SlideShare a Scribd company logo
1
KEBIJAKAN TAK BERBASIS BUDAYA BAHARI
Pembangunan Tanggul Mempercepat Kepunahan Perahu Sandeq
Muhammad Ridwan Alimuddin, pemerhati kemaritiman Mandar. Disampaikan dalam Dialog Sejarah
dan Budaya: Relevansi Sejarah dan Budaya Bagi Pembangunan di Sulawesi Barat, Majene 22 April 2019
Pengantar
Sepertinya sejak awal memang tak diselimuti wawasan kemaritiman. Buktinya, undang-undang
pembentukan Provinsi Sulawesi Barat hanya mencantumkan “d. sebelah barat berbatasan dengan
Selat Makassar dan Kabupaten Pasir Provinsi Kalimantan Timur” (Pasal 5 UU No. 26 Tahun
2004). Pejuang pembentukan provinsi ini „lupa‟ (tak tahu?) bahwa ada Pulau Lere-lerekang,
Pulau Lumu-lumu dan Kepulauan Bala-balakang di Selat Makassar. Dampaknya, Pulau Lere-
lerekang (atau Lari-lariang) lepas, entah Pulau Lumu-lumu, dan penduduk di Kepulauan Bala-
balakang lebih merasa sebagai orang Kalimantan Timur dibanding Sulawesi Barat.
Tulisan ini mencoba memperlihatkan kebijakan pembangunan di Provinsi Sulawesi Barat yang
tak dihidupkan oleh semangat atau wawasan kemaritiman oleh pihak terkait. Itu tercermin dalam
jor-joran pembangunan tanggul di sepanjang pesisir Teluk Mandar.
Pembangunan Tanggul Semena-mena
Sepanjang Maret – April 2016 tiap hari truk berseliweran di jalan dan lorong Desa Pambusuang.
Datang silih berganti membawa kerukan tanah dari Palippis sejauh 4 km. Truk disambut hangat
eskavator: truk „memuntahkan‟ tanah dari pundaknya, lengan besi kuning membantu
memindahkan tanah-tanah itu ke pantai yang telah dikeruk. Itulah bagian aktivitas pembangunan
tanggul di pantai Pambusuang, Kecamatan Balanipa, dilaksanakan PT Tiga Bintang Griyasarana
atas pembiayaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal
Sumberdaya Air Balai Wilayah Sungai Sulawesi III. Nilanya Rp 20.281.000.000,-
Pambusuang kuno mencakup empat desa. Dari Barat ke Timur dalam radius kurang tiga
kilometer sambung menyambung Desa Galung Tulu, Sabang Subik, Pambusuang, dan Bala.
Kampung-kampung inilah kampung terakhir di Mandar yang masih memiliki sandeq asli yang
berukuran delapan meter ke atas. Miris, sebagian besar pantai di kawasan ini telah ditanggul.
Nyaris sama dengan yang terjadi di sisi baratnya dari Tammangalle, Karama hingga Tangnga-
tangnga. Tanggul „memanjakan‟ mata. Apakah tanggul berperan dalam mempercepat kepunahan
perahu sandeq?
Perahu Sandeq, Perahu Kebanggaan
Dulu, sebelum tahun 80-an, ada ratusan perahu sandeq, dari pesisir Teluk Mandar hingga ke
kampung-kampung nelayan di Majene yang menghadap langsung ke Selat Makassar. Sekarang,
jumlah sandeq bisa dihitung jari. Pun itu hanya ada di Pambusuang. Coba cari, masih adakah
2
sandeq di Polewali dan di Majene yang sehari-hari nelayan setempat menggunakannya
menangkap ikan?
Sandeq, perahu bercadik khas Mandar, warisan Suku Austronesia. Ada beberapa jenis perahu di
Mandar, tapi yang dibanggakan masyarakat Mandar (baca: Sulawesi Barat) dewasa ini hanya
sandeq. Itu tercerminkan dari diabadikannya gambar sandeq di lambang Provinsi Sulawesi Barat
dan Kabupaten Polewali Mandar. Adapun Kabupaten Majene, yang lebih dulu ada dibanding
Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Polewali Mandar (sebelumnya Kabupaten Polewali
Mamasa) menggunakan perahu jenis olanmesa, perahu lebih tua. Kesamaannya, sama-sama
perahu bercadik. Sebab jadi lambang pemerintahan, gambar perahu sandeq terpampang di mana-
mana, dari kantor pemerintah, lambang di baju dinas, aset-aset pemerintah (misal kendaraan
dinas), dan publikasi acara pemerintahan. Belum lagi yang digunakan masyarakat umum, dari
nama klub sepakbola hingga poster lomba perahu sandeq “Sandeq Race”.
Sepertinya perahu sandeq adalah perahu dari Nusantara yang paling sering digunakan
berekspedisi. Baik keliling Indonesia maupun ke luar negeri. Maupun dalam rangka menghadiri
even-even kemaritiman di luar negeri. Pertengahan dekade tahun 90-an sandeq berkeliling ke
beberapa negara ASEAN: Indonesia - Malaysia - Brunai - Singapura. Tak selisih lama, sandeq
dari Rangas beserta pelautnya dibawa ke Prancis (dikirim lewat kapal laut) untuk kemudian
dipamerkan beberapa bulan di salah satu museum terkenal di Prancis. Tahun 2013 kembali
sandeq ke Prancis. Kali ini tiga unit dengan pelaut Mandar lebih banyak dan membanggakan,
sebab dilayarkan di Selat Brest yang jadi bagian dari Samudera Atlantik. Sepertinya perahu
sandeq adalah satu-satunya perahu dari Asia yang pernah berlayar di sana di zaman modern.
Perahu sandeq juga digunakan berekspedisi oleh orang luar negeri. Pernah ke Thailand oleh
orang Prancis (1997), ke Jepang oleh orang Jepang (jenis pakur yang mirip sandeq, 2009 - 2011),
dan ke Australia (2011) oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin. Kesimpulannya, meski
dibanding perahu legendaris dari Sulawesi Selatan, sepertinya sandeq lebih banyak digunakan
dalam pelayaran-pelayaran napak tilas dan pameran. Tak dipungkiri, sandeq adalah perahu
kebanggaan masyarakat dan pemerintah Sulawesi Barat.
Ironisnya, itu sebatas kebanggaan! Mari kembali ke Maret 2016, ketika pantai tempat sandeq
terakhir di Mandar dimusnahkan, diganti dengan tembok laut. Sekilas, pembangunan itu
bertujuan melindungi masyarakat dari ombak besar. Betulkah demikian? Apakah tidak ada cara
lain? Kenapa tidak belajar dari sejarah yang terjadi di pantai-pantai Majene?
Perlukah Tanggul Beton?
Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu bentuk bencana yang sering menyita perhatian adalah
abrasi pantai. Abrasi pantai bisa ditemukan di banyak kampung nelayan. Khusus di pesisir Teluk
Mandar, lebih tepatnya dari Campalagian sampai Majene, yang parah abrasinya ialah di timur
muara Sungai Mandar. Yakni Desa Tangnga-tangnga dan Desa Karama (khususnya Dusun
Manjopaiq) untuk Kecamatan Tinambung, dan beberapa titik di antara Desa Galung Tulu sampai
Desa Bala Kecamatan Balanipa untuk Kecamatan Balanipa.
Sepertinya, pemerintah punya cara “gampang” untuk mengatasi abrasi: bangun saja tanggul
beton di sepanjang garis pantai yang kena atau berpotensi abrasi itu. Maka dibangunlah tanggul
3
beton yang mengular di Desa Tangnga-tangnga, Dusun Manjopaiq Karama, Desa Galung Tulu.
Belakangan itu juga diaplikasikan di Desa Pambusuang dan Desa Sabang Subik. Kabarnya ada
beberapa instansi yang mendanai pembangunan tanggul. Mungkin itu sebab, tanggul-tanggul
beton yang dibangun itu beda konstruksinya, misalnya yang ada di Tangnga-tangnga dengan
yang ada di Karama, lalu beda lagi yang ada di Desa Galung Tulu. Yang dibangun di Desa
Pambusuang dan Sabang Subik kemungkinan besar sama desainnya dengan yang ada di Desa
Tangnga-tangnga, sebagaimana yang disampaikan perwakilan „pamborong‟ yang membangun
tanggul di Pambusuang, “Desain kami sama di Polewali dan yang ada di Tangnga-tangnga.”
Sekilas, pembangunan tanggul beton itu sebuah kemajuan. Simbol modernitas, kekokohan,
rumah yang ada dibaliknya akan aman. Sip memang. Tapi apakah sesederhana itu?
Alasan Menolak Tanggul
Tanggul beton adalah salah satu teknologi hasil rekayasa manusia. Tujuannya macam-macam,
bisa untuk pelabuhan, kawasan komersil, perkantoran dan melindungi pemukiman. Tanggul
beton berfungsi mempertahankan kondisi tanah meski dihempas ombak. Kekuatan beton relatif,
tergantung kelas semen dan komposisi campurannya.
Meski tanggul beton yang kuat terbukti ampuh memberi perlindungan, tapi tak serta merta
teknologi tersebut cocok untuk di semua tempat. Penentuannya harus mempertahankan banyak
parameter di lokasi bersangkutan, baik itu kondisi fisik laut, geografis, populasi, lingkungan, dan
kebudayaan setempat. Memperhatikan paramater atau faktor tersebut, maka desain konstruksi
tanggul beton tidak semuanya cocok digunakan untuk melindungi kampung nelayan di pesisir
Teluk Mandar.
Ambil kasus di Dusun Manjopaiq Desa Karama Kecamatan Tinambung. Kurang lebih empat
tahun lalu, saya datang meliput ke Manjopaiq, saat ombak besar menyebabkan abrasi dan
membuat beberapa rumah roboh. Kemudian dipasangi tanggul. Saya tanya orang di situ, "Ya,
sekarang belum aman betul sebab di luar belum ada pemecah ombak dan tanggul ini belum teruji
kekuatannya. Waktu saya ikut kerja menggali, cuma disuruh kedalaman pondasi sampai perut,
jadi tahu sendiri kekuatannya," kata penduduk di Manjopaiq.
Tanggul beton berpotensi menjadi bom waktu. Sebagaimana pembangunan tanggul beton di
Desa Tangnga-tangnga, yang sempat terhenti karena ada sekelompok masyarakat yang
dirugikan. Sampai bawa-bawa parang. Mereka adalah nelayan yang biasa mendaratkan (Bahasa
Mandar-nya “mambuaq”) di daratan, beberapa meter dari garis pantai (jika sedang dicet,
diperbaiki atau lama tak digunakan). Setelah ada proses mediasi, pembangunan berlanjut. Meski
demikian, itu tak menyelesaikan persoalan.
Saat bertandang ke Desa Tangnga-tangnga, di sekitar dermaga, beberapa nelayan sedang
memperbaiki perahunya. “Sekarang perahu salah model posisi parkirnya, tidak mengahadap lagi
ke laut. Kita sesuaikan kondisi. Ini sekarang masih longgar, tapi kalau naik semua kapal, itu tak
muat. Juga repot, kalau kapal yang duluan masuk tapi ketika mau keluar ada kapal lain di situ,
kan susah. Ini masih bisa didorong perahu lewat bagian yang tidak tertanggul ini. Katanya ini
belum ditanggul karena anggarannya habis, tapi kalau ini ditanggul juga repotmi nanti itu,” kata
salah satu kru kapal Permata.
4
Tambahnya, “Ya, kita dikorbankan. Tapi mau bagaimana, yang kita lawan penguasa. Kita sih
tidak larang tanggul, tapi tanggulnya yang jauh di luar. Rumah aman, kapal juga leluasa keluar
masuk dan tetap bisa simpan di atas daratan dengan gampang.”
Hal senda disampaikan punggawa kapal Duta Merlin dari Desa Karama. “Dulu waktu saya masih
kecil, di belakang rumah saya ini adalah garis pantai. Kita buang air di sini. Kemudian awal
tahun 90-an, S. Mengga bangun tanggul kayu itu di luar sana. Sekarang, garis pantai bertambah
hampir 50 meter. Kalau tanggul di luar itu menumbuhkan pasir. Beda kalau tanggul beton. Jadi
sewaktu ada papproyek datang ke sini ngukur-ngukur, kita tanya, mau apa? Katanya mau bangun
tanggul beton. Kami menolak, kami diajak ke kantor desa diskusi. Kami datang tapi di situ
pendapat kami menolak. Kalau mau bangun tanggul, perkuat aja itu di luar pemecah ombak,
ndak usah tanggul beton sampai ke sini, ke rumah kita. Tanggul di luar itu terbukti membuat kita
aman. Kalau bangun tanggul di sini, mau dibawa ke mana kapal nelayan? Ini kita di Karama
sudah jadi tujuan utama tempat simpan kapal dari kampung-kampung nelayan yang sudah
ditanggul. Mereka itu jadi repot, jauh-jauh datang titip perahu sebab di kampung mereka sudah
tak bisa."
Sebab masyarakatnya bersatu menolak dibangun tanggul beton yang pas "menempel" di daratan,
pusat Desa Karama saat ini menjadi salah satu pilihan utama tempat penitipan kapal nelayan.
Dua contoh ialah dua kapal nelayan dari Desa Galung Tulu (juga sudah ditanggul, tetangga Desa
Pambusuang) dan satu dari Desa Tanganga-tangnga.
"Ya, banyak kapal dititip di sini, bisa penuh. Kalau ada kapal luar yang datang ke sini, mereka
wajib donasi ke mesjid, 50 - 100 ribu. „Cinnong-cinnong ate‟. Tapi kapal dari Karama tetap
diutamakan, jadi kalau semua dinaikkan ke darat, kapal pendatang diminta keluar atau ke tempat
lain," kata Nur Said, salah satu pengusaha ikan di Desa Karama.
“Nelayan Baqbarura datang juga ke sini simpan perahunya. Di sini aman, tidak abrasi sebab ada
itu tanggul di luar. Sewaktu saya masih kecil, sudah ada memang itu pemecah ombak di luar.
Kampung aman, perahu juga aman. Kalau tanggul beton dibangun sini, kita jelas tolak. Itu
tanggul beton, kalau asal-asalan buatnya, terkikis itu di bawah. Jadi lama-lama rusak juga,”
tambah Nur Said.
Mengandalkan desa atau tempat lain sebagai tempat penitipan perahu bukan pemecahan masalah.
Ya, dulu atau sekarang mungkin bisa. Tapi ketika Desa Pambusuang dan sekitarnya juga
ditanggul, masalah besar bisa terjadi. Desa paling padat nelayan dan kapalnya di pesisir Teluk
Mandar adalah Desa Pambusuang dan Sabang Subik. Ketika dua desa itu juga ditanggul, akan ke
mana kapal didaratkan?
Dusun Wai Tawar (Desa Tammangalle, sekitar 2 km dari Pambusuang) banyak perahu atau
kapal di sana. Kapal yang dititip di sana adalah kapal yang tadinya ada di Desa Galung Tulu,
yakni jenis kapal yang sudah dalam kondisi tua, yang akan digunakan masa perburuan ikan
terbang. Tapi ketika kapal-kapal dari Pambusuang juga disimpan di situ, akan sempit. Belum lagi
jaminan keamanan kapal, sebab ketika malam, pantai Wai Tawar itu sepi. Kenapa Wai Tawar
aman dijadikan tempat mendaratkan perahu, selain tidak ada kampung padat di pantainya, juga
di depan ada semacam pemecah ombak. Beton berlubang yang ditumpuk. Belakangan pantai
5
Desa Tammangalle juga ditanggul. Untung pantai yang sekarang ini dijakan tempat menyimpan
perahu tak ditanggul, jadi masih ada harapan bagi nelayan untuk mengamankan perahunya.
Hal-hal seperti ini tak dipikir oleh pemerintah dan papproyek, bahwa ada potensi konflik sosial,
efek domino dari proyek yang asal-asalan. Asal-asalan dalam arti tak ada kajian mendalam,
apakah teknologi itu cocok atau tidak. Umumnya masyarakat yang pro terhadap pembangunan
tanggul beton di Pantai Pambusuang menganggap bahwa pihak yang tidak setuju terhadap
pembangunan tanggul beton tidak peduli terhadap nasib rumah-rumah yang biasa dihantam
ombak. Bahwa yang tidak setuju itu tidak merasakan penderitaan mereka yang tinggal pas di
pantai.
Bukan, bukan itu. Bahwa ketidaksetujuan yang dimaksud adalah bahwa konstruksi pelindung
yang harus dibangun haruslah yang ramah lingkungan. Dan karena di lokasi pembangunan juga
terkait dengan nelayan dan kebudayaan yang ada di situ, maka pelindung tersebut jugalah ramah
terhadap keduanya. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah pelindung multi fungsi:
menghindarkan pemukiman penduduk dari abrasi dan pada saat yang sama juga bisa dijadikan
perlindungan perahu nelayan. Tanggul pun jangan sampai menghalangi jika ada kapal atau
perahu yang ingin dinaik-turunkan dari darat.
Desa Pambusuang memiliki ratusan perahu nelayan. Jika hanya satu dua pintu masuk yang
lebarnya 8 meter (bandingkan sandeq yang lebarnya 8 – 12 meter), maka itu tak akan
mencukupi. Belum lagi jika menimbang akan di mana lokasi menyimpan perahu di darat?
Setidaknya lima alasan mengapa pembangunan tanggul di Desa Pambusuang dan sekitarnya
patut dikritisi: 1) Tidak berbasis kajian ilmiah atau dampak lingkungan; 2) Berpotensi merusak
total habitat penyu untuk bertelur (meski ada banyak rumah di pantai, penduduk sering
mendapati penyu-penyu naik bertelur di sepanjang pantai Pambusuang); 3) Berpotensi
mempercepat kepunahan perahu kebanggaan Mandar yakni sandeq; 4) Menyulitkan nelayan atau
pemilik perahu untuk menyimpan dan merawat perahunya; 5) Mempengaruhi budaya bahari
yang dipraktekkan masyarakat pesisir, misalnya posisi penambatan perahu, kemudahan anak-
anak bermain di pantai, dan semangat gotong royong.
Teknologi yang Cocok
Lalu teknologi apa atau pelindung bagaimana yang cocok agar tak terjadi abrasi, agar perahu
tetap bisa dinaik-turunkan ke/dari darat tanpa membuat nelayan kerepotan? Yang cocok adalah
pemecah gelombang. Pemecah gelombang itu letaknya tidak pas di pantai, tapi beberapa meter
dari garis pantai. Biasanya di kawasan “arangang” (Bahasa Mandar, batas antara bagian yang
dangkal dengan bagian dalam). Biasanya yang menjadi pelindung alami, yang meredam
kekuatan ombak adalah terumbu karang. Tapi karena terumbu karang telah hancur (yang juga
ulah manusia), maka peran pelindungnya jadi hilang. Pemecah gelombang itu rekayasa manusia,
mengganti fungsi terumbu karang.
Guna melindungi Pantai Pambusuang (dan sekitarnya) yang dibutuhkan adalah bangunan
peredam, pemecah gelombang. Peredam gelombang bertujuan mereduksi atau menghancurkan
energi gelombang. Gelombang yang menjalar mengenai suatu bangunan peredam gelombang
sebagian energinya akan dipantulkan, sebagian diteruskan dan sisanya dihancurkan melalui
6
pecahnya gelombang, kekentalan cairan, gesekan dasar dan lain-lainnya. Pembagian besarnya
energi gelombang yang dipantulkan, dihancurkan dan diteruskan tergantung karakteristik
gelombang datang (periode, tinggi, kedalaman air) dan desain bangunan peredam gelombang
yang digunakan.
Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada
jarak tertentu dari garis pantai. Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk
perlindungan pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum
sampai ke pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Endapan ini dapat
menghalangi transport sedimen sepanjang pantai.
Pemecah gelombang bisa kita temukan di pesisir Teluk Mandar, mulai dari Somba sampai
Pambusuang. Tapi sebagian besar mengalami kerusakan dan tidak berfungsi sempurna sebab
konstruksinya hanya berupa kayu ulin yang diisi batu-batu karang. Jika tidak dibuat kuat,
ketangguhannya hanya beberapa bulan. Belum lagi kalau kayunya diambil, batunya berjatuhan.
Namun di beberapa bagian signifikan memberi perlindungan pantai dari hempasan ombak,
seperti di Somba (Majene) dan Karama (Tinambung, Polman). Di Somba, selain menggunakan
kayu ulin, juga ada yang dibuat dari bentang tembok yang dicor. Ada juga tumpukan batu besar
di sisi baratnya. Di depan TPI Majene, pemecah ombaknya berupa tembok tinggi, bukan
tumpukan batu sebab berada di bagian dalam. Di Wai Tawar Tammangalle konstruksi pemecah
ombaknya berupa tumpukan beton berbentuk tabung berongga. Bagian berongga menghadap
laut. Di balik pemecah ombak itu tempat nelayan dari Pambusuang dan sekitarnya untuk
menyimpan perahu.
Pemecah Ombak di Mampie Berhasil
Bukti terakhir betapa pemecah ombak lebih efektif dibanding tanggul di pantai bisa dilihat di
Pantai Mampie. Beberapa tahun terakhir juga terjadi abrasi pantai di Pantai Mampie. Masyarakat
resah di sana. Ada banyak foto di media sosial memperlihatkan fenomenasi abrasi di sana.
Belakangan pemerintah berniat membangun tanggul untuk mengatasi masalah tersebut, tapi oleh
Muhammad Yusri dan masyarakat di sana menolak jika menggunakan teknologi tanggul. Yusri,
setelah bertanya ke saya, mengusulkan pemecah ombak. Usul Yusri diterima yang hasilnya
terlihat beberapa bulan kemudian: pasir „tumbuh‟ di bagian yang abrasi. Hanya saja pemecah
ombak yang dibangun waktu itu belum seberapa, beberapa puluh meter Pantai Mampie masih
terbuka pada hempasan gelombang, sehingga abrasi masih terjadi. Kabar baik, beberapa pekan
lalu, pembangunan pemecah ombak di Pantai Mampie dilanjutkan.
Pemecah gelombang lepas pantai dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis
pantai. Penentuannya tergantung pada panjang pantai yang dilindungi. Pemecah gelombang lepas
pantai dapat dibuat dari satu pemecah gelombang atau suatu seri bangunan yang terdiri dari
beberapa ruas pemecah gelombang yang dipisahkan oleh celah. Penentuan celah dapat berdasar
pada bagian dalam perairan, yang biasa digunakan nelayan setempat sebagai pintu masuk. Oleh
nelayan Mandar disebut “pappaluangang”.
Sebab pemecah gelombang ini dibuat terpisah atau berjarak beberapa meter dari garis pantai,
namun masih berada di area gelombang pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah
7
gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang
dan arus di belakangnya dapat dikurangi. Di bagian ini aman untuk menambatkan perahu, tempat
