Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Majalah Hidayatullah, Media dakwah yang terbit setiap awal bulan. Untuk membangun semangat ukhuwwah muslimin dunia dengan landasan AQIDAH ISLAM yang kokoh
Wanita Dalam Pandangan Islam Dan Wanita Dalam Tinjauan Akidah Yahudi Dan Masi...
JANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA.docx
1. JANJI PALSU FEMINISME UNTUK MENYEJAHTERAKAN GENERASI MUDA
Gadis Arivia, Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, beberapa waktu lalu pernah mengungkapkan bahwa
term “gender” tidak bisa lagi digunakan untuk memperjuangkan keadilan. Ia mengatakan bahwa
pengarusutamaan gender (PUG) harus diakui sebagai sebuah kegagalan karena gender hanya bicara
representasi yang kosmetik. Menurutnya, feminisme harus diucapkan sebagai upaya pembongkaran
terhadap ketakadilan. (jurnalperempuan[dot]org).
Bahasan feminisme sangat berkelindan dengan berbagai persoalan yang membelit kaum perempuan,
seperti budaya patriarki, diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Beragam persoalan itulah
yang mendorong munculnya gerakan feminisme secara global. Gerakan ini dimulai dari Barat yang
memperlakukan kaum perempuannya sebagai kelompok marginal dan subordinat.
Dalam perkembangannya, gagasan ini pun diterima di banyak negara, termasuk negeri muslim. Mereka
menjanjikan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan gender bagi perempuan di segala aspek kehidupan.
Sejauh ini, sasaran feminisme bukan lagi ibu rumah tangga, akademisi, politisi, intelektual, melainkan
perempuan muda yang berpotensi menjadi corong efektif propaganda feminisme.
Problem perempuan
Ada delapan prioritas permasalahan perempuan yang disorot para aktivis gender, di antaranya: (1)
sedikitnya jumlah perempuan sebagai pengambil keputusan; (2) perempuan korban kekerasan dan
pelecehan kurang mendapat perlindungan hukum; (3) upah pekerja perempuan lebih rendah dari
lakilaki; (4) pelecehan seksual perempuan terjadi di lingkungan kerja; (5) perempuan dijadikan objek
sosial di media massa dan sosial; (6) minimnya perlindungan hukum terhadap pembantu rumah tangga
perempuan; (7) eksploitasi perempuan melalui pengiriman TKW ke luar negeri; dan (8) tidak
terpenuhinya hak cuti khusus bagi pekerja perempuan.
Sayangnya, pegiat feminisme gagal merumuskan akar masalah penyebab perempuan kerap menjadi
korban diskriminasi dan kekerasan. Lebih jauh, mereka justru melakukan tindakan offside dengan
menuding dan menyerang Islam sebagai sumber masalah bagi perempuan.
Berbagai syariat yang mengatur peran laki-laki dan perempuan mereka nilai sebagai bentuk diskriminasi
yang mengeliminasi kebebasan perempuan. Padahal, jika kita telisik lebih jauh, penyebab munculnya
diskriminasi terhadap perempuan adalah lantaran terdapat kesalahpahaman terkait hak perempuan
dalam aspek publik.
Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menempuh pendidikan hingga perguruan
tinggi. Keduanya juga memiliki hak mengakses layanan kesehatan. Jika terjadi diskriminasi hak publik,
yang patut dipersalahkan atas semua itu ialah sistem kapitalisme yang melakukan kapitalisasi di semua
sektor publik. Korban kapitalisasi ini sebenarnya juga menimpa kaum laki-laki yang sulit memberikan
nafkah keluarga secara layak dan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Adapun kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan bermula dari penerapan sistem
kehidupan sekuler dan liberal. Dari sistem ini, lahirlah nila-nilai hedonis dan permisif. Perilaku maksiat
dibenarkan atas nama kebebasan dan hak asasi manusia.
Selain itu, sistem sanksi yang diterapkan tidak memberikan efek jera bagi pelaku kemaksiatan. Kita
perlu mengingat bahwa kejahatan terjadi karena adanya peluang dan kesempatan. Perempuan bisa
2. memicu peluang dan laki-laki mengambil kesempatan untuk melakukan tindak kekerasan. Semua itu
karena kehidupan sekuler yang menjauhkan agama (Islam) sebagai pedoman dalam berperilaku.
Demikianlah, lagi-lagi, para pegiat kesetaraan gender mengalami kegagalan dalam memberi resep solusi
yang memunculkan masalah baru bagi perempuan. Mereka mengatasi masalah dengan melahirkan
masalah baru lainnya. Mereka memberi janji kesejahteraan, tetapi realisasinya bertolak belakang,
bahkan perempuan malah jauh dari kata sejahtera.
Janji Palsu
Dalam berbagai kampanye mereka, kaum feminis menjanjikan perbaikan kondisi bagi perempuan,
terutama dalam kesejahteraan.
Pertama, kesejahteraan ekonomi. Gerakan feminisme sangat beririsan dengan program pemberdayaan
ekonomi perempuan (PEP). Program PEP mendorong perempuan berperan dalam membantu
kesejahteraan keluarga. Ketika perempuan ikut bekerja, pendapatan ekonomi keluarga dianggap akan
meningkat dan kemiskinan bisa diminimalkan.
Bekerjanya perempuan dinilai sebagai usaha mulia seorang hamba Allah yang dapat mengangkat harkat
dirinya dan keluarganya. Walhasil, banyak perempuan muda yang sukarela bekerja demi menopang
ekonomi keluarga.
