1. Lelaki di Usia Senja
Oleh : Agung Budi Santoso
Secangkir kopi itu diambilnya dan ditaruh di samping laptop. Lalu lelaki tua itu
melanjutkan aktivitasnya mengetik di atas keyboard QWERTY. Sudah banyak, bahkan
ratusan artikel dan cerpen yang ia tuliskan di dalam laptopnya. Namun tak satu pun
tulisannya ia kirimkan ke penerbit atau surat kabar. Entahlah, si lelaki tua itu
menganggap kegiatan tulis menulis hanyalah kegiatan iseng di masa-masa pensiun. Ia
tetap bersahaja didampingi istrinya yang juga sudah tidak muda lagi.
Lelaki tua itu memiliki dua cucu dari putri pertamanya. Dan satu cucu dari putera kedua.
Sedang dari putri bungsunya ia belum mendapatkan cucu, karena si bungsu masih kuliah
di semester akhir di sebuah PTN Yogyakarta.
Kakek tua itu sangat sayang dengan cucunya. Adit seorang cucu dari putri pertamanya
kadang selalu menemani kakeknya menulis ketika hari libur. Manakala kakeknya tidak
ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan cucunya, maka sang kakek pun tak kurang
akal. Diberinya teka-teki atau puzzle yang lumayan susah kepada sang cucu. Dan sang
kakek pun melanjutkan kembali aktivitasnya menulis di atas keyboard.
Pada suatu hari Adit penasaran kepada kakeknya, karena melihat kakeknya tak pernah
bosan menatap layar LCD dan papan QWERTY.
“Kek, kenapa sih kakek suka nulis di laptop tapi tulisannya gak pernah muncul di koran,
” tanya Adit.
2. “Ya, karena kakek gak ingin terkenal. Cukup anggota keluarga saja yang tahu kalau
kakek gemar menulis,” balas sang kakek.
“Hmmm….kalau gitu apa enaknya, Kek. Capek-capek nulis gak dapat duit. Habis gitu
tulisannya cuma dibaca oleh anggota keluarga saja.”
“Kamu belum saatnya untuk tahu tentang kegiatan kakek. Suatu ketika kamu akan
memahaminya jika sudah dewasa,” jawab sang kakek mengakhiri pertanyaan Adit.
***
Pada hari Minggu tepatnya minggu ketiga di bulan April, Adit yang secara tak sengaja
membuka laptop sang kakek menemukan tulisan yang aneh. Adit heran dan kaget. Masak
sih kakeknya jatuh cinta lagi. Padahal dia sudah memiliki tiga cucu. Dan dengan
neneknya pun tak pernah ada ribut-ribut. Adit membaca sebuah cerpen karangan
kakeknya yang berjudul “Cintaku di kampus biru”. Kalau dibaca secara sekilas memang
cerpen itu mengisahkan kisah percintaan antara sepasang mahasiswa dan mahasiswi yang
sedang dimabuk cinta.
Baru saja membaca di aliea kelima tiba-tiba Adit ditegur oleh kakeknya.
“Hayo, kamu mengintip tulisan kakek, ya.”
“Ah, enggak kok, kek. Adit cuma baca-baca doang.”
“Sama saja, itu namanya mengintip kalau baca tulisan orang di laptop tanpa ijin.”
“Ya, maaf deh, kek. Habis salah sendiri kakek menulis di laptop gak di password.”
3. “Ya, sudahlah. Gak mengapa. Kamu pengin bisa nulis cerpen seperti kakek,” tanya sang
kakek kepada cucunya.
Adit terdiam. Dia belum bisa menjawab ya atau tidak. Karena dia masih suka bermain-
main dan lebih suka baca komik ketimbang harus belajar nulis cerpen. Namun rasa
penasaran Adit tak hilang begitu saja. Lantas ia mengajukan pertanyaan kepada kakeknya
mengapa menulis cerpen kisah percintaan padahal usia kakeknya sudah lumayan senja.
Kakeknya pun menjawab dengan penuh kesabaran.
“Adit, di dalam menulis itu kakek menemukan kebebasan berekspresi. Dan kisah yang
ada di cerpen itu sebenarnya kakek hendak mengenang kembali kisah jadul ketika kakek
pertama kali bertemu dengan nenek. Walau tokoh dan setting lokasi dibuat berbeda tapi
kakek ingin mengenang kisah romantis kakek bersama nenek ketika masih muda.”
