kampung Rawa dikenal sebagai wilayah terpadat di Jakarta, bahkan
mungkin di seluruh dunia. Dalam satu kilometer persegi wilayahnya dihuni oleh 49 ribu jiwa. Maka
jangankan bermain, untuk tidur saja anggota keluarga dalam satu rumah mesti bergantian. Kampung ini
kemudian populer dengan sebutan kampung burung. Sebab semua ruang kosong diatas dimanfaatkan
untuk membangun bilik, seperti kandang burung merpati. Alhasil tak ada lagi gang, sebab diatasnya
dibangun bilik-bilik dimana orang naik melalui tangga.
Salah satu yang hendak dicapai oleh tujuan pembangunan millenium (MDG’s) adalah kota tanpa
kawasan kumuh dan nampaknya Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia bakal tak mungkin untuk
mencapainya. Bayangan sebuah kota yang bersih, air mengalir di got dengan lancar, anak-anak bermain
di halaman rumah yang hijau, bukan lagi harapan melainkan juga mimpi yang ketinggian, impian kosong
di siang bolong.
“Sebetulnya kawasan atau daerah kumuh bukan cuma milik Jakarta, hampir setiap kota di negeri ini
selalu memiliki apa yang disebut sebagai slum area. Itu karena kota-kota kita tumbuh tanpa rencana,
kalau ada cetak biru itu hanya pada awalnya selanjutnya pasti tahu sendiri, mengikuti mau-maunya yang
membangun”, ujar Roni.
“Kalaupun kemudian ada kota yang rapi tertata, bisa dipastikan itu hasil kerja dari para pengembang
yang mengibarkan kota bendera kota mandiri. Namun itu berarti siapa yang berhak menjadi warganya
telah diseleksi sejak awal. Ini bukan kota yang terbuka, untuk bisa lalu lalang didalamnya harus melewati
portal dan pemeriksaan oleh penjaga keamanan”, kata Mas Romo.
“Kegagalan kota menata dirinya adalah cermin kegagalan kebijakan pembangunan. Adab pembangunan
kita ini abai pada kemanusiaan, pada orang-orang kecil dan sektor informal. Mereka ini tumbuh dan
berkembang tanpa campur tangan pemerintah, hingga sampai pada titik tertentu dianggap sebagai
masalah”, sambung Roni yang gemar memberi pendampingan pada masyarakat miskin kota.
“Para perencana pembangunan selalu membayangkan kota adalah hunian warga yang sejahtera,
terdidik, disiplin dan tertata. Padahal kota selalu butuh orang miskin, orang yang sudi melakukan apa
yang tidak dilakukan oleh orang-orang kaya dan sejahtera. Minimnya perhatian dan kebijakan yang
berpihak pada orang miskin atau sektor formal di perkotaan, membuat kota memelihara api dalam
sekam”, ujar Mas Romo. “Tapi mereka inilah yang selalu disingkiri oleh para pembuat kebijakan, selalu
diusahakan agar mereka tersingkir dari perkotaan, padahal seharusnya kan diurus, difasilitasi agar tidak
menimbulkan persoalan”.
“Kota itu seperti nyala lampu, tentu saja selalu memanggil Laron untuk datang mengerumuninya.
Mematikan lampu atau membunuh laronnya tentu bukan jalan penyelesaian yang tepat dan benar. Kita
patut bertanya soal bagaimana manajemen tata kota kita, apa yang direncanakan dan bagaimana
implementasinya. Apakah para perencana kawasan memasukkan sektor informal, serbuan kaum migran
dan lain sebagainya dalam perencanaannya?”, tanya Roni.
“Kalau soal itu saya tidak tahu Ron, tapi semestinya iya lah. Mereka, para perencana kan bukan orang-
orang bodoh, buta atau tuli. Pendidikan mereka tinggi, pengetahuan terus di upgrade lewat kursus,
pelatihan atau kunjungan pembelajaran bahkan sampai ke luar negeri. Jadi seharusnya dokumen
perencanaan yang mereka hasilkan komprehensif sifatnya”, ujar Mas Romo.
“Tapi kok kota-kota kita semakin hari semakin buruk wajahnya dan kejam perilakunya. Lihat saja hampir
setiap hari muncul kabar pengusuran ini dan itu. Kota menjadi semakin tidak manusiawi, terutama untuk
orang miskin”, ujar Roni kembali bertanya.
“Itu pointnya, kota kita berfokus pada modernitas, membangun hal-hal yang serba canggih dan
melupakan bahwa kota adalah hunian dari kumpulan manusia yang perlu sentuhan-sentuhan
kemanusiaan. Kota tanpa humanitas menjadi kering, bahkan cenderung kejam. Maka sampai muncul
istilah Ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Maka peran kepemimpinan yang manusiawi, memupuk dan
memperbesar modal sosial itu yang paling penting”, ujar Mas Romo. “inklusif adalah watak kota yang
sesungguhnya, terbuka untuk siapa saja dan mengatur hubungan dalam sebuah sistem yang saling
menghidupkan”.
“Ironisnya, di kota-kota justru subur dengan kemunculan kelompok sektarian. Jelas-jelas mengusung
identitas kelompoknya sendiri dan kerap berlaku asosial, berdialog dengan kekerasan dengan tujuan
untuk menyingkirkan kelompok lainnya. Sikap yang justru memupus habis persaudaraan, brotherhoods
di perkotaan. Bukan begitu Mas Romo”, ungkap Roni.
“Itulah tantangan manajerial kota. Berkaca pada beberapa keberhasilan kota lainnya, disana pasti ada
kepemimpinan yang manusiawi. Sayangnya kita selalu dipimpin oleh orang yang merasa mampu
mengurus kota ini. Namun dalam masa kepemimpinannya kita tahu persis bahwa dia tidak tahu apa
yang dilakukannya”.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
G
Garbage In, Garbage Out
Dalam berbagai diskusi dan seminar baik lokal, nasional maupun internasional, banyak pengamat
menyatakan Indonesia berada di ambang kebangkrutan. Tanda-tanda sebagai negara gagal telah
nampak. Kekacauan terjadi di pelbagai sektor kehidupan dan jalan keluarnya tak juga kelihatan. Salah
satu faktor penyebabnya adalah soal kepemimpinan. Pemimpin di pelbagai tingkatan yang dihasilkan
lewat pemilu yang demokratis, yang juga kerap diwarnai protes dan gugatan disana-sini, ternyata belum
memuaskan. Pemimpin tidak bisa menjadi tuntunan, contoh dan tauladan karena inisiatif serta
pengabdian pada rakyatnya secara luar biasa. Pemimpin lebih sibuk dengan urusan organisasi
kepemimpinannya tinimbang menyelesaikan persoalan yang mendesak untuk rakyatnya.
Saat ditanya kenapa hal ini bisa terjadi. Profesor Joyo Satroamidjoyo, menjawab dengan singkat
“Garbage in, garbage out”. Itu saja yang dikatakan oleh sang profesor tanpa penjelasan lanjutan. Mas
Romo adalah salah satu murid kesayangan sang profesor, oleh karenanya tidak lulus-lulus. Karena
penasaran, Didin mendekati Mas Romo dan bertanya apa maksud perkataan Sang Profesor.
“Itu hanya perumpamaan, tadi kan dipersoalkan kenapa pemimpin kita belum mampu menolong negeri
ini dari keterpurukan. Profesor menjawab jika sampah yang masuk maka sampah pula yang keluar. Itu
artinya jika yang mencalonkan dan terpilih memang bukan orang yang bermutu, maka hasil
kepemimpinannya juga akan buruk”, jawab Mas Romo, yang tahu benar arti kalimat sakti kegemaran
Sang Profesor. Dan bukan sekali dua kali, Mas Romo disebut sebagai sampah oleh Sang Profesor, namun
selalu Mas Romo tangkas menjawab “Biarlah saya ini sampah, toh sampah masih ada gunanya, kalau
diolah bisa jadi pupuk yang menyuburkan tanaman”.
“Berarti pemilihan umum tidak menjamin bahwa yang terpilih adalah putra atau putri terbaik dari
republik ini?”, kata Didin sambil garuk kepala.
“Idealnya begitu. Tapi semua akan menjadi putra atau putri terbaik saat di pemakaman nanti”, jawab
Mas Romo.
“Kenapa sistem demokrasi yang kita pilih belum juga mampu melahirkan pemimpin yang terbaik?”,
tanya Didin.
“Bukan salah demokrasinya brother, tapi sistem perekrutan untuk calon pemimpin. Sekarang kan masih
sangat berbau partai meski peluang calon independen terbuka. Nah bagaimana mau melahirkan
pemimpin yang baik lewat partai yang kerap berlaku sebagai induk yang buruk”, ujar Soni ikut nimbrung.
“Sebenarnya ada juga kemungkinan lain. Orang-orang yang baik dan punya kompetensi tak berani
mencalonkan diri. Takut jadi rusak kalau jadi pemimpin nanti. Rusak karena ikut-ikutan jadi serakah atau
rusak namanya karena tak mampu melumerkan tembok baja yang dihadapi dalam kepemimpinannya
nanti”, ujar Bung Kita.
“Betul itu, orang baik kan membangun nama baiknya sedikit demi sedikit sampai jadi terhormat. Kalau
gara-gara jadi pemimpin lalu hancur nama baiknya kan rugi. Kalau pemimpin kita sekarang ini sih
memang gak ada pedulinya pada nama baik”, sahut Didin.
“Oh, ya tapi kan ada jalur independen. Ini kan potensi untuk memperbaiki kondisi?”, ujar Soni.
“Maunya sih begitu. Ini adalah jalur penyeimbang. Tapi tak mudah untuk menempuh jalur ini, aturannya
begitu berat dan butuh biaya yang besar juga serta rawan disabotase. Belum lagi nanti kalau mereka
terpilih, pasti akan digoda juga untuk masuk partai”, jawab Mas Romo.
“Waduh kok sulit amat ya”, kata Didin sedih.
Begitulah perubahan, meski dikehendaki oleh banyak orang tentu saja tak mudah dilakukan. Apalagi jika
mereka yang bakal dirugikan oleh perubahan mempunyai kekuasaan atau kekuatan yang jauh lebih
besar dari mereka yang menghendaki perubahan itu sendiri. Perubahan terus dipelihara jadi harapan
meski entah kapan akan terwujud. Dan dalam soal pemilihan umum, kita masih juga belum belajar
untuk berubah, terbukti mereka yang memimpin tanpa keberhasilan, kurang disukai, banyak dikritik dan
menelurkan kebijakan yang merugikan rakyat, ternyata masih terpilih lagi pada periode berikutnya.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Generasi Sehat Tanpa Ngobat
Istilah Norkoba diperkenalkan pada tahun 1999 saat peringatan Hari Anti Madat Nasional. Kemudian
istilah itu berkembang menjadi NAZA, Narkoba dan Zat Adiktif lainnya. Istilah kemudian bertambah lagi
menjadi NAPZA, Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Namun apapun istilahnya semua itu
merujuk pada sesuatu yang dikonsumsi secara sengaja oleh seseorang dengan tujuan untuk
memabukkan dirinya sendiri (fly, stone, melayang). Sesuatu bisa bersifat alami seperti ganja atau
kokain, olahan seperti heroin, sabu atau ekstasi dan yang tidak ditujukan untuk itu seperti lem.
Tambahan zat adiktif sebetulanya merupakan perluasan kesadaran, bahwa konsumsi zat tertentu yang
sebenarnya diterima umum seperti tembakau dan alkohol bisa meningkatkan resiko ketertarikan pada
narkoba dan zat psikotropika. Perokok dan peminum dipandang berpotensi naik pangkat menjadi
pemakai narkoba dan zat psikotropika lainnya.
“Mas Romo, ini lho ada ‘orang besar’ tertangkap lagi nyabu”, kata Adit sambil menyodorkan koran
terbitan hari ini.
“Biasa aja..tadi pagi saya juga nyabu ..alias nyarapan bubur”, sahut Mas Romo seenaknya sambil
membuang muka dari halaman koran.
“Lah, dikasih tahu kok malah cuek bebek. Ini persoalan besar Mas Romo. Sudah parah kota kita ini,
jumlah pemakai semakin hari semakin besar, mulai dari anak muda harapan bangsa sampai pemimpin
yang seharusnya jadi panutan”, kata Adit sedikit panas.
“Nih...baca coba, apa bedanya”, balas Mas Romo sambil menyodorkan galaxy tabs hasil belas kasihan
dari seniornya. “Sudah tahu dari semalam saya, tak lama sesudah yang bersangkutan tertangkap”.
“Oh, lha mbok bilang dari tadi kalau sudah tahu. Bikin saya salah sangka saja”, gerutu Adit.
“Sudahlah tapi saya senang kamu punya perhatian pada persoalan ini, itu artinya kamu masih waras.
Kita dan mereka para pemakai itu kan sama saja, ingin senang, ingin bahagia meski jalan kita berbeda”,
ujar Mas Romo. “Tapi saya nggak tahu apakah pilihan kamu untuk bersih dari narkoba itu karena nggak
punya uang?”.
“Wah sampeyan ini sembarang menuduh saja. Ya enggaklah Mas Romo, kalau saya punya banyak uang
ngapain dibelikan yang begituan, mending beli buku dan menabung, untuk modal di masa depan”,
jawab Adit. “Eh, Mas Romo, kenapa sih orang suka memakai narkoba?”.
“Ya, pasti sajalah, kan semua orang suka yang enak-enak. Ibarat makanan, narkoba adalah makanan
berlemak, enak di mulut gitu”, jawab Mas Romo. “Meski dalam pengajaran spiritual, jalan penderitaan,
matiraga atau puasa itu penting untuk mencapai kedewasaan, namun tidak setiap orang mampu
menahan tekanan. Nah, narkoba erat dengan kemampuan menahan tekanan, siapa yang tak kuat dan
punya kesempatan akan cenderung lari padanya”.
“Kalau anak-anak jalanan, ngisep lem, mengkonsumsi pil murahan yang memabukkan mungkin masih
masuk akal Mas Romo, karena tekanan mereka berat sekali, seolah masa depan sudah buram. Tapi
anak-anak orang berkecukupan, bermobil kok masih lari juga ke Narkoba, bukankah mereka bisa cari
kesenangan lain misalnya travelling atau apa gitu. Yang saya lebih tidak paham lagi mereka yang
berkedudukan tinggi di masyarakat, kok masih makai juga, apa sih yang dirasa kurang oleh mereka,
bukankah mereka itu lebih segala-galanya dari kita”, tanya Adit bingung.
“Jangan salah Dit, makin kaya dan makin tinggi kedudukan seseorang maka tekanannya juga makin kuat.
Terutama tekanan gaya hidup”, sanggah Mas Romo. “Kalo nyabu atau nelan ekstasi dianggap sebagai
salah satu ciri gaya hidup ‘sosialita” maka orang yang masuk klas ini dan tidak melakukannya bisa
dianggap belum masuk dalam ‘kelompok sebaya’-nya. Makanya banyak orang memakai narkoba
misalnya dengan alasan sebagai bagian dari gaya hidup kelas tertentu”.
“Wah, gawat ya kalo begitu, jago benar ini para produsen dan pengedar narkoba menciptakan ‘sistem
nilai’ baru. Jadi siapa yang gak pakai narkoba bakal dianggap ketinggalan jaman, gak gaul, gak modern
gitu ya Mas Romo”, kata Adit menanggapi sambil melontarkan pertanyaan.
“Kemungkinan begitu. Tidak tahu persis saya ini karena gak pernah gaul dengan mereka”, jawab Mas
Romo singkat.
“Lalu gimana cara pencegahannya agar kita tak terjerumus dalam pemakaian narkoba?”, tanya Adit lagi.
“Nah, ini lebih saya gak paham lagi. Tapi gampangnya gini aja,adalah hak kita untuk merasa bahagia dan
senang. Namun perlu ditanamkan dalam diri bahwa kebahagiaan tak berasal dari luar diri apalagi harus
distimulus dengan bahan-bahan tertentu. Kita bahagia karena kita ada dan bersyukur atas apa yang ada
dalam diri kita. Itu saja”, jawab Mas Romo bernada filosofis.
“Dalem ini Mas Romo tapi rasanya tidak gampang”, ujar Adit sambil manggut-manggut seolah-olah
mengerti.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Genius Lokal
Di sebuah kolam pemandian air tawar tertulis “Hi ra i ni entub fo i ni it did entub fo it did”. Kata-kata
dalam bahasa Kei (satu daerah di kepulauan Maluku) jika diterjemahkan secara bebas berarti segala
yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki perorangan.
“Dalam banyak tradisi, kearifan akan milik kolektif banyak ditemui. Sumber air dan sungai adalah milik
bersama, dimanfaatkan bersama dan dijaga secara bersama. Banyak bebukitan hijau dianggap keramat,
bukan karena disana tinggal para penunggu, melainkan dijaga sebagai daerah untuk menangkap air”,
ujar Mas Romo. “Mata air yang biasanya berada di bawah pohon besar, juga dianggap sebagai daerah
keramat, kita tak boleh berlaku macam-macam disana”.
“Benar itu Mas Romo, istilah konservasi juga preservasi mungkin tidak dikenal oleh masyarakat
tradisional dulu. Tapi mereka telah melakukan itu, melakukan apa yang dalam bahasa modern dikatakan
sebagai resources manajemen planning yang bertujuan untuk sustainability atau keberlanjutan”, tambah
Andi.
“Itulah yang disebut dengan kejeniusan lokal, kecerdasan masyarakat tradisional yang menyadari bahwa
hidup mereka tergantung kepada alam. Namun alam mempunyai batas dan terancam oleh ulah
manusia, maka perlu dibentengi dengan “aturan”. Salah satunya adalah dengan menciptakan mitos atau
legenda. Yang membuat sebuah daerah dikeramatkan atau harus dihormati karena ditempat itulah para
leluhur beristirahat, atau penjaga bumi bermukim dan lain sebagainya”, ujar Mas Romo.
“Kebijakan ini ada yang kemudian dirumuskan dalam aturan-aturan yang mengenal denda bagi apra
pelanggarnya”, sambung Andi.
“Tapi bukan berarti apa yang ada tak boleh diambil atau dimanfaatkan. Tetap bisa hanya diatur, entah
berdasarkan waktu atau ukuran-ukuran tertentu. Maka di daerah tertentu kita mengenal beberapa
upacara penangkapan atau perburuan binatang pada masa tertentu”, lanjut Mas Romo.
“Luar biasa sebenarnya masyarakat kita dulu itu ya Mas Romo”, kata Andi memberi komentar.
“Namun semua itu berubah karena datangnya orang luar. Yang bukan hanya tak tahu kebijakan
setempat, melainkan juga tidak menghormatinya. Para pemotong kayu di hutan yang lebat dan
dikeramatkan berasal dari luar, membawa peralatan gergaji dengan kecepatan berkali lipat dari alat
yang dipakai masyarakat setempat”, kata Mas Romo. “Dan ternyata ketika pohon-pohon ditumbangkan
apa yang diyakini masyarakat setempat tak terjadi. Mereka yang menyakini aturan sebagai sekedar
aturan menjadi tergoncang keyakinan dan kelak ikut-ikutan merobohkan pohon di hutan yang mereka
hormati sebelumnya”.
“Menyedihkan ya Mas Romo, masyarakat yang dulu adalah penjaga, kini ikut-ikutan menjarah apa yang
dulu mereka jaga karena ajaran orang dari luar. Luar biasa pasti pergulatannya, namun pada akhirnya
mereka bersikap pragmatis, daripada tidak dapat bagian, maka apaboleh buat, ikut nebang saja”, ujar
Andi dengan nada prihatin.
“Inilah yang disebut pragmatisme, daripada nda kebagian. Dan sikap ini pada akhirnya fatalistik, kita
secara kolektif menghancurkan diri kita sendiri. Adalah omong kosong niat untuk mewariskan bumi
beserta lingkungan yang asri kepada anak cucu kita kelak”, sahut Mas Romo.
“Iya kata itu hanya ada di sambutan atau kotbah-kotbah saja, tapi pada prakteknya yang berlaku adalah
babat dan keruk habis. Sembari terus meminta rakyat di hulu menjaga hutan dan lingkungannya, agar
yang dihilir tidak kena petaka”, kata Andi.
“Para pemegang kebijakan lupa merumuskan konsep “cost and benefits”. Masyarakat adat, masyarakat
tradisonal, masyarakat pedalaman diminta menahan diri untuk tidak mengekploitasi alam secara
berlebihan. Hasilnya berupa jasa alam dan lingkungan yang dinikmati masyarakat di luar mereka.
Mereka “rugi” dan orang lain yang menuai “untung”. Maka seharusnya ada kompensasi untuk mereka”,
terang Mas Romo. “Kalau tidak ya jangan salahkan kalau mereka ikut main tebang juga”.
Setiap orang berhak untuk menikmati dan mengambil untung dari sumberdaya alam. Namun sadar atau
tidak terkadang pujian untuk kebijakan tradisional, kearifan dan kegeniusan lokal merupakan jebakan
Batman bagi masyarakat adat atau komunitas setempat. Mereka diminta terus menjaga, memelihara
sumberdaya alam tapi orang luar datang memanennya.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
H
Habis Gelap, Terbitlah Surti
Matahari belum lama surup ke peraduannya. Lalu lalang orang-orang bergegas pulang masih ramai
terasa. Tak ada yang berjalan perlahan, semua serba cepat sebab pingin segera mandi karena keringat
telah pekat. Ada pula yang tak sabar untuk menghirup kopi atau teh panas guna menghilangkan tekanan
kerja sepanjang hari.
Di kala sebagian besar orang melangkah menuju rumah untuk bersiap membenamkan diri dalam kasur,
Surti justru tengah mematut-matut diri bersiap melangkah kaki ke luar rumah dalam kegelapan malam.
Surti bukanlah kelelawar yang keluar dari sarang saat mentari terbenam. Surti adalah bagian dari
lingkaran dunia hiburan malam, yang bersedia memutar jam biologinya untuk membahagiakan orang-
orang yang haus kebahagiaan di malam hari.
Kerja di tempat hiburan malam bukanlah cita-cita Surti. Meski mengobral senyum, bergerak ceria
kesana-kemari, mengoyang badan sepanjang musik berbunyi, itu bukanlah ekspresi bahagia Surti. Surti
berusaha ceria untuk mengusir dukanya. Duka karena dirinya disebut sebagai perempuan malam yang
sama artinya dengan “bukan perempuan baik-baik”.
“Saya memang bukan perempuan baik-baik, tetapi saya tidak akan jadi begini jika tidak karena laki-laki
bajingan. Manis mulutnya tapi busuk kelakuannya. Laki-laki yang selalu mengatakan sebagai belahan
hati, minggat setelah tahu perut saya membuncit”, kata Surti membagikan kisah hidupnya kepada Mas
Romo.
Sesekali Mas Romo memang menyempatkan diri mengunjungi tempat hiburan malam untuk refreshing.
Tidak rutin sebab sekali kunjungan saja sudah mampu menguras kantongnya yang memang tidak tebal.
Satu dua botol bir dingin cukup untuk membawa kantuk yang membuat tidurnya terasa nyenyak. Dan
adalah kebiasaan Mas Romo, setiap berkunjung selalu membooking ladies yang berbeda, sehingga bisa
mengumpulkan banyak kisah yang sebenarnya punya benang merah hampir sama.
“Sebagai perempuan belum menikah, tapi punya anak dan tak lulus sekolah, coba apalagi yang bisa saya
kerjakan untuk menopang kehidupan. Kantor mana yang mau menerima perempuan dengan kondisi
seperti saya?”, tanya Surti pada Mas Romo. “Kebutuhan bayi sekarang ini luar biasa besar, untuk
membeli susunya saja sudah bikin saya kelabakan”, lanjut Surti.
Dunia kerja formal memang tidak adil terhadap perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah, single
parent dan tak punya pengalaman. Kantor-kantor lebih menyukai menerima pegawai baru yang adalah
wanita-wanita single, fresh graduate sehingga bisa mencurahkan waktunya untuk pekerjaan tanpa
terganggu urusan menjaga anak.
“Hanya tempat seperti inilah yang ramah kepada perempuan-perempuan seperti kami. Tidak perlu
wawancara panjang lebar, tak perlu berkas lamaran yang tebal, yang penting mau bekerja dan paham
konsekwensinya”, ujar Surti meneruskan kisah hidupnya.
“Tapi kan pekerjaan ditempat ini tak bisa selamanya kamu lakoni?”, tanya Mas Romo menyela.
“Ya iyalah ... Mas, semakin tua tentu semakin tak sepi langganan. Makanya saya berusaha menabung,
mengumpulkan modal untuk usaha nantinya. Saya juga berharap bisa menemukan laki-laki yang mau
menerima diri saya apa adanya”, kata Surti pelan dengan wajah enggan untuk membicarakan masa
depannya.
“Lho bukankah setiap malam kamu selalu bertemu dengan banyak laki-laki. Apakah tidak ada yang
cocok?”, tanya Mas Romo.
“O..allah Mas, laki-laki yang datang kesini ini kan tidak untuk mencari istri. Kelakuannya kan tidak beda
jauh dengan laki-laki keparat yang pergi meninggalkan saya dulu. Saya tak mau tertipu untuk kedua
kalinya”, ujar Surti sambil tersenyum kecut. “Tamu seperti sampeyan ini jarang, duduk diam-diam tak
berusaha membelanjakan tangan”, lanjut Surti dengan senyum mengoda.
Mas Romo tersipu malu. Karena malam telah larut Mas Romo meminta Surti untuk mengambil bill,
ongkos yang harus dibayar. Mas Romo mengambil lembaran uang dari dompet, dilebihkan jumlahnya
kemudian diserahkan dalam genggaman Surti. Sambil berdiri untuk bersiap melangkah keluar, Mas
Romo berujar “Sisanya buat kamu dan semoga kamu segera mendapatkan belahan jiwa”.
Sebagai tanda terima kasih, Surti mengecup pipi Mas Romo dengan mesra. Dan nampaknya meski telah
menenggak dua botol bir, tidur Mas Romo malam ini tak bakal nyenyak.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Harga Penghargaan
Apa yang menarik media untuk memberitakan kota ini?. Bagi mereka yang gemar mengintip siaran
berita tentu akan menjawab banjir dan kebakaran, ya seputar air dan api. Soal air tentu saja mewakili
karaktek Samarinda yang adalah kota Bandar, kota yang dibangun atas dasar kehidupan sekitar sungai.
Maka wajarlah kalau kemudian akrab dengan air, sebab Samarinda sendiri konon artinya sama rendah
(dengan permukaan sungai). Para senior citizens, orang-orang tua tentu punya cerita soal pasang surut
Samarinda yang ditandai oleh rumah panggung dan banyaknya kawasan rawa-rawa.
Cerita tentang kebakaran juga bukan barang baru. Tegakkan hutan yang hijau dimusim kemarau tiba-
tiba berasap dan membara. Tanah menyimpan titik api akibat lapisan batubara yang tersembunyi dibalik
permukaan tanah.
”Karakter banjir dan kebakaran saat ini bukan lagi akibat ulah alam, perilaku kebijakan pembangunanlah
yang menyebabkan banjir kian parah serta api semakin gampang meradang. Bentang alam kita terlalu
cepat berubah. Gunung-gunung diratakan, rawa ditimbun dan hutan dibabat dengan kecepatan yang
maha dahsyat”, lanjut Mas Romo. “Maka tak heran begitu diterpa hujan, tak lebih dari satu jam segera
saja akan muncul genangan dimana-mana”.
“Tapi ada untungnya juga Mas Romo, dengan banjir dan kebakaran, daerah kita ini jadi sering masuk
berita di media-media nasional. Lumayan kan, jadi terkenal gitu lho”, ujar Ramli bergurau.
“Kamu ini kok malah senang diberitakan lantaran kabar buruk”, sahut Mas Romo.
“Eh, ini ada kabar baik”, seru Kasman sambil memperlihatkan halaman koran yang dipegangnya.
“Ini baru membanggakan, pemimpin kita mendapatkan penghargaan atas kepedulian pada lingkungan
hidup. Jadi nggak benar itu pandangan yang mengatakan bahwa hanya hal-hal buruk yang terjadi di
daerah kita ini. Ini kan bukti bahwa orang luar sana menghargai usaha untuk memulihkan alam”, kata
Ramli setelah membaca berita utama koran hari ini.
“Saya bukannya mau berburuk sangka, tapi penghargaan itu macam-macam adanya. Ada penghargaan
yang diberikan karena pemberi menyakini bahwa kita benar-benar melakukan sesuatu yang luar biasa,
menjadi inspirasi bagi bangsa, menyumbangkan penyelesaian atas permasalahan yang berat dan
mendera kita terus menerus. Tapi sebaliknya juga ada penghargaan yang ada maunya. Dia bukannya
memberi melainkan dengan penghargaan itu dia berharap ada imbal balik dari yang dianugerahinya”,
ujar Mas Romo.
“Maksud Mas Romo, tokoh kita yang baru mendapat penghargaan itu membayar. Wah, bukan buruk
sangka lagi tapi sudah fitnah”, ujar Ramli.
“Silahkan saja kalau itu tafsir kamu, maksud saya itu penghargaan tidak selalu bersifat netral dalam
artian sebagai bentuk apresiasi atas prestasi seseorang. Dibalik sebuah penghargaan bisa jadi ada intensi
lain entah dari pemberi maupun penerima, atau bahkan intensi bersama antara keduanya”, jawab Mas
Romo.
“Ram, Mas Romo bukannya mau menuduh. Kita ini kan sedang diskusi perihal penghargaan yang erat
kaitannya dengan kredibilitas dan integritas entah pemberi maupun penerima. Itulah kenapa ada
sejumlah penghargaan yang dipandang bergengsi namun tidak sedikit pula yang dipandang sebelah
mata atau bahkan menjadi bahan tertawaan belaka. Contohnya pemberian penghargaan Doktor Honoris
Causa dari UI kepada Raja Arabia, yang malah diplesetkan jadi Doktor Humoris Causa”, tambah Kasman
memberi pengertian.
“Kita ini kadung menempatkan penghargaan di tempat yang tinggi. Padahal siapapun sekarang bisa
memberikan penghargaan publik, bahkan tak sedikit yang hanya sekali memberi penghargaan dan tahun
depan menghilang. Oleh sebab itu dalam menilai ‘harga’ sebuah penghargaan kita perlu melihat
keajegan penyelenggaraannya, kredibilitas dan kompetensi penilainya, independensi serta minus konflik
kepentingan”, terang Mas Romo kembali.
“Oh, begitu ya Mas Romo. Jadi apa penilaian Mas Romo atas penghargaan yang diberikan kepada tokoh
kita ini”, tanya Ramli.
“Apalah saya ini. Tapi kalau saya adalah pemberi penghargaan dengan label inisiator atau pioner, maka
penghargaan akan saya berikan jika inisiatif atau kepioneran sang penerima sudah kelihatan hasilnya.
Dan hasil itu perlu dinilai dengan indikator yang jelas. Contoh kata, kalau kamu sudah menebang 5
milyards batang pohon, tentu saja tak pantas diberi penghargaan meski telah menanam 1 milyards
pohon. Apa yang kamu tanam tak sebanding dengan yang kamu rusak”, pungkas Mas Romo mengakhiri
perbincangan.
Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s
I
Ingat Jasanya, Lupakan Kesalahannya
Pak Harto dikenal sebagai orang yang ‘Nguri-uri’ kebudayaan Jawa utamanya soal pitutur yang
disampaikan turun temurun oleh para pendahulu. Pitutur yang kemudian dijadikan sebagai falsafah itu
kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, kumpulan falsafah Jawa dan diwariskan kepada anak dan
cucunya. Bukan hanya anak dalam artian biologis, melainkan seluruh bangsa Indonesia. Suharto yang
digelari sebagai bapak pembangunan tentu memandang seluruh bangsa Indonesia, rakyat yang
dipimpinnya sebagai anak-anaknya.
Maka ketika Pak Harto menyatakan diri mundur dari kursi kepresidenan dan kemudian menyerahkan
kepada Habibie, mulai bertaburanlah istilah-istilah berbau falsafah Jawa. Pak Harto bukannya mundur
melainkan ‘lengser keprabon’, meninggalkan kursi kekuasaan secara sukarela, karena merasa saatnya
sudah tiba. Meninggalkan kursi bukan untuk turun melainkan naik peringkat, menjadi ‘pandito’,
pemimpin dalam artian spiritual.
“Pak Harto tidak merasa diturunkan dari tahta kepresidenan. Dia hanya merasa sudah cukup memimpin
Indonesia dan kemudian menyerahkan kekuasaan pada penerusnya yaitu Habibie. Maka ketika
kepemimpinannya dimasa lalu dipersoalkan dan perlu diuji di hadapan pengadilan, para pembelanya
kemudian melontarkan, lagi-lagi falsafah Jawa yang mengatakan mikul duwur, mendem jero”, kata Mas
Romo yang kebetulan salah satu garis keturunan nenek moyangnya berasal dari Jawa.
“Artinya apa itu Mas Romo, kalau bahasa Indonesianya kan menjunjung tinggi, mengubur dalam-dalam”,
tanya Jacky yang sempat ikut pelajaran boso Jowo selama dua semester pada sebuah sekolah di bawah
lereng gunung Tidar.
“Itu sebuah nasehat agar kita mengenang dan hormat atas jasa seseorang di masa lalu, kita junjung
kehormatannya dan kita lupakan segenap kesalahannya. Pendeknya nda usah mengungkit-ungkit
keburukan orang di masa lalu. Itu namanya kita tidak hormat, tidak menghargai jasa-jasanya”, jawab
Mas Romo.
“Wah. Lha kok enak ya Mas Romo”, sahut Agus tiba-tiba, memprotes penjelasan Mas Romo yang bagi
Agus dipandang tidak masuk akal. Benar ya benar, salah ya salah, jadi setumpuk kebaikan tak
menghilangkan sejumput kesalahan. “Bukankah kita diajarkan gara-gara nila setitik, rusak susu
sebelanga”, ujar Agus menyitir sebuah peribahasa.
“Ya mestinya kalau mau konsekwen dan konsisten harusnya begitu Gus. Tapi mungkin orang-orang tua
mengungkapkan falsafah itu karena berkaca dari sejarah”, kata Mas Romo. “Bangsa ini berulangkali
menunjukkan tidak mampu mengakhiri masa kepemerintahan dengan baik-baik. Mereka sebenarnya
sudah dipermalukan karena kenyataan itu. Jadi kita tak usah menambah ‘wirang’ dengan mengusik-usik
perilaku buruknya di masa lalu”, lanjut Mas Romo.
“Nah, ini juga Mas Romo, terlalu banyak memakai vocab bahasa Jawa. Apa itu wirang?”, tanya Jacky lagi.
“Wirang itu malu yang amat sangat. Jadi sebetulnya Pak Harto dengan meninggalkan kursi kepresidenan
sebenarnya sudah mendapat hukuman terberat yaitu rasa malu yang dalam. Maka ketika sudah ‘lengser
keprabon’ dia tidak mau ditemui oleh siapapun yang berkaitan dengan kepemerintahannya di masa lalu.
Pak Harto tak mau lagi mengingat-ingat yang sudah-sudah. Dia memilih menepi, meninggalkan sama
sekali urusan politik”, jawab Mas Romo.
Dan memang benar, konon Presiden Habibie tidak berhasil menemui Pak Harto di masa
kepresidenannya yang tidak lama.
“Dan nampaknya falsafah mikur duwur, mendem jero itu berhasil ya Mas Romo. Semua pihak yang
berkompeten untuk menelisik pelanggaran di masa lalu tak mampu bertindak lugas. Kasus Pak Harto
mulur mungkret”, kata Jacky.
“Nah, itu kamu menyebut kata Jawa, apa itu artinya Jack”, sahut Agus iseng-iseng menguji Jacky.
“Ya kurang lebih tarik ulur lah, kayak karet, kadang bisa panjang tapi kalau dilepas jadi pendek lagi”, ujar
Jacky sekenanya.
“Iya Jack, dan meskipun itu falsafah Jawa, sebenarnya gejala seperti itu ada dimana-mana. Di negeri ini
sulit menyeret orang-orang terhormat ke depan meja peradilan. Tidak pantas orang-orang yang telah
berjasa besar kemudian dipersoalkan”, jawab Mas Romo.
Jacky dan Agus mengangguk-anggukkan kepala seolah paham.
“Begini Mas Romo, tak usah dijawab ya. Pak Harto ini sebenarnya Presiden atau Raja Indonesia sih. Dan
