SlideShare a Scribd company logo
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Jl. Latuharhary No.4B, Menteng, Jakarta Pusat
Telp. 021-3925230, Fax. 021-3912026
Email: info@komnasham.go.id
Website: www.komnasham.go.id
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
© 2009
KomnasHAM
©2009
JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
JURNALHAMKOMISINASIONALHAKASASIMANUSIA
MEWUJUDKANPEMENUHANHAMODMK
Vol. 5 n Tahun 2009
MEWUJUDKAN PEMENUHAN
HAM ODMK
JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Diterbitkan oleh:
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
©2009
ii Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
(1)	 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
­masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
­banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)	 Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
­sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penanggungjawab		 :Yosep Adi Prasetyo
Pimpinan Redaksi		 : Rusman Widodo
Dewan Redaksi		 : Kurniasari Novita Dewi,Yuli Asmini, Hari Reswanto,
		 Ignas Triyono
Distribusi		 : Banu Abdillah
Administrasi		 : Ratnawati Tobing, Eri Riefika, Idin Korino, Fauzan
Desain Cover &Tata Letak		 : Agus Solikin & Galih Ananda
Editor Bahasa		 : Andy Panca
Foto Cover		 : diadaptasi dari www.newsucanuse.org g/images/bigstockphoto
Percetakan		 : MCU
Penerbit		 : Komnas HAM
Alamat Redaksi
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026
Email: info@komnasham.go.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
ISBN: 978-979-26-1438-1
Jurnal HAM Komnas HAM
Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK
Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2009, xvi + 142 Hal; 160 mm x 240 mm
Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk
­kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.
iiiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Daftar Isi
Kata Pengantar
Yosep Adi Prasetyo .....................................................................................................................................................
Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Rusman Widodo ........................................................................................................................................................
Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global
Hervita Diatri ................................................................................................................................................................
ODMK dan Pemenuhan HAM
Yosep Adi Prasetyo .....................................................................................................................................................
Masalah Bioetika dan HAM pada Layanan Kesehatan Jiwa
Irmansyah .....................................................................................................................................................................
Instrumen Internasional Terkait Hak Asasi Orang dengan
Masalah Kejiwaan
Albert Maramis ...........................................................................................................................................................	
Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan)
dalam Hukum Indonesia	
Pandu Setiawan .........................................................................................................................................................
Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia	
Eka Viora .........................................................................................................................................................................
Menembus Kabut Kehidupan	
Lili Suwardi ....................................................................................................................................................................
Tinjauan Buku ‘Kekuasaan di Tengah Kegilaan’	
LR. Baskoro ....................................................................................................................................................................
Biodata para Penulis ........................................................................................................................................
vii
1
15
31
51
67
	
	
	
81
	
93
	
113
	
127
135
iv Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
DaftarTabel Dan Lampiran
Lampiran Matrik Dimensi HAM Dalam Isyu ODMK ...............................................................
49
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Daftar Gambar
Bagan 1. Instrumen HAM Internasional...........................................................................................
Bagan 2. Instrumen HAM Nasional ....................................................................................................
Bagan 3. Alur hukum HAM .........................................................................................................................
Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem) ............................................
Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK ....................................................................
Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan ..........................................	
Gambar Perpaduan Optimal PelayananKesehatan Jiwa...................................................
Gambar Blog Skizofrenia ............................................................................................................................
36
36
37
40
41
43	
	
103
	
122
viiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Kata Pengantar
S
eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di
tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota.
Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah ­manusia.
Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian
dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena
tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di
antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak
yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak ­punya
pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tata-
pan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi
­sekitar.
Siapa mereka? Mereka adalah sebagian dari orang dengan ­masalah
kejiwaan (ODMK) yang memang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah
orang yang dibuang oleh keluarganya. Mereka adalah orang yang ­bukan
tak mungkin akan menjadi pengelana seumur hidupnya. ­ Sebagian
dari mereka hidup dalam pasungan dengan kondisi ­ mengenaskan.
­Sebagian lagi jadi penghuni berbagai panti sosial. Sebagian lagi lebih
beruntung, mereka dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, tak banyak
orang yang sebenarnya tahu bahwa di antara mereka ada yang hidup
“normal” di tengah masyarakat.
Masyarakat pada umumnya memang memberikan stigma kepada
kelompok ODMK. Mereka ini oleh sebagian besar orang dianggap
telah kehilangan hak asasinya. ODMK sering diolok-olok dan digang-
gu oleh anak-anak. Dalam hukum di Indonesia, mereka ini tak dima-
sukkan sebagai subjek hukum. Barangkali kondisi inilah yang mem-
buat hak-hak asasi mereka terlanggar. Pemantauan yang dilakukan
Komnas HAM pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 lalu
­menyimpulkan bahwa puluhan ribu ODMK di Indonesia tak bisa ikut
memilih. Padahal, hak ini dijamin dalam konstitusi maupun hukum
perundangan yang ada.
Memang, ODMK di Indonesia belum dimasukkan dalam kelompok
sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah
Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini bila dilihat lebih lanjut
bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups)
sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja
­migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain,
ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, ­masyarakat
sekeliling, media maupun negara. Model diskriminasi yang dialami
oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis.
Gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan penderitaan bagi diri
ODMK dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata
­produktivitas. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah ­kesehatan
jiwamemengaruhitingkatproduktivitasindividusecaraumum, ­bahkan
menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi
indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan
kemampuan daya saing bangsa Indonesia.
Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada ­individu,
melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). ­ Sebagai
­contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan
­berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering
kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap sebagai
berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak ­ kekerasan
­terhadap diri sendiri yang salah satunya berupa tindakan bunuh
diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu
sisi ­semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang
­dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang
“tidak mampu”.
Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak
­kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan ini
meliputi banyak hal, mulai dari memperoleh pendidikan, ­pekerjaan,
berperan sebagai bagian dari masyarakat--misalnya kehilangan
hak suara dalam pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk
ixJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
mendapat fasilitas layanan kesehatan yang memadai karena kurang-
nya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa.
Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran,
­kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah
dan tindak ­ kekerasan. Beban yang diterima oleh keluarga ­ tidak
jauh ­ berbeda ­ dengan apa yang dialami penderita, baik secara
­ekonomi, ­sosial, ­maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena
­ketidaktahuan ­keluarga untuk berperan untuk membantu, termasuk
­ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang
­lebih disebabkan karena ­ ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat
masyarakat.
Di masa lalu, di masa Orde Baru, beberapa kerusuhan yang
­terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto
­“konon” dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. ­Antara
lain ­ kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada
1996, ­serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di
­Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. ­Namun,
dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut ­secara tuntas,
terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung
jawab atas berbagai kerusuhan itu.
Komnas HAM melihat masalah penanganan ODMK berkaitan erat
denganhakasasimanusia(HAM).DalamUUNo.39Tahun1999 ­tentang
Hak Asasi Manusia, HAM adalah seperangkat hak yang ­melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai ­makhluk ­Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib ­ dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
­manusia. Sedangkan HAM sepenuhnya merupakan kewajiban negara
(state obligation), mulai dari kewajiban untuk menghormati (obligation
to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), hingga
kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil).
Jurnal HAM edisi ini secara khusus mengangkat persoalan
ODMK dari sisi HAM. Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi
kali ini ­diharapkan bisa mendorong perbaikan kebijakan, implemen-
tasi, ­ maupun anggaran yang lebih pro- HAM. Penerbitan jurnal ini
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­menunjukkan komitmen kuat Komnas HAM bagi pencapaian kondisi
HAM yang kondusif di Tanah Air.
Pada edisi jurnal ini, Rusman Widodo mengangkat masalah
­pelanggaran HAM terhadap kelompok ODMK. Ia mengangkat ­ fakta-
fakta sesuai laporan yang pernah masuk ke Komnas HAM ­ tentang
­operasi ketertiban umum yang dilakukan sejumlah pemda. Pada
­operasi ini para ODMK ditangkapi dengan paksa lantas ­dinaikkan
ke ­mobil dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti ­sosial
­sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain.
­Namun, ternyata nasib ODMK di panti sosial ­ tidak ­ lebih baik
dari ODMK di jalanan. Banyak di antara ­mereka yang ­meninggal
dunia akibat kekurangan gizi, diare, dan anemia ­berat.
Hervita Diatri melakukan tinjauan tentang kesehatan jiwa dari
­perspektif global. Pada saat ini ada banyak faktor psikososial yang
terjadi saat ini di masyarakat dan berpotensi besar untuk ­terjadinya
masalah kesehatan jiwa. Namun, perhatian terhadap aspek ­kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi ­akibat
kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah ­ kesehatan
jiwa. Hal yang penting bagi Indonasia saat ini mengingat, terkait
­banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan isu psikososial lainnya yang terjadi. Situasi ini memiliki potensi
masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di masyarakat.
Irmansyah memberikan uraian menarik mengenai permasalahan
bioetika dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah
hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam
menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi
dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah
­bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika
dalam layanan kesehatan adalah untuk memaksimalkan manfaat
­medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit. Bioetika dan
HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan mengenai isu
yang sama. ­ Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan
­untuk ­ memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin
­hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan ­kebebasan-
­kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan
juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.
xiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Irmansyah menduga, meski jarang terungkapnya masalah
­pelanggaran etik dan HAM serta dugaan malapraktik terhadap ODMK,
baik yang dilaporkan ke pengadilan maupun pada Komnas HAM, tidak
­menutup kemungkinan telah terjadinya pelanggaran etik dan HAM
­terhadap ­penderita gangguan jiwa. Hal ini lebih disebabkan para ODMK
dan ­keluarga tidak pernah mengetahui detail pelanggaran etik dan HAM.
Mereka juga tak menyadari tentang hak asasi mereka serta karena ­takut
akan mencemarkan nama baik penderita dan atau keluarga.
Albert Maramis dalam tulisannya lebih banyak ­ menguraikan
­sejumlah instrumen HAM yang berkaitan dengan ODMK. ­ Peran
­instrumen internasional HAM diperlukan dalam ­ mendukung
­perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan ­ karena
­kelompok ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering
­dihadapkan pada ­keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka
untuk ­ mempertahankan hak-hak mereka sehingga dengan mudah
­mengalami eksploitasi, penghinaan, dan pelanggaran hak-hak dasar
mereka.
Sejarah perlindungan ODMK ditulis Pandu Setiawan ­ secara
­menarik. Dalam catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah
­meletakkan dasar-dasar hukum bagi penanganan ODMK di ­Hindia
Belanda. Pada 30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit
(Keputusan Kerajaan) dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan ­Keputusan
Gubernur Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di ­Hindia
Belanda. Atas dasar itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa
yang hingga kini masih menjadi pilar bagi penanganan ODMK di
­Indonesia. Antara lain RSJ Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902,
RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923, RSJ ­ Jakarta pada
1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga
1940 ­terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan ­kesehatan
jiwa pada saat itu masih sangat tertutup, bahkan mirip seperti
­penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het ­Reglemen op
het ­Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 no. 54). Yang menarik adalah
­bahwa salah satu ­pertimbangan kuat dalam suatu ­keputusan ­kerajaan
adalah banyaknya pasien gangguan jiwa yang didapat dalam satu
survei sehingga harus disatukan dalam satu fasilitas perawatan dan
tidak “berkeliaran” di masyarakat.
xii Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Lebih lanjut, Eka Viora menyoroti masalah pembangunan sistem
­kesehatan jiwa di Indonesia. ODMK pada dasarnya ­ mempunyai
­beragam kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi ­kembali
di ­masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan ­kontinuitas
berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi berbasis ­masyarakat
merupakan faktor sangat berpengaruh untuk menstabilkan ­ gejala,
­meningkatkan kualitas hidup, dan kemandirian ODMK untuk
­berfungsi kembali secara sosial di masyarakat. Namun demikian,
sistem ­pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat ini
­masih ­didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah
sakit jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di
­Indonesia ­bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau ­pusat
­rujukan, tapi malah berfungsi sebagai puskesmas “besar” karena semua
­penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di ­puskesmas
dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.
Eka Viora melihat perlunya ada komitmen kuat untuk ­mereformasi
pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini membutuhkan
­keterlibatan intens dari para perencana, manajer, dan klinikus ­untuk
mewujudkannya.Adabanyakpengalamannegara-negarayang ­berhasil
melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan
­­de-institusionalisasi. Perlunya Indonesia mengembangkan sebuah
­pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dari tatanan rumah
sakit sampai ke komunitas adalah untuk menjamin kesinambungan
­pelayanan.
Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi ­ dengan
­menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak
­diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia ­terus
hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya. Ketika di SLTA
ia mulai menemukan keanehan dirinya. Selulus SLTA, ia mulai
­menghadapi problem riil, yaitu mencari pekerjaan yang cocok bagi
­dirinya. Sebuah hal membuatnya mulai diserang kecemasan dan
­dianggap sebagai “orang gila” yang tak dapat melakukan ­apa-apa. Yang
dilakukannya hanya minum obat, mengantuk, tidur, dan ­keluar-­masuk
rumah sakit. Ia tak dapat mendapatkan dukungan yang ­ memadai
dari keluarga. Sebuah hal yang kemudian membuatnya ­beberapa kali
­mencoba bunuh diri. Sebuah obat antipsikotik berdosis 1.470 miligram
membuat dirinya tak sadarkan diri selama 4 hari. Namun, ia berhasil
xiiiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
keluar dari belitan masalah dan kini eksis ­sebagai blogger dan aktivis
dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di
Indonesia dan jadi pengurus ornop bernama Perhimpunan Jiwa ­Sehat,
sebuah organisasi konsumen dan keluarga orang dengan masalah
­kejiwaan.
Pada bagian penutup, LR Baskoro membuat telaah buku Michel
Foucault yang legendaris. Buku berjudul Madness and Civilization ini
merupakan sebuah buku yang melihat kekuasaan di tengah kegilaan.
Buku ini memotret peradaban Eropa pada Abad Pertengahan, Abad
XV, hingga Abad XVIII, sebagai masa yang murung, yang kemudian
memengaruhi semua hasil budi dan daya manusia Eropa, baik seni,
politik, kesusasteraan, dan seterusnya.
Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi dosen di
Swedia pada 1961. Foucault sendiri pernah berurusan dengan ­masalah
kejiwaan. Ia pernah depresi hingga harus melakukan ­konsultasi ­rutin
denganpsikiater--agaknyamenjadipenyebab ­kenapaFoucaut ­demikian
tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan ­ kejiwaan. Madness
and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang ­ menunjukkan
­kekuatan--dalam kerumitan pikiran Foucalt--filsuf terkemuka ­Prancis
ini mengenai pemahamannya atas sejarah.
Selamat membaca!
						 Yosep Adi Prasetyo
xiv Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
OrangdenganMasalah ­
Kejiwaan(ODMK)Pelanggaran
HakAsasiManusia
Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan ­meningkat.
Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil,
banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini
fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit
jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga
­memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh
untuk ­mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.
RusmanWidodo
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
 Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pendahuluan
Sehat, menurut World Health Organization (WHO) atau
­Organisasi Kesehatan Dunia, adalah suatu keadaan yang ­sempurna,
baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan. Pengertian tersebut mengandung 3 ­karakteristik, yaitu 1)
Merefleksikanperhatianpadaindividusebagaimanusia,2) ­Memandang
sehat dalam konteks lingkungan internal dan ­eksternal, dan 3) Sehat
diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. ­ Intinya sehat,
menurut standar WHO, adalah suatu kondisi ­sejahtera ­­jasmani-
rohani serta sosial dan ekonomi.
Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan
­kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
­ekonomis.
Kesehatan mental (jiwa) diambil dari konsep mental hygiene,
kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti kejiwaan. Kata
­mental memiliki persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal
dari ­bahasa Latin yang berarti psikis atau jiwa. Jadi, dapat diambil
kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
­kesehatan mental. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang
dari keluhan dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun
psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor
­(penyebab terjadinya stres). Orang yang memiliki mental sehat berarti
mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari ­dirinya
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
sendiri dan lingkungannya. Menurut WHO Expert Committee on
­Mental Health, ada delapan ciri-ciri mental yang sehat, yaitu:
1.	 Mampu menyesuaikan diri terhadap kenyataan secara konstruktif,
	 meskipun kenyataan itu buruk dan pahit.
2.	 Mampu memperoleh kepuasan dari upaya dan perjuangan
	 hidupnya.
3.	 Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4.	 Relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan (stres).
5.	 Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong
	 dan saling memuaskan.
6.	 Mampu menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran.
7.	 Mampu mengarahkan rasa permusuhan menuju penyelesaian
	 yang kreatif dan konstruktif.
8.	 Memiliki daya kasih sayang yang besar.
Gangguan mental (jiwa) dapat dikatakan sebagai perilaku ­abnormal
atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku di ­ masyarakat,
baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stres,
­depresi, dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental ­ karena
adanya ­ penyimpangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental memiliki titik kunci, yaitu menurunnya fungsi mental dan
­berpengaruhnya pada ketidakwajaran dalam berperilaku.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan
­lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses
­adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih
aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi, sekaligus melihat
­konteks ­sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah ­untuk
­mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena
­selain harus mengetahui potensi individunya, juga harus melihat
­konteks sosialnya.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ­penyakit
mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau ­gangguan
jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih ­fungsi ­mental.