anak-anak laut bermain (misalnya mainan perahu layar kecil), dan di situ bisa “tumbuh” pasir
(sedimen).
Berkurangnya energi gelombang di daerah terlindung akan mengurangi pengiriman sedimen di
daerah tersebut. Maka pengiriman sedimen sepanjang pantai yang berasal dari daerah di
sekitarnya akan diendapkan dibelakang bangunan. Pantai di belakang struktur akan stabil dengan
terbentuknya endapan sediment tersebut. Fenomena ini bisa kita dapati di Pantai Karama.
Pemecah ombak yang dibangun awal 90-an telah “menumbuhkan” pasir beberapa puluh meter ke
arah laut.
Biaya pembuatan pemecah gelombang relatif. Yang murah bisa menggunakan tumpukan batu
berukuran raksasa berdiameter kurang satu meter, yang biasa disebut batu gajah. Seperti yang
digunakan di bantaran Sungai Mandar. Yang mahal, misalnya membuat material penyusun batu
buatan (beton). Cor semen dibuat sedemikian rupa, ada yang berbentuk kubus, piramida dan
desain lain dengan dimensi setidaknya 1 x 1 meter atau setiap bagian memiliki berat yang tahan
terhadap hempasan ombak (5 – 700 kg). Paling penting adalah kekuatannya alias tidak mudah
hancur karena ombak (ini sangat dipengaruhi komposisi campuran semen, pasir, kerikil dan air).
Teknologi ini saya saksikan digunakan di salah satu desa di Kabupaten Donggala, Sulawesi
Tengah.
Contoh susunan tumpukan beton yang berfungsi meredam hempasan gelombang bisa disaksikan
di TPI Majene, di dekat dermaga. Di situ betonnya berbentuk segitiga, mirip piramid. Waktu
saya masih kecil pemecah gelombang itu sudah ada. Terbukti kekuatannya hingga kini. Kalau
model begitu dan kekuatannya diadopsi di pantai-pantai kampung nelayan di Teluk Mandar,
kecil kemungkinan abrasi terjadi. Di sisi lain, lebih aman untuk berlabuh dan nelayan pun
dengan mudah mendorong perahunya ke atas pantai/darat bila akan diperbaiki atau lama tak
digunakan.
Terakhir, meski ada tanggul yang pas di pantai, hampir selalu masyarakat setempat tetap
membutuhkan pemecah gelombang di bagian luar. Sebagaimana korban abrasi pantai di
Manjopaiq Karama. Dua tahun lalu rumahnya roboh karena abrasi. Sekarang sudah ada tanggul
berdiri semeteran dari lokasi rumahnya roboh, tapi dia mengatakan “Masih khawatir bila belum
ada pemecah ombak di luar sana. Tanggul ini belum teruji. Kalau ombak betul besar, bisa sampai
ke atap hempasan air laut jika datang menghantam.”
Belajar dari Sejarah: Kepunahan Sandeq di Majene
“Dulu perahu sandeq berjejer di pantai ini. Cantik sekali dilihat. Sejak dibangun tanggul, sandeq
mati satu persatu. Sandeq mertua saya namanya Bunga Cengkeh mati gara-gara tanggul,” kenang
Saribanong, wanita paruh baya di Tanjung Batu Majene, akan kejadian di awal tahun 90-an.
Menurut Saribanong, yang diiyakan tetangganya seorang nelayan, Bahtiar, ketika ada tanggul
beton ada di Tanjung Batu, Tangnga-tangnga dan Parappe (kampung nelayan di belakang SMA 1
Majene), nelayan sandeq (yang umumnya disebut „parroppo,‟ sebab menangkap ikan di roppo
atau rumpon) kesulitan mendaratkan perahunya. Mereka pun menjualnya, ada ke nelayan bagang
8
(yang masih bisa dilihat di Teluk Majene), nelayan sandeq dari kampung lain, penambang pasir
dan usaha penyeberangan di sungai. “Tapi banyak juga yang hancur di tempat. Sejak sandeq tak
ada di sini, kita jadi jarang makan toppa,” tambah Saribanong.
“Awal-awalnya sandeq kita bawa ke Tanangan, Baraneq atau Tamo. Tapi lama kelamaan
akhirnya dijual juga. Itu resiko kita sebagai nelayan. Tapi ada juga dampak bagusnya itu tanggul,
rumah jadi aman dari hempasan ombak dan tanah tambah luas,” kata Bahtiar. Pola yang sama
terjadi di Pambusuang. Sewaktu tanggul menggantikan pantai berpasir, makin banyak dibuat
perahu bercadik kecil, khususnya katitting. Salah satu kru Perahu Pustaka, Puaq Pia, tak
menggunakan lagi sandeqnya digantikan perahu katinting. Katanya, “Susah angkat dan merawat
sandeq sejak ada tanggul.”
Pantai Tanjung Batu Majene memiliki dua lapis tanggul beton. Lapis pertama dibangun di masa
Mustar Lazim (menjabat 1990 – 1995) dan lapis kedua, yang baru berumur kurang lebih dua
tahun, di masa Kalma Katta (sekarang). Antar lapis pertama dengan kedua berjarak kurang lebih
50 meter. Jika di kampung Tangnga-tangnga antara lapis pertama dan kedua sudah ditimbun, di
Tanjung Batu tidak. Soalnya di bagian yang tak ditimbun tersebut masih digunakan nelayan
menyimpan perahunya. Agar bisa keluar, ada celah selebar delapan meter. Selain perahu, di situ
juga sarang sampah.
“Kita nelayan di sini tidak mau ditimbun kalau belum ada tanggul pemecah ombak di luar sana.
Mana bisa aman perahu kita kalau tidak ada pengaman di luar,” jelas Hasri, yang biasa ikut
Sandeq Race bersama sandeq Pammase.
Hasri juga mengenang masa-masa ada sandeq di Tanjung Batu. “Sandeq terakhir saya itu
namanya Sinar Mutiara. Pernah ikut lomba sandeq yang masih diadakan Kodim. Nanti
belakangan bawa sandeq Kuda Laut, punya pak Tashan Burhanuddin. Sandeq dulu yang kita
pakai kerja kita jual. Sejak ada tanggul susah kasih naik, apalagi kalau musim barat. Saya
biasanya titip ke Baurung tapi kan repot kalau terus-terusan begitu,” kata Hasri yang saat ditemui
sedang membuat sandeq model katitting.
Tanggul beton di garis pantai, yang membuat perahu ukuran besar sulit untuk disimpan di darat
bukanlah penyebab satu-satunya sandeq musnah di Majene. “Sandeq mulai hilang gara-gara
digeser sandeq katinting. Kan kalau pakai sandeq butuh 2-3 sawi, sedang kalau katitting, sendiri
saja. Jadi bisa dapat sendiri hasilnya. Katitting mulai muncul gara-gara di masa pemerintahan
Mustar Lazim kita di sini, ndak salah 20 nelayan, dapat sumbangan mesin,” kata Sail, lelaki tua
di Cilallang Majene.
“Tapi betul, adanya tanggul juga menyebabkan sandeq makin cepat hilang. Kan susah kita
naikkan kalau mau simpan di darat. Jadi „dilanggaq‟ saja di laut atau kalau mau disimpan lama
atau diperbaiki, kita bawa ke Rangas sana, biasa juga sampai ke Luaor,” kata Suaib, mantan
nelayan di Cilallang.
Tanggul beton yang mempengaruhi aktivitas nelayan juga sangat terasa di Tanangan Majene.
“Di sini, kalau lokasi sini penuh, kita titip kapal di Passarang. Kan di sana belum ditanggul. Di
sini tinggal segini yang bisa kita tempati kerja. Biasa, kalau pasang air, permukaan laut bisa
sampai di lambung kapal yang sedang kita kerja. Kalau yang mengecet, tunggu air surut baru
9
bisa kerja. Air pasang berhenti lagi,” kata punggawa sandeq Surya Persada, yang biasa menjuarai
Sandeq Race.
Begitu terasanya dampak negatif tanggul beton, punggawa sandeq Surya Persada sampai
beberapa kali menitip harapan ke saya agar tak ada tanggul beton di Pambusuang. “Pambusuang
itu banyak sekali kapal, di sana juga ombak keras. Kita juga alami di sini, tanggul itu lama
kelamaan licin atau banyak tiramnya. Banyak yang luka-luka kalau tergelincir. Biasa juga,
ombak balik yang habis menghantam tanggul membahayakan kapal. Jadi, jangan sampai ada
tanggul beton di Pambusuang. Kita sudah alami penderitaan di sini. Cukup bangun tanggul
pemecah ombak di „arangang‟ sana. Dua-duanya aman, kita nelayan sama rumah,” kata sandeq
Surya Persada.
Pengalaman atau apa yang dialami nelayan yang pantainya telah ditanggul beton (Tanjung Batu,
Cilallang, Tanangang) patut diketahui oleh pemerintah atau instansi atau „papproyek‟ yang
membangun tanggul di kampung nelayan yang memiliki banyak kapal, yang mana kapal mereka
tersebut biasa disimpan di darat. Menurut pihak perwakilan „pamborong‟ yang sewaktu
mengerjakan tanggul di Pambusuang, katanya dibuatkan pintu masuk untuk kapal. Jadi kapal
tetap bisa keluar masuk, dari pantai ke darat, seperti yang terlihat di tanggul Desa Tangnga-
tangnga (Tinambung Polman) dan Desa Rangas (Majene). Ya, itu bisa jika kapal tidak seberapa
jumlahnya dan tidak besar-besar serta ada beberapa tanah lapang untuk menyimpan perahu. Tapi
kalau kapal amat banyak dan tak ada tempat lapang, sebagaimana yang Desa Pambusuang, jelas
akan menimbulkan masalah. Itulah yang terjadi saat ini.
Bila kita memperhatikan citra satelit Desa Pambusuang dan Desa Sabang Subik, ada ratusan
kapal motor dan sandeq yang disimpan di darat. Ketika tanggul memagari pantai, semua perahu
itu harus diturunkan, disimpan atau dilabuhkan di laut (atau dititip ke kampung lain). Bayangkan,
apa yang akan terjadi. Ironi maha sedih ketika sandeq terakhir di Mandar musnah gara-gara
tanggul beton, padahal ada alternatif teknik atau desain lain agar pemukiman aman dari abrasi
laut. Lebih ironis, kita tak belajar pada sejarah. Bahwa salah satu penyebab utama sandeq hilang
atau mati di Majene itu gara-gara tanggul beton.
Pendapat Tokoh yang Menolak Tanggul
Laut setia mengirim ombak // ke pantai-pantai // ombak ditolak // di tepi pantai // laut ditolak //
tepinya sendiri.
Demikian kutipan puisi “Panglima Puisi” Indonesia yang berasal dari Mandar, Husni
Djamaluddin, dari puisinya berjudul Laut. Apa yang dituliskan Husni beberapa dekade lalu
terjadi saat ini, ketika kita, orang Mandar, yang bangga sebagai asal pelaut ulung, yang bangga
akan perahu sandeq serta kebudayaan baharinya, menolak laut dengan membangun tanggul
beton. Di beberapa kampung nelayan telah terjadi, termasuk di benteng terakhir perahu sandeq di
Mandar, Desa Pambusuang.
Gerakan advokasi penyelamatan kebudayaan bahari Mandar dan lingkungannya, yang
disebabkan kegiatan pembangunan tanggul beton, mendapat apresiasi beberapa individu atau
tokoh, baik yang ada di Sulawesi Barat dan Selatan maupun yang ada di Jakarta. Budayawan
Mandar yang tinggal di Makassar, Suradi Yasil juga turut prihatin dengan rencana pembangunan
10
tanggul beton di Pambusuang. “Baiknya pakai teknologi yang ramah lingkungan, seperti
pemecah ombak. Bagaimana pun, kebudayaan bahari Mandar yang tercermin dalam kegiatan
komunitas maritim di Pambusuang harus kita lestarikan. Dengan tetap memperhatikan
masyarakat yang tinggal di kawasan abrasi,” kata Suradi Yasil yang juga dikenal sebagai aktivis
lingkungan dan pernah aktif di organisasi Walhi.
Horst Liebner yang saat ini juga berada di Mandar juga berpendapat sama. Katanya, “Susah itu
sandeq kalau mau disimpan di darat dan diperbaiki bila ada tanggul yang menghalangi,” kata
Horst Liebner, antropolog maritim si penggagas Sandeq Race.
Penulis dan beberapa pesohor di Jakarta juga mulai bergerak memberi dukungan terhadap
pelestarian kebudayaan bahari Mandar. Yang paling aktif dan getol bersuara di media sosial,
Facebook dan Twitter, adalah Maman Suherman. Maman Suherman, yang baru-baru ini tinggal
di Desa Pambusuang selama lima hari dan suatu waktu menikmati senja di pantainya,
menuliskan sajak khusus sebagai bentuk perhatiannya terhadap lingkungan pantai Pambusuang
dan kebudayaan baharinya. Itu terbaca di salah satu status Facebooknya yang diunggah Kamis
pagi (31/3/16).
Berdiri di Pantai Pambusuang, Mandar, pada suatu hari // Menatap ufuk semburat jingga //
Merasakan debar debur ombak yang bersetia menyapa pantai // Kubermimpi tentang lautmu
yang bersih tanpa sampah // Kubermimpi tentang tepi pantaimu yang tak didatangi kambing-
kambing // Yang berebut memakan sampah yang dibuang warga sepanjang hari // Kubermimpi
tentang ayunan lepa-lepa, lopi, sandeq baqgo, // Yang bersetia diayun ombak di tepian // Yang
bersedia setiap saat untuk membawamu melaut // Sekali layar dikembangkan, pantang surut ke
belakang // Menjemput ikan-ikan, mutiara rezeki-Nya // Mengawal alam dan budaya kelautan
Anak Mandar // Yang terwariskan turun-temurun // Alam terkembang menjadi guru // Lautan
terhampar menjadi samudera ilmu // Jangan pernah kau ceraikan laut dan tanah Mandar //
Dengan tembok beton pemisah, tanggul yang angkuh // Apakah tanggul pemecah ombak tidak
cukup? // Apakah kau rela mengusir semua perahu warisan nenek moyangmu dari tepian
Pambusuang? // Teruslah berlayar saudara-saudaraku // "Tanah air" adalah penggal kata yang
tak boleh dipisahkan // Bagi anak Mandar // Tanah saja tak cukup // Air saja tak cukup // Tanah
air yang menyatu tak terpisah beton angkuh // Tak terpenjara tembok angkuh.
Sejarawan nasional yang juga aktif menolak pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta, JJ
Rizal, yang sudah tiga kali datang ke Desa Pambusuang, juga melakukan kampanye di dunia
maya agar tanggul beton yang bertujuan merusak kebudayaan bahari Mandar tidak jadi
terbangun. Hal itu diwujudkan dengan membantu me-retweet informasi yang datang dari
Mandar, yang menentang pembangunan tanggul beton. Penulis dari Yogyakarta, seperti Puthut
EA pun bersikap sama. Yang meminta kenalan-kenalannya yang juga pesohor untuk membantu
gerakan teman-teman di Mandar. Salah satunya yang juga mulai membantu adalah Ryani
Djangkaru, mantan presenter Jejak Petualang di televisi.
Gerakan massif yang terjadi di dunia maya haruslah diperhatikan pengambil kebijakan di daerah
ini, baik Kabupaten Polewali Mandar maupun Provinsi Sulawesi Barat. Jika pemerintah tidak
mengapresiasi atau melakukan pembiaran atau sama sekali tidak melakukan proses diskusi
komprehensif yang melibatkan seluruh stakeholder, maka itu akan menjadi preseden buruk.
11
Bukan apa. Selama ini kita selalu membanggakan kebudayaan bahari kita. Misal penggunaan
simbol-simbol bahari di Pawai Budaya Nusantara beberapa tahun lalu, yang mana Sulawesi
Barat juara satu. Kemudian selalu mengadakan Sandeq Race. Di sisi lain, saat ini, sejak
kepemimpinan Joko Widodo, kemaritiman menjadi perhatian utama. Sewaktu pihak Indonesia
menjadi bintang tamu di Festival Europalia di Belgia 2017 – 2018, yang dibawa juga tema
maritim.
Ironi. Sebab realitas selama ini, sadar atau tidak, pemerintah melakukan pembiaran terjadinya
kemusnahan beberapa bentuk kebudayaan bahari kita. Parahnya, saat ini, di depan mata, dialami
oleh sandeq. Sandeq, yang simbolnya hampir digunakan semua aparat sipil negera di bajunya.
Baik berupa pin berwarna emas di dada maupun di lambang daerah (Sulawesi Barat, Polewali
Mandar).
Ironi. Sebab yang getol mendukung upaya pelestarian kebaharian Mandar adalah orang-orang
luar Mandar. Hampir sepekan sejak terjadinya penolakan usaha pembangunan tanggul beton di
Desa Pambusuang, tak satu pun respon yang berasal dari pengambil kebijakan di daerah ini.
"Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan
besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil, menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari selatan ke
utara. 'Atas Angin' sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran,
penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak
mempunyai lagi ..." dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Sejarah terulang, terjadi di
depan mata kita, di Pantai Pambusuang, kampung kelahiran Baharuddin Lopa, yang desertasinya
tentang kemaritiman Mandar. Saya sangat yakin, jika beliau masih hidup, pasti juga akan
menolak pembangunan tanggul!
Pantai Palippis Nyaris Ditanggul Juga
Kurang lebih setahun dari pembangunan tanggul di Pantai Pambusuang, tepatnya di bulan Maret
- April 2017, kejadian „lucu nan menyedihkan‟ terjadi. Ceritanya tahap kedua atau pembangunan
tanggul di Pantai Pambusuang akan dilanjutkan, dari Dusun Parappe sampai Desa Bala oleh PT
Rama Karya Cipta senilai Rp 12.288.200.000. Sudah disurvei dan material akan dibawa datang.
Masyarakat, khususnya nelayan, yang akan ditanggul pantainya menolak. Mereka melihat
dampak negatif pembungunan tanggul tahap pertama, mereka tidak mau menerima nasib yang
sama. Kabarnya aspirasi penolakan keras mereka disampaikan beramai-ramai ke Kantor Desa
Pambusuang. Menyadari hal itu, pihak Desa Pambusuang menyampaikan ke pihak kabupaten.
Dan dengan gampangnya pihak pemerintah Kabupaten Polewali Mandar menunjuk Pantai
Palippis sebagai pantai pengganti yang akan ditanggul agar proyek jalan terus.
Maka dibawalah material batu besar dan mesin pengaduk semen ke Pantai Palippis. Pantainya
yang berpasir putih mulai dikelupas oleh eskavator untuk persiapan pembangunan pondasi.
Media sosial bergolak. Beberapa pemerhati budaya dan wisata di Sulawesi Barat terang menolak.
Satu-satunya pantai putih di pesisir Teluk Mandar dan selama ini menjadi tempat wisata terkenal
akan ditanggul. Apa kata dunia? Menyaksikan protes di media sosial, dan dengan gampangnya
lagi (tanpa menggunakan kajian ilmiah), ditunjuklah pantai di Desa Tammangalle untuk
12
dibangungi tanggul. Karena pantai itu tak dimukimi penduduk, memang juga ada abrasi, dan
pihak Desa Tammangalle menyetujui, maka berlanjutlah pembangunan tanggul di sana.
Itu bisa dibaca di pemberitaan Radar Sulbar, 28 April 2017 “Tanggul Palippis Dipindahkan ke
Tammangalle”. Berikut kutipannya, “Pekerjaan tanggul di Palippis Desa Bala Kecamatan
Balanipa, Polman dihentikan. Sudah sepekan ini aktivitas pengerjaan tanggul dihentikan.
Walaupun bahan material tanggul seperti batu gunung, pasir dan besi serta alat pengaduk
semen masih ada di lokasi. Tetapi sudah tidak ada aktivitas pekerjaan. Informasi yang
didapatkan adanya penolakan warga, khususnya pemilih lahan sehingga pelaksana proyek
memindahkan lokasi tanggul tersebut. Beberapa hari yang lalu diadakan pertemuan di Desa
Panyampa Kecamatan Campalagian, Polman antara pemerintah daerah dengan pemilik lahan.
Pertemuan yang dihadiri Bupati Polman Andi Ibrahim Masdar, Camat Balanipa Arifin Halim,
pemilik lahan Aco Muhiddin, Aco Jalaluddin dan Muh Bisri. Dalam pertemuan itu didapat
kesempakatan tanggul di Palippis dipindahkan ke Desa Tammangalle Kecamatan Balanipa.
“Kami selaku pemilahan mengangap itu bagus, tetapi harus diperhatikan dulu apa sudah
disetujui atau tidak. Jangan sampai sudah disana ada lagi penolakan dari masyarakat,” kata
Muh Busri salah seorang pemilik lahan saat dihubungi Kamis 27 April. Terpisah Camat
Balanipa, Arifin Halim membenarkan kalau pembuatan tanggul di Palippis dipindahkan ke Desa
Tammangale. “Persoalan tanggul sudah selesai, kerena dipindahkan ke Tammangalle. Jadi saya
harap pembuatan tanggul ini jangan lagi dibesarbesarka,” terang Arifin Halim. … Terpisah,
Bupati Polman Andi Ibrahim Masdar ketika dihubungi mengaku adanya pertemuan dengan
pemilik lahan di Palippis terkait masalah tanggul saat kunjungannya ke Panyampa pekan lalu.
Ia juga tidak menampik jika proyek tanggul itu dihentikan sementara. Menurutnya sebagai
pemerintah daerah sebenarnya meminta desain tanggul penahan ombak direvisi. Tetapi karena
proyek tersebut dari Kementerian PUPR melalui Balai Sungai Sulawesi III, pihaknya hanya
mengusulkan tetapi kewenangan berada di kementerian.”
Begitu mudahnya proyek-proyek berdampak besar terhadap lingkungan dan sosial pemerintah
main tunjuk. Sama sekali tak ada kajian dampak lingkungan.
Dampak Terhadap Ekologi
Yang juga luput dari perhatian adalah pembangunan tanggul beton di sepanjang Desa
Pambusuang dan desa-desa sekitarnya adalah memiliki dampak negatif terhadap ekologi. Selain
akan mengubah geomorfologi pantai, juga akan menghilangkan habitat penyu untuk bertelur.
Nelayan sering mendapati adanya telur-telur penyu yang disembunyikan induk penyu di bawah
pasir pantai.
Enam tahun lalu, tepatnya 24 Agustus 2013, puluhan tukik tiba-tiba muncul persis di samping
rumah salah satu penduduk di Desa Pambusuang. Nongol satu per satu persis di samping bagian
pondasi rumah, menjelang jam delapan malam. Menurut Dahri Dahlan, pemerhati penyu yang
juga putra Pambusuang (saat ini dosen di Universitas Mulawarman Kalimantan Timur), “Saudara