Republik ini, Republik Indonesia atau Republik Jawa?”, kata Jacky yang membuat Mas Romo dan Agus
saling menatap kebingungan.
Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s
J
Jangan Biarkan Mereka Mati
Perbincangan tentang kecelakaan yang menimpa pedangdut Saiful Jamil belum juga usai. Dalam
kecelakaan mobil yang disopiri sendiri, Saiful bukan hanya kehilangan istri tercintanya melainkan juga
bayi dalam kandungan istrinya. Kecelakaan pada alat angkut memang menduduki peringkat tinggi
penyebab kematian di negeri ini. Selain terjadi di darat, kecelakaan juga kerap menimpa alat angkut di
lautan (sungai).
“Benarkah nenek moyang kita pelaut, seperti kerap kita nyanyikan sejak jaman Taman Kanak Kanak
dulu?”, tanya Dodi pada Mas Romo yang sedang membaca koran.
“Menurut catatan sejarah demikian adanya. Jejak nenek moyang kita tersebar di berbagai belahan
dunia. Dan tentu saja mereka mencapai tempat-tempat itu dengan kapal laut, entah sengaja atau tidak.
Mungkin karena tujuannya bukan untuk ekpedisi seperti Columbus , maka catatan atau kroniknya
menjadi tidak lengkap. Tapi kenapa kau memprotes lagu nan agung itu?”, terang Mas Romo sambil
bertanya.
“Lha, ini masak Mas Romo tidak baca”, kata Dodi sambil menunjuk berita tentang kecelakaan kapal
angkutan di halaman koran yang dipegang Mas Romo. “Dan ini .... kabar dari kawan di Surabaya yang
mengatakan bahwa barusan KM Kirana XI tujuan Balikpapan terbakar di dermaga Gapura Surya,
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya”, sambung Dodi sambil menunjukkan pesan yang masuk lewat BBM.
“Waduh, kecelakaan kok sambung menyambung. Apa kita ini memang negeri kecelakaan?. Tapi apa
hubungannya antara nenek moyang kita yang pelaut dan kecelakaan kapal?”, tanya Mas Romo.
“Kalau nenek moyang kita benar pelaut, berarti kita paham benar urusan kapal dan laut, apa resikonya
dan bagaimana menguranginya. Lihat saja berkali-kali kapal yang celaka belum jauh dari dermaga. Yang
ini bahkan masih menempel di pelabuhan, belum berangkat. Edan kan?”, kata Dodi.
“Justru itu masalahnya, kita bukan kekurangan pengetahuan lalu jadi abai pada keamanan. Kita justru
merasa banyak tahu jadi tidak awas resiko lagi. Bukankah kita sering bilang, biasanya juga begini dan
tidak apa-apa. Ini apes saja”, ujar Mas Romo.
“Iya sedikit-sedikit apes. Makanya kecelakaan tidak pernah jadi pelajaran, paling jadi nyanyian saja, itu
juga kalau Iwan Fals masih bisa menulis syair”, sahut Dodi mengingatkan lagu ciptaan Iwan Fals tentang
tragedi Bintaro dan Tampomas II.
“Untuk urusan nyawa, bangsa kita ini memang paling abai pada “pre caution universal”, kewaspadaan
universal. Mestinya sebelum berangkat kan harus dipastikan tidak ada barang berbahaya yang
meningkatkan resiko malapetaka dalam perjalanan. Bukan sekali dua kali, kapal terbakar karena
kendaraan yang terparkir di geladak bawah”, kata Mas Romo.
“Sedih saya melihat perilaku para pemangku kebijakan soal angkutan. Nyawa kok disamakan dengan
barang. Kalau terjadi sesuatu diatas kapal, kelihatan tidak siap. Semua panik dan berlompatan ke dalam
air, padahal tidak semua penumpang kan bisa berenang”, keluh Dodi.
Sejarah kelautan adalah sejarah yang panjang. Tetapi yang terjadi justru kosok balik, paradoks. Sejarah
panjang tidak menorehkan pengetahuan yang semakin meningkatkan kewaspadaan betapa besar resiko
perjalanan angkutan di lautan. Dengan terang dalam pengembangan layanan dikatakan bahwa
penumpang adalah raja. Konsumen adalah yang utama untuk dilayani kepentingannya, diangkut dan
diantar dengan nyaman dan aman, selamat sampai ke tujuan.
“Bosan saya mendengarkan penjelasan bahwa semua prosedur sudah dilalui, sebelum berangkat sudah
diperiksa kelaikannya. Tapi buktinya kecelakaan bahkan terjadi di depan mata mereka yang mengatakan
hal itu. Tapi kok nda ada malunya ya. Kalau saja mereka ini Pinokio, pasti hidungnya sudah sepanjang
jembatan Suramadu”, kata Dodi geram.
“Kita memang lebih bisa menghafal SOP, Tupoksi, Job Desk atau apapun itu, tapi soal menjalankannya
hampir semuanya bisa dikompromikan. Bukan mau menuduh, lembaran rupiah seringkali membuat apa
yang tidak layak diberangkatkan ternyata bisa diloloskan mengarungi samudera dalam bahaya.
Bukankah biasa kita mendengar kapal tenggelam karena kelebihan muatan?”, sambung Mas Romo.
Dodi terdiam, tak mampu lagi berkata-kata. Dalam diamnya dia membayangkan Presiden SBY
mengumumkan bahwa menteri perhubungan di ganti dalam reshuffle kabinetnya. Dan pos menteri
perhubungan bukan lagi kursi yang ditujukan untuk membalas jasa baik seseorang pada yang
mempunyai hak prerogatif untuk menunjuknya.
Yustinus Sapto Hardjanto
Sociocultural Networker’s
K
Kaderisasi Koruptor
Saat diminta komentarnya perihal KPK yang terus menerus dihantam dari segala jurusan, Mas Romo
hanya menjawab singkat “Para penyerang tak sadar betapa beratnya kerja KPK”. Dan benar memang
maha berat kerja KPK. Pertama karena korupsi telah menjelma menjadi penyakit yang kronis, berurat
berakar sampai masuk dalam urusan sehari-hari. Kedua, perilaku koruptif selalu menyangkut
segerombolan orang, persih seperti kue lapis dimana dalam setiap potongnya terdiri dari beberapa
layer. Dan yang ketiga, pencegahan korupsi menjadi tidak populer karena semua merasa sedari kecil
sudah dibekali dengan norma dan ajaran suci entah yang berasal dari kebudayaan maupun agama.
“Maka yang menonjol dari KPK hanyalah penindakan, sementara yang berbau pencegahan menjadi tidak
populer, jarang diperbincangkan apalagi diberitakan”, ujar Mas Romo. “Akibatnya tindakan KPK
berpeluang menimbulkan kontroversi, apalagi jika sudah menyangkut orang atau lembaga yang
terhormat”, lanjut Mas Romo.
Nardi yang sedang mengerjakan tugas menulis paper berjudul “Memahami Korupsi Untuk Membasmi”
tak berusaha memancing keterangan dari Mas Romo melalui pertanyaan. Dia tahu persis, hanya dengan
diam maka Mas Romo pasti akan kembali melanjutkan untaian kata-katanya.
Dan benar saja, karena Nardi hanya diam dan menunjukkan wajah siap mendengarkan, maka Mas Romo
melanjutkan analisis panjangnya. “Siapa di negeri ini yang sudi disangka korupsi, apalagi kalau sudah
merasa mengabdi untuk bangsa ini”, ujar Mas Romo. “Maka penindakan terhadap orang tertentu selalu
menjadi riuh, sebab akan muncul kelompok-kelompok pendukung baik yang terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi. Semuanya berkeinginan untuk mengatakan betapa KPK salah karena menyangka
orang tersebut telah melakukan tindakan tercela”, lanjut Mas Romo.
“Bukankan setiap penindakan terhadap sebuah kasus, selalu memunculkan narasi”, tanya Mas Romo
pada Nardi. Kali ini Nardi merasa tidak enak kalau tidak menjawab. “Iya Mas Romo, selalu muncul narasi
soal politisasi, dizolimi, dikorbankan dan kriminalisasi kebijakan”, jawab Nardi.
“Ada ribuan kasus, tetapi silang pendapat soal satu kasus saja sudah berlarat-larat. Semua mau terlibat
meski berkali-kali menyatakan diri tak mau intervensi. Lihat saja anggota legislatif kita gemar membuat
panja, pansus dan lain sebagainya”, tambah Ahmad.
“Kaum eksekutif juga tak kalah genit, sedikit-sedikit bikin tim ini dan itu, yang lebih banyak membuat
sebuah kasus jadi semakin ruwet. Belum lagi kalau banyak yang menyoal kinerja dan sepak terjang tim
bentukan eksekutif itu. Wah ..tambah ribut”, tambah Nardi melanjutkan keterangan Ahmad.
“itulah sebabnya penanganan korupsi menjadi berlarat-larat. Kasus bertumpuk-tumpuk dan semakin
susah diurai. Sementara itu calon-calon koruptor dengan cepat juga bermunculan. Setiap koruptor selalu
mendidik kader untuk melanjutkan sepak terjang dan menjaga kepentingannya”, keluh Mas Romo.
“Lho koruptor dikader juga ya Mas Romo”, tanya Nardi heran.
“Lha iya lah ..... coba lihat semua pemilihan ketua ini dan itu selalu ricuh, berebutan orang ingin menjadi
calon. Nah disitulah ladang dan lahan korupsi dimulai. Uang bukan hanya dihamburkan dalam pemilihan
bupati, walikota, gubernur dan sebagainya, sekarang ini pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa saja
perlu dana untuk mengamankan suara”, jawab Mas Romo.
“Pantas saja ya, calonnya sibuk sowan kesana kemari, membuat tim untuk menyebar proposal. Menggali
dana dari berbagai jurusan tapi minim pertanggungjawaban”, sambung Ahmad.
“Demikianlah adanya, maka jangan sering-sering mengadakan kaderisasi, sebab jangan-jangan kita
bukan hanya menghasilkan kader yang militan melainkan juga bajingan yang siap menilep uang negara
saat punya kedudukan nanti”, pesan Mas Romo.
“Kalau begitu koruptor seperti pahlawan saja ya, mati satu tumbuh seribu”, guman Nardi.
“Oh, ya Mas Romo, kira-kira ada gak sih jabatan yang tidak diperebutkan sehingga tidak memerlukan
uang untuk mendudukinya”, tanya Ahmad lagi.
“Kalau kamu mau, sebenarnya ada. Ketua rukun kematian”, jawab Mas Romo sekenanya sambil
berpamitan.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
L
Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga Sumber Masalah?
Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis, atau bahkan mengandung korupsi makna. Sebagai
sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat , wadah partisipasi publik dalam
pembangunan (dalam arti seluas-luasnya) pada kenyataannya jarang yang mampu membiayai dirinya
sendiri. Istilah LSM sendiri diperkenalkan oleh regim orde baru, untuk mengeliminir istilah organisasi
non pemerintah (Ornop). Disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dengan harapan
kehadirannya mampu menjadi partner atau mitra pemerintah dalam pembangunan.
“Peran LSM dalam pembangunan diakui oleh pemerintah, bahkan secara eksplisit disebut dalam
berbagai peraturan dan perundangan. Meski demikian tidak semua pelaksana pemerintahan mampu
memandang LSM sebagai mitra, sebagaian masih memandang LSM sebagai lembaga sumber masalah”,
kata Mas Romo saat ditanya soal kebiasaan pejabat yang marah-marah karena dikritik LSM.
“LSM itu sejak lahirnya memang cair, tak bisa diatur-atur. Salah jika menempatkan LSM sebagai wadah
partisipasi publik secara luas, sebab LSM bisa saja didirikan oleh satu dua orang yang peduli atau punya
hobby pada masalah tertentu. LSM kan tidak hanya peduli pada orang atau masyarakat, tapi juga pada
binatang dan tumbuhan. Maka tak heran ada LSM yang mati-matian membela Orang Hutan, Badak
Jawa, Harimau Sumatra, Penyu Hijau, Pohon Ulin, kantong Semar dan lain sebagainya”, sambung Mas
Romo.
“Tapi kenapa ada istilah LSM legal dan LSM liar Mas Romo”, tanya Rudi.
“Ya itu kan istilah yang muncul dari Kesbanglinmas sebagai konsekwensi regim bansos. LSM yang berniat
menggali sumber dana lokal (APBD) harus terdaftar di sana, istilahnya biar bisa jadi rekanan. Yang tidak
mau mendaftar, entah karena tidak sempat atau tak memenuhi syarat ya bakal dianggap organisasi liar.
Tapi ada juga yang sengaja tak mau mendaftar, soalnya pengakuan legal atau tak legal tidak penting.
LSM kan bukan badan usaha, hari ini berdiri besok mati tak juga masalah. Lagi pula kalau memang tak
berniat untuk mendapat dana dari pemda atau pemerintah, maka tak jadi soal biar nggak terdaftrar”,
jawab Mas Romo.
“Kira-kira berapa ya jumlah LSM”, tanya Rudi lagi.
“Wah banyak, bagai cendawan di musim hujan. Ada yang betulan banyak pula yang jadi-jadian. Daerah
kita ini layaknya peternakan LSM. Tapi yang kau perlu ingat bahwa LSM itu bukan spektrum tunggal.
Banyaknya LSM tidak sekaligus menjadi penanda dari kekuatan masyarakat sipil. Banyak juga LSM yang
sebenarnya related government. Didirikan atau diinisasi oleh orang-orang di pemerintahan untuk pra
syarat proyek tertentu”, terang Mas Romo.
“Pantas saja ya ada LSM berkelahi dengan LSM lainya”, ujar Rudi.
“Pasti itu, kan ideologinya macam-macam. Ada yang mengusung pembangunan mainstream, adapula
yang membawa bendera pembangunan alternatif. Jelas pasti bertabrakan. Tapi tidak masalah ini adalah
bagian dari dialektika. Konflik yang sehat justru melahirkan alternative pandangan baru yang lebih
komprehensif”, terang Mas Romo.
“Tapi banyak juga yang abu-abu, tidak jelas apa pandangannya tentang pembangunan. Pokoknya kanan
kiri oke. Terkadang keras tapi pada waktu yang lain tak bersuara, diam saja malah bermesraan dengan
yang bisa dikritiknya”, kata Rudi lagi.
“Mereka paham bahwa dalam berbagai kesempatan, LSM bisa menjadi alat penekan. Bahasa salah
kaprahnya advokasi. Main three in one, pukul tiga kali, tagih satu kali lalu selesai urusan. Tapi ya itulah
setiap LSM dan orang didalamnya punya gaya main sendiri. Dan semua bisa mengaku LSM, sebab tidak
ada badan sertifikasi, alat untuk mengetes mana LSM asli atau palsu juga tak ada”, ujar Mas Romo.
“jadi menurut Mas Romo, LSM itu sebenarnya apa?”, tanya Rudi.
Pertanyaan Rudi sebenarnya sulit sebab definisi LSM selalu saja beda-beda, tak ada standard yang pasti
karenanya masing-masing bisa merumuskan sendiri termasuk kode etiknya.
“Secara umum LSM adalah organisasi yang didirikan oleh baik perorangan atau kelompok yang tidak
berkaitan dengan pemerintah. Para pendiri biasanya mempunyai kepedulian terhadap permasalahan
tertentu dan ingin membantu mengatasinya dengan cara yang mereka yakini. Inilah yang disebut
dengan mandat. Dan niat itu diwujudkan dalam serangkaian program atau aksi, baik yang bersifat ke
dalam maupun ke luar yaitu pada kelompok atau lapangan yang menjadi titik perhatiannya. Dan semua
itu didorong oleh keinginan untuk mendedikasikan semua sumberdayanya pada kepentingan bersama,
kepentingan masyarakat banyak atau lebih khusus lagi kepentingan kemanusiaan”, terang Mas Romo
panjang lebar.
“Berat juga kalau begitu”, ujar Rudi.
“Sebenarnya memang demikian kalau mau sungguh-sungguh”, pungkas Mas Romo.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Lupa Diri Karena Memikirkan Diri Sendiri
Kehidupan ini mengajarkan bahwa ada banyak jenis manusianya diatas permukaan bumi. Ada jenis
manusia yang kita kehendaki tapi ada juga yang lebih suka kita singkiri. Andai kita seorang atasan tentu
ingin punya pekerja yang jenisnya adalah manusia yang punya kemampuan sekaligus kemauan. Selalu
kita dihantui oleh keinginan untuk hidup, bergaul dan berurusan dengan manusia yang ideal. Namun
dalam kenyataannya sebagaian besar orang yang kita temui sehari-hari adalah orang yang tidak kita
kehendaki, manusia-manusia bukan saja tidak ideal melainkan juga menjengkelkan.
“Semakin banyak saja orang tak tahu diri. Parah mereka tidak tahu kalau diri mereka itu tidak tahu, ndak
sadar diri”, gerutu Mas Romo.
“Pagi-pagi kok sudah mengerutu to Mas Romo, tidak baik lho, nanti jauh dari rejeki. Tuhan tidak senang
orang yang tidak mensyukuri hari baru”, kata Rudi yang mendengar gerutuan Mas Romo.
“Bagaimana tidak jengkel, pagi tadi itu di jalan yang rusak sana, banyak lubang sedalam kuburan itu.
Masih saja ada orang yang memacu motornya kayak di lintasan balap, gak mikir apa kalau kelakuannya
itu bukan hanya membahayakan dirinya tapi juga orang lain. Banyak lho orang sengsara, cacat dan
trauma gara-gara kecerobohan orang lain di jalanan”.
“Oh, begitu ceritanya. Memang semakin banyak saja orang tak tahu diri berkeliaran di jalanan. Dan
sayangnya yang lebih banyak menunjukkan perilaku tak tahu diri di jalanan justru anak-anak muda.
Lebih sial lagi mereka menunjukkan perilaku tak tahu diri itu dengan memakai kendaraan yang dibelikan
oleh orang tua dengan cara kreditan”, kata Rudi ikut-ikutan mengeluh.
“Tahu nggak tadi pagi saya lewat depan Polsekta, seperti sedang ada bazaar motor bekas. Penuh itu
halaman dengan motor hasil tangkapan. Rupanya polisi juga mulai pusing dengan manusia tak tahu diri
yang menjadikan jalan sebagai arena balapan”, kata Mas Romo memberi informasi.
“Psst ..tapi polisi juga sering tak tahu diri juga kan Mas Romo, membiarkan pelanggar lewat setelah
setuju dengan ayat 100 atau 200. Maksudnya seratus atau dua ratus ribu”.
“Semakin banyaknya orang yang tak tahu diri merupakan tanda awas, alert alias lampu merah. Ini
menunjukkan bahwa modal sosial kita makin lemah, orang cenderung mementingkan urusan dan
keperluan dirinya sendiri. Kehilangan perspektif bahwa apa yang dilakukan olehnya bisa mencelakai
orang lain”, ujar Mas Romo.
“Dalam teori peradaban, bisa menjadi pertanda bahwa kita tengah berada di pinggir jurang batas
ketidakmanusiawian. Kita justru kehilangan diri ketika hanya memikirkan diri sendiri, kita melawan adab
dan takdir bahwa kita mengada atau berada untuk bersama orang lain”, sambung Rudi bernada filosofis.
“Saya masih bisa menerima jika yang lupa diri adalah anak-anak muda, mereka masih bisa diperbaiki,
diarahkan ke jalan yang benar. Terkadang mereka memang terjebak dalam euforia tertentu yang
sejenak membuat mereka lupa diri. Tapi yang justru mengkhawatirkan adalah apabila para petinggi,
pelaksana pemerintahan di negeri ini yang lupa diri”, ujar Mas Romo.
“Maksud Mas Romo apa nih?”.
“Bukankah kita bisa melihat parade kelakuan mereka yang tak tahu diri itu, lupa diri saat memegang
kedudukan. Sebagai anggota legislatif misalnya, mereka adalah wakil rakyat. Tapi coba lihat kelakuan
mereka, memutuskan sesuatu tanpa mendengar suara rakyat yang mereka wakili. Bahkan tega-teganya
menilep uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Contoh yang paling hina dan nista
adalah kasus anggota dewan yang mengkorupsi dana bantuan sosial (Bansos)”, terang Mas Romo. “Para
pemimpin yang dipilih dengan suara rakyat. Sebelum terpilih berlagak bagai pengemis, memohon-
mohon dukungan masyarakat. Setelah itu mau ditemui saja sulitnya setengah mati. Jauh lebih sulit
menemui mereka daripada menemui Tuhan”.
“Iya, ya padahal mereka kan mengatakan diri sebagai abdi rakyat. Tapi kok malah sering bikin rakyat
susah, kerap menyalahkan rakyat apabila ada program yang tidak berhasil. Mungkin begitu terpilih
mereka melihat wajah kita ini seperti kambing hitam”, ujar Rudi.
“Karena lupa diri sudah menjadi wabah, maka tugas kita yang masih sadar diri untuk terus
mengingatkan. Terutama kepada mereka yang tidak mengerti bahwa dirinya lupa diri. Jadi jangan lelah
untuk terus bersuara, meski suara kita seperti tertelan gelombang atau menghantam tembok tebal.
Sebab kalau tidak maka benar kita akan memasuki jaman edan, jaman kebolak-balik. Akhir dari
peradaban bangsa yang sering merasa diri sebagai bangsa berahklak mulia ini”.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
O
Orang Terhormat Dengan Otak Palsu
Dalam dunia olahraga, turnamen, kompetisi atau pertandingan biasa berlangsung ketat, penuh
persaingan dan menguras emosi. Dengan demikian kekerasan, kecurangan atau kelicikan sangat
mungkin terjadi entah direncanakan atau terjadi begitu saja. Oleh karenanya fairplay, sportivitas
menjadi ukuran penanda untuk menakar apakah seorang olahragawan (pribadi, klub dan kontingen)
berkualitas dunia atau berkelas kampungan alias pecundang. Mereka akan dihargai dan diakui bukan
hanya karena kemenangan, melainkan karena tekun bekerja keras, bertanding dengan penuh semangat
dan berlaku sebagai “orang terhormat” baik di dalam maupun di luar lapangan.
Pada pertandingan sepakbola kita kerap menyaksikan dua klub yang bertanding layaknya bertempur.
Mereka bukan hanya berlari kesana kemari membawa dan mengejar bola, melainkan juga menendang
dan menanduk lawan, saling sikut, lawan dijegal hingga terjungkal. Bukan sekali dua kali pemain
mengerang sambil memegang erat tulang kering karena kesakitan. Tapi usai wasit meniup peluit
panjang diakhir pertandingan, kedua tim saling berjabat tangan, berpelukan dan bertukar kaos yang
jelas-jelas berbau keringat. Semua sadar di akhir pertandingan selalu ada yang kalah dan menang.
“Tentu saja itu bukan pertandingan sepakbola di Indonesia, dimana ada beberapa pertandingan hanya
disaksikan polisi tanpa penonton. Sepakbola kita sering lebih mirip pertunjukan pencak silat atau
demonstrasi yang berakhir dengan bakar-bakar ban”, kata Mas Romo.
“Menurut saya fairplay bukan hanya perlu di bidang sport, melainkan dalam semua hal. Dan nampaknya
karena rendahnya fairplay atau sportivitas itulah yang membuat bangsa ini tidak bangkit-bangkit dari
keterpurukan, meskipun kita punya slogan probangkit misalnya”, sahut Juned.
“Betul, bahkan yang paling menyedihkan perilaku tidak sportif bahkan menjangkit ke dunia akademis,
dunia pendidikan kita”, sambung Sabri, “Contohnya baru-baru ini seorang teman, awardingnya dicabut
gara-gara intrik atas dasar ketidaksenangan ‘kolega’ lainnya”.
“Kok bisa ya, padahal dalam dunia akademis kan ukurannya kapasitas dan kompetensi. Kelayakan
seseorang diukur lewat tes atau ujian. Bukan senang atau tidak senang atas dasar nafsu primitive yang
membedakan orang kita dan bukan orang kita. Kalau yang boleh maju, boleh pintar hanya orang yang
se-agama dengan kita, se-suku dengan kita, se-angkatan dengan kita, bakal jadi apa negeri ini coba?”,
keluh Juned.
“Itulah yang disebut dengan bias birokrasi. Organ atau struktur yang seharusnya mempermudah atau
memperlancar urusan malah sering berlaku sebaliknya. Nah tidak ada sector kehidupan di negeri ini
yang lepas dari birokrasi yang sayangnya lebih berwatak menindas daripada melayani”, kata Mas Romo.
“Struktur ini kerap menandai orang atau kelompok tertentu yang dipandang kritis, menyerang atau
meragukannya. Dan siapa yang berani melakukan itu bakal dihambat kepentingannya apabila
memerlukan tangan birokrasi untuk mencapainya”.
“Iya, ingat jaman petisi 30 dulu. Seorang pembantu rektor dari universitas swasta ternama bisa terpental
dari kedudukannya gara-gara ikut menandatangani nota peringatan untuk Presiden Suharto. Meskipun
bekerja di institusi swasta, toh tangan birokrasi mampu memaksa institusi itu menendang keluar dari
lingkungannya”, sambung Juned.
“Sungguh memprihatinkan andai benar bahwa “politicking” sudah merasuk dalam dunia pendidikan,
dunia akademis yang menekankan obyektifitas dan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, ahklak
serta moralitas. Apa artinya pencapaian jika itu dicapai dengan otak palsu, kotor karena dipenuhi oleh
prasangka dan dorongan primitive untuk membunuh “orang lain” yang ingin dan memenuhi syarat
untuk berkembang, mekar dan hendak mendedikasikan dirinya untuk kemajuan generasi mendatang”,
tanya Mas Romo penuh kegalauan.
Usai sudah harapan bahwa pendidikan mampu membebaskan bangsa dari keterpurukan andai “selera”
masih menguasai hingga menjelma menjadi “birokrasi pengetahuan”. Mesin birokrasi yang dijalankan
oleh otak-otak palsu menyebabkan kegagalan dalam menata hubungan, system dan aksi serta wacana
dalam membangun sumberdaya manusia. Padahal pendidikan adalah pembebasan dari belenggu nafsu-
nafsi primitive untuk membangun peluang kehidupan yang semakin demokratis, terbuka agar kehidupan
bersama samakin baik tertata. “Tanpa pencapaian tujuan itu, maka tak lebih kita bagaikan pelari yang
melaju kencang tanpa tujuan, masuk dalam pusaran lingkaran setan”, pungkas Mas Romo.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
M
Macet, Update Status Saja
Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan.
Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kini gampang diperoleh lewat kredit membuat kota-
kota seluruh Indonesia terancam kemacetan terutama pada jam-jam tertentu. Fenomena bottle neck
ditemui dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota. Jalan menjadi penuh karena kendaraan dari
berbagai jurusan bertemu di satu jalur.
“Lihat saja di jalur ini”, ujar Mas Romo menunjuk jalur jalan di tepian Sungai Mahakam. “Pada jam-jam
tertentu kendaraan menyemut, beriringan panjang merayap seperti ular kekenyangan”. Sambil
menyedot kretek kesayangannya, Mas Romo menyatakan bahwa semua berebutan menyeberangi
jembatan Mahakam yang panjang tapi sempit. “Jalanan ini menjadi cermin soal siapa kita. Berada di atas
jalan ini dengan mudah kita melihat orang-orang yang mau menang sendiri, memacu kendaraannya tak
peduli keselamatan orang lain, seolah-olah jalan hanya menjadi miliknya sendiri”, ungkap Mas Romo.
Dino mengamini apa yang dikatakan Mas Romo. Bukan satu dua kali dirinya hampir terkena serangan
jantung di jalanan. Motor tiba-tiba nyelonong dari sebelah kiri, berbelok tanpa memberi tanda, muncul
dari gang dengan gagah berani dan mengobral klakson meski tahu kalau bunyinya tak bakal
mengerakkan rangkaian kendaraan didepannya. “Jalanan kita sekarang ini memang ruang pertunjukkan
orang-orang yang tak sayang nyawanya sendiri”, kata Dino mengomentari ungkapan Mas Romo.
“Banyak orang sebenarnya selamat bukan karena ketrampilannya berkendara, melainkan karena
beruntung saja”, sambung Ahmad yang beberapa bulan lalu patah tangannya karena diseruduk anak-
anak SMA yang kebut-kebutan. “Hati-hati di jalanan bukan jaminan keselamatan, sebab banyak
pengendara lainnya yang berkendara dengan serampangan. Bertemu dengan mereka bisa membuat kita
celaka. Ini buktinya”, lanjut Ahmad sambil menunjukkan bekas luka di pergelangan tangannya.
Jalan memang ruang pertemuan, ada berbagai kepentingan memperebutkan ruang sempitnya. Dan
tidak semua menghendaki kelancaran. Sebab tak sedikit pula yang bersyukur apabila jalanan macet,
padat merayap. Kumpulan orang yang frustasi di jalanan, tersenggat matahari atau terguyur hujan
adalah rejeki alias peluang untuk menghasilkan uang. Pengemis, pengamen, penjual asongan, pencari
sumbangan dan marketer lainnya tentu girang kalau jalanan penuh.
“Perempatan jalan, tempat lampu lalulintas berada adalah tempat favorit mereka mengais rejeki.
Semakin lama berhenti semakin baik, sehingga koran yang dijajakan bakal cepat habis, itu doa anak-anak
penjual koran”, ujar Mas Romo yang kerap menemui anak-anak kecil terkantuk-kantuk dengan koran di
dadanya hingga larut malam.
“Lalu bagaimana kita bisa mengurai kemacetan?”, tanya Ahmad pada Mas Romo.
“Pertama ini memang soal infrastruktur, ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan
dengan pertumbuhan jalan baru. Jalan yang ada tidak lagi cukup menampung populasi kendaraan
apabila secara bersamaan kendaraan-kendaraan ini berada di jalanan”, kata Mas Romo. “Tapi pada sisi
lain juga soal perilaku pembangunan, jalan yang dibangun tidak dipelihara secara rutin sehingga banyak
lubang disana sini yang membuat pengendara tidak lancar menelusurinya. Itu masih diperparah lagi
dengan banyaknya kendaraan yang diparkir di kanan kiri jalan tanpa perasaan. Banyak orang tak punya
garasi tapi ngotot membeli mobil”, lanjut Mas Romo.
“Betul Mas Romo, badan jalan sering dianggap sebagai tempat penitipan kendaraan. Tapi soal
kemacetan juga terkait dengan budaya atau perilaku kita berkendaraan. Tidak mau mengalah, mau
menang sendiri kerap membuat jalanan jadi stuck, terkunci tak bisa maju juga tak bisa mundur”, kata
Dino menyumbangkan pikirannya.
“Kalau begitu, benar dong kita perlu jalan TOL. Tapi kok saat pemerintah berinisiatif membangun jalan
TOL banyak yang ribut tak setuju?”, kata Ahmad memberi kesimpulan.
“Wah, itu soal lain Mad. Tidak ada hubungan antara kemacetan jalanan dan rencana pembangunan TOL.
TOL yang direncanakan bukan untuk mengatasi kemacetan, melainkan agar kekayaan bumi, sumberdaya
alam kita lebih mudah dan cepat dibawa lari keluar”, sahut Dino dengan cepat.
“TOL mungkin memang perlu, sebab ada yang berpikir kurang afdol kalau kota besar tidak mempunyai
TOL. Tapi jalan TOL bukanlah jalan yang dibangun oleh pemerintah, melainkan investasi swasta. Jadi
pemerintah tak perlu memaksa, andai tidak ada investor yang berminat membangunnya maka itu
pertanda bahwa TOL belum diperlukan”, sambung Mas Romo menambah keterangan Dino.
“Oh, gitu to Mas Romo. Lalu kapan kemacetan ini akan berakhir”, tanya Ahmad lagi.
“Jujur saja kalau soal itu saya tak tahu. Kalau saya sih lebih baik kita membiasakan diri dengan
kemacetan, kalau perlu menikmatinya sebab persoalan ini masih lama pemecahannya”, jawab Mas
Romo.
“Makanya Mad, kalau di jalanan bekali dirimu dengan Smartphone. Jadi kalau terjebak macet, kita masih
tetap bisa browsing atau update status”, sambung Dino.
“Macet lagi..macet lageeee ... padahal si Komo gak lewat lho ....” sent by smartphone kreditan,
powered by provider yang lemoot mlulu. Begitu update status di dinding facebook Ahmad beberapa hari
kemudian.
@yustinus_esha
Sociocultural Networker’s
Marah Saja Kalau Tak Sayang Pulsa
Kasak-kusuk di grup BBM teman seangkatan, disebutkan bahwa Karto kini telah menjadi orang sukses.
Penampilannya mentereng, jauh melampaui tampilan saat kuliah dulu. Doni yang pernah bertemu
dengannya mengatakan “Baunya wangi melebihi Ibu Bupati, kemana-mana disopiri. Tajir abis”.
Tentu saja tidak ada yang menyangka bahwa Karto bakal sesukses itu. Penampilannya saat kuliah dulu
tidak ada lebih-lebihnya, bahkan cenderung minus. Tapi toh memang nasib berada di tangan Tuhan,
kalau sudah digariskan, hitung-hitungan matematis dan logika menjadi tidak berlaku. Bukankah banyak
orang dengan potensi luar biasa, kecerdasan diatas rata-rata namun berakhir dengan tidak menjadi apa-
apa.
Mas Romo yang merupakan tokoh yang dituakan teman-teman satu angkatan terkaget saat dihubungi
oleh Karto. Lewat perbincangan di telepon, Karto mengabarkan hendak berkunjung ke rumah Mas
Romo. “Saya sudah rindu Mas Romo dan ingin bertukar cerita serta meminta pencerahan”, begitu ujar
Karto dari seberang sana.
Tanpa pikir panjang Mas Romo menyahut “Datang saja Kar, aku juga pingin ketemu kamu. Aku tunggu
ya, tapi jangan lupa oleh-olehnya”.
Beberapa hari kemudian Karto datang ke rumah Mas Romo dengan mengendarai mobil sedan tipe
terbaru dari sebuah produk ternama di Eropa. Kali ini Karto datang sendiri tanpa di temani sopirnya.
Mas Romo yang menyambut di depan rumah berdecak kagum melihat tongkrongan Karto. Saat
menyambut Karto dengan pelukan hangat, Mas Romo mengatakan “Luar biasa kamu, lama tak ada
kabar, tiba-tiba muncul sebagai orang sukses”.
“Ah, biasa saja Mas Romo, asal kita jeli dan pintar melihat peluang, hal-hal yang nampaknya sepele bisa
jadi uang di negeri ini”, sahut Karto enteng. “Saya ini hanya mengambil sedikit uang dari orang-orang
yang jengkel dan marah-marah”, lanjutnya.
Mas Romo tentu saja penasaran dengan jawaban Karto. “Mengambil uang dari orang yang jengkel dan
marah, kok bisa sih Kar”, tanya Mas Romo tak habis pikir.
Karto kemudian menceritakan bisnisnya. Bisnis SMS premium yang sengaja menyebar berita-berita
bohong, seperti pemberitahuan bahwa seseorang telah menerima undian atau hadiah juga SMS-SMS
yang berisi permintaan untuk mentransfer pulsa karena sang pengirim sedang kena masalah.
Mendengar penjelasan Karto, Mas Romo ternyata masih belum paham juga bagaimana SMS-SMS itu
bisa menghasilkan uang. “Aku tahu yang kamu ceritakan itu, sebab kadang-kadang di HP saya ini nyasar
juga permintaan pulsa dari Alex, Papa, Mama, Tante dan lain sebagainya. Tapi bagaimana itu bisa
membuat kamu kaya?”, tanya Mas Romo semakin penasaran.
“Begini Mas Romo, siapapun yang membalas SMS yang dikirim melalui server SMS centre kami bakal
dikenai tarif premium, Rp. 2000 per SMS. Nah, mereka yang berulang menerima SMS pemberitahuan
omong kosong itu biasanya sudah jengkel setengah mati”, jawab Karto. “Saking jengkelnya mereka
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book
Mas romo full book