­Penyakitmentaladalahgangguanotakyang ­ditandaioleh ­terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi ­ (penangkapan panca
­indra). Penyakit mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi
penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai ­setiap
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-
­ekonomi.
ODMK atau orang dengan masalah kejiwaaan adalah orang yang
mengalami gangguan mental (jiwa). Istilah ODMK dipakai untuk
menggantikan sebutan orang gila yang sering dipakai masyarakat
awam ketika menyebut orang yang mengalami gangguan mental (jiwa).
Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif,
diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia.
Data World Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan
­jumlah ODMK di dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Di ­Indonesia,
­berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional, seperti
­gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi orang
dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di ­Indonesia
lebih kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk
­dewasa menjadi ODMK.
Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa
­Universitas Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persen----sekitar 24 juta
dari total ­ penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta----dari
­total ­ penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, sedang,
dan ringan. Sedangkan menurut Profesor Dadang Hawari, jumlah
ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta orang.
Pertambahan jumlah ODMK dipicu banyak faktor, seperti stres,
kecewa, kena PHK, tidak memiliki pekerjaan, korban kekerasan, dan
trauma bencana alam. Jumlah yang sangat besar itu berpengaruh
signifikan terhadap perekonomian dunia. Sebab, produktivitas kerja
orang yang menjadi ODMK akan menurun. Selain berpengaruh secara
ekonomi, ODMK juga memengaruhi tata kehidupan sosial politik dan
budaya.
Meskipun keberadaan ODMK berpengaruh signifikan terhadap
­perekonomian negara, tapi penanganan terhadap para ODMK ­masih
sangat tidak memuaskan. Di Indonesia stigma dan diskriminasi
­terhadap ODMK terjadi merata di seluruh pelosok negeri.
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Pelanggaran HAM terhadap ODMK
Di mana pun ODMK memijakkan kakinya, dia selalu mendapat
stigma negatif. Para ODMK yang menjadi gelandangan di jalan-
­jalan--karena keluarganya tidak mampu mengurusnya--hampir
­selalu ­menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam
­beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. ­Beberapa
ODMK perempuan yang berparas lumayan cantik sering menjadi
objek pemerkosaan. Biasanya ODMK perempuan ini disuruh mandi
dulu, lalu diberi pakaian yang rapi, diberi makan, setelah itu beramai-
­ramai para preman jalanan memerkosanya. Pemerkosaan dilakukan
­berulang kali sehingga ODMK perempuan tersebut hamil. Setelah
melahirkan, anaknya diambil oleh yayasan-yayasan sosial.
Para ODMK di jalanan ini hidup dari satu tempat sampah ke
­tempat sampah lainnya. Mereka mengais makanan sisa, berebut
­dengan ­kucing atau anjing. Tidur di mana pun dia inginkan. Bahkan,
ada ODMK yang tergilas kereta api karena tertidur di rel kereta api.
Soal pakaian mereka tak peduli lagi, banyak ODMK di jalanan yang
bertelanjang bulat.
Sesekali bila pemerintah daerah menggelar operasi ketertiban
umum, maka para ODMK ditangkapi dengan paksa, dinaikkan ke
­mobil, dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah
penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Tak aneh
bila antar-kabupaten kadang bersitegang karena tidak mau daerahnya
menjadi tempat penampungan atau tempat pembuangan ODMK dari
daerah lain.
Ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK
di jalanan. Panti sosial yang menampung ODMK terdapat di ­daerah
­Cengkareng, Cipayung, Ceger, dan Kalideres. Kondisi di tempat
penampungan ini memprihatinkan. Selain ruangan yang terbatas
dan makanan yang tak memenuhi syarat gizi, kiriman obat-obatan
dari Departemen Kesehatan juga tak lancar. Dampaknya selama
2007 ­ dilaporkan ada 257 orang yang meninggal dunia, sedangkan
pada 2008 ada 381 orang yang mati. Bila dihitung rata-rata ada satu
orang ­meninggal setiap hari. Sebagian besar dari mereka meninggal
­dikarenakan kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Selain kurangnya gizi ODMK di penampungan karena makanannya
yang tidak memenuhi syarat gizi, juga karena banyak di antara ODMK
yang enggan makan. Terkadang ODMK yang menolak makan dipukuli
sehingga mereka menjadi tambah sakit. Jatah makan ODMK di panti
sosial adalah Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. Dana yang disediakan itu
hanya untuk 200 ODMK. Tapi, kenyataannya jumlah ODMK di panti
jumlah bisa mencapai 433 orang.
Diare menerpa ODMK karena kesehatan lingkungan panti sosial
yang tidak terjaga dengan baik. Kapasitas ruangan yang overload
membuat ruangan yang ditempati ODMK berjubel, jorok, dan kumuh.
Dalam ruangan dengan ukuran 8 x 11 meter persegi bisa berisi 20
orang. Contohnya Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jalan
Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, ini yang mampu menampung
230 orang. Namun kenyataannya, ODMK yang ditampung sudah men-
capai 433 orang.
ODMKyangsakitdipantisosial----misalnyadiare----biasanya ­dirujukke
rumah sakit (RS) rujukan. Tapi celakanya, RS rujukan sering ­overload
kapasitasnya. Jika pihak RS menyatakan tidak mampu ­menampung,
maka pihak panti sosial hanya bisa pasrah sambil menunggu antrean
ruang kosong. Akhirnya ODMK yang sakit dapat meninggal karena
kehabisan cairan.
Nasib ODMK di rumah sakit jiwa (RSJ) konon lebih beruntung.
Benarkah? Ternyata tidak juga. Kondisi RSJ di Indonesia masih serba
terbatas, mirip dengan panti-panti penampungan: ruangan terbatas,
makanan kurang bergizi, suasana mirip penjara, dan jumlah ODMK
melebihi kapasitas.
Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010
menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di ­seluruh
provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak
­memiliki RSJ.
Di Jakarta sekitar 50 persen pasien RSJ dibiarkan telantar di
­bangsal rumah sakit. Para pasien itu telantar karena bila RSJ ­sudah
menyatakan sembuh, para keluarga pasien cuek; tidak ada niat ­untuk
membawa kembali ke rumah. Sekitar 30-50 persen dari jumlah pasien
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
RSJ di Jakarta tidak diambil keluarganya. Akibatnya, kapasitas rumah
sakit menjadi tidak mencukupi. Apalagi, dari tahun ke tahun jumlah
ODMK terus bertambah. Perbandingan (rasio) penderita gangguan
jiwa di Indonesia adalah 18,5 orang dari setiap 1.000 orang Indonesia
mengalami gangguan jiwa. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rasio
menurut Survei Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/
WHO) yang menunjukkan bahwa satu (1) dari setiap 1.000 penduduk
dunia mengalami gangguan jiwa.
Para ODMK di RSJ yang tidak dijemput keluarganya, maka bisa
tinggal seumur hidup di RSJ. Bahkan, ada ODMK yang kemudian
bekerja di RSJ ketika sudah sembuh karena tidak tahu harus ke
mana dan bekerja apa. Banyak dari ODMK yang tidak berani pulang
ke rumah karena di rumah sering tidak mendapat perlakuan yang
­manusiawi. Mereka memilih tetap di RSJ walaupun kondisinya serba
terbatas.
Lantas bagaimana nasib ODMK yang tinggal bersama ­keluarganya?
Di Indonesia setidaknya ada 4 tipe keluarga dalam menghadapi ODMK.
Pertama adalah keluarga kaya dan peduli pada ODMK. Kedua adalah
keluarga kaya, tapi tidak peduli pada ODMK. Ketiga adalah keluarga
miskin dan peduli pada ODMK. Keempat, keluarga miskin dan tidak
peduli pada ODMK.
Beruntunglah ODMK yang memiliki keluarga yang kaya dan
­peduli pada nasibnya. Biasanya keluarga seperti ini akan terus
­berjuang ­mencari obat untuk kesembuhan anggota keluarganya yang
­menjadi ODMK. Mereka akan menempuh segala cara untuk mencari
­pengobatan, baik alternatif, mistis, herbal, maupun ilmiah. Mereka
­tidak malu dan tidak merasa ODMK sebagai aib. Mereka percaya
ODMK bisa diobati, dan mereka sangat percaya dukungan keluarga
menjadi sarana utama untuk menunjang kesembuhan ODMK. Tapi,
keluarga yang seperti itu sangat sedikit jumlahnya.
Mayoritas keluarga di Indonesia masih menganggap ODMK
­sebagai aib. Maka, bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK,
­mereka memilih menyembunyikannya, mengucilkannya, atau bahkan
­menelantarkannya, membuangnya, atau tidak mengakuinya sebagai
anggota keluarganya. Dengan dalih untuk menjaga keselamatan
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
semua pihak, maka bila ada anggota keluarganya yang menjadi
ODMK, ­keluarga di Indonesia memilih untuk memasungnya, terutama
bila ­tidak mampu membawanya ke RSJ atau tidak mampu membiayai
pengobatannya.
Pasung terjadi hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Di Jombang,
Jawa Timur, ada cerita memiriskan yang dialami Luluk ­Komariyah.
Perempuan berusia 33 tahun ini tinggal di Dusun Kucung, Desa
­Banyuarang, Kecamatan Ngoro,Jombang, Jawa Timur.Luluk ­dipasung
oleh ayahnya, Imam Mansyur atau Surdi, sejak usia 18 ­tahun ­gara-
gara mengalami gangguan jiwa. Alasan pemasungan adalah untuk
memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila Luluk
tiba-tiba mengamuk. Selama dipasung Luluk mengalami tindakan
pemerkosaan. Tercatat Luluk pernah melahirkan hingga empat kali.
Belum diketahui lelaki yang menghamili Luluk. Anak-anak Luluk
­diasuh oleh orang lain.
Berkat dorongan dari media massa dan Woman Crisis Centre
­Jombang, Pemerintah Kabupateng Jombang bersedia turun tangan.
Luluk akhirnya dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang.
Setelah menjalani perawatan intensif, kondisi fisik dan psikologi ­Luluk
membaik. Kini Luluk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang.
Kisah pasung lainnya berasal dari Aceh. Cut Manyak, 56 tahun,
warga Rhing Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya,
memasung suaminya, Mahmud, 68 tahun, hampir 30 tahun lamanya.
Mahmud dipasung di sebilah kayu besar. Di kayu itu terdapat dua
­lubang untuk memasung kedua kaki suaminya. Pemasungan itu
­dilakukan karena Mahmud mengalami gangguan jiwa yang muncul
secara tiba-tiba. Menurut Cut Manyak, tindakannya bertujuan ­untuk
mencegah agar suaminya tidak diganggu atau dipukul orang lain.
Kondisi seperti yang dialami Mahmud juga dialami ratusan warga
Aceh lainnya. Di Aceh ada sekitar 200 penderita gangguan jiwa yang
dipasung oleh keluarganya.
Di Depok, Provinsi Jawa Barat, dua orang pemuda kakak beradik
bernama Asmadi, 26 tahun, dan Ahmad, 21 tahun, dipasung karena
mengalami gangguan jiwa. Mereka dipasung karena sering mengamuk
dan membahayakan warga sekitarnya. Asmadi dan Ahmad dipasung
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
10 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
dalam kondisi bugil di tempat yang berbeda. Asmadi dipasung di ­kebun
milik warga yang terletak di samping rumahnya, sedangkan Ahmad
dipasung tepat di depan rumah.
Asmadi dipasung dengan rantai yang dipaku ke dalam tanah,
­sedangkan Ahmad hanya dirantai di samping amben atau kasur kayu.
Ayah kedua pemuda tersebut, Yahya, mengatakan, Asmadi, anak
­pertamanya, sudah dipasung selama tiga tahun.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mahyidin dipasung keluarganya
selama satu setengah tahun. Kakinya dijepit bongkahan balok kayu.
Tangannya kadang juga dirantai. Pemuda berusia 21 tahun warga Desa
Jago, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat (NTB), itu dipasung karena mengalami gangguan jiwa setelah
pulang kerja dari Malaysia.
Mahyidin hanyalah satu dari puluhan eks tenaga kerja ­Indonesia
(TKI) yang mengalami gangguan jiwa setelah pulang dari ­Malaysia.
Banyak TKI yang mengalami gangguan jiwa karena mereka
­mengalami tekanan di semua tahap pengiriman TKI, mulai ­rekrutmen,
­penampungan, pemberangkatan, penempatan, pemulangan, ­ hingga
pasca-pemulangan. Pemerintah tidak memberikan dukungan
­fasilitas yang memadai terhadap para TKI. Padahal, mereka adalah
­penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas.
Bila TKI mengalami masalah di luar negeri, pemerintah tidak
­menyediakan tenaga konseling kejiwaan. Bahkan, ketika TKI ­diburu
seperti anjing oleh aparat Pemerintah Malaysia atau negara lain
di mana dia berada, pemerintah malah tutup mata. TKI dibiarkan
­mengurus nasibnya sendiri: yang kuat akan tetap hidup, yang tidak
kuat akan mati atau mengalami gangguan jiwa. TKI yang ­menderita
gangguan jiwa ini, antara lain, dapat ditemui di daerah Nunukan.
Mereka dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Mereka adalah mantan
TKI yang bekerja di Malaysia. Di beberapa daerah transit lainnya juga
sering ditemui TKI yang mengalami gangguan jiwa.
Selain TKI yang menjadi ODMK, di penjara juga banyak ­narapidana
yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi penjara di Indonesia yang
­overload, tidak memenuhi standar kesehatan, makanan yang tidak
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
11Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­bergizi, dan aparat yang kurang bersahabat menyebabkan banyak
narapidana menjadi stres. Celakanya ketika stres, pihak pengelola
penjara tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan (psikiater).
Malahan, narapidana yang stres sering mendapat perlakuan yang
­tidak manusiawi, seperti dipukuli, dicaci maki, dan diisolasi.
ODMK sepertinya tak mendapat tempat yang layak untuk
­mempertahankanhak-haknyasebagaimanusiadanuntuk ­memulihkan
dirinya. Hampir di semua lingkungan dia mendapat perlakuan yang
­tidak manusiawi.
Hak-hak ODMK di bidang sipil politik (sipol) dan ekonomi sosial
budaya (ekosob) tak lagi diabaikan oleh negara. Di bidang politik, pada
Pemilu 2009 hak pilih ODMK tidak diakomodasi oleh Komisi ­Pemilihan
Umum (KPU) Indonesia. KPU tidak menyediakan tempat pemungutan
suara (TPS) di RSJ. Jangankan RSJ, di rumah sakit umum (RSU) saja
KPU tidak menyediakan TPS.
KPU menganggap ODMK tidak memiliki hak pilih karena Pasal
14 (a) UU Pemilu menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemilih
harus nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Pasal
ini seharusnya tidak diterapkan secara otomatis terhadap semua
ODMK. Karena, menurut catatan klinik-klinik perawatan, lebih dari
80 persen ODMK mengerti dan mampu membedakan mana perilaku
sosial yang baik dan mana yang buruk. Tentunya, mereka tidak akan
mengalami kesulitan kalau sekadar mencontreng tanda gambar pada
pemilu.
Di bidang kesehatan, ODMK sering tidak mendapat ­layanan jika
­berobat menggunakan kartu asuransi keluarga miskin ­(gakin). ­Mereka
jugatidakdilayanidipusatkesehatanmasyarakat ­(puskesmas) ­terdekat.
Padahal, puskesmas adalah ujung tombak layanan ­ kesehatan yang
sangat diandalkan masyarakat. Hanya ada beberapa ­puskesmas yang
menyediakan layanan khusus ODMK. Yang jelas, layanan ­kesehatan
untuk ODMK dari segi availability (ketersediaan), ­accessibility ­(adanya
akses), acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan),
dan quality (kualitas) masih sangat ­memprihatinkan.
Di bidang ekonomi, ODMK atau mantan ODMK juga ­ kesulitan
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
12 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap tidak cakap
­bekerja dan berbahaya bagi orang lain. Di bidang yang lain, ODMK
atau ­ mantan ODMK masih terus mendapatkan perlakuan yang
­diskriminatif.
Penutup
Nasib ODMK yang terpinggirkan dan memprihatinkan akan
terus terjadi bila tidak ada upaya-upaya konkret untuk menghapus
stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Penghapusan stigma dan
­diskriminasi merupakan langkah awal untuk mengeliminasi segala
bentuk pelanggaran HAM terhadap ODMK.
Upaya eliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK dapat
­dilakukan melalui berbagai upaya. Pertama, adalah upaya ­pencegahan.
­Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan kampanye dan
­penyuluhan kepada masyarakat tentang ODMK. Persepsi publik yang
selama ini keliru terhadap ODMK perlu diluruskan. Masyarakat ­harus
diedukasi secara aktif untuk lebih peduli kepada ODMK. Program
­penyuluhan ini harus terus berkelanjutan, terarah, dan terpadu.
Kedua, upaya pengobatan. Untuk mengobati ODMK, ­ negara
­wajib menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan standar WHO.
­Penyediaan layanan tersebut dapat dilakukan secara ­ bertahap,
­terarah, dan terpadu. Negara harus memperbaiki sarana dan
­prasarana ­kesehatan untuk ODMK yang saat ini sudah ada. Negara
juga harus menyediakan anggaran yang memadai, memperbanyak
tenaga medis dan memperbaiki kualitasnya, serta menyediakan obat-
obatan yang memadai. Dan yang tak kalah penting, negara harus
segera ­menyediakan layanan kesehatan untuk ODMK di ­puskesmas-
­puskesmas. Puskesmas memiliki peran vital karena jumlahnya lebih
dari 8.000 di seluruh Indonesia dan mudah dijangkau masyarakat.
Ketiga, upaya rehabilitasi. Rehabilitasi harus dilaksanakan ­sebagai
program yang terintegral dengan pengobatan. Sebab, selama ini ­banyak
ODMK yang sudah ditetapkan sembuh kemudian kambuh lagi karena
tidak adanya upaya rehabilitasi secara konkret. Upaya ­ rehabilitasi
akan sangat efektif bila melibatkan peran serta ­ masyarakat dan
­keluarga secara aktif.
ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM
13Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Selain tiga upaya di atas, negara sebagai pemangku kewajiban
­untuk pemenuhan HAM ODMK juga harus segera membenahi ­sektor
kebijakan yang menyangkut ODMK. Kebijakan-kebijakan terkait
ODMK perlu dibenahi, ditata ulang, dan diselaraskan dengan ­semangat
­penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ODMK.
Kepustakaan
1.	 Hasyim dkk, M. Fuad., Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-
	 kesehatan-mental/.
2.	 Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan
	 Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas.
3.	 http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html.
4.	 http://www.forumbebas.com/thread-55139.html.
5.	 “Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan.
	 co.id/index.php?mib=berita.detailid=15609.
6.	 “Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367.
7.	 Nograhany Widhi K.“50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/
	 tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10.
8.	 Melly Febrida. “Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8
	 36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa.
9.	 “Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148.
10.	 “Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507.
11.	 “Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980.
12.	 “Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html.
13.	 Kunjungan Staf RSJ  Mahasiswa Norwegia,“Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/
	 view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham.
14.	 “Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka
	 kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf.
15.	 Wikipedia bahasa Indonesia,“Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa.
16.	 “Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045.
17.	 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
15Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global
Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada
masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah
kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi
akibat kurangnya informasi dan ­pemahaman tentang masalah
kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif,
­melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi
orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan.
Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah
kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi
individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Tulisan ini dibuat dengan cara mengelaborasikan beberapa
sumber pustaka, baik lokal ­maupun internasional, untuk membandingkan kondisi yang ada
di Indonesia dengan kondisi yang ada secara global. Beberapa data penelitian digabungkan
dengan pendapat kualitatif dari beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa juga disajikan.
Data-data tersebut diharapkan akan mampu memberikan gambaran tentang besarnya
masalah kesehatan jiwa, termasuk dampak yang diakibatkan. Tulisan ini juga akan
memberikan pemahaman mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa beserta
klasifikasinya. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan pemahaman dan
­kesadaran bahwa masalah kesehatan jiwa tidak bisa dipisahkan dari masalah kesehatan,
dan merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama setiap unit dalam
struktur masyarakat dan berbagai sektor terkait.
Hervita Diatri
17Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global
No Health without Mental Health1
K
enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa
sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah
kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in
Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”,
menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari
kesehatan jiwa.
Kesehatan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia. ­ Karena,
­kesehatan memungkinkan seseorang untuk dapat hidup produktif.
­Definisi kesehatan yang dianut sampai sekarang pada dasarnya mengacu
pada preambule dari WHO Constitution 1948 yang menyebutkan bahwa:
Health is a state of complete physical, mental, and social ­wellbeing,
not merely the absence of diseases or infirmity. The enjoyment of the
highest attainable standard of health is one of the fundamental rights
of every human being without distinction of race, religion, political
­belief, economic or social condition.
Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa kebutuhan akan ­“sehat”
yang dimaksud tidak hanya meliputi kesehatan fisik, ­ melainkan
juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang,
­memandang manusia secara utuh.2
Hal serupa juga diakomodasi dalam UU RI tentang Kesehatan No. 23
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah ­keadaan sehat,
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
18 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial, yang ­memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi,
sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama
dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera
sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial mau-
pun ekonomis.1,3
Memperhatikan secara khusus kondisi di Indonesia yang ­ masih
­terus berlangsung hingga saat ini terkait banyaknya kejadian
­bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan isu psikososial
lainnya, ­masyarakat memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang
cukup tinggi. Potensi tersebut tidak secara eksklusif berdampak bagi
­sekelompok orang, ­ namun seluruh masyarakat Indonesia, ­ terutama
­kelompok ­ masyarakat yang rentan, seperti anak, perempuan, usia
lanjut, para pengungsi, dan kelompok minoritas lainnya. Data ­Riset
Kesehatan Dasar tahun 20074
di 33 provinsi dan 440 kabupaten/
kota menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan
­anxietas) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun
(24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 1.065.000 orang (0,48% ­populasi)
­mengalami gangguan jiwa berat (psikosis).
Meskipun data menunjukkan angka kebutuhan yang cukup ­besar
dan mendesak, ironisnya masalah kesehatan jiwa masih dipandang
sebelah mata dan termarginalkan dalam rencana pembangunan
­kesehatan manusia Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh ­untuk
terciptanya kondisi ini. Salah satunya adalah kurangnya pengertian
dan informasi mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa,
faktor potensial yang menjadi latar belakang timbulnya masalah
­kesehatan jiwa, dampak yang akan ditimbulkan pada kehidupan
­individu tersebut, serta bagaimana seharusnya masalah kesehatan
jiwa dapat dikelola. Tulisan ini akan membahas keseluruhan aspek
informasi yang diperlukan tersebut.
		