Irwan Syamsir mengabari saya bahwa ada banyak anak penyu ditemukan. Saya segera ke sana
sambil membawa senter dan ember. Tiba di sana, dibantu beberapa anak kecil di sana, anak
penyu atau tukik saya simpan ke ember lalu memindahkan ke baskom lebih besar. Ke dalam
ember saya masukkan air laut. Tukik itu saya simpan dulu sebagai upaya penyelaman.”
13
Tapi kalau menyampaikan ke pemborong atau pejabat bahwa jangan membangun tanggul sebab
akan merugikan penyu, mungkin mereka akan menganggap itu hal sepele, ketawa-ketawa saja.
Bahwa penyu itu ndak apa-apa dikorbankan, tidak apa-apa habitat bertelur mereka dihilangkan
asal proyek tetap jalan.
Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut
dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologis. Secara umum, dalam kegiatan Analisis
Dampak Lingkungan (ADL), dampak pembangunan diartikan sebagai perubahan yang tidak
direncanakan yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. Dampak dapat bersifat biofisik,
dapat juga bersifat sosial-ekonomi dan budaya. Misalnya, dampak pembangunan tanggul beton
ialah berubahnya nilai budaya penduduk di daerah setempat. Seperti kesulitan menyimpan
perahu yang rata-rata berukuran besar mendorong mereka untuk membuat ukuran kecil, yang
mudah mereka simpan. Lama-kelamaan, maka perahu seperti sandeq akan hilang digantikan oleh
katinting.
Pembangunan itu dapat mengakibatkan dampak primer biofisik dan atau sosial-ekonomi budaya.
Dampak primer juga akan mempengaruhi sasaran kesejahteraan yang ingin dicapai. Dapat juga
terjadi dampak primer itu menimbulkan dampak sekunder, tersier dan seterusnya yang masing-
masing dapat bersifat biofisik atau sosial-ekonomi budaya. Untuk dapat melihat bahwa suatu
dampak atau perubahan telah terjadi, kita harus mempunyai bahan pembanding sebagai acuan.
Untuk kasus tanggul beton yang dibangun di Pambusuang, contoh pembanding bisa ditemukan
dengan mudah di beberapa kampung pesisir yang terletak tak jauh dari Pambusuang, yang mana
di tempat tersebut telah ada tanggulnya. Misal Desa Galung Tulu, Dusun Manjopaiq Desa
Karama, Desa Tangnga-tangnga, Desa Tanjung Batu, Tanangan hingga Rangas di Majene.
Dampak bisa bersifat negatif maupun positif. Untuk negara-negara maju, malah dampak positif
diabaikan jika ada dampak negatifnya (Otto Sumarwoto, 1991). Positif dan negatif, baik dan
buruk tidaklah mutlak. Kadar baik dan buruk suatu hal tergantung sudut pandang. Sudut pandang
itu menentukan tolak ukur yang dipakai untuk menilainya. Sudut pandang kadang juga berubah-
ubah, karena itu tolak ukurnya juga demikian.
Makanya akan kita dapatkan pada penilaian dampak, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
dapak itu baik (positif) atau buruk (negatif). Salah satu faktor penting dalam penentuan itu ialah
apakah seseorang diuntungkan atau dirugikan oleh sebuah proyek pembangunan tertentu.
Umumnya penyebaran manfaat dan biaya proyek tidaklah merata secara geografis maupun pada
berbagai kelompok msyarakat.
Misalnya, pada pembangunan tanggul beton untuk melindungi pantai Desa Pambusuang dari
abrasi pantai. Yang tinggal di garis pantai akan mendapat keuntungan sebab rumah mereka jadi
aman (meski hanya sesaat sebab tanggul beton membutuhkan lagi pemecah ombak di luar).
Tentu mereka akan menganggap pembangunan itu positif. Sebaliknya, penduduk yang memiliki
kapal atau perahu akan dirugikan sebab ketika ada tanggul, mereka tak bisa mengamankan lagi
perahunya ke atas daratan. Dampaknya perahu mereka gampang rusak, baik karena sering
terendam air laut maupun karena hempasan ombak besar. Bagi mereka, pembangunan itu
berdampak negatif.
14
Penilaian dampak merupakan pertimbangan nilai dan karena itu bersifat subyektif, meski
penilaian itu oleh pakar sekalipun, kata Otto Sumarwoto yang juga menulis buku Ekologi
Lingkungan. Mengingat hal itu konflik selalu terjadi. Oleh sebab itu, Analisis Dampak
Lingkungan seharusnya mencakup pula usaha untuk mengatasi, atau paling sedikit, memperkecil
konflik itu. Dengan kata lain, dicarikan jalan tengah agar dua kelompok tersebut sama-sama
mendapat dampak positif dan dampak negatif juga demikian, sangat sedikit mereka rasakan.
Jalan tengah yang diusulkan adalah pemecah atau peredam ombak. Yang terletak beberapa puluh
meter dari garis pantai, yang tidak persis berada di atas garis pantai sebagaimana tanggul beton.
Selain bisa melindungi pemukiman penduduk, juga bisa melindungi perahu yang diparkir di
belakangnga (antara pemecah ombak dengan pantai). Sebab bangunan pelindung itu tidak persis
di darat, maka perahu tetap dengan mudah dinaik-turunkan.
Meski demikian, sebab pemecah ombak bukan pelindung alami, dia juga bisa menghasilkan
dampak negatif jika tidak dihitung secara cermat. Dalam buku “Menyiasati Perubahan Iklim di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil” (2012) karya Subandono dan kawan-kawan, setidaknya
ada lima penyebab abrasi pantai yang ditimbulkan oleh prilaku manusia.
Pertama adalah terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunan seperti
jetty, groin, pemecah ombak, reklamasi, dan lain-lain yang menjorok ke laut. Ketika gelombang
menuju pantai dengan membentuk sudut terhadap garis pantai akan menimbulkan arus sejajar
pantai di zona gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensi yang ditimbulkan oleh gelombang
pecah tersebut akang mengerosi sedimen dasar dan mengaduknya menjadi material yang terlarut
di air laut. Bangunan yang menjorok tersebut dan adanya energi laut yang membawa material
akan mengubah konfigurasi pantai membentuk keseimbangan baru.
Berikutnya adalah erosi pantai terjadi karena arus pusaran akibat adanya bangunan tembok laut
(seawall). Gelombang yang mendekati pantai, oleh tembok atau tanggul laut sebagian
dipantulkan ke arah laut. Gelombang hasil pantulan ini akan berasosiasi dengan gelombang
datang sehingga menimbulkan efek standing wave dan menimbulkan arus pusaran di samping
kiri dan kanan tanggul laut. Ini akan sangat dirasakan oleh nelayan yang menggunakan perahu
kecil, seperti lepa-lepa.
Ketiga dan keempat adalah berkurangnya suplai sedimen dari sungai yang disebabkan
pemindahan muara sungai dan akibat penambangan karang – pasir pantai. Perubahan itu akan
mengakibatkan perubahan kedalaman, pola arus, pola gelombang dan erosi pantai. Jika pasir dan
terumbu karang diambil, maka benteng alami yang selama ini menjadi peredam ombak akan
hilang, yang pada gilirannya ombak yang menghantam pantai tak teredam lagi.
Dan kelima adalah karena adanya penggundulan hutan mangrove. Perakaran mangrove biasanya
menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove juga berfungsi
sebagai peredam energi gelombang yang akan mencapai pantai, misalnya gelombang tsunami.
Dampak abrasi pantai yang diakibatkan penggundulan hutang mangrove bisa disaksikan di
pesisir Mamuju hingga Mamuju Utara.
Yang banyak terjadi selama ini, upaya perlindungan kawasan pesisir terhadap abrasi masih
banyak dilakukan dengan pendekatan “kekerasan”. Yaitu dengan membuat pelindung pantai
15
yang dari segi keindahan dan ekologis kurang ramah. Struktur keras tersebut adalah tembok laut,
pelindung tebing, groin, jetty, krib, dan tanggul laut.
Penangangan yang bersifat separuh atau parsial, „mendadak‟ atau sporadis dan kurang
menyeluruh (komprehensif) menimbulkan masalah baru. Hanya memindahkan lokasi abrasi dari
tempat yang dilindungi ke tempat lain yang kurang mendapat perhatian. Efeknya, erosi pantai
tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Belum lagi dampak sosial-ekonomi dan budayanya.
Dengan dibangunnya tembik atau tanggul laut yang dibuat pada garis pantai sebagai pembatas
antara daratan di satu sisi dan lautan di sis lain. Niatnya berfungsi sebagai pelindung garis pantai
dari serangan gelombang serta untuk menahan tanah di belakang tanggul laut tersebut. Tanggul
laut diharapkan bisa menghentikan abrasi pantai. Karena struktur tembok laut berupa bangunan
yang masif, maka pantulan yang ditimbulkan oleh bangunan tersebut akan meningkatkan tinggi
gelombang bahkan dapat pencapai dua kali tinggi gelombang datang dan dapat menjadi
gelomban tegak. Efeknya, di depan struktur tersebut justru akan terjadi gerusan yang kadang
dapat membahayakan struktur itu sendiri.
Pemecah ombak pun demikian, yang juga diharapkan melindungi pantai sebab dia berfungsi
menahan energi gelombang. Daerah di belakang pemecah ombak akan lebih tenang dibanding
daerah sekitarnya sehingga sedimen yang terbawa sejajar pantai akan terhenti di belakang. Jika
tak diperhitungkan baik-baik, pemecah ombak yang konstruksinya asal-asalan bisa menyebabkan
erosi pantai di luar daerah ombak terpecah.
Refleksi dari pemecah ombak juga bisa menyebabkan keadaan gelombang di sekitar bangunan
justru meningkat sehingga menimbulkan gerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur pemecah
ombak juga bisa mengubah pola arus atau sirkulasi air pantai.
Wawasan Bahari dan Kualitas Kepemimpinan
“Kalau proyek ini tidak jalan, anggaran akan dikembalikan ke pusat. Kita akan susah dapat
bantuan lagi,” demikian kira-kira yang dikatakan salah seorang pejabat Kecamatan Balanipa
mengomentari polemik pembangunan tanggul di pantai Pambusuang di hadapan jamaah Mesjid
At Taqwa usai shalat Jumat (1/4/16).
Kalimat-kalimat pamungkas macam itu sering dikemukakan untuk “menakut-nakuti” atau
“memaksa secara halus” masyarakat, bahwa seolah-olah kita (masyarakat) akan rugi besar kalau
proyek tidak jalan. Masyarakat yang pintar kadang menimpali, “Memangnya kalau kembali kan
masuk kas negara lagi. Kan tidak rugi.” Ada masyarakat di Desa Bala, yang mana nelayannya
sepakat menolak ada tanggul di Pantai Bala (setidaknya Kampung Makula) mengatakan, “Ya,
kan yang rugi kalau tidak ada proyek pamborong. Tapi kalau proyek jalan terus, yang susah kita.
Selesai proyek mereka pergi, tinggalkan masalah.”
Jika proyek tidak jalan atau ada masalah saat proyek dikerjakan itu artinya ada yang tidak beres.
Ada sistem yang tidak berjalan. Misalnya, tak ada kajian mendalam yang dilalukan sebelum
proyek dilakukan. Dan ada “ketakutan”, kalau proyek tidak dijalankan, maka uang akan kembali.
Salah satu contoh yang hangat berkembang di masyarakat Desa Bala adalah proyek perumahan
nelayan yang letaknya tak jauh dari Palippis.
16
Saat peresmiannya oleh Gubernur Sulawesi Barat dan Bupati Polewali Mandar (bertepatan ulang
tahun Kabupaten Polewali Mandar di 2016), katanya itu perumahan nelayan. Realitasnya, yang
punya perumahan itu sebagian adalah yang punya tanah, yang notabene sebagian bukan nelauan.
Sepertinya ada kesepakatan antara pemilik tanah dengan yang urus-urus proyek bahwa, “Nanti
kamu dapat rumah dan tetap hak milikmu jika tanahmu bisa dijadikan lokasi pembangunan
perumahan untuk nelayan.” Saat ini (2019), banyak „rumah nelayan‟ tersebut tak berpenghuni
alias tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Artinya apa, yang dibangun itu sejatinya bukanlah rumah untuk nelayan. Yang urus-urus itu
proyek perumahan juga mengatakan hal yang sama dengan pejabat kita, “Dari pada uang
kembali ke Jakarta, mending terus dikerja.” Ya, begitulah kalimat sakti mandraguna yang sering
digunakan oleh oknum-oknum pejabat yang tidak memiliki visi dalam memimpin, yang tidak pro
rakyat, tidak pro lingkungan, tidak pro kebudayaan. Idealnya seorang pemimpin berada di
tengah, memberi kesejukan, memperhatikan semua hal, tidak malah menakut-nakuti dan hanya
menjadikan “dana proyek”sebagai satu-satunya penentu.
Sulawesi Barat dan kabupaten-kabupatennya yang ada di pesisir harus memiliki paradigma
kepemimpinan maritim. Secara praktis, pembangunan di kawasan pesisir tidak boleh berdiri
sendiri. Pembangunan baik di kawasan Teluk Mandar harus berada dalam desain menyeluruh:
membangun di areal A akan mempengaruhi areal B.
Misal, membangun tanggul beton di Pambusuang akan memiliki efek berantai. Jika desainnya
tak memperhatikan parameter fisik laut, akan mempengaruhi pantai lain, misal Galung Tulu atau
Karama. Faktor sosial juga demikian, nelayan Pambusuang akan mencari tempat untuk
menyimpan perahunya, misal di Karama. Karama juga penuh akan kapal, lalu ke mana lagi akan
disimpan perahunya. Begitu seterusnya. Agar permasalahan bisa diminimalkan, kajiannya harus-
harus mendalam dan melihat secara global, tidak separuh.
“Water Front City” dan Penjual Ikan
Yang menarik juga untuk dibicarakan adalah apa yang (akan dan telah) terjadi di kawasan
Taman Kota Majene. Sekilas tak berhubungan tapi ada benang merahnya.
Pertama, Mei 2017 lalu, Pemerintah Kabupaten Majene mengemukakan rencana pembangunan
“Water Front City” yang memanjang dari Pangali-ali hingga Barane. Melihat video promosinya,
bisa dikatakan kawasan itu akan direklamasi semua. Ada jalan raya, ada taman, ada mesjid, dan
“keindahan” lainnya. Meski diembel-embeli telah ada perencanaan, malah sudah ada “Focus
Group Discussion”, sejatinya kota Majene tak layak untuk melakukan proyek raksasa dan sangat
berdampak pada lingkungan tersebut. Parameter awalnya sangat gampang, yang juga akan
menjadi kedua, yakni ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Majene mengelola penjual ikan di
sepanjang jalan depan Gedung Assamalewuang. Saya tidak perlu memasukkan parameter lain,
misal kedalaman laut di Teluk Majene, pemukiman nelayan di kawasan itu, dan sebagainya.
Cukup penjual ikan saja.
Harian Kompas, 10 April 2003 di halaman 31 ada berita berjudul, “TPI yang Tergusur Tradisi”.
Isinya tentang tidak berfungsinya TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Majene dikarenakan lebih
banyak penjual ikan memilih berdagang di pinggir jalan dibanding di tempat yang disediakan.
17
Senada, media online Mandarnews 21 Februari 2019 ada berita, “Pasar Dadakan di Monumen
Posasi Bakal Digusur”. Hampir dua dekade, pemerintah Kabupaten Majene tak bisa mengelola
para pedagang ikan di kawasan yang tak seberapa panjangnya itu. Itu saja tak bisa, apalagi untuk
kawasan berkilometer.
Ingin saya tekankan adalah, pemerintah tak punya rasa sensitif, tak ada empati, dan hanya
menganggap para pedagang (dan tentunya kampung nelayan beserta perahunya yang dianggap
jorok) sebagai pengganggu keindahan. Dengan bangunan “Water Front City” semua itu akan
dipindahkan, mereka „tak layak‟ berlangsung di kota.
Pembangunan hanya berdasar pada bangunan fisik, sebab itulah paling gampang dilihat oleh
mata. Pengelolaan sumberdaya manusia, dalam hal ini kebudayaan bahari yang hidup di pesisir
kita, nyaris tak pernah dikelola dengan baik. “Rabu (20/2), di ruang pola kantor Bupati Majene,
keberadaan pasar dadakan menjadi perbincangan serius. Forum yang membahas tentang
penertiban dalam rangka menghadapi penilaian adipura itu memutuskan
penertiban/pemindahan pasar dadakan tersebut.“Mohon petunjuk, sekaitan dengan pembuatan
surat, perlu penegasan, apakah akan ditertibkan (pasar dadakan di depan monumen posasi)
atau dipindahkan?” tanya Hifni Zakaria, Lurah Pangaliali dalam forum tersebut. “Dipindahkan
saja,” jawab DR. Fahmi Massiara, MH,. Bupati Majene. Keputusan yang diambil bupati setelah
mendengar berbagai pertimbangan dari para pejabatnya yang hadir. Pasar dadakan akan
dipindah ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang jaraknya hanya sekira 500 meter dari lokasi
pasar dadakan, ke arah Timur,” demikian kutipan berita di Mandarnews. Dengan mudahnya
bupati mengatakan “Dipindahkan saja.”
Sampah, Kematian Nelayan di Laut dan Bencana
Kita juga belum melihat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah di laut, khususnya di
pantai. Sebagai kabupaten atau provinsi yang memiliki garis pantai puluhan/ratusan kilometer,
harusnya pihak provinsi dan kabupaten sudah ada „cetak biru‟ pengelolaan sampah di kawasan
pesisir. Apakah ada?
Berdasar data di pemberitaan, selama tiga tahun dari 2016 sampai 2018, setidaknya terjadi 18
kejadian kecelakaan di laut yang dialami oleh nelayan pancing menggunakan perahu sandeq
kecil “paccumiq”. Dari kejadian itu, delapan ditemukan kembali dalam keadaan hidup, dua
mayatnya ditemukan, dan delapan hilang. Sampai kapan kejadian itu akan berlangsung? Sudah
adakah kebijakan pemerintah yang bertujuan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Misalnya ada langkah signifikan menerapkan teknologi monitoring di kalangan nelayan kecil
selama mereka di laut. Teknologinya sudah ada, tapi belum ada aplikasi di lapangan.
Pesisir Sulawesi Barat adalah daerah rawan bencana alam, dalam hal ini gempa bumi dan
tsunami. Ya, ada satu dua papan penunjuk arah evakuasi, misalnya di Kota Majene. Tapi kita
belum melihat langkah-langkah konkrit dalam rangka kontijensi bencana di daerah kita ini. Saat
tsunami Sulawesi Tengah terjadi, dengan mudahnya masyarakat kita termakan isu akan tsunami
dan banyak yang bingung untuk mengungsi ke mana.
Ketiadaan cetak biru hingga antisipasi komprehensif menghadapi bencana adalah bukti kesekian
bahwa memang sangat tipis semangat kebaharian cum wawasan kemaritiman di benak
18
pengambil kebijakan. Seandainya itu ada, perusakan lingkungan laut dan pendegradasian budaya
maritim yang masif (yang melibatkan peran pemerintah), mungkin tidak akan terjadi, setidaknya
minim.
Penutup
Fenomena di atas adalah bukti betapa pembangunan di kawasan ini tak berorientasi maritim.
Yakni pembangunan yang berlandaskan pada jiwa maritim, yang berlandaskan budaya bahari,
menjaga lingkungan laut, berinovasi, kosmopolit, dan terbuka. Ya, memang ada banyak
pembangunan fisik di Sulawesi Barat yang dilangsungkan di pesisir, “demi nelayan”, serta
sekian miliar anggaran untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Tunggu dulu, lebih satu dekade
Provinsi Sulawesi Barat terbentuk, adakah pembangunan beraroma kemaritiman yang bisa kita
banggakan?
Reklamasi di pantai Mamuju yang belakangan diikuti pembangunan jalan “ring road” terbukti
merusak lingkungan, yakni mudah dan seringnya banjir di Kota Mamuju; pengadaan 20 sandeq
yang entah mau diapakan si penerima (kabarnya gubernur Sulawesi Barat pernah berlayar
dengan salah satu sandeq proyek ini, tapi tiba-tiba “baratang-nya” patah); perahu feri kayu dan
ambulans oleh Pemkab Mamuju yang belum digunakan sudah rusak; hutan mangrove dirusak di
salah satu titik di Kabupaten Majene dengan alasan akan dibangun tanggul; pengeboman masih
sering berlangsung di Teluk Polewali dan Kepulauan Bala-balakang; dan lepasnya Pulau Lere-
lerekang yang membuat kita malu.
Pemerintah harus banyak membaca dan mempelajari kejadian masa lampau. Kita di Mandar,
jaya karena kebudayaan bahari. Sekarang itu berlanjut, kita bisa bangga karena ada puncak
kebudayaan bahari kita yang menasional dan menginternasional, yakni oleh sandeq. Dulu,
penjajah Belanda secara masif membuat kebijakan agar kebudayaan bahari kita lemah, salah
satunya melarang penggunaan perahu bertonase besar. Sekarang, pembangunan di pantai oleh
pemerintah memaksa nelayan untuk mengecilkan perahunya; menggeser mereka ke tempat lain,
agar tak „mengotori‟ mata. Senasib dengan penjual ikan, yang dianggap tak layak ada di tempat-
tempat strategis karena aroma menusuk ikan yang mengganggu. Jika pengambil kebijakannya
cerdas dan memiliki wawasan serta semangat bahari, yang akan dilakukan adalah sebaliknya,
memberi mereka tempat terbaik. Tapi apakah itu yang terjadi saat ini di negeri para pelaut ulung?