More Related Content

Viewers also liked

Spanish Q4 BM
Spanish Q4 BMSpanish Q4 BM
Spanish Q4 BM
Itamar Ben-Amos
 
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
eduafo
 
Art Succession Planning
Art Succession PlanningArt Succession Planning
Art Succession Planning
cdrugan
 
Bus 304 lecture 4-intro system concepts
Bus 304 lecture 4-intro system  conceptsBus 304 lecture 4-intro system  concepts
Bus 304 lecture 4-intro system conceptseduafo
 
Greenfield Community School Yearbook 09
Greenfield Community School Yearbook 09Greenfield Community School Yearbook 09
Greenfield Community School Yearbook 09
shebanx
 
Disposable Electroelution System
Disposable Electroelution SystemDisposable Electroelution System
Disposable Electroelution System
Brian Frezza
 
Exhibit Design - Greg Hamilton
Exhibit Design - Greg HamiltonExhibit Design - Greg Hamilton
Exhibit Design - Greg HamiltonGreg Hamilton
 
Learning Algorithms For Life Scientists
Learning Algorithms For Life ScientistsLearning Algorithms For Life Scientists
Learning Algorithms For Life Scientists
Brian Frezza
 
Self-replicating Molecules: An introduction
Self-replicating Molecules: An introductionSelf-replicating Molecules: An introduction
Self-replicating Molecules: An introduction
Brian Frezza
 
Chemical Kinetics Made Simple
Chemical Kinetics Made SimpleChemical Kinetics Made Simple
Chemical Kinetics Made Simple
Brian Frezza
 

Viewers also liked (13)

Spanish Q4 BM
Spanish Q4 BMSpanish Q4 BM
Spanish Q4 BM
 
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
Gender differences in computer access and literacy –among agricultural studen...
 