Apa Itu Kesehatan Jiwa
Berbicara tentang kesehatan jiwa artinya bukan sekadar terbebas
dari gangguan jiwa, namun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
semua orang. Definisi kesehatan jiwa menurut WHOe
adalah perasaan
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
19Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai ­sikap ­positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi, kesehatan jiwa ­meliputi:
a.	 Bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya. Perasaan nyaman
terhadap diri sendiri dapat dilihat dari kemampuan seseorang ­untuk:
•	 menghadapi berbagai perasaan, seperti rasa marah, takut,
	 cemas, cinta, iri, rasa bersalah, dan rasa senang,
•	 mengatasi kekecewaan dalam kehidupan,
•	 mempunyai harga diri yang wajar,
•	 menilai dirinya secara nyata, tidak merendahkan, dan tidak
	 pula berlebihan, dan
•	 merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.
b.	 Bagaimana perasaan seseorang terhadap orang lain. Perasaan
nyaman terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan
­seseorang untuk:
•	 mencintai dan menerima cinta dari orang lain,
•	 mempunyai hubungan pribadi yang tetap,
•	 mempercayai orang lain,
•	 menghargai pendapat orang lain yang berbeda,
•	 menjadi bagian dari kelompok, serta
•	 tidak memperdaya orang lain dan tidak membiarkan dirinya
	 diperdaya oleh orang lain.
c.	 Bagaimana cara seseorang mengatasi stres yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut membahas kemampuan
­seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal:
•	 menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya,
•	 mengambil keputusan,
•	 menerima tanggung jawab,
•	 merancang masa depan,
•	 menerima ide dan pengalaman baru, dan
•	 merasa puas dengan pekerjaannya.
Kapan Seseorang Disebut Memiliki Gangguan Jiwa
Berdasarkan data WHO tahun 2001 secara global dijumpai 450 juta
penduduk dunia mengalami gangguan jiwa, dengan rincian 150 juta
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
20 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
(33,3%) di antaranya menderita gangguan depresi, 90 juta gangguan
penggunaan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta
hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap tahun.5
Data besaran masalah kesehatan jiwa yang lain menunjuk-
kan ­ bahwa 25% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami
­sedikitnya satu kali gangguan jiwa dan perilaku pada suatu masa
dalam hidupnya. Gangguan jiwa adalah suatu kondisi klinis dalam
­pikiran, perilaku, dan suasana perasaan yang menimbulkan penderi-
taan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan fungsi
­psikososial ­ (pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan pemanfaatan
­waktu senggang).1,6,7
 ­Gangguan jiwa yang sering ditemui di masyara-
kat, di antaranya:8
a.	 Gangguan Jiwa Psikotik
Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai ­dengan
adanya hendaya (ketidakmampuan) berat dalam menilai ­kenyataan/
realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gejala-
gejala yang muncul, di antaranya adalah waham, halusinasi, hendaya
berat dalam perawatan diri, dalam fungsi sosial (misalnya menarik
diri dari pergaulan sosial), serta dalam pekerjaan sehari-hari/yang
­biasa dilakukan.
b.	 Gangguan Jiwa Non-psikotik
Kelompok gangguan jiwa ini menunjukkan suatu kondisi gangguan
jiwa tanpa hendaya dalam menilai kenyataan/realitas atau dalam
membedakan antara fantasi dan realitas. Gangguan yang sangat
b­eragam dan sering dijumpai ini, antara lain:
-	 Gangguan Depresi
Adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh perasaan sedih yang
­mendalam dan hilangnya minat terhadap hal-hal yang ­ biasanya
­dinikmati. Berhubungan dengan gangguan jiwa ini, bunuh
diri ­ merupakan gejala yang perlu mendapat perhatian karena
­merupa­kan penyebab kematian kedua di Eropa setelah kecelakaan
lalu lintas, sementara di Cina bunuh diri merupakan penyebab
­utama kematian pada usia 15-35 tahun. Di Indonesia sendiri ­angka
terjadinya bunuh diri dirasakan semakin meningkat saat ini.
­Namun sayangnya, belum ada data yang menunjukkan hal ini.
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
21Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
-	 Anxietas/Kecemasan
Adalah gangguan jiwa yang ditandai adanya kecemasan yang
­berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala, antara lain pikiran
yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan
berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan ­pikiran
obsesif (kompulsif), rasa takut yang berlebihan terhadap suatu
obyek atau suatu hal (fobia), maupun gejala-gejala penyakit fisik
yang tidak dapat ­diterangkan (hipokondriasis dan somatisasi).
-	 Kelompok gangguan jiwa lain yang juga perlu mendapat
perhatian terkait dengan masalah dan disabilitas yang
­ditimbulkannya adalah:
1.	 Gangguan mental organik. Ini meliputi berbagai gangguan jiwa
yang disebabkan oleh adanya penyakit, serta cedera atau rudapak-
sa otak yang berakibat disfungsi otak.
2.	 Penyalahgunaan zat psikoaktif. Penggunaan zat psikoaktif yang
menyebabkan terjadinya ketergantungan dapat menimbulkan
gangguan pada fungsi pekerjaan dan pergaulan sosial. Prevalensi
gangguan penggunaan zat psikoaktif sangat bervariasi menurut
zat yang digunakan di berbagai tempat dan berbagai kelompok
dalam populasi. Di samping penggunaan rokok, penyalahgunaan
alkohol umumnya banyak dijumpai. Perkiraan prevalensi global
untuk penggunaan zat adalah 2,8% pada laki-laki dan 0,5% pada
­perempuan, dengan variasi yang sangat luas.
3.	 Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ini mencakup
berbagai keadaan dan pola perilaku yang cenderung menetap dan
merupakan ekspresi dari gaya hidup yang khas dari ­individu serta
cara berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. ­ Termasuk
di dalamnya berbagai macam gangguan kepribadian ­ (gangguan
­kepribadian ambang, antisosial, paranoid, dan lain-lain); ­gangguan
kebiasaan dan impuls (judi patologis, bakar patologis, curi ­patologis,
danlain-lain);gangguanidentitasjeniskelamin, ­gangguan ­preferensi
seksual (pedofilia, sadomasokisme, dan lain-lain); ­serta gangguan
psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan
dan orientasi seksual.
4.	 Gangguan perkembangan jiwa pada anak dan remaja. Termasuk
dalam kelompok gangguan ini adalah retardasi mental, gangguan
jiwa yang terjadi (muncul) pada masa kanak dan remaja, yang
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
22 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­ditandai oleh keterlambatan perkembangan fungsi akibat dari
gangguan pada proses perkembangan biologis (susunan saraf).
Gangguan ini berlangsung terus-menerus serta sering mengalami
kekambuhan, walau akan berkurang dengan bertambahnya usia
anak. Di negara kaya dijumpai 3% populasi mempunyai IQ kurang
dari 70%, sementara hanya 4 per 1.000 mempunyai IQ kurang dari
50% (tergolong dalam retardasi mental sedang dan berat). Data lain
menunjukkan tingginya insiden retardasi berat di negara miskin.
Keterangan di atas secara jelas menggambarkan bahwa masalah
kesehatan jiwa sangat bervariasi dan menuntut perhatian yang ­tidak
sedikit. Perhatian terutama ditujukan untuk mencegah masalah
­tersebut terjadi atau mengatasi sebab dari masalah.
Bagaimana Gangguan Jiwa Bisa Terjadi
Penelitian dan pembahasan mengenai sebab timbulnya atau
­meningkatnya problem kesehatan jiwa di masyarakat menjadi
­pembicaraan dan perdebatan, mulai dari masyarakat umum hingga
tingkat ilmiah. Konsep bio-psiko-sosial memandang manusia dan
­permasalahannya dengan sangat kompleks.8
Faktor biologis saat ini menjadi fokus perhatian para peneliti ­dengan
semakin berkembangnya kemampuan untuk mendeteksi ­ hingga
tingkat sel. Penelitian genetik menunjukkan bahwa pada ­ beberapa
­kasus ­angguan jiwa, seperti skizofrenia dan gangguan ­afektif ­bipolar,
­faktor ­ genetik berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk
­merencanakanaspekpreventif.Penelitianlainmenunjukkansecarajelas
­perubahan keseimbangan berbagai macam zat kimia otak sebagai dasar
terjadi gangguan jiwa. Hal ini berdampak secara ­positif pada ­semakin
berkembangnya berbagai jenis terapi psikofarmaka yang ­tersedia.
Beberapapenyakityangmemengaruhisusunansarafpusat ­ber­potensi
untuk menjadi penyebab gangguan fungsi otak, terutama pada aspek
pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Penyakit infeksi ­(termasuk TBC
dan HIV/AIDS), trauma kepala, penyakit vaskuler yang ­berhubung­an
dengan perubahan pola hidup, degeneratif, dan gangguan tumbuh
kembang pada anak akibat malnutrisi masih menjadi masalah klasik
­penyebab gangguan jiwa di negara berkembang, termasuk Indonesia.
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
23Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Hubungan lain aspek biologis dan gangguan jiwa tergambar pula
­secarakomplekspadakasuskomorbiditasantaragangguanjiwa ­de­ngan
penyakit fisik. Depresi dan anxietas merupakan ­ komorbiditas yang
sering dijumpai pada penyakit tidak menular, seperti pada ­penyakit
jantungkoroner,infarkmiokard,dandiabetestipeII. ­Tahun2003,WHO
melaporkan prevalensi depresi pada berbagai ­ penyakit fisik, antara
lain tuberkulosis (46%), HIV/AIDS (44%), kanker (33%), stroke (31%),
epilepsi ( 30%), hipertensi (29%), DM (27%), miokard ­infark (22%), dan
10% depresi dijumpai pada populasi umum. ­Penyakit menular seperti
HIV/AIDS merupakan faktor risiko depresi dan ­ gangguan kognitif.
Depresi juga dikaitkan dengan kepatuhan berobat terhadap anti retro
viral. Kesehatan reproduksi (ibu dan anak) ­dijumpai hubungan antara
gangguan jiwa dan gangguan ginekologik. Depresi ibu dihubungkan
dengan perkembangan fisik dan psikologik bayi yang buruk.
Globalisasi memungkinkan luasnya jaringan dan mudahnya
­akses, termasuk terhadap penyalahgunaan zat. Masalah kesehatan
jiwa yang diakibatkannya tidak hanya berhubungan dengan dampak
­penggunaan langsung (akibat intoksikasi, putus zat), namun juga efek
jangka­panjang, seperti sindrom amotivasional pada penyalahgunaan
ganja dan gejala paranoid akibat penyalahgunaan amfetamin jenis
­stimulan.
Faktor psikologis yang berhubungan dengan pola asuh,
­pembentukan citra diri, interaksi individu, dan pola pemecahan
­masalah ­ memengaruhi kerentanan seseorang terhadap masalah
­kesehatan jiwa. Sebagai ­contoh, urbanisasi yang menuntut kompetisi
dalam segala hal ­berdampak pada terabaikannya mutu interaksi dan
curah ekspresi di dalam keluarga. Pola asuh yang tidak konsisten,
atau pola interaksi dengan kekerasan, memengaruhi mekanisme
­pe­mecahan masalah dan koping terhadap stresor.
Problem kemiskinan, kondisi sosial ekonomi yang cenderung ­tidak
stabil, pengangguran, konflik, bencana, stigma, diskriminasi, serta
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mengubah tatanan sosial
yangadadimasyarakatsecarabermakna.Kemajuandibidang ­informasi
yang memperluas akses terhadap berbagai macam informasi sedikit
banyak berpengaruh pada pola pikir, perasaan, dan tingkah laku para
pengguna layanan informasi tersebut. Satu sisi yang perlu mendapat
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
24 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
perhatian adalah ketika informasi tersebut sulit untuk ­disaring, baik
dari jenis tayangan maupun pengguna layanannya. ­ Sebagai contoh,
paparan terhadap tindak kekerasan, berbagai peristiwa bunuh diri,
maupun seksualitas dan pornografi bila dikonsumsi oleh anak maupun
remaja secara bebas, berpotensi terjadinya masalah, seperti bunuh diri
pada anak, tawuran atau perilaku seksual bebas.
Kemiskinan, gangguan fisik, dan gangguan jiwa dapat digambar-
kan sebagai sebuah lingkaran yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Beberapa gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kemiskinan
adalah bunuh diri, gangguan mental emosional (depresi dan anxietas),
gangguan penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif (1,5%) masalah
perkembangan anak dan remaja, serta gangguan stres pasca-trauma
akibat tindak kekerasan dan trauma psikososial lain (penggusuran
dan kriminalitas).
Dampak yang Ditimbulkan oleh Gangguan Jiwa
Sesuai dengan definisinya, gangguan jiwa menimbulkan disfungsi
dan hendaya (penderitaan) bagi diri dan orang lain. Hal itu tentu saja
berkaitan dengan kata produktivitas. Berbicara tentang kesehatan
dan produktivitas, beberapa data menunjukkan bahwa masalah ke-
sehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara
umum, ­bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan
memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental
index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia.
Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing ­Indonesia
tahun 2007 berada di peringkat ke-5 dan Indeks Pembangunan Manusia
berada di peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN.9
Data lain dari Global
Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World ­Economic
Forum bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing
negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia
menampilkan performa Indonesia di tahun 2008-2009 ada pada peringkat
ke-55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.j
 ­ Kondisi
ini menunjukkan secara nyata kebutuhan masyarakat akan upaya
­peningkatan kesehatan jiwa sangatlah mendesak.
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
25Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Sebuah penelitian tingkat dunia yang menghitung ­ disability-
­adjusted life years (DALYs)10
menunjukkan bahwa gangguan jiwa
adalah kelompok penyakit tertinggi yang mengakibatkan beban. Data
DALYs dari World Health Report tahun 2002 menunjukkan bahwa
­gangguan ­ neuropsikiatri menimbulkan beban besar ­ dibandingkan
­penyakit ­ akibat trauma fisik (injuries) dan HIV/AIDS. Data lain,
DALYs dari Australial
menunjukkan bahwa di antara kelompok
­penyakit ­tidak menular gangguan neuropsikiatri (khususnya ­depresi,
­penyalah­gunaan zat psikoaktif, dan skizofrenia) menimbulkan
­beban yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penyakit pembuluh
­darah dan kanker. ­Selanjutnya dari data DALYs Australia tersebut
­menunjukkan bahwa pada kelompok usia produktif (15-34 tahun),
gangguan jiwa seperti anxietas dan depresi menjadi gangguan ­tertinggi
yang ­menghasilkan peningkatan beban.4
Bebanterkaitgangguanjiwatidakhanyaberdampakpada ­individu,
melainkan juga sistem lain (keluarga dan ­ masyarakat). ­ Sebagai
­contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak ­paripurna akan
­berdampak pada meningkatnya risiko tindakan ­ kekerasan yang
sering kali ­tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap
berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan
terhadap diri sendiri, yang salah satunya berupa tindakan bunuh
diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu
sisi semakin mening­katkan stigma dan diskriminasi terhadap orang
­dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang
“tidak mampu”.
Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak
­kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan
­meliputi banyak hal, mulai dari kesempatan untuk memperoleh
­pendidikan, pekerjaan, termasuk kesempatan untuk berperan ­sebagai
bagian dari masyarakat, misalnya kehilangan hak suara dalam
­pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk mendapat ­fasilitas
layanan kesehatan yang memadai karena kurangnya ­ perhatian
­terhadap masalah kesehatan jiwa. Semua kondisi ini merujuk pada
masalah pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan berbagai
macam perlakuan salah dan tindak kekerasan.
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
26 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Beban yang diterima oleh keluarga tidak jauh berbeda ­dengan
apa yang dialami penderita, baik secara ekonomi, sosial ­ maupun
­psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ketidaktahuan ­keluarga
untuk ­ berperan membantu, termasuk ketidakmampuan untuk
­mengakses layanan kesehatan jiwa yang lebih disebabkan karena
­ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat. ­ Kondisi
­terakhir diperjelas ­dengan data penelitian yang ­melibatkan 15 ­kasus
pasung di ­Kabupaten Samosir. Data tersebut ­menunjukkan bahwa
lebih dari 70% penderita yang dipasung pernah ­menjalani perawatan
di sarana kesehatan jiwa, namun tidak dapat ­ dilanjutkan karena
masalah ekonomi dan besarnya upaya untuk bisa ­ menjangkau
­layanan kesehatan tersebut.13
Perlakuan salah hingga pemasungan sering kali dipicu oleh
semua beban ini. Dharmono, dkk (2006)14
dalam survei yang
­dilakukan ­ terhadap penderita skizofrenia yang dirawat di empat
tempat ­perawatan ­khusus di Jakarta dan Bogor melaporkan bahwa
61,7% penderita ­mengalami berbagai perilaku tidak ­menyenangkan,
seperti kekerasan fisik, ­ kekerasan emosional, kekerasan seksual,
kekerasan ekonomi, ­penelantaran, dan berbagai campuran tindak
kekerasan di atas. Tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh
berbagai pihak, ­ terutama oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh
tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial, dan
dokter RS.
Penelitian mengenai pasung di Kabupaten Samosir dan ­Nanggroe
Aceh Darussalam juga menunjukkan bahwa penyebab ­ terjadinya
pemasungan oleh keluarga lebih banyak terkait dengan ­ tindakan
­penyelamatan dan perlindungan.15,16
Tindak penyelamatan yang
­dimaksud, baik bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
maupun masyarakat.
Dari semua gambaran di atas, jelas bahwa masalah ­kesehatan
jiwa ­ tidak hanya menimbulkan dampak bagi penderita, namun
juga ­ keluarga, masyarakat, hingga negara. Jelas pula tergambar
­bahwa masalah kesehatan jiwa bukan monopoli sektor ­ kesehatan
saja, ­karena dampak yang terjadi juga terkait dengan sektor ­sosial,
­pendidikan, ketenagakerjaan dan produktivitas, serta ­ keamanan
dan hukum. ­Perhatian dan kerja sama lintas sektor terkait ­mutlak
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
27Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­di­perlukan ­ untuk menurunkan dampak tersebut yang akan
­berujung pada ­peningkatan kualitas hidup penderita, keluarga, dan
­masyarakat.
Tantangan dan Solusi
Masalah kesehatan jiwa sangatlah kompleks. Artinya, tidak ­hanya
berdampak bagi individu, juga bagi keluarga dan ­masyarakat, ­bahkan
hingga tingkat tatanan negara. Masalah kesehatan jiwa ­bukan ­hanya
masalah sektor kesehatan, namun juga menyangkut sektor non-
­kesehatan. Sayangnya perhatian terhadap masalah ­ kesehatan jiwa
sangatlah minim. Kesehatan jiwa masih belum menjadi ­ prioritas,
­seolah kesehatan jiwa bukan menjadi bagian dari kesehatan,
­meskipun data-data telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan
jiwa ­mengakibatkan beban terbesar di antara semua penyakit.
Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya
­informasi dan pemahaman banyak pihak tentang kesehatan jiwa,
­mulai dari tingkat individu di tatanan masyarakat hingga para
­pengambil kebijakan. Terfokusnya masalah kesehatan jiwa ­ hanya
pada ­gangguan jiwa berat dan fasilitas layanan kesehatan jiwa ­besar
(rumah sakit jiwa) menjadi sebab kurangnya kesempatan ­ untuk
­pengembangan ­lebih ­lanjut dan luputnya perhatian terhadap ­berbagai
bentuk ­ gangguan jiwa lain yang terbukti menyebabkan ­ disabilitas
­bermakna. Stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat yang
sering ­ menempatkan ­ penderita pada posisi ”tidak layak” karena
­dianggap tidak mampu, pada kenyataannya lebih banyak dipicu oleh
masalah kurangnya ­pemahaman bahwa orang dengan gangguan jiwa
mampu untuk pulih dan berfungsi baik di masyarakat. Stigma ini
pulalah yang ­mengakibat­kan seseorang merasa sulit untuk meminta
pertolongan ketika menyadari kondisi yang berbeda dan mengganggu
dalam dirinya.
Semua kondisi di atas juga mendasari timbulnya banyak ­kebijakan
yang tidak memfasilitasi orang dengan gangguan jiwa untuk ­lebih baik.
Salah satunya adalah tidak terjangkaunya akses layanan ­kesehatan
jiwa di masyarakat. Ketidakterjangkauan akses ini lebih banyak
­berhubungan dengan ketidakmampuan secara maksimal dalam segi
layanan maupun obat yang tersedia di tingkat layanan ­ kesehatan
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
28 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
­primer. Ini akibat sangat terpusatnya pembangunan sistem kesehatan
jiwa di rumah sakit besar yang tidak mudah dijangkau oleh ­masyarakat
karena masalah geografis dan ekonomi. Kurangnya ­pengetahuan dan
kepedulian para tenaga kesehatan juga ­ mengakibatkan masalah
dalam kemampuan deteksi dan manajemen. Manajemen yang kurang
baik mengakibatkan individu tidak dapat berfungsi dengan baik, dan
pada ujungnya tidak akan pernah mengubah pandangan masyarakat
tentang masalah kesehatan jiwa.
Oleh karenanya, diseminasi informasi secara tepat dan ­ terus-
menerus sangatlah diperlukan. Diseminasi informasi tidak hanya
menjadi perhatian sektor kesehatan, namun juga sektor lain, ­termasuk
mereka yang bergerak di bidang layanan hukum dan perlindungan
pada hak asasi masyarakat. Kelompok terakhir sangat diharapkan
perannya, terutama untuk memengaruhi para pemegang kebijakan,
dalam hal menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses pemulih­
an. Kondisi tersebut meliputi tersedianya layanan kesehatan yang
memadai dan terjangkau, memberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk meningkatkan kapasitas diri, baik melalui sektor pendidikan
maupun pekerjaan, dan tersedianya perangkat hukum yang mampu
melindungi orang dengan gangguan jiwa dari perlakuan salah, baik
oleh keluarga, masyarakat maupun negara yang seharusnya memiliki
tanggung jawab terbesar.
KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL
29Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Kepustakaan
1	 Lancet Series Global Mental Health, 2007.
2	 Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa, Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM,
	 “Draf Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa”, Jakarta, September 2005.
3	 Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
4	���������������������������������������������������������������������������������Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007.
5	��������������������������������������������������������������������������������������������������������������Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,
	 Buku Pedoman Kesehatan Jiwa (Pegangan bagi Kader Kesehatan), Jakarta, 2003.
6	 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
	 Legislation, New Delhi, October 2001.
7	 WHO-Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Layanan Medik, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
	 di Indonesia III (saduran dari ICD-X), Jakarta, 1993.
8	 Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan,“Draf Kebijakan di Bidang Kesehatan Jiwa Tahun 2009-2014”.
9	 Soekartawi. Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Sekretariat Negara Republik
Indonesia. 2007. Diunduh dari: http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=521 pada tanggal 9
November 2009.
10	 Porter ME, Schwab K., The Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, Switzerland, 2008.
11	 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through
	 Legislation, New Delhi, October 2001.
12	 Minas H,“Mental Health System Development: Role of Professional Association”, dipresentasikan dalam Kongres Nasional VI
	 Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Manado, 3 November 2009.
13	 Minas H, Diatri H, Pasung: Physicalrestraintandconfinementofthementallyillinthecommunity. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8.
14	 Dharmono S dkk (2006), Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Jakarta, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
15	 Diatri H, Minas H, Pasung: a Consequence of Insufficient Mental Health Services in Indonesia, Presented at the 4th International
Stigma Conference (Stigma and Discrimination: Evidence for Action) in London (Institute of Psychiatry, Kings College London
and the World Psychiatric Association Scientific Section on Stigma and Mental Illness), January 2009.
16	 Hayuning T, Pasung: Family Experience in dealing with the deviant in Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam, Amsterdam, 2009.
31Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
ODMK dan Pemenuhan HAM
Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone-
sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari
pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali ­didiskriminasi oleh
keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara.
Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di
jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka
dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka
mengalami ­stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan
(unequal before the law), pengusiran, ­penyerangan, peren-
dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen-
anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban
hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya
pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para
ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah
penduduk di negeri ini.
Yosep Adi Prasetyo
33Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
ODMK dan Pemenuhan HAM
A
genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan
bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal
munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998
ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indone-
sia, ­melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu
­belum diubah.
	 Sejak reformasi berbagai produk hukum dilahirkan
­memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak
sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU
tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU
HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk
MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi
PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, serta UU
­ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial.
Pemerintah Indonesia pada 2005 telah meratifikasi dua ­ kovenan
internasional yang penting, yaitu Kovenan Internasional ­ mengenai
Hak Sipil Politik (International Covenan on Civil and Political Rights,
ICCPR) menjadi UU No. 12 Tahun 2005 dan ­International Covenan
on Culture, Social, and Economic Rights (ICCSER) ­menjadi UU No.
11 Tahun 2005. Namun, pada tataran implemantasi, ­pemenuhan hak
ekosob tak semaju hak sipol. Padahal, sesungguhnya hak ­sipil-politik
dan hak ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dipisahkan.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
34 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Selain amendemen UUD’45 dan ratifikasi ICCSER, beberapa
­undang-undang terkait dengan hak ekosob.
Hal ini secara tidak
­langsung didorong atau dipaksa oleh Rencana Aksi Nasional HAM
(RANHAM) periode 1998-2003 yang dibuat Presiden Habibie dan
­RANHAM periode 2004-2009 yang dibuat Presiden Megawati.
Harapan besar akan adanya kemajuan kondisi hak asasi di era
­reformasi muncul ketika pemerintahan SBY-Kalla menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009
dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006. Dalam RPJMN
disebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidak-
mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar
dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok
orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Prinsip dan Parameter HAM
Apa sebenarnya hak asasi manusia (HAM) itu? HAM adalah hak
seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh
manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga mana
pun untuk meniadakannya. HAM pada hakikatnya telah ada sejak
seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia
­lahir, dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia mati.
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
­Manusia, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1, HAM ­didefinisikan
sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan ­­ anugerah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh
­negara, ­hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
­perlindungan harkat dan martabat manusia.
	 Antara lain adalah UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU No.
	 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
	 Selain merumuskan RPJMN dan RKP, pemerintahan SBY-Kalla juga menetapkan tiga sasaran pembangunan ekonomi, yaitu
(1) mengurangi pengangguran dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6,7% di tahun 2009, (2) menurunkan tingkat kemiskinan
dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% di tahun 2009, dan (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada
tahun 2003 menjadi 7,2% di tahun 2009. Keterangan ini berasal dari Gembong Priyono (Sekretaris Wakil Presiden RI) dalam
makalah diskusi berjudul“Pembangunan Berwawasan HAM”.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
35Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Hak asasi manusia bersifat universal, pengakuan bahwa ­ untuk
semua dan setiap orang melekat harkat dan martabat kemanusiaan
yang tidak ditentukan oleh latar belakang ras, warna kulit, agama,
seks, keyakinan politik, serta latar belakang sejarah.
Ini juga ­berarti
bahwamasyarakatinternasionalmempunyaitanggungjawab ­universal
untuk bertindak mengoreksi pelanggaran atas hak asasi manusia yang
terjadi.
Secara umum perspektif mengenai HAM terdiri dari delapan hal.
­Pertama, bahwa HAM itu adalah sebuah hal yang berlaku ­ secara
­universal (universality). Meski ada berbagai nilai moral dan etik
yang tersebar di seluruh dunia, namun pada dasarnya HAM tak
dapat berubah. Yang kedua, HAM mengutamakan penghormatan
kepada ­
martabat manusia (human dignity). Ketiga, HAM mengakui
­sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM) bahwa setiap umat manusia dilahirkan ­merdeka
dan sederajat dalam harkat dan martabatnya. Semua ­ manusia
­memiliki posisi yang setara (equity). Keempat, HAM tidak ­mengenal
pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan,
serta status ­kelahiran atau lainnya (non-discrimination).
Kelima, HAM yang melekat pada setiap individu itu tak bisa
­direnggut, dilepaskan, atau dipindahkan (inalienability). Keenam,
HAM baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, semuanya ­bersifat
­menyatu(inherent)dalamharkatdanmartabatmanusia ­(indivisibility).
Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap
hak lainnya. Ketujuh, HAM itu saling berkaitan dan bergantung satu
sama lain (interrelated and interdependence). Kedelapan, HAM lebih
merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Negara
dan dan para pemangku kewajiban lainnya harus bertanggung jawab
untuk menaati dan mewujudkan pemenuhan hak asasi.
Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen, baik ­nasional
maupun internasional, yang menjadi acuan utama sebagaimana
­tergambar dalam Bagan 1 dan Bagan 2.
	 Peringatan sedunia 5O tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1998 mengambil tema: All Human Rights for All.
Menegaskan bukan hanya semua orang memiliki hak asasi yang sama, tapi juga hak-hak tersebut menyangkut semua hak
asasi manusia, meliputi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak komunal maupun hak individual.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
36 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
DUHAM
1948
Piagam PBB
1945
CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial
CAT Konvensi Internasional ttg Menentang Penyiksaan
CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran
CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan DiskriminasiTerhadap
Perempuan
CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak
Instrumen
Utama
ICCPR
ICESCR
CEDAW
CRCCAT CMW
CERDGenosida
Instrumen Rekomendatif
Softlaw
Deklarasi
Wina
Aturan
Beijing
Prinsip
Paris
Pedoman
Riyadh
Sejumlah Softlaw lainnya
Instrumen Khusus
Hardlaw
Sejumlah
Hardlawlainnya
Bagan 1. Instrumen HAM Internasional
UU yang merupakan tindak lanjut
ratifikasi kovenan internasional
KI ttg Hak
Pol Perempuan
KI ttg Penghapusan
Diskriminasi
Thd Peremuan
KI ttg Hak Anak
KI Anti Apartheid
dalam Olahraga
KI Melawan
Penyiksaan dan
Huk Kejam Lain
KI Penghapusan
Diskriminasi Rasial
KI ttg Hak Ekosob
KI ttg Hak Sipol
UU No 68
Th 1958
UU No 7
Th 1984
Kepres No 36
Th 1990
Kepres No 48
Th 1993
UU No 5
Th 1998
UU No 28
Th 1999
UU No 11
Th 2005
UU No 12
Th 2005
UU lain
UU 26/2000
UU 1945
UU 39/1999
ttg HAM
Tap MPR No
17/1998
Bagan 2. Instrumen HAM nasional
Negara sebagai Pemangku Kewajiban
Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam
hal ini adalah pemerintah. Kalau saja mau membuka-buka ­dokumen
­tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
37Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari
kesalahan ini.
Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa
­perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara
­harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk, antara
lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi
(to fullfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect)
adalah ­kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan
­intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).
Hukum HAM
Pemangku HAM Pemangku Kewajiban
Individu Negara
To Respect To Protect To Fullfil
Commision Ommission
Bagan 3. Alur hukum HAM
Negara---tidak bisa tidak---memang harus memenuhi hak-hak warga
negara, seperti hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas ­perumahan,
hak atas pangan, hak atas pendidikan, dan hak atas pekerjaan.
Atas inisiatif itulah kemudian negara, dalam hal ini pemerintah,
­membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga
beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus, seperti Badan
Urusan Logistik yang bertanggung jawab atas persediaan dan ­bahan-
bahan kebutuhan pokok (sembako). Di Indonesia, negara---dalam hal
ini ­ pemerintah--merupakan pihak satu-satunya yang berhak untuk
menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri
ini sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
38 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
Tugas pemerintah untuk memenuhi hak asasi warga negara adalah
dengan melakukan investasi dalam bidang kehakiman, penjara,
­kepolisian, serta menyediakan alokasi sumber daya untuk ­kemampuan
masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus berinvestasi di bidang
kesehatan, pendidikan, dan bidang kesejahteraan lainnya serta ­alokasi
sumber daya untuk kemampuan masyarakat.
Pemerintah harus membangun dan mengembangkan ­infrastruktur,
seperti menambah panjang, lebar, dan kualitas jalanan, serta
­membangun rumah, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, juga
­menyediakan tenaga kesehatan, pendidikan, dan aparat hukum.
Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah harus ­memasukkan
alokasi anggaran bagi peningkatan berbagai fasilitas dan layanan
­publik dalam APBN/APBD.
Pemerintah juga harus mampu membuat kebijakan migas dan
­ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil yang bisa mencegah
kian ­ menganganya jurang kemiskinan. Riset Bank Dunia yang
­menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp 1.800 atau ­sekitar $AS 2
perhari ­menemukanangkakemiskinanyangsungguh ­mencengangkan.
­Dengan ukuran tersebut, orang miskin di Indonesia kini membengkak
mencapai angka 49%. Artinya, ada lebih dari 110 juta orang miskin
di Indonesia. Laporan United Nation Development Program (UNDP)
2007 meletakkan Indonesia dalam urutan ke-107 dalam hal capaian
Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia berada di bawah negara
yang baru mengakhiri konflik, seperti El Salvador (103), Aljazair
(104), Vietnam (105), dan wilayah pendudukan Palestina (106). Betapa
­memalukannya hal ini.
Korupsi atas dana-dana pembangunan fasilitas dan ­ peningkatan
pelayanan publik sebetulnya bukan sekadar kejahatan ekonomi,
tapi juga memiliki dimensi kejahatan hak asasi manusia. Selain itu,
­pilihan program pembangunan harusnya lebih berorientasi kepada
indikator pemenuhan hak asasi manusia dibanding pilihan renovasi
rumah ­dinas, pembelian mobil dinas atau hal lain yang lebih menjurus
kepada peningkatan kesejahteraan individu pejabat.
Sebagai pemangku kewajiban, pemerintah harus segera melakukan
upaya-upaya pencegahan agar pelanggaran HAM melalui tindakan
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
39Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
pembiaran (by ommission) tak berlanjut. Pemerintah punya ­pekerjaan
untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah ­ (perda) yang
kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000, baik yang berupa perda
otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi
menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005.
­Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan
kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena ­berpotensi
menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol.
Kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan
Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di ­Indonesia
sama sekali belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang
perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia.
­Padahal, sebetulnya kelompok ini--bila dilihat lebih lanjut--bisa
dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups)
sebagaimana ­kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja
migran.
Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai ­ negara
lain, ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh ­ keluarga,
­masyarakat ­ sekeliling, media, maupun oleh negara. Model
­diskriminasi yang ­dialami oleh ODMK adalah secara berlapis-­lapis
(lihat Bagan 4). ­ Ketika seorang diketahui sebagai ODMK, maka
dia akan ­ didiskriminasi oleh ­ keluarganya. Dalam banyak kasus
­keluarga ­ kemudian ­ mengasingkannya. Giliran berikutnya adalah
diskriminasi oleh ­ masyarakat sekeliling, media, dan kemudian
­negara.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
40 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
SistemSikap
Perilaku
Perilaku sebagai kekerasan fisik secara
Iangsung: Intimidasi, pemukulan, penyiksaan,
pembunuhan
Kekerasan
yang terlihat
Kekerasan yang tak terlihat
(di bawah perrnukaan)
Sikap sebagai sumber kekerasan:
Kebencian, kecurigaan, prasangka, ketakutan
ketakpercayaan, rasialisme, seksisme,
intoleransi, nilai-nilai budaya yang sempit
Sistem sebagai model kekerasan yang
melembaga: diskriminasi dalam pendidikan,
pekerjaan, ekonomi, pelayanan umum,
penyangkalan hak dan kemerdekaan, segregasi
sosial oleh negara, kebijakan pemukiman,
perlindungan politis, dll
Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem)
Pelaku kekerasan secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi
dua, yaitu non-aktor negara (non-state actors) dan aktor negara (state
actors). Untuk pelaku non-aktor negara, antara lain adalah keluarga
atau orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit,
­mantri, dan dokter. Sedangkan untuk pelaku yang merupakan aktor
negara adalah polisi, satuan polisi pamong praja (satpol PP), petugas
sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara.
Bentuk yang dialami mulai dari pelecehan, stigmatisasi, ­pembedaan
perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan,
­perendahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Lihat
Bagan 5 berikut.
Barangkali kita juga me-review beberapa kerusuhan yang ­terjadi
pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto yang
­konon dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara
lain ­ kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
41Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di
­Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. ­Namun,
dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut ­secara tuntas,
terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung
jawab atas kerusuhan.
Penelantaran
ODMK
Kombinasi
Kekerasan seksual
Kekerasan emosional
Kekerasan ekonomi
Kekerasan fisik
Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK
TindakandanseranganyangditujukankepadaODMK,takbisa ­tidak
dikarenakan memang karena adanya persepsi yang salah ­mengenai
ODMK. Kelompok ODMK sering dipandang salah oleh ­ masyarakat,
terutama oleh mereka yang menganut pandangan ­ fundamentalisme
agama dan juga masyarakat tradisionalis yang ­masih percaya pada ­hal-
hal di luar nalar. Selain itu, masyarakat kerap menggunakan ­ukuran
norma (kenormalan), kebiasaan, ataupun hukum yang ­ terbatas dan
diskriminatif. Juga pendapat atau penafsiran yang lebih bertumpu
pada pendapat individu.
Ada sejumlah orang yang menganggap ODMK sebagai hal yang
merupakan dosa atau kutukan Tuhan. Karena kutukan itulah, ODMK
kemudian tersingkir dari dunia kemanusiaan. Ada pula yang meni-
lai bahwa ODMK merupakan orang dengan perilaku yang menyim-
pang yang melakukan sesuatu yang tak pada tempatnya, karena itu-
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
42 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
lah mereka perlu diasingkan. Yang lain mengatakan bahwa kegilaan
itu adalah sebuah penyakit sehingga muncul istilah “tidak waras”,
­“pikiran terganggu”, “otak terganggu”, “jiwa terganggu”, dan lain-lain.
Secara hukum, seorang ODMK juga dibedakan dan tak mendapat
perlakuan yang sama di depan hukum (unequal before the law). ­Karena
itulah ODMK sering mengalami diskriminasi dan tak dianggap sebagai
individu di muka hukum.
Ada pula yang berpendapat ODMK sebagai
kelompok orang yang berisiko yang diasosiasikan sebagai kelompok
yang membahayakan atau meresahkan masyarakat.
Perspektif Baru Masalah Kejiwaan dan Kewajiban Negara
Masalah kejiwaan pada dasarnya adalah sebuah kenyataan ­sosial
yang harus diterima. Belum pernah ada penelitian atau ­ sensus
­mengenai jumlah ODMK di seluruh Indonesia. Namun, ketika di
­kawasan Aceh pada 2003 diberlakukan Keadaan Darurat Militer, ada
penelitian yang menyatakan bahwa 70% masyarakat Aceh menderita
gangguan kejiwaan. Secara perkiraan, dalam sebuah negara terdapat
sekitar sepuluh hingga dua puluh persen dari total jumlah penduduk
yang umumnya menderita gangguan kejiwaan. Kalau angka ­perkiraan
ini digunakan, maka di Indonesia terdapat kurang lebih 23 hingga
50 juta jiwa berstatus sebagai ODMK. Sekitar 3 juta ODMK perlu
mendapat perawatan intensif dan hanya 599 jiwa yang dibiayai oleh
negara.
Dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, bisa ditarik
­adanya hubungan kausalitas antara dampak kemerosotan ekonomi
yang ­ menimbulkan kemiskinan dengan meningkatnya kekacauan
mental dan perilaku di kalangan masyarakat (lihat Bagan 6). ­Artinya,
ada kaitan langsung antara tak terpenuhinya hak-hak ekosob, baik
akibat krisis ekonomi, kesalahan kebijakan pemerintah, maupun
yang merupakan bentuk pelanggaran HAM dengan meningkatnya
­prevalensi ODMK.
	 Pemantauan Komnas HAM saat pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009 lalu menyimpulkan bahwa
KPU tak menfasilitasi ODMK untuk bisa mengikuti pemilihan. Lihat laporan Tim Pemantauan Komnas HAM tentang Pileg
2009 dan Pilpres 2009.
	 Contoh dari legalisasi pendapat ini adalah salah satu pasal dalam Peraturan Daerah Pemda DKI mengenai Ketertiban Umum
yang melarang orang yang diindikasikan sebagai menderita gangguan jiwa untuk berkeliaran di taman-taman atau di
tempat umum.
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
43Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
DampakEkonomi
Biayakesehatanmelangit
Kehilangan pekerjaan
Produktivitas menurun
Kemiskinan
Kemerosotan ekonomi
Pendidikan rendah
Tanpa pekerjaan
Kekacauan Mental 
Perilaku
Meningkatnya rasa
frustasi
Kurangnya perhatian
Meningkatnya kekerasan
Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan
Namun demikian, harus dipahami bahwa gangguan kejiwaan
­memiliki berbagai tingkatan. Secara garis besar gangguan mental bisa
dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu non-psikotis dan ­psikotis.
Untuk jenis non-psikotis terdiri dari gangguan cemas, gangguan
­somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dan lain-lain. Sedang
gangguan psikotis meliputi skizofrenia (ada 5 tipe), gangguan ­afektif
berat dengan gejala psikotis (meliputi bipolar manik dan depresi ­berat),
skizoafektif, psikosis polimorfik akut, gangguan waham ­ menetap,
psikosis non-organik lainnya, dan gangguan psikotis organik.
Pada ODMK ringan hampir semua kegiatan kemasyarakatan mam-
pu dilaksanakan dengan baik dan mereka sama seperti orang-orang
lain. Kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan war-
ga negara pada umumnya. ODMK yang telah menjalani pengobatan
optimal atau gejala-gejalan gangguan jiwa tidak muncul lagi dapat
digolongkan dalam kelompok masyarakat pada umumnya. ODMK
yang lebih berat dan mendapatkan pengobatan optimal akan memi-
liki kemampuan yang lebih sedikit (terbatas) ­ dibandingkan ­ dengan
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
44 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
orang normal, tetapi mereka masih tetap warga negara ­ Indonesia
dan ­ seharusnya mendapatkan perlindungan negara. ­ Mereka masih
bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan keterbatasan-­keterbatasan
­tertentu dan bekerja di bidang pekerjaan tertentu. Bagi ODMK,
­meski telah mendapatkan pengobatan optimal, tetap tidak mampu
­menjalankan fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan atau menjalankan
kehidupannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, negara
harus bertanggung jawab melindungi mereka. Kenyataannya, sampai
saat ini perhatian pemerintah terhadap dua kelompok tersebut masih
sangat kurang.
Di Indonesia, sejak tahun 1970-an telah dibentuk ­ Direktorat
­Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
­Departemen Kesehatan yang mengelola 33 rumah sakit jiwa di ­seluruh
Indonesia. Kebanyakan rumah sakit jiwa hanya ada di ibu kota provinsi
atau di sebuah kota di setiap provinsi. Sementara ­masih ada ­beberapa
provinsi yang tak memiliki satu pun rumah sakit jiwa. Situasi ini
­menyulitkan ODMK yang membutuhkan penanganan ­ dunia medis,
mengingat pelayanan kesehatan jiwa tak bisa diakses pada tingkat
­layanan semacam puskesmas. Di lapangan sering kali dijumpai
­realitas bahwa ODMK lebih banyak ditangani Dinas Sosial ketimbang
Dinas Kesehatan. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi dan idealnya
justru penanganan ODMK seharusnya melibatkan upaya ­ sinergi
­berbagai departemen pemerintah. Jaminan hak pasien juga ­tercantum
di ­sejumlah pasal dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992.
Namun dalam kenyataan, pelayanan terhadap orang dengan
­masalah kesehatan jiwa masih jauh dari harapan. Dari total orang
dengan gangguan jiwa yang terlaporkan, hanya sejumlah kecil yang
mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa. Jenis pelayanan kesehatan
jiwa ini meliputi rawat jalan dan inap di rumah sakit dan ­puskesmas,
serta layanan rehabilitasi di panti dan unit layanan psikososial
­lainnya.
Kendala dalam pelayanan medis di rumah sakit dan puskesmas,
antara lain sebagian besar pelayanan diberikan oleh dokter umum dan
hanya sebagian kecil yang ditangani oleh dokter spesialis kesehatan
jiwa.Lebihjauh,kompetensiparadokterumumdalammenanganiorang
dengan gangguan jiwa dirasakan masih terbatas. Hal ini ­dikarenakan
ODMK DAN PEMENUHAN HAM
45Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
kurangnya sarana pelatihan dalam ­meningkatkan ­kemampuan para
dokter umum. Sementara itu kendala dalam ­ layanan non-medis
(psikologis, sosial, dan spiritual), antara lain tidak ­tersebarnya tenaga
non-medis secara merata.
Kendala lain adalah keterbatasan tersedianya obat-obatan bagi
pasien dengan gangguan jiwa. Apabila obat tersebut tersedia, ­harganya
belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Karena pada umumnya
orang dengan gangguan jiwa memerlukan pengobatan dalam waktu
yang lama, maka faktor biaya pengobatan merupakan salah satu
­penyebab terputusnya proses pengobatan.
Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi pada kelompok keluarga
­berpendidikan rendah, keluarga bermasalah, dan keluarga yang
­tinggal di daerah konflik. Umumnya mereka termasuk golongan
­ekonomi ­rendah yang akan menambah kesulitan dalam pembiayaan
kesehatan.
Dalam upaya pelayanan terhadap orang dengan gangguan jiwa, hak
dan martabatnya senantiasa harus diperhatikan. Meskipun ­ mereka
kompeten (gangguan jiwa ringan atau yang telah diobati), ­ namun
sering kali keluarga atau petugas kesehatan menganggap mereka
­inkompeten dan memperlakukan mereka secara paternalistik, seperti
memaksa berobat atau memaksa minum obat.
Berkaitdenganprosespengobatanpadamasalahkesehatanjiwa,ada
anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa ­gangguan
jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit ­ keturunan dan
­kutukan. Selain itu, ada anggapan keliru tentang rumah sakit jiwa
dan tenaga kesehatan jiwa yang menghambat keinginan keluarga dan
individu untuk mencari pengobatan masalah kesehatan jiwa.
Ada anggapan keliru di masyarakat bahwa gangguan jiwa
­merupakan penyakit keturunan, tidak tersembuhkan, dan ­ kutukan.
Hal ini akan menyebabkan keluarga sulit menerima kenyataan
­apabila salah satu anggota keluarga mengalami ganguan jiwa. Situasi
ini juga bisa ­menimbulkan aib dalam keluarga dan dianggap ­merusak
­martabat atau kehormatan keluarga dan keturunan selanjutnya.
­Untuk itu, ­keluarga berusaha menyembunyikan anggota keluarga yang
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)
Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)