More Related Content

Similar to Kebijakan Tak Berbasis Budaya Bahari

Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layar
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layarPelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layar
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layarlupi piyah
 
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
Elfian Effendi
 
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa DasunBuku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
pemajuankebudayaande
 
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas GeoBima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
ElgradostSmancil
 
Tugas Observasi B Indonesia
Tugas Observasi B IndonesiaTugas Observasi B Indonesia
Tugas Observasi B Indonesia
Aji Triono
 
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
Debora Elluisa Manurung
 
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
Ryadhi EthniCitizen
 
24. Selayar
24. Selayar24. Selayar
24. Selayar
Prastika Dedyana
 
Geografi finni dan alya
Geografi  finni dan alyaGeografi  finni dan alya
Geografi finni dan alya
ElgradostSmancil
 
Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pelabuhan Tanjung Bonang RembangPelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pemerintah Rembang
 
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang RembangSelamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pemerintah Rembang
 
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan KangeanPerburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
Indonesia Infrastructure Initiative
 
Qunk
QunkQunk
Qunk
Qunk
 
Guest lecture by Aditya R Taufani
Guest lecture by Aditya R TaufaniGuest lecture by Aditya R Taufani
Guest lecture by Aditya R Taufani
Aswar Amiruddin
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Operator Warnet Vast Raha
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaOperator Warnet Vast Raha
 
Presentasi Pelabuhan Rembang
Presentasi Pelabuhan RembangPresentasi Pelabuhan Rembang
Presentasi Pelabuhan Rembang
Pemerintah Rembang
 
02 bab 1
02 bab 102 bab 1
Pariwisata Pulau Sumatera
Pariwisata Pulau SumateraPariwisata Pulau Sumatera
Pariwisata Pulau Sumatera
agrifinaamanda
 

Similar to Kebijakan Tak Berbasis Budaya Bahari (20)

Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layar
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layarPelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layar
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian kapal layar
 
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
Indonesia kejar percepatan pembangunan ekonomi dan transportasi dipinggir per...
 
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa DasunBuku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
Buku Katalog Pameran Produk Miniatur Kebudayaan Desa Dasun
 
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas GeoBima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
Bima Prabowo & Faisal Bagas - Tugas Geo
 
Tugas Observasi B Indonesia
Tugas Observasi B IndonesiaTugas Observasi B Indonesia
Tugas Observasi B Indonesia
 
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
Paper PKN "Manfaat Jembatan Selat Sunda Bagi Ketahanan Nasional"
 
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
Jelajah Batas edisi 1 April-May 2016
 
24. Selayar
24. Selayar24. Selayar
24. Selayar
 
Geografi finni dan alya
Geografi  finni dan alyaGeografi  finni dan alya
Geografi finni dan alya
 
Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pelabuhan Tanjung Bonang RembangPelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
 
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang RembangSelamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
Selamat datang di Pelabuhan Tanjung Bonang Rembang
 
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan KangeanPerburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
Perburuan Hiu dan Kebaharian Mandar di Kepulauan Kangean
 
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
Kebutuhan dan Tantangan Pengembangan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan...
 