Art Succession Planning
Art Succession PlanningArt Succession Planning
Art Succession Planning
 
Aliran feminis workshop lestari
Aliran feminis workshop lestariAliran feminis workshop lestari
Aliran feminis workshop lestari
 
Bus 304 lecture 4-intro system concepts
Bus 304 lecture 4-intro system  conceptsBus 304 lecture 4-intro system  concepts
Bus 304 lecture 4-intro system concepts
 
Perempuan dan korupsi
Perempuan dan korupsiPerempuan dan korupsi
Perempuan dan korupsi
 
Investigasipokja30
Investigasipokja30Investigasipokja30
Investigasipokja30
 
Greenfield Community School Yearbook 09
Greenfield Community School Yearbook 09Greenfield Community School Yearbook 09
Greenfield Community School Yearbook 09
 
Disposable Electroelution System
Disposable Electroelution SystemDisposable Electroelution System
Disposable Electroelution System
 
Exhibit Design - Greg Hamilton
Exhibit Design - Greg HamiltonExhibit Design - Greg Hamilton
Exhibit Design - Greg Hamilton
 
Learning Algorithms For Life Scientists
Learning Algorithms For Life ScientistsLearning Algorithms For Life Scientists
Learning Algorithms For Life Scientists
 
Self-replicating Molecules: An introduction
Self-replicating Molecules: An introductionSelf-replicating Molecules: An introduction
Self-replicating Molecules: An introduction
 
Chemical Kinetics Made Simple
Chemical Kinetics Made SimpleChemical Kinetics Made Simple
Chemical Kinetics Made Simple
 

Similar to Mas romo full book

Tabloid jokowi
Tabloid jokowiTabloid jokowi
Tabloid jokowi
Joel Sinaro
 
Tabloid Pelayan Rakyat
Tabloid Pelayan RakyatTabloid Pelayan Rakyat
Tabloid Pelayan Rakyat
Sunandar N. Gusti
 
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
dausinstitute
 
Koki Otonomi.pptx
Koki Otonomi.pptxKoki Otonomi.pptx
Koki Otonomi.pptx
JoseRizal53
 
Membuang sampah pada tempatnya
Membuang sampah pada tempatnyaMembuang sampah pada tempatnya
Membuang sampah pada tempatnya
Operator Warnet Vast Raha
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Thalia Dini Vasa
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Thalia Dini Vasa
 
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaHobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaAidilRizali
 

Similar to Mas romo full book (8)

Tabloid jokowi
Tabloid jokowiTabloid jokowi
Tabloid jokowi
 
Tabloid Pelayan Rakyat
Tabloid Pelayan RakyatTabloid Pelayan Rakyat
Tabloid Pelayan Rakyat
 
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
Sidoarjo bangkit melawan mei 2012
 
Koki Otonomi.pptx
Koki Otonomi.pptxKoki Otonomi.pptx
Koki Otonomi.pptx
 
Membuang sampah pada tempatnya
Membuang sampah pada tempatnyaMembuang sampah pada tempatnya
Membuang sampah pada tempatnya
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
 
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
Hobi hobiburukorangkita-100322063042-phpapp01
 
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang KitaHobi Hobi Buruk Orang Kita
Hobi Hobi Buruk Orang Kita
 

Recently uploaded

Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta KerjaPengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
teraspky798
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
pelestarikawasanwili
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
MuhaiminMuha
 
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak PemerataanPembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
Tri Widodo W. UTOMO
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
pelestarikawasanwili
 
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptxTATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TariHappie
 
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptxKesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
gustin17
 
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
AmruRevanda
 
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docxNotulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
PemerintahanNagariKu1
 
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARANPAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
ahmad Subbanul
 

Recently uploaded (10)

Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta KerjaPengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
Pengawasan Usaha Pembudidayaan Ikan Pasca UU Cipta Kerja
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
 
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak PemerataanPembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
Pembangunan IKN sbg Strategi Penggerak Pemerataan
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
 
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptxTATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
TATACARA PENGGUNAAN APLIKASI SIGA-VERVAL (1).pptx
 
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptxKesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
Kesejahteraan hewan (KESRAWAN) dalam pemotongan hewan kurban.pptx
 
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
Pendidikan Politik Bagi Perempuan Dalam Pemilu 2024
 
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docxNotulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
Notulen Rapat 2023 pemerintahan desa.docx
 
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARANPAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
PAPARAN PERIZINAN MELALUI OSS RBA DAN PANDUAN PENDAFTARAN
 