More Related Content

Similar to Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIAPERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Allya Q
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Ica Diennissa
 
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
Wahyu Dwi Pranata
 
Makalah hak azasi manusia
Makalah hak azasi manusiaMakalah hak azasi manusia
Makalah hak azasi manusiaYadhi Muqsith
 
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA }
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA } PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA }
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA } Rochmad Putra
 
Softskill jilid 2
Softskill jilid 2Softskill jilid 2
Softskill jilid 2
Ennas Otong
 
Hak asasi manusia
Hak asasi manusiaHak asasi manusia
Hak asasi manusia
محمد اوكال
 
Pewartawarga: Teori dan Praktik
Pewartawarga: Teori dan PraktikPewartawarga: Teori dan Praktik
Pewartawarga: Teori dan Praktik
Yossy Suparyo
 
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
Ibnu1810
 
Makalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran hamMakalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran ham
Septian Muna Barakati
 
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesiaMakalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Photo Setudio Planet solo grand mall
 
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesiaMakalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Photo Setudio Planet solo grand mall
 
Isu kriminalitas perkotaan
Isu kriminalitas perkotaanIsu kriminalitas perkotaan
Isu kriminalitas perkotaan
Trisna Nurdiaman
 
Media Online dan Inspiring Journalism
Media Online dan Inspiring JournalismMedia Online dan Inspiring Journalism
Media Online dan Inspiring Journalism
Yudha P Sunandar
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer  Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
RegitaWyartiningtyaz
 
Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015
Ananta Bangun
 
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAIMEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
calonmayat
 

Similar to Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009) (20)

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIAPERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
 
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
Hak-hak Asasi Menurut UUD 1945
 
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
Pers Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial (PPMI)
 
Makalah hak azasi manusia
Makalah hak azasi manusiaMakalah hak azasi manusia
Makalah hak azasi manusia
 
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA }
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA } PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA }
PELANGGARAN HAM { HAK ASASI MANUSIA }
 
Softskill jilid 2
Softskill jilid 2Softskill jilid 2
Softskill jilid 2
 
Hak asasi manusia
Hak asasi manusiaHak asasi manusia
Hak asasi manusia
 
Pewartawarga: Teori dan Praktik
Pewartawarga: Teori dan PraktikPewartawarga: Teori dan Praktik
Pewartawarga: Teori dan Praktik
 
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
Tugas makalah pendidikan kewarganegaaraan bab 2
 
Makalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran hamMakalah pelanggaran ham
Makalah pelanggaran ham
 
Pengantar Citizen Journalisme
Pengantar Citizen JournalismePengantar Citizen Journalisme
Pengantar Citizen Journalisme
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesiaMakalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
 
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesiaMakalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
Makalah menegakkan hak asasi manusia di indonesia
 
Isu kriminalitas perkotaan
Isu kriminalitas perkotaanIsu kriminalitas perkotaan
Isu kriminalitas perkotaan
 
Media Online dan Inspiring Journalism
Media Online dan Inspiring JournalismMedia Online dan Inspiring Journalism
Media Online dan Inspiring Journalism
 
Literasi Media
Literasi MediaLiterasi Media
Literasi Media
 
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer  Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
Dampak rendahnya literasi penggunaan media sosial pada generasi baby boomer
 
Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015
 
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAIMEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
MEMBANDINGKAN KOMNAS HAM DAN KPAI
 

More from Lautan Jiwa

Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
Lautan Jiwa
 
Mengenal Depresi (23.1)
Mengenal Depresi (23.1)Mengenal Depresi (23.1)
Mengenal Depresi (23.1)
Lautan Jiwa
 
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
Lautan Jiwa
 
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
Lautan Jiwa
 
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
Lautan Jiwa
 
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
Lautan Jiwa
 
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
Lautan Jiwa
 
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
Lautan Jiwa
 
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
Lautan Jiwa
 
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
Lautan Jiwa
 
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di PuskesmasPenyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
Lautan Jiwa
 
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan JiwaMengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
Lautan Jiwa
 
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
Lautan Jiwa
 
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
Lautan Jiwa
 
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Lautan Jiwa
 
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
Lautan Jiwa
 
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Lautan Jiwa
 
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
Lautan Jiwa
 
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
Lautan Jiwa
 
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
Lautan Jiwa
 

More from Lautan Jiwa (20)

Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
Gelombang Lautan Jiwa: Sebuah Psikomemoar (v2, 29.8)
 
Mengenal Depresi (23.1)
Mengenal Depresi (23.1)Mengenal Depresi (23.1)
Mengenal Depresi (23.1)
 
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
Mengenal Gangguan Bipolar (v2, 15.0)
 
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
Surat Pernyataan PDSKJI Pusat (22 Februari 2018)
 
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
Antipsikotik (Terjemahan Bahasa Indonesia, 3.0)
 
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
Sejarah Skizofrenia (3.0, Indonesian)
 
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
Depresi, Sebuah Panduan Ringkas (NIMH, v2, 6.0)
 
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
Mengenal Skizofrenia (8.4, NIMH)
 
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
Perkenalan Singkat terhadap Beberapa Gangguan Jiwa (4.0)
 
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
Gangguan Perkembangan pada Anak (2.0)
 
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di PuskesmasPenyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
Penyebab Skizofrenia, Cara Kerja Obat, dan Penanganannya di Puskesmas
 
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan JiwaMengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
Mengenal Lebih Dalam Masalah dan Gangguan Jiwa
 
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
Informasi Obat-obatan Kesehatan Jiwa (Edisi ke-4)
 
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
Mengenal Gangguan Bipolar [dr. Lahargo Kembaren, SpKJ]
 
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
Jarak antara Hati Kita (4.2), Kumpulan Cerpen oleh Tiga Orang dengan Masalah ...
 
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
Laporan 5 Tahunan Cahaya Jiwa (5.0)
 
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)
 
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
Laporan Kegiatan Yayasan Cahaya Jiwa Periode 2012-2017
 
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
Sejarah Kesehatan Jiwa (10.0)
 
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
Mengenal Kecemasan dan Serangan Panik (9.0, fr Mind UK Booklet)
 

Jurnal HAM: Pemenuhan Hak ODMK (2009)