Qunk
QunkQunk
Qunk
 
Guest lecture by Aditya R Taufani
Guest lecture by Aditya R TaufaniGuest lecture by Aditya R Taufani
Guest lecture by Aditya R Taufani
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
 
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbungaMengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
Mengintip sejarah dan budaya pulau batu berbunga
 
Presentasi Pelabuhan Rembang
Presentasi Pelabuhan RembangPresentasi Pelabuhan Rembang
Presentasi Pelabuhan Rembang
 
02 bab 1
02 bab 102 bab 1
02 bab 1
 
Pariwisata Pulau Sumatera
Pariwisata Pulau SumateraPariwisata Pulau Sumatera
Pariwisata Pulau Sumatera
 

More from Muhammad Ridwan Alimuddin

Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al QuranSaeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Diaspora Orang Mandar
Diaspora Orang MandarDiaspora Orang Mandar
Diaspora Orang Mandar
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace LineBalabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Nelayan Mandar Pemburu Tuna
Nelayan Mandar Pemburu TunaNelayan Mandar Pemburu Tuna
Nelayan Mandar Pemburu Tuna
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Posiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
Posiq, Tubuh, Rumah dan PerahuPosiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
Posiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Evolusi Perahu Bercadik di Mandar
Evolusi Perahu Bercadik di MandarEvolusi Perahu Bercadik di Mandar
Evolusi Perahu Bercadik di Mandar
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Coral Farm
Coral FarmCoral Farm
Hukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
Hukum Laut di Mandar: Aturang ParroppongangHukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
Hukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Mendokumentasikan Budaya di Sulbar
Mendokumentasikan Budaya di SulbarMendokumentasikan Budaya di Sulbar
Mendokumentasikan Budaya di Sulbar
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Memotret human interest
Memotret human interestMemotret human interest
Memotret human interest
Muhammad Ridwan Alimuddin
 
Kebudayaan Bahari Mandar
Kebudayaan Bahari MandarKebudayaan Bahari Mandar
Kebudayaan Bahari Mandar
Muhammad Ridwan Alimuddin
 

More from Muhammad Ridwan Alimuddin (12)

Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al QuranSaeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
Saeyyang Pattuqduq: Sebuah Tesis Tentang Tradisi Perayaan Khatam Al Quran
 
Diaspora Orang Mandar
Diaspora Orang MandarDiaspora Orang Mandar
Diaspora Orang Mandar
 
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace LineBalabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
Balabalakang The Great Barrier Reef in Wallace Line
 
Nelayan Mandar Pemburu Tuna
Nelayan Mandar Pemburu TunaNelayan Mandar Pemburu Tuna
Nelayan Mandar Pemburu Tuna
 
Posiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
Posiq, Tubuh, Rumah dan PerahuPosiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
Posiq, Tubuh, Rumah dan Perahu
 
Evolusi Perahu Bercadik di Mandar
Evolusi Perahu Bercadik di MandarEvolusi Perahu Bercadik di Mandar
Evolusi Perahu Bercadik di Mandar
 
Coral Farm
Coral FarmCoral Farm
Coral Farm
 
Mengenal Sandeq dalam Foto
Mengenal Sandeq dalam FotoMengenal Sandeq dalam Foto
Mengenal Sandeq dalam Foto
 
Hukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
Hukum Laut di Mandar: Aturang ParroppongangHukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
Hukum Laut di Mandar: Aturang Parroppongang
 
Mendokumentasikan Budaya di Sulbar
Mendokumentasikan Budaya di SulbarMendokumentasikan Budaya di Sulbar
Mendokumentasikan Budaya di Sulbar
 
Memotret human interest
Memotret human interestMemotret human interest
Memotret human interest
 
Kebudayaan Bahari Mandar
Kebudayaan Bahari MandarKebudayaan Bahari Mandar
Kebudayaan Bahari Mandar
 

Recently uploaded

Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
heri purwanto
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
pelestarikawasanwili
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
DwiSuprianto2
 
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptxPendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
AmandaJesica
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
Zainul Ulum
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
MuhaiminMuha
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
adminguntur
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
pelestarikawasanwili
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
ApriyandiIyan1
 
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptxMATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
DidiKomarudin1
 

Recently uploaded (10)

Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
Bahan Paparan SPI Gratifikasi Riau Tahun 2024
 
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdfMateri Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
Materi Edukasi Penyelamatan Mata Air.pdf
 
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakkRencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
Rencana Moderasi Lokakarya dua prgram guru penggerakk
 
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptxPendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
Pendanaan Kegiatan Pemilihan dari Dana Hibah (1).pptx
 
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdfCERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
CERITA REMEH TEMEH DESA ANKOR JAWA TENGAH.pdf
 
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdfRegulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
Regulasi Wakaf di Indonesia Tahun 021.pdf
 
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdfPPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
PPT SOSIALISASI DBHCHT Gempur Rokok Ilegal.pdf
 
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdfMitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
Mitigasi Penyelamatan Mata Air Nganjuk.pdf
 
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptxRapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
Rapat koordinasi penguatan kolaborasi_7 Juni 2024sent.pptx
 
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptxMATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
MATERI FASILITASI PEMBINAAN DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN PADA PEMILIHAN UMUM.pptx
 