Mas romo full book

  • 2. A Aku Suka Sampah Angkringan Menantang Jaman Animal Welfare Aqua Mengalir Sampai Jauh B Banjir : Rajin Mengeruk Pangkal Banjir Belajar Mendengarkan Benar Itu Lucu Bom Bunuh Diri – Sekali Berarti Habis itu Mati C City Without Slum Area G Garbage In, Garbage Out Generasi Sehat Tanpa Ngobat Genius Lokal H Habis Gelap Terbitlah Surti Harga Penghargaan I Ingat Jasanya, Lupakan Kesalahannya J Jangan Biarkan Mereka Mati K Kaderisasi Koruptor L Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga Sumber Masalah? Lupa Diri Karena Memikirkan Diri Sendiri M Macet, Update Status Saja Marah Saja Kalau Tak Sayang Pulsa Marzuki Lebay Nan Alay MCK Plus Plus Melukis Tubuh Dengan Rasa Sakit
  • 3. O Orang Terhormat Dengan Otak Palsu P Pemimpin Tuli Perihal Anak Perihal Cantik dan Tampan Politik Cium Tangan R Reformasi dan Komisi Rok Mini dan Wakil Rakyat Roro Mendut dan Rokok Mild S San Diego Hills Singgah Minum Smilling Land and Smilling People Social Media, Berbagi dan Perubahan T Terimakasih Atas Kecerobohan Anda Trans Jakarta (Wabah) U Usah Kau Berjanji
  • 4. A Aku Suka Sampah Sampah dipahami sebagai sesuatu yang kotor, berbau, jorok dan tidak berguna oleh karenanya harus dibuang jauh-jauh. Pandangan ini tidak selalu benar sebab ada juga yang disebut sebagai sampah, yaitu sampah masyarakat ternyata digemari dimana-mana dan bikin pusing semua pihak untuk melenyapkannya dari muka bumi. Banyak orang bisa membuktikan bahwa ternyata sampah bukanlah barang buangan yang tak berguna, sampah masih mempunyai nilai bahkan bisa membuat orang kaya, terkenal dan memperoleh penghargaan. Di tangan orang yang tempat, apa yang dibuang oleh banyak orang bisa menjadi sesuatu yang berharga, berguna dan bernilai untuk banyak orang. Maka prinsip merubah sampah menjadi rupiah bukanlah cara pikir dan tindak yang tidak masuk akal. “Harusnya pilihan itu dihargai. Jangan dipandang aneh, sesuatu yang kita pandang ganjil biasanya pertanda bahwa orang itu mampu berpikir lain, jeli dan punya visi jangka panjang”, kata Mas Romo kepada Om Arda yang malam itu datang bertukar pikiran. Musabahnya Diono, anak Om Arda tiba-tiba memutuskan keluar dari pekerjaannya yang sudah mapan. Alasannya pingin bekerja mandiri, mengembangkan usaha sendiri. Sebenarnya Om Arda tidak menyoal hal itu, tetapi ketika Diono membeberkan rencananya Om Arda jadi sangsi terhadap pilihan anaknya. Diono ingin mengembangkan usaha pengolahan sampah. “Om ada banyak jalan untuk mengelola sampah. Salah satu prinsip yang dipakai misalnya repair. Arda bisa membeli barang rusak, memperbaiki dan kemudian menjualnya kembali. Atau reuse, membeli barang-barang tertentu kemudian dipoles agar bisa digunakan kembali. Atau recycle, mengolah kembali menjadi barang yang baru, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian seperti pupuk”, terang Mas Romo. “Diono memang sudah dewasa, itu pilihan dia. Tapi apa kata orang nanti, masak dari pekerjaan berdasi kemudian memilih berkotor-kotor dengan sampah. Kan bakal dikatakan tolol atau bahkan gila. Bakal susah dapat jodoh nanti”, sahut Om Arda. “Om... kok mikirnya jauh begitu. Sudahlah tidak usah pikir apa kata orang, bisa susah kita. Lagi pula tidak semua sampah kotor. Arda kan tidak memilih untuk mengolah sampah basah, melainkan sampah kering jadi soal kotor dan bau tidak menjadi persoalan. Dan sampah tidak selalu dikumpulkan dari tempat sampah, bisa jemput bola, ambil dari rumah ke rumah”, kata Mas Romo. Mendengar penjelasan Mas Romo, Om Arda mulai tenang meski belum sreg benar dengan pilihan Diono anaknya. Maklum Om Arda masih memakai paradigma lama dalam memandang sampah. Padahal apa yang sering kita bilang sebagai sampah sejatinya masih punya nilai. Dengan kejelian, kemampuan berkreasi dan penguasaan atas teknologi pengolahan, apa yang dibuang bisa dijadikan sesuatu yang berharga dan berguna bahkan bagi mereka yang tadi membuangnya.
  • 5. “Pagi Om, apakabarnya Diono”, kata Mas Romo dalam sebuah kesempatan, beberapa bulan setelah kunjungan Om Arda ke rumahnya. “Baik, sekarang dia sudah jadi raja sampah”, ucap Om Arda dengan nada bangga. “Nah, itu kan. Coba kalau dulu Om tetap keberatan, pasti Diono tidak bakal mencapai prestasi yang membanggakan seperti sekarang ini. Dia bukan hanya sukses jadi pengusaha saja kan, melainkan juga laris jadi pembicara dimana-mana, menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dan pasti banyak orang tua bersedia jadi mertuanya”, kata Mas Romo memberi pujian pada Diono. “Iya, banyak penghargaan diterima olehnya, hampir penuh dinding ruang tamu dengan aneka piagam. Ini juga karena jasa kamu yang sudah ikut meyakinkan Om untuk mendukung niat Diono”, sahut Om Arda yang balik mengucap terima kasih pada Mas Romo. “Memang sudah seharusnya begitu Om. Niat Diono itu niat mulia, bukan hanya cari untung tetapi juga memberi sumbangan pada lingkungan dengan mengurangi beban lingkungan akibat pencemaran. Upaya Diono juga mampu mengurangi ekpoitasi atas sumber-sumber alam, sebab bahan baku yang digunakan olehnya adalah bahan baku yang terbuang. Diono adalah sosok pengusaha hijau, pengusaha yang menekankan pentingnya keberlanjutan alam”, kata Mas Romo. “Benar itu, karena apa yang dilakukan Diono, kini Om mencintai sampah”, kata Om Arda sungguh- sungguh. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 6. Angkringan Menantang Jaman Bagi yang pernah tinggal atau berkunjung cukup lama ke Yogyakarta pasti mengenal angkringan. Tempat ‘nyantai’ berupa gerobak dorong yang dilengkapi bangku panjang, tikar untuk lesehan ini tersebar di sudut-sudut kota. Hidangannya seragam dengan andalan utama berupa “sego kucing”, nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan koran diluarnya. Disebut nasi kucing karena nasinya hanya sekepal dengan lauk berupa oseng-oseng tempe, sambel teri dan terkadang dilengkapi dengan irisan telur dadar. Di luar menu andalannya, pedagang angkringan juga melengkapi dengan aneka lauk berupa gorengan, baceman dan bakaran. Ada tempe dan tahu bacem,sate telur puyuh, tempe lapis tepung, tahu brontak (isi), sate usus, satu rempela, ceker goreng lapis tepung, ceker masak kecap, bakwan, sayap ayam dan lain sebagainya. Jika pembeli menghendaki, semuanya bisa dipanaskan diatas bakaran, mirip di restoran ternama, ambil menu siap saji dan kemudian dipanaskan di microwave. Beberapa di antaranya ada yang melengkapi dengan sajian berupa mie rebus dan goreng aneka rasa. Jika suka mie rebus dikombinasi dengan telur lalu ditambah kornet sehingga jadilah internet (indomie telur dan kornet). Selain makanan yang hampir seragam, minuman yang disajikan demikian pula adanya. Yang umum tentu saja teh tawar dan manis, kopi tubruk, susu dengan aneka variasinya seperti susu jahe yang bisa bikin hangat badan. Soal minuman panas, ada satu brand yang terkenal yaitu kopi joss, kopi tubruk yang diberi arang yang sedang membara. “Dalam kajian linguistik, angkringan berarti tempat untuk nyantai. Angkringan berasal dari kata malangkring atau nangkring yang berarti duduk di kursi (bangku) dengan mengangkat salah satu kaki ke atas bangku. Angkringan juga mewakili postur tempat usaha yang berupa angkring, gerobak jualan yang di panggul”, terang Mas Romo kepada teman-temannya saat mereka bernostalgia tentang Yogya. Sementara secara sosiologis, angkringan adalah tempat berkumpul, bertemu, berbicara mulai dari gosip, gurauan sampai yang serius tanpa rasa khawatir diusir yang punya dan bikin kantong bocor. Angkringan adalah ruang publik yang aman dan nyaman, semua yang datang dianggap setara. “Angkringan secara jeli mengambil inisatif untuk menyediakan ruang ngumpul sambil makan-makan secara instan dan murah meriah”, kata Mas Romo panjang lebar. Seiring dengan perkembangan waktu dan kesadaran akan wisata kuliner, angkringan menjadi ikon baru yang turut menyebar ke berbagai kota di luar Yogyakarta. Brand angkringan bahkan bisa ditemui di Ibukota Jakarta Raya. “Dan tanpa sistem waralaba, kini angkringan sudah menyebar ke kota-kota lain, menembus batas kultural Yogyakarta. Jika kita adalah pengemar angkringan maka kita wajib berterima kasih kepada orang Klaten, sebab mereka adalah pionernya”, sambung Anas yang minggu lalu sempat menikmati hidangan angkringan di seputaran jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan. “Angkringan juga melengkapi khazanah outlet cepat saji nusantara. Setelah warung Tasik, warung Padang, warung Tegal (warteg), warung HIK (hidangan ala kampung) Solo dan lain sebagainya”, ujar Kasman. “Jadi salah kalau kita berpikir bahwa fast food adalah trend yang dibawa oleh waralaba Amerika, seperti KFC, Mac D, AW, Texas, Starbuck serta saudara-saudara lainnya”, lanjutnya menyebut waralaba-waralaba ternama yang menyerbu berbagai kota di Indonesia.
  • 7. “Inilah yang disebut sebagai perlawanan diam-diam dari meja makan”, seru Mas Romo Kita kembali mengkontruksi sebuah teori sosial berupa perlawanan senyap. Perlawanan senyap atas hegemoni kultural sistem kuliner yang dibawa oleh kaum kapitalis barat lewat makanan cepat saji berupa fried chicken, french fries, pizza, burger, hot dog, sandwich, taco dan sederet menu lainnya yang mulai akrab dengan anak-anak bangsa generasi terkini. “Sadar atau tidak kini kita dijajah lewat naluri paling dasariah yaitu perut”, lanjut Mas Romo. “Jika perut saja sudah ditahklukkan maka dengan mudah otak dan pikiran kita akan menerima perspektif yang mereka kembangkan”, pungkas Mas Romo. “Kasus Kopi Blandongan yang mengusung tag line “Kopi Blandongan, Menyelamatkan Generasi Bangsa Dari Kekurangan Kopi” mewakili kesadaran perlawanan khas masyarakat kebanyakan seperti yang Mas Romo ungkapkan”, sahut Kasman yang gemar menyebut Nasgitel (Panas, Legi dan Kentel) saat memesan kopi. “Betul, bangsa kita terkenal sebagai penghasil kopi terbaik, mulai dari Sidikalang, Toraja, Tambora, Kintamani sampai kopi Luwak yang eksotis. Tapi kita lebih mengenal dan bangga apabila minum kopi Starbuck, Excelzo atau Black Canyon”, kata Mas Romo. “Kita tak sadar bahwa secara kultural bahkan badaniah masih tetap terjajah”, lanjutnya. Obrolan Mas Romo dan teman-temannya yang bermula dari urusan remeh temeh memasuki tema yang berat, soal eksistensi kultural bangsa. Sebuah urusan yang bisa bikin pusing kepala karena tak selalu disadari para pemimpin negeri yang sibuk memperkaya diri sendiri, memperkuat partainya dan menguritakan badan usahanya. “Kenapa bisa begini ya Mas Romo”, tanya Anas memecah kesenyapan. “Ya, karena kebanyakan dari para pemimpin kita, pembesar dan cerdik pandai di negeri ini, otaknya dibentuk karena bantuan studi lewat beasiswa Amerika”, jawab Mas Romo seenaknya untuk mencairkan suasana. Majulah Angkringan, Warung Tegal, Warung HIK dan Kopi Blandongan. Josss.....lah. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 8. Animal Welfare Berbulan lalu ramai diberitakan tentang penganiayaan terhadap orang hutan di daerah Kutai Timur dan Kutai Kartanegara oleh warga. Musababnya adalah masuknya orang hutan ke kawasan perkebunan dan kemudian memakan pucuk pohon sawit yang dibudidaya di dalamnya. Meski termasuk primata yang cerdas, tentu saja orang hutan tidak mengenal batas kepemilikan. Apa yang kelihatan bisa dimakan olehnya akan langsung ditelan, tanpa permisi dan meminta ijin terlebih dahulu kepada sang empunya. Konon pemilik perkebunan jenggah dan marah atas ulah orang hutan yang menghabisi pohon sawitnya. Agar tidak ikut kotor tangannya maka disuruhlah orang-orang kampung (tentu dengan bayaran) untuk meringkus sang pemangsa pohon sawit dan kemudian menghajarnya hingga KO. “Jelas ini kelakuan tidak adil dan biadab”, guman Mas Romo menanggapi berita-berita itu. “Apa mereka yang menyuruh dan kemudian menganiaya tidak sadar, bahwa mereka dululah yang merampas ruang hidup orang hutan. Merubah hutan tempat penghidupan orang hutan menjadi ladang”. Dalam keprihatinan yang dalam, Mas Romo berandai-andai saling bertukar kata dengan Orang Hutan, sebut saja Si Pongo. “Pong ..saya prihatin dengan kejadian yang menimpa teman dan saudaramu. Kalau boleh bertanya andai ada kesempatan untuk pindah, kau akan memilih pergi kemana?”, tanya Mas Romo. Si Pongo tak segera menjawab. Yang nampak justru bulir-bulir air mata menetes dari pelupuk matanya sambil diiringi suara sesenggukan kecil, seperti kena flu saja. Setelah agak tenang, Pongo berkata “Kalau boleh saya akan memilih Eropa, Inggris, Jerman atau Perancis. Atau biar tidak terlalu jauh ke Australia saja”. “Kenapa memilih Eropa Pong”. “Masyarakat dan hukum disana sudah menghormati peri kebinatangan universal. Kalau kami diperlakukan semena-mena akan ada banyak yang membela. Negara bahkan bisa dikenai sangsi apabila tidak ramah kepada binatang”. “Kalau Australia, kenapa?. Bukankah kadang mereka tak suka yang berbau Indonesia kecuali Bali”. “Jangankan jenis seperti saya yang dilindungi. Sapi yang memang digemukkan untuk dipotong saja apabila diperlakukan tidak baik, mereka marah. Buktinya mereka tak sudi mengirim sapi ke Indonesia saat tahu bahwa sapi-sapi mereka disembelih dengan tidak hormat, disiksa lebih dahulu”. Mendengar alasan Si Pongo, Mas Romo ingat betapa gerakan penyayang binatang di Eropa memang serius. Kelompok penegak hak binatang, berjuang sepenuh hati, bisa sangat keras bahkan rela mati demi binatang. Militansi mereka layaknya pejuang Taliban di Afganistan. Mereka bukan hanya rajin berdemo, tetapi juga memblokade daerah tertentu dan terus melobby para petinggi agar mengeluarkan peraturan yang menjamin kesejahteraan binatang. Europe Group for Animal Welfare adalah kelompok yang dengan keras berjuang untuk membela binatang. Di Perancis ada Brigitte Bardot, bintang film nan sexy tapi garang jika berhadapan dengan para penyiksa binatang.
  • 9. “Apakah tidak ada tempat yang aman untukmu di tanah Borneo ini”, tanya Mas Romo pada Pongo. “Sebenarnya ada, tapi tidak bebas karena berupa penampungan. Sebenarnya enak juga semua sudah tersedia. Namun itu bakal membuat urat kami kaku, tak terampil mencari makan dan malas untuk memanjat pohon tinggi. Lagi pula kalau nanti tak ada bantuan dari luar negeri, siapa lagi yang mau membiayai kami?”. Keadaan memang sulit untuk Si Pongo dan teman-temannya. Meski banyak dipelajari oleh para peneliti luar negeri, nasibnya tak sebaik para doktor yang memperoleh gelar karena lagak laku Si Pongo dan teman-temannya. Bunyi pesan masuk mengagetkan lamunan Mas Romo. Sebenarnya Mas Romo enggan meninggalkan percakapannya dengan Si Pongo. Namun isi pesan SMS meminta Mas Romo agar segera datang ke sebuah pertemuan. Sebelum bersiap berangkat Mas Romo sempat berbisik “Sebelumnya saya mohon maaf, jangankan untuk kamu jenis binatang. Nyawa kami, manusia, mahkluk yang paling mulia juga tak punya harga di negeri ini”. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 10. AQUA Mengalir Sampai Jauh Bagian terbesar dari bumi adalah air, demikian juga dengan tubuh manusia. Namun dari jumlah air yang begitu besar di bumi ini hanya sebagian kecil saja yang layak untuk dikonsumsi. Maka kebutuhan akan air bersih, air yang layak dikonsumsi menjadi salah satu kebutuhan utama selain sandang, papan dan pangan. Selain untuk konsumsi, air dalam jumlah yang amat besar juga dibutuhkan oleh sektor pertanian, peternakan/perikanan dan industri. Bicara soal air bersih, meski mempunyai sumber air yang berlimpah tidak semua daerah di Indonesia mampu menyediakan kebutuhan itu secara memuaskan bagi masyarakatnya. Pemerintah melalui Perusahaan Air Minum (PAM) berusaha memenuhi mandat itu. Namun perusahaan yang usianya barangkali hampir seusia republik ini ternyata tidak semakin pintar dalam menjalankan perannya. Selalu muncul daerah-daerah blank spot, ada saluran pipa tapi airnya tiada. Dibagian lainnya hidup segan mati tak mau, mengalir hanya pada jam tertentu, itupun harus dibantu dengan mesin sedot air. “Sudah tiga bulan lebih air di rumah tidak mengalir, setetespun tidak”, ujar Arman dengan geram. “Di tempatku, begitu jam sembilan malam mulailah konser desing mesin pompa. Awalnya sih menganggu tapi lama kelamaan melodinya indah juga”, sahut Jordi sambil tersenyum kecut. “Dalam artian tertentu, PAM telah menjelma menjadi Perusahaan Angin Melulu. Karena jalur pipanya tak lagi mengalirkan air. Dan berikutnya mereka menganggap manajemen pengolahan air dan distribusinya sebagai angin lalu. Tak nampak ada warta yang mengabarkan institusi ini melakukan peningkatan kwalitas, kecerdasan dan ketrampilannya untuk memperbaiki kinerjanya”, ungkap Mas Romo. “Betul itu, kalaupun ada kabar biasanya hanya pengumuman dan keriuhan soal penerimaan serta seleksi direkturnya. Namun setelah terpilih tak jelas apa yang dilakukan olehnya”, sambung Arman. Air PAM (ledeng) memang dirindukan banyak orang tapi banyak juga orang yang naik darah karenanya. Padahal kini rumah konsumennya, air pam kebanyakan hanya digunakan untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Melihat penampilan air yang mengalir lewat pipa, tak banyak lagi yang berani menggunakannya untuk masak dan minum. Kebutuhan air minum dan masak masyarakat kini lebih banyak ditopang oleh AMDK (air minum dalam kemasan). “Keadaan semakin sulit, kini rumah tangga bersaing dengan kebutuhan usaha rumahan yaitu permandian motor yang muncul di mana-mana”, ungkap Jordi yang rutin memandikan motornya di tempat cuci motor karena susah air di rumahnya. “Kita ini selalu masih menganggap air berlimpah, namun minim kesadaran bahwa tak semua air bisa kita gunakan. Akibatnya boros dalam penggunaan, terlalu banyak air yang dibuang sia-sia dan tak ada usaha untuk menanam air, menjaga sumber-sumbernya”, terang Mas Romo. “Ironis ya, apalagi kalau bicara soal perusahaan yang berbasis air. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan berkembang luar biasa, inovasinya dan sumbangsihnya untuk masyarakat begitu terasa. Mau tak mau ini menimbulkan dikotomi pandangan yang memisahkan antara perusahaan swasta dan
  • 11. perusahaan negara atau daerah. Seolah swasta selalu lebih becus bahkan dalam urusan layanan publik yang sebenarnya dimandatkan untuk perusahaan negara atau daerah”, kata Arman. Bukan omong kosong memang kalau Perusahaan AMDK lebih inovatif. Dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini mereka mampu menjawab keraguan akan kelayakan produksinya untuk langsung diminum. Dan soal harga kini masyarakat bersedia membayar apa yang mereka dulu katakan sebagai lebih mahal dari seliter bensin. “Kini kita memasuki apa yang disebut sebagai revolusi biru, dimana air menjadi komoditi yang strategis dan banyak diincar oleh perusahaan multinasional. Jika PAM tidak berbenah maka perlahan tapi pasti, satu per satu bakal dicaplok perusahaan luar negeri. Bukan omong kosong lagi jika kelak di rumah kita mengalir air Perancis, air Belanda atau bahkan air Malaysia”, kata Mas Romo sembari memberi contoh layanan air bersih di Jakarta dan Manado yang dioperasikan oleh perusahaan dari Perancis dan Belanda. Bumi dan apa yang tersimpan didalamnya oleh konstitusi dimandatkan untuk dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyatnya. Tapi selalu saja perusahaan swasta multinasional yang lebih pintar dalam mengambil manfaatnya. “Katong su menikmati air leding....... “ begitu kata bocah di sebuah iklan sambil tak lupa mengucapkan terima kasih pada sebuah perusahaan air minum dalam kemasan yang kini dimiliki oleh perusahaan multinasional dari Perancis. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 12. B Rajin Mengeruk Pangkal Banjir Nyaris dua pertiga permukaan bumi digenangi atau terdiri atas air. Dengan demikian air adalah penguasa, raja diraja dengan kekuatan maha raksasa. Meski berkuasa, air juga merupakan pelayan yang rendah hati, memenuhi kebutuhan insan ciptaan untuk menumbuhkan dan memelihara kehidupan. Kesetiaan air adalah kesetiaan tanpa batas. Watak air adalah bergerak , mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah, air selalu mencari jalannya sendiri. Di kala musim panas, tanah merekah, retak-retak untuk menyiapkan diri menampung dan menabung air dalam dekapnya sehingga kelak bisa dipanen di mata air. Ketika hujan datang namun tak ada lagi tanah yang menghisap airnya, tak ada lagi bukit menghijau yang menahan jatuhnya, memecah perciknya hingga turun pelan di atas tanah, tak ada lagi rawa untuk menampungnya maka limpahan air itu akan mencari jalannya sendiri. Mengenangi pemukiman, jalan-jalan, ladang, persawahan dan semua tempat yang bisa menampungnya sebelum mencapai sungai yang mengalirkannya ke laut. Sungai-sungaipun terkadang tak lagi mampu menampungnya, hingga malah menjadi saluran yang mengantarkan limpasan air mengenangi daerah di bawahnya. “Dalam banyak kasus, kejadian banjir di kota kita ini disebabkan oleh ulah kita bersama, menutup atau bahkan merampok jalan dan penampungan air. Banjir sebenarnya kita undang”, kata Mas Romo. “Betul, lihat saja disana-sini, bukit-bukit dimatangkan”, sambut Didi sambil menunjuk ke pelbagai jurusan.”Dan kerukannya dipakai untuk menimbun rawa-rawa. Genap sudah keserakahan kita dalam merubah bentang dan wajah alam”. Penyebab banjir yang menahun atau setiap hujan lalu tergenang, sebenarnya sederhana saja. Bisa dipastikan air tak lagi punya jalan. Antara yang ditumpahkan dan diserap oleh bumi dan dialirkan ke pembuangan tidak seimbang. “Penanganan banjir yang menahun, yang sudah jadi langganan seharusnya tak lagi reaktif dan tambal sulam. Dan banjir juga tak layak dijadikan sebagai bahan kampanye, bahan untuk janji-janji mendulang suara, sebab banjir seperti yang kita alami saat ini butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya”, ujar Mas Romo. “Benar itu Mas Romo, lihat ini SMS dari teman saya, bunyinya : rumahku kebanjiran, dasar walikota jiancukkk”, sahut Budi sambil memperlihatkan SMS di layar HP-nya yang mulai buram. “Itu karena dalam kampanye pemilihan lalu, walikota yang sekarang ini berjanji mengatasi banjir. Namun hasilnya saat ini banjir justru semakin meluas kawasannya dan semakin lama rendaman airnya”. “Pasti saja beliau akan ngeles kalau disalahkan. Sebab bermilyard rupiah telah dikeluarkan untuk membangun polder-polder penampung air. Padahal tidak cukup, entah apakah mereka menghitung jumlah air yang jatuh, waktu yang diperlukan untuk luruh dan kapasitas penampungnya atau tidak. Sepertinya sih tidak, sebab jalan dan pemukimanlah yang masih jadi penampung sementara”, kata Mas Romo.
  • 13. “Belum lagi waduk yang ada juga tidak dipelihara. Makin hari makin sempit luasannya karena pendangkalan. Air yang mengalir kan mencuci tanah, membawa lumpur dan pasir. Ada juga orang-orang yang buta hati, dengan mendirikan bangunan di badan waduk, lihat saja lama-lama mereka pasti akan menimbunnya dengan tanah dan menjadikan badan air sebagai daratan”, tambah Dodi. “Semakin pintar, semakin kita tak paham dan hormat pada alam. Kini kita lebih sering memperkosa alam, merampas kehidupannya semata untuk memenuhi kebutuhan kita sesaat. Ketidaknyamanan, kerugian dan kesengsaraan ketika kena banjir tak cukup untuk mengingatkan agar kita tak makin serakah”, ujar Budi. “Kita tak perlu sangsi lagi untuk mengatakan bahwa pembangunan kita tak memperhatikan keberlanjutan (sustainable). Omong kosong dengan semua slogan-slogan pemanasan global, yang ada adalah gombal warning, sok peduli lingkungan hidup, menghijaukan lahan kritis padahal yang terjadi terus mengeluarkan ijin perusakan alam”, kata Mas Romo dengan nada jengkel. “Heran ya, padahal semua dilengkapi dengan amdal. Jadi apa artinya semua itu”, tanya Budi keheranan. “Tak usah heranlah Bud. Kita ini sering bagaikan ikan di danau tapi merasa kehausan”, jawab Mas Romo singkat menyitir kata-kata seorang mistikus. Tamsil itu hendak berpesan bahwa kita senantiasa masih terus dilingkupi oleh keserakahan meski banjir telah setinggi leher kita. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 14. Belajar Mendengarkan Bahasa menunjukkan bangsa begitu kata pepatah. Pesannya jelas bahwa sebuah bangsa akan dianggap beradab, berbudaya tinggi apabila mampu bertutur kata dengan baik. Baik artinya kalimatnya tertata rapi, diucapkan dengan intonasi yang terjaga dan memperhatikan tata krama. Tuntutan untuk bertutur kata secara baik dan benar juga semakin terasa apabila seseorang naik jabatan atau naik kelas sosialnya. Semakin tinggi jabatan dan kelas sosialnya, tutur katanya harus semakin lembut, menyejukkan dan tidak membuat orang lain naik pitam. Maka tak heran, siapapun yang dalam tingkatan tertentu tak mampu mempraktekkannya bakal jadi bahan gunjingan atau tertawaan di belakang punggungnya. “Pejabat kok bicaranya ngawur, grusah- grusuh nda pakai dipikir dahulu”, atau “Gelarnya sih profesor doktor tapi kok ngomongnya kayak pedagang asongan, nda pantas sama sekali” dan masih banyak lagi gerutuan atau bahkan sumpah serapah lainnya. Ngomong-ngomong soal bertutur kata ini, beberapa hari yang lalu Hasan Anshori berkunjung ke rumah Mas Romo untuk meminta masukkan. Hasan yang kini sudah menduduki pos jabatan di kantor Bupati merasa penting untuk belajar, mencari tip dan trik bicara dengan baik dan benar. Mas Romo dipilihnya karena sejak jaman mahasiswa dulu dikenal sebagai publik speaker, yang mampu menyihir para pendengarnya karena pilihan kata yang tepat dan diramu dalam kalimat yang memikat. “Sekarang saya ini sudah sering tampil di hadapan publik, sedikit-sedikit wartawan datang untuk melakukan wawancara. Nah biar semakin meyakinkan maka saya datang ke sini untuk berguru, menyegarkan ingatan tentang merangkai kata pada Mas Romo”, begitu kata Hasan saat menjawab pertanyaan Mas Romo yang merasa heran atas kedatangan Hasan. Mas Romo merasa tersanjung atas maksud dan kedatangan Hasan teman lamanya itu. Namun dalam hati sebenarnya merasa tersandung. Bagi Mas Romo syarat pertama dan utama dalam komunikasi yang baik dan benar adalah kesediaan untuk mendengar dan merasa setara dengan orang yang menjadi lawan bicaranya. Dan di republik ini, amatlah jarang menemukan pejabat (entah rendah atau tinggi) yang sudi dan gemar mendengarkan. Apalagi yang merasa setara dengan bawahan atau masyarakat yang dilayaninya, pasti semakin sulit lagi untuk ditemukan. Tentu saja Mas Romo tak enak hati menolak permintaan temannya untuk berbagi tips dan trik berkomunikasi secara efektif. “Komunikasi pada dasarnya sebuah proses dari kita untuk menulis raport kepercayaan dan hormat dari orang lain”, kata Mas Romo mengawali penjelasannya. “Maka jangan tergesa-gesa menanggapi sesuatu atau cepat-cepat mengeluarkan pendapat biar dianggap kompeten. Banyak orang kehilangan rasa hormat dan kepercayaan dari orang lain karena terlalu cepat bicara, terlalu mudah membuang kata-kata, tanpa dipikirkan terlebih dahulu apa konsekwensi dari kata-katanya itu”, lanjut Mas Romo. Hasan menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh Mas Romo. Dalam hati dia membenarkan betapa sering dirinya berbicara dahulu baru dipikir kemudian. Kalau kemudian