Program ini juga memaksa perempuan muda terlibat aktif sebagai pelaku ekonomi kreatif dan digital.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, sebanyak 64,5% dari total UMKM dikelola oleh kaum
perempuan. Riset dari Sasakawa Peace Foundation & Dalberg juga mencatat bahwa persentase
wirausaha perempuan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 21%. Terciptanya wirausaha perempuan sejalan
dengan target pemerintah yang ingin melahirkan wirausahawan baru. (Kemenkopukm, 21-12-2021).
Wajar jika banyak ibu muda memilih bekerja untuk menambah pendapatan rumah tangga.
Namun, seiring berjalannya waktu, program PEP melahirkan masalah kompleks lainnya. Di antaranya,
perempuan menjadi pihak yang paling rentan mengalami kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Sepanjang 2017—2020, terdapat 92 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Pada 2021,
meningkat hingga 116 kasus.
Dampak lain dari PEP adalah tuntutan kemandirian ekonomi yang membuat dominasi perempuan
sebagai pemimpin rumah tangga kian marak. Pada akhirnya, disharmoni ini menimbulkan keretakan
dalam rumah tangga yang memicu perceraian.
Bagai simalakama, ketika perempuan menjadi memberdaya perekonomian negara, pada saat yang sama,
pegiat feminisme mempersoalkan perlakuan diskriminatif pekerja perempuan di tempat kerja. Mereka
yang menyeru perempuan bekerja, mereka pula yang menuntut perempuan diperlakukan berbeda dari
pekerja laki-laki (semisal besaran upah dan cuti khusus). Secara tidak langsung, para feminis mengakui
bahwa perempuan pada dasarnya adalah makhluk yang butuh dilindungi, dijaga, dan dinafkahi, bukan
sebagai pelaku ekonomi.
Kedua, keadilan dan kesetaraan gender akan menciptakan rasa aman bagi perempuan. Benarkah
demikian? Faktanya, hilangnya rasa aman dan nyaman bagi perempuan tidak lain karena penerapan
sistem sekuler liberal yang menuhankan kebebasan. Di kalangan perempuan feminis muda, mereka
selalu bersuara tentang kebebasan perempuan dalam berperilaku. Indikasinya ialah slogan kampanye
3. perempuan yang selalu menghiasi aksi mereka. Semisal, “tubuhku otoritasku”, “perempuan bukan
properti”, “tubuh perempuan bukan komoditas berita”, dll.
Padahal, perempuan justru menjadi objek eksploitasi kapitalisme. Sebagai contoh, mereka lebih suka
berpakaian minim, pacaran dan gaul bebas, ikut serta dalam ajang Miss dunia, dan menjadi model iklan
produk industri korporasi yang mengumbar aurat. Ini sama halnya menjadikan perempuan layaknya
properti yang menghasilkan uang. Mereka bilang itu adalah modernitas dan kemajuan, padahal
eksploitasi tubuh perempuan sedang berlangsung secara legal atas nama kebebasan dan HAM.
Islam Memuliakan dan Menyejahterakan
Generasi muda adalah aset berharga. Mereka berpotensi membawa kebaikan dan keburukan bergantung
pada ideologi yang mengarahkannya. Jika diarahkan pada pemberdayaan ekonomi kapitalisme, mereka
tidak ubahnya mesin-mesin produktif korporasi. Jika diarahkan pada kesetaraan dan keadilan gender,
mereka tidak ubahnya corong feminis yang melawan pengaturan Allah dalam menempatkan peran
lakilaki dan perempuan. Jika diarahkan pada pemikiran sekuler dan liberal, mereka tidak ubahnya
generasi benalu yang menghambat lahirnya peradaban Islam.
Islam tidak mengenal feminisme. Feminisme muncul karena peradaban Barat yang merendahkan
perempuan mereka. Islam tidak butuh kesetaraan dan keadilan gender, sebab syariat Islam memuliakan
dan menghormati perempuan dengan sangat terperinci.
Sebagaimana hak laki-laki, Islam juga menjamin hak-hak perempuan. Hak dasar laki-laki juga menjadi
hak bagi perempuan, yaitu terjaganya agama, harta, kehormatan, akal, dan jiwanya.
Berikut ini beberapa bukti Islam memuliakan perempuan.
Pertama, hak beribadah dan mendapat pahala. “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik
laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan
mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS An-Nisa [4]: 124).
Kedua, beramar makruf nahi mungkar. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 71).
Ketiga, selamat dari bahaya khianat dan fitnah dengan perintah hijab. “Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin [agar] hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Al-Ahzâb [33]: 59).
Keempat, hak mendapat nafkah, menempuh pendidikan, layanan kesehatan, dan fasilitas publik lainnya.
Di antara jaminan kesejahteraan yang Islam berikan pada perempuan ialah pertama, hukum bekerja bagi
perempuan adalah mubah. Kewajiban perempuan adalah menjadi ibu dan pengelola rumah tangga.
Kewajiban nafkah hanya dibebankan pada laki-laki.
4. Kedua, tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,
kesehatan, dan keamanan, ada di tangan negara. Negara akan menyediakan lapangan kerja dan jika perlu
memberikan modal bagi laki-laki agar bisa bekerja.
Sangat wajar jika feminisme mengalami kegagalan karena ide ini melawan fitrah manusia. Perjuangan
feminis yang memakan waktu dua abad lamanya nyatanya tidak mampu menyejahterakan perempuan,
yang ada malah membuat perempuan jatuh terperosok lebih dalam.
Masalah perempuan hanya akan terpecahkan dengan penerapan sistem Islam kafah. Generasi terjaga,
potensinya pun akan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Wallahualam.