Kebijakan Tak Berbasis Budaya Bahari

  • 1. 1 KEBIJAKAN TAK BERBASIS BUDAYA BAHARI Pembangunan Tanggul Mempercepat Kepunahan Perahu Sandeq Muhammad Ridwan Alimuddin, pemerhati kemaritiman Mandar. Disampaikan dalam Dialog Sejarah dan Budaya: Relevansi Sejarah dan Budaya Bagi Pembangunan di Sulawesi Barat, Majene 22 April 2019 Pengantar Sepertinya sejak awal memang tak diselimuti wawasan kemaritiman. Buktinya, undang-undang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat hanya mencantumkan “d. sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar dan Kabupaten Pasir Provinsi Kalimantan Timur” (Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2004). Pejuang pembentukan provinsi ini „lupa‟ (tak tahu?) bahwa ada Pulau Lere-lerekang, Pulau Lumu-lumu dan Kepulauan Bala-balakang di Selat Makassar. Dampaknya, Pulau Lere- lerekang (atau Lari-lariang) lepas, entah Pulau Lumu-lumu, dan penduduk di Kepulauan Bala- balakang lebih merasa sebagai orang Kalimantan Timur dibanding Sulawesi Barat. Tulisan ini mencoba memperlihatkan kebijakan pembangunan di Provinsi Sulawesi Barat yang tak dihidupkan oleh semangat atau wawasan kemaritiman oleh pihak terkait. Itu tercermin dalam jor-joran pembangunan tanggul di sepanjang pesisir Teluk Mandar. Pembangunan Tanggul Semena-mena Sepanjang Maret – April 2016 tiap hari truk berseliweran di jalan dan lorong Desa Pambusuang. Datang silih berganti membawa kerukan tanah dari Palippis sejauh 4 km. Truk disambut hangat eskavator: truk „memuntahkan‟ tanah dari pundaknya, lengan besi kuning membantu memindahkan tanah-tanah itu ke pantai yang telah dikeruk. Itulah bagian aktivitas pembangunan tanggul di pantai Pambusuang, Kecamatan Balanipa, dilaksanakan PT Tiga Bintang Griyasarana atas pembiayaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Balai Wilayah Sungai Sulawesi III. Nilanya Rp 20.281.000.000,- Pambusuang kuno mencakup empat desa. Dari Barat ke Timur dalam radius kurang tiga kilometer sambung menyambung Desa Galung Tulu, Sabang Subik, Pambusuang, dan Bala. Kampung-kampung inilah kampung terakhir di Mandar yang masih memiliki sandeq asli yang berukuran delapan meter ke atas. Miris, sebagian besar pantai di kawasan ini telah ditanggul. Nyaris sama dengan yang terjadi di sisi baratnya dari Tammangalle, Karama hingga Tangnga- tangnga. Tanggul „memanjakan‟ mata. Apakah tanggul berperan dalam mempercepat kepunahan perahu sandeq? Perahu Sandeq, Perahu Kebanggaan Dulu, sebelum tahun 80-an, ada ratusan perahu sandeq, dari pesisir Teluk Mandar hingga ke kampung-kampung nelayan di Majene yang menghadap langsung ke Selat Makassar. Sekarang, jumlah sandeq bisa dihitung jari. Pun itu hanya ada di Pambusuang. Coba cari, masih adakah
  • 2. 2 sandeq di Polewali dan di Majene yang sehari-hari nelayan setempat menggunakannya menangkap ikan? Sandeq, perahu bercadik khas Mandar, warisan Suku Austronesia. Ada beberapa jenis perahu di Mandar, tapi yang dibanggakan masyarakat Mandar (baca: Sulawesi Barat) dewasa ini hanya sandeq. Itu tercerminkan dari diabadikannya gambar sandeq di lambang Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Polewali Mandar. Adapun Kabupaten Majene, yang lebih dulu ada dibanding Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Polewali Mandar (sebelumnya Kabupaten Polewali Mamasa) menggunakan perahu jenis olanmesa, perahu lebih tua. Kesamaannya, sama-sama perahu bercadik. Sebab jadi lambang pemerintahan, gambar perahu sandeq terpampang di mana- mana, dari kantor pemerintah, lambang di baju dinas, aset-aset pemerintah (misal kendaraan dinas), dan publikasi acara pemerintahan. Belum lagi yang digunakan masyarakat umum, dari nama klub sepakbola hingga poster lomba perahu sandeq “Sandeq Race”. Sepertinya perahu sandeq adalah perahu dari Nusantara yang paling sering digunakan berekspedisi. Baik keliling Indonesia maupun ke luar negeri. Maupun dalam rangka menghadiri even-even kemaritiman di luar negeri. Pertengahan dekade tahun 90-an sandeq berkeliling ke beberapa negara ASEAN: Indonesia - Malaysia - Brunai - Singapura. Tak selisih lama, sandeq dari Rangas beserta pelautnya dibawa ke Prancis (dikirim lewat kapal laut) untuk kemudian dipamerkan beberapa bulan di salah satu museum terkenal di Prancis. Tahun 2013 kembali sandeq ke Prancis. Kali ini tiga unit dengan pelaut Mandar lebih banyak dan membanggakan, sebab dilayarkan di Selat Brest yang jadi bagian dari Samudera Atlantik. Sepertinya perahu sandeq adalah satu-satunya perahu dari Asia yang pernah berlayar di sana di zaman modern. Perahu sandeq juga digunakan berekspedisi oleh orang luar negeri. Pernah ke Thailand oleh orang Prancis (1997), ke Jepang oleh orang Jepang (jenis pakur yang mirip sandeq, 2009 - 2011), dan ke Australia (2011) oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin. Kesimpulannya, meski dibanding perahu legendaris dari Sulawesi Selatan, sepertinya sandeq lebih banyak digunakan dalam pelayaran-pelayaran napak tilas dan pameran. Tak dipungkiri, sandeq adalah perahu kebanggaan masyarakat dan pemerintah Sulawesi Barat. Ironisnya, itu sebatas kebanggaan! Mari kembali ke Maret 2016, ketika pantai tempat sandeq terakhir di Mandar dimusnahkan, diganti dengan tembok laut. Sekilas, pembangunan itu bertujuan melindungi masyarakat dari ombak besar. Betulkah demikian? Apakah tidak ada cara lain? Kenapa tidak belajar dari sejarah yang terjadi di pantai-pantai Majene? Perlukah Tanggul Beton? Dalam beberapa tahun terakhir, salah satu bentuk bencana yang sering menyita perhatian adalah abrasi pantai. Abrasi pantai bisa ditemukan di banyak kampung nelayan. Khusus di pesisir Teluk Mandar, lebih tepatnya dari Campalagian sampai Majene, yang parah abrasinya ialah di timur muara Sungai Mandar. Yakni Desa Tangnga-tangnga dan Desa Karama (khususnya Dusun Manjopaiq) untuk Kecamatan Tinambung, dan beberapa titik di antara Desa Galung Tulu sampai Desa Bala Kecamatan Balanipa untuk Kecamatan Balanipa. Sepertinya, pemerintah punya cara “gampang” untuk mengatasi abrasi: bangun saja tanggul beton di sepanjang garis pantai yang kena atau berpotensi abrasi itu. Maka dibangunlah tanggul
  • 3. 3 beton yang mengular di Desa Tangnga-tangnga, Dusun Manjopaiq Karama, Desa Galung Tulu. Belakangan itu juga diaplikasikan di Desa Pambusuang dan Desa Sabang Subik. Kabarnya ada beberapa instansi yang mendanai pembangunan tanggul. Mungkin itu sebab, tanggul-tanggul beton yang dibangun itu beda konstruksinya, misalnya yang ada di Tangnga-tangnga dengan yang ada di Karama, lalu beda lagi yang ada di Desa Galung Tulu. Yang dibangun di Desa Pambusuang dan Sabang Subik kemungkinan besar sama desainnya dengan yang ada di Desa Tangnga-tangnga, sebagaimana yang disampaikan perwakilan „pamborong‟ yang membangun tanggul di Pambusuang, “Desain kami sama di Polewali dan yang ada di Tangnga-tangnga.” Sekilas, pembangunan tanggul beton itu sebuah kemajuan. Simbol modernitas, kekokohan, rumah yang ada dibaliknya akan aman. Sip memang. Tapi apakah sesederhana itu? Alasan Menolak Tanggul Tanggul beton adalah salah satu teknologi hasil rekayasa manusia. Tujuannya macam-macam, bisa untuk pelabuhan, kawasan komersil, perkantoran dan melindungi pemukiman. Tanggul beton berfungsi mempertahankan kondisi tanah meski dihempas ombak. Kekuatan beton relatif, tergantung kelas semen dan komposisi campurannya. Meski tanggul beton yang kuat terbukti ampuh memberi perlindungan, tapi tak serta merta teknologi tersebut cocok untuk di semua tempat. Penentuannya harus mempertahankan banyak parameter di lokasi bersangkutan, baik itu kondisi fisik laut, geografis, populasi, lingkungan, dan kebudayaan setempat. Memperhatikan paramater atau faktor tersebut, maka desain konstruksi tanggul beton tidak semuanya cocok digunakan untuk melindungi kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar. Ambil kasus di Dusun Manjopaiq Desa Karama Kecamatan Tinambung. Kurang lebih empat tahun lalu, saya datang meliput ke Manjopaiq, saat ombak besar menyebabkan abrasi dan membuat beberapa rumah roboh. Kemudian dipasangi tanggul. Saya tanya orang di situ, "Ya, sekarang belum aman betul sebab di luar belum ada pemecah ombak dan tanggul ini belum teruji kekuatannya. Waktu saya ikut kerja menggali, cuma disuruh kedalaman pondasi sampai perut, jadi tahu sendiri kekuatannya," kata penduduk di Manjopaiq. Tanggul beton berpotensi menjadi bom waktu. Sebagaimana pembangunan tanggul beton di Desa Tangnga-tangnga, yang sempat terhenti karena ada sekelompok masyarakat yang dirugikan. Sampai bawa-bawa parang. Mereka adalah nelayan yang biasa mendaratkan (Bahasa Mandar-nya “mambuaq”) di daratan, beberapa meter dari garis pantai (jika sedang dicet, diperbaiki atau lama tak digunakan). Setelah ada proses mediasi, pembangunan berlanjut. Meski demikian, itu tak menyelesaikan persoalan. Saat bertandang ke Desa Tangnga-tangnga, di sekitar dermaga, beberapa nelayan sedang memperbaiki perahunya. “Sekarang perahu salah model posisi parkirnya, tidak mengahadap lagi ke laut. Kita sesuaikan kondisi. Ini sekarang masih longgar, tapi kalau naik semua kapal, itu tak muat. Juga repot, kalau kapal yang duluan masuk tapi ketika mau keluar ada kapal lain di situ, kan susah. Ini masih bisa didorong perahu lewat bagian yang tidak tertanggul ini. Katanya ini belum ditanggul karena anggarannya habis, tapi kalau ini ditanggul juga repotmi nanti itu,” kata salah satu kru kapal Permata.
  • 4. 4 Tambahnya, “Ya, kita dikorbankan. Tapi mau bagaimana, yang kita lawan penguasa. Kita sih tidak larang tanggul, tapi tanggulnya yang jauh di luar. Rumah aman, kapal juga leluasa keluar masuk dan tetap bisa simpan di atas daratan dengan gampang.” Hal senda disampaikan punggawa kapal Duta Merlin dari Desa Karama. “Dulu waktu saya masih kecil, di belakang rumah saya ini adalah garis pantai. Kita buang air di sini. Kemudian awal tahun 90-an, S. Mengga bangun tanggul kayu itu di luar sana. Sekarang, garis pantai bertambah hampir 50 meter. Kalau tanggul di luar itu menumbuhkan pasir. Beda kalau tanggul beton. Jadi sewaktu ada papproyek datang ke sini ngukur-ngukur, kita tanya, mau apa? Katanya mau bangun tanggul beton. Kami menolak, kami diajak ke kantor desa diskusi. Kami datang tapi di situ pendapat kami menolak. Kalau mau bangun tanggul, perkuat aja itu di luar pemecah ombak, ndak usah tanggul beton sampai ke sini, ke rumah kita. Tanggul di luar itu terbukti membuat kita aman. Kalau bangun tanggul di sini, mau dibawa ke mana kapal nelayan? Ini kita di Karama sudah jadi tujuan utama tempat simpan kapal dari kampung-kampung nelayan yang sudah ditanggul. Mereka itu jadi repot, jauh-jauh datang titip perahu sebab di kampung mereka sudah tak bisa." Sebab masyarakatnya bersatu menolak dibangun tanggul beton yang pas "menempel" di daratan, pusat Desa Karama saat ini menjadi salah satu pilihan utama tempat penitipan kapal nelayan. Dua contoh ialah dua kapal nelayan dari Desa Galung Tulu (juga sudah ditanggul, tetangga Desa Pambusuang) dan satu dari Desa Tanganga-tangnga. "Ya, banyak kapal dititip di sini, bisa penuh. Kalau ada kapal luar yang datang ke sini, mereka wajib donasi ke mesjid, 50 - 100 ribu. „Cinnong-cinnong ate‟. Tapi kapal dari Karama tetap diutamakan, jadi kalau semua dinaikkan ke darat, kapal pendatang diminta keluar atau ke tempat lain," kata Nur Said, salah satu pengusaha ikan di Desa Karama. “Nelayan Baqbarura datang juga ke sini simpan perahunya. Di sini aman, tidak abrasi sebab ada itu tanggul di luar. Sewaktu saya masih kecil, sudah ada memang itu pemecah ombak di luar. Kampung aman, perahu juga aman. Kalau tanggul beton dibangun sini, kita jelas tolak. Itu tanggul beton, kalau asal-asalan buatnya, terkikis itu di bawah. Jadi lama-lama rusak juga,” tambah Nur Said. Mengandalkan desa atau tempat lain sebagai tempat penitipan perahu bukan pemecahan masalah. Ya, dulu atau sekarang mungkin bisa. Tapi ketika Desa Pambusuang dan sekitarnya juga ditanggul, masalah besar bisa terjadi. Desa paling padat nelayan dan kapalnya di pesisir Teluk Mandar adalah Desa Pambusuang dan Sabang Subik. Ketika dua desa itu juga ditanggul, akan ke mana kapal didaratkan? Dusun Wai Tawar (Desa Tammangalle, sekitar 2 km dari Pambusuang) banyak perahu atau kapal di sana. Kapal yang dititip di sana adalah kapal yang tadinya ada di Desa Galung Tulu, yakni jenis kapal yang sudah dalam kondisi tua, yang akan digunakan masa perburuan ikan terbang. Tapi ketika kapal-kapal dari Pambusuang juga disimpan di situ, akan sempit. Belum lagi jaminan keamanan kapal, sebab ketika malam, pantai Wai Tawar itu sepi. Kenapa Wai Tawar aman dijadikan tempat mendaratkan perahu, selain tidak ada kampung padat di pantainya, juga di depan ada semacam pemecah ombak. Beton berlubang yang ditumpuk. Belakangan pantai
  • 5. 5 Desa Tammangalle juga ditanggul. Untung pantai yang sekarang ini dijakan tempat menyimpan perahu tak ditanggul, jadi masih ada harapan bagi nelayan untuk mengamankan perahunya. Hal-hal seperti ini tak dipikir oleh pemerintah dan papproyek, bahwa ada potensi konflik sosial, efek domino dari proyek yang asal-asalan. Asal-asalan dalam arti tak ada kajian mendalam, apakah teknologi itu cocok atau tidak. Umumnya masyarakat yang pro terhadap pembangunan tanggul beton di Pantai Pambusuang menganggap bahwa pihak yang tidak setuju terhadap pembangunan tanggul beton tidak peduli terhadap nasib rumah-rumah yang biasa dihantam ombak. Bahwa yang tidak setuju itu tidak merasakan penderitaan mereka yang tinggal pas di pantai. Bukan, bukan itu. Bahwa ketidaksetujuan yang dimaksud adalah bahwa konstruksi pelindung yang harus dibangun haruslah yang ramah lingkungan. Dan karena di lokasi pembangunan juga terkait dengan nelayan dan kebudayaan yang ada di situ, maka pelindung tersebut jugalah ramah terhadap keduanya. Dengan kata lain, yang dibutuhkan adalah pelindung multi fungsi: menghindarkan pemukiman penduduk dari abrasi dan pada saat yang sama juga bisa dijadikan perlindungan perahu nelayan. Tanggul pun jangan sampai menghalangi jika ada kapal atau perahu yang ingin dinaik-turunkan dari darat. Desa Pambusuang memiliki ratusan perahu nelayan. Jika hanya satu dua pintu masuk yang lebarnya 8 meter (bandingkan sandeq yang lebarnya 8 – 12 meter), maka itu tak akan mencukupi. Belum lagi jika menimbang akan di mana lokasi menyimpan perahu di darat? Setidaknya lima alasan mengapa pembangunan tanggul di Desa Pambusuang dan sekitarnya patut dikritisi: 1) Tidak berbasis kajian ilmiah atau dampak lingkungan; 2) Berpotensi merusak total habitat penyu untuk bertelur (meski ada banyak rumah di pantai, penduduk sering mendapati penyu-penyu naik bertelur di sepanjang pantai Pambusuang); 3) Berpotensi mempercepat kepunahan perahu kebanggaan Mandar yakni sandeq; 4) Menyulitkan nelayan atau pemilik perahu untuk menyimpan dan merawat perahunya; 5) Mempengaruhi budaya bahari yang dipraktekkan masyarakat pesisir, misalnya posisi penambatan perahu, kemudahan anak- anak bermain di pantai, dan semangat gotong royong. Teknologi yang Cocok Lalu teknologi apa atau pelindung bagaimana yang cocok agar tak terjadi abrasi, agar perahu tetap bisa dinaik-turunkan ke/dari darat tanpa membuat nelayan kerepotan? Yang cocok adalah pemecah gelombang. Pemecah gelombang itu letaknya tidak pas di pantai, tapi beberapa meter dari garis pantai. Biasanya di kawasan “arangang” (Bahasa Mandar, batas antara bagian yang dangkal dengan bagian dalam). Biasanya yang menjadi pelindung alami, yang meredam kekuatan ombak adalah terumbu karang. Tapi karena terumbu karang telah hancur (yang juga ulah manusia), maka peran pelindungnya jadi hilang. Pemecah gelombang itu rekayasa manusia, mengganti fungsi terumbu karang. Guna melindungi Pantai Pambusuang (dan sekitarnya) yang dibutuhkan adalah bangunan peredam, pemecah gelombang. Peredam gelombang bertujuan mereduksi atau menghancurkan energi gelombang. Gelombang yang menjalar mengenai suatu bangunan peredam gelombang sebagian energinya akan dipantulkan, sebagian diteruskan dan sisanya dihancurkan melalui
  • 6. 6 pecahnya gelombang, kekentalan cairan, gesekan dasar dan lain-lainnya. Pembagian besarnya energi gelombang yang dipantulkan, dihancurkan dan diteruskan tergantung karakteristik gelombang datang (periode, tinggi, kedalaman air) dan desain bangunan peredam gelombang yang digunakan. Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan yang dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Pemecah gelombang dibangun sebagai salah satu bentuk perlindungan pantai terhadap erosi dengan menghancurkan energi gelombang sebelum sampai ke pantai, sehingga terjadi endapan dibelakang bangunan. Endapan ini dapat menghalangi transport sedimen sepanjang pantai. Pemecah gelombang bisa kita temukan di pesisir Teluk Mandar, mulai dari Somba sampai Pambusuang. Tapi sebagian besar mengalami kerusakan dan tidak berfungsi sempurna sebab konstruksinya hanya berupa kayu ulin yang diisi batu-batu karang. Jika tidak dibuat kuat, ketangguhannya hanya beberapa bulan. Belum lagi kalau kayunya diambil, batunya berjatuhan. Namun di beberapa bagian signifikan memberi perlindungan pantai dari hempasan ombak, seperti di Somba (Majene) dan Karama (Tinambung, Polman). Di Somba, selain menggunakan kayu ulin, juga ada yang dibuat dari bentang tembok yang dicor. Ada juga tumpukan batu besar di sisi baratnya. Di depan TPI Majene, pemecah ombaknya berupa tembok tinggi, bukan tumpukan batu sebab berada di bagian dalam. Di Wai Tawar Tammangalle konstruksi pemecah ombaknya berupa tumpukan beton berbentuk tabung berongga. Bagian berongga menghadap laut. Di balik pemecah ombak itu tempat nelayan dari Pambusuang dan sekitarnya untuk menyimpan perahu. Pemecah Ombak di Mampie Berhasil Bukti terakhir betapa pemecah ombak lebih efektif dibanding tanggul di pantai bisa dilihat di Pantai Mampie. Beberapa tahun terakhir juga terjadi abrasi pantai di Pantai Mampie. Masyarakat resah di sana. Ada banyak foto di media sosial memperlihatkan fenomenasi abrasi di sana. Belakangan pemerintah berniat membangun tanggul untuk mengatasi masalah tersebut, tapi oleh Muhammad Yusri dan masyarakat di sana menolak jika menggunakan teknologi tanggul. Yusri, setelah bertanya ke saya, mengusulkan pemecah ombak. Usul Yusri diterima yang hasilnya terlihat beberapa bulan kemudian: pasir „tumbuh‟ di bagian yang abrasi. Hanya saja pemecah ombak yang dibangun waktu itu belum seberapa, beberapa puluh meter Pantai Mampie masih terbuka pada hempasan gelombang, sehingga abrasi masih terjadi. Kabar baik, beberapa pekan lalu, pembangunan pemecah ombak di Pantai Mampie dilanjutkan. Pemecah gelombang lepas pantai dibuat sejajar pantai dan berada pada jarak tertentu dari garis pantai. Penentuannya tergantung pada panjang pantai yang dilindungi. Pemecah gelombang lepas pantai dapat dibuat dari satu pemecah gelombang atau suatu seri bangunan yang terdiri dari beberapa ruas pemecah gelombang yang dipisahkan oleh celah. Penentuan celah dapat berdasar pada bagian dalam perairan, yang biasa digunakan nelayan setempat sebagai pintu masuk. Oleh nelayan Mandar disebut “pappaluangang”. Sebab pemecah gelombang ini dibuat terpisah atau berjarak beberapa meter dari garis pantai, namun masih berada di area gelombang pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah
  • 7. 7 gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi. Di bagian ini aman untuk menambatkan perahu, tempat anak-anak laut bermain (misalnya mainan perahu layar kecil), dan di situ bisa “tumbuh” pasir (sedimen). Berkurangnya energi gelombang di daerah terlindung akan mengurangi pengiriman sedimen di daerah tersebut. Maka pengiriman sedimen sepanjang pantai yang berasal dari daerah di sekitarnya akan diendapkan dibelakang bangunan. Pantai di belakang struktur akan stabil dengan terbentuknya endapan sediment tersebut. Fenomena ini bisa kita dapati di Pantai Karama. Pemecah ombak yang dibangun awal 90-an telah “menumbuhkan” pasir beberapa puluh meter ke arah laut. Biaya pembuatan pemecah gelombang relatif. Yang murah bisa menggunakan tumpukan batu berukuran raksasa berdiameter kurang satu meter, yang biasa disebut batu gajah. Seperti yang digunakan di bantaran Sungai Mandar. Yang mahal, misalnya membuat material penyusun batu buatan (beton). Cor semen dibuat sedemikian rupa, ada yang berbentuk kubus, piramida dan desain lain dengan dimensi setidaknya 1 x 1 meter atau setiap bagian memiliki berat yang tahan terhadap hempasan ombak (5 – 700 kg). Paling penting adalah kekuatannya alias tidak mudah hancur karena ombak (ini sangat dipengaruhi komposisi campuran semen, pasir, kerikil dan air). Teknologi ini saya saksikan digunakan di salah satu desa di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Contoh susunan tumpukan beton yang berfungsi meredam hempasan gelombang bisa disaksikan di TPI Majene, di dekat dermaga. Di situ betonnya berbentuk segitiga, mirip piramid. Waktu saya masih kecil pemecah gelombang itu sudah ada. Terbukti kekuatannya hingga kini. Kalau model begitu dan kekuatannya diadopsi di pantai-pantai kampung nelayan di Teluk Mandar, kecil kemungkinan abrasi terjadi. Di sisi lain, lebih aman untuk berlabuh dan nelayan pun dengan mudah mendorong perahunya ke atas pantai/darat bila akan diperbaiki atau lama tak digunakan. Terakhir, meski ada tanggul yang pas di pantai, hampir selalu masyarakat setempat tetap membutuhkan pemecah gelombang di bagian luar. Sebagaimana korban abrasi pantai di Manjopaiq Karama. Dua tahun lalu rumahnya roboh karena abrasi. Sekarang sudah ada tanggul berdiri semeteran dari lokasi rumahnya roboh, tapi dia mengatakan “Masih khawatir bila belum ada pemecah ombak di luar sana. Tanggul ini belum teruji. Kalau ombak betul besar, bisa sampai ke atap hempasan air laut jika datang menghantam.” Belajar dari Sejarah: Kepunahan Sandeq di Majene “Dulu perahu sandeq berjejer di pantai ini. Cantik sekali dilihat. Sejak dibangun tanggul, sandeq mati satu persatu. Sandeq mertua saya namanya Bunga Cengkeh mati gara-gara tanggul,” kenang Saribanong, wanita paruh baya di Tanjung Batu Majene, akan kejadian di awal tahun 90-an. Menurut Saribanong, yang diiyakan tetangganya seorang nelayan, Bahtiar, ketika ada tanggul beton ada di Tanjung Batu, Tangnga-tangnga dan Parappe (kampung nelayan di belakang SMA 1 Majene), nelayan sandeq (yang umumnya disebut „parroppo,‟ sebab menangkap ikan di roppo atau rumpon) kesulitan mendaratkan perahunya. Mereka pun menjualnya, ada ke nelayan bagang
  • 8. 8 (yang masih bisa dilihat di Teluk Majene), nelayan sandeq dari kampung lain, penambang pasir dan usaha penyeberangan di sungai. “Tapi banyak juga yang hancur di tempat. Sejak sandeq tak ada di sini, kita jadi jarang makan toppa,” tambah Saribanong. “Awal-awalnya sandeq kita bawa ke Tanangan, Baraneq atau Tamo. Tapi lama kelamaan akhirnya dijual juga. Itu resiko kita sebagai nelayan. Tapi ada juga dampak bagusnya itu tanggul, rumah jadi aman dari hempasan ombak dan tanah tambah luas,” kata Bahtiar. Pola yang sama terjadi di Pambusuang. Sewaktu tanggul menggantikan pantai berpasir, makin banyak dibuat perahu bercadik kecil, khususnya katitting. Salah satu kru Perahu Pustaka, Puaq Pia, tak menggunakan lagi sandeqnya digantikan perahu katinting. Katanya, “Susah angkat dan merawat sandeq sejak ada tanggul.” Pantai Tanjung Batu Majene memiliki dua lapis tanggul beton. Lapis pertama dibangun di masa Mustar Lazim (menjabat 1990 – 1995) dan lapis kedua, yang baru berumur kurang lebih dua tahun, di masa Kalma Katta (sekarang). Antar lapis pertama dengan kedua berjarak kurang lebih 50 meter. Jika di kampung Tangnga-tangnga antara lapis pertama dan kedua sudah ditimbun, di Tanjung Batu tidak. Soalnya di bagian yang tak ditimbun tersebut masih digunakan nelayan menyimpan perahunya. Agar bisa keluar, ada celah selebar delapan meter. Selain perahu, di situ juga sarang sampah. “Kita nelayan di sini tidak mau ditimbun kalau belum ada tanggul pemecah ombak di luar sana. Mana bisa aman perahu kita kalau tidak ada pengaman di luar,” jelas Hasri, yang biasa ikut Sandeq Race bersama sandeq Pammase. Hasri juga mengenang masa-masa ada sandeq di Tanjung Batu. “Sandeq terakhir saya itu namanya Sinar Mutiara. Pernah ikut lomba sandeq yang masih diadakan Kodim. Nanti belakangan bawa sandeq Kuda Laut, punya pak Tashan Burhanuddin. Sandeq dulu yang kita pakai kerja kita jual. Sejak ada tanggul susah kasih naik, apalagi kalau musim barat. Saya biasanya titip ke Baurung tapi kan repot kalau terus-terusan begitu,” kata Hasri yang saat ditemui sedang membuat sandeq model katitting. Tanggul beton di garis pantai, yang membuat perahu ukuran besar sulit untuk disimpan di darat bukanlah penyebab satu-satunya sandeq musnah di Majene. “Sandeq mulai hilang gara-gara digeser sandeq katinting. Kan kalau pakai sandeq butuh 2-3 sawi, sedang kalau katitting, sendiri saja. Jadi bisa dapat sendiri hasilnya. Katitting mulai muncul gara-gara di masa pemerintahan Mustar Lazim kita di sini, ndak salah 20 nelayan, dapat sumbangan mesin,” kata Sail, lelaki tua di Cilallang Majene. “Tapi betul, adanya tanggul juga menyebabkan sandeq makin cepat hilang. Kan susah kita naikkan kalau mau simpan di darat. Jadi „dilanggaq‟ saja di laut atau kalau mau disimpan lama atau diperbaiki, kita bawa ke Rangas sana, biasa juga sampai ke Luaor,” kata Suaib, mantan nelayan di Cilallang. Tanggul beton yang mempengaruhi aktivitas nelayan juga sangat terasa di Tanangan Majene. “Di sini, kalau lokasi sini penuh, kita titip kapal di Passarang. Kan di sana belum ditanggul. Di sini tinggal segini yang bisa kita tempati kerja. Biasa, kalau pasang air, permukaan laut bisa sampai di lambung kapal yang sedang kita kerja. Kalau yang mengecet, tunggu air surut baru
  • 9. 9 bisa kerja. Air pasang berhenti lagi,” kata punggawa sandeq Surya Persada, yang biasa menjuarai Sandeq Race. Begitu terasanya dampak negatif tanggul beton, punggawa sandeq Surya Persada sampai beberapa kali menitip harapan ke saya agar tak ada tanggul beton di Pambusuang. “Pambusuang itu banyak sekali kapal, di sana juga ombak keras. Kita juga alami di sini, tanggul itu lama kelamaan licin atau banyak tiramnya. Banyak yang luka-luka kalau tergelincir. Biasa juga, ombak balik yang habis menghantam tanggul membahayakan kapal. Jadi, jangan sampai ada tanggul beton di Pambusuang. Kita sudah alami penderitaan di sini. Cukup bangun tanggul pemecah ombak di „arangang‟ sana. Dua-duanya aman, kita nelayan sama rumah,” kata sandeq Surya Persada. Pengalaman atau apa yang dialami nelayan yang pantainya telah ditanggul beton (Tanjung Batu, Cilallang, Tanangang) patut diketahui oleh pemerintah atau instansi atau „papproyek‟ yang membangun tanggul di kampung nelayan yang memiliki banyak kapal, yang mana kapal mereka tersebut biasa disimpan di darat. Menurut pihak perwakilan „pamborong‟ yang sewaktu mengerjakan tanggul di Pambusuang, katanya dibuatkan pintu masuk untuk kapal. Jadi kapal tetap bisa keluar masuk, dari pantai ke darat, seperti yang terlihat di tanggul Desa Tangnga- tangnga (Tinambung Polman) dan Desa Rangas (Majene). Ya, itu bisa jika kapal tidak seberapa jumlahnya dan tidak besar-besar serta ada beberapa tanah lapang untuk menyimpan perahu. Tapi kalau kapal amat banyak dan tak ada tempat lapang, sebagaimana yang Desa Pambusuang, jelas akan menimbulkan masalah. Itulah yang terjadi saat ini. Bila kita memperhatikan citra satelit Desa Pambusuang dan Desa Sabang Subik, ada ratusan kapal motor dan sandeq yang disimpan di darat. Ketika tanggul memagari pantai, semua perahu itu harus diturunkan, disimpan atau dilabuhkan di laut (atau dititip ke kampung lain). Bayangkan, apa yang akan terjadi. Ironi maha sedih ketika sandeq terakhir di Mandar musnah gara-gara tanggul beton, padahal ada alternatif teknik atau desain lain agar pemukiman aman dari abrasi laut. Lebih ironis, kita tak belajar pada sejarah. Bahwa salah satu penyebab utama sandeq hilang atau mati di Majene itu gara-gara tanggul beton. Pendapat Tokoh yang Menolak Tanggul Laut setia mengirim ombak // ke pantai-pantai // ombak ditolak // di tepi pantai // laut ditolak // tepinya sendiri. Demikian kutipan puisi “Panglima Puisi” Indonesia yang berasal dari Mandar, Husni Djamaluddin, dari puisinya berjudul Laut. Apa yang dituliskan Husni beberapa dekade lalu terjadi saat ini, ketika kita, orang Mandar, yang bangga sebagai asal pelaut ulung, yang bangga akan perahu sandeq serta kebudayaan baharinya, menolak laut dengan membangun tanggul beton. Di beberapa kampung nelayan telah terjadi, termasuk di benteng terakhir perahu sandeq di Mandar, Desa Pambusuang. Gerakan advokasi penyelamatan kebudayaan bahari Mandar dan lingkungannya, yang disebabkan kegiatan pembangunan tanggul beton, mendapat apresiasi beberapa individu atau tokoh, baik yang ada di Sulawesi Barat dan Selatan maupun yang ada di Jakarta. Budayawan Mandar yang tinggal di Makassar, Suradi Yasil juga turut prihatin dengan rencana pembangunan
  • 10. 10 tanggul beton di Pambusuang. “Baiknya pakai teknologi yang ramah lingkungan, seperti pemecah ombak. Bagaimana pun, kebudayaan bahari Mandar yang tercermin dalam kegiatan komunitas maritim di Pambusuang harus kita lestarikan. Dengan tetap memperhatikan masyarakat yang tinggal di kawasan abrasi,” kata Suradi Yasil yang juga dikenal sebagai aktivis lingkungan dan pernah aktif di organisasi Walhi. Horst Liebner yang saat ini juga berada di Mandar juga berpendapat sama. Katanya, “Susah itu sandeq kalau mau disimpan di darat dan diperbaiki bila ada tanggul yang menghalangi,” kata Horst Liebner, antropolog maritim si penggagas Sandeq Race. Penulis dan beberapa pesohor di Jakarta juga mulai bergerak memberi dukungan terhadap pelestarian kebudayaan bahari Mandar. Yang paling aktif dan getol bersuara di media sosial, Facebook dan Twitter, adalah Maman Suherman. Maman Suherman, yang baru-baru ini tinggal di Desa Pambusuang selama lima hari dan suatu waktu menikmati senja di pantainya, menuliskan sajak khusus sebagai bentuk perhatiannya terhadap lingkungan pantai Pambusuang dan kebudayaan baharinya. Itu terbaca di salah satu status Facebooknya yang diunggah Kamis pagi (31/3/16). Berdiri di Pantai Pambusuang, Mandar, pada suatu hari // Menatap ufuk semburat jingga // Merasakan debar debur ombak yang bersetia menyapa pantai // Kubermimpi tentang lautmu yang bersih tanpa sampah // Kubermimpi tentang tepi pantaimu yang tak didatangi kambing- kambing // Yang berebut memakan sampah yang dibuang warga sepanjang hari // Kubermimpi tentang ayunan lepa-lepa, lopi, sandeq baqgo, // Yang bersetia diayun ombak di tepian // Yang bersedia setiap saat untuk membawamu melaut // Sekali layar dikembangkan, pantang surut ke belakang // Menjemput ikan-ikan, mutiara rezeki-Nya // Mengawal alam dan budaya kelautan Anak Mandar // Yang terwariskan turun-temurun // Alam terkembang menjadi guru // Lautan terhampar menjadi samudera ilmu // Jangan pernah kau ceraikan laut dan tanah Mandar // Dengan tembok beton pemisah, tanggul yang angkuh // Apakah tanggul pemecah ombak tidak cukup? // Apakah kau rela mengusir semua perahu warisan nenek moyangmu dari tepian Pambusuang? // Teruslah berlayar saudara-saudaraku // "Tanah air" adalah penggal kata yang tak boleh dipisahkan // Bagi anak Mandar // Tanah saja tak cukup // Air saja tak cukup // Tanah air yang menyatu tak terpisah beton angkuh // Tak terpenjara tembok angkuh. Sejarawan nasional yang juga aktif menolak pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta, JJ Rizal, yang sudah tiga kali datang ke Desa Pambusuang, juga melakukan kampanye di dunia maya agar tanggul beton yang bertujuan merusak kebudayaan bahari Mandar tidak jadi terbangun. Hal itu diwujudkan dengan membantu me-retweet informasi yang datang dari Mandar, yang menentang pembangunan tanggul beton. Penulis dari Yogyakarta, seperti Puthut EA pun bersikap sama. Yang meminta kenalan-kenalannya yang juga pesohor untuk membantu gerakan teman-teman di Mandar. Salah satunya yang juga mulai membantu adalah Ryani Djangkaru, mantan presenter Jejak Petualang di televisi. Gerakan massif yang terjadi di dunia maya haruslah diperhatikan pengambil kebijakan di daerah ini, baik Kabupaten Polewali Mandar maupun Provinsi Sulawesi Barat. Jika pemerintah tidak mengapresiasi atau melakukan pembiaran atau sama sekali tidak melakukan proses diskusi komprehensif yang melibatkan seluruh stakeholder, maka itu akan menjadi preseden buruk.
  • 11. 11 Bukan apa. Selama ini kita selalu membanggakan kebudayaan bahari kita. Misal penggunaan simbol-simbol bahari di Pawai Budaya Nusantara beberapa tahun lalu, yang mana Sulawesi Barat juara satu. Kemudian selalu mengadakan Sandeq Race. Di sisi lain, saat ini, sejak kepemimpinan Joko Widodo, kemaritiman menjadi perhatian utama. Sewaktu pihak Indonesia menjadi bintang tamu di Festival Europalia di Belgia 2017 – 2018, yang dibawa juga tema maritim. Ironi. Sebab realitas selama ini, sadar atau tidak, pemerintah melakukan pembiaran terjadinya kemusnahan beberapa bentuk kebudayaan bahari kita. Parahnya, saat ini, di depan mata, dialami oleh sandeq. Sandeq, yang simbolnya hampir digunakan semua aparat sipil negera di bajunya. Baik berupa pin berwarna emas di dada maupun di lambang daerah (Sulawesi Barat, Polewali Mandar). Ironi. Sebab yang getol mendukung upaya pelestarian kebaharian Mandar adalah orang-orang luar Mandar. Hampir sepekan sejak terjadinya penolakan usaha pembangunan tanggul beton di Desa Pambusuang, tak satu pun respon yang berasal dari pengambil kebijakan di daerah ini. "Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil, menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari selatan ke utara. 'Atas Angin' sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai lagi ..." dalam Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Sejarah terulang, terjadi di depan mata kita, di Pantai Pambusuang, kampung kelahiran Baharuddin Lopa, yang desertasinya tentang kemaritiman Mandar. Saya sangat yakin, jika beliau masih hidup, pasti juga akan menolak pembangunan tanggul! Pantai Palippis Nyaris Ditanggul Juga Kurang lebih setahun dari pembangunan tanggul di Pantai Pambusuang, tepatnya di bulan Maret - April 2017, kejadian „lucu nan menyedihkan‟ terjadi. Ceritanya tahap kedua atau pembangunan tanggul di Pantai Pambusuang akan dilanjutkan, dari Dusun Parappe sampai Desa Bala oleh PT Rama Karya Cipta senilai Rp 12.288.200.000. Sudah disurvei dan material akan dibawa datang. Masyarakat, khususnya nelayan, yang akan ditanggul pantainya menolak. Mereka melihat dampak negatif pembungunan tanggul tahap pertama, mereka tidak mau menerima nasib yang sama. Kabarnya aspirasi penolakan keras mereka disampaikan beramai-ramai ke Kantor Desa Pambusuang. Menyadari hal itu, pihak Desa Pambusuang menyampaikan ke pihak kabupaten. Dan dengan gampangnya pihak pemerintah Kabupaten Polewali Mandar menunjuk Pantai Palippis sebagai pantai pengganti yang akan ditanggul agar proyek jalan terus. Maka dibawalah material batu besar dan mesin pengaduk semen ke Pantai Palippis. Pantainya yang berpasir putih mulai dikelupas oleh eskavator untuk persiapan pembangunan pondasi. Media sosial bergolak. Beberapa pemerhati budaya dan wisata di Sulawesi Barat terang menolak. Satu-satunya pantai putih di pesisir Teluk Mandar dan selama ini menjadi tempat wisata terkenal akan ditanggul. Apa kata dunia? Menyaksikan protes di media sosial, dan dengan gampangnya lagi (tanpa menggunakan kajian ilmiah), ditunjuklah pantai di Desa Tammangalle untuk
  • 12. 12 dibangungi tanggul. Karena pantai itu tak dimukimi penduduk, memang juga ada abrasi, dan pihak Desa Tammangalle menyetujui, maka berlanjutlah pembangunan tanggul di sana. Itu bisa dibaca di pemberitaan Radar Sulbar, 28 April 2017 “Tanggul Palippis Dipindahkan ke Tammangalle”. Berikut kutipannya, “Pekerjaan tanggul di Palippis Desa Bala Kecamatan Balanipa, Polman dihentikan. Sudah sepekan ini aktivitas pengerjaan tanggul dihentikan. Walaupun bahan material tanggul seperti batu gunung, pasir dan besi serta alat pengaduk semen masih ada di lokasi. Tetapi sudah tidak ada aktivitas pekerjaan. Informasi yang didapatkan adanya penolakan warga, khususnya pemilih lahan sehingga pelaksana proyek memindahkan lokasi tanggul tersebut. Beberapa hari yang lalu diadakan pertemuan di Desa Panyampa Kecamatan Campalagian, Polman antara pemerintah daerah dengan pemilik lahan. Pertemuan yang dihadiri Bupati Polman Andi Ibrahim Masdar, Camat Balanipa Arifin Halim, pemilik lahan Aco Muhiddin, Aco Jalaluddin dan Muh Bisri. Dalam pertemuan itu didapat kesempakatan tanggul di Palippis dipindahkan ke Desa Tammangalle Kecamatan Balanipa. “Kami selaku pemilahan mengangap itu bagus, tetapi harus diperhatikan dulu apa sudah disetujui atau tidak. Jangan sampai sudah disana ada lagi penolakan dari masyarakat,” kata Muh Busri salah seorang pemilik lahan saat dihubungi Kamis 27 April. Terpisah Camat Balanipa, Arifin Halim membenarkan kalau pembuatan tanggul di Palippis dipindahkan ke Desa Tammangale. “Persoalan tanggul sudah selesai, kerena dipindahkan ke Tammangalle. Jadi saya harap pembuatan tanggul ini jangan lagi dibesarbesarka,” terang Arifin Halim. … Terpisah, Bupati Polman Andi Ibrahim Masdar ketika dihubungi mengaku adanya pertemuan dengan pemilik lahan di Palippis terkait masalah tanggul saat kunjungannya ke Panyampa pekan lalu. Ia juga tidak menampik jika proyek tanggul itu dihentikan sementara. Menurutnya sebagai pemerintah daerah sebenarnya meminta desain tanggul penahan ombak direvisi. Tetapi karena proyek tersebut dari Kementerian PUPR melalui Balai Sungai Sulawesi III, pihaknya hanya mengusulkan tetapi kewenangan berada di kementerian.” Begitu mudahnya proyek-proyek berdampak besar terhadap lingkungan dan sosial pemerintah main tunjuk. Sama sekali tak ada kajian dampak lingkungan. Dampak Terhadap Ekologi Yang juga luput dari perhatian adalah pembangunan tanggul beton di sepanjang Desa Pambusuang dan desa-desa sekitarnya adalah memiliki dampak negatif terhadap ekologi. Selain akan mengubah geomorfologi pantai, juga akan menghilangkan habitat penyu untuk bertelur. Nelayan sering mendapati adanya telur-telur penyu yang disembunyikan induk penyu di bawah pasir pantai. Enam tahun lalu, tepatnya 24 Agustus 2013, puluhan tukik tiba-tiba muncul persis di samping rumah salah satu penduduk di Desa Pambusuang. Nongol satu per satu persis di samping bagian pondasi rumah, menjelang jam delapan malam. Menurut Dahri Dahlan, pemerhati penyu yang juga putra Pambusuang (saat ini dosen di Universitas Mulawarman Kalimantan Timur), “Saudara Irwan Syamsir mengabari saya bahwa ada banyak anak penyu ditemukan. Saya segera ke sana sambil membawa senter dan ember. Tiba di sana, dibantu beberapa anak kecil di sana, anak penyu atau tukik saya simpan ke ember lalu memindahkan ke baskom lebih besar. Ke dalam ember saya masukkan air laut. Tukik itu saya simpan dulu sebagai upaya penyelaman.”