  • 1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jl. Latuharhary No.4B, Menteng, Jakarta Pusat Telp. 021-3925230, Fax. 021-3912026 Email: info@komnasham.go.id Website: www.komnasham.go.id Komisi Nasional Hak Asasi Manusia © 2009 KomnasHAM ©2009 JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA JURNALHAMKOMISINASIONALHAKASASIMANUSIA MEWUJUDKANPEMENUHANHAMODMK Vol. 5 n Tahun 2009 MEWUJUDKAN PEMENUHAN HAM ODMK
  • 2. JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Diterbitkan oleh: KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA ©2009
  • 3. ii Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 JURNAL HAMKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ­masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling ­banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait ­sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penanggungjawab :Yosep Adi Prasetyo Pimpinan Redaksi : Rusman Widodo Dewan Redaksi : Kurniasari Novita Dewi,Yuli Asmini, Hari Reswanto, Ignas Triyono Distribusi : Banu Abdillah Administrasi : Ratnawati Tobing, Eri Riefika, Idin Korino, Fauzan Desain Cover &Tata Letak : Agus Solikin & Galih Ananda Editor Bahasa : Andy Panca Foto Cover : diadaptasi dari www.newsucanuse.org g/images/bigstockphoto Percetakan : MCU Penerbit : Komnas HAM Alamat Redaksi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026 Email: info@komnasham.go.id Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-979-26-1438-1 Jurnal HAM Komnas HAM Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2009, xvi + 142 Hal; 160 mm x 240 mm Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk ­kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.
  • 4. iiiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Daftar Isi Kata Pengantar Yosep Adi Prasetyo ..................................................................................................................................................... Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran Hak Asasi Manusia Rusman Widodo ........................................................................................................................................................ Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global Hervita Diatri ................................................................................................................................................................ ODMK dan Pemenuhan HAM Yosep Adi Prasetyo ..................................................................................................................................................... Masalah Bioetika dan HAM pada Layanan Kesehatan Jiwa Irmansyah ..................................................................................................................................................................... Instrumen Internasional Terkait Hak Asasi Orang dengan Masalah Kejiwaan Albert Maramis ........................................................................................................................................................... Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan) dalam Hukum Indonesia Pandu Setiawan ......................................................................................................................................................... Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia Eka Viora ......................................................................................................................................................................... Menembus Kabut Kehidupan Lili Suwardi .................................................................................................................................................................... Tinjauan Buku ‘Kekuasaan di Tengah Kegilaan’ LR. Baskoro .................................................................................................................................................................... Biodata para Penulis ........................................................................................................................................ vii 1 15 31 51 67 81 93 113 127 135
  • 5. iv Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 DaftarTabel Dan Lampiran Lampiran Matrik Dimensi HAM Dalam Isyu ODMK ............................................................... 49
  • 6. Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Daftar Gambar Bagan 1. Instrumen HAM Internasional........................................................................................... Bagan 2. Instrumen HAM Nasional .................................................................................................... Bagan 3. Alur hukum HAM ......................................................................................................................... Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem) ............................................ Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK .................................................................... Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan .......................................... Gambar Perpaduan Optimal PelayananKesehatan Jiwa................................................... Gambar Blog Skizofrenia ............................................................................................................................ 36 36 37 40 41 43 103 122
  • 7.
  • 8. viiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Kata Pengantar S eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota. Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah ­manusia. Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak ­punya pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tata- pan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi ­sekitar. Siapa mereka? Mereka adalah sebagian dari orang dengan ­masalah kejiwaan (ODMK) yang memang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah orang yang dibuang oleh keluarganya. Mereka adalah orang yang ­bukan tak mungkin akan menjadi pengelana seumur hidupnya. ­ Sebagian dari mereka hidup dalam pasungan dengan kondisi ­ mengenaskan. ­Sebagian lagi jadi penghuni berbagai panti sosial. Sebagian lagi lebih beruntung, mereka dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, tak banyak orang yang sebenarnya tahu bahwa di antara mereka ada yang hidup “normal” di tengah masyarakat. Masyarakat pada umumnya memang memberikan stigma kepada kelompok ODMK. Mereka ini oleh sebagian besar orang dianggap telah kehilangan hak asasinya. ODMK sering diolok-olok dan digang- gu oleh anak-anak. Dalam hukum di Indonesia, mereka ini tak dima- sukkan sebagai subjek hukum. Barangkali kondisi inilah yang mem- buat hak-hak asasi mereka terlanggar. Pemantauan yang dilakukan Komnas HAM pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 lalu
  • 9. ­menyimpulkan bahwa puluhan ribu ODMK di Indonesia tak bisa ikut memilih. Padahal, hak ini dijamin dalam konstitusi maupun hukum perundangan yang ada. Memang, ODMK di Indonesia belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini bila dilihat lebih lanjut bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups) sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja ­migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain, ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, ­masyarakat sekeliling, media maupun negara. Model diskriminasi yang dialami oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis. Gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan penderitaan bagi diri ODMK dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata ­produktivitas. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah ­kesehatan jiwamemengaruhitingkatproduktivitasindividusecaraumum, ­bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia. Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada ­individu, melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). ­ Sebagai ­contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan ­berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap sebagai berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak ­ kekerasan ­terhadap diri sendiri yang salah satunya berupa tindakan bunuh diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu sisi ­semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang ­dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang “tidak mampu”. Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak ­kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan ini meliputi banyak hal, mulai dari memperoleh pendidikan, ­pekerjaan, berperan sebagai bagian dari masyarakat--misalnya kehilangan hak suara dalam pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk
  • 10. ixJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 mendapat fasilitas layanan kesehatan yang memadai karena kurang- nya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa. Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran, ­kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah dan tindak ­ kekerasan. Beban yang diterima oleh keluarga ­ tidak jauh ­ berbeda ­ dengan apa yang dialami penderita, baik secara ­ekonomi, ­sosial, ­maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ­ketidaktahuan ­keluarga untuk berperan untuk membantu, termasuk ­ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang ­lebih disebabkan karena ­ ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat. Di masa lalu, di masa Orde Baru, beberapa kerusuhan yang ­terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto ­“konon” dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. ­Antara lain ­ kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada 1996, ­serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di ­Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. ­Namun, dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut ­secara tuntas, terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung jawab atas berbagai kerusuhan itu. Komnas HAM melihat masalah penanganan ODMK berkaitan erat denganhakasasimanusia(HAM).DalamUUNo.39Tahun1999 ­tentang Hak Asasi Manusia, HAM adalah seperangkat hak yang ­melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai ­makhluk ­Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib ­ dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat ­manusia. Sedangkan HAM sepenuhnya merupakan kewajiban negara (state obligation), mulai dari kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), hingga kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullfil). Jurnal HAM edisi ini secara khusus mengangkat persoalan ODMK dari sisi HAM. Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi kali ini ­diharapkan bisa mendorong perbaikan kebijakan, implemen- tasi, ­ maupun anggaran yang lebih pro- HAM. Penerbitan jurnal ini
  • 11. Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­menunjukkan komitmen kuat Komnas HAM bagi pencapaian kondisi HAM yang kondusif di Tanah Air. Pada edisi jurnal ini, Rusman Widodo mengangkat masalah ­pelanggaran HAM terhadap kelompok ODMK. Ia mengangkat ­ fakta- fakta sesuai laporan yang pernah masuk ke Komnas HAM ­ tentang ­operasi ketertiban umum yang dilakukan sejumlah pemda. Pada ­operasi ini para ODMK ditangkapi dengan paksa lantas ­dinaikkan ke ­mobil dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti ­sosial ­sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. ­Namun, ternyata nasib ODMK di panti sosial ­ tidak ­ lebih baik dari ODMK di jalanan. Banyak di antara ­mereka yang ­meninggal dunia akibat kekurangan gizi, diare, dan anemia ­berat. Hervita Diatri melakukan tinjauan tentang kesehatan jiwa dari ­perspektif global. Pada saat ini ada banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini di masyarakat dan berpotensi besar untuk ­terjadinya masalah kesehatan jiwa. Namun, perhatian terhadap aspek ­kesehatan jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi ­akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah ­ kesehatan jiwa. Hal yang penting bagi Indonasia saat ini mengingat, terkait ­banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan isu psikososial lainnya yang terjadi. Situasi ini memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di masyarakat. Irmansyah memberikan uraian menarik mengenai permasalahan bioetika dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah ­bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan adalah untuk memaksimalkan manfaat ­medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit. Bioetika dan HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan mengenai isu yang sama. ­ Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan ­untuk ­ memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin ­hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan ­kebebasan- ­kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.
  • 12. xiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Irmansyah menduga, meski jarang terungkapnya masalah ­pelanggaran etik dan HAM serta dugaan malapraktik terhadap ODMK, baik yang dilaporkan ke pengadilan maupun pada Komnas HAM, tidak ­menutup kemungkinan telah terjadinya pelanggaran etik dan HAM ­terhadap ­penderita gangguan jiwa. Hal ini lebih disebabkan para ODMK dan ­keluarga tidak pernah mengetahui detail pelanggaran etik dan HAM. Mereka juga tak menyadari tentang hak asasi mereka serta karena ­takut akan mencemarkan nama baik penderita dan atau keluarga. Albert Maramis dalam tulisannya lebih banyak ­ menguraikan ­sejumlah instrumen HAM yang berkaitan dengan ODMK. ­ Peran ­instrumen internasional HAM diperlukan dalam ­ mendukung ­perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan ­ karena ­kelompok ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering ­dihadapkan pada ­keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk ­ mempertahankan hak-hak mereka sehingga dengan mudah ­mengalami eksploitasi, penghinaan, dan pelanggaran hak-hak dasar mereka. Sejarah perlindungan ODMK ditulis Pandu Setiawan ­ secara ­menarik. Dalam catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah ­meletakkan dasar-dasar hukum bagi penanganan ODMK di ­Hindia Belanda. Pada 30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit (Keputusan Kerajaan) dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan ­Keputusan Gubernur Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di ­Hindia Belanda. Atas dasar itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa yang hingga kini masih menjadi pilar bagi penanganan ODMK di ­Indonesia. Antara lain RSJ Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902, RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923, RSJ ­ Jakarta pada 1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga 1940 ­terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan ­kesehatan jiwa pada saat itu masih sangat tertutup, bahkan mirip seperti ­penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het ­Reglemen op het ­Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 no. 54). Yang menarik adalah ­bahwa salah satu ­pertimbangan kuat dalam suatu ­keputusan ­kerajaan adalah banyaknya pasien gangguan jiwa yang didapat dalam satu survei sehingga harus disatukan dalam satu fasilitas perawatan dan tidak “berkeliaran” di masyarakat.
  • 13. xii Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Lebih lanjut, Eka Viora menyoroti masalah pembangunan sistem ­kesehatan jiwa di Indonesia. ODMK pada dasarnya ­ mempunyai ­beragam kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi ­kembali di ­masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan ­kontinuitas berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi berbasis ­masyarakat merupakan faktor sangat berpengaruh untuk menstabilkan ­ gejala, ­meningkatkan kualitas hidup, dan kemandirian ODMK untuk ­berfungsi kembali secara sosial di masyarakat. Namun demikian, sistem ­pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat ini ­masih ­didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah sakit jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di ­Indonesia ­bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau ­pusat ­rujukan, tapi malah berfungsi sebagai puskesmas “besar” karena semua ­penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di ­puskesmas dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ. Eka Viora melihat perlunya ada komitmen kuat untuk ­mereformasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini membutuhkan ­keterlibatan intens dari para perencana, manajer, dan klinikus ­untuk mewujudkannya.Adabanyakpengalamannegara-negarayang ­berhasil melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan ­­de-institusionalisasi. Perlunya Indonesia mengembangkan sebuah ­pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dari tatanan rumah sakit sampai ke komunitas adalah untuk menjamin kesinambungan ­pelayanan. Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi ­ dengan ­menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak ­diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia ­terus hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya. Ketika di SLTA ia mulai menemukan keanehan dirinya. Selulus SLTA, ia mulai ­menghadapi problem riil, yaitu mencari pekerjaan yang cocok bagi ­dirinya. Sebuah hal membuatnya mulai diserang kecemasan dan ­dianggap sebagai “orang gila” yang tak dapat melakukan ­apa-apa. Yang dilakukannya hanya minum obat, mengantuk, tidur, dan ­keluar-­masuk rumah sakit. Ia tak dapat mendapatkan dukungan yang ­ memadai dari keluarga. Sebuah hal yang kemudian membuatnya ­beberapa kali ­mencoba bunuh diri. Sebuah obat antipsikotik berdosis 1.470 miligram membuat dirinya tak sadarkan diri selama 4 hari. Namun, ia berhasil
  • 14. xiiiJurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 keluar dari belitan masalah dan kini eksis ­sebagai blogger dan aktivis dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia dan jadi pengurus ornop bernama Perhimpunan Jiwa ­Sehat, sebuah organisasi konsumen dan keluarga orang dengan masalah ­kejiwaan. Pada bagian penutup, LR Baskoro membuat telaah buku Michel Foucault yang legendaris. Buku berjudul Madness and Civilization ini merupakan sebuah buku yang melihat kekuasaan di tengah kegilaan. Buku ini memotret peradaban Eropa pada Abad Pertengahan, Abad XV, hingga Abad XVIII, sebagai masa yang murung, yang kemudian memengaruhi semua hasil budi dan daya manusia Eropa, baik seni, politik, kesusasteraan, dan seterusnya. Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi dosen di Swedia pada 1961. Foucault sendiri pernah berurusan dengan ­masalah kejiwaan. Ia pernah depresi hingga harus melakukan ­konsultasi ­rutin denganpsikiater--agaknyamenjadipenyebab ­kenapaFoucaut ­demikian tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan ­ kejiwaan. Madness and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang ­ menunjukkan ­kekuatan--dalam kerumitan pikiran Foucalt--filsuf terkemuka ­Prancis ini mengenai pemahamannya atas sejarah. Selamat membaca! Yosep Adi Prasetyo
  • 15. xiv Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009
  • 16. Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 OrangdenganMasalah ­ Kejiwaan(ODMK)Pelanggaran HakAsasiManusia Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan ­meningkat. Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil, banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga ­memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh untuk ­mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK. RusmanWidodo
  • 17.
  • 18. Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pendahuluan Sehat, menurut World Health Organization (WHO) atau ­Organisasi Kesehatan Dunia, adalah suatu keadaan yang ­sempurna, baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Pengertian tersebut mengandung 3 ­karakteristik, yaitu 1) Merefleksikanperhatianpadaindividusebagaimanusia,2) ­Memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan ­eksternal, dan 3) Sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. ­ Intinya sehat, menurut standar WHO, adalah suatu kondisi ­sejahtera ­­jasmani- rohani serta sosial dan ekonomi. Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan ­kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ­ekonomis. Kesehatan mental (jiwa) diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti kejiwaan. Kata ­mental memiliki persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal dari ­bahasa Latin yang berarti psikis atau jiwa. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau ­kesehatan mental. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial). Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor ­(penyebab terjadinya stres). Orang yang memiliki mental sehat berarti mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari ­dirinya
  • 19. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 sendiri dan lingkungannya. Menurut WHO Expert Committee on ­Mental Health, ada delapan ciri-ciri mental yang sehat, yaitu: 1. Mampu menyesuaikan diri terhadap kenyataan secara konstruktif, meskipun kenyataan itu buruk dan pahit. 2. Mampu memperoleh kepuasan dari upaya dan perjuangan hidupnya. 3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima. 4. Relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan (stres). 5. Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan. 6. Mampu menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran. 7. Mampu mengarahkan rasa permusuhan menuju penyelesaian yang kreatif dan konstruktif. 8. Memiliki daya kasih sayang yang besar. Gangguan mental (jiwa) dapat dikatakan sebagai perilaku ­abnormal atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku di ­ masyarakat, baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stres, ­depresi, dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental ­ karena adanya ­ penyimpangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci, yaitu menurunnya fungsi mental dan ­berpengaruhnya pada ketidakwajaran dalam berperilaku. Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan ­lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses ­adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi, sekaligus melihat ­konteks ­sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah ­untuk ­mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena ­selain harus mengetahui potensi individunya, juga harus melihat ­konteks sosialnya. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, ­penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau ­gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih ­fungsi ­mental. ­Penyakitmentaladalahgangguanotakyang ­ditandaioleh ­terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi ­ (penangkapan panca ­indra). Penyakit mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai ­setiap
  • 20. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial- ­ekonomi. ODMK atau orang dengan masalah kejiwaaan adalah orang yang mengalami gangguan mental (jiwa). Istilah ODMK dipakai untuk menggantikan sebutan orang gila yang sering dipakai masyarakat awam ketika menyebut orang yang mengalami gangguan mental (jiwa). Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif, diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan ­jumlah ODMK di dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Di ­Indonesia, ­berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional, seperti ­gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di ­Indonesia lebih kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk ­dewasa menjadi ODMK. Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa ­Universitas Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persen----sekitar 24 juta dari total ­ penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta----dari ­total ­ penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, sedang, dan ringan. Sedangkan menurut Profesor Dadang Hawari, jumlah ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta orang. Pertambahan jumlah ODMK dipicu banyak faktor, seperti stres, kecewa, kena PHK, tidak memiliki pekerjaan, korban kekerasan, dan trauma bencana alam. Jumlah yang sangat besar itu berpengaruh signifikan terhadap perekonomian dunia. Sebab, produktivitas kerja orang yang menjadi ODMK akan menurun. Selain berpengaruh secara ekonomi, ODMK juga memengaruhi tata kehidupan sosial politik dan budaya. Meskipun keberadaan ODMK berpengaruh signifikan terhadap ­perekonomian negara, tapi penanganan terhadap para ODMK ­masih sangat tidak memuaskan. Di Indonesia stigma dan diskriminasi ­terhadap ODMK terjadi merata di seluruh pelosok negeri.
  • 21. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Pelanggaran HAM terhadap ODMK Di mana pun ODMK memijakkan kakinya, dia selalu mendapat stigma negatif. Para ODMK yang menjadi gelandangan di jalan- ­jalan--karena keluarganya tidak mampu mengurusnya--hampir ­selalu ­menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam ­beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. ­Beberapa ODMK perempuan yang berparas lumayan cantik sering menjadi objek pemerkosaan. Biasanya ODMK perempuan ini disuruh mandi dulu, lalu diberi pakaian yang rapi, diberi makan, setelah itu beramai- ­ramai para preman jalanan memerkosanya. Pemerkosaan dilakukan ­berulang kali sehingga ODMK perempuan tersebut hamil. Setelah melahirkan, anaknya diambil oleh yayasan-yayasan sosial. Para ODMK di jalanan ini hidup dari satu tempat sampah ke ­tempat sampah lainnya. Mereka mengais makanan sisa, berebut ­dengan ­kucing atau anjing. Tidur di mana pun dia inginkan. Bahkan, ada ODMK yang tergilas kereta api karena tertidur di rel kereta api. Soal pakaian mereka tak peduli lagi, banyak ODMK di jalanan yang bertelanjang bulat. Sesekali bila pemerintah daerah menggelar operasi ketertiban umum, maka para ODMK ditangkapi dengan paksa, dinaikkan ke ­mobil, dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Tak aneh bila antar-kabupaten kadang bersitegang karena tidak mau daerahnya menjadi tempat penampungan atau tempat pembuangan ODMK dari daerah lain. Ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK di jalanan. Panti sosial yang menampung ODMK terdapat di ­daerah ­Cengkareng, Cipayung, Ceger, dan Kalideres. Kondisi di tempat penampungan ini memprihatinkan. Selain ruangan yang terbatas dan makanan yang tak memenuhi syarat gizi, kiriman obat-obatan dari Departemen Kesehatan juga tak lancar. Dampaknya selama 2007 ­ dilaporkan ada 257 orang yang meninggal dunia, sedangkan pada 2008 ada 381 orang yang mati. Bila dihitung rata-rata ada satu orang ­meninggal setiap hari. Sebagian besar dari mereka meninggal ­dikarenakan kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.
  • 22. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Selain kurangnya gizi ODMK di penampungan karena makanannya yang tidak memenuhi syarat gizi, juga karena banyak di antara ODMK yang enggan makan. Terkadang ODMK yang menolak makan dipukuli sehingga mereka menjadi tambah sakit. Jatah makan ODMK di panti sosial adalah Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. Dana yang disediakan itu hanya untuk 200 ODMK. Tapi, kenyataannya jumlah ODMK di panti jumlah bisa mencapai 433 orang. Diare menerpa ODMK karena kesehatan lingkungan panti sosial yang tidak terjaga dengan baik. Kapasitas ruangan yang overload membuat ruangan yang ditempati ODMK berjubel, jorok, dan kumuh. Dalam ruangan dengan ukuran 8 x 11 meter persegi bisa berisi 20 orang. Contohnya Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jalan Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, ini yang mampu menampung 230 orang. Namun kenyataannya, ODMK yang ditampung sudah men- capai 433 orang. ODMKyangsakitdipantisosial----misalnyadiare----biasanya ­dirujukke rumah sakit (RS) rujukan. Tapi celakanya, RS rujukan sering ­overload kapasitasnya. Jika pihak RS menyatakan tidak mampu ­menampung, maka pihak panti sosial hanya bisa pasrah sambil menunggu antrean ruang kosong. Akhirnya ODMK yang sakit dapat meninggal karena kehabisan cairan. Nasib ODMK di rumah sakit jiwa (RSJ) konon lebih beruntung. Benarkah? Ternyata tidak juga. Kondisi RSJ di Indonesia masih serba terbatas, mirip dengan panti-panti penampungan: ruangan terbatas, makanan kurang bergizi, suasana mirip penjara, dan jumlah ODMK melebihi kapasitas. Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010 menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di ­seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak ­memiliki RSJ. Di Jakarta sekitar 50 persen pasien RSJ dibiarkan telantar di ­bangsal rumah sakit. Para pasien itu telantar karena bila RSJ ­sudah menyatakan sembuh, para keluarga pasien cuek; tidak ada niat ­untuk membawa kembali ke rumah. Sekitar 30-50 persen dari jumlah pasien
  • 23. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 RSJ di Jakarta tidak diambil keluarganya. Akibatnya, kapasitas rumah sakit menjadi tidak mencukupi. Apalagi, dari tahun ke tahun jumlah ODMK terus bertambah. Perbandingan (rasio) penderita gangguan jiwa di Indonesia adalah 18,5 orang dari setiap 1.000 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rasio menurut Survei Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) yang menunjukkan bahwa satu (1) dari setiap 1.000 penduduk dunia mengalami gangguan jiwa. Para ODMK di RSJ yang tidak dijemput keluarganya, maka bisa tinggal seumur hidup di RSJ. Bahkan, ada ODMK yang kemudian bekerja di RSJ ketika sudah sembuh karena tidak tahu harus ke mana dan bekerja apa. Banyak dari ODMK yang tidak berani pulang ke rumah karena di rumah sering tidak mendapat perlakuan yang ­manusiawi. Mereka memilih tetap di RSJ walaupun kondisinya serba terbatas. Lantas bagaimana nasib ODMK yang tinggal bersama ­keluarganya? Di Indonesia setidaknya ada 4 tipe keluarga dalam menghadapi ODMK. Pertama adalah keluarga kaya dan peduli pada ODMK. Kedua adalah keluarga kaya, tapi tidak peduli pada ODMK. Ketiga adalah keluarga miskin dan peduli pada ODMK. Keempat, keluarga miskin dan tidak peduli pada ODMK. Beruntunglah ODMK yang memiliki keluarga yang kaya dan ­peduli pada nasibnya. Biasanya keluarga seperti ini akan terus ­berjuang ­mencari obat untuk kesembuhan anggota keluarganya yang ­menjadi ODMK. Mereka akan menempuh segala cara untuk mencari ­pengobatan, baik alternatif, mistis, herbal, maupun ilmiah. Mereka ­tidak malu dan tidak merasa ODMK sebagai aib. Mereka percaya ODMK bisa diobati, dan mereka sangat percaya dukungan keluarga menjadi sarana utama untuk menunjang kesembuhan ODMK. Tapi, keluarga yang seperti itu sangat sedikit jumlahnya. Mayoritas keluarga di Indonesia masih menganggap ODMK ­sebagai aib. Maka, bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK, ­mereka memilih menyembunyikannya, mengucilkannya, atau bahkan ­menelantarkannya, membuangnya, atau tidak mengakuinya sebagai anggota keluarganya. Dengan dalih untuk menjaga keselamatan