  • 15. menimbulkan gejolak toh bisa diralat atau ngeles dengan mengatakan bahwa orang lain salah memahami apa yang dikatakannya. “Jadi tidak perlu kita memakai kata-kata yang tinggi untuk menunjukkan betapa kita punya jabatan atau tingkat pendidikan yang jauh diatas rata-rata. Pesan yang benar tidak ditentukan oleh apa jabatan kita dan sampai mana kita sekolah”, ujar Mas Romo mulai mengeluarkan sentilan halus. “Sampeyan tentu memilih bicara sederhana tapi dihormati, daripada tinggi dan penuh istilah canggih tapi malah dibenci atau bahkan dicibir”, lanjut Mas Romo sambil melempar pilihan pada Hasan. “Tentu saya pilih yang pertama, tapi itu bukan berarti saya gila hormat ya Mas Romo”, sahut Hasan cepat. “Tantangan buat orang-orang yang punya kedudukan seperti sampeyan sekarang ini semakin berat. Sebab masyarakat semakin bebas berbicara, masyarakat semakin berani menuntut bahkan tak ragu-ragu untuk menunjukkan kemarahannya. Maka jika berlaku tiba saat tiba akal akan sangat berbahaya”, tandas Mas Romo perlahan. “Jadi sebenarnya tak perlu saya memberikan tip dan trik untuk sampeyan, sebab sampeyan ini pejabat bukan pengkotbah atau motivator. Yang penting bicara saja apa adanya, jujur saja serta sabar menghadapi apa yang dikatakan orang banyak. Sebutan pejabat itu hanya berlaku dalam organisasi pemerintah, tapi berhadapan dengan masyarakat sampeyan ini sesungguhnya adalah pelayan. Ingat sebaik apapun yang sampeyan katakan, masyarakatlah yang paling tahu bahwa itu benar atau salah”, ujar Mas Romo. Hasan hanya terdiam tak memberi tanggapan. “Silahkan saja sampeyan mau percaya atau tidak. Yang pasti jabatan itu bukan kedudukan yang abadi, jika sudah sampai batasnya maka sampeyan akan kembali menjadi masyarakat biasa. Dan disitulah sampeyan akan menuai hasilnya, apakah semua akan berakhir dengan baik atau tidak”, tukas Mas Romo mengakhiri rentetan nasehatnya. @yustinus_esha SocioCultural Networkers
  • 16. Benar itu Lucu Ganteng itu ada masanya tapi lucu itu selamanya. Itu kata Raditya Dika, seorang blogger yang kemudian dikenal menjadi penulis buku dan kini menekuni perfoming stand up comedy. Pesan sebenarnya adalah wanita sekarang lebih tertarik kepada pria yang lucu ketimbang yang ganteng. Atas kabar ini, pasti yang paling bahagia adalah pria ganteng dan lucu, tapi ini jarang. Sebaliknya yang paling sial adalah seseorang yang tidak ganteng dan tidak lucu.Oleh karenanya siapapun yang termasuk kategori terakhir ini untuk urusan jodoh silahkan serahkan saja pada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Lucu itu serius, para komedian adalah orang cerdas karena mampu memancing tawa siapapun yang melihat atau mendengarnya. Jadi jangan terjebak pada tampilan mereka yang nampak tolol atau bodoh diatas panggung. Itu hanya perfom, peran yang disengaja untuk memancing proses tawa”, kata Mas Romo sambil menunjukkan mimik serius. Agus dan Trisno tertawa kecil melihat wajah Mas Romo yang nampak lucu kala berbicara dengan serius. “Komedian sesungguhnya orang yang stressfull, apalagi jika laris. Mereka harus memikirkan dengan dalam-dalam bahan untuk membuat kelucuan. Maka wajar saja banyak komedian yang mati muda, terserang penyakit akibat memforsir pikirannya hingga lupa pada kekuatan tubuhnya”, sambung Mas Romo. Penjelasan Mas Romo yang panjang lebar, rupanya tidak menarik perhatian Agus. Dia justru kembali ke urusan “jodoh” dengan bertanya,”Oh, ya Mas Romo, apa buktinya orang lucu lebih disukai oleh wanita dibanding orang ganteng?”. “Banyak buktinya, Parto, Unang, Komar, Kiwil dan Azis Gagap, itu komedian semua kan?. Nah tahu nggak istri mereka dua”, jawab Mas Romo. “Wah benar juga ya. Lucu benar ya”, sahut Trisno ikut nimbrung bicara. “True is Fun ya, benar itu memang lucu”, kata Mas Romo. Kali ini kembali Agus dan Trisno justru tak mengerti apa yang dimaksud oleh Mas Romo. Dan hampir bersamaan berkata dengan gaya sok alay “Maksud loe apa tuh?”. “Maksudnya selain serius, kelucuan juga bisa dibangun dengan mengatakan hal yang benar. Contohnya kamu bertanya pada ibumu, apakah sudah memasak beras atau belum. Pasti ibumu tertawa, karena terbiasa menyebut memasak nasi. Padahal yang benar memang memasak beras bukan nasi yang dimasak”, terang Mas Romo. “Atau dalam acara perpisahan, dimana wakil staff yang diminta menyampaikan satu dua patah kata menyampaikan bahwa mereka senang karena ditinggal pimpinan yang akan pindah, sebab ketika memimpin dia ini sombong, tukang memerintah, nda mau mendengarkan usulan dan suka nilep uang hak karyawan. Diakhir pesannya dia mengatakan selamat jalan, selamat bertugas di tempat baru dan semoga tidak kembali kesini. Nah pasti yang mendengarkan akan ketawa terpingkal-pingkal”, sambung Mas Romo. “Itu karena yang dikatakan olehnya benar adanya”.
  • 17. Mengatakan hal yang sebenarnya memang lucu, terutama di negeri-negeri dimana ketidakbenaran lazim di praktekkan. Negeri dimana kemunafikan dan basa-basi menguasai komunikasi serta hubungan antar manusia. “Oh, iya, kan ada film berjudul Tali Pocong Perawan, coba kalau kita buat film dengan judul Tali Pocong Tak Perawan pasti bakal dikira film humor bukan horor. Padahal kan benar, kalau tali pocongnya berasal dari ibu beranak dua atau nenek bercucu lima, berarti tali pocong tak perawan bukan?”, kata Trisno yang mulai paham dan ikut-ikutan menambah keterangan. “Nah, itu kamu sudah paham kan. Dalam dunia politik di Brasil, pernah ada seorang jurnalis yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Kampanyenya dipandang lucu karena dia selalu mengatakan, kalau anda ingin tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat jangan tanya saya, tapi pilihlah saya. Kalau saya menang dan duduk sebagai wakil rakyat, nanti akan saya ceritakan apa yang dilakukan oleh wakil rakyat. Dan hasilnya dia memperoleh suara perorangan paling tinggi dalam sejarah pemilu Brasil”, tambah Mas Romo. “Mas Romo, para elite kita baik di eksekutif maupun legislatif kelihatannya serius, tapi kok tidak lucu melainkan justru menyebalkan. Apa itu berarti mereka lebih banyak mengatakan hal yang tidak benar?”, tanya Trisno kali ini mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab. Sambil menghela nafas panjang, Mas Romo menjawab “Kalau seseorang sudah pensiun dengan pangkat Jenderal, terlambat jadi artis, lalu jadi menteri dan kemudian berhenti. Maka bukan soal serius kalau kemudian dia menjadi presiden. Ini hanya soal pelabuhan terakhir saja, masak jenderal dan bekas menteri kemudian hanya jadi gubernur atau bupati. Nggak lucu kan?”. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 18. Bom Bunuh Diri – Sekali Berarti Habis Itu Mati Huda, nama panggilan dari Nur Huda Ismail menulis sebuah buku dengan judul TEMANKU TERORIS? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Mantan spesial corespondent untuk harian The Washington Post biro Asia Tenggara itu memang pernah belajar di pondok pesantren Ngruki. Liputan bom Bali dan penelusuran sesudahnya membuat dirinya bertemu dengan Fadlullah Hasan. Fadlullah yang ditahan oleh polisi atas tuduhan terorisme itu adalah kakak kelasnya sewaktu di Ngruki. Lewat bukunya Huda tidak berpretensi memperdebatkan apa dan siapa terorisme melainkan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam dirinya. Betapa tidak Fadlullah yang dikenalnya bukanlah orang yang gemar berbuat kekerasan, penampilannya jauh dari itu. Saat Huda merasa tidak nyaman dan ingin meninggalkan pesatren, Fadlullah yang menemani dan menyemangati agar bisa terus bertahan. Mas Romo memang belum seperti Huda yang pintar menulis dan melahirkan banyak buku. Tapi mengalami kegelisahan yang sama, lewat jejaring social media dirinya menerima kabar, pesan dan juga gambar tentang ledakan bom di depan pintu Gereja Bethel Indonesia Kepunton Solo. Konon bom itu adalah bom bunuh diri. “Mas Romo, apakah ini ada kaitan dengan upaya memancing kerusuhan lanjutan setelah gagal di Ambon”, tanya Mardi sambil tak lupa mengabarkan bahwa baru-baru ini ada juga ledakan bom di pasar Mahardika Ambon. “Ya, bisa saja kita berspekulasi tentang hal itu. Mereka gagal di Ambon lalu mengalihkan sasaran ke Solo. Solo memang mempunyai sejarah sebagai pemantik kerusuhan di Jawa Tengah. Dulu kerusuhan Anti Cina kerap diawali dari kota itu dan kemudian merembet ke kota lain. Maka sering ada istilah Joglo Semar, Yogja, Solo dan Semarang. Ini adalah axis kunci di Jawa Tengah. Menguncang ketiga kota ini cukup untuk menimbulkan instabilitas”, jawab Mas Romo. Namun kemudian Mas Romo mengingatkan agar tidak terjebak dalam analisis semacam itu, analisis pengalihan isu dan sebagainya. “Taruhannya terlalu berat jika peristiwa semacam ini hanya disebut sebagai pengalihan isu”, ujar Mas Romo. “Iya Mas Romo, lebih baik kita berfokus pada ideologi kekerasan yang tak luntur-luntur dari negeri ini. Bom bunuh diri menjadi pesan bahwa pilihan atau jalan kekerasan masih subur di lingkungan kita dan terus dipelihara”, sahut Mardi. Mas Romo mengamini apa yang dikatakan Mardi. Kekerasan masih menjadi sebuah pilihan untuk mencapai tujuan. Dan dengan bungkus sistem kepercayaan atau religi, jalan kekerasan mendapat legitimasi, pelaku merasa mereka melakukan tugas kemartiran. Darahnya mewangi, jiwanya segera bersanding dengan Allah di surga dengan dianugerahi pendamping nan cantik jelita. “Secara eksistensial, setiap orang ingin hidupnya berarti terutama berarti bagi Kerajaan Allah. Ini menjadi pilihan bagi orang-orang yang gagal atau sulit membangun makna hidup lewat bidang kehidupan pada umumnya. Pilihan berarti melalui jalan Allah adalah pilihan yang termudah”, ujar Mas Romo.
  • 19. “Tapi kalau pilihan sekalipun dianggap baik namun dengan cara yang salah, bukankah itu tidak benar Mas Romo”, sergah Mardi. “Itu adalah perspektif kita yang mempunyai pikiran berlawanan dengan mereka. Andai mereka berpikir seperti kita maka tak ada pembom bunuh diri. Perspektif, pola pikir atau bahkan iman seperti ini yang menjadi tantangan bagi kita untuk mencegahnya. Jika tidak maka ledakan bom atau dengan pola lainnya akan terus terjadi, bagai lingkaran setan yang sulit diurai mana ujung pangkalnya”, terang Mas Romo. “Tapi kan tetap saja tindakan seperti itu tak bisa dibenarkan”, sahut Mardi. “Tentu saja, tak ada satupun ajaran baik agama maupun kebudayaan yang menerima pilihan kekerasan seperti itu. Tapi dalam sistem ajaran agama manapun masih saja ada kelompok yang beriman dengan cara matematika, terjebak dalam hedonisme religius, memburu nikmat Allah apapun caranya”, kata Mas Romo. “Maksudnya apa Mas Romo”, tanya Mardi nampak kebingungan. “Kira menjalankan apa yang dianggap sebagai perintah Allah dengan harapan dapat pahala. Nikmat kehidupan di surga, dipenuhi segalanya bahkan dikerumuni bidadari yang cantik jelita. Ini kan beriman hitung-hitungan, matematika. Atau kalau dalam ilmu politik disebut sebagai politik transaksional, kita melakukan apa dan kemudian dapat apa. Kalau cara beriman seperti ini masih terus hidup ya kekerasan yang berbau atau dibumbui agama masih akan terus terjadi”, ujar Mas Romo panjang lebar. Dalam hati Mardi membenarkan penjelasan Mas Romo. Dirinyapun sering berlaku demikian, menjalankan ibadah dengan harapan mendapat tiket free pass ke surga. Tiba-tiba dia teringat pesan singkat yang dikirimkan Belih Sugi sahabatnya sesaat setelah bom Bali meledak. Ahimsa satya sarvaprani hitangkarah (Setialah di jalan nir kekerasan, sehingga semua mahluk bahagia). Mulai hari ini Mardi berjanji akan mendaraskannya sebagai doa. Yustinus Sapto Hardjanto Sociocultural networker’s
  • 20. C City Without Slum Area Konon di Johar Baru, tepatnya kampung Rawa dikenal sebagai wilayah terpadat di Jakarta, bahkan mungkin di seluruh dunia. Dalam satu kilometer persegi wilayahnya dihuni oleh 49 ribu jiwa. Maka jangankan bermain, untuk tidur saja anggota keluarga dalam satu rumah mesti bergantian. Kampung ini kemudian populer dengan sebutan kampung burung. Sebab semua ruang kosong diatas dimanfaatkan untuk membangun bilik, seperti kandang burung merpati. Alhasil tak ada lagi gang, sebab diatasnya dibangun bilik-bilik dimana orang naik melalui tangga. Salah satu yang hendak dicapai oleh tujuan pembangunan millenium (MDG’s) adalah kota tanpa kawasan kumuh dan nampaknya Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia bakal tak mungkin untuk mencapainya. Bayangan sebuah kota yang bersih, air mengalir di got dengan lancar, anak-anak bermain di halaman rumah yang hijau, bukan lagi harapan melainkan juga mimpi yang ketinggian, impian kosong di siang bolong. “Sebetulnya kawasan atau daerah kumuh bukan cuma milik Jakarta, hampir setiap kota di negeri ini selalu memiliki apa yang disebut sebagai slum area. Itu karena kota-kota kita tumbuh tanpa rencana, kalau ada cetak biru itu hanya pada awalnya selanjutnya pasti tahu sendiri, mengikuti mau-maunya yang membangun”, ujar Roni. “Kalaupun kemudian ada kota yang rapi tertata, bisa dipastikan itu hasil kerja dari para pengembang yang mengibarkan kota bendera kota mandiri. Namun itu berarti siapa yang berhak menjadi warganya telah diseleksi sejak awal. Ini bukan kota yang terbuka, untuk bisa lalu lalang didalamnya harus melewati portal dan pemeriksaan oleh penjaga keamanan”, kata Mas Romo. “Kegagalan kota menata dirinya adalah cermin kegagalan kebijakan pembangunan. Adab pembangunan kita ini abai pada kemanusiaan, pada orang-orang kecil dan sektor informal. Mereka ini tumbuh dan berkembang tanpa campur tangan pemerintah, hingga sampai pada titik tertentu dianggap sebagai masalah”, sambung Roni yang gemar memberi pendampingan pada masyarakat miskin kota. “Para perencana pembangunan selalu membayangkan kota adalah hunian warga yang sejahtera, terdidik, disiplin dan tertata. Padahal kota selalu butuh orang miskin, orang yang sudi melakukan apa yang tidak dilakukan oleh orang-orang kaya dan sejahtera. Minimnya perhatian dan kebijakan yang berpihak pada orang miskin atau sektor formal di perkotaan, membuat kota memelihara api dalam sekam”, ujar Mas Romo. “Tapi mereka inilah yang selalu disingkiri oleh para pembuat kebijakan, selalu diusahakan agar mereka tersingkir dari perkotaan, padahal seharusnya kan diurus, difasilitasi agar tidak menimbulkan persoalan”. “Kota itu seperti nyala lampu, tentu saja selalu memanggil Laron untuk datang mengerumuninya. Mematikan lampu atau membunuh laronnya tentu bukan jalan penyelesaian yang tepat dan benar. Kita patut bertanya soal bagaimana manajemen tata kota kita, apa yang direncanakan dan bagaimana implementasinya. Apakah para perencana kawasan memasukkan sektor informal, serbuan kaum migran dan lain sebagainya dalam perencanaannya?”, tanya Roni.
  • 21. “Kalau soal itu saya tidak tahu Ron, tapi semestinya iya lah. Mereka, para perencana kan bukan orang- orang bodoh, buta atau tuli. Pendidikan mereka tinggi, pengetahuan terus di upgrade lewat kursus, pelatihan atau kunjungan pembelajaran bahkan sampai ke luar negeri. Jadi seharusnya dokumen perencanaan yang mereka hasilkan komprehensif sifatnya”, ujar Mas Romo. “Tapi kok kota-kota kita semakin hari semakin buruk wajahnya dan kejam perilakunya. Lihat saja hampir setiap hari muncul kabar pengusuran ini dan itu. Kota menjadi semakin tidak manusiawi, terutama untuk orang miskin”, ujar Roni kembali bertanya. “Itu pointnya, kota kita berfokus pada modernitas, membangun hal-hal yang serba canggih dan melupakan bahwa kota adalah hunian dari kumpulan manusia yang perlu sentuhan-sentuhan kemanusiaan. Kota tanpa humanitas menjadi kering, bahkan cenderung kejam. Maka sampai muncul istilah Ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Maka peran kepemimpinan yang manusiawi, memupuk dan memperbesar modal sosial itu yang paling penting”, ujar Mas Romo. “inklusif adalah watak kota yang sesungguhnya, terbuka untuk siapa saja dan mengatur hubungan dalam sebuah sistem yang saling menghidupkan”. “Ironisnya, di kota-kota justru subur dengan kemunculan kelompok sektarian. Jelas-jelas mengusung identitas kelompoknya sendiri dan kerap berlaku asosial, berdialog dengan kekerasan dengan tujuan untuk menyingkirkan kelompok lainnya. Sikap yang justru memupus habis persaudaraan, brotherhoods di perkotaan. Bukan begitu Mas Romo”, ungkap Roni. “Itulah tantangan manajerial kota. Berkaca pada beberapa keberhasilan kota lainnya, disana pasti ada kepemimpinan yang manusiawi. Sayangnya kita selalu dipimpin oleh orang yang merasa mampu mengurus kota ini. Namun dalam masa kepemimpinannya kita tahu persis bahwa dia tidak tahu apa yang dilakukannya”. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 22. G Garbage In, Garbage Out Dalam berbagai diskusi dan seminar baik lokal, nasional maupun internasional, banyak pengamat menyatakan Indonesia berada di ambang kebangkrutan. Tanda-tanda sebagai negara gagal telah nampak. Kekacauan terjadi di pelbagai sektor kehidupan dan jalan keluarnya tak juga kelihatan. Salah satu faktor penyebabnya adalah soal kepemimpinan. Pemimpin di pelbagai tingkatan yang dihasilkan lewat pemilu yang demokratis, yang juga kerap diwarnai protes dan gugatan disana-sini, ternyata belum memuaskan. Pemimpin tidak bisa menjadi tuntunan, contoh dan tauladan karena inisiatif serta pengabdian pada rakyatnya secara luar biasa. Pemimpin lebih sibuk dengan urusan organisasi kepemimpinannya tinimbang menyelesaikan persoalan yang mendesak untuk rakyatnya. Saat ditanya kenapa hal ini bisa terjadi. Profesor Joyo Satroamidjoyo, menjawab dengan singkat “Garbage in, garbage out”. Itu saja yang dikatakan oleh sang profesor tanpa penjelasan lanjutan. Mas Romo adalah salah satu murid kesayangan sang profesor, oleh karenanya tidak lulus-lulus. Karena penasaran, Didin mendekati Mas Romo dan bertanya apa maksud perkataan Sang Profesor. “Itu hanya perumpamaan, tadi kan dipersoalkan kenapa pemimpin kita belum mampu menolong negeri ini dari keterpurukan. Profesor menjawab jika sampah yang masuk maka sampah pula yang keluar. Itu artinya jika yang mencalonkan dan terpilih memang bukan orang yang bermutu, maka hasil kepemimpinannya juga akan buruk”, jawab Mas Romo, yang tahu benar arti kalimat sakti kegemaran Sang Profesor. Dan bukan sekali dua kali, Mas Romo disebut sebagai sampah oleh Sang Profesor, namun selalu Mas Romo tangkas menjawab “Biarlah saya ini sampah, toh sampah masih ada gunanya, kalau diolah bisa jadi pupuk yang menyuburkan tanaman”. “Berarti pemilihan umum tidak menjamin bahwa yang terpilih adalah putra atau putri terbaik dari republik ini?”, kata Didin sambil garuk kepala. “Idealnya begitu. Tapi semua akan menjadi putra atau putri terbaik saat di pemakaman nanti”, jawab Mas Romo. “Kenapa sistem demokrasi yang kita pilih belum juga mampu melahirkan pemimpin yang terbaik?”, tanya Didin. “Bukan salah demokrasinya brother, tapi sistem perekrutan untuk calon pemimpin. Sekarang kan masih sangat berbau partai meski peluang calon independen terbuka. Nah bagaimana mau melahirkan pemimpin yang baik lewat partai yang kerap berlaku sebagai induk yang buruk”, ujar Soni ikut nimbrung. “Sebenarnya ada juga kemungkinan lain. Orang-orang yang baik dan punya kompetensi tak berani mencalonkan diri. Takut jadi rusak kalau jadi pemimpin nanti. Rusak karena ikut-ikutan jadi serakah atau rusak namanya karena tak mampu melumerkan tembok baja yang dihadapi dalam kepemimpinannya nanti”, ujar Bung Kita.
  • 23. “Betul itu, orang baik kan membangun nama baiknya sedikit demi sedikit sampai jadi terhormat. Kalau gara-gara jadi pemimpin lalu hancur nama baiknya kan rugi. Kalau pemimpin kita sekarang ini sih memang gak ada pedulinya pada nama baik”, sahut Didin. “Oh, ya tapi kan ada jalur independen. Ini kan potensi untuk memperbaiki kondisi?”, ujar Soni. “Maunya sih begitu. Ini adalah jalur penyeimbang. Tapi tak mudah untuk menempuh jalur ini, aturannya begitu berat dan butuh biaya yang besar juga serta rawan disabotase. Belum lagi nanti kalau mereka terpilih, pasti akan digoda juga untuk masuk partai”, jawab Mas Romo. “Waduh kok sulit amat ya”, kata Didin sedih. Begitulah perubahan, meski dikehendaki oleh banyak orang tentu saja tak mudah dilakukan. Apalagi jika mereka yang bakal dirugikan oleh perubahan mempunyai kekuasaan atau kekuatan yang jauh lebih besar dari mereka yang menghendaki perubahan itu sendiri. Perubahan terus dipelihara jadi harapan meski entah kapan akan terwujud. Dan dalam soal pemilihan umum, kita masih juga belum belajar untuk berubah, terbukti mereka yang memimpin tanpa keberhasilan, kurang disukai, banyak dikritik dan menelurkan kebijakan yang merugikan rakyat, ternyata masih terpilih lagi pada periode berikutnya. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 24. Generasi Sehat Tanpa Ngobat Istilah Norkoba diperkenalkan pada tahun 1999 saat peringatan Hari Anti Madat Nasional. Kemudian istilah itu berkembang menjadi NAZA, Narkoba dan Zat Adiktif lainnya. Istilah kemudian bertambah lagi menjadi NAPZA, Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Namun apapun istilahnya semua itu merujuk pada sesuatu yang dikonsumsi secara sengaja oleh seseorang dengan tujuan untuk memabukkan dirinya sendiri (fly, stone, melayang). Sesuatu bisa bersifat alami seperti ganja atau kokain, olahan seperti heroin, sabu atau ekstasi dan yang tidak ditujukan untuk itu seperti lem. Tambahan zat adiktif sebetulanya merupakan perluasan kesadaran, bahwa konsumsi zat tertentu yang sebenarnya diterima umum seperti tembakau dan alkohol bisa meningkatkan resiko ketertarikan pada narkoba dan zat psikotropika. Perokok dan peminum dipandang berpotensi naik pangkat menjadi pemakai narkoba dan zat psikotropika lainnya. “Mas Romo, ini lho ada ‘orang besar’ tertangkap lagi nyabu”, kata Adit sambil menyodorkan koran terbitan hari ini. “Biasa aja..tadi pagi saya juga nyabu ..alias nyarapan bubur”, sahut Mas Romo seenaknya sambil membuang muka dari halaman koran. “Lah, dikasih tahu kok malah cuek bebek. Ini persoalan besar Mas Romo. Sudah parah kota kita ini, jumlah pemakai semakin hari semakin besar, mulai dari anak muda harapan bangsa sampai pemimpin yang seharusnya jadi panutan”, kata Adit sedikit panas. “Nih...baca coba, apa bedanya”, balas Mas Romo sambil menyodorkan galaxy tabs hasil belas kasihan dari seniornya. “Sudah tahu dari semalam saya, tak lama sesudah yang bersangkutan tertangkap”. “Oh, lha mbok bilang dari tadi kalau sudah tahu. Bikin saya salah sangka saja”, gerutu Adit. “Sudahlah tapi saya senang kamu punya perhatian pada persoalan ini, itu artinya kamu masih waras. Kita dan mereka para pemakai itu kan sama saja, ingin senang, ingin bahagia meski jalan kita berbeda”, ujar Mas Romo. “Tapi saya nggak tahu apakah pilihan kamu untuk bersih dari narkoba itu karena nggak punya uang?”. “Wah sampeyan ini sembarang menuduh saja. Ya enggaklah Mas Romo, kalau saya punya banyak uang ngapain dibelikan yang begituan, mending beli buku dan menabung, untuk modal di masa depan”, jawab Adit. “Eh, Mas Romo, kenapa sih orang suka memakai narkoba?”. “Ya, pasti sajalah, kan semua orang suka yang enak-enak. Ibarat makanan, narkoba adalah makanan berlemak, enak di mulut gitu”, jawab Mas Romo. “Meski dalam pengajaran spiritual, jalan penderitaan, matiraga atau puasa itu penting untuk mencapai kedewasaan, namun tidak setiap orang mampu menahan tekanan. Nah, narkoba erat dengan kemampuan menahan tekanan, siapa yang tak kuat dan punya kesempatan akan cenderung lari padanya”. “Kalau anak-anak jalanan, ngisep lem, mengkonsumsi pil murahan yang memabukkan mungkin masih masuk akal Mas Romo, karena tekanan mereka berat sekali, seolah masa depan sudah buram. Tapi anak-anak orang berkecukupan, bermobil kok masih lari juga ke Narkoba, bukankah mereka bisa cari kesenangan lain misalnya travelling atau apa gitu. Yang saya lebih tidak paham lagi mereka yang