“Oh, gitu ya …kek,” Adit mengangguk sebagai pertanda puas dengan jawaban kakek.
“Yah, begitulah. Dan kalau tulisan ini dibaca oleh nenek, ia pasti akan tersenyum geli
mengenang kisah romantis jaman jadul.”
***
Kakeknya Adit memang terkenal sebagai perokok aktif dan doyan minum kopi sebagai
teman begadang ketika ia harus menulis artikel atau cerpen hingga larut malam. Cukup
banyak bekas batang rokok yang tertumpuk di atas asbak. Terkadang Adit mengambilnya
dan dibuang ke tempat sampah. Adit tak berani menegur kakeknya yang memang
tergolong perokok berat.
4. Hingga suatu sore sang kakek merasa agak sesak pernapasannya dan jatuh pingsan. Adit
yang nampak panik segera memanggil neneknya. Dan ketika neneknya melihat sang
kakek pingsan, ia lantas menelpon anaknya yang sulung untuk sekedar mengantarkan
berobat ke rumah sakit. Dan sesampai di rumah sakit, sang dokter hanya dapat berpesan
bahwa sang kakek diminta untuk mengurangi rokok dan minum kopi. Sempat satu
minggu kakek Adit dirawat di rumah sakit. Dan sebagai cucu kesayangan kakek, Adit
nampaknya tidak ragu mendampingi kakeknya hingga sembuh dan pulang ke rumah
kembali.
Semenjak kejadian pingsan dan harus opname di rumah sakit sang kakek nampaknya
benar-benar mematuhi anjuran dokter. Dia sudah mulai mengurangi rokok dan sedikit
minum kopi. Namun untuk aktivitas tulis menulis nampaknya tetap berlanjut. Dan ini
kadang membuat kakek Adit selalu tidur hingga larut malam. Jika Adit merasa bosan
menemani kakeknya menulis di atas laptop, ia malah sudah tidur duluan. Namun Adit
merasa bangga bisa menemani kakeknya menulis, karena ia pun dapat bertanya kepada
kakeknya tentang pelajaran sekolah ketika mendapatkan PR yang harus dikumpulkan di
esok hari.
Ayah Adit pun heran. Mengapa ia justru lebih dekat dengan kakeknya ketimbang dengan
ayahnya. Mungkin Adit merasa ayah Adit jarang ada di rumah. Sebab ayah Adit sering
dinas ke luar kota.
***
5. Hingga menjelang ulang tahun Adit merasa mendapatkan surprise dari kakeknya. Ia
diberi kado berupa cerpen dengan judul “Cucuku seorang pembelajar”. Ketika perayaan
ulang tahun yang ke-12 kado cerpen itu diberikan oleh kakek di sebuah kolam pancing
keluarga di hari Minggu. Sambil menikmati gurami bakar Adit tak bosan-bosannya
membaca cerpen kakeknya itu. Dan ini lain dari yang biasa. Adit biasanya sangat gemar
baca komik. Tapi baru kali ini ia mau membaca sebuah cerpen. Hingga suatu hari kakek
Adit terkejut mendengar perkataan dari cucunya.
“Kek, Adit mau jadi penulis.”
Tanpa terucap sepatah kata. Sang kakek hanya tersenyum kagum. Ia telah berhasil
menanamkan kebebasan berekspresi kepada cucunya. Kebebasan berekspresi di dalam
bentuk tulisan di usianya yang telah menginjak 12 tahun.
***
6. Hingga menjelang ulang tahun Adit merasa mendapatkan surprise dari kakeknya. Ia
diberi kado berupa cerpen dengan judul “Cucuku seorang pembelajar”. Ketika perayaan
ulang tahun yang ke-12 kado cerpen itu diberikan oleh kakek di sebuah kolam pancing
keluarga di hari Minggu. Sambil menikmati gurami bakar Adit tak bosan-bosannya
membaca cerpen kakeknya itu. Dan ini lain dari yang biasa. Adit biasanya sangat gemar
baca komik. Tapi baru kali ini ia mau membaca sebuah cerpen. Hingga suatu hari kakek
Adit terkejut mendengar perkataan dari cucunya.
“Kek, Adit mau jadi penulis.”
Tanpa terucap sepatah kata. Sang kakek hanya tersenyum kagum. Ia telah berhasil
menanamkan kebebasan berekspresi kepada cucunya. Kebebasan berekspresi di dalam
bentuk tulisan di usianya yang telah menginjak 12 tahun.
***