  • 24. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 semua pihak, maka bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK, ­keluarga di Indonesia memilih untuk memasungnya, terutama bila ­tidak mampu membawanya ke RSJ atau tidak mampu membiayai pengobatannya. Pasung terjadi hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Di Jombang, Jawa Timur, ada cerita memiriskan yang dialami Luluk ­Komariyah. Perempuan berusia 33 tahun ini tinggal di Dusun Kucung, Desa ­Banyuarang, Kecamatan Ngoro,Jombang, Jawa Timur.Luluk ­dipasung oleh ayahnya, Imam Mansyur atau Surdi, sejak usia 18 ­tahun ­gara- gara mengalami gangguan jiwa. Alasan pemasungan adalah untuk memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila Luluk tiba-tiba mengamuk. Selama dipasung Luluk mengalami tindakan pemerkosaan. Tercatat Luluk pernah melahirkan hingga empat kali. Belum diketahui lelaki yang menghamili Luluk. Anak-anak Luluk ­diasuh oleh orang lain. Berkat dorongan dari media massa dan Woman Crisis Centre ­Jombang, Pemerintah Kabupateng Jombang bersedia turun tangan. Luluk akhirnya dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang. Setelah menjalani perawatan intensif, kondisi fisik dan psikologi ­Luluk membaik. Kini Luluk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang. Kisah pasung lainnya berasal dari Aceh. Cut Manyak, 56 tahun, warga Rhing Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, memasung suaminya, Mahmud, 68 tahun, hampir 30 tahun lamanya. Mahmud dipasung di sebilah kayu besar. Di kayu itu terdapat dua ­lubang untuk memasung kedua kaki suaminya. Pemasungan itu ­dilakukan karena Mahmud mengalami gangguan jiwa yang muncul secara tiba-tiba. Menurut Cut Manyak, tindakannya bertujuan ­untuk mencegah agar suaminya tidak diganggu atau dipukul orang lain. Kondisi seperti yang dialami Mahmud juga dialami ratusan warga Aceh lainnya. Di Aceh ada sekitar 200 penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya. Di Depok, Provinsi Jawa Barat, dua orang pemuda kakak beradik bernama Asmadi, 26 tahun, dan Ahmad, 21 tahun, dipasung karena mengalami gangguan jiwa. Mereka dipasung karena sering mengamuk dan membahayakan warga sekitarnya. Asmadi dan Ahmad dipasung
  • 25. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM 10 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 dalam kondisi bugil di tempat yang berbeda. Asmadi dipasung di ­kebun milik warga yang terletak di samping rumahnya, sedangkan Ahmad dipasung tepat di depan rumah. Asmadi dipasung dengan rantai yang dipaku ke dalam tanah, ­sedangkan Ahmad hanya dirantai di samping amben atau kasur kayu. Ayah kedua pemuda tersebut, Yahya, mengatakan, Asmadi, anak ­pertamanya, sudah dipasung selama tiga tahun. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mahyidin dipasung keluarganya selama satu setengah tahun. Kakinya dijepit bongkahan balok kayu. Tangannya kadang juga dirantai. Pemuda berusia 21 tahun warga Desa Jago, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu dipasung karena mengalami gangguan jiwa setelah pulang kerja dari Malaysia. Mahyidin hanyalah satu dari puluhan eks tenaga kerja ­Indonesia (TKI) yang mengalami gangguan jiwa setelah pulang dari ­Malaysia. Banyak TKI yang mengalami gangguan jiwa karena mereka ­mengalami tekanan di semua tahap pengiriman TKI, mulai ­rekrutmen, ­penampungan, pemberangkatan, penempatan, pemulangan, ­ hingga pasca-pemulangan. Pemerintah tidak memberikan dukungan ­fasilitas yang memadai terhadap para TKI. Padahal, mereka adalah ­penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas. Bila TKI mengalami masalah di luar negeri, pemerintah tidak ­menyediakan tenaga konseling kejiwaan. Bahkan, ketika TKI ­diburu seperti anjing oleh aparat Pemerintah Malaysia atau negara lain di mana dia berada, pemerintah malah tutup mata. TKI dibiarkan ­mengurus nasibnya sendiri: yang kuat akan tetap hidup, yang tidak kuat akan mati atau mengalami gangguan jiwa. TKI yang ­menderita gangguan jiwa ini, antara lain, dapat ditemui di daerah Nunukan. Mereka dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Mereka adalah mantan TKI yang bekerja di Malaysia. Di beberapa daerah transit lainnya juga sering ditemui TKI yang mengalami gangguan jiwa. Selain TKI yang menjadi ODMK, di penjara juga banyak ­narapidana yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi penjara di Indonesia yang ­overload, tidak memenuhi standar kesehatan, makanan yang tidak
  • 26. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM 11Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­bergizi, dan aparat yang kurang bersahabat menyebabkan banyak narapidana menjadi stres. Celakanya ketika stres, pihak pengelola penjara tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan (psikiater). Malahan, narapidana yang stres sering mendapat perlakuan yang ­tidak manusiawi, seperti dipukuli, dicaci maki, dan diisolasi. ODMK sepertinya tak mendapat tempat yang layak untuk ­mempertahankanhak-haknyasebagaimanusiadanuntuk ­memulihkan dirinya. Hampir di semua lingkungan dia mendapat perlakuan yang ­tidak manusiawi. Hak-hak ODMK di bidang sipil politik (sipol) dan ekonomi sosial budaya (ekosob) tak lagi diabaikan oleh negara. Di bidang politik, pada Pemilu 2009 hak pilih ODMK tidak diakomodasi oleh Komisi ­Pemilihan Umum (KPU) Indonesia. KPU tidak menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) di RSJ. Jangankan RSJ, di rumah sakit umum (RSU) saja KPU tidak menyediakan TPS. KPU menganggap ODMK tidak memiliki hak pilih karena Pasal 14 (a) UU Pemilu menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemilih harus nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Pasal ini seharusnya tidak diterapkan secara otomatis terhadap semua ODMK. Karena, menurut catatan klinik-klinik perawatan, lebih dari 80 persen ODMK mengerti dan mampu membedakan mana perilaku sosial yang baik dan mana yang buruk. Tentunya, mereka tidak akan mengalami kesulitan kalau sekadar mencontreng tanda gambar pada pemilu. Di bidang kesehatan, ODMK sering tidak mendapat ­layanan jika ­berobat menggunakan kartu asuransi keluarga miskin ­(gakin). ­Mereka jugatidakdilayanidipusatkesehatanmasyarakat ­(puskesmas) ­terdekat. Padahal, puskesmas adalah ujung tombak layanan ­ kesehatan yang sangat diandalkan masyarakat. Hanya ada beberapa ­puskesmas yang menyediakan layanan khusus ODMK. Yang jelas, layanan ­kesehatan untuk ODMK dari segi availability (ketersediaan), ­accessibility ­(adanya akses), acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan), dan quality (kualitas) masih sangat ­memprihatinkan. Di bidang ekonomi, ODMK atau mantan ODMK juga ­ kesulitan
  • 27. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM 12 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap tidak cakap ­bekerja dan berbahaya bagi orang lain. Di bidang yang lain, ODMK atau ­ mantan ODMK masih terus mendapatkan perlakuan yang ­diskriminatif. Penutup Nasib ODMK yang terpinggirkan dan memprihatinkan akan terus terjadi bila tidak ada upaya-upaya konkret untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Penghapusan stigma dan ­diskriminasi merupakan langkah awal untuk mengeliminasi segala bentuk pelanggaran HAM terhadap ODMK. Upaya eliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK dapat ­dilakukan melalui berbagai upaya. Pertama, adalah upaya ­pencegahan. ­Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan kampanye dan ­penyuluhan kepada masyarakat tentang ODMK. Persepsi publik yang selama ini keliru terhadap ODMK perlu diluruskan. Masyarakat ­harus diedukasi secara aktif untuk lebih peduli kepada ODMK. Program ­penyuluhan ini harus terus berkelanjutan, terarah, dan terpadu. Kedua, upaya pengobatan. Untuk mengobati ODMK, ­ negara ­wajib menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan standar WHO. ­Penyediaan layanan tersebut dapat dilakukan secara ­ bertahap, ­terarah, dan terpadu. Negara harus memperbaiki sarana dan ­prasarana ­kesehatan untuk ODMK yang saat ini sudah ada. Negara juga harus menyediakan anggaran yang memadai, memperbanyak tenaga medis dan memperbaiki kualitasnya, serta menyediakan obat- obatan yang memadai. Dan yang tak kalah penting, negara harus segera ­menyediakan layanan kesehatan untuk ODMK di ­puskesmas- ­puskesmas. Puskesmas memiliki peran vital karena jumlahnya lebih dari 8.000 di seluruh Indonesia dan mudah dijangkau masyarakat. Ketiga, upaya rehabilitasi. Rehabilitasi harus dilaksanakan ­sebagai program yang terintegral dengan pengobatan. Sebab, selama ini ­banyak ODMK yang sudah ditetapkan sembuh kemudian kambuh lagi karena tidak adanya upaya rehabilitasi secara konkret. Upaya ­ rehabilitasi akan sangat efektif bila melibatkan peran serta ­ masyarakat dan ­keluarga secara aktif.
  • 28. ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM 13Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Selain tiga upaya di atas, negara sebagai pemangku kewajiban ­untuk pemenuhan HAM ODMK juga harus segera membenahi ­sektor kebijakan yang menyangkut ODMK. Kebijakan-kebijakan terkait ODMK perlu dibenahi, ditata ulang, dan diselaraskan dengan ­semangat ­penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ODMK. Kepustakaan 1. Hasyim dkk, M. Fuad., Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan- kesehatan-mental/. 2. Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas. 3. http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html. 4. http://www.forumbebas.com/thread-55139.html. 5. “Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan. co.id/index.php?mib=berita.detailid=15609. 6. “Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367. 7. Nograhany Widhi K.“50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/ tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10. 8. Melly Febrida. “Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8 36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa. 9. “Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148. 10. “Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507. 11. “Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980. 12. “Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html. 13. Kunjungan Staf RSJ Mahasiswa Norwegia,“Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/ view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham. 14. “Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf. 15. Wikipedia bahasa Indonesia,“Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa. 16. “Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045. 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
  • 29.
  • 30. 15Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi akibat kurangnya informasi dan ­pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif, ­melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan. Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi individu, keluarga, masyarakat, maupun negara. Tulisan ini dibuat dengan cara mengelaborasikan beberapa sumber pustaka, baik lokal ­maupun internasional, untuk membandingkan kondisi yang ada di Indonesia dengan kondisi yang ada secara global. Beberapa data penelitian digabungkan dengan pendapat kualitatif dari beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa juga disajikan. Data-data tersebut diharapkan akan mampu memberikan gambaran tentang besarnya masalah kesehatan jiwa, termasuk dampak yang diakibatkan. Tulisan ini juga akan memberikan pemahaman mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa beserta klasifikasinya. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan pemahaman dan ­kesadaran bahwa masalah kesehatan jiwa tidak bisa dipisahkan dari masalah kesehatan, dan merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama setiap unit dalam struktur masyarakat dan berbagai sektor terkait. Hervita Diatri
  • 31.
  • 32. 17Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global No Health without Mental Health1 K enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”, menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kesehatan jiwa. Kesehatan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia. ­ Karena, ­kesehatan memungkinkan seseorang untuk dapat hidup produktif. ­Definisi kesehatan yang dianut sampai sekarang pada dasarnya mengacu pada preambule dari WHO Constitution 1948 yang menyebutkan bahwa: Health is a state of complete physical, mental, and social ­wellbeing, not merely the absence of diseases or infirmity. The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political ­belief, economic or social condition. Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa kebutuhan akan ­“sehat” yang dimaksud tidak hanya meliputi kesehatan fisik, ­ melainkan juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang, ­memandang manusia secara utuh.2 Hal serupa juga diakomodasi dalam UU RI tentang Kesehatan No. 23 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah ­keadaan sehat,
  • 33. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 18 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial, yang ­memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi, sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial mau- pun ekonomis.1,3 Memperhatikan secara khusus kondisi di Indonesia yang ­ masih ­terus berlangsung hingga saat ini terkait banyaknya kejadian ­bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan isu psikososial lainnya, ­masyarakat memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi. Potensi tersebut tidak secara eksklusif berdampak bagi ­sekelompok orang, ­ namun seluruh masyarakat Indonesia, ­ terutama ­kelompok ­ masyarakat yang rentan, seperti anak, perempuan, usia lanjut, para pengungsi, dan kelompok minoritas lainnya. Data ­Riset Kesehatan Dasar tahun 20074 di 33 provinsi dan 440 kabupaten/ kota menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan ­anxietas) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun (24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 1.065.000 orang (0,48% ­populasi) ­mengalami gangguan jiwa berat (psikosis). Meskipun data menunjukkan angka kebutuhan yang cukup ­besar dan mendesak, ironisnya masalah kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata dan termarginalkan dalam rencana pembangunan ­kesehatan manusia Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh ­untuk terciptanya kondisi ini. Salah satunya adalah kurangnya pengertian dan informasi mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa, faktor potensial yang menjadi latar belakang timbulnya masalah ­kesehatan jiwa, dampak yang akan ditimbulkan pada kehidupan ­individu tersebut, serta bagaimana seharusnya masalah kesehatan jiwa dapat dikelola. Tulisan ini akan membahas keseluruhan aspek informasi yang diperlukan tersebut. Apa Itu Kesehatan Jiwa Berbicara tentang kesehatan jiwa artinya bukan sekadar terbebas dari gangguan jiwa, namun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang. Definisi kesehatan jiwa menurut WHOe adalah perasaan
  • 34. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 19Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai ­sikap ­positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi, kesehatan jiwa ­meliputi: a. Bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya. Perasaan nyaman terhadap diri sendiri dapat dilihat dari kemampuan seseorang ­untuk: • menghadapi berbagai perasaan, seperti rasa marah, takut, cemas, cinta, iri, rasa bersalah, dan rasa senang, • mengatasi kekecewaan dalam kehidupan, • mempunyai harga diri yang wajar, • menilai dirinya secara nyata, tidak merendahkan, dan tidak pula berlebihan, dan • merasa puas dengan kehidupan sehari-hari. b. Bagaimana perasaan seseorang terhadap orang lain. Perasaan nyaman terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan ­seseorang untuk: • mencintai dan menerima cinta dari orang lain, • mempunyai hubungan pribadi yang tetap, • mempercayai orang lain, • menghargai pendapat orang lain yang berbeda, • menjadi bagian dari kelompok, serta • tidak memperdaya orang lain dan tidak membiarkan dirinya diperdaya oleh orang lain. c. Bagaimana cara seseorang mengatasi stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut membahas kemampuan ­seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal: • menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya, • mengambil keputusan, • menerima tanggung jawab, • merancang masa depan, • menerima ide dan pengalaman baru, dan • merasa puas dengan pekerjaannya. Kapan Seseorang Disebut Memiliki Gangguan Jiwa Berdasarkan data WHO tahun 2001 secara global dijumpai 450 juta penduduk dunia mengalami gangguan jiwa, dengan rincian 150 juta
  • 35. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 20 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 (33,3%) di antaranya menderita gangguan depresi, 90 juta gangguan penggunaan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap tahun.5 Data besaran masalah kesehatan jiwa yang lain menunjuk- kan ­ bahwa 25% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami ­sedikitnya satu kali gangguan jiwa dan perilaku pada suatu masa dalam hidupnya. Gangguan jiwa adalah suatu kondisi klinis dalam ­pikiran, perilaku, dan suasana perasaan yang menimbulkan penderi- taan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan fungsi ­psikososial ­ (pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan pemanfaatan ­waktu senggang).1,6,7 ­Gangguan jiwa yang sering ditemui di masyara- kat, di antaranya:8 a. Gangguan Jiwa Psikotik Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai ­dengan adanya hendaya (ketidakmampuan) berat dalam menilai ­kenyataan/ realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gejala- gejala yang muncul, di antaranya adalah waham, halusinasi, hendaya berat dalam perawatan diri, dalam fungsi sosial (misalnya menarik diri dari pergaulan sosial), serta dalam pekerjaan sehari-hari/yang ­biasa dilakukan. b. Gangguan Jiwa Non-psikotik Kelompok gangguan jiwa ini menunjukkan suatu kondisi gangguan jiwa tanpa hendaya dalam menilai kenyataan/realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gangguan yang sangat b­eragam dan sering dijumpai ini, antara lain: - Gangguan Depresi Adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh perasaan sedih yang ­mendalam dan hilangnya minat terhadap hal-hal yang ­ biasanya ­dinikmati. Berhubungan dengan gangguan jiwa ini, bunuh diri ­ merupakan gejala yang perlu mendapat perhatian karena ­merupa­kan penyebab kematian kedua di Eropa setelah kecelakaan lalu lintas, sementara di Cina bunuh diri merupakan penyebab ­utama kematian pada usia 15-35 tahun. Di Indonesia sendiri ­angka terjadinya bunuh diri dirasakan semakin meningkat saat ini. ­Namun sayangnya, belum ada data yang menunjukkan hal ini.
  • 36. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 21Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 - Anxietas/Kecemasan Adalah gangguan jiwa yang ditandai adanya kecemasan yang ­berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala, antara lain pikiran yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan ­pikiran obsesif (kompulsif), rasa takut yang berlebihan terhadap suatu obyek atau suatu hal (fobia), maupun gejala-gejala penyakit fisik yang tidak dapat ­diterangkan (hipokondriasis dan somatisasi). - Kelompok gangguan jiwa lain yang juga perlu mendapat perhatian terkait dengan masalah dan disabilitas yang ­ditimbulkannya adalah: 1. Gangguan mental organik. Ini meliputi berbagai gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya penyakit, serta cedera atau rudapak- sa otak yang berakibat disfungsi otak. 2. Penyalahgunaan zat psikoaktif. Penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan terjadinya ketergantungan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pekerjaan dan pergaulan sosial. Prevalensi gangguan penggunaan zat psikoaktif sangat bervariasi menurut zat yang digunakan di berbagai tempat dan berbagai kelompok dalam populasi. Di samping penggunaan rokok, penyalahgunaan alkohol umumnya banyak dijumpai. Perkiraan prevalensi global untuk penggunaan zat adalah 2,8% pada laki-laki dan 0,5% pada ­perempuan, dengan variasi yang sangat luas. 3. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ini mencakup berbagai keadaan dan pola perilaku yang cenderung menetap dan merupakan ekspresi dari gaya hidup yang khas dari ­individu serta cara berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. ­ Termasuk di dalamnya berbagai macam gangguan kepribadian ­ (gangguan ­kepribadian ambang, antisosial, paranoid, dan lain-lain); ­gangguan kebiasaan dan impuls (judi patologis, bakar patologis, curi ­patologis, danlain-lain);gangguanidentitasjeniskelamin, ­gangguan ­preferensi seksual (pedofilia, sadomasokisme, dan lain-lain); ­serta gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual. 4. Gangguan perkembangan jiwa pada anak dan remaja. Termasuk dalam kelompok gangguan ini adalah retardasi mental, gangguan jiwa yang terjadi (muncul) pada masa kanak dan remaja, yang
  • 37. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 22 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­ditandai oleh keterlambatan perkembangan fungsi akibat dari gangguan pada proses perkembangan biologis (susunan saraf). Gangguan ini berlangsung terus-menerus serta sering mengalami kekambuhan, walau akan berkurang dengan bertambahnya usia anak. Di negara kaya dijumpai 3% populasi mempunyai IQ kurang dari 70%, sementara hanya 4 per 1.000 mempunyai IQ kurang dari 50% (tergolong dalam retardasi mental sedang dan berat). Data lain menunjukkan tingginya insiden retardasi berat di negara miskin. Keterangan di atas secara jelas menggambarkan bahwa masalah kesehatan jiwa sangat bervariasi dan menuntut perhatian yang ­tidak sedikit. Perhatian terutama ditujukan untuk mencegah masalah ­tersebut terjadi atau mengatasi sebab dari masalah. Bagaimana Gangguan Jiwa Bisa Terjadi Penelitian dan pembahasan mengenai sebab timbulnya atau ­meningkatnya problem kesehatan jiwa di masyarakat menjadi ­pembicaraan dan perdebatan, mulai dari masyarakat umum hingga tingkat ilmiah. Konsep bio-psiko-sosial memandang manusia dan ­permasalahannya dengan sangat kompleks.8 Faktor biologis saat ini menjadi fokus perhatian para peneliti ­dengan semakin berkembangnya kemampuan untuk mendeteksi ­ hingga tingkat sel. Penelitian genetik menunjukkan bahwa pada ­ beberapa ­kasus ­angguan jiwa, seperti skizofrenia dan gangguan ­afektif ­bipolar, ­faktor ­ genetik berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk ­merencanakanaspekpreventif.Penelitianlainmenunjukkansecarajelas ­perubahan keseimbangan berbagai macam zat kimia otak sebagai dasar terjadi gangguan jiwa. Hal ini berdampak secara ­positif pada ­semakin berkembangnya berbagai jenis terapi psikofarmaka yang ­tersedia. Beberapapenyakityangmemengaruhisusunansarafpusat ­ber­potensi untuk menjadi penyebab gangguan fungsi otak, terutama pada aspek pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Penyakit infeksi ­(termasuk TBC dan HIV/AIDS), trauma kepala, penyakit vaskuler yang ­berhubung­an dengan perubahan pola hidup, degeneratif, dan gangguan tumbuh kembang pada anak akibat malnutrisi masih menjadi masalah klasik ­penyebab gangguan jiwa di negara berkembang, termasuk Indonesia.
  • 38. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 23Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Hubungan lain aspek biologis dan gangguan jiwa tergambar pula ­secarakomplekspadakasuskomorbiditasantaragangguanjiwa ­de­ngan penyakit fisik. Depresi dan anxietas merupakan ­ komorbiditas yang sering dijumpai pada penyakit tidak menular, seperti pada ­penyakit jantungkoroner,infarkmiokard,dandiabetestipeII. ­Tahun2003,WHO melaporkan prevalensi depresi pada berbagai ­ penyakit fisik, antara lain tuberkulosis (46%), HIV/AIDS (44%), kanker (33%), stroke (31%), epilepsi ( 30%), hipertensi (29%), DM (27%), miokard ­infark (22%), dan 10% depresi dijumpai pada populasi umum. ­Penyakit menular seperti HIV/AIDS merupakan faktor risiko depresi dan ­ gangguan kognitif. Depresi juga dikaitkan dengan kepatuhan berobat terhadap anti retro viral. Kesehatan reproduksi (ibu dan anak) ­dijumpai hubungan antara gangguan jiwa dan gangguan ginekologik. Depresi ibu dihubungkan dengan perkembangan fisik dan psikologik bayi yang buruk. Globalisasi memungkinkan luasnya jaringan dan mudahnya ­akses, termasuk terhadap penyalahgunaan zat. Masalah kesehatan jiwa yang diakibatkannya tidak hanya berhubungan dengan dampak ­penggunaan langsung (akibat intoksikasi, putus zat), namun juga efek jangka­panjang, seperti sindrom amotivasional pada penyalahgunaan ganja dan gejala paranoid akibat penyalahgunaan amfetamin jenis ­stimulan. Faktor psikologis yang berhubungan dengan pola asuh, ­pembentukan citra diri, interaksi individu, dan pola pemecahan ­masalah ­ memengaruhi kerentanan seseorang terhadap masalah ­kesehatan jiwa. Sebagai ­contoh, urbanisasi yang menuntut kompetisi dalam segala hal ­berdampak pada terabaikannya mutu interaksi dan curah ekspresi di dalam keluarga. Pola asuh yang tidak konsisten, atau pola interaksi dengan kekerasan, memengaruhi mekanisme ­pe­mecahan masalah dan koping terhadap stresor. Problem kemiskinan, kondisi sosial ekonomi yang cenderung ­tidak stabil, pengangguran, konflik, bencana, stigma, diskriminasi, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia, mengubah tatanan sosial yangadadimasyarakatsecarabermakna.Kemajuandibidang ­informasi yang memperluas akses terhadap berbagai macam informasi sedikit banyak berpengaruh pada pola pikir, perasaan, dan tingkah laku para pengguna layanan informasi tersebut. Satu sisi yang perlu mendapat
  • 39. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 24 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 perhatian adalah ketika informasi tersebut sulit untuk ­disaring, baik dari jenis tayangan maupun pengguna layanannya. ­ Sebagai contoh, paparan terhadap tindak kekerasan, berbagai peristiwa bunuh diri, maupun seksualitas dan pornografi bila dikonsumsi oleh anak maupun remaja secara bebas, berpotensi terjadinya masalah, seperti bunuh diri pada anak, tawuran atau perilaku seksual bebas. Kemiskinan, gangguan fisik, dan gangguan jiwa dapat digambar- kan sebagai sebuah lingkaran yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Beberapa gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kemiskinan adalah bunuh diri, gangguan mental emosional (depresi dan anxietas), gangguan penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif (1,5%) masalah perkembangan anak dan remaja, serta gangguan stres pasca-trauma akibat tindak kekerasan dan trauma psikososial lain (penggusuran dan kriminalitas). Dampak yang Ditimbulkan oleh Gangguan Jiwa Sesuai dengan definisinya, gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan hendaya (penderitaan) bagi diri dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata produktivitas. Berbicara tentang kesehatan dan produktivitas, beberapa data menunjukkan bahwa masalah ke- sehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara umum, ­bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia. Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing ­Indonesia tahun 2007 berada di peringkat ke-5 dan Indeks Pembangunan Manusia berada di peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN.9 Data lain dari Global Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World ­Economic Forum bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia menampilkan performa Indonesia di tahun 2008-2009 ada pada peringkat ke-55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.j ­ Kondisi ini menunjukkan secara nyata kebutuhan masyarakat akan upaya ­peningkatan kesehatan jiwa sangatlah mendesak.
  • 40. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 25Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Sebuah penelitian tingkat dunia yang menghitung ­ disability- ­adjusted life years (DALYs)10 menunjukkan bahwa gangguan jiwa adalah kelompok penyakit tertinggi yang mengakibatkan beban. Data DALYs dari World Health Report tahun 2002 menunjukkan bahwa ­gangguan ­ neuropsikiatri menimbulkan beban besar ­ dibandingkan ­penyakit ­ akibat trauma fisik (injuries) dan HIV/AIDS. Data lain, DALYs dari Australial menunjukkan bahwa di antara kelompok ­penyakit ­tidak menular gangguan neuropsikiatri (khususnya ­depresi, ­penyalah­gunaan zat psikoaktif, dan skizofrenia) menimbulkan ­beban yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penyakit pembuluh ­darah dan kanker. ­Selanjutnya dari data DALYs Australia tersebut ­menunjukkan bahwa pada kelompok usia produktif (15-34 tahun), gangguan jiwa seperti anxietas dan depresi menjadi gangguan ­tertinggi yang ­menghasilkan peningkatan beban.4 Bebanterkaitgangguanjiwatidakhanyaberdampakpada ­individu, melainkan juga sistem lain (keluarga dan ­ masyarakat). ­ Sebagai ­contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak ­paripurna akan ­berdampak pada meningkatnya risiko tindakan ­ kekerasan yang sering kali ­tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan terhadap diri sendiri, yang salah satunya berupa tindakan bunuh diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu sisi semakin mening­katkan stigma dan diskriminasi terhadap orang ­dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang “tidak mampu”. Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak ­kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan ­meliputi banyak hal, mulai dari kesempatan untuk memperoleh ­pendidikan, pekerjaan, termasuk kesempatan untuk berperan ­sebagai bagian dari masyarakat, misalnya kehilangan hak suara dalam ­pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk mendapat ­fasilitas layanan kesehatan yang memadai karena kurangnya ­ perhatian ­terhadap masalah kesehatan jiwa. Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah dan tindak kekerasan.
  • 41. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 26 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Beban yang diterima oleh keluarga tidak jauh berbeda ­dengan apa yang dialami penderita, baik secara ekonomi, sosial ­ maupun ­psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ketidaktahuan ­keluarga untuk ­ berperan membantu, termasuk ketidakmampuan untuk ­mengakses layanan kesehatan jiwa yang lebih disebabkan karena ­ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat. ­ Kondisi ­terakhir diperjelas ­dengan data penelitian yang ­melibatkan 15 ­kasus pasung di ­Kabupaten Samosir. Data tersebut ­menunjukkan bahwa lebih dari 70% penderita yang dipasung pernah ­menjalani perawatan di sarana kesehatan jiwa, namun tidak dapat ­ dilanjutkan karena masalah ekonomi dan besarnya upaya untuk bisa ­ menjangkau ­layanan kesehatan tersebut.13 Perlakuan salah hingga pemasungan sering kali dipicu oleh semua beban ini. Dharmono, dkk (2006)14 dalam survei yang ­dilakukan ­ terhadap penderita skizofrenia yang dirawat di empat tempat ­perawatan ­khusus di Jakarta dan Bogor melaporkan bahwa 61,7% penderita ­mengalami berbagai perilaku tidak ­menyenangkan, seperti kekerasan fisik, ­ kekerasan emosional, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, ­penelantaran, dan berbagai campuran tindak kekerasan di atas. Tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh berbagai pihak, ­ terutama oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial, dan dokter RS. Penelitian mengenai pasung di Kabupaten Samosir dan ­Nanggroe Aceh Darussalam juga menunjukkan bahwa penyebab ­ terjadinya pemasungan oleh keluarga lebih banyak terkait dengan ­ tindakan ­penyelamatan dan perlindungan.15,16 Tindak penyelamatan yang ­dimaksud, baik bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa maupun masyarakat. Dari semua gambaran di atas, jelas bahwa masalah ­kesehatan jiwa ­ tidak hanya menimbulkan dampak bagi penderita, namun juga ­ keluarga, masyarakat, hingga negara. Jelas pula tergambar ­bahwa masalah kesehatan jiwa bukan monopoli sektor ­ kesehatan saja, ­karena dampak yang terjadi juga terkait dengan sektor ­sosial, ­pendidikan, ketenagakerjaan dan produktivitas, serta ­ keamanan dan hukum. ­Perhatian dan kerja sama lintas sektor terkait ­mutlak