  • 25. berkedudukan tinggi di masyarakat, kok masih makai juga, apa sih yang dirasa kurang oleh mereka, bukankah mereka itu lebih segala-galanya dari kita”, tanya Adit bingung. “Jangan salah Dit, makin kaya dan makin tinggi kedudukan seseorang maka tekanannya juga makin kuat. Terutama tekanan gaya hidup”, sanggah Mas Romo. “Kalo nyabu atau nelan ekstasi dianggap sebagai salah satu ciri gaya hidup ‘sosialita” maka orang yang masuk klas ini dan tidak melakukannya bisa dianggap belum masuk dalam ‘kelompok sebaya’-nya. Makanya banyak orang memakai narkoba misalnya dengan alasan sebagai bagian dari gaya hidup kelas tertentu”. “Wah, gawat ya kalo begitu, jago benar ini para produsen dan pengedar narkoba menciptakan ‘sistem nilai’ baru. Jadi siapa yang gak pakai narkoba bakal dianggap ketinggalan jaman, gak gaul, gak modern gitu ya Mas Romo”, kata Adit menanggapi sambil melontarkan pertanyaan. “Kemungkinan begitu. Tidak tahu persis saya ini karena gak pernah gaul dengan mereka”, jawab Mas Romo singkat. “Lalu gimana cara pencegahannya agar kita tak terjerumus dalam pemakaian narkoba?”, tanya Adit lagi. “Nah, ini lebih saya gak paham lagi. Tapi gampangnya gini aja,adalah hak kita untuk merasa bahagia dan senang. Namun perlu ditanamkan dalam diri bahwa kebahagiaan tak berasal dari luar diri apalagi harus distimulus dengan bahan-bahan tertentu. Kita bahagia karena kita ada dan bersyukur atas apa yang ada dalam diri kita. Itu saja”, jawab Mas Romo bernada filosofis. “Dalem ini Mas Romo tapi rasanya tidak gampang”, ujar Adit sambil manggut-manggut seolah-olah mengerti. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 26. Genius Lokal Di sebuah kolam pemandian air tawar tertulis “Hi ra i ni entub fo i ni it did entub fo it did”. Kata-kata dalam bahasa Kei (satu daerah di kepulauan Maluku) jika diterjemahkan secara bebas berarti segala yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh dimiliki perorangan. “Dalam banyak tradisi, kearifan akan milik kolektif banyak ditemui. Sumber air dan sungai adalah milik bersama, dimanfaatkan bersama dan dijaga secara bersama. Banyak bebukitan hijau dianggap keramat, bukan karena disana tinggal para penunggu, melainkan dijaga sebagai daerah untuk menangkap air”, ujar Mas Romo. “Mata air yang biasanya berada di bawah pohon besar, juga dianggap sebagai daerah keramat, kita tak boleh berlaku macam-macam disana”. “Benar itu Mas Romo, istilah konservasi juga preservasi mungkin tidak dikenal oleh masyarakat tradisional dulu. Tapi mereka telah melakukan itu, melakukan apa yang dalam bahasa modern dikatakan sebagai resources manajemen planning yang bertujuan untuk sustainability atau keberlanjutan”, tambah Andi. “Itulah yang disebut dengan kejeniusan lokal, kecerdasan masyarakat tradisional yang menyadari bahwa hidup mereka tergantung kepada alam. Namun alam mempunyai batas dan terancam oleh ulah manusia, maka perlu dibentengi dengan “aturan”. Salah satunya adalah dengan menciptakan mitos atau legenda. Yang membuat sebuah daerah dikeramatkan atau harus dihormati karena ditempat itulah para leluhur beristirahat, atau penjaga bumi bermukim dan lain sebagainya”, ujar Mas Romo. “Kebijakan ini ada yang kemudian dirumuskan dalam aturan-aturan yang mengenal denda bagi apra pelanggarnya”, sambung Andi. “Tapi bukan berarti apa yang ada tak boleh diambil atau dimanfaatkan. Tetap bisa hanya diatur, entah berdasarkan waktu atau ukuran-ukuran tertentu. Maka di daerah tertentu kita mengenal beberapa upacara penangkapan atau perburuan binatang pada masa tertentu”, lanjut Mas Romo. “Luar biasa sebenarnya masyarakat kita dulu itu ya Mas Romo”, kata Andi memberi komentar. “Namun semua itu berubah karena datangnya orang luar. Yang bukan hanya tak tahu kebijakan setempat, melainkan juga tidak menghormatinya. Para pemotong kayu di hutan yang lebat dan dikeramatkan berasal dari luar, membawa peralatan gergaji dengan kecepatan berkali lipat dari alat yang dipakai masyarakat setempat”, kata Mas Romo. “Dan ternyata ketika pohon-pohon ditumbangkan apa yang diyakini masyarakat setempat tak terjadi. Mereka yang menyakini aturan sebagai sekedar aturan menjadi tergoncang keyakinan dan kelak ikut-ikutan merobohkan pohon di hutan yang mereka hormati sebelumnya”. “Menyedihkan ya Mas Romo, masyarakat yang dulu adalah penjaga, kini ikut-ikutan menjarah apa yang dulu mereka jaga karena ajaran orang dari luar. Luar biasa pasti pergulatannya, namun pada akhirnya mereka bersikap pragmatis, daripada tidak dapat bagian, maka apaboleh buat, ikut nebang saja”, ujar Andi dengan nada prihatin.
  • 27. “Inilah yang disebut pragmatisme, daripada nda kebagian. Dan sikap ini pada akhirnya fatalistik, kita secara kolektif menghancurkan diri kita sendiri. Adalah omong kosong niat untuk mewariskan bumi beserta lingkungan yang asri kepada anak cucu kita kelak”, sahut Mas Romo. “Iya kata itu hanya ada di sambutan atau kotbah-kotbah saja, tapi pada prakteknya yang berlaku adalah babat dan keruk habis. Sembari terus meminta rakyat di hulu menjaga hutan dan lingkungannya, agar yang dihilir tidak kena petaka”, kata Andi. “Para pemegang kebijakan lupa merumuskan konsep “cost and benefits”. Masyarakat adat, masyarakat tradisonal, masyarakat pedalaman diminta menahan diri untuk tidak mengekploitasi alam secara berlebihan. Hasilnya berupa jasa alam dan lingkungan yang dinikmati masyarakat di luar mereka. Mereka “rugi” dan orang lain yang menuai “untung”. Maka seharusnya ada kompensasi untuk mereka”, terang Mas Romo. “Kalau tidak ya jangan salahkan kalau mereka ikut main tebang juga”. Setiap orang berhak untuk menikmati dan mengambil untung dari sumberdaya alam. Namun sadar atau tidak terkadang pujian untuk kebijakan tradisional, kearifan dan kegeniusan lokal merupakan jebakan Batman bagi masyarakat adat atau komunitas setempat. Mereka diminta terus menjaga, memelihara sumberdaya alam tapi orang luar datang memanennya. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 28. H Habis Gelap, Terbitlah Surti Matahari belum lama surup ke peraduannya. Lalu lalang orang-orang bergegas pulang masih ramai terasa. Tak ada yang berjalan perlahan, semua serba cepat sebab pingin segera mandi karena keringat telah pekat. Ada pula yang tak sabar untuk menghirup kopi atau teh panas guna menghilangkan tekanan kerja sepanjang hari. Di kala sebagian besar orang melangkah menuju rumah untuk bersiap membenamkan diri dalam kasur, Surti justru tengah mematut-matut diri bersiap melangkah kaki ke luar rumah dalam kegelapan malam. Surti bukanlah kelelawar yang keluar dari sarang saat mentari terbenam. Surti adalah bagian dari lingkaran dunia hiburan malam, yang bersedia memutar jam biologinya untuk membahagiakan orang- orang yang haus kebahagiaan di malam hari. Kerja di tempat hiburan malam bukanlah cita-cita Surti. Meski mengobral senyum, bergerak ceria kesana-kemari, mengoyang badan sepanjang musik berbunyi, itu bukanlah ekspresi bahagia Surti. Surti berusaha ceria untuk mengusir dukanya. Duka karena dirinya disebut sebagai perempuan malam yang sama artinya dengan “bukan perempuan baik-baik”. “Saya memang bukan perempuan baik-baik, tetapi saya tidak akan jadi begini jika tidak karena laki-laki bajingan. Manis mulutnya tapi busuk kelakuannya. Laki-laki yang selalu mengatakan sebagai belahan hati, minggat setelah tahu perut saya membuncit”, kata Surti membagikan kisah hidupnya kepada Mas Romo. Sesekali Mas Romo memang menyempatkan diri mengunjungi tempat hiburan malam untuk refreshing. Tidak rutin sebab sekali kunjungan saja sudah mampu menguras kantongnya yang memang tidak tebal. Satu dua botol bir dingin cukup untuk membawa kantuk yang membuat tidurnya terasa nyenyak. Dan adalah kebiasaan Mas Romo, setiap berkunjung selalu membooking ladies yang berbeda, sehingga bisa mengumpulkan banyak kisah yang sebenarnya punya benang merah hampir sama. “Sebagai perempuan belum menikah, tapi punya anak dan tak lulus sekolah, coba apalagi yang bisa saya kerjakan untuk menopang kehidupan. Kantor mana yang mau menerima perempuan dengan kondisi seperti saya?”, tanya Surti pada Mas Romo. “Kebutuhan bayi sekarang ini luar biasa besar, untuk membeli susunya saja sudah bikin saya kelabakan”, lanjut Surti. Dunia kerja formal memang tidak adil terhadap perempuan-perempuan yang hamil diluar nikah, single parent dan tak punya pengalaman. Kantor-kantor lebih menyukai menerima pegawai baru yang adalah wanita-wanita single, fresh graduate sehingga bisa mencurahkan waktunya untuk pekerjaan tanpa terganggu urusan menjaga anak. “Hanya tempat seperti inilah yang ramah kepada perempuan-perempuan seperti kami. Tidak perlu wawancara panjang lebar, tak perlu berkas lamaran yang tebal, yang penting mau bekerja dan paham konsekwensinya”, ujar Surti meneruskan kisah hidupnya. “Tapi kan pekerjaan ditempat ini tak bisa selamanya kamu lakoni?”, tanya Mas Romo menyela.
  • 29. “Ya iyalah ... Mas, semakin tua tentu semakin tak sepi langganan. Makanya saya berusaha menabung, mengumpulkan modal untuk usaha nantinya. Saya juga berharap bisa menemukan laki-laki yang mau menerima diri saya apa adanya”, kata Surti pelan dengan wajah enggan untuk membicarakan masa depannya. “Lho bukankah setiap malam kamu selalu bertemu dengan banyak laki-laki. Apakah tidak ada yang cocok?”, tanya Mas Romo. “O..allah Mas, laki-laki yang datang kesini ini kan tidak untuk mencari istri. Kelakuannya kan tidak beda jauh dengan laki-laki keparat yang pergi meninggalkan saya dulu. Saya tak mau tertipu untuk kedua kalinya”, ujar Surti sambil tersenyum kecut. “Tamu seperti sampeyan ini jarang, duduk diam-diam tak berusaha membelanjakan tangan”, lanjut Surti dengan senyum mengoda. Mas Romo tersipu malu. Karena malam telah larut Mas Romo meminta Surti untuk mengambil bill, ongkos yang harus dibayar. Mas Romo mengambil lembaran uang dari dompet, dilebihkan jumlahnya kemudian diserahkan dalam genggaman Surti. Sambil berdiri untuk bersiap melangkah keluar, Mas Romo berujar “Sisanya buat kamu dan semoga kamu segera mendapatkan belahan jiwa”. Sebagai tanda terima kasih, Surti mengecup pipi Mas Romo dengan mesra. Dan nampaknya meski telah menenggak dua botol bir, tidur Mas Romo malam ini tak bakal nyenyak. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 30. Harga Penghargaan Apa yang menarik media untuk memberitakan kota ini?. Bagi mereka yang gemar mengintip siaran berita tentu akan menjawab banjir dan kebakaran, ya seputar air dan api. Soal air tentu saja mewakili karaktek Samarinda yang adalah kota Bandar, kota yang dibangun atas dasar kehidupan sekitar sungai. Maka wajarlah kalau kemudian akrab dengan air, sebab Samarinda sendiri konon artinya sama rendah (dengan permukaan sungai). Para senior citizens, orang-orang tua tentu punya cerita soal pasang surut Samarinda yang ditandai oleh rumah panggung dan banyaknya kawasan rawa-rawa. Cerita tentang kebakaran juga bukan barang baru. Tegakkan hutan yang hijau dimusim kemarau tiba- tiba berasap dan membara. Tanah menyimpan titik api akibat lapisan batubara yang tersembunyi dibalik permukaan tanah. ”Karakter banjir dan kebakaran saat ini bukan lagi akibat ulah alam, perilaku kebijakan pembangunanlah yang menyebabkan banjir kian parah serta api semakin gampang meradang. Bentang alam kita terlalu cepat berubah. Gunung-gunung diratakan, rawa ditimbun dan hutan dibabat dengan kecepatan yang maha dahsyat”, lanjut Mas Romo. “Maka tak heran begitu diterpa hujan, tak lebih dari satu jam segera saja akan muncul genangan dimana-mana”. “Tapi ada untungnya juga Mas Romo, dengan banjir dan kebakaran, daerah kita ini jadi sering masuk berita di media-media nasional. Lumayan kan, jadi terkenal gitu lho”, ujar Ramli bergurau. “Kamu ini kok malah senang diberitakan lantaran kabar buruk”, sahut Mas Romo. “Eh, ini ada kabar baik”, seru Kasman sambil memperlihatkan halaman koran yang dipegangnya. “Ini baru membanggakan, pemimpin kita mendapatkan penghargaan atas kepedulian pada lingkungan hidup. Jadi nggak benar itu pandangan yang mengatakan bahwa hanya hal-hal buruk yang terjadi di daerah kita ini. Ini kan bukti bahwa orang luar sana menghargai usaha untuk memulihkan alam”, kata Ramli setelah membaca berita utama koran hari ini. “Saya bukannya mau berburuk sangka, tapi penghargaan itu macam-macam adanya. Ada penghargaan yang diberikan karena pemberi menyakini bahwa kita benar-benar melakukan sesuatu yang luar biasa, menjadi inspirasi bagi bangsa, menyumbangkan penyelesaian atas permasalahan yang berat dan mendera kita terus menerus. Tapi sebaliknya juga ada penghargaan yang ada maunya. Dia bukannya memberi melainkan dengan penghargaan itu dia berharap ada imbal balik dari yang dianugerahinya”, ujar Mas Romo. “Maksud Mas Romo, tokoh kita yang baru mendapat penghargaan itu membayar. Wah, bukan buruk sangka lagi tapi sudah fitnah”, ujar Ramli. “Silahkan saja kalau itu tafsir kamu, maksud saya itu penghargaan tidak selalu bersifat netral dalam artian sebagai bentuk apresiasi atas prestasi seseorang. Dibalik sebuah penghargaan bisa jadi ada intensi lain entah dari pemberi maupun penerima, atau bahkan intensi bersama antara keduanya”, jawab Mas Romo.
  • 31. “Ram, Mas Romo bukannya mau menuduh. Kita ini kan sedang diskusi perihal penghargaan yang erat kaitannya dengan kredibilitas dan integritas entah pemberi maupun penerima. Itulah kenapa ada sejumlah penghargaan yang dipandang bergengsi namun tidak sedikit pula yang dipandang sebelah mata atau bahkan menjadi bahan tertawaan belaka. Contohnya pemberian penghargaan Doktor Honoris Causa dari UI kepada Raja Arabia, yang malah diplesetkan jadi Doktor Humoris Causa”, tambah Kasman memberi pengertian. “Kita ini kadung menempatkan penghargaan di tempat yang tinggi. Padahal siapapun sekarang bisa memberikan penghargaan publik, bahkan tak sedikit yang hanya sekali memberi penghargaan dan tahun depan menghilang. Oleh sebab itu dalam menilai ‘harga’ sebuah penghargaan kita perlu melihat keajegan penyelenggaraannya, kredibilitas dan kompetensi penilainya, independensi serta minus konflik kepentingan”, terang Mas Romo kembali. “Oh, begitu ya Mas Romo. Jadi apa penilaian Mas Romo atas penghargaan yang diberikan kepada tokoh kita ini”, tanya Ramli. “Apalah saya ini. Tapi kalau saya adalah pemberi penghargaan dengan label inisiator atau pioner, maka penghargaan akan saya berikan jika inisiatif atau kepioneran sang penerima sudah kelihatan hasilnya. Dan hasil itu perlu dinilai dengan indikator yang jelas. Contoh kata, kalau kamu sudah menebang 5 milyards batang pohon, tentu saja tak pantas diberi penghargaan meski telah menanam 1 milyards pohon. Apa yang kamu tanam tak sebanding dengan yang kamu rusak”, pungkas Mas Romo mengakhiri perbincangan. Yustinus Sapto Hardjanto Sociocultural Networker’s
  • 32. I Ingat Jasanya, Lupakan Kesalahannya Pak Harto dikenal sebagai orang yang ‘Nguri-uri’ kebudayaan Jawa utamanya soal pitutur yang disampaikan turun temurun oleh para pendahulu. Pitutur yang kemudian dijadikan sebagai falsafah itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku, kumpulan falsafah Jawa dan diwariskan kepada anak dan cucunya. Bukan hanya anak dalam artian biologis, melainkan seluruh bangsa Indonesia. Suharto yang digelari sebagai bapak pembangunan tentu memandang seluruh bangsa Indonesia, rakyat yang dipimpinnya sebagai anak-anaknya. Maka ketika Pak Harto menyatakan diri mundur dari kursi kepresidenan dan kemudian menyerahkan kepada Habibie, mulai bertaburanlah istilah-istilah berbau falsafah Jawa. Pak Harto bukannya mundur melainkan ‘lengser keprabon’, meninggalkan kursi kekuasaan secara sukarela, karena merasa saatnya sudah tiba. Meninggalkan kursi bukan untuk turun melainkan naik peringkat, menjadi ‘pandito’, pemimpin dalam artian spiritual. “Pak Harto tidak merasa diturunkan dari tahta kepresidenan. Dia hanya merasa sudah cukup memimpin Indonesia dan kemudian menyerahkan kekuasaan pada penerusnya yaitu Habibie. Maka ketika kepemimpinannya dimasa lalu dipersoalkan dan perlu diuji di hadapan pengadilan, para pembelanya kemudian melontarkan, lagi-lagi falsafah Jawa yang mengatakan mikul duwur, mendem jero”, kata Mas Romo yang kebetulan salah satu garis keturunan nenek moyangnya berasal dari Jawa. “Artinya apa itu Mas Romo, kalau bahasa Indonesianya kan menjunjung tinggi, mengubur dalam-dalam”, tanya Jacky yang sempat ikut pelajaran boso Jowo selama dua semester pada sebuah sekolah di bawah lereng gunung Tidar. “Itu sebuah nasehat agar kita mengenang dan hormat atas jasa seseorang di masa lalu, kita junjung kehormatannya dan kita lupakan segenap kesalahannya. Pendeknya nda usah mengungkit-ungkit keburukan orang di masa lalu. Itu namanya kita tidak hormat, tidak menghargai jasa-jasanya”, jawab Mas Romo. “Wah. Lha kok enak ya Mas Romo”, sahut Agus tiba-tiba, memprotes penjelasan Mas Romo yang bagi Agus dipandang tidak masuk akal. Benar ya benar, salah ya salah, jadi setumpuk kebaikan tak menghilangkan sejumput kesalahan. “Bukankah kita diajarkan gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”, ujar Agus menyitir sebuah peribahasa. “Ya mestinya kalau mau konsekwen dan konsisten harusnya begitu Gus. Tapi mungkin orang-orang tua mengungkapkan falsafah itu karena berkaca dari sejarah”, kata Mas Romo. “Bangsa ini berulangkali menunjukkan tidak mampu mengakhiri masa kepemerintahan dengan baik-baik. Mereka sebenarnya sudah dipermalukan karena kenyataan itu. Jadi kita tak usah menambah ‘wirang’ dengan mengusik-usik perilaku buruknya di masa lalu”, lanjut Mas Romo. “Nah, ini juga Mas Romo, terlalu banyak memakai vocab bahasa Jawa. Apa itu wirang?”, tanya Jacky lagi.
  • 33. “Wirang itu malu yang amat sangat. Jadi sebetulnya Pak Harto dengan meninggalkan kursi kepresidenan sebenarnya sudah mendapat hukuman terberat yaitu rasa malu yang dalam. Maka ketika sudah ‘lengser keprabon’ dia tidak mau ditemui oleh siapapun yang berkaitan dengan kepemerintahannya di masa lalu. Pak Harto tak mau lagi mengingat-ingat yang sudah-sudah. Dia memilih menepi, meninggalkan sama sekali urusan politik”, jawab Mas Romo. Dan memang benar, konon Presiden Habibie tidak berhasil menemui Pak Harto di masa kepresidenannya yang tidak lama. “Dan nampaknya falsafah mikur duwur, mendem jero itu berhasil ya Mas Romo. Semua pihak yang berkompeten untuk menelisik pelanggaran di masa lalu tak mampu bertindak lugas. Kasus Pak Harto mulur mungkret”, kata Jacky. “Nah, itu kamu menyebut kata Jawa, apa itu artinya Jack”, sahut Agus iseng-iseng menguji Jacky. “Ya kurang lebih tarik ulur lah, kayak karet, kadang bisa panjang tapi kalau dilepas jadi pendek lagi”, ujar Jacky sekenanya. “Iya Jack, dan meskipun itu falsafah Jawa, sebenarnya gejala seperti itu ada dimana-mana. Di negeri ini sulit menyeret orang-orang terhormat ke depan meja peradilan. Tidak pantas orang-orang yang telah berjasa besar kemudian dipersoalkan”, jawab Mas Romo. Jacky dan Agus mengangguk-anggukkan kepala seolah paham. “Begini Mas Romo, tak usah dijawab ya. Pak Harto ini sebenarnya Presiden atau Raja Indonesia sih. Dan Republik ini, Republik Indonesia atau Republik Jawa?”, kata Jacky yang membuat Mas Romo dan Agus saling menatap kebingungan. Yustinus Sapto Hardjanto Sociocultural Networker’s
  • 34. J Jangan Biarkan Mereka Mati Perbincangan tentang kecelakaan yang menimpa pedangdut Saiful Jamil belum juga usai. Dalam kecelakaan mobil yang disopiri sendiri, Saiful bukan hanya kehilangan istri tercintanya melainkan juga bayi dalam kandungan istrinya. Kecelakaan pada alat angkut memang menduduki peringkat tinggi penyebab kematian di negeri ini. Selain terjadi di darat, kecelakaan juga kerap menimpa alat angkut di lautan (sungai). “Benarkah nenek moyang kita pelaut, seperti kerap kita nyanyikan sejak jaman Taman Kanak Kanak dulu?”, tanya Dodi pada Mas Romo yang sedang membaca koran. “Menurut catatan sejarah demikian adanya. Jejak nenek moyang kita tersebar di berbagai belahan dunia. Dan tentu saja mereka mencapai tempat-tempat itu dengan kapal laut, entah sengaja atau tidak. Mungkin karena tujuannya bukan untuk ekpedisi seperti Columbus , maka catatan atau kroniknya menjadi tidak lengkap. Tapi kenapa kau memprotes lagu nan agung itu?”, terang Mas Romo sambil bertanya. “Lha, ini masak Mas Romo tidak baca”, kata Dodi sambil menunjuk berita tentang kecelakaan kapal angkutan di halaman koran yang dipegang Mas Romo. “Dan ini .... kabar dari kawan di Surabaya yang mengatakan bahwa barusan KM Kirana XI tujuan Balikpapan terbakar di dermaga Gapura Surya, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya”, sambung Dodi sambil menunjukkan pesan yang masuk lewat BBM. “Waduh, kecelakaan kok sambung menyambung. Apa kita ini memang negeri kecelakaan?. Tapi apa hubungannya antara nenek moyang kita yang pelaut dan kecelakaan kapal?”, tanya Mas Romo. “Kalau nenek moyang kita benar pelaut, berarti kita paham benar urusan kapal dan laut, apa resikonya dan bagaimana menguranginya. Lihat saja berkali-kali kapal yang celaka belum jauh dari dermaga. Yang ini bahkan masih menempel di pelabuhan, belum berangkat. Edan kan?”, kata Dodi. “Justru itu masalahnya, kita bukan kekurangan pengetahuan lalu jadi abai pada keamanan. Kita justru merasa banyak tahu jadi tidak awas resiko lagi. Bukankah kita sering bilang, biasanya juga begini dan tidak apa-apa. Ini apes saja”, ujar Mas Romo. “Iya sedikit-sedikit apes. Makanya kecelakaan tidak pernah jadi pelajaran, paling jadi nyanyian saja, itu juga kalau Iwan Fals masih bisa menulis syair”, sahut Dodi mengingatkan lagu ciptaan Iwan Fals tentang tragedi Bintaro dan Tampomas II. “Untuk urusan nyawa, bangsa kita ini memang paling abai pada “pre caution universal”, kewaspadaan universal. Mestinya sebelum berangkat kan harus dipastikan tidak ada barang berbahaya yang meningkatkan resiko malapetaka dalam perjalanan. Bukan sekali dua kali, kapal terbakar karena kendaraan yang terparkir di geladak bawah”, kata Mas Romo.
  • 35. “Sedih saya melihat perilaku para pemangku kebijakan soal angkutan. Nyawa kok disamakan dengan barang. Kalau terjadi sesuatu diatas kapal, kelihatan tidak siap. Semua panik dan berlompatan ke dalam air, padahal tidak semua penumpang kan bisa berenang”, keluh Dodi. Sejarah kelautan adalah sejarah yang panjang. Tetapi yang terjadi justru kosok balik, paradoks. Sejarah panjang tidak menorehkan pengetahuan yang semakin meningkatkan kewaspadaan betapa besar resiko perjalanan angkutan di lautan. Dengan terang dalam pengembangan layanan dikatakan bahwa penumpang adalah raja. Konsumen adalah yang utama untuk dilayani kepentingannya, diangkut dan diantar dengan nyaman dan aman, selamat sampai ke tujuan. “Bosan saya mendengarkan penjelasan bahwa semua prosedur sudah dilalui, sebelum berangkat sudah diperiksa kelaikannya. Tapi buktinya kecelakaan bahkan terjadi di depan mata mereka yang mengatakan hal itu. Tapi kok nda ada malunya ya. Kalau saja mereka ini Pinokio, pasti hidungnya sudah sepanjang jembatan Suramadu”, kata Dodi geram. “Kita memang lebih bisa menghafal SOP, Tupoksi, Job Desk atau apapun itu, tapi soal menjalankannya hampir semuanya bisa dikompromikan. Bukan mau menuduh, lembaran rupiah seringkali membuat apa yang tidak layak diberangkatkan ternyata bisa diloloskan mengarungi samudera dalam bahaya. Bukankah biasa kita mendengar kapal tenggelam karena kelebihan muatan?”, sambung Mas Romo. Dodi terdiam, tak mampu lagi berkata-kata. Dalam diamnya dia membayangkan Presiden SBY mengumumkan bahwa menteri perhubungan di ganti dalam reshuffle kabinetnya. Dan pos menteri perhubungan bukan lagi kursi yang ditujukan untuk membalas jasa baik seseorang pada yang mempunyai hak prerogatif untuk menunjuknya. Yustinus Sapto Hardjanto Sociocultural Networker’s