  • 13. 13 Tapi kalau menyampaikan ke pemborong atau pejabat bahwa jangan membangun tanggul sebab akan merugikan penyu, mungkin mereka akan menganggap itu hal sepele, ketawa-ketawa saja. Bahwa penyu itu ndak apa-apa dikorbankan, tidak apa-apa habitat bertelur mereka dihilangkan asal proyek tetap jalan. Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologis. Secara umum, dalam kegiatan Analisis Dampak Lingkungan (ADL), dampak pembangunan diartikan sebagai perubahan yang tidak direncanakan yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan. Dampak dapat bersifat biofisik, dapat juga bersifat sosial-ekonomi dan budaya. Misalnya, dampak pembangunan tanggul beton ialah berubahnya nilai budaya penduduk di daerah setempat. Seperti kesulitan menyimpan perahu yang rata-rata berukuran besar mendorong mereka untuk membuat ukuran kecil, yang mudah mereka simpan. Lama-kelamaan, maka perahu seperti sandeq akan hilang digantikan oleh katinting. Pembangunan itu dapat mengakibatkan dampak primer biofisik dan atau sosial-ekonomi budaya. Dampak primer juga akan mempengaruhi sasaran kesejahteraan yang ingin dicapai. Dapat juga terjadi dampak primer itu menimbulkan dampak sekunder, tersier dan seterusnya yang masing- masing dapat bersifat biofisik atau sosial-ekonomi budaya. Untuk dapat melihat bahwa suatu dampak atau perubahan telah terjadi, kita harus mempunyai bahan pembanding sebagai acuan. Untuk kasus tanggul beton yang dibangun di Pambusuang, contoh pembanding bisa ditemukan dengan mudah di beberapa kampung pesisir yang terletak tak jauh dari Pambusuang, yang mana di tempat tersebut telah ada tanggulnya. Misal Desa Galung Tulu, Dusun Manjopaiq Desa Karama, Desa Tangnga-tangnga, Desa Tanjung Batu, Tanangan hingga Rangas di Majene. Dampak bisa bersifat negatif maupun positif. Untuk negara-negara maju, malah dampak positif diabaikan jika ada dampak negatifnya (Otto Sumarwoto, 1991). Positif dan negatif, baik dan buruk tidaklah mutlak. Kadar baik dan buruk suatu hal tergantung sudut pandang. Sudut pandang itu menentukan tolak ukur yang dipakai untuk menilainya. Sudut pandang kadang juga berubah- ubah, karena itu tolak ukurnya juga demikian. Makanya akan kita dapatkan pada penilaian dampak, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi dapak itu baik (positif) atau buruk (negatif). Salah satu faktor penting dalam penentuan itu ialah apakah seseorang diuntungkan atau dirugikan oleh sebuah proyek pembangunan tertentu. Umumnya penyebaran manfaat dan biaya proyek tidaklah merata secara geografis maupun pada berbagai kelompok msyarakat. Misalnya, pada pembangunan tanggul beton untuk melindungi pantai Desa Pambusuang dari abrasi pantai. Yang tinggal di garis pantai akan mendapat keuntungan sebab rumah mereka jadi aman (meski hanya sesaat sebab tanggul beton membutuhkan lagi pemecah ombak di luar). Tentu mereka akan menganggap pembangunan itu positif. Sebaliknya, penduduk yang memiliki kapal atau perahu akan dirugikan sebab ketika ada tanggul, mereka tak bisa mengamankan lagi perahunya ke atas daratan. Dampaknya perahu mereka gampang rusak, baik karena sering terendam air laut maupun karena hempasan ombak besar. Bagi mereka, pembangunan itu berdampak negatif.
  • 14. 14 Penilaian dampak merupakan pertimbangan nilai dan karena itu bersifat subyektif, meski penilaian itu oleh pakar sekalipun, kata Otto Sumarwoto yang juga menulis buku Ekologi Lingkungan. Mengingat hal itu konflik selalu terjadi. Oleh sebab itu, Analisis Dampak Lingkungan seharusnya mencakup pula usaha untuk mengatasi, atau paling sedikit, memperkecil konflik itu. Dengan kata lain, dicarikan jalan tengah agar dua kelompok tersebut sama-sama mendapat dampak positif dan dampak negatif juga demikian, sangat sedikit mereka rasakan. Jalan tengah yang diusulkan adalah pemecah atau peredam ombak. Yang terletak beberapa puluh meter dari garis pantai, yang tidak persis berada di atas garis pantai sebagaimana tanggul beton. Selain bisa melindungi pemukiman penduduk, juga bisa melindungi perahu yang diparkir di belakangnga (antara pemecah ombak dengan pantai). Sebab bangunan pelindung itu tidak persis di darat, maka perahu tetap dengan mudah dinaik-turunkan. Meski demikian, sebab pemecah ombak bukan pelindung alami, dia juga bisa menghasilkan dampak negatif jika tidak dihitung secara cermat. Dalam buku “Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil” (2012) karya Subandono dan kawan-kawan, setidaknya ada lima penyebab abrasi pantai yang ditimbulkan oleh prilaku manusia. Pertama adalah terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunan seperti jetty, groin, pemecah ombak, reklamasi, dan lain-lain yang menjorok ke laut. Ketika gelombang menuju pantai dengan membentuk sudut terhadap garis pantai akan menimbulkan arus sejajar pantai di zona gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensi yang ditimbulkan oleh gelombang pecah tersebut akang mengerosi sedimen dasar dan mengaduknya menjadi material yang terlarut di air laut. Bangunan yang menjorok tersebut dan adanya energi laut yang membawa material akan mengubah konfigurasi pantai membentuk keseimbangan baru. Berikutnya adalah erosi pantai terjadi karena arus pusaran akibat adanya bangunan tembok laut (seawall). Gelombang yang mendekati pantai, oleh tembok atau tanggul laut sebagian dipantulkan ke arah laut. Gelombang hasil pantulan ini akan berasosiasi dengan gelombang datang sehingga menimbulkan efek standing wave dan menimbulkan arus pusaran di samping kiri dan kanan tanggul laut. Ini akan sangat dirasakan oleh nelayan yang menggunakan perahu kecil, seperti lepa-lepa. Ketiga dan keempat adalah berkurangnya suplai sedimen dari sungai yang disebabkan pemindahan muara sungai dan akibat penambangan karang – pasir pantai. Perubahan itu akan mengakibatkan perubahan kedalaman, pola arus, pola gelombang dan erosi pantai. Jika pasir dan terumbu karang diambil, maka benteng alami yang selama ini menjadi peredam ombak akan hilang, yang pada gilirannya ombak yang menghantam pantai tak teredam lagi. Dan kelima adalah karena adanya penggundulan hutan mangrove. Perakaran mangrove biasanya menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai peredam energi gelombang yang akan mencapai pantai, misalnya gelombang tsunami. Dampak abrasi pantai yang diakibatkan penggundulan hutang mangrove bisa disaksikan di pesisir Mamuju hingga Mamuju Utara. Yang banyak terjadi selama ini, upaya perlindungan kawasan pesisir terhadap abrasi masih banyak dilakukan dengan pendekatan “kekerasan”. Yaitu dengan membuat pelindung pantai
  • 15. 15 yang dari segi keindahan dan ekologis kurang ramah. Struktur keras tersebut adalah tembok laut, pelindung tebing, groin, jetty, krib, dan tanggul laut. Penangangan yang bersifat separuh atau parsial, „mendadak‟ atau sporadis dan kurang menyeluruh (komprehensif) menimbulkan masalah baru. Hanya memindahkan lokasi abrasi dari tempat yang dilindungi ke tempat lain yang kurang mendapat perhatian. Efeknya, erosi pantai tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Belum lagi dampak sosial-ekonomi dan budayanya. Dengan dibangunnya tembik atau tanggul laut yang dibuat pada garis pantai sebagai pembatas antara daratan di satu sisi dan lautan di sis lain. Niatnya berfungsi sebagai pelindung garis pantai dari serangan gelombang serta untuk menahan tanah di belakang tanggul laut tersebut. Tanggul laut diharapkan bisa menghentikan abrasi pantai. Karena struktur tembok laut berupa bangunan yang masif, maka pantulan yang ditimbulkan oleh bangunan tersebut akan meningkatkan tinggi gelombang bahkan dapat pencapai dua kali tinggi gelombang datang dan dapat menjadi gelomban tegak. Efeknya, di depan struktur tersebut justru akan terjadi gerusan yang kadang dapat membahayakan struktur itu sendiri. Pemecah ombak pun demikian, yang juga diharapkan melindungi pantai sebab dia berfungsi menahan energi gelombang. Daerah di belakang pemecah ombak akan lebih tenang dibanding daerah sekitarnya sehingga sedimen yang terbawa sejajar pantai akan terhenti di belakang. Jika tak diperhitungkan baik-baik, pemecah ombak yang konstruksinya asal-asalan bisa menyebabkan erosi pantai di luar daerah ombak terpecah. Refleksi dari pemecah ombak juga bisa menyebabkan keadaan gelombang di sekitar bangunan justru meningkat sehingga menimbulkan gerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur pemecah ombak juga bisa mengubah pola arus atau sirkulasi air pantai. Wawasan Bahari dan Kualitas Kepemimpinan “Kalau proyek ini tidak jalan, anggaran akan dikembalikan ke pusat. Kita akan susah dapat bantuan lagi,” demikian kira-kira yang dikatakan salah seorang pejabat Kecamatan Balanipa mengomentari polemik pembangunan tanggul di pantai Pambusuang di hadapan jamaah Mesjid At Taqwa usai shalat Jumat (1/4/16). Kalimat-kalimat pamungkas macam itu sering dikemukakan untuk “menakut-nakuti” atau “memaksa secara halus” masyarakat, bahwa seolah-olah kita (masyarakat) akan rugi besar kalau proyek tidak jalan. Masyarakat yang pintar kadang menimpali, “Memangnya kalau kembali kan masuk kas negara lagi. Kan tidak rugi.” Ada masyarakat di Desa Bala, yang mana nelayannya sepakat menolak ada tanggul di Pantai Bala (setidaknya Kampung Makula) mengatakan, “Ya, kan yang rugi kalau tidak ada proyek pamborong. Tapi kalau proyek jalan terus, yang susah kita. Selesai proyek mereka pergi, tinggalkan masalah.” Jika proyek tidak jalan atau ada masalah saat proyek dikerjakan itu artinya ada yang tidak beres. Ada sistem yang tidak berjalan. Misalnya, tak ada kajian mendalam yang dilalukan sebelum proyek dilakukan. Dan ada “ketakutan”, kalau proyek tidak dijalankan, maka uang akan kembali. Salah satu contoh yang hangat berkembang di masyarakat Desa Bala adalah proyek perumahan nelayan yang letaknya tak jauh dari Palippis.
  • 16. 16 Saat peresmiannya oleh Gubernur Sulawesi Barat dan Bupati Polewali Mandar (bertepatan ulang tahun Kabupaten Polewali Mandar di 2016), katanya itu perumahan nelayan. Realitasnya, yang punya perumahan itu sebagian adalah yang punya tanah, yang notabene sebagian bukan nelauan. Sepertinya ada kesepakatan antara pemilik tanah dengan yang urus-urus proyek bahwa, “Nanti kamu dapat rumah dan tetap hak milikmu jika tanahmu bisa dijadikan lokasi pembangunan perumahan untuk nelayan.” Saat ini (2019), banyak „rumah nelayan‟ tersebut tak berpenghuni alias tak berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya apa, yang dibangun itu sejatinya bukanlah rumah untuk nelayan. Yang urus-urus itu proyek perumahan juga mengatakan hal yang sama dengan pejabat kita, “Dari pada uang kembali ke Jakarta, mending terus dikerja.” Ya, begitulah kalimat sakti mandraguna yang sering digunakan oleh oknum-oknum pejabat yang tidak memiliki visi dalam memimpin, yang tidak pro rakyat, tidak pro lingkungan, tidak pro kebudayaan. Idealnya seorang pemimpin berada di tengah, memberi kesejukan, memperhatikan semua hal, tidak malah menakut-nakuti dan hanya menjadikan “dana proyek”sebagai satu-satunya penentu. Sulawesi Barat dan kabupaten-kabupatennya yang ada di pesisir harus memiliki paradigma kepemimpinan maritim. Secara praktis, pembangunan di kawasan pesisir tidak boleh berdiri sendiri. Pembangunan baik di kawasan Teluk Mandar harus berada dalam desain menyeluruh: membangun di areal A akan mempengaruhi areal B. Misal, membangun tanggul beton di Pambusuang akan memiliki efek berantai. Jika desainnya tak memperhatikan parameter fisik laut, akan mempengaruhi pantai lain, misal Galung Tulu atau Karama. Faktor sosial juga demikian, nelayan Pambusuang akan mencari tempat untuk menyimpan perahunya, misal di Karama. Karama juga penuh akan kapal, lalu ke mana lagi akan disimpan perahunya. Begitu seterusnya. Agar permasalahan bisa diminimalkan, kajiannya harus- harus mendalam dan melihat secara global, tidak separuh. “Water Front City” dan Penjual Ikan Yang menarik juga untuk dibicarakan adalah apa yang (akan dan telah) terjadi di kawasan Taman Kota Majene. Sekilas tak berhubungan tapi ada benang merahnya. Pertama, Mei 2017 lalu, Pemerintah Kabupaten Majene mengemukakan rencana pembangunan “Water Front City” yang memanjang dari Pangali-ali hingga Barane. Melihat video promosinya, bisa dikatakan kawasan itu akan direklamasi semua. Ada jalan raya, ada taman, ada mesjid, dan “keindahan” lainnya. Meski diembel-embeli telah ada perencanaan, malah sudah ada “Focus Group Discussion”, sejatinya kota Majene tak layak untuk melakukan proyek raksasa dan sangat berdampak pada lingkungan tersebut. Parameter awalnya sangat gampang, yang juga akan menjadi kedua, yakni ketidakmampuan Pemerintah Kabupaten Majene mengelola penjual ikan di sepanjang jalan depan Gedung Assamalewuang. Saya tidak perlu memasukkan parameter lain, misal kedalaman laut di Teluk Majene, pemukiman nelayan di kawasan itu, dan sebagainya. Cukup penjual ikan saja. Harian Kompas, 10 April 2003 di halaman 31 ada berita berjudul, “TPI yang Tergusur Tradisi”. Isinya tentang tidak berfungsinya TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Majene dikarenakan lebih banyak penjual ikan memilih berdagang di pinggir jalan dibanding di tempat yang disediakan.
  • 17. 17 Senada, media online Mandarnews 21 Februari 2019 ada berita, “Pasar Dadakan di Monumen Posasi Bakal Digusur”. Hampir dua dekade, pemerintah Kabupaten Majene tak bisa mengelola para pedagang ikan di kawasan yang tak seberapa panjangnya itu. Itu saja tak bisa, apalagi untuk kawasan berkilometer. Ingin saya tekankan adalah, pemerintah tak punya rasa sensitif, tak ada empati, dan hanya menganggap para pedagang (dan tentunya kampung nelayan beserta perahunya yang dianggap jorok) sebagai pengganggu keindahan. Dengan bangunan “Water Front City” semua itu akan dipindahkan, mereka „tak layak‟ berlangsung di kota. Pembangunan hanya berdasar pada bangunan fisik, sebab itulah paling gampang dilihat oleh mata. Pengelolaan sumberdaya manusia, dalam hal ini kebudayaan bahari yang hidup di pesisir kita, nyaris tak pernah dikelola dengan baik. “Rabu (20/2), di ruang pola kantor Bupati Majene, keberadaan pasar dadakan menjadi perbincangan serius. Forum yang membahas tentang penertiban dalam rangka menghadapi penilaian adipura itu memutuskan penertiban/pemindahan pasar dadakan tersebut.“Mohon petunjuk, sekaitan dengan pembuatan surat, perlu penegasan, apakah akan ditertibkan (pasar dadakan di depan monumen posasi) atau dipindahkan?” tanya Hifni Zakaria, Lurah Pangaliali dalam forum tersebut. “Dipindahkan saja,” jawab DR. Fahmi Massiara, MH,. Bupati Majene. Keputusan yang diambil bupati setelah mendengar berbagai pertimbangan dari para pejabatnya yang hadir. Pasar dadakan akan dipindah ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang jaraknya hanya sekira 500 meter dari lokasi pasar dadakan, ke arah Timur,” demikian kutipan berita di Mandarnews. Dengan mudahnya bupati mengatakan “Dipindahkan saja.” Sampah, Kematian Nelayan di Laut dan Bencana Kita juga belum melihat kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sampah di laut, khususnya di pantai. Sebagai kabupaten atau provinsi yang memiliki garis pantai puluhan/ratusan kilometer, harusnya pihak provinsi dan kabupaten sudah ada „cetak biru‟ pengelolaan sampah di kawasan pesisir. Apakah ada? Berdasar data di pemberitaan, selama tiga tahun dari 2016 sampai 2018, setidaknya terjadi 18 kejadian kecelakaan di laut yang dialami oleh nelayan pancing menggunakan perahu sandeq kecil “paccumiq”. Dari kejadian itu, delapan ditemukan kembali dalam keadaan hidup, dua mayatnya ditemukan, dan delapan hilang. Sampai kapan kejadian itu akan berlangsung? Sudah adakah kebijakan pemerintah yang bertujuan mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Misalnya ada langkah signifikan menerapkan teknologi monitoring di kalangan nelayan kecil selama mereka di laut. Teknologinya sudah ada, tapi belum ada aplikasi di lapangan. Pesisir Sulawesi Barat adalah daerah rawan bencana alam, dalam hal ini gempa bumi dan tsunami. Ya, ada satu dua papan penunjuk arah evakuasi, misalnya di Kota Majene. Tapi kita belum melihat langkah-langkah konkrit dalam rangka kontijensi bencana di daerah kita ini. Saat tsunami Sulawesi Tengah terjadi, dengan mudahnya masyarakat kita termakan isu akan tsunami dan banyak yang bingung untuk mengungsi ke mana. Ketiadaan cetak biru hingga antisipasi komprehensif menghadapi bencana adalah bukti kesekian bahwa memang sangat tipis semangat kebaharian cum wawasan kemaritiman di benak
  • 18. 18 pengambil kebijakan. Seandainya itu ada, perusakan lingkungan laut dan pendegradasian budaya maritim yang masif (yang melibatkan peran pemerintah), mungkin tidak akan terjadi, setidaknya minim. Penutup Fenomena di atas adalah bukti betapa pembangunan di kawasan ini tak berorientasi maritim. Yakni pembangunan yang berlandaskan pada jiwa maritim, yang berlandaskan budaya bahari, menjaga lingkungan laut, berinovasi, kosmopolit, dan terbuka. Ya, memang ada banyak pembangunan fisik di Sulawesi Barat yang dilangsungkan di pesisir, “demi nelayan”, serta sekian miliar anggaran untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Tunggu dulu, lebih satu dekade Provinsi Sulawesi Barat terbentuk, adakah pembangunan beraroma kemaritiman yang bisa kita banggakan? Reklamasi di pantai Mamuju yang belakangan diikuti pembangunan jalan “ring road” terbukti merusak lingkungan, yakni mudah dan seringnya banjir di Kota Mamuju; pengadaan 20 sandeq yang entah mau diapakan si penerima (kabarnya gubernur Sulawesi Barat pernah berlayar dengan salah satu sandeq proyek ini, tapi tiba-tiba “baratang-nya” patah); perahu feri kayu dan ambulans oleh Pemkab Mamuju yang belum digunakan sudah rusak; hutan mangrove dirusak di salah satu titik di Kabupaten Majene dengan alasan akan dibangun tanggul; pengeboman masih sering berlangsung di Teluk Polewali dan Kepulauan Bala-balakang; dan lepasnya Pulau Lere- lerekang yang membuat kita malu. Pemerintah harus banyak membaca dan mempelajari kejadian masa lampau. Kita di Mandar, jaya karena kebudayaan bahari. Sekarang itu berlanjut, kita bisa bangga karena ada puncak kebudayaan bahari kita yang menasional dan menginternasional, yakni oleh sandeq. Dulu, penjajah Belanda secara masif membuat kebijakan agar kebudayaan bahari kita lemah, salah satunya melarang penggunaan perahu bertonase besar. Sekarang, pembangunan di pantai oleh pemerintah memaksa nelayan untuk mengecilkan perahunya; menggeser mereka ke tempat lain, agar tak „mengotori‟ mata. Senasib dengan penjual ikan, yang dianggap tak layak ada di tempat- tempat strategis karena aroma menusuk ikan yang mengganggu. Jika pengambil kebijakannya cerdas dan memiliki wawasan serta semangat bahari, yang akan dilakukan adalah sebaliknya, memberi mereka tempat terbaik. Tapi apakah itu yang terjadi saat ini di negeri para pelaut ulung?