  • 42. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 27Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­di­perlukan ­ untuk menurunkan dampak tersebut yang akan ­berujung pada ­peningkatan kualitas hidup penderita, keluarga, dan ­masyarakat. Tantangan dan Solusi Masalah kesehatan jiwa sangatlah kompleks. Artinya, tidak ­hanya berdampak bagi individu, juga bagi keluarga dan ­masyarakat, ­bahkan hingga tingkat tatanan negara. Masalah kesehatan jiwa ­bukan ­hanya masalah sektor kesehatan, namun juga menyangkut sektor non- ­kesehatan. Sayangnya perhatian terhadap masalah ­ kesehatan jiwa sangatlah minim. Kesehatan jiwa masih belum menjadi ­ prioritas, ­seolah kesehatan jiwa bukan menjadi bagian dari kesehatan, ­meskipun data-data telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa ­mengakibatkan beban terbesar di antara semua penyakit. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya ­informasi dan pemahaman banyak pihak tentang kesehatan jiwa, ­mulai dari tingkat individu di tatanan masyarakat hingga para ­pengambil kebijakan. Terfokusnya masalah kesehatan jiwa ­ hanya pada ­gangguan jiwa berat dan fasilitas layanan kesehatan jiwa ­besar (rumah sakit jiwa) menjadi sebab kurangnya kesempatan ­ untuk ­pengembangan ­lebih ­lanjut dan luputnya perhatian terhadap ­berbagai bentuk ­ gangguan jiwa lain yang terbukti menyebabkan ­ disabilitas ­bermakna. Stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat yang sering ­ menempatkan ­ penderita pada posisi ”tidak layak” karena ­dianggap tidak mampu, pada kenyataannya lebih banyak dipicu oleh masalah kurangnya ­pemahaman bahwa orang dengan gangguan jiwa mampu untuk pulih dan berfungsi baik di masyarakat. Stigma ini pulalah yang ­mengakibat­kan seseorang merasa sulit untuk meminta pertolongan ketika menyadari kondisi yang berbeda dan mengganggu dalam dirinya. Semua kondisi di atas juga mendasari timbulnya banyak ­kebijakan yang tidak memfasilitasi orang dengan gangguan jiwa untuk ­lebih baik. Salah satunya adalah tidak terjangkaunya akses layanan ­kesehatan jiwa di masyarakat. Ketidakterjangkauan akses ini lebih banyak ­berhubungan dengan ketidakmampuan secara maksimal dalam segi layanan maupun obat yang tersedia di tingkat layanan ­ kesehatan
  • 43. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 28 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ­primer. Ini akibat sangat terpusatnya pembangunan sistem kesehatan jiwa di rumah sakit besar yang tidak mudah dijangkau oleh ­masyarakat karena masalah geografis dan ekonomi. Kurangnya ­pengetahuan dan kepedulian para tenaga kesehatan juga ­ mengakibatkan masalah dalam kemampuan deteksi dan manajemen. Manajemen yang kurang baik mengakibatkan individu tidak dapat berfungsi dengan baik, dan pada ujungnya tidak akan pernah mengubah pandangan masyarakat tentang masalah kesehatan jiwa. Oleh karenanya, diseminasi informasi secara tepat dan ­ terus- menerus sangatlah diperlukan. Diseminasi informasi tidak hanya menjadi perhatian sektor kesehatan, namun juga sektor lain, ­termasuk mereka yang bergerak di bidang layanan hukum dan perlindungan pada hak asasi masyarakat. Kelompok terakhir sangat diharapkan perannya, terutama untuk memengaruhi para pemegang kebijakan, dalam hal menciptakan kondisi yang kondusif untuk proses pemulih­ an. Kondisi tersebut meliputi tersedianya layanan kesehatan yang memadai dan terjangkau, memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk meningkatkan kapasitas diri, baik melalui sektor pendidikan maupun pekerjaan, dan tersedianya perangkat hukum yang mampu melindungi orang dengan gangguan jiwa dari perlakuan salah, baik oleh keluarga, masyarakat maupun negara yang seharusnya memiliki tanggung jawab terbesar.
  • 44. KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL 29Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Kepustakaan 1 Lancet Series Global Mental Health, 2007. 2 Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa, Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, “Draf Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa”, Jakarta, September 2005. 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 4 ���������������������������������������������������������������������������������Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007. 5 ��������������������������������������������������������������������������������������������������������������Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, Buku Pedoman Kesehatan Jiwa (Pegangan bagi Kader Kesehatan), Jakarta, 2003. 6 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through Legislation, New Delhi, October 2001. 7 WHO-Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Layanan Medik, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (saduran dari ICD-X), Jakarta, 1993. 8 Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan,“Draf Kebijakan di Bidang Kesehatan Jiwa Tahun 2009-2014”. 9 Soekartawi. Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2007. Diunduh dari: http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_contentdo_pdf=1id=521 pada tanggal 9 November 2009. 10 Porter ME, Schwab K., The Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, Switzerland, 2008. 11 World Health Organization Regional Office for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through Legislation, New Delhi, October 2001. 12 Minas H,“Mental Health System Development: Role of Professional Association”, dipresentasikan dalam Kongres Nasional VI Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Manado, 3 November 2009. 13 Minas H, Diatri H, Pasung: Physicalrestraintandconfinementofthementallyillinthecommunity. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8. 14 Dharmono S dkk (2006), Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Jakarta, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM. 15 Diatri H, Minas H, Pasung: a Consequence of Insufficient Mental Health Services in Indonesia, Presented at the 4th International Stigma Conference (Stigma and Discrimination: Evidence for Action) in London (Institute of Psychiatry, Kings College London and the World Psychiatric Association Scientific Section on Stigma and Mental Illness), January 2009. 16 Hayuning T, Pasung: Family Experience in dealing with the deviant in Bireuen, Nangroe Aceh Darussalam, Amsterdam, 2009.
  • 45.
  • 46. 31Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ODMK dan Pemenuhan HAM Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone- sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali ­didiskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara. Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka mengalami ­stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, ­penyerangan, peren- dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen- anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah penduduk di negeri ini. Yosep Adi Prasetyo
  • 47.
  • 48. 33Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 ODMK dan Pemenuhan HAM A genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indone- sia, ­melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu ­belum diubah. Sejak reformasi berbagai produk hukum dilahirkan ­memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, serta UU ­ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pemerintah Indonesia pada 2005 telah meratifikasi dua ­ kovenan internasional yang penting, yaitu Kovenan Internasional ­ mengenai Hak Sipil Politik (International Covenan on Civil and Political Rights, ICCPR) menjadi UU No. 12 Tahun 2005 dan ­International Covenan on Culture, Social, and Economic Rights (ICCSER) ­menjadi UU No. 11 Tahun 2005. Namun, pada tataran implemantasi, ­pemenuhan hak ekosob tak semaju hak sipol. Padahal, sesungguhnya hak ­sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dipisahkan.
  • 49. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 34 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Selain amendemen UUD’45 dan ratifikasi ICCSER, beberapa ­undang-undang terkait dengan hak ekosob. Hal ini secara tidak ­langsung didorong atau dipaksa oleh Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) periode 1998-2003 yang dibuat Presiden Habibie dan ­RANHAM periode 2004-2009 yang dibuat Presiden Megawati. Harapan besar akan adanya kemajuan kondisi hak asasi di era ­reformasi muncul ketika pemerintahan SBY-Kalla menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006. Dalam RPJMN disebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidak- mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Prinsip dan Parameter HAM Apa sebenarnya hak asasi manusia (HAM) itu? HAM adalah hak seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga mana pun untuk meniadakannya. HAM pada hakikatnya telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia ­lahir, dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia mati. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi ­Manusia, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1, HAM ­didefinisikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan ­­ anugerah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh ­negara, ­hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta ­perlindungan harkat dan martabat manusia. Antara lain adalah UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Selain merumuskan RPJMN dan RKP, pemerintahan SBY-Kalla juga menetapkan tiga sasaran pembangunan ekonomi, yaitu (1) mengurangi pengangguran dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6,7% di tahun 2009, (2) menurunkan tingkat kemiskinan dari 16,6% pada tahun 2004 menjadi 8,2% di tahun 2009, dan (3) meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003 menjadi 7,2% di tahun 2009. Keterangan ini berasal dari Gembong Priyono (Sekretaris Wakil Presiden RI) dalam makalah diskusi berjudul“Pembangunan Berwawasan HAM”.
  • 50. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 35Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Hak asasi manusia bersifat universal, pengakuan bahwa ­ untuk semua dan setiap orang melekat harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak ditentukan oleh latar belakang ras, warna kulit, agama, seks, keyakinan politik, serta latar belakang sejarah. Ini juga ­berarti bahwamasyarakatinternasionalmempunyaitanggungjawab ­universal untuk bertindak mengoreksi pelanggaran atas hak asasi manusia yang terjadi. Secara umum perspektif mengenai HAM terdiri dari delapan hal. ­Pertama, bahwa HAM itu adalah sebuah hal yang berlaku ­ secara ­universal (universality). Meski ada berbagai nilai moral dan etik yang tersebar di seluruh dunia, namun pada dasarnya HAM tak dapat berubah. Yang kedua, HAM mengutamakan penghormatan kepada ­ martabat manusia (human dignity). Ketiga, HAM mengakui ­sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) bahwa setiap umat manusia dilahirkan ­merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya. Semua ­ manusia ­memiliki posisi yang setara (equity). Keempat, HAM tidak ­mengenal pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, serta status ­kelahiran atau lainnya (non-discrimination). Kelima, HAM yang melekat pada setiap individu itu tak bisa ­direnggut, dilepaskan, atau dipindahkan (inalienability). Keenam, HAM baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, semuanya ­bersifat ­menyatu(inherent)dalamharkatdanmartabatmanusia ­(indivisibility). Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak lainnya. Ketujuh, HAM itu saling berkaitan dan bergantung satu sama lain (interrelated and interdependence). Kedelapan, HAM lebih merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Negara dan dan para pemangku kewajiban lainnya harus bertanggung jawab untuk menaati dan mewujudkan pemenuhan hak asasi. Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen, baik ­nasional maupun internasional, yang menjadi acuan utama sebagaimana ­tergambar dalam Bagan 1 dan Bagan 2. Peringatan sedunia 5O tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia 1998 mengambil tema: All Human Rights for All. Menegaskan bukan hanya semua orang memiliki hak asasi yang sama, tapi juga hak-hak tersebut menyangkut semua hak asasi manusia, meliputi hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, hak komunal maupun hak individual.
  • 51. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 36 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 DUHAM 1948 Piagam PBB 1945 CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial CAT Konvensi Internasional ttg Menentang Penyiksaan CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan DiskriminasiTerhadap Perempuan CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak Instrumen Utama ICCPR ICESCR CEDAW CRCCAT CMW CERDGenosida Instrumen Rekomendatif Softlaw Deklarasi Wina Aturan Beijing Prinsip Paris Pedoman Riyadh Sejumlah Softlaw lainnya Instrumen Khusus Hardlaw Sejumlah Hardlawlainnya Bagan 1. Instrumen HAM Internasional UU yang merupakan tindak lanjut ratifikasi kovenan internasional KI ttg Hak Pol Perempuan KI ttg Penghapusan Diskriminasi Thd Peremuan KI ttg Hak Anak KI Anti Apartheid dalam Olahraga KI Melawan Penyiksaan dan Huk Kejam Lain KI Penghapusan Diskriminasi Rasial KI ttg Hak Ekosob KI ttg Hak Sipol UU No 68 Th 1958 UU No 7 Th 1984 Kepres No 36 Th 1990 Kepres No 48 Th 1993 UU No 5 Th 1998 UU No 28 Th 1999 UU No 11 Th 2005 UU No 12 Th 2005 UU lain UU 26/2000 UU 1945 UU 39/1999 ttg HAM Tap MPR No 17/1998 Bagan 2. Instrumen HAM nasional Negara sebagai Pemangku Kewajiban Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Kalau saja mau membuka-buka ­dokumen ­tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi
  • 52. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 37Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari kesalahan ini. Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa ­perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara ­harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk, antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah ­kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan ­intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Hukum HAM Pemangku HAM Pemangku Kewajiban Individu Negara To Respect To Protect To Fullfil Commision Ommission Bagan 3. Alur hukum HAM Negara---tidak bisa tidak---memang harus memenuhi hak-hak warga negara, seperti hak atas rasa aman, hak hidup, hak atas ­perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, dan hak atas pekerjaan. Atas inisiatif itulah kemudian negara, dalam hal ini pemerintah, ­membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus, seperti Badan Urusan Logistik yang bertanggung jawab atas persediaan dan ­bahan- bahan kebutuhan pokok (sembako). Di Indonesia, negara---dalam hal ini ­ pemerintah--merupakan pihak satu-satunya yang berhak untuk menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri ini sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
  • 53. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 38 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 Tugas pemerintah untuk memenuhi hak asasi warga negara adalah dengan melakukan investasi dalam bidang kehakiman, penjara, ­kepolisian, serta menyediakan alokasi sumber daya untuk ­kemampuan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus berinvestasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan bidang kesejahteraan lainnya serta ­alokasi sumber daya untuk kemampuan masyarakat. Pemerintah harus membangun dan mengembangkan ­infrastruktur, seperti menambah panjang, lebar, dan kualitas jalanan, serta ­membangun rumah, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, juga ­menyediakan tenaga kesehatan, pendidikan, dan aparat hukum. Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah harus ­memasukkan alokasi anggaran bagi peningkatan berbagai fasilitas dan layanan ­publik dalam APBN/APBD. Pemerintah juga harus mampu membuat kebijakan migas dan ­ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil yang bisa mencegah kian ­ menganganya jurang kemiskinan. Riset Bank Dunia yang ­menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp 1.800 atau ­sekitar $AS 2 perhari ­menemukanangkakemiskinanyangsungguh ­mencengangkan. ­Dengan ukuran tersebut, orang miskin di Indonesia kini membengkak mencapai angka 49%. Artinya, ada lebih dari 110 juta orang miskin di Indonesia. Laporan United Nation Development Program (UNDP) 2007 meletakkan Indonesia dalam urutan ke-107 dalam hal capaian Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia berada di bawah negara yang baru mengakhiri konflik, seperti El Salvador (103), Aljazair (104), Vietnam (105), dan wilayah pendudukan Palestina (106). Betapa ­memalukannya hal ini. Korupsi atas dana-dana pembangunan fasilitas dan ­ peningkatan pelayanan publik sebetulnya bukan sekadar kejahatan ekonomi, tapi juga memiliki dimensi kejahatan hak asasi manusia. Selain itu, ­pilihan program pembangunan harusnya lebih berorientasi kepada indikator pemenuhan hak asasi manusia dibanding pilihan renovasi rumah ­dinas, pembelian mobil dinas atau hal lain yang lebih menjurus kepada peningkatan kesejahteraan individu pejabat. Sebagai pemangku kewajiban, pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya pencegahan agar pelanggaran HAM melalui tindakan
  • 54. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 39Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 pembiaran (by ommission) tak berlanjut. Pemerintah punya ­pekerjaan untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah ­ (perda) yang kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000, baik yang berupa perda otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. ­Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena ­berpotensi menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol. Kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di ­Indonesia sama sekali belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia. ­Padahal, sebetulnya kelompok ini--bila dilihat lebih lanjut--bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups) sebagaimana ­kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai ­ negara lain, ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh ­ keluarga, ­masyarakat ­ sekeliling, media, maupun oleh negara. Model ­diskriminasi yang ­dialami oleh ODMK adalah secara berlapis-­lapis (lihat Bagan 4). ­ Ketika seorang diketahui sebagai ODMK, maka dia akan ­ didiskriminasi oleh ­ keluarganya. Dalam banyak kasus ­keluarga ­ kemudian ­ mengasingkannya. Giliran berikutnya adalah diskriminasi oleh ­ masyarakat sekeliling, media, dan kemudian ­negara.
  • 55. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 40 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 SistemSikap Perilaku Perilaku sebagai kekerasan fisik secara Iangsung: Intimidasi, pemukulan, penyiksaan, pembunuhan Kekerasan yang terlihat Kekerasan yang tak terlihat (di bawah perrnukaan) Sikap sebagai sumber kekerasan: Kebencian, kecurigaan, prasangka, ketakutan ketakpercayaan, rasialisme, seksisme, intoleransi, nilai-nilai budaya yang sempit Sistem sebagai model kekerasan yang melembaga: diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, ekonomi, pelayanan umum, penyangkalan hak dan kemerdekaan, segregasi sosial oleh negara, kebijakan pemukiman, perlindungan politis, dll Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem) Pelaku kekerasan secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu non-aktor negara (non-state actors) dan aktor negara (state actors). Untuk pelaku non-aktor negara, antara lain adalah keluarga atau orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit, ­mantri, dan dokter. Sedangkan untuk pelaku yang merupakan aktor negara adalah polisi, satuan polisi pamong praja (satpol PP), petugas sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara. Bentuk yang dialami mulai dari pelecehan, stigmatisasi, ­pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan, ­perendahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Lihat Bagan 5 berikut. Barangkali kita juga me-review beberapa kerusuhan yang ­terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto yang ­konon dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara lain ­ kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada
  • 56. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 41Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di ­Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. ­Namun, dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut ­secara tuntas, terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan. Penelantaran ODMK Kombinasi Kekerasan seksual Kekerasan emosional Kekerasan ekonomi Kekerasan fisik Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK TindakandanseranganyangditujukankepadaODMK,takbisa ­tidak dikarenakan memang karena adanya persepsi yang salah ­mengenai ODMK. Kelompok ODMK sering dipandang salah oleh ­ masyarakat, terutama oleh mereka yang menganut pandangan ­ fundamentalisme agama dan juga masyarakat tradisionalis yang ­masih percaya pada ­hal- hal di luar nalar. Selain itu, masyarakat kerap menggunakan ­ukuran norma (kenormalan), kebiasaan, ataupun hukum yang ­ terbatas dan diskriminatif. Juga pendapat atau penafsiran yang lebih bertumpu pada pendapat individu. Ada sejumlah orang yang menganggap ODMK sebagai hal yang merupakan dosa atau kutukan Tuhan. Karena kutukan itulah, ODMK kemudian tersingkir dari dunia kemanusiaan. Ada pula yang meni- lai bahwa ODMK merupakan orang dengan perilaku yang menyim- pang yang melakukan sesuatu yang tak pada tempatnya, karena itu-
  • 57. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 42 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 lah mereka perlu diasingkan. Yang lain mengatakan bahwa kegilaan itu adalah sebuah penyakit sehingga muncul istilah “tidak waras”, ­“pikiran terganggu”, “otak terganggu”, “jiwa terganggu”, dan lain-lain. Secara hukum, seorang ODMK juga dibedakan dan tak mendapat perlakuan yang sama di depan hukum (unequal before the law). ­Karena itulah ODMK sering mengalami diskriminasi dan tak dianggap sebagai individu di muka hukum. Ada pula yang berpendapat ODMK sebagai kelompok orang yang berisiko yang diasosiasikan sebagai kelompok yang membahayakan atau meresahkan masyarakat. Perspektif Baru Masalah Kejiwaan dan Kewajiban Negara Masalah kejiwaan pada dasarnya adalah sebuah kenyataan ­sosial yang harus diterima. Belum pernah ada penelitian atau ­ sensus ­mengenai jumlah ODMK di seluruh Indonesia. Namun, ketika di ­kawasan Aceh pada 2003 diberlakukan Keadaan Darurat Militer, ada penelitian yang menyatakan bahwa 70% masyarakat Aceh menderita gangguan kejiwaan. Secara perkiraan, dalam sebuah negara terdapat sekitar sepuluh hingga dua puluh persen dari total jumlah penduduk yang umumnya menderita gangguan kejiwaan. Kalau angka ­perkiraan ini digunakan, maka di Indonesia terdapat kurang lebih 23 hingga 50 juta jiwa berstatus sebagai ODMK. Sekitar 3 juta ODMK perlu mendapat perawatan intensif dan hanya 599 jiwa yang dibiayai oleh negara. Dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, bisa ditarik ­adanya hubungan kausalitas antara dampak kemerosotan ekonomi yang ­ menimbulkan kemiskinan dengan meningkatnya kekacauan mental dan perilaku di kalangan masyarakat (lihat Bagan 6). ­Artinya, ada kaitan langsung antara tak terpenuhinya hak-hak ekosob, baik akibat krisis ekonomi, kesalahan kebijakan pemerintah, maupun yang merupakan bentuk pelanggaran HAM dengan meningkatnya ­prevalensi ODMK. Pemantauan Komnas HAM saat pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2009 lalu menyimpulkan bahwa KPU tak menfasilitasi ODMK untuk bisa mengikuti pemilihan. Lihat laporan Tim Pemantauan Komnas HAM tentang Pileg 2009 dan Pilpres 2009. Contoh dari legalisasi pendapat ini adalah salah satu pasal dalam Peraturan Daerah Pemda DKI mengenai Ketertiban Umum yang melarang orang yang diindikasikan sebagai menderita gangguan jiwa untuk berkeliaran di taman-taman atau di tempat umum.
  • 58. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 43Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 DampakEkonomi Biayakesehatanmelangit Kehilangan pekerjaan Produktivitas menurun Kemiskinan Kemerosotan ekonomi Pendidikan rendah Tanpa pekerjaan Kekacauan Mental Perilaku Meningkatnya rasa frustasi Kurangnya perhatian Meningkatnya kekerasan Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan Namun demikian, harus dipahami bahwa gangguan kejiwaan ­memiliki berbagai tingkatan. Secara garis besar gangguan mental bisa dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu non-psikotis dan ­psikotis. Untuk jenis non-psikotis terdiri dari gangguan cemas, gangguan ­somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dan lain-lain. Sedang gangguan psikotis meliputi skizofrenia (ada 5 tipe), gangguan ­afektif berat dengan gejala psikotis (meliputi bipolar manik dan depresi ­berat), skizoafektif, psikosis polimorfik akut, gangguan waham ­ menetap, psikosis non-organik lainnya, dan gangguan psikotis organik. Pada ODMK ringan hampir semua kegiatan kemasyarakatan mam- pu dilaksanakan dengan baik dan mereka sama seperti orang-orang lain. Kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan war- ga negara pada umumnya. ODMK yang telah menjalani pengobatan optimal atau gejala-gejalan gangguan jiwa tidak muncul lagi dapat digolongkan dalam kelompok masyarakat pada umumnya. ODMK yang lebih berat dan mendapatkan pengobatan optimal akan memi- liki kemampuan yang lebih sedikit (terbatas) ­ dibandingkan ­ dengan
  • 59. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 44 Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 orang normal, tetapi mereka masih tetap warga negara ­ Indonesia dan ­ seharusnya mendapatkan perlindungan negara. ­ Mereka masih bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan keterbatasan-­keterbatasan ­tertentu dan bekerja di bidang pekerjaan tertentu. Bagi ODMK, ­meski telah mendapatkan pengobatan optimal, tetap tidak mampu ­menjalankan fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan atau menjalankan kehidupannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, negara harus bertanggung jawab melindungi mereka. Kenyataannya, sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap dua kelompok tersebut masih sangat kurang. Di Indonesia, sejak tahun 1970-an telah dibentuk ­ Direktorat ­Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan Medik ­Departemen Kesehatan yang mengelola 33 rumah sakit jiwa di ­seluruh Indonesia. Kebanyakan rumah sakit jiwa hanya ada di ibu kota provinsi atau di sebuah kota di setiap provinsi. Sementara ­masih ada ­beberapa provinsi yang tak memiliki satu pun rumah sakit jiwa. Situasi ini ­menyulitkan ODMK yang membutuhkan penanganan ­ dunia medis, mengingat pelayanan kesehatan jiwa tak bisa diakses pada tingkat ­layanan semacam puskesmas. Di lapangan sering kali dijumpai ­realitas bahwa ODMK lebih banyak ditangani Dinas Sosial ketimbang Dinas Kesehatan. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi dan idealnya justru penanganan ODMK seharusnya melibatkan upaya ­ sinergi ­berbagai departemen pemerintah. Jaminan hak pasien juga ­tercantum di ­sejumlah pasal dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992. Namun dalam kenyataan, pelayanan terhadap orang dengan ­masalah kesehatan jiwa masih jauh dari harapan. Dari total orang dengan gangguan jiwa yang terlaporkan, hanya sejumlah kecil yang mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa. Jenis pelayanan kesehatan jiwa ini meliputi rawat jalan dan inap di rumah sakit dan ­puskesmas, serta layanan rehabilitasi di panti dan unit layanan psikososial ­lainnya. Kendala dalam pelayanan medis di rumah sakit dan puskesmas, antara lain sebagian besar pelayanan diberikan oleh dokter umum dan hanya sebagian kecil yang ditangani oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.Lebihjauh,kompetensiparadokterumumdalammenanganiorang dengan gangguan jiwa dirasakan masih terbatas. Hal ini ­dikarenakan
  • 60. ODMK DAN PEMENUHAN HAM 45Jurnal HAM • Vol. 5 •Tahun 2009 kurangnya sarana pelatihan dalam ­meningkatkan ­kemampuan para dokter umum. Sementara itu kendala dalam ­ layanan non-medis (psikologis, sosial, dan spiritual), antara lain tidak ­tersebarnya tenaga non-medis secara merata. Kendala lain adalah keterbatasan tersedianya obat-obatan bagi pasien dengan gangguan jiwa. Apabila obat tersebut tersedia, ­harganya belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Karena pada umumnya orang dengan gangguan jiwa memerlukan pengobatan dalam waktu yang lama, maka faktor biaya pengobatan merupakan salah satu ­penyebab terputusnya proses pengobatan. Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi pada kelompok keluarga ­berpendidikan rendah, keluarga bermasalah, dan keluarga yang ­tinggal di daerah konflik. Umumnya mereka termasuk golongan ­ekonomi ­rendah yang akan menambah kesulitan dalam pembiayaan kesehatan. Dalam upaya pelayanan terhadap orang dengan gangguan jiwa, hak dan martabatnya senantiasa harus diperhatikan. Meskipun ­ mereka kompeten (gangguan jiwa ringan atau yang telah diobati), ­ namun sering kali keluarga atau petugas kesehatan menganggap mereka ­inkompeten dan memperlakukan mereka secara paternalistik, seperti memaksa berobat atau memaksa minum obat. Berkaitdenganprosespengobatanpadamasalahkesehatanjiwa,ada anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa ­gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit ­ keturunan dan ­kutukan. Selain itu, ada anggapan keliru tentang rumah sakit jiwa dan tenaga kesehatan jiwa yang menghambat keinginan keluarga dan individu untuk mencari pengobatan masalah kesehatan jiwa. Ada anggapan keliru di masyarakat bahwa gangguan jiwa ­merupakan penyakit keturunan, tidak tersembuhkan, dan ­ kutukan. Hal ini akan menyebabkan keluarga sulit menerima kenyataan ­apabila salah satu anggota keluarga mengalami ganguan jiwa. Situasi ini juga bisa ­menimbulkan aib dalam keluarga dan dianggap ­merusak ­martabat atau kehormatan keluarga dan keturunan selanjutnya. ­Untuk itu, ­keluarga berusaha menyembunyikan anggota keluarga yang