  • 36. K Kaderisasi Koruptor Saat diminta komentarnya perihal KPK yang terus menerus dihantam dari segala jurusan, Mas Romo hanya menjawab singkat “Para penyerang tak sadar betapa beratnya kerja KPK”. Dan benar memang maha berat kerja KPK. Pertama karena korupsi telah menjelma menjadi penyakit yang kronis, berurat berakar sampai masuk dalam urusan sehari-hari. Kedua, perilaku koruptif selalu menyangkut segerombolan orang, persih seperti kue lapis dimana dalam setiap potongnya terdiri dari beberapa layer. Dan yang ketiga, pencegahan korupsi menjadi tidak populer karena semua merasa sedari kecil sudah dibekali dengan norma dan ajaran suci entah yang berasal dari kebudayaan maupun agama. “Maka yang menonjol dari KPK hanyalah penindakan, sementara yang berbau pencegahan menjadi tidak populer, jarang diperbincangkan apalagi diberitakan”, ujar Mas Romo. “Akibatnya tindakan KPK berpeluang menimbulkan kontroversi, apalagi jika sudah menyangkut orang atau lembaga yang terhormat”, lanjut Mas Romo. Nardi yang sedang mengerjakan tugas menulis paper berjudul “Memahami Korupsi Untuk Membasmi” tak berusaha memancing keterangan dari Mas Romo melalui pertanyaan. Dia tahu persis, hanya dengan diam maka Mas Romo pasti akan kembali melanjutkan untaian kata-katanya. Dan benar saja, karena Nardi hanya diam dan menunjukkan wajah siap mendengarkan, maka Mas Romo melanjutkan analisis panjangnya. “Siapa di negeri ini yang sudi disangka korupsi, apalagi kalau sudah merasa mengabdi untuk bangsa ini”, ujar Mas Romo. “Maka penindakan terhadap orang tertentu selalu menjadi riuh, sebab akan muncul kelompok-kelompok pendukung baik yang terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Semuanya berkeinginan untuk mengatakan betapa KPK salah karena menyangka orang tersebut telah melakukan tindakan tercela”, lanjut Mas Romo. “Bukankan setiap penindakan terhadap sebuah kasus, selalu memunculkan narasi”, tanya Mas Romo pada Nardi. Kali ini Nardi merasa tidak enak kalau tidak menjawab. “Iya Mas Romo, selalu muncul narasi soal politisasi, dizolimi, dikorbankan dan kriminalisasi kebijakan”, jawab Nardi. “Ada ribuan kasus, tetapi silang pendapat soal satu kasus saja sudah berlarat-larat. Semua mau terlibat meski berkali-kali menyatakan diri tak mau intervensi. Lihat saja anggota legislatif kita gemar membuat panja, pansus dan lain sebagainya”, tambah Ahmad. “Kaum eksekutif juga tak kalah genit, sedikit-sedikit bikin tim ini dan itu, yang lebih banyak membuat sebuah kasus jadi semakin ruwet. Belum lagi kalau banyak yang menyoal kinerja dan sepak terjang tim bentukan eksekutif itu. Wah ..tambah ribut”, tambah Nardi melanjutkan keterangan Ahmad. “itulah sebabnya penanganan korupsi menjadi berlarat-larat. Kasus bertumpuk-tumpuk dan semakin susah diurai. Sementara itu calon-calon koruptor dengan cepat juga bermunculan. Setiap koruptor selalu mendidik kader untuk melanjutkan sepak terjang dan menjaga kepentingannya”, keluh Mas Romo.
  • 37. “Lho koruptor dikader juga ya Mas Romo”, tanya Nardi heran. “Lha iya lah ..... coba lihat semua pemilihan ketua ini dan itu selalu ricuh, berebutan orang ingin menjadi calon. Nah disitulah ladang dan lahan korupsi dimulai. Uang bukan hanya dihamburkan dalam pemilihan bupati, walikota, gubernur dan sebagainya, sekarang ini pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa saja perlu dana untuk mengamankan suara”, jawab Mas Romo. “Pantas saja ya, calonnya sibuk sowan kesana kemari, membuat tim untuk menyebar proposal. Menggali dana dari berbagai jurusan tapi minim pertanggungjawaban”, sambung Ahmad. “Demikianlah adanya, maka jangan sering-sering mengadakan kaderisasi, sebab jangan-jangan kita bukan hanya menghasilkan kader yang militan melainkan juga bajingan yang siap menilep uang negara saat punya kedudukan nanti”, pesan Mas Romo. “Kalau begitu koruptor seperti pahlawan saja ya, mati satu tumbuh seribu”, guman Nardi. “Oh, ya Mas Romo, kira-kira ada gak sih jabatan yang tidak diperebutkan sehingga tidak memerlukan uang untuk mendudukinya”, tanya Ahmad lagi. “Kalau kamu mau, sebenarnya ada. Ketua rukun kematian”, jawab Mas Romo sekenanya sambil berpamitan. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 38. L Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga Sumber Masalah? Istilah LSM sebenarnya contradictio in terminis, atau bahkan mengandung korupsi makna. Sebagai sebuah institusi yang dinamai dengan Lembaga Swadaya Masyarakat , wadah partisipasi publik dalam pembangunan (dalam arti seluas-luasnya) pada kenyataannya jarang yang mampu membiayai dirinya sendiri. Istilah LSM sendiri diperkenalkan oleh regim orde baru, untuk mengeliminir istilah organisasi non pemerintah (Ornop). Disebut sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat dengan harapan kehadirannya mampu menjadi partner atau mitra pemerintah dalam pembangunan. “Peran LSM dalam pembangunan diakui oleh pemerintah, bahkan secara eksplisit disebut dalam berbagai peraturan dan perundangan. Meski demikian tidak semua pelaksana pemerintahan mampu memandang LSM sebagai mitra, sebagaian masih memandang LSM sebagai lembaga sumber masalah”, kata Mas Romo saat ditanya soal kebiasaan pejabat yang marah-marah karena dikritik LSM. “LSM itu sejak lahirnya memang cair, tak bisa diatur-atur. Salah jika menempatkan LSM sebagai wadah partisipasi publik secara luas, sebab LSM bisa saja didirikan oleh satu dua orang yang peduli atau punya hobby pada masalah tertentu. LSM kan tidak hanya peduli pada orang atau masyarakat, tapi juga pada binatang dan tumbuhan. Maka tak heran ada LSM yang mati-matian membela Orang Hutan, Badak Jawa, Harimau Sumatra, Penyu Hijau, Pohon Ulin, kantong Semar dan lain sebagainya”, sambung Mas Romo. “Tapi kenapa ada istilah LSM legal dan LSM liar Mas Romo”, tanya Rudi. “Ya itu kan istilah yang muncul dari Kesbanglinmas sebagai konsekwensi regim bansos. LSM yang berniat menggali sumber dana lokal (APBD) harus terdaftar di sana, istilahnya biar bisa jadi rekanan. Yang tidak mau mendaftar, entah karena tidak sempat atau tak memenuhi syarat ya bakal dianggap organisasi liar. Tapi ada juga yang sengaja tak mau mendaftar, soalnya pengakuan legal atau tak legal tidak penting. LSM kan bukan badan usaha, hari ini berdiri besok mati tak juga masalah. Lagi pula kalau memang tak berniat untuk mendapat dana dari pemda atau pemerintah, maka tak jadi soal biar nggak terdaftrar”, jawab Mas Romo. “Kira-kira berapa ya jumlah LSM”, tanya Rudi lagi. “Wah banyak, bagai cendawan di musim hujan. Ada yang betulan banyak pula yang jadi-jadian. Daerah kita ini layaknya peternakan LSM. Tapi yang kau perlu ingat bahwa LSM itu bukan spektrum tunggal. Banyaknya LSM tidak sekaligus menjadi penanda dari kekuatan masyarakat sipil. Banyak juga LSM yang sebenarnya related government. Didirikan atau diinisasi oleh orang-orang di pemerintahan untuk pra syarat proyek tertentu”, terang Mas Romo. “Pantas saja ya ada LSM berkelahi dengan LSM lainya”, ujar Rudi. “Pasti itu, kan ideologinya macam-macam. Ada yang mengusung pembangunan mainstream, adapula yang membawa bendera pembangunan alternatif. Jelas pasti bertabrakan. Tapi tidak masalah ini adalah
  • 39. bagian dari dialektika. Konflik yang sehat justru melahirkan alternative pandangan baru yang lebih komprehensif”, terang Mas Romo. “Tapi banyak juga yang abu-abu, tidak jelas apa pandangannya tentang pembangunan. Pokoknya kanan kiri oke. Terkadang keras tapi pada waktu yang lain tak bersuara, diam saja malah bermesraan dengan yang bisa dikritiknya”, kata Rudi lagi. “Mereka paham bahwa dalam berbagai kesempatan, LSM bisa menjadi alat penekan. Bahasa salah kaprahnya advokasi. Main three in one, pukul tiga kali, tagih satu kali lalu selesai urusan. Tapi ya itulah setiap LSM dan orang didalamnya punya gaya main sendiri. Dan semua bisa mengaku LSM, sebab tidak ada badan sertifikasi, alat untuk mengetes mana LSM asli atau palsu juga tak ada”, ujar Mas Romo. “jadi menurut Mas Romo, LSM itu sebenarnya apa?”, tanya Rudi. Pertanyaan Rudi sebenarnya sulit sebab definisi LSM selalu saja beda-beda, tak ada standard yang pasti karenanya masing-masing bisa merumuskan sendiri termasuk kode etiknya. “Secara umum LSM adalah organisasi yang didirikan oleh baik perorangan atau kelompok yang tidak berkaitan dengan pemerintah. Para pendiri biasanya mempunyai kepedulian terhadap permasalahan tertentu dan ingin membantu mengatasinya dengan cara yang mereka yakini. Inilah yang disebut dengan mandat. Dan niat itu diwujudkan dalam serangkaian program atau aksi, baik yang bersifat ke dalam maupun ke luar yaitu pada kelompok atau lapangan yang menjadi titik perhatiannya. Dan semua itu didorong oleh keinginan untuk mendedikasikan semua sumberdayanya pada kepentingan bersama, kepentingan masyarakat banyak atau lebih khusus lagi kepentingan kemanusiaan”, terang Mas Romo panjang lebar. “Berat juga kalau begitu”, ujar Rudi. “Sebenarnya memang demikian kalau mau sungguh-sungguh”, pungkas Mas Romo. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 40. Lupa Diri Karena Memikirkan Diri Sendiri Kehidupan ini mengajarkan bahwa ada banyak jenis manusianya diatas permukaan bumi. Ada jenis manusia yang kita kehendaki tapi ada juga yang lebih suka kita singkiri. Andai kita seorang atasan tentu ingin punya pekerja yang jenisnya adalah manusia yang punya kemampuan sekaligus kemauan. Selalu kita dihantui oleh keinginan untuk hidup, bergaul dan berurusan dengan manusia yang ideal. Namun dalam kenyataannya sebagaian besar orang yang kita temui sehari-hari adalah orang yang tidak kita kehendaki, manusia-manusia bukan saja tidak ideal melainkan juga menjengkelkan. “Semakin banyak saja orang tak tahu diri. Parah mereka tidak tahu kalau diri mereka itu tidak tahu, ndak sadar diri”, gerutu Mas Romo. “Pagi-pagi kok sudah mengerutu to Mas Romo, tidak baik lho, nanti jauh dari rejeki. Tuhan tidak senang orang yang tidak mensyukuri hari baru”, kata Rudi yang mendengar gerutuan Mas Romo. “Bagaimana tidak jengkel, pagi tadi itu di jalan yang rusak sana, banyak lubang sedalam kuburan itu. Masih saja ada orang yang memacu motornya kayak di lintasan balap, gak mikir apa kalau kelakuannya itu bukan hanya membahayakan dirinya tapi juga orang lain. Banyak lho orang sengsara, cacat dan trauma gara-gara kecerobohan orang lain di jalanan”. “Oh, begitu ceritanya. Memang semakin banyak saja orang tak tahu diri berkeliaran di jalanan. Dan sayangnya yang lebih banyak menunjukkan perilaku tak tahu diri di jalanan justru anak-anak muda. Lebih sial lagi mereka menunjukkan perilaku tak tahu diri itu dengan memakai kendaraan yang dibelikan oleh orang tua dengan cara kreditan”, kata Rudi ikut-ikutan mengeluh. “Tahu nggak tadi pagi saya lewat depan Polsekta, seperti sedang ada bazaar motor bekas. Penuh itu halaman dengan motor hasil tangkapan. Rupanya polisi juga mulai pusing dengan manusia tak tahu diri yang menjadikan jalan sebagai arena balapan”, kata Mas Romo memberi informasi. “Psst ..tapi polisi juga sering tak tahu diri juga kan Mas Romo, membiarkan pelanggar lewat setelah setuju dengan ayat 100 atau 200. Maksudnya seratus atau dua ratus ribu”. “Semakin banyaknya orang yang tak tahu diri merupakan tanda awas, alert alias lampu merah. Ini menunjukkan bahwa modal sosial kita makin lemah, orang cenderung mementingkan urusan dan keperluan dirinya sendiri. Kehilangan perspektif bahwa apa yang dilakukan olehnya bisa mencelakai orang lain”, ujar Mas Romo. “Dalam teori peradaban, bisa menjadi pertanda bahwa kita tengah berada di pinggir jurang batas ketidakmanusiawian. Kita justru kehilangan diri ketika hanya memikirkan diri sendiri, kita melawan adab dan takdir bahwa kita mengada atau berada untuk bersama orang lain”, sambung Rudi bernada filosofis. “Saya masih bisa menerima jika yang lupa diri adalah anak-anak muda, mereka masih bisa diperbaiki, diarahkan ke jalan yang benar. Terkadang mereka memang terjebak dalam euforia tertentu yang sejenak membuat mereka lupa diri. Tapi yang justru mengkhawatirkan adalah apabila para petinggi, pelaksana pemerintahan di negeri ini yang lupa diri”, ujar Mas Romo. “Maksud Mas Romo apa nih?”.
  • 41. “Bukankah kita bisa melihat parade kelakuan mereka yang tak tahu diri itu, lupa diri saat memegang kedudukan. Sebagai anggota legislatif misalnya, mereka adalah wakil rakyat. Tapi coba lihat kelakuan mereka, memutuskan sesuatu tanpa mendengar suara rakyat yang mereka wakili. Bahkan tega-teganya menilep uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Contoh yang paling hina dan nista adalah kasus anggota dewan yang mengkorupsi dana bantuan sosial (Bansos)”, terang Mas Romo. “Para pemimpin yang dipilih dengan suara rakyat. Sebelum terpilih berlagak bagai pengemis, memohon- mohon dukungan masyarakat. Setelah itu mau ditemui saja sulitnya setengah mati. Jauh lebih sulit menemui mereka daripada menemui Tuhan”. “Iya, ya padahal mereka kan mengatakan diri sebagai abdi rakyat. Tapi kok malah sering bikin rakyat susah, kerap menyalahkan rakyat apabila ada program yang tidak berhasil. Mungkin begitu terpilih mereka melihat wajah kita ini seperti kambing hitam”, ujar Rudi. “Karena lupa diri sudah menjadi wabah, maka tugas kita yang masih sadar diri untuk terus mengingatkan. Terutama kepada mereka yang tidak mengerti bahwa dirinya lupa diri. Jadi jangan lelah untuk terus bersuara, meski suara kita seperti tertelan gelombang atau menghantam tembok tebal. Sebab kalau tidak maka benar kita akan memasuki jaman edan, jaman kebolak-balik. Akhir dari peradaban bangsa yang sering merasa diri sebagai bangsa berahklak mulia ini”. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 42. O Orang Terhormat Dengan Otak Palsu Dalam dunia olahraga, turnamen, kompetisi atau pertandingan biasa berlangsung ketat, penuh persaingan dan menguras emosi. Dengan demikian kekerasan, kecurangan atau kelicikan sangat mungkin terjadi entah direncanakan atau terjadi begitu saja. Oleh karenanya fairplay, sportivitas menjadi ukuran penanda untuk menakar apakah seorang olahragawan (pribadi, klub dan kontingen) berkualitas dunia atau berkelas kampungan alias pecundang. Mereka akan dihargai dan diakui bukan hanya karena kemenangan, melainkan karena tekun bekerja keras, bertanding dengan penuh semangat dan berlaku sebagai “orang terhormat” baik di dalam maupun di luar lapangan. Pada pertandingan sepakbola kita kerap menyaksikan dua klub yang bertanding layaknya bertempur. Mereka bukan hanya berlari kesana kemari membawa dan mengejar bola, melainkan juga menendang dan menanduk lawan, saling sikut, lawan dijegal hingga terjungkal. Bukan sekali dua kali pemain mengerang sambil memegang erat tulang kering karena kesakitan. Tapi usai wasit meniup peluit panjang diakhir pertandingan, kedua tim saling berjabat tangan, berpelukan dan bertukar kaos yang jelas-jelas berbau keringat. Semua sadar di akhir pertandingan selalu ada yang kalah dan menang. “Tentu saja itu bukan pertandingan sepakbola di Indonesia, dimana ada beberapa pertandingan hanya disaksikan polisi tanpa penonton. Sepakbola kita sering lebih mirip pertunjukan pencak silat atau demonstrasi yang berakhir dengan bakar-bakar ban”, kata Mas Romo. “Menurut saya fairplay bukan hanya perlu di bidang sport, melainkan dalam semua hal. Dan nampaknya karena rendahnya fairplay atau sportivitas itulah yang membuat bangsa ini tidak bangkit-bangkit dari keterpurukan, meskipun kita punya slogan probangkit misalnya”, sahut Juned. “Betul, bahkan yang paling menyedihkan perilaku tidak sportif bahkan menjangkit ke dunia akademis, dunia pendidikan kita”, sambung Sabri, “Contohnya baru-baru ini seorang teman, awardingnya dicabut gara-gara intrik atas dasar ketidaksenangan ‘kolega’ lainnya”. “Kok bisa ya, padahal dalam dunia akademis kan ukurannya kapasitas dan kompetensi. Kelayakan seseorang diukur lewat tes atau ujian. Bukan senang atau tidak senang atas dasar nafsu primitive yang membedakan orang kita dan bukan orang kita. Kalau yang boleh maju, boleh pintar hanya orang yang se-agama dengan kita, se-suku dengan kita, se-angkatan dengan kita, bakal jadi apa negeri ini coba?”, keluh Juned. “Itulah yang disebut dengan bias birokrasi. Organ atau struktur yang seharusnya mempermudah atau memperlancar urusan malah sering berlaku sebaliknya. Nah tidak ada sector kehidupan di negeri ini yang lepas dari birokrasi yang sayangnya lebih berwatak menindas daripada melayani”, kata Mas Romo. “Struktur ini kerap menandai orang atau kelompok tertentu yang dipandang kritis, menyerang atau meragukannya. Dan siapa yang berani melakukan itu bakal dihambat kepentingannya apabila memerlukan tangan birokrasi untuk mencapainya”. “Iya, ingat jaman petisi 30 dulu. Seorang pembantu rektor dari universitas swasta ternama bisa terpental dari kedudukannya gara-gara ikut menandatangani nota peringatan untuk Presiden Suharto. Meskipun
  • 43. bekerja di institusi swasta, toh tangan birokrasi mampu memaksa institusi itu menendang keluar dari lingkungannya”, sambung Juned. “Sungguh memprihatinkan andai benar bahwa “politicking” sudah merasuk dalam dunia pendidikan, dunia akademis yang menekankan obyektifitas dan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, ahklak serta moralitas. Apa artinya pencapaian jika itu dicapai dengan otak palsu, kotor karena dipenuhi oleh prasangka dan dorongan primitive untuk membunuh “orang lain” yang ingin dan memenuhi syarat untuk berkembang, mekar dan hendak mendedikasikan dirinya untuk kemajuan generasi mendatang”, tanya Mas Romo penuh kegalauan. Usai sudah harapan bahwa pendidikan mampu membebaskan bangsa dari keterpurukan andai “selera” masih menguasai hingga menjelma menjadi “birokrasi pengetahuan”. Mesin birokrasi yang dijalankan oleh otak-otak palsu menyebabkan kegagalan dalam menata hubungan, system dan aksi serta wacana dalam membangun sumberdaya manusia. Padahal pendidikan adalah pembebasan dari belenggu nafsu- nafsi primitive untuk membangun peluang kehidupan yang semakin demokratis, terbuka agar kehidupan bersama samakin baik tertata. “Tanpa pencapaian tujuan itu, maka tak lebih kita bagaikan pelari yang melaju kencang tanpa tujuan, masuk dalam pusaran lingkaran setan”, pungkas Mas Romo. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 44. M Macet, Update Status Saja Kemacetan tak lagi milik kota-kota metropolitan macam Jakarta, Bandung, Surabaya atau Medan. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang kini gampang diperoleh lewat kredit membuat kota- kota seluruh Indonesia terancam kemacetan terutama pada jam-jam tertentu. Fenomena bottle neck ditemui dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota. Jalan menjadi penuh karena kendaraan dari berbagai jurusan bertemu di satu jalur. “Lihat saja di jalur ini”, ujar Mas Romo menunjuk jalur jalan di tepian Sungai Mahakam. “Pada jam-jam tertentu kendaraan menyemut, beriringan panjang merayap seperti ular kekenyangan”. Sambil menyedot kretek kesayangannya, Mas Romo menyatakan bahwa semua berebutan menyeberangi jembatan Mahakam yang panjang tapi sempit. “Jalanan ini menjadi cermin soal siapa kita. Berada di atas jalan ini dengan mudah kita melihat orang-orang yang mau menang sendiri, memacu kendaraannya tak peduli keselamatan orang lain, seolah-olah jalan hanya menjadi miliknya sendiri”, ungkap Mas Romo. Dino mengamini apa yang dikatakan Mas Romo. Bukan satu dua kali dirinya hampir terkena serangan jantung di jalanan. Motor tiba-tiba nyelonong dari sebelah kiri, berbelok tanpa memberi tanda, muncul dari gang dengan gagah berani dan mengobral klakson meski tahu kalau bunyinya tak bakal mengerakkan rangkaian kendaraan didepannya. “Jalanan kita sekarang ini memang ruang pertunjukkan orang-orang yang tak sayang nyawanya sendiri”, kata Dino mengomentari ungkapan Mas Romo. “Banyak orang sebenarnya selamat bukan karena ketrampilannya berkendara, melainkan karena beruntung saja”, sambung Ahmad yang beberapa bulan lalu patah tangannya karena diseruduk anak- anak SMA yang kebut-kebutan. “Hati-hati di jalanan bukan jaminan keselamatan, sebab banyak pengendara lainnya yang berkendara dengan serampangan. Bertemu dengan mereka bisa membuat kita celaka. Ini buktinya”, lanjut Ahmad sambil menunjukkan bekas luka di pergelangan tangannya. Jalan memang ruang pertemuan, ada berbagai kepentingan memperebutkan ruang sempitnya. Dan tidak semua menghendaki kelancaran. Sebab tak sedikit pula yang bersyukur apabila jalanan macet, padat merayap. Kumpulan orang yang frustasi di jalanan, tersenggat matahari atau terguyur hujan adalah rejeki alias peluang untuk menghasilkan uang. Pengemis, pengamen, penjual asongan, pencari sumbangan dan marketer lainnya tentu girang kalau jalanan penuh. “Perempatan jalan, tempat lampu lalulintas berada adalah tempat favorit mereka mengais rejeki. Semakin lama berhenti semakin baik, sehingga koran yang dijajakan bakal cepat habis, itu doa anak-anak penjual koran”, ujar Mas Romo yang kerap menemui anak-anak kecil terkantuk-kantuk dengan koran di dadanya hingga larut malam. “Lalu bagaimana kita bisa mengurai kemacetan?”, tanya Ahmad pada Mas Romo. “Pertama ini memang soal infrastruktur, ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan kendaraan dengan pertumbuhan jalan baru. Jalan yang ada tidak lagi cukup menampung populasi kendaraan
  • 45. apabila secara bersamaan kendaraan-kendaraan ini berada di jalanan”, kata Mas Romo. “Tapi pada sisi lain juga soal perilaku pembangunan, jalan yang dibangun tidak dipelihara secara rutin sehingga banyak lubang disana sini yang membuat pengendara tidak lancar menelusurinya. Itu masih diperparah lagi dengan banyaknya kendaraan yang diparkir di kanan kiri jalan tanpa perasaan. Banyak orang tak punya garasi tapi ngotot membeli mobil”, lanjut Mas Romo. “Betul Mas Romo, badan jalan sering dianggap sebagai tempat penitipan kendaraan. Tapi soal kemacetan juga terkait dengan budaya atau perilaku kita berkendaraan. Tidak mau mengalah, mau menang sendiri kerap membuat jalanan jadi stuck, terkunci tak bisa maju juga tak bisa mundur”, kata Dino menyumbangkan pikirannya. “Kalau begitu, benar dong kita perlu jalan TOL. Tapi kok saat pemerintah berinisiatif membangun jalan TOL banyak yang ribut tak setuju?”, kata Ahmad memberi kesimpulan. “Wah, itu soal lain Mad. Tidak ada hubungan antara kemacetan jalanan dan rencana pembangunan TOL. TOL yang direncanakan bukan untuk mengatasi kemacetan, melainkan agar kekayaan bumi, sumberdaya alam kita lebih mudah dan cepat dibawa lari keluar”, sahut Dino dengan cepat. “TOL mungkin memang perlu, sebab ada yang berpikir kurang afdol kalau kota besar tidak mempunyai TOL. Tapi jalan TOL bukanlah jalan yang dibangun oleh pemerintah, melainkan investasi swasta. Jadi pemerintah tak perlu memaksa, andai tidak ada investor yang berminat membangunnya maka itu pertanda bahwa TOL belum diperlukan”, sambung Mas Romo menambah keterangan Dino. “Oh, gitu to Mas Romo. Lalu kapan kemacetan ini akan berakhir”, tanya Ahmad lagi. “Jujur saja kalau soal itu saya tak tahu. Kalau saya sih lebih baik kita membiasakan diri dengan kemacetan, kalau perlu menikmatinya sebab persoalan ini masih lama pemecahannya”, jawab Mas Romo. “Makanya Mad, kalau di jalanan bekali dirimu dengan Smartphone. Jadi kalau terjebak macet, kita masih tetap bisa browsing atau update status”, sambung Dino. “Macet lagi..macet lageeee ... padahal si Komo gak lewat lho ....” sent by smartphone kreditan, powered by provider yang lemoot mlulu. Begitu update status di dinding facebook Ahmad beberapa hari kemudian. @yustinus_esha Sociocultural Networker’s
  • 46. Marah Saja Kalau Tak Sayang Pulsa Kasak-kusuk di grup BBM teman seangkatan, disebutkan bahwa Karto kini telah menjadi orang sukses. Penampilannya mentereng, jauh melampaui tampilan saat kuliah dulu. Doni yang pernah bertemu dengannya mengatakan “Baunya wangi melebihi Ibu Bupati, kemana-mana disopiri. Tajir abis”. Tentu saja tidak ada yang menyangka bahwa Karto bakal sesukses itu. Penampilannya saat kuliah dulu tidak ada lebih-lebihnya, bahkan cenderung minus. Tapi toh memang nasib berada di tangan Tuhan, kalau sudah digariskan, hitung-hitungan matematis dan logika menjadi tidak berlaku. Bukankah banyak orang dengan potensi luar biasa, kecerdasan diatas rata-rata namun berakhir dengan tidak menjadi apa- apa. Mas Romo yang merupakan tokoh yang dituakan teman-teman satu angkatan terkaget saat dihubungi oleh Karto. Lewat perbincangan di telepon, Karto mengabarkan hendak berkunjung ke rumah Mas Romo. “Saya sudah rindu Mas Romo dan ingin bertukar cerita serta meminta pencerahan”, begitu ujar Karto dari seberang sana. Tanpa pikir panjang Mas Romo menyahut “Datang saja Kar, aku juga pingin ketemu kamu. Aku tunggu ya, tapi jangan lupa oleh-olehnya”. Beberapa hari kemudian Karto datang ke rumah Mas Romo dengan mengendarai mobil sedan tipe terbaru dari sebuah produk ternama di Eropa. Kali ini Karto datang sendiri tanpa di temani sopirnya. Mas Romo yang menyambut di depan rumah berdecak kagum melihat tongkrongan Karto. Saat menyambut Karto dengan pelukan hangat, Mas Romo mengatakan “Luar biasa kamu, lama tak ada kabar, tiba-tiba muncul sebagai orang sukses”. “Ah, biasa saja Mas Romo, asal kita jeli dan pintar melihat peluang, hal-hal yang nampaknya sepele bisa jadi uang di negeri ini”, sahut Karto enteng. “Saya ini hanya mengambil sedikit uang dari orang-orang yang jengkel dan marah-marah”, lanjutnya. Mas Romo tentu saja penasaran dengan jawaban Karto. “Mengambil uang dari orang yang jengkel dan marah, kok bisa sih Kar”, tanya Mas Romo tak habis pikir. Karto kemudian menceritakan bisnisnya. Bisnis SMS premium yang sengaja menyebar berita-berita bohong, seperti pemberitahuan bahwa seseorang telah menerima undian atau hadiah juga SMS-SMS yang berisi permintaan untuk mentransfer pulsa karena sang pengirim sedang kena masalah. Mendengar penjelasan Karto, Mas Romo ternyata masih belum paham juga bagaimana SMS-SMS itu bisa menghasilkan uang. “Aku tahu yang kamu ceritakan itu, sebab kadang-kadang di HP saya ini nyasar juga permintaan pulsa dari Alex, Papa, Mama, Tante dan lain sebagainya. Tapi bagaimana itu bisa membuat kamu kaya?”, tanya Mas Romo semakin penasaran. “Begini Mas Romo, siapapun yang membalas SMS yang dikirim melalui server SMS centre kami bakal dikenai tarif premium, Rp. 2000 per SMS. Nah, mereka yang berulang menerima SMS pemberitahuan omong kosong itu biasanya sudah jengkel setengah mati”, jawab Karto. “Saking jengkelnya mereka